Jumat, 29 Juni 2018

Muar, Vull, Licer, Lijasser, Lyaser, Vleasser, Ulliasser, Honomoa hingga Saparoua


                           ---- Jejak-jejak sebuah “nama” dalam Arsip dan Sumber
                                                   serta Perbincangan dalam ruang waktu ----
(Bag I)

Oleh
Aldrin Anakotta & Kotje Novaria Anakotta/W


A.   Pendahuluan

Nama Lease atau lebih khusus nama Pulau Saparua yang kita kenal di masa kini, bukan lahir tiba-tiba. Nama ini mengalami “sejarah” yang panjang, hingga tiba pada percakapan yang familiar di masa sekarang. Jika bersandar pada sumber-sumber tertulis, sejarah panjang itu bisa berusia hampir mendekati 7 abad lamanya. Suatu rentang waktu yang sangat panjang, banyak babakan dalam kronologis narasi sejarah yang menyertainya. Rentang panjang yang “berisikan” banyak generasi-generasi manusia di dalamnya. Banyak cerita kehidupan yang melingkupi dan turut “membentuk” pada rentang itu.
Apa yang kita ketahui, pahami dan akhirnya diterima bersama pada masa kini, bukan secara tiba-tiba muncul. Ia melewati begitu banyak jalan, menapaki kerikil-kerikil zaman yang berbeda-beda, bergulat bersama kehidupan dan berujung di masa kini. Masa kini, bukan akhir dari perjalanan itu, ia akan terus bergerak, berputar dan berjalan hingga dunia ini akan berakhir nantinya.
Artikel ini berisikan hal demikian. Narasi panjang tentang sebuah nama itu. Nama “Lease” dan “Saparua” tidaklah terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Kedua nama ini saling berpaut, saling “melingkar” dan saling berhubungan satu dengan lainnya.
Narasi “sejarah” tentang nama Lease dan Saparua pada artikel ini bersandar pada sumber tertulis.
Penulis mencoba menelusuri sumber-sumber tertulis yang secara eksplisit menulis tentang nama ini. Sumber-sumber itu dalam penelusuran/pelacakan penulis, bermula dari abad XIV hingga abad XX. Sumber yang dimulai dari masa Madjapahit pada tahun 1365 hingga berakhirnya periode penjajahan Belanda (Hindia Belanda) pada tahun 1942.
Dilihat dari “pembabakan kronologis” yang dibuat oleh penulis, maka sumber-sumber yang digunakan oleh penulis berasal dari sumber-sumber Portugis, Spanyol, VOC, Belanda/Hindia Belanda, dan Inggris.

Maka dengan demikian, artikel ini bisa dianggap sebagai pelengkap artikel-artikel sebelumnya yang pernah ditulis tentang tema yang sama. Ini juga bisa dianggap sebagai artikel “lengkap” yang merangkum artikel-artikel sebelumnya.
Mempertimbangkan kurun waktu yang panjang, maka pastilah artikel ini juga akan panjang. Maka itulah, artikel ini akan dibagi dalam beberapa bagian, dengan maksud agar terstruktur  dalam penguraian dan bisa diikuti/dibaca dengan baik.
Artikel bagian pertama ini meliputi periode yang dimulai dari masa Madjapahit hingga akhir periode Portugis pada tahun 1605. Bagian “pertama” ini terdiri dari beberapa “sub bagian” karena menceritakan lingkup periode 1 abad lamanya, terkhususnya di masa Portugis.
Bagian kedua dan seterusnya akan mengikuti periode berikutnya.
Selain itu, pada artikel ini, penulis mencoba mengurai, menjelaskan, bahkan “mempertanyakan” sumber-sumber yang digunakan itu. Itu adalah bagian dari “percakapan” dalam ruang waktu. Percakapan antar 2 generasi berbeda. Generasi penulis yang berasal dari abad XX dengan generasi penulis sumber-sumber itu. Pada sisi lain, percakapan dalam ruang waktu, juga bisa diartikan sebagai  pemakaian/penggunaan nama sebuah objek (nama Lease dan Saparua) dalam perbincangan antar manusia di sepanjang sejarah mereka, di sepanjang rentang waktu yang telah meliputi hampir 7 abad itu.
Kita akan melihat “fluktuasi” penggunaan nama itu dalam rentang panjang ini. Kita juga akan melihat berbagai “gaya” dan “varian” penggunaan kata ini dalam sumber-sumber tertulis, yang pastinya berasal dari percakapan kehidupan sehari-hari.
   

B.   Perbincangan itu.................

Haruslah diakui,  bahwa nama “Saparua” untuk nama sebuah pulau yang kita kenal sekarang, tidak pernah disebut secara eksplisit dalam arsip maupun sumber, baik itu sumber asing maupun lokal, sebelum abad XVI -XVII.
Bangsa Portugis yang pertama kali tiba di wilayah “Maluku” pada November 15121 atau awal abad 16, tidak pernah menyebut nama ini. Namun, bukan berarti nama Saparua belum dan tidak ada sama sekali. Mungkin, nama itu hanyalah “konsumsi” untuk perbincangan sosial yang terbatas, percakapan antar manusia-manusia dalam kehidupan sosial, ekonomi dan biasanya “terbungkus” dalam “selimut” tradisi lisan saja. Maksudnya belum ditulis dalam teks yang berupa kata dan kalimat.  
Haruslah dipahami konteks sejarah dan kronologisnya untuk minimal bisa menjelaskan mengapa ini terjadi.
Seperti yang disebutkan diatas, semuanya bermula saat Bangsa Portugis menaklukan Malaka pada November 15112. Beberapa bulan kemudian, 3 Armada dikirim ke wilayah Banda. 2 Armada (kapal) kembali ke Malaka dalam bulan November 1512 tanpa mencapai Ternate3. 1 Armada yang dikomandani oleh Fransisco Serao terdampar di pulau Nusa Penyu. Sumber Portugis menyebut pulau ini sebagai baixos de Lucupino/ Lucepinho 4.
Di tempat ini, armada ini dibajak dan dibawa ke Nusa Telo dan akhirnya di bawa ke Hitu5. Kedatangan “orang asing” ini terdengar oleh Sultan Ternate, Sultan Bayanullah (1500 -1522), segera mengirimkan juanga (perahu tempur) untuk menjemput dan membawanya ke Ternate6. Sumber Portugis menyebut nama Sultan ini sebagai Abu Lais atau Boleif7.
Dimulai dari periode ini, hingga 20an tahun selanjutnya, bangsa Portugis lebih banyak “berdiam” di wilayah Utara (Maluku Utara sekarang).
Hal ini menyebabkan, nama Saparua jarang atau bisa dibilang tidak pernah disebut dalam arsip-arsip mereka pada periode ini.
Orientasi mereka adalah perdagangan, dan Ternate merupakan pusat cengkih di masa itu, maka wajarlah jika pulau-pulau lain yang tidak memiliki “keuntungan” dalam perspektif ini tidak disebut.
Jikapun disebut, itu hanya disebut secara sepintas lalu atau “samar-samar”, hanya mungkin karena merupakan tempat persinggahan sementara.
Kondisi kedua adalah terbatasnya “pegawai” yang dimiliki oleh bangsa Portugis. Kondisi terbatas ini ditambah dengan situasi di masa itu, maka tentunya hal-hal penting atau lokasi pusat tempat mereka sajalah yang ditulis atau dilaporkan.
Namun, sekali lagi nama-nama pulau yang “tidak penting” itu bukan tidak ada.
Pada periode yang bersamaan, dimana bangsa Portugis pertama kali tiba di wilayah “Maluku”, Tome Pires menulis Suma Oriental pada tahun 15138 di Malaka.
Tome Pires tiba di Malaka bersamaan dengan takluknya Malaka ditangan Portugis pada November 1511. Ia adalah seorang Apoteker yang bekerja untuk Pangeran Kerajaan Portugis9.
Pada sisi yang lain, Afonso de Alburqueque di akhir tahun 1512 itu memerintahkan salah satu armada dibawah pimpinan Simao Afonso Bisagudo dan Fransisco Rodrigues untuk “menata” kembali kota Malaka.

