Senin, 14 Oktober 2019

Teka-teki (tentang) suatu Gelar yang disandang oleh “pemimpin” di suatu Negeri :


Penggunaan suatu Gelar dalam relasi subordinasi politis
di Wilayah Maluku dan sepanjang pantai (pulau) Papua 
 
Oleh Roy Frank Ellen
 
Titles are shadows, crowns are empty thing1
(Gelar cuma bayang-bayang, Mahkota hanyalah kehampaan)a
 
Roy Frank Ellen

A.      Kata Pengantar

Jika disebutkan kata Raja, pastilah kita tahu arti atau makna dari kata itu. Pada masa sekarang, semua pemimpin dari suatu negeri/desa, terkhususnya di Maluku Tengah, semua menggunakan gelar Raja. Apalagi setelah diberlakukannya Peraturan Daerah Maluku Tengah No VI/2006, semua negeri ramai-ramai dan pada akhirnya menggunakan gelar Raja bagi pemimpin negerinya. Penggunaan gelar raja secara umum ini, sangat “kacau” jika kita mau kembali memahami proses kesejarahan yang sangat panjang, khususnya pada periode kolonial. Tidak semua negeri (negorij), pemimpin tertingginya menyandang gelar Raja pada mulanya. Selain gelar Raja, ada juga gelar Pattij, dan ada juga gelar Orang Kaya.
Jika kita melokalisir pemakaian gelar-gelar ini pada pulau Saparua, yang terdiri dari 16 negeri/desa, tidak semua negeri menyandang gelar Raja untuk pemimpinnya, ada beberapa negeri yang menyandang gelar Pattij, ada juga yang menggunakan gelar orang Kaya.
Jika merujuk pada sumber-sumber kolonial paling awal, misalnya saja negeri Ullath, Paperu, Tuhaha, pemimpinnya bergelar Raja (sumber tahun 1636b), sedangkan Siri Sori dan Haria menyandang gelar Pattij (sumber tahun 1636), Itawaka menyandang gelar Orang Kaya (sumber tahun 1631), Booi menyandang gelar Pattij (sumber tahun 1621). Negeri Saparua, secara eksplisit pemimpin negerinya disebut Raja pada arsip VOC tahun 1714 dan 1715c, meskipun pada sumber lainnya, gelar ini telah digunakan/telah diketahui akhir abad 17d.
Namun, terminologi Raja, Pattij dan Orang Kaya, bukanlah terminologi asli bahasa Maluku. Gelar-gelar ini ditengarai berasal dari bahasa Melayu. Roy F Ellen, seorang profesor antropologi dan human ekologi asal Universitas Kent Inggris, yang banyak menulis artikel dan juga buku tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia Maluku, menelusuri asal usul dan jejak sejarahnya penggunaan gelar-gelar ini. Artikel yang kita baca ini, naskah aslinya dalam bahasa Inggris dengan judul Conundrum about Panjandrums : On the Use of Titles in the Relations of Political Subordination in the Moluccas and along the Papuan Coast, yang ia tulis dan dipublikasikan pada Indonesia No 41 edisi April 1986, halaman 46-62.
Memang kajian Ellen ini, fokus lokasinya bukan di Maluku Tengah, khususnya di gugusan Lease, namun wilayah Maluku secara umum, dan lebih banyak berfokus pada wilayah tenggara pulau Seram dan sepanjang pantai/pesisir Papua. Meski begitu, menarik membaca kajian sejarah ini, dan memahami sejarah “fluktuasi” pemakaian gelar-gelar bersifat “kebangsawanan” lokal ini.  Minimal kita lebih mengetahui jejak-jejak sejarah dan memahami secara global “tarik ulur” beberapa faktor, antara lain faktor bahasa, perdagangan, kekuasaan serta sistim kolonial yang bercampur baur dan berujung pada gelar yang kita terima dan gunakan secara umum di masa kini.
Kami sekali lagi memberanikan menerjemahkan artikel ini ke bahasa Indonesia, karena mempertimbangkan, mungkin banyak orang “awam” yang belum membaca artikel ini dalam bahasa aslinya, sehingga dengan terjemahan bahasa Indonesia, kita lebih banyak mengetahui. Selain itu, alasan lain adalah menghadirkan bacaan yang “berkelas” hasil kajian seorang ahli.
Perlu juga dijelaskan bahwa Ellen memberikan catatan kaki sebanyak 96 catatan kaki pada naskah aslinya, namun terjemahan ini, kami hanya menulis 95 catatan kaki. Hal ini karena catatan kaki no 1 pada naskah bahasa Inggris, hanyalah berupa ucapan terima kasih penulis kepada beberapa sejarahwan yang turut “mengomentari” draft awal artikel, juga memberikan referensi-referensi kepada penulis untuk “menyempurnakan” artikelnya. Kami merasa “tidak perlu” untuk menggunakan catatan kaki itu dalam terjemahan ini.
Catatan kaki dari penulis, kami tandai menggunakan angka, sedangkan catatan tambahan dari kami, ditandai dengan huruf. Catatan tambahan dari kami, hanyalah bersifat “pelengkap” saja untuk menjelaskan lebih jauh, maksud dari penulis atau hal yang kami rasa perlu untuk dijelaskan.
Akhir kata, selamat membaca.... selamat menikmati... semoga semakin banyak yang diketahui... semakin kita lebih “dewasa” dalam bersejarah dan lebih mengenal diri kita sendiri.....


B.      Terjemahan
 
 
Siapa pun orangnya yang “menguasai” berbagai literatur etnografi dan kesejarahan dunia Melayu, akan merasa “frustrasi” dan “bingung” dengan terminologi Orang Kaya.
Dalam bentuk tertulis, istilah ini merujuk pada beragam bentuk tulisan seperti “orang kaja”, “orangquai”, “orangcaij”, “orangcay”, “orangkaij”, atau “orang caija”.
Kata berbahasa Melayu ini, umumnya diterjemahkan secara harfiah sebagai “orang kaya atau berpengaruh”2, dan muncul dalam sumber-sumber Portugis, juga  sumber-sumber Belanda dan Inggris, serta sumber-sumber yang diterbitkan.  
Masalahnya adalah bahwa di sepanjang sejarah dan rentang wilayah geografis, penggunaan istilah ini dipakai/digunakan untuk berbagai figur di banyak tempat yang berbeda-beda, mulai dari kaum bangsawan, para pedagang kaya, orangtua, dan pejabat kolonial. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, jika istilah ini membingungkan, seperti yang banyak dijelaskan oleh para sarjana bahwa kata ini digunakan untuk para pedagang, administratur dan penduduk/masyarakat pribumi.
Dalam artikel ini, saya hanya membatasi diri pada kepulauan Maluku dan wilayah-wilayah di dalamnya, serta lebih berfokus pada wilayah-wilayah kepulauan pemukiman dan wilayah daratan Pulau Seram bagian tenggara, dan pada bagian paling barat dari Pulau Papua (Irian Jaya) yang sering digambarkan pada dokumen-dokumen paling awal sebagai “Pantai/pesisir Pulau Papua” (lihat peta 1). Dengan cara ini, setidaknya saya (penulis) bisa sedikit menjawab teka-teki tentang perubahan dan perpindahan bentuk gelar orang kaya seperti yang terlihat jelas di satu bagian wilayah itu.
Penggunaan pada Abad Keenambelas dan Ketujuh Belas: Uraian
dan Kesalahpahaman tentang Budaya Politik yang tidak dikenal

Ketika orang Eropa pertama kali tiba di Nusantara bagian timur, para penerjemah dan pemandu orang Eropa itu, sering menggambarkan para penguasa lokal sebagai raja (raje, radja) dan orang kaya.
Istilah-istilah ini, awalnya diterjemahkan langsung kedalam “lidah orang bule” untuk memudahkan penulisan laporan-laporan tertulis. Dokumen-dokumen awal Portugis, misalnya, istilah umum “raja” (rei, el rey, rayall [real])3, digunakan untuk berbagai jenis pemimpin politik. Namun demikian, istilah lokal ternyata cukup cepat muncul, mungkin disebabkan para penulis segera menyadari bahwa tidaklah mudah membuat penyamaan gelar-gelar  diantara orang barat dan timur, atau karena mereka tidak ingin memaksakan penyamaan itu, yang mungkin memiliki implikasi politis dan moral.
Antonio Galvao, yang mengunjungi Maluku sekitar tahun 1544, menyebutkan sejumlah gelar-gelar lokal dan berupaya untuk membuat kesamaan dengan gelar-gelar yang ada di Eropa. Maka dengan demikian, Raja dari (kesultanan) Ternate dideskripsikan sebagai kolono/kolano  dan “dukes” sebagai sengaji, dimana keduanya merupakan istilah asli dari Ternate. Namun, ia juga menyebut tentang “knights” (marsaoli) dan “gentlemen” (menterie) dan juga menggunakan “raja” untuk Ratu4. Pada laporan-laporan orang Portugis, pemimpin orang-orang pribumi  tidak disebut raja namun disebut “regedor”.
Berbeda dengan istilah kapitan (kapitao), “captain”, “chief of commander”, dan ”mayor” (yang nanti akan kami jelaskan), ini bukanlah istilah yang diperkenalkan kedalam kosakata politik lokal, setidaknya untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Istilah “orang kaya” jarang muncul dalam sumber-sumber Portugis, namun secara umum mulai muncul pada sumber-sumber VOC.  Misalnya, Corpus Diplomaticum untuk tahun-tahun awal Belanda melakukan kontak, berisikan banyak informasi seperti berikut:

