Rabu, 04 Juni 2014

Sebuah Otokritik Terhadap Pemerintah


PATTIMURA DAY (14 - 15 May)
At SAPAROEA



Kebanyakan masyarakat Maluku mengetahui esensi kearifan lokal ini hanya sebatas menunggu “Obor Pattimura” di ibukota propinsi. Obor yang didatangkan dari pulau Saparua dengan cara diarak melewati negeri-negeri hingga tiba di pusat Kota Ambon, lalu kemudian mengikuti upacara peringatan “Hari Pattimura” di Lapangan Merdeka Ambon. Mengenai perayaan seremonial "Obor Pattimura", terkhusus yang berlangsung dalam 2 tahun belakangan ini (2013-2014) lokasinya tidak lagi bertempat di ibukota propinsi Maluku, namun oleh pemerintah daerah sengaja dikembalikan untuk dirayakan di Saparua, sesuai dengan tempatnya dimana sejarah perlawanan Pattimura terhadap Kolonial Belanda itu berlangsung.

Alasan atau pertimbangan tertentu dari pemerintah salah satunya adalah alasan keamanan, mengingat situasi Kota Ambon sangat rentan terjadi konflik. Di sisi lain kami selaku pribumi Saparua sangat bergembira, dengan dipindahkannya lokasi perayaan ke Saparua, karena itu menguntungkan pariwisata kita. Wisatawan lokal dan asing akan beramai-ramai menuju ke Saparua untuk menyaksikan perayaan seremonial ini, setiap setahun sekali. Beberapa negeri di pulau Ambon yang menjadi jalur lewatnya arak-arakan Obor Pattimura pun berkeberatan, karena merasa tidak lagi dilibatkan dalam prosesi adat ini. Seperti sebuah dilema, dilakukan salah tidak dilakukan juga salah !!! 

Namun ada beberapa hal yang menjadi ganjalan bagi kami “Anak-anak Adat” Negeri Saparua, jika kita mau menghargai sejarah dan mengembalikan sesuatu pada relnya sesuai tradisi, maka hal itu perlu dipikirkan oleh pihak-pihak terkait/pemerintah daerah yang ditugaskan untuk mengurusi hal ini. Beberapa pemasalahan di bawah ini harus dijadikan pertimbangan, yaitu :


1.  Tanpa mengecilkan peran dari negeri-negeri lain, bahwa prosesi adat Obor Pattimura yang dimulai dari pembuatan api asli di gunung saniri, cakalele, sampai dengan pembakaran obor di Lapangan Merdeka Saparua hanya melibatkan 2 Negeri yaitu Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu) dan Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu).


2.   Pembuatan api asli di gunung saniri memakai 2 bilah bambu/bulu parobang dengan cara digosok-gosok hingga mengeluarkan api/unar, hanya boleh dilakukan oleh Negeri Tuhaha, kemudian berlanjut dengan prosesi Tarian Cakalele, berjalan kaki turun gunung membawa Api Obor Pattimura menuju petuanan/wilayah Negeri Saparua dan memasuki “Baileu Negeri Saparua” sebagai tempat persinggahan yang pertama.

3.   Ada norma/aturan adat yang berlaku untuk setiap negeri adat di Maluku. Ketika hendak memasuki Baileu Negeri Saparua, pasukan cakalele Negeri Tuhaha akan terus melakukan Tarian Cakalele alias “tidak berani” memasuki area Baileu sebelum diijinkan oleh “Malessy” atau “Penjaga Baileu” yang bermarga “Ririnama” dari “Soa Namasina”. Di sana juga sudah menunggu “Raja” (Titaley) beserta “Saniri Adat 4 Soa” (Titaley, Anakotta, Simatauw dan Ririnama) yang mengawal Raja. Hal ini menjadi kewenangan kami dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Setelah dipersilahkan oleh Malessy untuk masuk, barulah mereka bisa memasuki area Baileu sambil melakukan Tarian Cakalele.

4.   Biasanya sumber api yang dibawa dari Gunung Saniri menuju Baileu Negeri Saparua hanya ada 2 yaitu Api yang dibakar pada obor bambu dan Api yang dibakar dalam lampu lenterna/lampu pelita/botol obor, sebagai cadangan untuk berjaga-jaga agar jangan sampai api pada obor bambu padam. Apinya dapat dipakai kembali untuk membakar obor bambu.

5.  Oleh Raja Negeri Tuhaha obor bambu yang dibawa dari gunung saniri kemudian diserahkan kepada Raja Negeri Saparua. Setelah melakukan Tarian Cakalele beberapa saat di area Baileu Negeri Saparua... pasukan cakalele, kedua Raja beserta Saniri Adat 4 soa menuju ke Lapangan Merdeka Saparua untuk melakukan prosesi pembakaran Obor Induk yang terletak di samping Diorama/Museum perjuangan Pattimura dan kawan-kawan.

6.   Pembakaran obor induk dilakukan oleh Raja Negeri Saparua kemudian obor bambu itu diberikan kepada Kepala Pemerintahan Kecamatan/Camat untuk membakar tiga obor besi.