Peta Fransisco Rodrigues (1512)

Fransisco Rodrigues adalah seorang kartografer (pembuat peta)10, yang dilibatkan dalam “project” ini kemudian menghasilkan sebuah buku berjudul Livro de Fransisco Rodrigues11
Buku ini berisikan 68 sketsa dan lukisan dataran di beberapa tempat, hasil kunjungan armada mereka dari wilayah timur Nusantara dan kepulauan Banda, serta tempat-tempat lain.
Buku ini terbit tahun 1513 dan “dilampirkan” dalam bukunya Tome Pires, dan bisa dianggap sebagai “visualisasi” dari hal-hal yang diurai oleh Tome Pires.
Terlihat pada peta12 dalam buku Rodrigos itu, tidak ada nama bahkan wujud pulau “saparua”. Pada peta itu hanya ada pulau Ambon, Buru (Buro), Banda (Ilhas de Banda) dan Seram (Ceiram tem houre : Ceram has gold). Memang di sekitar pulau Seram itu, terlukis 20an pulau-pulau kecil, namun tidak tertulis namanya.
Kita bisa saja berhipotesis bahwa di antara 20an pulau-pulau kecil itu, salah satunya adalah pulau “saparua”. Hipotesis terhadap hal ini, pastilah didasari pada pemahaman dan pengetahuan tentang peta di masa sekarang. Hal ini pastilah tak bisa dibantah, apalagi jika kita mengaitkan letak pulau-pulau kecil di sekitar pulau Seram pada peta itu, dengan pengetahuan kita tentang letak pulau saparua pada peta di masa sekarang.
Namun jika kita mau lebih “jujur”, hipotesis itu seperti bersifat “narsis” dan “egois” karena faktanya memang nama pulau saparua tidak secara eksplisit ditulis pada peta itu.
Maka kita harus menerimanya dengan “perspektif” kemungkinan saja. Bisa saja salah satu dari pulau-pulau kecil itu adalah pulau saparua, seperti maksud dan pengetahuan dari Rodrigues pada masa itu, atau bisa saja bukan, atau mungkin lebih merujuk pada pulau-pulau kecil di bagian timur pulau seram (seram laut) sekarang.
Hal ini juga seharusnya membuat kita memahami lebih jauh, tentang masih sederhananya dan terbatasnya pengetahuan dan pemahaman peta di masa itu.
Sebaliknya, Tome Pires dalam bukunya secara eksplisit telah menyebut nama “saparua”, meski dengan nama lain yang “unik”
Ia menyebut nama pulau Saparua adalah Vull13. Tome Pires mendeskripsikannya sebagai berikut (telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Armando Cortesao) :

Amboina is one island and next to it are Yta (Hitu), Cuaij (Haruku), Vull (Honimoa), Nucalao (Nusalaut) and they are all nearly up against the coast of Ceram. The people of the island are wooly – haired, bestial, they have no merchandise and they have not a very good port, they have no trade. It is a place of dangerous people............................
(Ambon adalah pulau tersendiri, dan selanjutnya ada pulau Yta, Cuaij, Vull dan Nucalao. Pulau-pulau itu sangat berdekatan dan letaknya “berhadapan” dengan pantai pulau Seram. Penduduk pulau-pulau ini berambut keriting dan “liar”, dimana mereka tak memiliki alat-alat perkakas, tak mempunyai pelabuhan dan tidak berdagang. Ini adalah pulau yang dihuni oleh orang-orang yang sangat “berbahaya”)

Pada catatan kaki, Cortesao menjelaskan lebih jauh tentang Yta, Cuaij, Vull, dan Nucalao.
Catatan kaki tentang Vull14, Cortesao menjelaskan sebagai berikut :

Vull must be Oliacer, Saparua or Honimoa island, the third large islands in the Amboina group, lying eastward of Haruku and very close to it.
( (kata) Vull itu merujuk pada pulau Oliacer, Saparua atau Honimoa (yang kita kenal sekarang), pulau besar ketiga dalam gugusan kepulauan Ambon. pulau ini terletak disebelah timur pulau Haruku dan sangat berdekatan)

Cortesao juga melanjutkan...

This corresponds perhaps to the Nucilloel which appears in Dourado,s atlases, south-east of Amboino, and is mentioned by Castanheda as Nunciuel. It is possible that this is meant for “nusa uel”.
(kata/namaVull ini mungkin sama dengan kata Nucilloel yang ada pada peta Dourado, sebuah pulau disebelah tenggara pulau Ambon, serta yang juga disebutkan oleh Castanheda sebagai Nunciuel. Kedua kata ini mungkin berarti Nusa Uel.

Kata Nucilloel oleh Dourado yang dirujuk oleh Cortesao maksudnya adalah nama yang ditulis oleh Fernao vaz Dourado dalam peta yang dibuatnya pada tahun 1571.Begitu juga rujukan pada Castanheda, maksudnya nama yang ditulis oleh Fernao Lopes de Castanheda dalam bukunya Historia do descobrimento & conquista da India pelos Portugueses, Livro VIII... yang terbit tahun 1561.

Meskipun telah diurai dengan “terperinci” namun beberapa tahun kemudian, nama Vull tidak disebutkan lagi.
Hal ini “dibuktikan” oleh Duarte Barbosa, seorang “pegawai” bangsa Portugis yang bertugas pada periode 1500 – 1517. Ia menulis sebuah  buku dan terbit tahun 1518.
Pada buku yang berjudul The book of Duarte Barbosa15” ini sama sekali tidak disebutkan nama-nama pulau disekitar pulau Seram atau Pulau Ambon. Barbosa hanya mendeskripsikan tentang Pulau Ambam (Ambon16) saja. Itupun hanya 2 paragraf pendek.
Periode-periode selanjutnya masih tetap sama, tidak disebutkan sama sekali baik secara sepintas maupun deskripsi yang lebih luas.