Van Van Speult, 23 Dec. 1624 orang kaya Sobo, wegerse die Ceram Laoet, en orang kaja Simon Bal, uit den naam, en van wegen die ...... (dan seterusnya)5

Demikian pula, Haga6 mengacu pada kontrak yang dibuat oleh Van Speult pada tanggal 23 Desember 1624 itu, mencantumkan semua penguasa (atau setidaknya orang-orang penting/berpengaruh) di Seram Laut, Heralieu, Keffing, Goram, Guli-guli, Urang, Coac [Kuwaku], sebagai “orang kaya”.
Dalam dokumen tahun 1637, “hoofd regent” Seram Laut disebut sebagai ”orang kaja Baud”7. Keijts, yang menulis agak kemudian, pada tahun 16788 menggunakan gelar “orang kaya” pada umumnya untuk merujuk pada orang penting/berpengaruh atau pedagang (berasal dari Maluku) yang tinggal dan mengendalikan perdagangan di semenanjung Onin, Papua bagian barat.  Ia juga menyebut “orang kaya” Keffing9. Rumphius menggunakan gelar “orang kaya” dalam bukunya De generale Landbeschrijving10, untuk menggambarkan berbagai pemimpin politik di kepulauan Seram Laut, dan tampaknya menggunakan gelar “orangcaijen” dalam bentuk jamak untuk bahasa Belanda yang merujuk untuk semua figur penting/berpengaruh.  Ada banyak referensi serupa di sumber-sumber cetakan masa awal, dan rasanya tidak penting untuk membuat daftar referensi lebih banyak lagi dari yang telah ada dalam artikel ini.

Terminologi “orang kaya” juga diterapkan pada kepemimpinan politik yang berbeda-beda di kepulauan Banda, merujuk pada “kelompok sesepuh/para tetua”. Di sini, setiap negeri/desa memiliki seorang pemimpin yang berkuasa, yang pada saat Portugis muncul dan mengadakan kontak, memiliki hak monopoli ekspor rempah-rempah. Namun, sumber-sumber Portugis terbatas dalam hal ini. Bagi Hanna11, yang menulis berdasarkan laporan-laporan Belanda, gelar itu adalah “ suatu istilah yang menjadi penanda untuk kelompok penduduk yang terpenting/berpengaruh, dan oleh karena itu adalah para pimpinan”, yang sering bertemu/berkumpul di “ dewan/lembaga” untuk menangani masalah dan menyelesaikan perselisihan.  Kami (penulis) tidak memiliki bukti, yang berkaitan dengan terminologi asli Banda untuk gelar ini. Di beberapa kalangan, gelar “orang kaya”, meskipun bukan terminologi asli Banda, telah melekat khusus pada jenis sesuatu kekuasaan, dalam komunitas negeri “republik” ini, yang tampaknya secara implisit mencontoh “republik” Italia pada akhir abad pertengahan. 

Ceram Laut (1633)

Karena kekuasan tampaknya berasal dari kekayaan, Villiers12 menggambarkan hal ini sebagai “ aristokrat kaum pedagang”, suatu kesimpulan yang saya yakini (penulis) sangat menyesatkan. Di Banda sebelum tahun 1621, kami (penulis) juga menemukan gelar syahbandar, “ kepala pelabuhan”13. Adalah figur-figur melalui cara ini yang merujuk, mungkin kepada orang asing yang memiliki peran untuk mengatur hubungan dalam komunitas perdagangan, dan seringkali mereka ditunjuk untuk kelompok pedagang etnis tertentu oleh para penguasa, seperti di Jawa14.

Di Ambon, pada awal abad ke-17, “orang kaya” bertindak sebagai perantara-perantara, untuk mempercepat penjualan pakaian kepada masyarakat lokal dengan persentase tertentu. Komisi/persenan ini meningkat pertahun, jika produsen gagal menyerahkan panen cengkihnya dengan memuaskan, sampai dia akhirnya menjadi budak-hutang. Menurut Gijsels15, dari siapa yang kami dapatkan informasi, hanya dua “orang kaya” saat ini (di masa Gijsels – 1620anf) yang benar-benar orang Ambon – satu berasal dari Seram – sementara yang lain berasal dari keturunan campuran Jawa-Ambon. “Orang kaya” seperti itu dicintai, nyaris disembah.
Di Ambon pada saat ini, istilah “orang kaya” tampaknya terbiasa dipakai untuk merujuk pada kaum pedagang, yang juga bisa diucapkan tidak dengan cara lain, serta juga merujuk pada para penguasa lokal. Pada sisi yang lain, istilah-istilah lokal juga digunakan. Misalnya, pada akhir abad ke-15 di Hitu, suatu tempat yang di masa kini berada di Pulau Ambon, kaum keluarga bangsawan dipimpin oleh upu dan pengelompokan upu (uli) dikepalai/dipimpin oleh seorang primus inter pares yang disebut tamata-ela atau tamaela, serta kelompok-kelompok yang termasuk dengan level lebih tinggi, dipimpin oleh amanopunyo. Menariknya (meskipun mungkin tidaklah mengejutkan), ada juga bahasa Melayu yang “sejajar” untuk gelar-gelar di berbagai tingkatan ini : kepala negeri (upu), kepala uli, dan tingkat empat perdana (plus Raja Hitu, orang kaya Bulang dan orang kaya Ternate). Pada seluruh ketiga tingkatan (khususnya di level atas), ada individu yang mengklaim merupakan keturunan asing, tetapi garis (keturunannya) pasti telah bercampur16.
Dengan demikian, istilah “orang kaya” digunakan dengan berbagai cara untuk merujuk pada pemimpin/kepala yang dianggap berasal dari kaum pribumi/masyarakat asli, pemimpin-pemimpin  tradisional atau jenis-jenis “orang penting/berpengaruh” yang memiliki kekuasaan/otoritas dengan memanipulasi sumber daya dengan cara yang disetujui masyarakat pribumi, atau figur-figur lokal yang memperoleh pengaruh karena menjadi pedagang dalam perdagangan barang-barang dan para pedagang asing. Namun, kita tidak bisa berasumsi bahwa semua kategori ini selalu terpisah satu sama lain. Tiele17, yang mengutip dari sumber-sumber Belanda abad 17, menunjukan bahwa istilah itu mulai digunakan secara umum dari periode kontak paling awal :
                    Deselve Keffingers hebben ons ter plaetse voornoemt grote dienst gedaen,
                    die oock eenige Orangquais van hare cleene negorij hebben doen compareren
                    ende belooft alle trouwe aen t fort te bewijsen
                   
Pada pertengahan abad ke-17, kata itu digunakan secara rutin dalam bahasa Belanda dan juga dalam bahasa Jerman18, sebagai istilah umum untuk figur (laki-laki) yang berpengaruh. Hal ini tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa orang-orang Belanda menggunakan istilah itu dan menerapkannya secara meluas kepada setiap figur pribumi yang berkuasa, atau orang/figur yang ingin mereka berikan kekuasaan, dalam hal-hal pengelolaan urusan politik. Namun, juga terdapat bukti bahwa beberapa gelar dalam bahasa Melayu sudah menjadi bagian dari bahasa lokal sebelum kedatangan orang Eropa19.
“Raja” dan “orang kaya” adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu. Kata-kata itu tersebar luas penggunaannya, sebagian karena dalam perdagangan, bahasa Melayu merupakan bahasa utama percakapan. Juga terdapat bukti, bahwa orang Maluku menggunakan bahasa Melayu untuk berurusan dengan dunia luar, minimal sejak tahun 1514, dimana pada tahun ini terjemahan bahasa Portugis atas 2 surat berbahasa Melayu dari Raja/Sultan Ternate ditemukan di Malaka20.
Namun, sangat logis untuk menduga bahwa bahasa Melayu telah menjadi bahasa perdagangan selama beberapa abad sebelum kedatangan bangsa Portugis. Mengapa gelar-gelar dalam bahasa Melayu digunakan secara khusus, dapat dijelaskan dengan melihat sebagian penggunaannya di wilayah Melayu. Gelar “orang kaya” masih ditemukan di “negara-negara” tradisional di semenanjung Melayu dan Sumatera bagian timur, serta menurut definisi berdasarkan kamus milik Harahap21, kata itu berarti “orang berada, pegawai tinggi dalam keradjaan”.  Winsteadt dan Wilkinson22, menunjukan bahwa istilah itu seringkali menjadi bagian dari gelar yang lebih panjang, seperti “orang kaya mantri Sri Paduka Tuan”. Di Perak, setelah Sultan dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya, level pertama yang terdiri dari 4 pimpinan tertinggi, secara bersama-sama dikenal sebagai “orang kaya”, level berikutnya yang terdiri dari 8 pimpinan tertinggi (delapan orang besar), yang juga dalam istilah/bahasa orang Atjeh disebut sebagai “orang kaya kaya”23.
Terminologi “orang kaya besar” nampaknya telah digunakan secara umum, dan oleh Barbara Andaya24 yang dalam kajian sejarahnya tentang Perak di abad 18, menggunakan “orang besar” dan “orang kaya” secara bergantian untuk seorang pemimpin wilayah/distrik. Meskipun, dalam kasus ini, nampak bahwa pengsisteman gelar-gelar itu telah dielaborasi pada abad 19 oleh bangsa Inggris dalam upaya untuk “membumbui” atau “menambah-nambah” kemashyuran orang-orang pribumi secara tidak langsung, cukup jelas bahwa istilah “orang kaya” adalah suatu gelar yang dianggap berasal dari, meskipun cakupan arti katanya cukup luas.  Namun demikian, begitu suatu bahasa menjadi suatu lingua franca yang digunakan oleh banyak orang yang bukan merupakan bahasa “ibunya”, terminologi-terminologi dapat “mengambil” atau “menerima makna-makna intersubjektif yang lebih khusus, dimana memang kata-kata baru dan struktur sintaksis mungkin muncul, namun sama sekali tidak berhubungan dengan sosial, budaya dan kebahasaan di tempat itu. Hal ini menjadi alasan untuk percaya bahwa “pola” ini juga terjadi sejak awal pada kata “orang kaya” di gugusan Nusantara bagian timur25.

