Minggu, 29 Maret 2020

“Perdebatan” intelektual Chris.F van Fraasen dan Leonard.Y. Andaya (bag 2 - selesai)


Tanggapan Anthony 

                   Dalam volume 150, 2e Aflevering, 1994, BKIa menerbitkan ulasan buku ini (The World of Maluku) oleh Chris van Fraasen, yang juga menginformasikan bahwa sang pengulas (van Fraasen) dengan thesis antropologinya tahun 1987 tentang Ternate1, memenuhi syarat untuk menulis ulasan dengan otoritas.
Sayangnya, Jurnal ilmiah besar lainnya yang mengkhususkan diri dalam hal-hal tentang Indonesia, Indonesia dari Universitas Cornell, pada no 58 (Oktober 1994), menerbitkan juga secara efektif ulasan yang sama oleh pengulas yang sama – satu-satunya perbedaan besar adalah serangkain keluhan khusus yang berbeda di bagian tengah review (alinea keempat yang panjang pada BKI 150 : 424 – 425) -.
                   Dalam “bidang” yang “kecil” dengan pengulas ahli yang relatif sedikit, ulasan tunggal dapat memiliki efek yang tidak proporsional pada cara buku itu “diterima”. Sangat disayangkan, untuk persepsi yang sama tentang buku itu, menjadi satu-satunya yang tersedia untuk pembaca melalui 2 jurnal yang spesialis itu. Tinjauan yang dipermasalahkan itu luar biasa bermusuhan, tidak mengatakan apapun yang positif tentang buku itu, tetapi berkonsentrasi pada daftar divergensi dari fakta-fakta seperti yang dilihat van Fraasen, semuanya terhitung untuk mendiskreditkan The World of Maluku sebagai analisis serius sejarah Maluku. Leonard Andaya sendiri diberi ruang untuk menanggapi di jurnal Indonesia. Mungkin bermanfaat untuk memiliki pandangan ketiga tentang situasi itu di sini.
                   Aspek yang paling disesalkan dari ulasan van Fraasen adalah, bahwa ia berfokus pada dugaan kesalahan yang mendetail sedemikian rupa, sehingga menunjukan bahwa ini merupakan jantung analisis dari Andaya, sedangkan argumen penting dari buku ini tidak terlihat dari ulasan tersebut. Contoh kasus adalah “contoh” pertama dari van Fraasen :
         Asosiasi Andaya tentang 4 dunia seperti 4 titik kompas (hal 52-53) tidaklah didasarkan pada fakta-fakta empiris, tetapi tidak diragukan lagi itu berasal dari beberapa kerangka teori. Observasi hal itu di Maluku, bahwa angka 4 menandakan totalitas dan kesempurnaan dan tampaknya menjadi ciri orang-orang berbahasa Austronesia (hal 54) adalah tidak benar bagi banyak orang yang berbicara bahasa bukan bahasa Austronesia, sementara di manapun dalam bukunya, Andaya tidak menyebutkan arti penting angka 9 yang sama pentingnya juga bagi orang Maluku (BKI 150: 424).

Anthony Reid

         Terlepas dari apa yang akan diasumsikan oleh sebagian besar pembaca dalam membaca ini, van Fraasen tidak setuju dengan penekanan utama dalam buku Andaya, bahwa persatuan dunia Maluku dipertahankan oleh kompleksitasnya pluralisme dari 2 dunia dan terlebih khusus 4 dunia. Sebaliknya, pembagian 4 bagian/dunia (vierdeling) adalah tema yang bahkan lebih kuat dalam karya van Fraasen daripada Andaya. Apa yang saya yakini dari maksud van Fraasen (setelah berkonsultasi/membaca tesisnya) adalah bahwa masyarakat Maluku sangat kompleks, dengan dualisme/dualitas dimana-mana, 4 divisi terutama di Maluku Utara, seperti bagian lain Indonesia 9 divisi dan 5 divisi di seluruh Maluku Tengah (Ulisiwa dan Ulilima yang terkenal), 4 divisi dan 7 divisi di tempat-tempat lain. Kritik pada Andaya, tampaknya adalah bahwa dalam menekankan pembagian yang paling mencolok di Maluku Utara, dia (Andaya) belum memberikan konteks yang memadai.
         Tesis van Fraasen adalah pencapaian luar biasa dari pekerjaan selama 12 tahun, termasuk 2 tahun di arsip Belanda dan 1 tahun di Ternate. Tesis ini mendokumentasi 1260 halaman tentang kompleksitas masa lalu dan sekarang dari wilayah Indonesia yang paling kompleks ini, dengan ketrampilan dan perhatian terhadap detail yang diperlukan. Karya yang melelahkan ini telah memudahkan para sejarahwan dan cendekiawan lain untuk memahami konteks peristiwa Maluku di Indonesia Timur. Tetapi, audiensi yang ditulis oleh van Fraasen terbatas pada para spesialis dengan kesabaran dan keahlian etnografi (dan Belanda) untuk menyerap detail tersebut. Andaya menulis untuk audiens/pembaca yang lebih luas dari sejarahwan dalam ilmuwan sosial yang tertarik sifat-sifat alami suatu bangsa di Asia Tenggara dan cara mereka berinteraksi dengan orang Eropa dan lainnya. Bagi sebagian besar dari ini, Maluku adalah teka-teki yang rumit, rasa penasaran aneh yang buruk : bahwa berbagai pulau-pulau kecil dan kelompok etnis yang tidak dipahami, masuk dalam sejarah dunia melalui cara memonopoli pasokan cengkih dan pala. Andaya telah melakukan pekerjaan luar biasa dengan menjelaskan mengapa pemahaman orang Eropa tentang suatu negara/bangsa harus diperluas untuk memahami dunia Maluku pra-modern, dan mungkin untuk memahami negara Indonesia secara umum.
         Leonard Andaya tidak tunduk pada tantangan yang sulit, tetapi ini (penyusunan buku ini) adalah yang paling ambisius dari buku-bukunya yang lain. Buku ini lebih informatif dari karya-karya sebelumnya, dengan cara para ahli teori seperti Heyden White, James Clifford dan Marshall Sahlins yang telah “mengobok-obok” hak istimewa para sejarahwan namun masih terikat budaya. Andaya mengadopsi suatu strategi untuk “merekonstruksi 2 realitas budaya yang terpisah dari masa lalu dengan asumsi-asumsi dan sikap mereka yang berbeda, dan untuk menyampaikan pentingnya interaksi mereka dengan Eropa yang modern dan masyarakat Eropa yang berpendidikan (hal 6). Dia mengakui masalah bahwa sumber-sumber Portugis, Spanyol dan Belanda memang berlimpah tetapi sumber dari Maluku sendiri hampir tidak ada untuk periode ini. Namun demikian, ia percaya akan lebih baik untuk merekonstruksi kepercayaan/keyakinan orang Maluku dari abad ke-16 hingga 18 terutama dari sumber-sumber utama orang Eropa pada periode itu, daripada mngandalkan etnografi dan rekonstruksi sejarag abad ke-19 dan 20 – bahkan sumber Maluku sendiri seperti Hikayat Ternate dan Kronik Naidah - . Dalam hal ini strateginya tentu cukup berbeda, cukup sah  dari van Fraasen, tetapi juga cukup salah untuk menempatkan hal ini sebagai kecerobohan, seperti yang diimplikasikan oleh van Fraasen (BKI 150: 424-426).
         Seperti yang ditunjukan dalam awal bab The World of the European, Andaya lebih berhati-hati dalam mengambil sumber-sumber Eropa yang terlihat. Dia meneliti dengan cermat sistem nilai darimana sumber-sumber Portugis, Spanyol dan Belanda itu ditulis, dan secara umum mengambil posisi konseptual dari sumber-sumbernya. Seperti yang dia tegaskan sendiri (hal 249) : Materi Eropa itu sendiri terstruktur dan selektif, dan itu memerlukan pemeriksaan kritis yang sama yang diterapkan juga pada naskah-naskah asal Asia Tenggara.  Mungkin benar, bahwa relativisasi sumber yang sekarang lebih moderen ini, dapat dibaca sebagai pemaksaan terhadap jenis hak prerogatif tipe baru, tetapi dalam kasus Andaya ini, dilakukan secara sadar dan metode yang ditetapkan dengan jelas. Tidak seperti semua sejarahwan sebelumnya yang mengkaji daerah ini, ia mencurahkan banyak ruang untuk mengklarifikasi nilai-nilai, asumsi-asumsi dan mitos-mitos dari bagian-bagian orang Eropa dan Maluku sebagai narasi pertemuan mereka. 