Kakawin Nagarakrtagama

Periode sebelum Portugis, di abad XIV pada masa Majapahit, Nagarakratagama menyebutkan nama Muar17, sebagai salah satu wilayah “kekuasaanya” di bagian timur Nusantara.
Kakawin Nagarakratagama seperti yang diketahui  bersama ditulis oleh Mpu Prapanca, seorang yang sebenarnya berdasarkan analisis kesejarahan, bernama asli Dang Acarya Nadendra18. Nama Mpu Prapanca adalah nama samaran atau nama “pena” saat ia menyusun kakawin ini. Mpu Prapanca adalah putra dari seorang pejabat istana Majapahit dengan pangkat Dharmadyaksa ring Kasogatan (pemimpin urusan agama Buddha).
Ia menyusun kakawin ini saat telah pensiun dari jabatannya dan menetap di lereng gunung di sebuah desa kecil yang bernama Kamalasana.
Nama asli dari kakawin ini adalah Decawarnana/Desawarnana sesuai “judul” yang ditulis oleh Mpu Prapanca sendiri dalam kakawin itu, yaitu pada pupuh 94, “ayat/sub” 219.
Nama Nagarakrtagama sendiri muncul dalam kolofon terbitan DR J.L.A. Brandes yaitu Iti Nagarakretagama Samapta20. Ternyata nama Nagarakretagama sendiri adalah tambahan penyalin yang bernama Arthapamasah saat menyalin naskah asli ke dalam aksara Bali pada bulan Kartika tahun1662 Caka/Saka (20 Oktober 1740).
Decawarnana/Desawarnana sendiri berarti “Uraian desa-desa21” sedangkan Nagarakratagama berarti “Negara dengan Tradisi/Agama yang suci”.
Naskah asli ditulis dalam aksara/Bahasa Kawi atau Jawa Kuno dan diselesaikan oleh Mpu Prapanca pada pada bulan Aswina tahun 1287 Saka (September-Oktober 1365 Masehi)22.
Kakawin ini terdiri dari 98 pupuh atau canto, dan secara garis besar terdiri dari 2 bagian. Bagian I berisikan 49 pupuh dan bagian II terdiri dari 49 pupuh. Bagian pertama terdiri atau dimulai dari pupuh ke-1 hingga pupuh ke-49 dan seterusnya.
Penulisan/penyebutan kata/nama Muar terdapat pada bagian 1 yaitu pupuh 14, “ayat/sub” ke 5.
Isi dari pupuh ke-14 itu selengkapnya adalah sebagai berikut23 :

Pupuh 14:
1.      Kadaษณdanan i landa len ri samdaษณ tirm tan kasah, ri sedu buruneษณ ri kalka saluduษณ ri solot / pasir, baritw i sawaku muwah ri tabaluษณ ri tuรฑjuษณ kute, lawan ri malano makapramukha ta ri taรฑjuษณpuri.
2.      Ikaษณ sakahawan pahaษณ pramukha taษณ hujuษณ medini, ri lnkasukha len ri saimwan i kalanten i tringano, naรงor pa-(98a)kamuwar dunun ri tumasikh / ri saษณhyaษณ hujuษณ, klaษณ keda jere ri kaรฑjap i niran / sanusa pupul.
3.      Sawetan ikanaษณ tanah jawa muwah ya warnnanen, ri balli makamukya taษณ badahulu mwan i lwagajah, gurun makamukha sukun / ri taliwaษณ ri dompo sapi, ri saษณhyan api bhima รƒ§eran i hutan kadaly apupul.
4.      Muwah tan i gurun sanusa manaran ri lombok mirah, lawan tikan i saksak adinikalun / kahajyan kabeh, muwah tanah i banatayan pramukha banatayan len / luwuk, tken uda makatrayadini-kanaษณ sanusapupul.
5.      Ikaษณ saka sanusanusa makhasar butun / bangawi, kunir ggaliyau mwan i salaya sumba solot / muar, muwah tikhan i wandan ambwan athawa maloko wwanin, ri seran i timur makadinin aneka nusatutur.

Beberapa sarjana menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris24 dan Bahasa Indonesia25

Robson yang menerjemahkan dalam Bahasa Inggris menulis demikian (penulis hanya mengutip “ayat” 5 untuk kepentingan artikel ini) :

§  Those that are (enumerated) island by island (are): Makasar, Butun, Banggawi, Kunir,Galiyao and Salaya, Sumba, Solot, Muar, and the Waudan (country), Ambwan and Maloko too, Wwanin, Seran, Timur. These make the first of the numerous islands that are mindfull

Slamet Mulyana dan Ketut Riana menerjemahakan ayat ini dalam Bahasa Indonesia, dan menulis demikian :
§  Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Benggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain

Para Sarjana mencoba untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan dan menjelaskan serta mengintrepetasi lokasi-lokasi geografis yang disebutkan oleh Prapanca tersebut kedalam pemahaman geografis di masa sekarang.
Dalam konteks kata Muar, deskripsi serta intepretasi kata dan lokasi geografis“Muar” juga meninggalkan hal yang samar dan memunculkan perdebatan26

G.P. Rouffaer dalam artikelnya di tahun 190527 itu, mengidentifikasi kata dan lokasi Muar yang disebut dalam Nagarakratagama sebagai Kei (Maluku Tenggara). Ia kemudian merevisi pendapatnya, melalui artikel tahun 190828, dengan merubah lokasi Muar menjadi Saparua (Honimoa).
Pada tahun 1911, J.C. Eerde menulis artikel berjudul De Madjapahitsche Onderhoorigheden Goeroen en Seran29. Artikel ini garis besarnya adalah “mendiskusikan” hasil publikasi yang dilakukan oleh P.J.Veth30 tahun 1867. Kajian Veth, adalah hasil revisi tentang wilayah kekuasaan kerajaan Madjapahit berdasarkan kronik/Hikayat Radja-Radja Pasai. Kajian ini sebenarnya cuma merevisi saja hasil publikasi  dari E. Dulaurier tahun 184631 berdasarkan “penemuan” atas Koleksi Thomas Stamford Raffles yang disimpan di Royal Asiatic Society . Kerja dari Dulaurier ini diperbaiki oleh Jan Pijnappel tahun 184632, H.J. Logan tahun 184833 dan akhirnya oleh Veth tersebut.
Dulaurier, Pijnappel, dan Logan dalam kerja mereka tidak menyebut/menulis tentang Muar.
Eerde  dalam artikelnya ini “mengamini” pendapat Rouffaer tentang lokasi Muar yaitu Honimoa atau Saparoewa berdasarkan kutipan yang sesuai sumber Rouffaer tahun 1908 itu.

Oudheidkundige Kaart van den Archipel (menurut N.J. Kroom)

12 tahun kemudian di tahun 1923, N.J. Krom menyisipkan sebuah peta34 dalam bukunya35. Pada peta itu terlihat dengan jelas, Krom menempatkan lokasi Muar pada bagian selatan Pulau Seram, tepatnya di lokasi gugusan kepulauan Lease yang kita kenal sekarang. Menurut penulis, jika dilihat secara seksama, Krom menempatkan lokasi ini di Pulau Saparua.
Theodore.G.Th. Pigeaud dalam buku kolosalnya36 yang terbit tahun 1962, “mengadopsi” pendapat Roufaaer tentang nama dan lokasi Muar. Pigeaud juga menyisipkan peta37 pada volume ke-5 dari buku ini, namun “ganjilnya” ia tidak menulis apa-apa tentang Muar pada peta itu.
Pada peta tersebut, ada lokasi Ambwan, Wandan, Wwanin dan lain-lain, namun tidak ada lokasi Muar.   
14 tahun setelah terbitnya buku ini, Fraasen dalam artikelnya38, membantah pendapat Rouffaer. Ia tidak setuju, jika lokasi Muar adalah Kei atau Saparua. Fraasen menunjuk Hoamoal sebagai lokasi yang paling “benar” seperti maksud dari Nagarakratagama. Ia mendasari pendapatnya ini dengan mengutip sumber awal dari Portugis39, Tiele40, Schurhammer41, dan Jacobs42.
Pendapat Fraasen ini dikutip oleh M.C. Boulan Smith untuk “memperkuat” pemaparan salah satu bagian pada thesisnya43.
G.E. Rumphius pada tahun 167144, menyebut “region” ini sebagai Veranula, Varnalo atau Warnoel/Warnoela45