Radja van Kilang (Ambon)

Pemakaian pada Abad Kedelapan Belas dan Sembilan Belas:
Penciptaan dan Manipulasi dari Struktur kekuasaan

Sejak pertama kali mereka tiba di Maluku, orang-orang Eropa mulai memberikan gelar-gelar kepada orang-orang, yang mereka anggap sebagai orang-orang terkemuka di wilayah setempat, pertama sebagai tanda kehormatan dengan berlandaskan pada aturan kesopanan diplomasi di wilayah Eropa, dan terakhir sebagai sarana kontrol politik. Individu-individu lokal yang dianggap dapat diberikan tanggungjawab, dimana orang-orang Eropa menganggap bahwa kepemimpinan lokal dan sistim status mirip dengan sistim mereka sendiri. Mereka memilih orang-orang yang tampaknya memiliki wewenang/kekuasaan (meskipun mereka sendiri jarang memeriksa dasar kekuasaan semacam itu), atau orang yang telah melakukan pelayanan pada mereka (meskipun hal ini menghilangkan kemungkinan bahwa ini melibatkan kerugian timbal balik).
Haruslah dipahami, bahwa situasi lokal sering sangat terdistorsi. Ketika (Fransisco) Serrao tiba di Hitu pada Januari 1512, dia dengan penuh penghormatan diterima oleh empat perdana, dan sebagai balasannya menganugerahkan (secara keliru) gelar kapitan dan gelar kehormatan dom pada juru bicara dari empat perdana itu, dan menjadikannya sebagai penguasa lokal26. Kemudian ketika pemerintahan Hitu telah tersentralisasi (terpusat), penguasa baru itu dikenal sebagai “Kapitan Hitu”, penguasa lokal pertama yang mengadopsi gelar eropa ini.
Menjelang akhir abad ke-19, ada sejumlah struktur/susunan gelar-gelar yang membingungkan yang berasal dari sumber-sumber lokal, melayu dan eropa yang telah “dipatenkan” dalam sistim politik oleh orang-orang Belanda. Kepangkatan/urutan administratif dari pemegang gelar juga ditambahkan yang tercermin melalui bentuk regalia (barang-barang pusaka) dan jenis pakaian ala Eropa.
Bik27 melaporkan bahwa orang kaya Ainike di Manawoka memiliki tongkat dengan kepala emas yang diberikan oleh pemerintah Inggris kepadanya. Orang kaya Wadheir di kepulauan Aru, seperti yang digambarkan oleh Bik28 menggunakan celana merah, kemeja satin dan jas ekor panjang, ditambah oleh busana jas berwarna biru muda dengan kancing enamel dan renda perak.  Hadiah-hadiah itu dibuat /diberikan untuk jasa yang istimewa. Abdul Mahiet, orang kaya Ondor di masa kunjungan Bik29, diberikan medali emas oleh Resident Inggris Martin, sebagai balas jasa untuk bantuannya melawan Pangeran Ibrahim dari Tidore.
Dalam sistim gelar-gelar kolonial Belanda, istilah “orang kaya” ditempatkan berdampingan dengan gelar-gelar lain yang berasal dari Eropa, Melayu dan Lokal, serta menjadi suatu gelar yang bisa dianugerahkan kepada individu tertentu, daripada terminologi umum sebagai suatu sebutan dan petunjuk. Gelar “Kapitan” misalnya telah diperkenalkan oleh bangsa Portugis, dan gelar “Mayor” oleh bangsa Belanda. Riedel30 mengatakan bahwa kata “Mayor” dan “Kapitan” keduanya berasal dari bahasa Portugis, dimana kita tidak perlu untuk memperdebatkannya. Holleman31 juga menambahkan dalam daftarnya kata gezaghebber (penunjukan sementara waktu untuk mengelola suatu wilayah, a “dorpschoofd ad interim, totdat de nog onmodige titularis benoemd kan worden”) yang diketahuinya berasal dari negori Kilwaru. Dalam konteks ini, gelar “orang kaya” diserap kedalam sistim politik lokal sebagai gelar asli bersama dengan gelar “kapitan” yang berasal dari bangsa Portugis. Kita tahu bahwa pada paruh pertama abad ke-19, beberapa pemerintahan di kepulauan Nusantara, pada wilayah Seram bagian tenggara diperintah secara “merdeka” oleh orang kaya, dan pemerintahan lainnya diperintah oleh raja, dan dibawahnya ada orang kaya dan bahkan gelar-gelar lainnya (misalnya di Kelu, Ondor).  Pemerintahan lainnya yang tersebar diperintah oleh raja tetapi dengan orang kaya yang memerintah negeri-negeri tertentu. Jadi, orang kaya Ainike (dengan populasi setinggi 1.100) dan Besilan di pulau Panjang berada di bawah Raja Amar, sedangkan orang kaya Kwai di bawah Raja Kelu, serta Kapitan Kiltai di bawah Raja Kilwaru. Situasi seperti itu, telah dikonsolidasi di Seram bagian tenggara antara tahun 1855 dan 1928 seperti ditunjukan pada tabel 1.

Regent van Ety (Ceram)

Dari gelar-gelar asal Melayu, “orang kaya” dan “raja” adalah gelar yang paling umum/familiar. Antar gelar-gelar lokal, yang juga dimasukan kedalam struktur administrasi kolonial adalah gelar patih (terminologi asal Jawa atau Sansekerta, juga ditemui, misalnya di Seram bagian selatan, yaitu negeri Makariki), dan di suatu tempat, ada juga gelar sengaji32. Di Kilwaru pada tahun 198133, para informan mengingat dengan baik, bahwa ada gelar yang digunakan pada periode Belanda (gelar yang bertingkat/berurutan)  yaitu Patih, Orang Kaya dan Raja. Semua gelar itu, disebut secara lokal sebagai Jou (Jou patih, Jou orang kaya, Jou raja)34.   Gelar-gelar tersebut pada mulanya adalah “pemberian” dari pemerintah Belanda dan kemudian diwariskan/dipertahankan, sementara dari waktu ke waktu, tiap figur gelarnya dapat dinaikan dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Dikisahkan bahwa Resident de Hagen “menetapkan” sejumlah gelar di wilayah ini sekitar 70-80 tahun yang lalu. Raja Gorom Kataloka, secara tetap disebut sebagai “jou” dan jou merupakan gelar yang digunakan untuk keluarga raja35.

Jensen36 juga menyebut gelar “orang kaya” sebagai istilah untuk “kepala desa” dalam studi etnografisnya tentang Seram Barat, dan istilah ini telah diterapkan pada awal abad ke-19, menurut beberapa laporan. Dalam beberapa kasus, ini terkait langsung dengan pemberian gelar baru kepada figur-figur yang ada oleh tekanan-tekanan yang “mengganggu” dan sikap hormat orang lokal kepada gelar-gelar itu. Dalam beberapa kasus lain, hal ini adalah merupakan produk dari sistim peringkat yang diberlakukan secara langsung (misalnya di Ambon-Lease). Di tempat lain (dan biasanya lebih umum), hal itu merupakan penyederhanaan dari perkembangan penggunaan bahasa Melayu Ambon (dengan sejumlah besar kata-kata pinjaman dari Eropa) yang mengakibatkan pada penggunaan secara bertahap eksogonus kedalam preferensi/pilihan terhadap istilah lokal. Sebagai fenomena linguistik yang murni, substitusi leksikal semacam ini terdokumentasi dengan baik. Collins37 menunjukan bahwa meluasnya kata-kata seperti kakatua dalam bahasa-bahasa Maluku Tengah kontemporer, hanya bisa dijelaskan oleh situasi yang “populer” yang jadi dasar rujukan, yaitu sebagai item/barang-barang perdagangan, yang mungkin dikombinasikan dengan fakta bahwa itu adalah nama-nama yang telah “dirahasikan/disembunyikan” (dalam kasus “kakatua”, nama ini secara luas dianggap sebagai burung suci dan juga totem). Dalam hal ini, ia (Collins) setuju dengan Chlenov38 yang berpendapat bahwa banyak istilah penting untuk perdagangan cenderung dipinjam dari khasanah para konsumen/pemakai, kemudian dimasukan kedalam bahasa, dan seringkali bersamaan waktu dengan kata-kata seperti “emas” dan “kekayaan”. Merupakan hal yang tak mungkin, bahwa hal ini terjadi  dan nampak dengan jelas pada kasus istilah “orang kaya”. Gelar-gelar asli di Indonesia bagian timur terkadang “disembunyikan/dirahasiakan” dan kata “kaya” jelas menunjukan kekayaan. Secara eksternal, gelar ini diwariskan/diturunkan (dan kemudian dipaksakan) tetap melekat, karena gelar itu selalu tetap digunakan dalam masyarakat polilinguistik dan poltikultural yang kompleks, yang terdiri dari sejumlah besar pemerintahan kecil yang merdeka/independen atau semi independen. 