Buku karya Anthony Reid (versi Indonesia)

         Penjelasan Andaya tentang “The World of Maluku” (bab 2 dan 3) merupakan kontribusi yang sangat penting bagi tumbuhnya pemahaman tentang sifat kekuasaan di Asia Tenggara periode pra-kolonial. Usulan Woltersb  tentang model “mandala”, Geertzc  tentang “negara teater”, dan baru-baru ini  “kerajaan kata-kata” dari Jane Drakardd  (dalam kaitannya dengan kerajaan Minangkabau), masing-masing berusaha menunjukan bahwa negara-negara “di bawah angin”, mungkin tidak memiliki “persatuan” dengan cara yang sama seperti dalam model pencerahan negara-negara Eropa. Dua kontribusi utama Andaya dalam debat yang sedang berlangsung ini, adalah gagasan tentang komplementaris pluralitas dan persatuan dalam tata bangsa Maluku dan kekuatan mitos pemersatu. Sepertia yang ia jelaskan, orang-orang Eropa merasa heran bahwa pulau-pulau kecil yang berdekatan, Ternate dan Tidore terus menerus berperang, tetapi tetap terus menerus saling  berelasi dalam konflik dan hal-hal penting satu sama lain. Kemajemukan yang serupa tertanam dalam kepercayaan/keyakinan orang Maluku di setiap tingkatan. Peperangan, pernikahan dan aliansi tidak dapat dipahami tanpa hal itu. Apa yang tampak seperti kelemahan bagi orang Eropa, seringkali adalah kekuataan dari formasi politik tertentu, dan apa yang tampak seperti kekuaatan adalah kelemahan. Apa yang mengikat sistim itu bersama-sama, dalam pandangan Andaya, adalah mitologi umum.  “Unsur paksaan tidak pernah efektif dalam mempertahankan hubungan/relasi antara pusat – pinggiran seperti kepercayaan/keyakinan pada mitos tentang asal bersama (hal 112).
         Pertemuan orang Eropa dan orang Maluku sejak tahun 1512 dan seterusnya, yang menempati bagian kedua dari buku Andaya, telah berkali-kali berhubungan sebelumnya. Akan tetapi, yang mengejutkan, buku ini adalah pertama kalinya kita memiliki catatan ilmiah modern tentang hal demikian dalam Bahasa Inggris yang dapat dengan percaya diri diberikan kepada para mahasiswa yang tidak puas dengan kajian sepintas milik Hall dan Vlekkee. Catatan Andaya jauh lebih dari sekadar narasi yang andal. Konflik Maluku yang begitu membingungkan para penulis sejarah Eropa menjadi dapat dipahami dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang digambarkan pada bagian I. Misalnya, orang-orang Iberia (Portugis dan Spanyol) kerap menawan para pewaris tahta sebagai tahanan virtual/bayangan dan berharap orang-orang Ternate akan setia pada mereka, sedangkan pola hak anak sulung laki-laki jauh lebih kurang penting bagi orang-orang Maluku pada periode ini daripada pola aliansi dan kecakapan, dengan kaum wanita memainkan peran besar dalam kedua bagian pola itu. Konflik yang berlangsung lama antara Ternate dan Tidore adalah aspek yang perlu dalam kehidupan orang Maluku dan tidak dapat berakhir dengan kemenangan satu pihak, seperti yang diinginkan Spanyol dan Belanda dalam konflik mereka. Andaya menceritakan kembali kisah memikat pemberonatakan Nuku di Maluku pada akhir abad ke-18, sebagai tindakan terakhir dari drama pluralis ini, dengan Nuku merasa bahwa Belanda telah begitu merusak “4 pilar Maluku”, yang pada gilirannya, ia bercita-cita harus menyatukan wilayah melawan mereka, meskipun dalam kekalahan, ia kembali berusaha untuk membangun kembali 4 kerajaan lama.
         Maluku adalah bagian paling terkenal dari Kepulauan Nusantara pada abad ke-16, tetapi secara bertahap mundur ke status “pinggiran” sehingga sebagian besar sejarahwan modern tidak memiliki kesabaran dengan kompleksitasnya. Andaya telah membawa kawasan itu kembali ke “pusat” panggung Asia Tenggara dengan prioritas, daripada mengabaikan kompleksitas itu. The World of Maluku seharusnya dibaca oleh semua orang yang ingin memahami tidak hanya soal interaksi Eropa paling awal dengan Asia bagian timur, tetapi sifat-sifat alami dari tata negara di wilayah tersebut.

Catatan Kaki
  1. Ch.F. van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel. Van soaorganisatie en vierdeling; Een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesiƫ, 1987, 2 vols. [Doctoral dissertation, Leiden University.]



Tanggapan balik Chris. F. Van Fraasen (terhadap Anthony Reid)

Dalam reaksinya terhadap ulasan saya tentang buku Leonard Andaya, The Wold of Maluku : Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Anthony Reid menulis antara lain :
Tinjauan yang dipermasalahkan itu luar biasa bermusuhan, [.....] berkonsentrasi pada daftar divergensi dari fakta-fakta seperti yang dilihat oleh van Fraasen, semuanya terhitung untuk mendiskreditkan buku The World of Maluku sebagai analisis serius sejarah Maluku [.....] Aspek yang paling disesalkan dari ulasan van Fraasen adalah bahwa ia hanya berfokus pada dugaan detail kesalahan sedemikian rupa, sehingga menunjukan bahwa ini merupakan jantung analisis Andaya, sedangkan argumen-argumen penting dari buku ini tidak terlihat dari ulasan itu (BKI 151 – I:132). Keterangan-keterangan ini dapat disebut sebagai balasan jawaban.