Makna kata “Muar” menurut Cortesao46, dalam bahasa Melayu berarti “Mouth of river” atau muara sungai.
Jika makna kata ini “bisa diterima” maka konsekuensinya, “lokasi” Muar tidak harus di Hoamoal, seperti yang dinyatakan oleh Fraasen. Pada catatan kaki tentang kata Bemuaor, Cortesao menunjuk lokasi ini dekat dengan Waibobot di sisi timur teluk Teluti, Seram selatan.
Begitu juga, wilayah Muar (Moer) telah secara eksplisit disebutkan oleh Pires47 dalam bukunya itu, berada di wilayah Malaka. Pires menyebutnya Muar River.
C.O. Blagden dalam artikelnya yang terbit tahun 190948 juga menyebut distrik Muar atau Muar River berada di wilayah Malaka.

Pada awal abad XVII49 kata Muar juga disebut pada lokasi yang sama. 
Steven van der Haghen dalam beritanya itu (lihat catatan kaki no 49), menyebut Moer, dan Tiele dalam catatan kakinya menjelaskan Moer : de rivier van Moar of Muar ten zuid van Malaka.
Bahkan Nagarakratagama juga menyebut 2 kata Muar, yaitu pada pupuh ke 14 itu. Kata Muar yang pertama ada pada “ayat” ke-250, serta kata Muar yang kedua pada “ayat” yang ke-5.
Rouffaer dan Eerde mengidentifikasi kata Muar yang pertama ini sebagai Pakamuwar (Moear of peken moear) yang letaknya di Semenanjung Malaka.

Selain itu, perhatikan penyebutan kata yang ditulis oleh Rumphius, ia menyebut kata Warnoel.
Kata oel pada kata Warnoel mungkin saja memiliki “makna” yang sama dengan Nunciuel atau Nucelloel seperti yang disebut oleh Castanheda dan Dourado51

Outline Map of the Indian Archipelago (menurut Th. Pigeaud)

Menurut penulis, makna kata “muar” mungkin digunakan bukan sebagai nama “asli” dari sebuah lokasi tapi lebih kepada “karakteristik” atau “potensi” yang ada pada wilayah itu.
Hoamoal disebut Muar, mungkin lebih kepada karakteristik wilayahnya, yang memiliki “pelabuhan” yang baik atau kepada potensi, yang berhubungan dengan sumber atau Produsen cengkih pada masa itu, atau bisa juga sebagai “lalu lintas” perdagangan.
Fraasen dalam artikelnya, menyimpulkan bahwa dengan penyebutan nama Muar dan Seran dalam Nagarakrtagama, memberikan perspektif lain, bahwa Pulau Ambon pada abad XIV, telah dikenal dan menjadi jaringan (jalan tol) perdagangan menuju Banda, yang lebih dikenal.
Kesimpulan ini bisa membuka “kemungkinan” yang lebih jauh, bahwa mungkin saja pulau “Saparua” juga telah diketahui atau dikenal pada periode itu, meski memang tak ditulis/disebut secara eksplisit.
Hal ini mungkin saja menjadi landasan dari hipotesis Rouffaer yang menyebut Muar adalah Kei dan kemudian dirubah menjadi Saparua (Honimoa)


Selain Vull yang disebut oleh Pires, Antonio Pigafeta yang turut serta dalam perjalanan Fernao Magalhaes, pada tanggal 25-27 Desember 1521,menulis jurnal perjalanan itu dan mendeskripsikan beberapa pulau di “sekitar Ambon Lease” yang kita kenal dimasa sekarang.

Pigafeta menulis sebagai berikut52 :

Passing outside the latter on its western side, we laid our course west southwest, and discovered some islets toward the south. And inasmuch as the Malucho pilots told us to go thither, for we were pursuing our course among many islands and shoals, we turned toward the southeast, and encountered an island which lies in a latitude of two degrees toward the Antarctic Pole, and fifty-five leguas from Maluco. It is called Sulach, and its inhabitants are heathens. They have no king, and eat human flesh. They go naked, both men and women, only wearing a bit of bark two fingers wide before their privies. There are many islands there about where the inhabitants eat human flesh. The names of some of them are as follows : Silan, Noselao, Biga, Atulabaou, Leitimor, .... Tenutum, Kalairuru, Mandan, and Benaia

Robertson dalam catatan kakinya53 ( untuk kata-kata yang digaris bawahi) menerangkan wilayah-wilayah tersebut.
Ia secara jujur  memulai dengan nada pesimis, dan menulis demikian :

It is impossible to identify these names with complete assurance (agak mustahil untuk mengidentifikasi nama-nama tempat itu dengan pasti).
The first four probably correspond to the group of islands near Amboina, which contains those of Honimoa, Moelana, Oma, and Noesfa Laut; Leitimor (Ley-timur) is a peninsula of Amboina.
(4 nama pertama mungkin merujuk pada gugusan pulau yang berdekatan dengan pulau Ambon, yaitu Honimoa, Moelana, Oma dan Nusalaut, sedangkan Leitimor adalah salah satu semenanjung/Jazirah di Pulau Ambon)

Robertson hanya menulis demikian, tanpa menunjuk satu demi satu. Maksudnya ia tak menjelaskan kata Silan itu merujuk pada apa dan seterusnya.
Jika kita memperhatikan nama-nama itu, maka hal yang pasti, hanyalah nama Noselau dan Leitimor, itu tidak lain dan tidak mungkin lain, pastilah merujuk pada nama pulau Nusalaut dan Jazirah Leitimor.
Silan, Biga dan Atulabaou juga memiliki kemungkinan yang sama untuk nama-nama pulau yang dirujuk pada catatan kaki Robertson itu.
Itu berarti pulau “Saparua” bisa saja merujuk pada kata Silan,atau Biga atau mungkin saja Atulabaou.

Hal senada  dan sedikit “menjelaskan” juga disampaikan oleh Lord Stanley of Alderley, dalam edisi terjemahan bahasa Inggris atas jurnal perjalanan yang dibuat oleh Pigafetta. Pada bukunya yang berjudul The First Voyage Round the World by Magellan : translated from the account of Pigafetta54  dan terbit tahun 1874 itu, ia memberikan catatan kaki55.
Catatan kaki yang dimaksud adalah pada bagian yang Robertson lakukan seperti tertulis diatas.
Stanley dalam catatan kakinya, menulis demikian :

Comparing this with what the author writer a little further on, there is another proof that he took down the names of the islands, and laid down their position as he thought he understood the pilot who spoke a language which he little understood.he here notes ten islands, and he has drawn six without names to the north of Sulach, where other geographers also lay down a few islets, but of these ten, Tenutum, Kalairuru, Mandan, and Benaia are again named and drawn further on.................