Radja van Honitetu
Penyerapan leksikal semacam ini, kadang-kadang mengambil bentuk dari pemberian gelar kolonial dan gelar-gelar lainnya ke dalam nama-nama pribadi. Dengan demikian, Hille39 menyebut kepala politik di Kaimana, di pantai New Guinea sebagai “raja komisi”, dengan demikian menggunakan 2 istilah yang keduanya bukan asli di wilayah itu. Kata “komisi” mungkin merupakan nama yang tepat, yang diambil dari kata “komisaris” dari bahasa Belanda, seperti kasus yang mirip di Nuaulu40.  Kamma41 juga mencatat beberapa contoh misalnya kata “mayor” dan kata “dimara” digunakan sebagai nama keluarga di bagian barat Vogelkop42. Ada 4 poin umum yang harus kita ingat, ketika mencoba memahami penggunaan gelar-gelar kolonial di Maluku.
1.      Pertama, berbagai “gebied” terbagi-bagi menjadi kampong43, dimana banyak diantaranya memiliki gelar tertinggi. Dalam daftar yang dibuat oleh van der Crab tahun 186244, secara umum digambarkan sebagai “orang tua” meskipun kadang-kadang di kampung yang berbeda dalam “gebied” yang sama, mungkin memiliki pimpinan dengan dengan gelar yang berbeda. Pada tahun 1881, “raja-raja, patih-patih, orang kaya dan orang tua-orang tua, semuanya merupakan kepala kampong45. Jadi, di “gebied” Kilmuri, kampung Dawang, Afang dan Kamar dipimpin oleh orang tua, meskipun kampung Batoloming dipimpin oleh mayor. Di Kilwaru, Geser dipimpin oleh mayor, Kiltai dipimpin oleh kapitan, dan Maar oleh orang tua. Gelar-gelar yang sama di tingkat kampung dan “gebied” menunjukan bahwa dalam kasus tertentu, tempat atau individu dapat mengubah status gelar seiring waktu, sebagai alternatifnya, orang-orang Belanda mungkin menganggapnya merupakan hal politis memberikan gelar-gelar dengan model seperti ini
2.     Kedua, suatu gelar tidak ada hubungannya dengan ukuran suatu populasi. Dengan demikian, Keffing dengan populasi 785 pada tahun 1855 dipimpin oleh seorang mayor, sementara Kelu (dengan hanya 630 penduduk) dipimpin oleh raja.
3.     Ketiga, dalam beberapa kasus, gelar adalah hak yang telah diturunkan dari gelar yang lebih tinggi (baik untuk sementara atau permanen), ketika pemerintahan tradisional terpecah-pecah atau terbagi-bagi. Dengan demikian, pada tahun 1824, Keluara (Kilwaru) diperintah oleh seorang raja dan kapitan46.
4.     Keempat, ada ketimpangan besar dalam hal ukuran dari unit-unit yang diakui dan digunakan untuk tujuan dari bentuk-bentuk khas yang berasal dari pemerintahan tidak langsung, dimana pemerintahan untuk semua maksud dan tujuan merupakan pemerintahan independen hingga paruh kedua abad 1947.  Pada tahun 192848, ada raja di Kwaos, Kilwaru, Kelu, Amar, Kataloka, Ondor, Kilmuri, Tobo dan Hatumeten, sedangkan mayor di Keffing, tetapi orang kaya ada di Denama, Kilmoi, Kilbat dan Urang. Sebagian alasan untuk ini, adalah merupakan kebijakan politik, sebagian merupakan produk kecelakaan historis, tetapi juga disebabkan oleh beberapa hal terperinci yang ada pada yuridiksi figur yang diberi gelar. Ketidaktahuan pada model-model seperti ini merupakan hal lumrah yang terjadi di abad ke-1949.

Jadi perlu disebutkan anggapan dan pencapaian di sini sebagai basis/dasar dalam hal pemberian gelar, meskipun sayangnya penggunaannya tidak ada yang konsisten. Untuk Riedel50, gelar orang kaya adalah gelar kepada figur yang dipilih, sedangkan gelar raja adalah gelar yang dikenakan pada figur berdasarkan pada keturunan. Begitu pula yang terjadi di Seram bagian tenggara, pada masa kini, ada 2 jenis raja yaitu raja turunan (misalnya di Kataloka, Kilmuri dan Amsakeru) serta raja angkat dimana raja dipilih dari orang kaya berdasarkan reputasi mereka (misalnya di Ondor). Namun jelas bahwa gelar raja angkat merupakan gelar yang secara relatif baru diperkenalkan, sementara gelar orang kaya tidak selalu berarti gelar yang berhubungan dengan posisi yang dicapai. Di Gorom pada masa kini, “orang kaya” biasa merujuk pada putra seorang raja51.
Gelar-gelar lainnya yang diperkenalkan oleh orang Belanda atau dimodelkan pada fungsi-fungsi yang telah ada, adalah kepala/pimpinan yang ditunjuk dari etnis minoritas setempat. Perangkat ini terutama digunakan di pusat-pusat perdagangan penting. Jadi, ada seorang Kapitan China di Ambon pada tahun 182452.  Carey baru-baru ini memberikan deskripsi yang sangat baik tentang peran Kapitan China di Jawa pada abad ke-18 dan 19 , meskipun penggunaan gelar seperti itu telah diketahui dari abad ke-17 atau sebelumnya53. Jadi Belanda menunjuk seorang Kapitan Tionghoa di Jepara54 dan “membentuk” Kapitan Peranakan di Jawa abad ke-1855. Carey memberikan kutipan pada figur Ong Tae-hae sebagai berikut :
The flowery Chinese and every description of foreigners have all got Captains placed over them, who are charged with regulation of affairs belonging to their own countrymen....56
                  
Ong juga menggambarkan upacara pengangkatan seorang kapitan, dengan berkomentar bahwa melalui cara inilah, Belanda memasukan “orang-orang kita ke jaringan kekuasaan mereka”. Menurut Carrey57 : “tahun-tahun terakhir pemerintahan Amangkurat II terlihat upaya untuk mengendalikan meningkatkanya jumlah orang Tionghoa di kerajaan Mataram dengan pengangkatan perwira china (kapitan cina, litnan cina dan lain-lain), yang berada di bawah kekuasaan syahbandar cina dari Jepara (pasca tahun 1708, bertempat di Semarang) dan yang memiliki tugas untuk mengelola urusan pemukiman yang lebih besar di pantai utara”, meskipun seringkali penunjukan ini tidak efektif, ketika terjadi perselisihan kebijakan.
Di Maluku, kita tahu bahwa kapitan cina pertama di kota Ambon, diangkat pada sekitar 162558/g. Holleman59 menyebut “wijkmeester de chineezen” di negeri Kelu. Saat kelompok-kelompok etnis pemberontak tidak memiliki pemimpin mereka sendiri, hanya salah satu yang “dibuat”, misalnya di Banda, orang cina memiliki kapitan dan luitenant60, dan juga ada kapitan dari komunitas Arab Banda (1850-1899)61. Itu mungkin bahwa dalam beberapa kasus, gelar-gelar semi – militer diterapkan pada fungsi yang sebelumnya dikerjakan/dilakukan oleh syahbandar62.