7.     Ketiga obor besi ini yang kemudian diarak oleh pembawa obor pertama yaitu pemuda-pemuda Negeri Saparua menuju ke Negeri Tiouw, lalu memberikan ketiga obor besi itu kepada pembawa obor Negeri Tiouw untuk dilanjutkan secara estafet ke negeri tetangga berikutnya yaitu Negeri Porto, Negeri Haria dan seterusnya hingga tiba di Kota Ambon.

8.  Pergantian pembawa Obor Pattimura biasanya dilakukan di perbatasan tiap-tiap negeri.

Proses pembuatan api asli/unar

Saniri Adat 4 Soa Pisarana

Arak-arakan Obor Pattimura

Dengan urutan prosesi adat seperti itu, maka pemerintah dalam hal ini siapapun tidak berhak mengganti atau merubah prosesi adat tersebut, dengan alasan apapun, entah itu alasan keamanan atau pertimbangan politis.

1.     Jika alasan keamanan maka tugas pihak keamananlah yang bertugas menjaga keamanan, bukan mengatur atau merubah prosesi adat yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya, dengan cara melakukan prosesi adat pada siang hari atau menginapkan Obor Pattimura di Markas Polisi setempat.

2.    Prosesi Pasukan Cakalele Negeri Tuhaha memasuki Petuanan dan Baileu Negeri Saparua adalah saat matahari sudah terbenam, pada pukul 06.30 s.d 07.00 malam alias “Su mati-mati galap” sehingga suasana heroik dan mistisnya lebih terasa.

3.     Saniri Adat Negeri Saparua harusnya lebih tegas dan berani menunjukan sikap “Tidak mengijinkan” negeri lain untuk melakukan prosesi cakalele selain Negeri Tuhaha hingga memasuki Petuanan dan Baileu Negeri Saparua, meskipun kita tahu bahwa ada hubungan kekerabatan/gandong antara kedua negeri tersebut. Kita hanya “Mengenal” dan mengijinkan Negeri Tuhaha yang bisa memasuki Petuanan dan Baileu Negeri Saparua dalam prosesi adat Obor Pattimura.

4. Terkait prosesi adat Obor Pattimura, kenapa harus Negeri Tuhaha yang melakukannya??? Kenapa harus memasuki Petuanan Negeri, singgah di Baileu Negeri Saparua dan seterusnya??? Pastilah ada alasan mendasar para leluhur membuat itu menjadi aturan/kebiasaan/tradisi yang terus menerus harus dilakukan.

5.    Pemerintah hanya boleh mengatur protokoler acara resmi dan tidak berhak merubah, mengatur atau memodifikasi prosesi adat Obor Pattimura dari gunung saniri  menuju ke Negeri Saparua, dengan cara mengganti negeri lain untuk melakukan prosesi adat ini.

6.  Banyak pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab memerintah sebelum/sesudah perayaan Obor Pattimura tersebut. Dahulu, ketika Obor Pattimura sudah menuju ke Kota Ambon, Saparua kembali menjadi kota mati seperti biasa, tidak memberikan dampak berarti terhadap masyarakat.

7.  Kedepannya kita berharap pemerintah membuat terobosan baru dengan mengadakan pekan budaya yang dikolaborasikan dengan perayaan Hari Pattimura (misalkan: permainan tradisi antar negeri, malam badonci dan badendang, pembacaan puisi, pasar malam yang menjual kuliner, souvenir/oleh-oleh khas Saparua, dlsb) sehingga dapat memberdayakan perekonomian masyarakat setempat.

8.  Dan tentunya harus dilaksanakan dengan konsisten setiap tahun oleh pemerintah daerah, guna menarik animo wisatawan baik wisatawan lokal maupun asing, maka dengan sendirinya perekonomian masyarakat akan meningkat.

        Sudah jauh rasanya kita tertinggal dari daerah lain, yang hanya bermodalkan adat-istiadat dan pariwisatanya menjadi terkenal di mata dunia. Kita harus memulainya sekarang daripada tidak sama sekali.

Orang Totua Saparua bilang bagini :

...Kal katong seng biking apapa par bangong Negeri ini, mau jadi apa lai? Dudu tongka dagu jua, lalu bernostalgia deng kejayaan Saparua di masa lampau...

Semoga Tradisi Obor Pattimura ini tidak terkikis oleh jaman, tetap terjaga dan diwariskan dengan baik kepada generasi selanjutnya. Mohon maaf jika ada salah kata dan menyinggung pihak lain.
Kal bukan ale deng beta yang meku akang, la sapa lai??? Mena Muria!!! Horomate.


Teuno Pisarana Hatusiri Amalatu
(Anana Adat Negeri Saparua)

1 komentar:

  1. mantap sodara...anak cucu harus baca tulisan seperti ini untuk dong pung bakal eso lusa....!!

    http://tutuwawang.blogspot.com

    BalasHapus