Maksud dari Stanley pada catatan kakinya adalah membandingkan deskripsi Pigafetta dengan penulis-penulis lain yang lebih “modern”, maka Stanley menyimpulkan bahwa Pigafetta melakukan “kekeliruan”
Ia menyebut bahwa ada bukti lain dimana Pigafetta menamakan pulau-pulau itu dan “meletakan” posisi pulau-pulau dimaksud, hanya berdasarkan pemahaman atas bahasa pemandu (dalam pelayaran itu) yang sedikit dimengerti dan terbatas oleh Pigafetta.
Hal ini diperkuat pada kalimat berikutnya : bahwa 10 nama pulau itu, “ternyata” disebutkan Pigafetta kembali dan ditempatkan pada lokasi yang lain lagi.

Penjelasan ini membuat deskripsi Pigafetta dan catatan kaki oleh Robertson menjadi hal yang memungkinkan bahwa kata Silan, Biga dan Atulabaou adalah bukan pulau Saparua.
Pada periode awal ini, yang mungkin sedikit “pasti” adalah apa yang disebut oleh Pires. Jika membaca uraian Pires yang “terperinci”, kita bisa sedikit lebih yakin bahwa kata Vull (dalam teks Pires) adalah nama untuk pulau Saparua.
Pemahaman akan hal itu didasari oleh penulis dengan memperhatikan dan menganalisa 2 faktor.
Faktor pertama adalah “kebiasaan” cara “penulisan” sebuah kata pada masa itu.
Umumnya para penulis di masa itu menulis huruf V, sebagai “pengganti” huruf U atau sebaliknya.
Jika mereka ingin menulis Mollucas, maka mereka menulis Mollvcas. Jika mereka ingin menulis Galvao, maka mereka menulis Galuao
Faktanya bisa dilihat pada judul buku yang ditulis oleh Antonio Galvao/Galvano.
Galvao menulis buku yang terbit pada tahun 1555 dalam bahasa asli Portugis :

Tratado : Que compos o nobre & notauel Capitao Antonio Galuao....................
(Treatise : compose by the noble and remarkable captain Antonio Galvao/Galvano.....)

Buku ini pertama kali diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Richard Hakluyt pada tahun 160156 dengan judul :

“The Discoveries of the World, from their first originall vnto the yeere of our lord 1555, briefly written in the Portugall tongue, by Antonie Galuano, Gouernor of Ternate, the chiefe island of the Malvcas

Perhatikan kata-kata yang digaris bawahi penulis, vnto maksudnya adalah unto, Galuano atau Galuao maksudnya Galvano atau Galvao, Gouernor maksudnya adalah Governor dan Malvcas maksudnya adalah Malucas.
Cara penulisan seperti itu, adalah kebiasaan cara penulisan bahasa “Eropa” pada masa itu.

Faktor kedua adalah hubungan faktor pertama dengan Laporan-laporan para misionaris 25 tahun kemudian setelah periode Pigafetta. Pada periode ini, para misionaris Katholik telah “mengalihkan” perhatian dan ladang penyebaran Injil di wilayah lain, setelah mereka “terusir” dari Ternate. Laporan-laporan dari “ladang” Tuhan yang baru ini dengan analisa lebih lanjut terhadap faktor pertama tersebut.

Untuk memahami konteksnya, kita harus terlebih dahulu memahami “background” sejarahnya, mengapa para misionaris itu beralih ke wilayah lain.
Beberapa tahun setelah tahun 1512 itu (terdamparnya Fransisco Serao), orang Portugis menjadikan Hitu sebagai tempat pengisian air dan tempat menunggu musim yang baik untuk kembali ke Malaka57.
Awalnya hubungan Portugis dengan Hitu berjalan baik, dan awal tahun 1520, mereka membangun sebuah “benteng” kecil disitu.
Beberapa tahun kemudian mereka “bergerak” masuk menuju “kota” Ambon, dan menempati wilayah yang bernama Hukunalo (sekarang bernama Rumah Tiga)58.
Melalui eskalasi “politik” yang di dalamnya melibatkan unsur-unsur seperti patasiwa-patalima dan konflik dengan kekuatan Islam Ambon, Portugis secara perlahan-lahan mulai menanamkan kukunya di dalam kota Ambon. Pada periode ini, para misionaris mulai berdatangan ke pulau Ambon dan melakukan tugas agama, meskipun frekuensinya jarang, namun mereka telah memiliki “markas besarnya” di kota Ambon.  
Di sisi lain, di bagian utara, Portugis dan Spanyol bersaing terus menerus memperebutkan pengaruhnya dalam berhubungan dengan kesultanan Ternate.
Persaingan yang tajam59, dan eskalasi sifat serakah, mengakibatkan Portugis akhirnya tersingkir dari Ternate. Ini dimulai dengan peristiwa terbunuhnya Sultan Ternate, Sultan Hairun pada tahun 157060. Sang Anak, Sultan Baabulah bersumpah membalas dendam kematian ayahnya dan mengusir Portugis dari Ternate61. Usaha-usaha para Misionaris di Ternate dan sekitarnya yang selama ini diberi kemudahan oleh sultan Hairun, dihentikan oleh Baabulah.
Portugis menyingkir ke kota Ambon kemudian mulai berkonsentrasi di kota Ambon, hingga berhasil mendirikan sebuah benteng pada 23 Maret tahun 157562. Benteng itu yang kita kenal sekarang bernama benteng Nieuw Victoria63. Nama asli dari benteng ini adalah “Nossa Senhora da Anunciada” yang bermakna “Sampai di sini Bunda Maria di bangun”64
Para Misionaris kemudian lebih banyak berfokus di kawasan ini.

Peta dari Pedro Reinel (1517)

20an tahun sebelumnya pada 14 Februari 154665 , sang Misionaris terkenal Fransiscus Xaverius tiba di Ambon. Ia bekerja di Ambon dalam periode Februari –Juni 154666.
Sejak itulah, selalu dikirim para misionaris dari kaum Jesuits. Menurut sebuah sumber, dalam rentang periode 1546 – 1577 telah dilakukan pengiriman para Misionaris sebanyak 36 kali 67
Pekerjaan menyebarkan injil yang dilakukan oleh para misionaris ini, hambatan, deskripsi wilayah-wilayah baru tempat mereka bekerja dan hasil pekerjaan mereka, disampaikan lewat surat kepada markas besar mereka di Goa India.
Seperti yang disebut di atas, Fransiscus Xaverius bekerja di wilayah Ambon dan sekitarnya pada periode Februari – Juni 1546, serta periode Januari  – April 154768. Pada periode pertama ini, ia berkunjung ke beberapa negeri di Pulau Ambon, begitu juga di Seram (Negeri Tamilou69), di Pulau Nusalaut dan Pulau Saparua. Di Pulau Saparua, ia disebut berkunjung ke negeri Ullath70.
Namun kunjungannya ke negeri Ullath ini, sedikit “membingungkan” dan beberapa sumber saling “bertentangan”.
Pieter Anton Tiele menyebut Xaverius berkunjung ke negeri Ulate (Ullath) berdasarkan sumber dari Ed. De Vos71.
B.J.J. Visser yang menyebutkan hal sama, juga mengutip dari Tiele, sembari menjelaskan lebih terperinci jalan ceritanya, C. Wessels pun menceritakan hal yang sama.
Namun “anehnya” sumber lain tidak menceritakan hal apa-apa tentang kunjungan Xaverius ke negeri Ullath. Adolph Heuken72 hanya menyebut Xaverius ke Tamilau, kemudian kembali ke Nusalaut dan pulang kembali ke Ambon.
Huberts Jacobs yang “mempresentasikan” surat-surat dari Xaverius yang ditulis dari Ambon73, juga tidak menyebut tentang kunjungannya ke negeri Ullath.
Memang dalam sumber Jacobs, ia menyampaikan ada beberapa surat Xaverius yang hilang, namun agak “aneh” jika kunjungan “sepenting” itu tidak tercatat atau tidak disebutkan oleh mereka berdua.
Atas desakan Xaverius, setahun kemudian pada 1548 datang “kloter” kedua di pulau Ambon, salah satu diantara mereka adalah Frater Nuno Ribeiro.
Nuno Ribeiro bertugas di Pulau Ambon selama 2 tahun hingga ia meninggal pada 23 Agustus 154974, kemungkinan besar di racun75.
Selama setahun Ribeiro bekerja di Pulau Ambon, ia diduga76 berkunjung ke daerah “lease”, sayangnya surat dan register baptisan yang dibuatnya hilang77.
Dugaan kunjungan Ribeiro ke daerah “Lease” itu berasal dari isi surat Frater Fransisco Perez yang ditulis di Malaka pertanggal 24 November 1550.