Gelar dan Politik Ekspansi pada Masyarakat Pribumi Maluku: Kasus Papua

Penggunaan gelar “orang kaya” (dan sejenisnya) dimana-mana, tidak seharusnya dilihat sebagai pemisahan. Ini adalah contoh spesifik dari fenomena umum, khususnya yang dicontohkan dengan baik di dunia Melayu bagian timur, tentang hubungan antara gelar dan kekuasaan. Ini khususnya terjadi pada suatu titik di mana dunia Melayu “bertemu/berhadapan” dengan dunia Papua.
Pada paruh pertama abad ke-16, ada 4 penguasa Muslim di Maluku, yaitu : Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Dari keempat penguasa itu, hanya Ternate yang menggunakan gelar “sultan” sedangkan sisanya menggunakan gelar “raja”. Distrik-distrik atau wilayah-wilayah dari (kekuasaan) Ternate serta wilayah-wilayah lainnya dipimpin oleh para figur yang disebut “sengaji”, yang terkadang juga dikenal sebagai “raja” atau “patih”63. Sejak sekitar tahun 1495, Ternate memperluas pengaruh politiknya ke semenanjung Hoamoal Seram, ke Buru, Manipa dan Boano. Wilayah pengaruh ini termasuk juga Ambon, dimana di wilayah itu dikembangkan suatu sistim organisasi politik yang didalamnya mengandung unsur-unsur budaya politik khas Ternate, yaitu : soa atau latu, seorang pimpinan tetap daripada seorang “primus inter pares” yang bergilir64. Kimelaha, yang dalam bahasa Ternate berarti “kepala desa/negeri” mewakili Sultan dan tinggal di  pemukiman yang dibuat khusus di semenanjung Hoamoal65. Sejauh saat berhubungan dengan VOC, para kimelaha itu hanyalah bersifat sebagai “stadthouders”. Abdurachman66 berpendapat bahwa ada juga kimelaha Ternate di Banda, namun bukti mengenai hal ini sangat sedikit. Memang, selama paruh pertama abad ke-17, Kimelaha Leliato dari Ternate mengklaim seluruh pantai selatan Seram hingga (dan termasuk) Keffing67. Wilayah pemukiman baru tampaknya telah diperintah oleh para pemimpin lokal yang diberi gelar “sengaji’, yang dalam beberapa hal berfungsi mirip dengan para “regent”. Berdasarkan perubahan yang baru, bawahan para sengaji itu adalah kipati, sang kepala desa/negeri.
Gelar “sengaji” diperkenalkan di Seram Timur bukan oleh Ternate, namun oleh Tidore yang mengklaimnya sebagai wilayah kekuasaan kerajaan atas wilayah tersebut68. Merupakan hal yang lebih penting buat diskusi di saat ini, bagaimanapun juga adalah fakta bahwa Tidore menganugerahkan gelar kepada suku Melanesia dari Biak dan tempat-tempat lain, sebagai semacam pengakuan atas pembayaran upeti. Hal ini terutama berasal dari orang-orang di pantai Papua, yang pada derajat tertentu tunduk pada pengaruh Tidore, dan para pemimpinnya membawa upeti mereka ke Tidore saat musim timur. Figur-figur bergelar yang telah diberikan itu, merupakan bagian dari kewajiban mereka, yang diminta untuk mengumpulkan upeti lebih lanjut/banyak lagi. Biak, misalnya, diyakini telah “dimasukan” kedalam struktur semacam ini pada akhir abad ke-15.

Gelar-gelar asal Tidore yang dianugerakan kepada orang Melanesia tampaknya sejak awal dimaksudkan sebagai fungsi politik yang nyata, sebagaiman dipahami oleh Tidore sendiri. Jadi, gelar “raja” (head of an independent poltical domain), “sengaji” (district chief), “dimara” dan “korano” (kimelaha = village headman)69 dianugerahkan oleh Tidore menurut pembagian wilayah Biak menjadi distrik-distrik. Para pejabat itu kemudian menerima dari Sultan yaitu bendera dan semacam pakaian resmi, mengikuti tata krama pelantikan gelar orang kaya oleh orang Eropa. Pakaian dan gelar-gelar itu dianugerahkan secara “sewenang-wenang”, tanpa mengacu pada maksud atau fungsi sesungguhnya dari pihak pemberi70. Begitu juga cara, dimana putra dari figur-figur bergelar menerima gelarnya setelah kematian ayahnya, menunjukan bahwa tidak ada lagi fungsi yang real : ia hanya secara sederhana dipilih oleh salah satu tetua negeri/desa71.
Robide van de Aa72, melaporkan bahwa pimpinan Dorei, di pantai bagian utara Vogelkop, diberikan gelar “korano” dan pimpinan yang lebih rendah memiliki gelar “mayor” dan “kimelaha”. Gelar “korano” nampaknya diturunkan/diwariskan melalu garis patrilineal (melalui seorang putra, saudara laki-laki, atau putra saudara laki-laki). Budaya politik Tidore dan Biak, tampaknya tidak memiliki kesamaan dalam kelaziman bagi orang-orang Biak untuk menggunakan gelar dengan model yang mirip dengan yang digunakan oleh orang Tidore sendiri. Namun demikian, seperti halnya dengan orang Tidore, gelar diberlakukan sebagai properti tidak berwujud yang seperti berbagai bentuk pengetahuan esoteris dan nama-nama pribadi, merupakan gengsi bagi individu itu dan keturunannya. Gelar-gelar yang berasal dari Tidore tidak memberikan kekuatan politik apapun, mereka juga tidak diberi wewenang dalam urusan internal kelompoknya. Meskipun perwakilan dari kesultanan di wilayah terpencil ini, setiap tahun mengumpulkan upeti di pantai-pantai bagian barat Papua, dan secara aktif berupaya untuk membentuk kekuatan yang tetap, namun mereka tidak pernah benar-benar berhasil73. Memang dalam persepsi orang Melanesia, hubungan dengan Tidore tidak dilihat sebagai bentuk penaklukan/jajahan. Jika pun ada, mereka melihatnya secara berlawanan. Sesungguhnya, “mereka yang membawa upeti ke Tidore dan kembali dengan gelar-gelar, bendera, dan pakaian seremonial, merayakan penambahan atribut-atribut kepercayaan itu, sama dengan upacara yang dilakukan sekembalinya mereka dari keberhasilan aksi potong kepala/pengayauan74.  Selain itu, serangan bajak laut orang Biak di laut Maluku, menyebabkan ketakutan yang sama seperti serangan hongi orang Tidore di wilayah lain75.

Regent van Morela bersama Nyora

Pantai barat daya Papua berada di pinggiran pengaruh Tidore, namun telah lama berhubungan dengan pedagang-pedagang dari Seram bagian tenggara, yang selama ini di bawah pengaruh Tidore. Orang-orang Seram telah “membentuk” apa yang mereka sebut sebagai sosolot, dimana individu-individu tertentu (orang kaya) dan negeri memiliki hak perdagangan eksklusif di sepanjang pantai. Dalam sosolot ini, sebagai contohnya di sepanjang tepi selatan teluk Berau (teluk McCluer) pada abad 19 (ketika Belanda pertama kali mulai memberlakukan administratif secara efektif), perantara atau “kepala” dengan gelar-gelar asal bahasa Indonesia seperti “raja”, “orang kaya”, “mayor”, dan “kapitan” serta gelar-gelar khusus asal Maluku seperti “jojau”, “sengaji”, dan “korano” ditemui. Terjadinya gelar-gelar ini sebagian berhubungan dengan “pemerasan” upeti oleh pihak Ternate dan Tidore76 seperti dijelaskan di atas.  Penggunaan gelar-gelar lokal seperti itu, bagaimanapun juga telah ada jauh sebelum abad ke-19. Paling awal, seperti sejak tahun 1653 ada keterangan tentang orang kaya dan bahkan “raja-raja” Onin, di semenanjung selatan teluk Berau77.  Pada tahun 1702, kami menemukan gelar-gelar seperti “kapitan” dan “raja” juga disebutkan. Ada juga laporan dokumenter tentang orang kaya Keffing di pantai Papua antara tahun 1680 dan 168478. Kami sekarang tahu, sebagaimana Keijts – yang pertama kali melaporkan tentang orang-orang ini – sekurang-kurangnya tidak ada jejak penguasaan politik oleh orang-orang Seram, Seram Laut dan Goram/Gorom, seperti yang umumnya kita pahami. Ini merupakan suatu keadaan meskipun faktanya bahwa pantai Onin dihuni oleh orang Seram (bahkan melalui perkawinan campuran), sebagian telah diislamkan dan menggunakan “bahasa pasaran” Seram sebagai lingua franca/bahasa percakapan79.
Telah lama diamati, bahwa apa yang disebut sebagai “pemimpin-pemimpin” diciptakan dengan mudah di sepanjang pantai Papua.  Memang, Forrest yang menulis pada tahun 1775 dari Dorei80, menjelaskan dengan “ngawur” bahwa di pulau Manaswari, ia “membuat” seorang pria menjadi “ seorang capitano dengan memberikannya baju rok dan kain cita serta 3 senjata api, seperti upacara ala Belanda”.  Rupanya, “ia (laki-laki itu) kembali ke Dory dengan sangat senang dan sangat sombong dengan pakaiannya itu”.  Goudswaard81, mencatat bahwa tidak pentingnya gelar-gelar itu dan kekuasaan yang terkait dengannya, ditunjukan dengan baik oleh fakta bahwa para pedagang bahkan para misionaris menetapkan seseorang sebagai “pejabat” pimpinan. “Pimpinan” seperti demikian pada dasarnya adalah perantara yang digunakan oleh pedagang untuk sesekali mewakili kepentingan mereka, saat mereka kembali pulang, atau orang-orang yang memastikan persedian barang-barang sudah tersedia82.  Goudswaard juga menginformasikan kepada kita, dalam bagian sama yang disebutkan itu, bahwa “mereka membawa seorang mambri, seorang lelaki pemberani atau orang berharta yang berpengaruh, yang diberi celana panjang, jaket dan kain kepala (bandana), serta menepuk dan meniup di kepala sambil berteriak “mayor” atau “kapitan laut”, setelah gelar itu diumumkan, orang ini berteriak “ho”. Mereka kemudian menembakan senapan untuk menghormatinya dan dengan ini, ia ditetapkan sebagai seorang pemimpin. Istri dari pedagang terkenal (Ny. Fabritius) telah mengangkat sekitar 3 atau 4 orang sebagai mayor atau kapitan laut, yang telah membuktikan diri mereka sangat berguna sebagai agen-agennya83.  Dissel84 menemukan klaim tentang “pimpinan tiruan” yang dibentuk berdasarkan gagasan kuno bahwa setiap penghuni asing yang terdampar dapat menganggap dirinya sebagai penguasa dan menguasai setiap makhluk hidup di pedalaman. Bagi orang Melanesia, kurangnya penghormatan terhadap gelar ditunjukan dengan penggunaan nama panggilan, untuk “pemimpin” yang ditunjuk untuk memimpin mereka sebagai “raja gatel “ (raja gatal) atau “kapitan sandu” (kapitan candu/opium)85. Data-data seperti ini mungkin lebih bermanfaat dibandingkan dengan tulisan-tulisan terbaru soal pengangkatan, peran dan status pejabat-pejabat pemerintah desa/negeri di Papua86.