            Jika hal di atas memang inti utama dari komentar-komentar Reid, saya akan mengulangi lagi pernyataan saya, bahwa bagi saya hampir tidak ada titik-titik baru yang “berharga/penting” yang dideteksi dalam buku yang sedang ditinjau ini. Meskipun ditulis dengan sangat baik, dalam pandangan saya tentu tidak berkontribusi pada analisis serius tentang sejarah Maluku. Bertentangan dengan apa yang dituduhkan oleh Reid, keberatan utama saya bukanlah “detail kesalahan”, tetapi lebih pada kenyataan – dan saya ulangi lagi apa yang saya tulis dalam ulasan awal saya – bahwa dalam usahanya untuk mereduksi situasi kompleks menjadi gambaran sederhana, Andaya terlalu selektif dalam menggunakan dan “menghilangkan” sumber-sumber yang tersedia untuk memeriksa titik awal dan hipotesisnya terhadap fakta.
                    “Contoh” pertama saya yang dikutip oleh Reid dapat menggambarkan bahwa keberatan saya tidak hanya berkaitan dengan detail kesalahan, tetapi pertama-tama dan terutama pada metode Andaya dalam melakukan penelitiannya. Reid mengasumsikan bahwa kritik saya tentang hal ini, bermuara pada tuduhan bahwa Andaya, dalam menekankan pembagian paling mencolok di Maluku Utara, telah gagal memberikan konteks yang cukup. Saya tidak melihat alasan untuk menyangkal bahwa Andaya memang memberikan konteks yang tidak memadai tentang pembagian 4 dunia di Maluku. Tetapi ini bukan poin yang coba saya buat. Tujuan utama saya adalah untuk menunjukan bahwa pembagian Maluku menjadi 4 dunia/wilayah tidak benar-benar dapat benar-benar dihubungkan seperti 4 titik kompas, juga tidak dapat dikaitkan dengan 4 titik kompas oleh orang-orang Maluku sendiri dalam sistim klasifikasi mereka, alasan antara lainnya karena tidak ada istilah yang sesuai dengan 4 titik kompas dalam bahasa lokal non austronesia. Dalam sistim klasifikasi lokal, pembagian yang penting itu adalah “ atas” , “bawah”, “laut”, “darat”. Asosiasi Andaya tentang pembagian 4 dunia dengan 4 titik kompas itu, tidak bisa dipertahankan dalam segala hal. Dia (Andaya) memaksakan pada pembagian 4 dunia Maluku dengan model pembagian 4 sisi ala antropologis klasik, dimana titik-titik kompas itu menonjol, tanpa secara hati-hati memeriksa apakah model ini benar-benar cocok dengan situasi Maluku. Saya berkeberatan serius terhadap kurangnya persyaratan-persyaratan itu, yang dengannya Andaya menyajikan asumsi dan anggapannya sebagai fakta dalam buku ini, sehingga terus menerus melanggar kenyataan.
                    Banyak sarjana yang melakukan penelitian yang bertujuan untuk diperhatikan dan dapat diandalkan, akan terus menguji ide-ide mereka selama penelitian dengan memeriksa apakah mungkin untuk memalsukan ide-ide ini, dan akan menghilangkan ide-ide ini dari publikasi apapun yang dihasilkan dari penelitian, jika hal itu terbukti tidak dapat dipertahankan. Namun tidak demikian halnya dengan Andaya. Pengamatan terhadap bukunya, menunjukan bahwa ia tampaknya lebih tertarik pada narasi yang menyenangkan daripada dalam analisis ilmiah yang serius. Meskipun The World of Maluku mengungkap banyak gagasan dan metode penelitian Andaya, buku itu tidak memberikan kontribusi orisinal yang serius bagi pengetahuan dan pemahaman kita tentang sejarah Maluku. 

Buku yang dieditori Chris F van Fraasen

                    Selain itu, saya tetap pada keberatan saya terhadap pilihan Andaya atas sumber-sumber dari Maluku. Memang, jika Andaya secara konsisten menahan diri menggunakan sumber-sumber dari Maluku dalam merekonstruksi masa lalu dan kepercayaan/keyakinan orang Maluku, serta membatasi dirinya pada sumber-sumber primer Eropa kontemporer (abad 16 hingga 18), ini akan menjadi pilihan yang sah. Namun, ia jauh dari konsisten dalam hal ini. Pertama, ia menyampaikan fakta bahwa Valentijn, ketika menulis deskripsinya tentang sejarah Maluku periode abad ke-17, menggunakan naskah-naskah Ternate, sehingga sumber yang penting ini, tentu saja tidak dapat dianggap sebagai sumber primer Eropa yang sepenuhnya “tidak terkontaminasi”. Kedua, Andaya sama sekali tidak segan-segan menggunakan naskah tentang sejarah Maluku, yang ditulis di Ternate pada tahun 1979 oleh A.H. Hasan. Hasan sejak tahun 1975 dan seterusnya, bertindak sebagai informan dan asisten peneliti untuk berbagai peneliti Eropa dan Amerika, dan memiliki pengetahuan tentang naskah kuno Ternate melalui mereka. Wawasannya sebagian dibentuk dalam banyak diskusi yang ia lakukan dengan para sarjana barat dan pengunjung lainnya. Jika seseorang memutuskan, untuk alasan apapun, untuk tidak menggunakan sumber-sumber dari Maluku abad ke-20, ia akan konsisten juga untuk menggunakan naskah abad ke-20 yang ditulis khusus untuk para peneliti barat. Dengan tidak mengikuti garis yang konsisten dalam hal ini, Andaya menciptakan kesan bahwa ia memilih dan memungut secara sembarangan hanya sesuai dengan tujuan dan kenyamanannya, untuk membuat hal itu menjadi terang benderang.
                    Reid dengan tegas merekomendasikan buku Andaya untuk gagasan tentang komplementaris pluralitas dan persatuan di negara Kepulauan Maluku serta kekuatan mitos pemersatu. Dalam kaitan ini, saya akan menunjukan bahwa Andaya sama sekali bukan sarjana pertama yang menekankan fenomena persatuan dalam keragaman di dunia Maluku. Selain itu, ia lalai untuk menunjukan cara rumit dimana orang Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda) saling berhubungan dengan pembagian-pembagian dan perlawanan-perlawanan orang Maluku yang berlaku dalam sistim dualisme/dualistik politik dan budaya, dan pada abad ke-16 berkonstribusi pada kacaunya keseimbangan politik di Maluku. Sebagai contoh, pada tahun 1551 orang-orang Ternate tanpa ragu-ragu, meminta bantuan Portugis untuk menghancurkan Jailolo dan menghancurkan kekuasaannya sebagai entitas politik, dengan demikian menghancurkan persatuan 4 wilayah/dunia. Jika orang Ternate juga dapat memobilisasi kekuatan yang diperlukan, dengan atau tanpa bantuan kaum Eropa, untuk menghancurkan Tidore dan menghancurkan kekuataannya sebagai entitas politik, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa mereka tidak akan memanfaatkan kesempatan itu. Sumber arsip menunjukan bahwa pada abad ke-17 dan 18, di pihak lain, Belanda melakukan segala daya mereka untuk menjaga sistim persaingan yang seimbang tetap utuh. Dengan kata lain, sementara pada abad ke-16, orang Maluku menggunakan orang Eropa untuk mengganggu keseimbangan, di lain waktu, orang Eropa melakukan segalanya untuk menjaga keseimbangan itu. Terlalu sederhana untuk mengasumsikan, seperti yang tampaknya dilakukan Andaya, bahwa sejauh menyangkut orang-orang Maluku, itu bukanlah isu soal penghilangan pihak lain, tetapi hanya kebutuhan untuk berjuang  atau berkonflik itu sendiri, sementara aliansi orang Maluku dengan orang-orang Eropa dibentuk dengan pandangan terhadap kebutuhan menjaga keseimbangan dalam sistim dualistik (halaman 152, 174).
                    Singkatnya, saya tetap berpegang pada pandangan yang saya ungkapkan sebelumnya, bahwa Andaya telah luar biasa selektifnya dalam penggunaan sumber-sumber tersedia, dan telah gagal untuk menguji hipotesisnya dengan serius. Apa yang diterbitkan adalah naskah yang penuh dengan gagasan-gagasan yang – menurut pendapat saya – masih jauh dari siap untuk diterbitkan. Saya siap mengakui bahwa norma saya tentu saja bukanlah norma yang universal/ “umum”.