Huberts Jacobs dalam catatan kaki tentang kalimat dalam isi surat Perez ini menulis :

The words maybe suggest that Ribeiro did not always remain in the island Ambon but went visiting other islands, probably the Uliaser and perhaps Buru.
(penggalan kalimat itu, mungkin memberi kesan bahwa Ribeiro tidak selalu/ tidak bekerja hanya di pulau Ambon, tetapi juga berkunjung ke pulau-pulau lain, mungkin ke Uliaser dan Buru

Huberts Jacobs mengutip sumber dari Joanes Alphonsu Polanco78 untuk “memperkuat” catatan kakinya.

Polanco menulis :

Ab una enim insula aliam atque aliam transeundum erat ----- but also the villages on ambon itself were visited by vessel (tapi juga negeri-negeri (lain) di Ambon dikunjungi sendiri olehnya (Ribeiro) dengan menggunakan perahu.

Namun sayangnya, seperti yang disebut oleh Huberts sendiri, bahwa surat dari Ribeiro telah hilang, sehingga kita tak bisa mengetahui kunjungan dan penyebutan nama “Lease” dalam suratnya itu.
6 tahun kemudian, mungkin untuk pertama kalinya nama pulau “Saparua” disebut atau ditulis secara eksplisit dalam laporan atau sumber, nama yang di masa sekarang kita kenal atau ketahui dengan nama Lease.
Nama Lease secara eksplisit tertulis didalam Surat tertanggal 15 November 1556 dari Scholastic Louis Frois SJ dan Baltasar Dias  kepada “Kaum” Jesuits di Portugal79. Surat ini ditulis di Malaka dan berisikan “55 point”. Nama Lease serta nama Negeri Siri-Sori (Nama negeri di Pulau Saparua), tertulis pada point ke-4880.

Isi dari poin 48 tersebut sebagai berikut :

Dez legoas desta ilha estao as terras D’Amboino onde ha muitos..............Alem desta esta outra dahi a huma legoa, a qual toda he de christao, chama-sse Liase ................... ai hi outra que se chama Sorecore.......................

Huberts Jacobs memberikan catatan kaki pada kata yang digaris bawahi oleh penulis (dalam teks surat itu, catatan kaki tentang kedua kata ini diberi no 74 dan 75).

Huberts menulis demikian (no 74) :

Liasse, Lease or Ulliase(r) is the old native name of the island Saparua, the middle and largest of the three islands of Ambon. but here it evidently points to Haruku, the nearest to Ambon of the three, whereas for Saparua the nama Sorecore is reserved after an important kampong on it, which became the modern double town of Sirisori-serani and Sirisori-islam. The collective name Ulliaser for all the three of them together, which is common now, is said to date only from the Dutch period

(Liasse, Lease atau Ulliase(r) adalah nama lama atau “asli” dari pulau Saparua, pulau kedua (di bagian tengah) dan terbesar di antara 3 pulau dari gugusan pulau Ambon. tetapi di sini (maksud dari kata di sini – here it, adalah berdasarkan/menurut isi surat), nama Liasse “faktanya” ditujukan pada pulau Haruku, pulau yang lebih dekat ke pulau Ambon, sedangkan (yang sebenarnya/seharusnya) untuk pulau Saparua (Liasse), dirujuk (“diwakili”) oleh Sorecore yang disebut belakangan, adalah nama negeri  penting (di masa itu) yang di masa sekarang menjadi 2 negeri yaitu Sirisori Kristen dan Sirisori Islam, dan terletak di Pulau Saparua sendiri 
Nama Ulliaser untuk gugusan ketiga pulau ini yang di masa sekarang dikenal dan dipahami, hanya disebutkan/digunakan sejak masa Belanda (VOC dan Hindia Belanda).

Huberts Jacobs juga mengutip sumber dari G.W.W.C. van Hoevell81 dan Encyclopaedie van Nederlands Indie82 untuk “membuktikan” lebih jauh catatan kakinya.

Jadi bisa dikatakan, bahwa sumber di atas, adalah “bukti pertama” nama “Lease” dengan seluruh varian penulisannya telah ada, minimal di masa itu, atau beberapa generasi sebelum itu, bahkan mungkin saja puluhan-ratusan tahun sebelumnya, meski memang tak ditulis secara eksplisit dalam laporan, dokumen.
Pemahaman kedua dari pembacaan sumber diatas, membuktikan hal kedua, bahwa sejak dulu, minimal di masa awal Portugis, nama “Lease”, adalah nama untuk Pulau “Saparua” dan bukan untuk nama gugusan 3 buah pulau, dengan istilah Lease yang kita pahami di masa sekarang.
Pemahaman ketiga bahwa nama “Lease” pada sumber di atas, akan menjadi entri point untuk mengaitkan dan menganalisa lebih lanjut hubungan kata ini dengan nama Vull yang digunakan oleh Pires, nama Nucelloel yang disebut oleh Dourado, Nama Nunciuel oleh Castanheda, bahkan nama Muar oleh Rouffaer, Eerde, Pigeaud dan Fraasen.

Bukti-bukti selanjutnya akan dipaparkan oleh penulis untuk menyajikan serta “menguatkan” ketiga pemahaman ini.