Yang lebih menarik, adalah bahwa orang-orang Biak di pantai utara semenanjung Vogelkop sendiri memberikan gelar pada perdagangan tradisionalnya dan pertukaran mitra dagang (atau manibob), tampaknya mencontoh pengalaman mereka dengan kebiasaan orang Tidore. Manibob ini mempertahankan kontak dengan populasi pedalaman dan seringkali mereka sendiri pada gilirannya ditunjuk sebagai perantara dengan gelar yang berbeda oleh Sultan Tidore87.  Subklan – subklan yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dengan gelar-gelar asal Melayu, beberapa diantaranya bahkan dianggap sebagai pimpinan patriclan yang lebih besar (fam).  Gelar-gelar itu diperkenalkan sebagai bagian dari proses subordinasi politik yang akan “dibajak” oleh penduduk pribumi dan digunakan dengan cara-cara lain dari tujuan itu, seperti yang dikenal di bagian lain Indonesia88. Data kami untuk hal ini, semuanya berasal dari bagian terakhir abad ke-19. Di bawah pemerintahan Indonesia pasca kolonial, pola lama muncul kembali. Sebagai contoh, Elmberg89  melaporkan bagaimana pendapat  orang Melayu tentang “tingkat” dan kekuasaan yang terserap kedalam dan mempengaruhi aktivitas siklus pertukaran di Mejprat, dimana “orang-orang berpengaruh” berusaha untuk memperluas kegiatan mereka dan memperkuat koneksi dengan cara membandingkan diri mereka dengan perantara-perantara di wilayah pantai seperti mayor Konda. Di antara gelar-gelar asal melayu yang telah ditetapkan dalam struktur administrasi pemerintahan Indonesia adalah “kepala kampong” dan untuk pemimpin-pemimpin yang tingkatnya lebih rendah, “raja”, “mayor”, “kapitan”, dan tentu saja “orang kaya”, yang ada dimana-mana. Menariknya, adalah laporan yang bertentangan dari A.C. van de Leeden90, bahwa di kepulauan Raja Ampat menunjukan kecenderungan baru-baru ini, untuk menggantikan gelar-gelar lama asal kesultanan dengan nama-nama klan tradisional.

Kesimpulan

Pemakaian gelar-gelar asal Belanda dan Indonesia di Papua, dalam banyak hal masih dihormati seperti para pendahulu mereka. Ini menunjukan, bahwa kita mungkin dapat menggeneralisasi bahkan dengan lebih luas lagi, soal pemakaian gelar dalam situasi dimana relasi penaklukan di “bentuk” dan dirawat atau dianggap demikian dalam pandangan pihak yang lebih tinggi.

1.    Pertama, dalam berbagai kasus politik subordinasi yang dijelaskan disini, pihak penguasa berbagi gagasan tentang “gelar” yang dikaitkan dengan konsep yang dianggap berasal dari  kekuasaan. Gagasan spesifik ini mungkin, namun pada faktanya sangat beragam : dari gagasan ketat orang Belanda tentang perwakilan kekuasaan hingga gagasan yang terkait dengan konsepsi tipe kekuasaan di Melayu atau Jawa. Ketika gelar tersebut didistribusikan diantara pengguna politik oleh raja-raja di Maluku, pihak berkuasa dan pihak yang dikuasai berbagi asumsi yang sama tentang kekuasaan dan unsur-unsur lainnya dalam budaya politik mereka. Di Papua, tingkatan dan gelar tidak dihormati seperti demikian, sebagian karena orang-orang itu tidak memiliki kekuatan yang efektif (misalnya dalam hal kontrol alat produksi, sirkulasi atau tindakan menghancurkan) dan sebagian lagi karena di Papua, kekuatan tidak dianggap seperti kemampuan dalam hal membunuh. Sebaliknya, kekuatan bagi orang-orang Melanesia hanya diakui dalam perwujudan yang nyata, misalnya dalam penguasaan soal hewan babi, wanita, kemampuan berperang,  berkata-kata dan alat-alat produksi.  Gelar-gelar yang telah diimpor nampaknya telah dikenali di Maluku untuk tujuan/maksud yang diinginkan, namun berbeda kasusnya di Papua91. Alasannya dapat dilihat sebagai periode sejarah panjang yang  sebelumnya melakukan kontak dengan orang Jawa, teori dan budaya politik yang lebih mudah menerima gagasan hierarki dan ketidaksetaraan serta hal berkuasa sebagai nyata, homogen dan kuantitas yang konstan, daripada sesuatu yang abstrak, heterogen, tak terbatas, ambigu secara moral serta hasil dari suatu pencapaian92. Ide ini dapat ditempatkan dalam suatu terminologi yang diungkapkan oleh Sahlins, bahwa ada perbedaan antara “pangeran kerajaan Denmark” dan “pangeran diantara manusia”93

2.   Kedua, nampaknya gelar selalu bergerak dari pemerintahan intrusif/memberontak (meskipun tidak selalu lebih kuat secara material) ke bentuk pemaksaan94. Dengan demikian, mereka muncul sebagai contoh khusus dan sangat jelas dari apa yang orang lain lihat, pantas untuk disebut hukum penguasaan budaya95,bagian dari perlengkapan untuk melembagakan relasi kekuatan baru antar kelompok etnis, kekuasaan mereka pada saat yang sama serta legitimasi hubungan kekuasaan. Penyediaan infrastruktur budaya seperti itu adalah kondisi yang diperlukan untuk mengembangkan hubungan subordinasi, tetapi itu hampir tidak cukup, dan mungkin juga bukan penentu. Untuk itu haruslah ditambahkan subordinasi objektif yang hanya bisa diukur dari segi materi. Sebaliknya, jika dari contoh awal efektifnya kontak budaya subordinasi, kita dapat mengasumsikan bahwa “memahami” ulang definisi budaya kekuasaan dan otoritas serta fungsi gelar tidak terlalu terlambat. Pada faktanya, hal itu bisa jadi memusatkan “kesadaran kolektif” pada penyesuaian perwakilan yang berkuasa dengan cara yang kritis.  Namun pada kasus di Papua (meskipun mungkin itu berbeda pada situasi di kepulauan Raja Ampat) memberikan contoh tentang bagaimana hadirnya gelar-gelar abstrak dapat dipisahkan dari terhentinya alat-alat kelengkapan dan dapat disusun kembali dalam suatu terminologi pengelolaan relasi kekuasaan. Dengan rekontekstualisasi demikian, hal demikian dapat diadopsi oleh orang-orang yang dalam bentuk penghormatan lain, secara politis dapat menolak gangguan dominasi budaya pada kedaulatan politik mereka. Itu juga dapat diadopsi secara bebas, atau bahkan bisa bertentangan dengan tujuannya dari siapa hal itu diadopsi. Jadi, dalam semua proses mempertahankan otonomi politik mereka yang berhadapan dengan kekuatan “asing” dari budaya mereka, maka (secara paradoks) perlu ditransformasi, “ dimodifikasi” ke bentuk yang lebih mendekati, “berkuasa” dengan cara yang baru.