=== selesai ===

Catatan Tambahan :
  1. Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie.... Jurnal ini sering disingkat BKI
  2. Konsep Oliver Wolters tentang “mandala” dijelaskan dalam bukunya yang berjudul History, Culture and Region in Southeast Asian Perspectives. Institute of Southeast Asian Studies, 1982
  3. Konsep Clifford Geertz tentang “negara teater” dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Negara : The theatre state in 19th century in Bali, Princenton University Press, USA, 1980
  4. Konsep Jane Drakard tentang “kerajaan kata-kata” dijelaskan dalam naskah disertasi untuk gelar PhD di Australian National University tahun 1993 dengan judul A Kingdom of Words: Minangkabau sovereignity in Sumatran History. Naskah ini kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1999 dengan judul A kingdom of Words : Language and Power in Sumatra 
  5. Yang dimaksud oleh Anthony Reid tentang kajian sepintas dari Hall dan Vlekke adalah buku karya Kenneth R Hall berjudul Explorations in Early Southeast Asian History : The Origins of Southeast Asian Statecraft (1976), sedangkan buku B.H.M Vlekke berjudul Nusantara : A History of the East Indian Archipelago, Cambridge, 1944

Jumat, 27 Maret 2020

“Perdebatan” intelektual Chris.F van Fraasen dan Leonard.Y. Andaya (bag 1)


  1. Pendahuluan

 Berbeda pendapat, pemikiran dan beragam hal dari yang remeh temeh hingga serius adalah hal yang manusiawi dalam kehidupan.  Benarlah kalimat bijak..... rambut boleh sama-sama hitam, tetapi isi kepala tidaklah sama.  Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh pola pikir dari masing-masing individu yang berbeda, cara memandang sesuatu masalah dari perspektif yang beragam.
Perbedaan pendapat di kalangan sarjana adalah hal intelektual itu sendiri. Ada yang sependapat, tapi beberapa juga yang berbeda pendapat.
Artikel terjemahan ini, adalah fragmentasi dari perbedaan pendapat di kalangan sarjana terkemuka di bidangnya. Ini bermula dari tinjauan/resensi dari Chris. F. Fraasen terhadap salah satu karya sejarahwan Leonard Yuzon Andaya. Pada tahun 1993, karya Andaya diterbitkan oleh University of Hawaii Press dengan judul The World of Maluku : Eastern Indonesia in Early Modern.
Chris. F. Fraasen seorang antroplog asal Belanda yang meraih gelar PhD dengan disertasinya tentang Ternate, melakukan riview atau tinjauan/resensi terhadap karya Andaya ini. Sebenarnya, tinjauan Fraasen ini pertama kali dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie volume 150, 2e aflevering tahun 1994, kemudian dipublikasikan lagi oleh Journal Indonesia dari Cornel University pada Oktober 1994 no 58 dengan versi yang lebih singkat. Versi itulah yang kami terjemahkan ini.
Review dari seorang sarjana terhadap karya sarjana lainnya, merupakan hal yang biasa dan perlu dalam dunia akademis, namun kali ini agak “berbeda” karena tinjauan van Fraasen dianggap menyerang dan mendiskreditkan karya Andaya ini.
Pada salah satu alineanya, van Fraasen bahkan sampai menyebut kalau buku Andaya seperti produk turis bergelar sarjana..... dan dalam tanggapan baliknya, Andaya juga menyebut kalau rekonstruksi historis van Fraasen pada naskah disertasi PhD-nya dangkal dan tidak reflektif.

Kami merasa “perlu” menerjemahkan tinjauan review ini dengan 2 pertimbangan, yang pertama adalah bahwa apa yang dilakukan oleh 2 sarjana hebat itu, adalah perspektif mereka terhadap sejarah orang kita, sejarah orang Maluku. Kita perlu membacanya, sehingga minimal mengerti pola pikir dan produk pemikiran “orang luar” terhadap sejarah kita sendiri. Yang kedua adalah kami ingin menyajikan dan minimal menciptakan serta membiasakan “budaya” berdebat itu sendiri bagi kita sendiri. Bakumalawang adalah hal yang manusiawi, namun bakumalawang dengan argumentasi yang tertata, nalar yang hebat akan menghasilkan sintesis dan antitesa dalam kehidupan manusia.
Perlu dijelaskan juga, bahwa terjemahan “perdebatan” intelektual ini, kami bagi menjadi 2 bagian, dimana bagian pertama berisikan tinjauan van Fraasen serta tanggapan balik dari Leonard Andaya, bagian kedua berisikan “penjelasan” sejarahwan hebat lainnya Anthony Reid yang mencoba untuk “mendamaikan” perseteruan itu, dan tanggapan balik dari van Fraasen terhadap apa yang ditulis oleh Reid.