==== bersambung ====

 

Catatan Kaki

1.     Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura/Review of Culture, International Edition, sรฉrie 111, 39, 2011, pp. 103-20

·         Lobato, Manuel, The Introduction of Islam in the Maluku Islands (Eastern Indonesia): Early Iberian Evidence and Oral Traditions, Estudos Orientas Universidade Catolica Editora, pp 65-74

·         Tiele, Pieter Anthon, De Europeers in den Malaischen Archipel, eerste gedelte (1509-1529) (dimuat pada Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1877, hlm 321-420)

·         De Argensola, Bartholemew Leonardo. The discovery and conquest of the Moluco and Philipine Islands, (edisi Inggrisnya diterjemahkan dan diterbitkan ulang London Printed, 1708)

2.     Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura/Review of Culture, International Edition, sรฉrie 111, 39, 2011, pp. 104

3.     Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura/Review of Culture, International Edition, sรฉrie 111, 39, 2011, pp. 105

4.     Idem (hlm 105-106)

5.     Idem (hlm 106)

6.     Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, hlm 7

7.     Idem (hlm 40)

8.     The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume)

9.     The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, introduction hlm xxiv)

10.  Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura / Review of Culture, International Edition, sรฉrie 111, 39, 2011, pp. 106

11.  Idem

12.  Lobato, Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura/Review of Culture, International Edition, sรฉrie 111, 39, 2011, pp. 107 – 108

·         The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, fifth book,

·         Plate xxvii, hlm 209)

·         Assemblage of Four Sketches from Fransisco Rodrigues’s rutter of the east, plate III (ca 1513) (dimuat oleh F.R. Luis Felipe, Thomas, The Image of Archipelago in Portuguese Cartography of the 16th and early 17th centuries, Archipel, vol 49, hal 99)

13.  The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, fifth book, hlm 211)

14.  The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, fifth book, hlm 212)

15.  Dames, Mansel Longworth, The Book of Duarte Barbosa (edisi terjemahan bahasa Inggris dari teks Portugis, two volume, London)

16.  Dames, Mansel Longworth, The Book of Duarte Barbosa (edisi terjemahan bahasa Inggris dari teks Portugis,  volume 2, hlm 199)

17.  Brandes, J.L.A, Nagarakrtagama, Lofdicht van Prapantja op Koning Radjasanagara, Hayam Wuruk van Madjapahit (dimuat dalam Verhandelingen van Het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van kunsten en wetenschappen, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Batavia, Albrecht & Co, volume 54, 1902)

·         Kern, H. De Nagarakrtagama, Oudjavaansche Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Madjapahit door Prapanca, 128 Caka = 1365 AD (dimuat dalam Verspreide Geschriften, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, vol 7-8, 1917 – 1918)

·         Kern, H dan Krom, N.J. Het Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365), s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1919

·         Poerbatjaraka, R.Ng.”Aaanteekeningen op de Nagarakertagama.: BKI jilid 80 (1924), hal 219-286

·         Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol IV, (commentaries and recapitulation), The Hague, Martinus Nijhoff,  1962, hlm 34

·         Muljana, Slamet Nagarakertagama, yang diperbaharui ke dalam Bahasa Indonesia, Djakarta, Siliwangi, 1953

·         Muljana Slamet, Nagara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta, Bhratara, 1979

·         (buku ini kemudian dicetak ulang dengan judul baru: Tafsir sejarah Nagara Kretagama dan diterbitkan oleh LKiS, Jogjakarta, 2006 dan 2007)

·         Robson, S. Desawarnan (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca, Leiden, KITLV Press, 1995

18.  Muljana Slamet, Nagara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta, Bhratara, 1979

(buku ini kemudian dicetak ulang dengan judul baru: Tafsir sejarah Nagara Kretagama dan diterbitkan oleh LKiS, Jogjakarta, 2006 dan 2007)

·         Robson, S. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca, Leiden, KITLV Press, 1995

·         https://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama

19.  Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol I, The Hague, Martinus Nijhoff,  1960, hlm 72 - 75

·         Robson, S. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca, Leiden, KITLV Press, 1995, hlm 92 - 98

·         https://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama

·         Muljana Slamet, Nagara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta, Bhratara, 1979

·         (buku ini kemudian dicetak ulang dengan judul baru: Tafsir sejarah Nagara Kretagama dan diterbitkan oleh LKiS, Jogjakarta, 2006 dan 2007)

20.  https://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama

·         Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol I, The Hague, Martinus Nijhoff,  1960, Introduction, hal XI

21.  Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol I, The Hague, Martinus Nijhoff,  1960, Introduction, hal XII

·         https://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama

22.  https://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Nagarakretagama

23.  Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol I, The Hague, Martinus Nijhoff,  1960, hlm 11 - 12

·         Robson, S. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca, Leiden, KITLV Press, 1995, 33-35

·         Riana, I Ketut, Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit, Penerbit Kompas, Agustus 2009 (Cetakan ke-3),  hlm 96 - 110

·         http://cirebonan.org/naskah-kuno-negarakertagama/

24.  Robson, S. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca, Leiden, KITLV Press, 1995, 33-35

25.  Muljana Slamet, Nagara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta, Bhratara, 1979 (buku ini kemudian dicetak ulang dengan judul baru: Tafsir sejarah Nagara Kretagama dan diterbitkan oleh LKiS, Jogjakarta, 2006 dan 2007)

·         Riana, I Ketut, Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit, Penerbit Kompas, Agustus 2009 (Cetakan ke-3),  hlm 96-110

26.  Rouffaer, G.P. Tochten (Oudste Ondekkings) tot 1497 (dimuat dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie, deel IV, S,Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1905, hlm 385)

·         Rouffaer, G.P. De Javaansche naam “Seran” van Z.W. Nieuw Guinea voor 1545 en een Rapport van Rumphius over die kust van 1684 (dimuat dalam Tijdschrift van het Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e serie, XXV, 1908, hlm 308-347)

·         Eerde, J.C. van – De Madjapahitsche Onderhoorigheden Goeroen en Seran, (dimuat dalam  Tijdschrift van het Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e serie XXVIII, 1911, hlm 219-233)

·         Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol IV (commentaries and recapitulation), hlm 34

·         Fraasen, Fr.Chr, Drie Plaatsnamen uit Oost-Indonesie in de Nagara-Kertagama : Galiyao, Muar en Wwanin en de vroege handels-geschiedenis van de Ambonse eilanden (dimuat dalam Bijdragen tot de taal,land en volkenkunde, deel 123, 1976, hal 293-305)

27.  Rouffaer, G.P. Tochten (Oudste Ondekkings) tot 1497 (dimuat dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie, deel IV, S,Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1905, hlm 385)

28.  Rouffaer, G.P. De Javaansche naam “Seran” van Z.W. Nieuw Guinea voor 1545 en een Rapport van Rumphius over die kust van 1684 (dimuat dalam Tijdschrift van het Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e serie, XXV, 1908, hlm 308-347)

29.  Eerde, J.C. van – De Madjapahitsche Onderhoorigheden Goeroen en Seran, (dimuat dalam  Tijdschrift van het Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2e serie XXVIII, 1911, hlm 219-233)

30.  Veth, P.J, De Onderhoorigheden van Madjapahit (dimuat dalam Tijdschrift van nederlandsch Indie, Jaargang 1867, Deel 1, hal 88 – 97, Deel 2, hlm 96 – 98)

31.  Dulaurier, E (dimuat dalam Journal Asiatique van Juni 1846, 4me Serie, Tome VII, P.544 - 571)

32.  Pijnappel, Jan, (dimuat dalam Journal Asiatique 1846, 4me Serie, Tome CII, p.544)

33.  Logan, J.R, Antiquity of Chinese Trade with India and Indian Archipelago (dimuat dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Vol 2, Singapore, 1848, hlm 604 dan 605)