Catatan Kaki
1.    Daniel Defoe, The True-born Englishman (London: Routledge, 1910), puisi no 2, hal 206, baris 313
2.   A. L. N. Kramer Sr. dalam Kamus Indonesia (The Hague, Jakarta: van Goor, 1951), hal. 137, memberikan kata "rijke," "voorname." John M. Echols and Hassan Shadily, dalam An Indonesian-English Dictionary, 2nd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 1963), hal. 261, dengan lebih berhati-hati, memberikan pilihan pada kata "important person." Milner mengingatkan kita bahwa kata "kaya" mungkin berarti "power (kekuasaan)," "wealth (kekayaan)," atau "property (kepemilikan)," yang secara etimologis dikhususkan pada kata “power”, : A. C. Milner, Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule, Association for Asian Studies Monogr. 40 (Tucson: University of Arizona Press, 1982), hal. 25
3.   Lihat misalnya., A Treatise on the Moluccas, Probably the Preliminary Version of Antonio Galvao's Lost 'Historia das Molucas ed. Hubert Th. Th. M. Jacobs S.J. (Rome: Jesuit Historical Institute, 1974), hal. 90, 93, 103.
4.  "A primeyra e primcipal dynydade ea rayall a que chamao culano, he a rainha rajas, os duques samguajens, hos cavaleyros marcoles, e fidalguos mamdarins, . . . (Galvao [c. 1544], baris 9-11 dari Capitolo Dezaoyto, dalam Jacobs, ed., Treatise on the Moluccas, hal. 102).
5.   Corpus Diplomaticum Neerlandico-Indicum, vol. 1, ed. J. E. Heeres and F. W. Stapel (The Hague, for Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 1907), hal. 201.
6.  A. Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea en Papoesche Eilanden: Historische bijdrage, ±1500-1883, 2 vols. (Batavia: Bruining, The Hague: Nijhoff, 1884), 1: 45
7.   Reinier de Klerk, Belangrijk verslag over den staat van Banda en omliggende eilanden aan zijne excellence de Gouverneur-Generaal . . . met eene korte beschrijving van Banda . . . door C. A. M. van Vliet (The Hague: van Stockum, 1894 [terbit pertama kali pada 1756]).
8.  Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea, 1: 106.
9.  Ibid., hal. 109.
10.Georg Eberhard Rumpf (Rumphius), De generale Land-beschrijving van het Ambonsche Governement, Algemeen Rijksarchief, The Hague (hereafter ARA), VOC 11247, misalnya hal 85.
11.  W. Hanna, Indonesian Banda: Colonialism and its Aftermath in the Nutmeg Islands (Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues, 1978), hal. 14, 23-24.
12. John Villiers, "Trade and Society in the Banda Islands in the Sixteenth Century," Modern Asian Studies 15, 4 (1981): hal 728-29.
13. Hanna, Indonesian Banda, hal. 14, 24.
14.Misalnya  Peter Carey, "Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825," Indonesia 37 (April 1984): hal 6.
15. Gijsels, "Grondigh Verhael van Amboyna . . . ," Kroniek van het Historisch Genootschap te Utrecht 27 (1871): hal 350-58.
16.Z. J. Manusama, "Hikayat Tanah Hitu: Historie en Sociale Structuur van Ambonse Eilanden in het Algemeen en Uli Hitu het Bijzonder tot het Midden de Zeventiende Eeuw" (Ph.D. thesis, Leiden University, 1977); Gerrit Knaap, melalui komunikasi pribadi.
17. Bouwstoffen voor de Geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipelt ed. P. A. Tiele, 2 vols. (The Hague: Nijhoff, 1890), 2: hal 244.
18.J. S. Wurffbain, Reise nach den Molukken 1. 1632-1646 (The Hague: Nijhoff, 1931 [1680]), vol. 1. Wurffbain (hal. 90) menyebut "Orang kayas of besagtem Ceram Laut," dan  "Orang kayas von Keffing."
19.Paramita R. Abdurachman, "New Winds, New Faces, New Forces," sebuah paper yang dipresentasikan pada Conference on "Southeast Asian Responses to European Intrusions," British Institute in Southeast Asia, Singapore, 1981
20.     A. A. Cense, "Malaise Invloeden in het Oostelijk Deel van de Indonesische Archipel," Bijdragen tot de'Taal-, Land- en Volkenkunde [hereafter BKI] 134, 4 (1978): hal 418.
21.  E. St. Harahap, Kamus Indonesia (Bandung: Kolff, 1951), hal 24.
22.     R. O. Winstedt and R. J. Wilkinson, "A History of Perak," Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 12, 1 (1934): hal 143.
23.    Ibid., hal  137, 143, 145.
24.    Barbara Watson Andaya, Perak, the Abode of Grace: A Study of an Eighteenth Century Malay State (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979), hal 28, 413.
25.    Untuk kaitan ini, lihat O. W. Wolters, History, Culture and Region in Southeast Asian Perspectives (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1982), hal 52-69. Ini merupakan kajian yang bermanfaat dimana Professor Wolters menggambarkan proses “lokalisasi” suatu ide, istilah dan objek yang “retak dan disatukan kembali serta........disalurkan dari makna aslinya (hal 52) melalui kebutuhan penafsirannya dalam suatu istilah pengertian, perwakilan dan pernyataan budaya asal. Saya (penulis) berhutang budi pada Anthony Milner yang telah membuatku tertarik pada referensi ini
26.    Paramita R. Abdurachman, "Moluccan Responses to the First Intrusions of the West," dalam Dynamics of Indonesian History, ed. H. Soebadio and C. A. du Marchie Sarvaas (Amsterdam: North-Holland, 1978), hal  170.
27.     A. J. Bik, Dagverhael Eener Reis, Gedaan in het Jaar 1824 tot Nadere Verkenning der Eilanden Kefing, Goram, Groot-Klein Kei en de Aroe-eilanden (Leiden: Sijthoff, 1928 [1824]), hal 19.
28.    Ibid., hal  50.
29.    Ibid., hal. 22.
30.    J. G. F. Riedel, De Sluik- en Kroesharige Rassen tusschen Selebes en Papua (The Hague: Nijhoff, 1886), hal  154.
31. "Jurisprudentie van de Inheemsche Rechtspraak op Boeroe, Ceram, Aroe en Tanimbar," ed. F. D. Holleman, Adatrechtbundels 24 (1925): hal 145
32.    P. van der Crab, De Moluksche Eilanden: Reis van Z. E. Den Gouverneur Generaal C. P. Pahud (Batavia: Lange, 1862), hal. 62.
33.    R. F. Ellen, Fieldnotes, 1981-4-5.
34.    Ini rupanya merupakan istilah asli Ternate dan pada beberapa bagian berbeda di wilayah Maluku digunakan dengan sedikit berbeda. "Bapak jou" adalah gelar umum yang digunakan oleh Raja dan masyarakat negeri Sepa pada pemimpin negeri (kepala pemerintah) yang ditunjuk/diangkat oleh pihak pemerintah bagi negeri orang Naulu yaitu Ruhuwa sedangkan yang lain disebut kepala soa. Ada juga penyebutan gelar yang namanya mirip yaitu “kapalla-joa" pada hal 10 dari  Reglement op het Binnenlandsch Bestuur en dat de Financien op Amboina en Onderhoorigheden, Ambon 15th April 1824, ARA, Min. van Kolonien (hereafter ARA KOL) 2766 (2.10.01). Ini merupakan gelar umum pada wilayah Ambon.
35.    R. F. Ellen, Fieldnotes, 1981-3-53.
36.    A. E. Jensen, Die Drei Strome: Zuge aus dem Geistigen und Religiosen Leben der Wemale, einen Primitieve-Volk in den Molukken, Ergebnisse der Frobenius-Expedition, 1937-38 in die Molukken und nach Hollandisch Neu-Guinea, vol. 2 (Leipzig: Harrassowitz, 1948), hal. 46.
37.    J. Collins, "The Historical Relationship of the Languages of Central Maluku, Indonesia" (Ph.D. dissertation, University of Chicago, 1980), hal. 168
38.    M. A. Chlenov, "Cultural Vocabulary as an Indicator of Inter-ethnic Relations: Eastern Indonesian Evidence," BKI 134, 4 (1980): hal 437.
39.    J. W. van Hille, "Reizen in West-Nieuw-Guinea," Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap 22 (1905): hal 293.
40.    R. F. Ellen, "Semantic Anarchy and Ordered Social Practice in Nuaulu Personal Naming," BKI 139 (1983): hal 31.
41. F. C. Kamma, "De Verhouding tussen Tidore en de Papoese Eilanden in Legende en Historie, II," Indonesia 1 (1948): hal 182.
42.    J.-E. Elmberg, Balance and Circulation: Aspects of Tradition and Change among the Mejprat of Irian Barat (Stockholm: Ethnographical Museum Monograph, Series No. 12, 1968), hal 80.
43.    C. Bosscher dalam "Bijdrage tot de Kennis van het Oostelijke Gedeelte van Ceram en Omliggende Eilanden," Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 4 (1855): hal 38, menyebut kata "distrikten" dan “negorijn”, dan pada tahun 1925, kata gebied dikenal sebagai regentschap serta seluruh pemimpinnya disebut “regents”. Lihat "Jurisprudentie van de Inheemsche Rechtspraak," ed. Holleman, hal  134.
44.    Van der Crab, De Moluksche Eilanden, hal 60-61.
45.    ARA KOL 1881 mailrapport 6412 791.
46.   Bik, Dagverhael, hal  5.
47.    G. J. Resink, "Independent Rulers, Realms, and Lands in Indonesia, 1850- 1910," in Indonesia's History between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: van Hoeve, 1968).
48.   H. J. Jansen, "Gegevens over Geser, Boela en de Gorong- of Goram-eilanden," Adatrechtbundels 36 (1928): hal 490.
49.   Van der Crab, De Moluksche Eilanden, hal  62.
50.    Riedel, De Sluik- en Kroesharige Rassen, hal 155.
51. R. F. Ellen, Fieldnotes, 1981-3-49.
52.    Bik, Dagverhael, hal  8.
53.    L. Blusse, "Batavia, 1619-1740: The Rise and Fall of a Colonial Town," Journal of Southeast Asian Studies 12, 1 (1981): 167, 170-71; lihat juga  M. A. P. MeilinkRoelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630 (The Hague: Nijhoff, 1962).
54.    Carey, "Changing Javanese Perceptions," hal 10.
55.     Ibid., hal 7.
56.    Ibid., hal. 10, quoting Ong Tae-hae, The Chinaman Abroad: or a Desultory Account of the Malayan Archipelago, Particularly of Java, diedit dan diterjemahkan oleh W. H. Medhurst (Shanghae: Mission Press, 1849), hal. 4, 8-9, 20.
57.     Carey, "Changing Javanese Perceptions, hal. 10.
58.    Gerrit Knaap (komunikasi pribadi) menyatakan bahwa namanya adalah Herman karena ia dikristenkan semasa pemerintahan Gubernur Herman van Speult. Lihat G. E. Rumphius, "De Ambonsche Historie . . . ," BKI 64 (1910), I, hal. 54.
59.    "Jurisprudentie van de Inheemsche Rechtspraak," ed. Holleman, hal. 137.
60.   J. B. J. van Doren, Herinneringen de Laatste Oogenblikken van mijn Verbliff in de Molukko's (The Hague: Van Langenhuysen, 1852), hal. 16.
61.Hanna, Indonesian Banda, hal. 125.
62.    Gerrit Knaap menulis (komunikasi pribadi), "Kapitan kedua China, Artus Gijsels (sekitar 1635-1675) menjabat/bertugas sebagai Syahbandar. Akan tetapi, ia merupakan orang pertama dan juga terakhir yang bertugas di posisi itu, dan sejak kira-kira tahun 1675 oleh VOC, posisi ini diambil alih oleh seorang Fiscal (biasanya orang Eropa)
63.    Jacobs, Treatise on the Moluccas, hal 3, 5.
64.   Manusama, "Hikayat Tanah Hitu."
65.    R. Z. Leirissa, "Notes on Central Maluku in the 19th Century," Prisma, September 22, 1981, hal. 54-55.
66.   Abdurachman, "Moluccan Responses," hal  172.
67.    Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea, 1: hal 43.
68.   Van der Crab, De Moluksche Eilanden, hal. 62.
69.   Kamma, "De Verhouding," hal. 181, 540.
70.    Elmberg, Balance and Circulation, hal. 128.
71. F. C. Kamma, Koreri: Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation Series No. 15 (The Hague: Nijhoff, 1972), hal 9. Terjemahan dari buku De Messiaanse Koreri-bewegingen in het Biaks-Noemfoorse Cultuurgebied (Den Haag, Krt. Proefschrift, Leiden, 1954).
72.    P. Robide van de AA, Reizen naar Nieuw Guinea Ondernamen op Last der Regeering van Ned. Indie in de Jaren 1871, 72, 75, 76 door van der Crab, J. E. Teysmann, J. G. Coorengel en A. J. Langeveldt van Hemert en P. Swaan (The Hague: Nijhoff, 1879), hal. 73.
73.    Elmberg, Balance and Circulation, hal. 203.
74.    Ibid., hal. 74.
75.    Ibid., hal. 216.
76.    Ibid., hal. 127.
77.    See also Hille, "Reizen in West-Nieuw-Guinea," hal. 25.
78.    Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea, 2: hal 68, 70
79.    Hille, "Reizen in West-Nieuw-Guinea," hal 253-54.
80.   T. Forrest, A Voyage to New Guinea and the Moluccas, 1774-1776, diedit dan diberi kata pengantar oleh D. K. Bassett (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969 [1780]), hal. 110.
81.A. Goudswaard, De Papoew's van de Geelvinksbaai (Schiedam, 1863), hal. 60.
82.    Adatrechtbundels, Gemengd (The Hague: Nijhoff, 1930): hal 33, 388.
83.    Trans. Elmberg, Balance and Circulation, p. 129, n. 35. A. C. Kruijt, dalam  "De To Loinang van den Oostarm van Celebes," BKI 86 (1930): 358, menceritakan bahwa di Sulawesi, Sultan Ternate menciptakan pemimpin  dakanjo yang membawa upeti setiap tahunan, melalui proses yang mirip/sama soal busana dan senjata api. Dirujuk juga dalam Elmberg, Balance and Circulation, hal. 129.
84.   J. S. A. van Dissel, "Reis van Goras langs de Bedidi naar Ginaroe," Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap 24 (1907): hal 1023.
85.    J. S. A. van Dissel, "Landreis van Fakfa naar Sekor," Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap 21 (1904): 790; "Reis van Goras," hal . 992-94, 1002.
86.   Charles Rowley, The New Guinea Villager: The Impact of Colonial Rule on Primitive Society and Economy (London: Pall Mall Press, 1966), hal . 84-86
87.    Elmberg, Balance and Circulation, hal. 128, 203; kemudian Dissel, "Landreis van Fakfa," hal 790; "Reis van Goras," hal. 992-94, 1002.
88.   James Fox, dalam  Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia (Cambridge, Mass, and London: Harvard University Press, 1977), hal 84, menceritakan kepada kita bahwa istilah "raja" diperkenalkan di Roti untuk gelar-gelar pemimpin di berbagai wilayah, dimana orang Belanda tidak menganggapnya sebagai tanda kekuasaan, seperti yang diperlukan, dan istilah ini tersebar luas di seluruh pulau sebagai nama julukan yang umum
89.   Elmberg, Balance and Circulation, hal. 20.
90.   A. C. van der Leeden, "Report on Anthropological Fieldwork at the Northern Raja Ampat Islands, March-June 1979," dalam Halmahera dan Raja Ampat: Konsep dan Strategi Penelitian, ed. E. K. M. Masinambow (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1980), hal. 212.
91.Elmberg, Balance and Circulation, hal. 131.
92.    Benedict R. O’G. Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture," in Culture and Politics in Indonesia, ed. Claire Holt et al. (Ithaca and London: Cornell University Press, 1972), hal. 5-8.
93.    Marshall D. Sahlins, "Poor Man, Rich Man, Big-man, Chief: Political Types in Melanesia and Polynesia," Comparative Studies in Society and History 5 (1962-63): hal 289, 294.
94.   Ini merupakan “asal” darimana suatu lingua franca didapatkan, dan juga benar bahwa hal demikian boleh jadi pada akhirnya diperoleh
95.    [David Kaplan], "The Law of Cultural Dominance," in Evolution and Culture, ed. M. D. Sahlins and E. R. Service (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1960), hal. 88.