Leonard Yuzon Andaya adalah Profesor sejarah yang banyak menulis buku-buku dan artikel bermutu tentang sejarah Asia Tenggara, misalnya The Heritage Arung Palaka (1981), Leaves of the same tree : Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka (2008), The Kingdom of Johor (1975), History of Malaysia bersama istrinya Barbara Watson Andaya (1982, 2000), Centers and Peripheries in Maluku (1993), Local Trade Networks in Maluku in 16th, 17th, 18th centuries (1991), The Bugis-Makasar Diasporas (1995), The social value of Elephant tusks and bronze drums among certain societies in eastern Indonesia (2016) dan lain-lain.... sedangkan Chris F. Fraasen juga menulis beberapa artikel bermutu dan mengeditori sumber-sumber sejarah Maluku Tengah seperti  Drie plaatsnamen uit oost-indonesie in de Nagara-Kertagama : Galiyao, Muar en Wwanin en de vroege handels-geschiedenis van de Ambonse Eilanden (1976), Atjeh en de Islam (1970), Islam in de Molukken (2003), Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902 (1997), Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1902 – 1942 (1997).... Anthony Reid juga dikenal sebagai seorang pakar sejarah Asia Tenggara dengan buku-bukunya yang terkenal seperti Southeast Asia in the age of commerce 1450 – 1680, 2 volume (1988, 1993), The Blood of the people (1979).

Akhir kata selamat membaca... selamat menikmati perdebatan intelektual para sarjana yang telah menghasilkan karya-karya bermutu itu....semoga kita bisa belajar menghargai, menghormati pendapat dan pemikiran orang lain, meski sangat bertentangan dengan pemikiran kita, semoga kita bisa mengambil manfaat dari perdebatan intelektual mereka....semoga....

  1. Terjemahan : (oleh Kutu Busu)

Kritikan Chris.F. van Fraasen

                    Buku The World of Maluku meliputi (kajian) tentang 3 abad interaksi orang Eropa dan Maluku (sejak abad ke-16 hingga ke-18). Maluku, yang lebih tepat kata Maluku adalah (hanya terdiri dari 4 wilayah yaitu Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan), tumpang tindih dengan bagian Provinsi Maluku Utara dewasa ini. Keempat wilayah ini, penting dalam sejarah Indonesia karena sebuah fakta bahwa hingga abad ke-16, wilayah itu mengendalikan produksi cengkih dunia secara total. Posisi kekuasaan para penguasa di 4 wilayah ini, didasarkan pada daya cengkeraman mereka pada produksi dan perdagangan cengkih, yang sangat diminati di Asia dan Eropa. Portugis dan Spanyol tertarik oleh perdagangan cengkih dari awal abad ke-16, dan mereka menciptakan aliansi masing-masing dengan Ternate dan Tidore. Pada awal abad ke-17, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) menjadi kekuatan Eropa yang dominan di Maluku. Pada masanya, VOC menciptakan monopoli dalam hal membeli dan memperdagangkan cengkih, menghalangi semua perdagangan bebas, dan mengendalikan kehidupan politik di Maluku. 

Buku Leonard Y Andaya (versi terjemahan Indonesia)

                    Dalam buku yang sedang (kami) tinjau ini, Leonard Andaya, sambil menyajikan sketsa jalannya peristiwa-peristiwa, menekankan pada kesenjangan antara lingkungan intelektual Eropa dan kerangka acuan Maluku tentang persepsi historis, hubungan pusat – pinggiran (center – periphery), klasifikasi simbolik dan lain-lain. Menurut Andaya, ada celah ketidakpahaman antara, di satu sisi, orang-orang Eropa, yang dunia mentalnya didasarkan pada prinsip-prinsip klasik dan Kristen, dan di sisi lain, orang-orang Maluku, yang menekankan kesatuan alam semesta mereka pada suatu fakta bahwa alam semesta mereka terdiri dari 4 wilayah yang terbagi dalam 2 bagian, diwakili oleh Ternate dan Tidore.
                    Deskripsi tentang apa yang disebut oleh Andaya sebagai “Dunia Eropa” pada dasarnya adalah sinopsis dari beberapa buku tentang masalah ini. Lebih sulit adalah deskripsi dan analisis tentang “Dunia Maluku”. Andaya benar saat mengamati (dan menyatakan) : “Menyarankan apa yang mungkin menjadi keprihatinan/kekhawatiran utama orang Maluku di masa lalu adalah perkara yang sangat beresiko” (halaman 21). Namun demikian, ia tampaknya cukup yakin dengan dirinya sendiri, saat menulis : “ Ada cara khusus orang-orang Maluku untuk mengatur dan menafsirkan sejarah mereka. Ketika peristiwa dalam periode yang diteliti/dikaji ditempatkan dalam konseptual kerangka kerja orang-orang pribumi ini, kegiatan baik dari orang luar dan penduduk pribumi memperoleh arti penting khusus yang memberikan penafsiran khusus tentang masa lalu Maluku” (halaman 22).  Nilai pernyataan ini sangat tergantung pada pengetahuan dan pemahaman Andaya tentang “konseptual kerangka kerja orang pribumi”. Andaya tidak menggunakan sumber-sumber tertulis Maluku yang paling penting yang tersedia (yaitu Sejarah Ternate, yang disusun oleh Naidah, yang diterbitkan pada tahun 1878a, dan Hikayat Ternate, yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden)1. Satu-satunya sumber tertulis Maluku yang disebutkan dan digunakan oleh Andaya adalah esai yang diketik, disusun pada tahun 1979. Selain itu, ia tidak terlalu tekun “berkonsultasi” dengan sumber-sumber Eropa dimana konseptual  kerangka kerja Maluku dijelaskan dan dianalisis. Lebih jauh lagi, sejumlah pernyataan secara jelas didasarkan pada penggunaan kerangka kerja teoritis yang tidak kritis, yang dikembangkan oleh para antropolog.
                    Beberapa contoh yang dipilih secara acak, akan cukup untuk menggambarkan poin-poin penting ini. Cukup banyak kata-kata, istilah dan nama-nama dalam bahasa Maluku, yang keliru diterjemahkan/ditafsirkan. Gelar asli dari “prime minister/perdana menteri” atau vizir bukanlah jogugu (yang ditafsirkan sebagai versi singkat dari kolano magugu oleh Andaya dan diterjemahkan sebagai “the lord who holds the kingdom in his hand”) tetapi yang sebenarnya adalah gogugu, yang secara literal bermakna “manager”.  Kata Fato tidak bermakna “ to tell the history” tetapi yang benar adalah “to order”; kata bobato tidak bermakna “that which gives order” tetapi yang benar adalah “he who brings order”. Kata Guna tidak bermakna “fortune” tetapi bermakna “usefulness, virtue, quality”.
                    Cara Andaya mengelola sumbernya, diilustrasikan dengan sempurna dengan membandingkan ekstrak dari The Treatise (yang oleh Andaya dianggap berasal dari tanpa menyebutkan Galvao) dengan ekstrak dari penelitian Andaya berdasarkan ekstrak yang relevan dari The Treatise.