34.  Krom, N.J. Oudheidkundige kaart van den Archipel, schaal 1:10.000.000 (hlm 507 pada buku N.J. Krom – lihat cat kaki no 23)

35.  Krom, N.J. Hindoe-Javaansche Geschiedenis, The Hague, 1926 (edisi ke-1 dicetak tahun 1926, edisi ke-2 dicetak ulang tahun 1931)

36.  Pigeaud, Theodore.G.Th. Java in the 14th Century A study in cultural history Nagara-Kertagama, Vol IV (commentaries and recapitulation), hlm 34

§  Buku ini secara lengkap terdiri dari 5 volume, dan volume terakhir terbit pada tahun 1963

37.  Pigeaud, Theodore, G.Th, Outline Map of the Indian Archipelago and Malaya in the 14th century (map iv pada lampiran buku ini, terbit tahun 1963)

38.  Fraasen, Fr.Chr, Drie Plaatsnamen uit Oost-Indonesie in de Nagara-Kertagama : Galiyao, Muar en Wwanin en de vroege handels-geschiedenis van de Ambonse eilanden (dimuat dalam Bijdragen tot de taal,land en volkenkunde, deel 123, 1976, hlm 293-305)

39.  The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, fifth book, hlm 210)

40.  Tiele, Pieter Anthon, De Europeers in den Malaischen Archipel, eerste gedelte (1509 – 1529) ( dimuat pada Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1877, hlm 357)

41.  Schurhammer, G, Frans Xaver, sein Leben en Seine zeit. Zweiter band, eerster halbband Indien en Indonesien, 1541-1547

42.  Jacobs, T.Th.Th. M, A Treatise on the Molucas (ca. 1544) Probably the prelimanary version of Antonio Galvao,s lost historia das Molucas

43.  Smith, Marie Christine Boulan, We of the Banyan Tree, tradition of origin of the Alune of West Seram, catatan kaki no 10, hal 32 (thesis yang dipertahankan pada Mei 1998 di The Australian National University)

44.  Rumphius, Georgius Everhardus, De Ambonse Historie, deel 1

45.  Rumphius, Georgius Everhardus, De Ambonse Historie, deel 1 (hlm 4)

46.  The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, fifth book, hlm 210, catatan kaki tentang kata Bemuaor)

47.  The Suma oriental of Tome Pires, Tome Pires 1512-1515, (edisi bahasa inggrisnya diterjemahkan oleh Armando Cortesao, London, 1944, two volume, first volume, sixth book, hlm 232)

48.  Blagden, C.O. Notes on Malay History (dimuat dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society, vol 153, 1909, hal 139-162. Kata Muar berada pada hlm 149)

49.  Brief van Steven van der Haghen aan Bewindhebbers der Oost Indie Compagnie, 10 Maret 1616 (dimuat oleh P.A.Tiele dalam Bouwstoffen voor geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel, Eerste deel, P.A. Tiele, Martinus Nijhoff, 1886, hlm 119)

50.  Catatan kaki no 23

51.  de Castanheda, Fernao Lopes, Historia do descobrimento & conquista da India pelos Portugueses, Livro VIII, 1561

·         Dourado, Fernao vas. Atlas de ........Reproducao fidelissima do examplar da torre da tombo datado da Goa, 1571

52.  Pigafetta, Antonio. Magellan’s voyage around the world (edisi terjemahan bahasa Inggris oleh James Alexander Robertson, two volume, The Arthur H Clark Company, Cleveland, 1906)

53.  Pigafetta, Antonio. Magellan’s voyage around the world (edisi terjemahan bahasa Inggris oleh James Alexander Robertson, volume 2, The Arthur H Clark Company, Cleveland,1906, hlm 148-149, dan cat kaki no 553 pada hlm 222)

54.  Alderley, Lord Stanley of. The First Voyage Round the World by Magellan : translated from account from Pigafetta, The Hakluyt Society, London, 1874

55.  Alderley, Lord Stanley of. The First Voyage Round the World by Magellan : translated from account from Pigafetta, The Hakluyt Society, catatan kaki no 2, hlm 229, London, 1874

56.  Hakluyt, Richard, The Discoveries of the World, from their first originall vnto the yeere of our lord 1555, briefly written in the Portugall tongue, by Antonie Galuano, Gouernor of Ternate, the chiefe island of the Malvcas, G. Bishop, London, 1601

57.  Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 33)

58.  Idem

59.  Argensola, Bartholemew Leonardo, The Discovery and Conquest of The Molucco and Philipine Island,  hlm 30

60.  Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 44)

·         Argensola, Bartholemew Leonardo, The Discovery and Conquest of The Molucco and Philipine Island, hlm 42

·         Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, hlm 49-50

61.  Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, hlm 50

62.  Lemos, Estevao de Extracto dalgumas causas que Goncalo Pereira ..............., 1580, hlm 470-471

·         Maffei, Ioan Petri SJ, Relacao Vasconcelos, 1600, hlm 319-320

63.  De Wall, W.I. van, Het Kasteel Nieuw-Victoria ter Hoofdplaats Amboina (dimuat dalam Oudheidkundig Verslag, 1922, hlm 88)

64.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 2 (1577-1606 ), Jesuit Historical Institute, Roma, 1980, chapter I (General Introduction) hlm 4

§  Hubert Jacobs, SJ, Wanneer werd de stad Ambon gesticht?, bij een vierde eeuwfeest (dimuat dalam (Bijdragen tot de taal-land, volkenkunde, 131, 1971, Leiden, hlm 427-460

65.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hlm 15

·         Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 34)

66.  Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 36)

67.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hlm 18

68.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hlm 19

69.  Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 37)

70.  Tiele, Pieter Antonie, De Europeers in den Malaischen Archipel, deerde deel (1541 – 1555), 1880, hlm 329

·         Visser, B.J.J. Onder Portugeesch-Spaansche vlag : de Katholieke missie van Indonesie (1511-1605), Amsterdam, 1925, hlm 45-47

·         Wessels, C. De Geschiedenis der RK Missie in Amboina (1546-1605), Nijmegen Utrecht, 1926, hlm 14-15

71.  Vos, Ed de. Leben und Briefen des H. Xaverius (Regensb, 1877), hlm 315-317

72.  Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 37 - 38)

73.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter VI  (Documents), hlm 1-22

74.  Wessels, C. De Geschiedenis der RK Missie in Amboina (1546-1605), Nijmegen Utrecht, 1926, hlm 23

·         Heuken, Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hlm 40)

75.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hlm 21

76.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter VI (Documents), cat kaki no 8, hlm 83

77.  Catatan kaki no 75

78.  Polanco, Joanes Alphoncus, Vita Ignatii Loiolae ........... (buku ini lebih dikenal atau secara umum dikenal dengan judul Chronicon), 6 volume, Matriti, 1894-1898 (Huberts mengutip dari vol 1 hlm 476)

79.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter VI (Documents), hlm 175-206

80.  Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577), Institutum Historicum Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter VI (Documents), cat kaki no 74 dan 75, hlm 203

81.  Hoevell, G.W.W.C. Baron van, Ambon en meer Bepaaldelijk de Oeliasers : Geographisch, Ethnographisch, Politisch, en Historich, Bluse en van Braam, Dordrecht, 187, hlm 12

82.  Encyclopaedie van Nederlandsch Indie deel 3, hlm 54