Catatan tambahan (dari kami pihak penerjemah)
a.   Merupakan terjemahan “bebas” dari kami.
b.  Lihat Knaap, Gerrit J. Memories van Overgave van Gouverneurs van Ambon  in de zeventiende en echttiende eeuw, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987, hal 147
§ Lihat juga Rumphius, De Ambonse Historie ....deel I, hal 82,85 (pada sumber ini, Rumphius menulis pada tahun 1631, Siri Sori menyandang gelar Pattij, Tuhaha menyandang gelar Raja, Itawaka menyandang gelar Orang Kaija)
§ Lihat juga Francois Valentyn Oud en Nieuw Oost Indie, deel II, bag 2 : Ambonsche Zaken, Eerste Boek, Vierde Hoofdstuk, Dordrecht, Joannes van Braam, 1724, hal 48
c.   Lihat W.Ph. Coolhas Generale Missiven van Gouverneurs-Genaraal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Deel 7, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1979, hal 79, 136
d.  Lihat juga Francois Valentyn Oud en Nieuw Oost Indie, deel II, bag 1 : Beschrijvinge van Ambon, Tweede Boek, Vierde Hoofdstuk, Dordrecht, Joannes van Braam, 1724, hal 91
§  Sumber pada Valentyn ini terbit pada tahun 1724, namun ia pernah bertugas di Ambon pada tahun 1680an – 1690an, sehingga sumber-sumber yang ia gunakan berasal dari periode ini, atau dengan kata lain, dalam konteks gelar-gelar pemimpin negeri di pulau Saparua, berasal dari periode ini, atau beberapa tahun sebelumnya, atau mungkin gelar-gelar ini telah lama diketahui sebelum tahun bertugas Valentyn. Meski harus diakui, untuk negeri Saparua, belum diketahui sejak kapan untuk pertamakalinya, gelar Raja digunakan.
e.   Pada naskah Corpus Diplomaticum volume I yang meliputi periode 1596 hingga 1650 yang kami punyai, dan juga yang dikutip oleh penulis, terdapat kata yang berbeda. Pada naskah Corpus, tertulis kata Wegens, sedangkan penulis menulis kata Wegers pada artikel ini. Mungkin ini merupakan “kesalahan” teknis semata
f.    Informasi ini merupakan catatan tambahan dari kami pihak penerjemah, dan bukan kalimat dari penulis.
g.   Pada catatan kaki no 58, penulis memberikan catatan kaki bahwa berdasarkan komunikasi pribadi dengan Gerrit J Knaap, diketahui identitas Kapitan China pertama di kota Ambon adalah Herman, yang nama itu adalah nama Kristen atau nama setelah ia dikristenkan. Nama aslinya tidak diketahui. Penulis juga merujuk pada sumber Rumphius. Perlu juga kami tambahkan bahwa nama Kapitan China ini, juga muncul pada sumber Valentyn. Menurut sumber Valentyn, Herman menjabat sejak tahun 1625 hingga tahun 1631 saat ia terbunuh, kemudian digantikan oleh Artus Gijsels (1631-1674), lihat Francois Valentyn Oud en Nieuw Oost –Indie, volume 2, bagian 2, zevende hoofdstuuk, Joannes van Braam, Dordrecht, 1724, hal 48. Sedangkan menurut Knaap, Herman menjadi Kapitan China pertama di kota Ambon dalam tahun 1619, lihat Gerrit J Knaap A City of Migrants: Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century, hal 112. Rumphius juga menunjuk tahun 1625 sebagai tahun awal Herman menjadi Kapitan China pertama, lihat G. E. Rumphius, "De Ambonsche Historie . . . ," BKI 64 (1910), I, hal. 54.