Ada pejabat lain (di) istana, yang mereka sebut Pinate, dalam dirinya seorang pemimpin upacara dan seorang pengawas kerajaan dikatakan menyatu. Dia ditunjuk dengan tugas untuk memungut dan menugaskan/memerintahkan masing-masing kota sejumlah bahan makanan yang harus disediakan, dan mengumpulkan serta memerintahkan penyiapan makanan untuk jamuan makan dan para tetamu2

Awalnya, perdagangan internasional dengan mudah digabungkan dalam ritual pertukaran tradisional. Galvao menggambarkan praktik yang sudah lama dilakukan, dimana produk dari wilayah ini pertama kali dikirimkan kepada penguasa melalui pejabat yang dikenal sebagai Pinate dan kemudian dikonsumsi dalam sebuah upacara komunitas. Upacara semacam itu sangat dikenal dalam literatur antropologis dan ditafsirkan sebagai pertukaran simbolis, yang menegaskan kembali ikatan antara rakyat dan para pemimpinnya (Andaya, halaman 56-57)

                    Pendapat Andaya bahwa, kebijakan VOC  mengarah pada transformasi pertukaran ritual yang didasarkan pada nilai-nilai spiritual ke hal yang murni ekonomi yang didasarkan pada keuntungan dan kekuasaan (halaman 57), menunjukan persepsi yang terucap dan agak romantis tetapi tidak dapat dibenarkan, dimana situasi seimbang yang murni, diubah oleh intervensi Eropa ke hubungan yang menyimpang yang menguntungkan penguasa. Pernyataan bahwa “ Islam memberikan dasar terbaru dan mungkin yang paling penting dari otoritas kerajaan di Maluku” (halaman 57,62), haruslah dikatakan dapat dipertanyakan; bandingkan misalnya masyarakat Minangkabau, yang sangat dipengaruhi oleh Islam tanpa mengembangkan otoritas kerajaan yang kuat, atau masyarakat Polinesia, yang tidak pernah dipengaruhi oleh Islam, tetapi tetap mengembangkan dinasti kerajaan yang kuat3.
                    Hal demikian menyesatkan, dengan mengingat fakta-fakta yang tersedia tidak dapat dibenarkan, untuk mengagambarkan penguasa Maluku abad ke-16 sebagai Primus Inter Pares (halaman 60, 69). Andaya secara tidak kritis mengikuti Valentijn (1724) yang dalam tulisannya menyebut bahwa di Ternate, ekspansi awal dipimpin oleh Fala Raha (four houses) (halaman 83); faktanya, hanya 2 dari 4 “ houses”, yaitu Tomagola dan Tomaitu, yang melakukan aksi di luar Ternate. Andaya tampaknya tidak menyadari bahwa VOC memiliki kepentingannya sendiri dalam menekankan kepastian formal Ternate atas Sulawesi Utara dan Timur (halaman 84-85); dengan mengakui pretensi kedaulatan Ternate, maka Belanda sebagai “tuan” dari Ternate, secara tidak langsung mengklaim dirinya sebagai “tuan” juga atas semua wilayah “jajahan” Ternate, dan oleh karenanya menciptakan dasar hukum untuk menolak semua akses ke daerah-daerah ini bagi siapa pun juga, yang bisa menjadi ancaman terhadap posisi Belanda di Nusantara. Yang juga perlu dipertanyakan, apakah pusat dan pinggiran melihat diri mereka sebagai anggota dari satu keluarga Maluku (halaman 112), dan mengingat banyaknya penolakan terhadap otoritas dan kekuasaan Ternate di wilayah-wilayah yang oleh orang-orang Ternate dan Belanda menganggapnya sebagai “jajahan” (halaman 162); hal yang lain yang perlu dipertanyakan, apakah seperti yang dikatakan oleh Andaya bahwa “ sifat alami pertukaran produk dan jasa untuk barang-barang prestisius dan berkah spiritual itu sama sekali tidak dianggap sebagai sebagai suatu pengaturan yang tidak setara dan menindas” (halaman 112).  
                    Contoh-contoh ini tentunya dapat ditambah lagi. Mengenai fakta-fakta, sumber-sumber  historis yang telah disalin dengan cara yang tidak kritis dan ceroboh. Banyak kesalahan dan ketidakakuratan bisa dihindari dengan membaca lebih cermat. Kelemahan lain dari buku ini, adalah Andaya sama sekali tidak menyebutkan  sejumlah fakta dan masalah penting, seperti fakta bahwa penduduk Maluku berasal dari daerah yang sangat heterogen. Andaya bahkan tidak membuat perkiraan jumlah penduduk Maluku.
                    Namun, kelemahan utama dari buku ini adalah Andaya cenderung mereduksi situasi yang kompleks menjadi gambaran sederhana, dimana orang-orang Eropa pada umumnya menciptakan kesan bagi pembaca tentang jiwa-jiwa sederhana yang di Maluku tidak kehilangan pikiran sempit Eropa mereka sendiri. Dalam pandangan saya, dia (Andaya) terlalu melebih-lebihkan, ketika dia menulis : sebagai bentuk produk yang sangat banyak dari pandangan klasik dan abad pertengahan yang turun temurun, orang Eropa percaya bahwa “luar negeri” (yaitu “pinggiran”) tidak bisa menjadi sesuatu apapun selain antitesis dari segala hal yang baik di “rumah” (yaitu “pusat”) halaman 44). Dengan mengatakan seperti ini, ia (Andaya) menyampaikan fakta, misalnya, bahwa Belanda tidak merasa ada masalah dalam melakukan aliansi dengan dunia dan kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Hitu, agar dapat mengusir Portugis, musuh mereka dari Maluku. Dia (Andaya) juga melewatkan perbedaan pendapat dalam kubu Eropa, seperti yang muncul dalam “perdebatan” antara J.P. Coen yang memilih tindakan tegas di Maluku dengan Gubernur Ternate dan Ambon, yaitu Reael dan Van der Haghenb, yang mempertanyakan atas dasar hukum apa, sehingga para pedagang Asia dilarang “memasuki” Maluku4. Andaya juga menulis proposisi yang tidak berhasil atau tidak bisa dibuktikan, seperti : “ Konsep bangsa Eropa tentang waktu dan “kemajuan” ini sangat kontras dengan gagasan orang-orang pribumi Maluku tentang waktu yaitu berupa siklus dan episodik. Kedua metode penafsiran ini menafsirkan masa lalu, sekarang, dan masa depan merupakan masalah mendasar dalam hubungan antar kelompok dalam periode moderen awal ini” (halaman 24).
                    Kesimpulannya, Andaya sangat selektif dalam memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, dan tidak secara serius menguji titik-titik awal dan hipotesisnya. Studi ini ditulis tanpa persiapan matang, suatu pendekatan yang tentu saja bermanfaat bagi buku yang dapat “dibaca”. Buku ini, mungkin paling baik dicirikan sebagai produk dari pelancong yang bergelar sarjana, yang menulis dengan baik, tetapi tidak cukup memeriksa pandangan-pandangannya sendiri yang menarik dengan fakta-fakta yang tersedia.


Catatan Kaki
  1. Lihat Ch. F. van Fraassen, 'Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel; van soa organisatie en vierdeling," 2 vols. (PhD dissertation, University of Leiden, 1987), 1: 9-11
  2. H. Jacobs, ed., A Treatise on the Moluccas (c. 1544). Probably the preliminary version of Antonio Galvao's Histioria das Molucas. (Rome, 1971), p. 113.
  3. For the relationship between royalty and Islam in Ternate, see van Fraassen, 'Ternate," vol. 1, pp. 32-33, 344
  4. Ibid., vol. l,p. 41

 
Leonard Yuzon Andaya

Tanggapan Leonard Andaya :

                Suatu tanggapan terhadap suatu ulasan dapat merangsang perdebatan yang penting, jika ulasan tersebut bijaksana dan karenanya mendorong penilaian lebih lanjut dari subjek tersebut. Namun, dalam masalah ini, saya tidak bisa merespon dengan cara yang saya inginkan, karena ulasan dari Dr van Fraasen bahkan belum mulai membahas masalah utama buku ini. Alih-alih, ia hanya berfokus pada beberapa “kesalahan” yang terisolasi untuk “membuktikan” bahwa The World of Maluku adalah karya ilmiah yang tidak rapi. Ini adalah tuduhan serius yang meragukan kemampuan saya, untuk membaca dan menafsirkan sumber-sumber yang menjadi dasar dari semua publikasi saya sebelumnya selama 20 tahun terakhir. Meskipun saya ingin membahas masalah-masalah penting yang diangkat dalam buku ini, saya khawatir bahwa tekanan dan nada ulasan van Fraasen, membuat saya tidak punya pilihan lain selain menghadapi tuduhan-tuduhan ini.
                Tuduhan van Fraasen tentang sarjana yang buruk terletak pada keyakinannya, bahwa saya tidak berkonsultasi dengan sumber-sumber tertentu dan salah membaca sumber-sumber seperti yang saya lakukan. Jelaslah, bahwa dia (van Fraasen) sama sekali tidak memperhatikan masalah historiografi dan keterbatasannya, yang telah coba saya jelaskan dalam Kata Pengantar. Merupakan keputusan saya untuk mengandalkan sejauh mungkin pada catatan sesuai dengan periode yang dibahas. Menyarankan bahwa saya sebaiknya berkonsultasi dengan karya-karya dari periode kemudian untuk kerangka kerja konseptual ini, akan bertentangan dengan metodologi yang saya terapkan. Ini merupakan alasan bahwa karangan Naidah dan Hikayat Ternate tidak termasuk dalam rekonstruksi kerangka kerja konseptual Maluku pada periode moderen awal. Kedua karya itu dikonsultasikan tetapi tidak tercantum dalam daftar pustaka, karena saya hanya memasukan karya-karya yang dikutip dalam teks buku itu sendiri.
Berkenaan dengan tuduhan tersirat van Fraasen, bahwa saya tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kerangka kerja konseptual masyarakat pribumi, saya hanya bisa merujuknya sekali lagi ke Kata Pengantar. Saya telah menjelaskan kepada pembaca bahwa saya menyadari terlibatnya masalah-masalah  historiografi dalam usaha merekonstruksi sudut pandang “kaum pribumi”, tetapi bersedia mengambil resiko itu berdasarkan pembacaan yang cermat atas sumber-sumber (halaman 7-8). Apa yang ingin saya hindari adalah persis seperti cara yang van Fraasen ingin saya lakukan : yaitu, untuk berkonsultasi dengan “sumber-sumber Eropa dimana kerangka kerja konseptual Maluku dijelaskan dan dianalisis”.  Tidak diragukan lagi, apa yang ada dalam pikiran van Fraasen adalah rekonstruksi, termasuk miliknya sendiri, berdasarkan materi dari periode kemudian daripada abad-abad yang sedang diteliti/dibahas. Meskipun tentu saja menyadari rekonstruksi ini, saya menyadari hal itu tidak memuaskan karena hal itu tidak mencerminkan masyarakat yang digambarkan dalam sumber-sumber kontemporer.
Tuduhan bahwa bagian pada Dunia Eropa “ pada dasarnya adalah sinopsis dari beberapa buku populer tentang masalah ini”, tidak hanya tidak akurat tetapi juga menunjukan kesalahpahaman yang mencolok dari seluruh akumulasi penelitian sejarah. Karena saya sedang menjelajahi bidang baru, saya mengandalkan saran dari sejarahwan Eropa abad pertengahan dan berusaha memilih sumber-sumber yang paling cocok untuk menangkap rasa dunia eropa moderen awal. Apa yang oleh van Fraasen dengan cara meremahkan, disebut sebagai “sinopsis”, sebenarnya adalah sintesis pendapat para ahli tentang subjek tersebut. Pada bagian Dunia Eropa, saya membahas beberapa kepercayaan bersama berdasarkan tradisi klasik dan kristen, tetapi juga menyoroti perbedaan pra-okupasi nasional antara Portugis, Spanyol dan Belanda. Justru karena penolakan van Fraasen terhadap diskusi ini, ia hanya membuat apa yang hanya dapat disebut sebagai pernyataan yang terinformasi mengenai aliansi Eropa dengan dunia kaum pribumi.
Dengan cara yang sama, van Fraasen menuduh saya tentang “ penggunaan kerangka teoritis yang tidak kritis yang dikembangkan oleh para antropolog”, namun gagal menyebutkan apa yang menurutnya tidak kritis tentang penggunaan kerangka itu oleh saya. Karena disiplin ilmu antropologi dan sejarah telah memiliki hubungan yang sangat bermanfaat dalam studi Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia Timur pada khususnya, akan lebih konstruktif, jika van Fraasen mencoba untuk memajukan bidang ini, dengan menyumbangkan ide-idenya ke perdebatan.
Sisa dari tinjauan itu adalah serangan acak terhadap berbagai pernyataan yang dibuat dalam buku ini, dalam upaya untuk menunjukan kesalahan saya dalam membaca sumber. Van Fraasen pertama-tama mempertanyakan intepretasi saya tentang istilah-istilah dalam bahasa Maluku dan Melayu. Ini pada dasarnya bermuara pada pilihan antara penafsirannya dan penafsiran saya. Saya telah memberikan catatan kaki dalam buku saya, sumber-sumber untuk definisi saya tentang istilah-istilah bahasa Maluku, dan saya tidak melihat alasan untuk menerima argumennya sendiri. sejauh definisi kata Melayu yaitu guna yang dipersoalkan, saya ingin mengutip R.J. Wilkinson, seorang sarjana sastra Melayu klasik yang terkenal. Ia menelusuri kata itu dalam arti bahasa Sansekerta yaitu “ virtue in anything”. Ia kemudian menawarkan 2 pengertian kata itu dalam bahasa Melayu, yang pertama dan yang paling penting diantaranya adalah “magical potency”1.  “Magical potency” ini tepatnya adalah konotasi yang ingin saya sampaikan saat memilih kata “fortune” sebagai padanan terdekat dalam Bahasa Inggris. Kata-kata seperti kata guna dengan kesan kuat pada potensi spiritual/magis tidaklah khas di kepulauan ini, tetapi juga ditemukan di dataran Asia Tenggara dan Pasifik (halaman 51).
Van Fraasen kemudian mencoba untuk “membuktikan” penyalahgunaan sumber saya dengan mengutip abstrak dari The Treatise karya Galvao dan sumbangan saya tentang itu. Saya gagal melihat dimana saya menyalahgunakan informasi tersebut. Dalam analisis saya tentang The Treatise dan catatan-catatan Eropa kontemporer, saya telah berusaha mengkontekstualisasikan materi dan menafsirkannya dalam konteks ini.  Pendekatan sederhana van Fraasen terhadap sumber-sumber historis, tidak hanya terbukti dalam contoh-contoh yang ia kutip dalam ulasan; juga tampak jelas dalam rekonstruksi historis yang dangkal dan tidak reflektif yang ditemukan dalam disertasi PhD-nya, yang  juga dikutip olehnya untuk membantah penafsiran saya tentang masa lalu Maluku.
Contoh ketidakmampuan van Fraasen, untuk memahami pernyataan yang dibuat dalam kajian ini, adalah serangannya terhadap klaim saya, bahwa Islam memberikan dasar penting bagi otoritas kerajaan di Maluku. Untuk membantah argumen ini, ia mengutip kasus masyarakat Minangkabau dan Polinesia yang katanya memiliki otoritas kerajaan yang “kuat” tanpa Islam. Tetapi, pandangan saya adalah bahwa Islam, walaupun mungkin yang paling penting, hanyalah satu dari beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kekuasaan kerajaan di Maluku; saya sama sekali tidak berpendapat bahwa Islam penting untuk otoritas kerajaan yang kuat. Siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang perkembangan historis Islam di kepulauan itu akan sedikit menemukan kontroversial dalam pengamatan saya tentang peran penting Islam dalam evolusi otoritas kerajaan di kawasan itu2.
Pembacaan buku saya yang sangat selektif oleh van Fraasen terasa mengganggu dan menimbulkan keraguan, apakah ia benar-benar berusaha untuk menilai suatu kajian hanya menurut persyaratan-persyaratannya sendiri. Contoh yang paling jelas, adalah pernyataanya bahwa saya telah secara tidak kritis menggunakan sumber Valentijn dalam memahami Fala Raha (four houses) sebagai pemimpin dalam ekspansi awal Ternate. Dia kemudian “membetulkan” apa yang saya tulis pada halaman 83, dengan mengatakan bahwa sebenarnya hanya 2 “houses” yang terlibat. Namun, hanya 1 halaman kemudian, saya membuat kualifikasi itu, dan melacak evolusi keterlibatan keluarga Tomagola dan Tomaitu. Jika saya mengikuti logika yang diadopsi dalam ulasan van Fraasen, saya juga bisa menunjukan kesalahannya dalam membaca atau kekeliruannya sebagai contoh dari “sarjana yang tidak kritis dan ceroboh”. 

Buku Leonard Y Andaya

Sangat disayangkan bahwa van Fraasen mengabaikan isu-isu utama dari The World of Maluku dan hanya memusatkan perhatiannya pada poin-poin terisolasi dalam upaya untuk mendiskreditkan historisitas buku ini. Sebagai seorang etnografer, ia mungkin tidak nyaman mengomentari tentang masalah historiografi yang dikaji, tetapi dialog yang berkembang antara sejarahwan dan atropolog, terutama dalam studi Asia Tenggara, seharusnya membangkitkan beberapa komentar menyangkut pendekatan saya yang khusus. Sulit untuk menjelaskan kegagalannya dalam hal mendiskusikan ide-ide saya tentang dualisme/dualitas, hubungan pusat-pinggiran, dan saling mempengaruhinya antara konsep waktu dan peristiwa bagi orang Eropa dan orang Maluku. Dia tampaknya puas hanya untuk menyatakan ketidaksetujuannya.
Sebagai contoh, van Fraasen dengan yakin menyatakan bahwa saya belum menunjukan keberadaan 2 gagasan Eropa dan Maluku yang berbeda tentang waktu dan kemajuan. Namun keseluruhan Bab 2 adalah catatan interaksi antara 2 konsep yang berbeda ini, perbedaan yang dibahas dalam Kata Pengantar dan tercermin dalam pilihan judul bab yang saya pilih. Kekhawatiran akan pemeliharaan dualitas antara Ternate dan Tidore, dan kemampuan Nuku untuk mempertahankan pemberontakan yang panjang dan sukses, dengan memohon “restorasi” adalah semua bagian dari pandangan siklus Maluku tentang waktu, yang diawali melalui penghancuran Jailolo di awal abad ke-16 dan memuncak dengan munculnya Nuku pada akhir abad ke-18.
Hanya pada 1 kesempatan van Fraasen mengangkat masalah hubungan pusat-pinggiran, tetapi hanya untuk menolak kesimpulan saya tanpa ada diskusi lebih lanjut. Dia hanya mempertanyakan pernyataan saya, bahwa “ sifat alami pertukaran produk dan jasa untuk barang-barang prestisius dan berkah spiritual itu sama sekali tidak dianggap sebagai sebagai suatu pengaturan yang tidak setara dan menindas” (halaman 112). Pada tahun 1993, sebuah karya diterbitkanc yang nampaknya terlambat untuk dimasukan kedalam kajian saya sendiri. Itu menunjukan bahwa karakterisasi saya tentang hubungan pusat-pinggiran di Maluku pada periode moderen awal adalah hal umum bagi banyak masyarakat. Dalam bukunya Craft and the Kingly Idea, Mary. W. Helms menggambarkan hubungan antara “superordinat center” (seperti Ternate dan Tidore) dengan acquisitional societies” (atau pinggiran), dimana materi dan nilai-nilai simbolis dari benda-benda terjalin menjadi satu sama lain melalui pengaturan yang menguntungkan. Yang pertama memperluas artefak budaya, gelar, busana dan lain-lain ke yang terakhir sebagai cara untuk memperkuat sentralitasnya; sedangkan yang terakhir memperoleh objek-objek ini dari yang pertama untuk membangun program-program politik-ideologisnya sendiri sehubungan dengan “pinggirannya”3. Argumen sentral yang dikemukakan adalah bahwa kerangka kerja konseptual masyarakat pribumi, yang melibatkan struktur kosmologis dan tindakan transformasi yang signifikan, secara politis mendorong penyatuan kegiatan ekonomi dan simbolik menjadi penjelasan budaya tunggal4. Kasus-kasus hubungan pusat-pinggiran yang saya jelaskan dalam kajian saya, adalah contoh yang jelas dari postulat-postulat Helms, yang dengan sendirinya didasarkan pada sejumlah etnografi.
Saya telah berusaha menjawab kritik van Fraasen poin demi poin karena saya merasa bahwa adalah hal yang serius untuk menuduh akademisi manapun sebagai sarjana yang “tidak kritis dan ceroboh”.  Selama 2 dekade terakhir, saya percaya saya telah menunjukan perhatian yang cukup dalam penelitian dan tulisan saya untuk dianggap sebagai sejarahwan yang memiliki nama baik. Saya percaya itu adalah tanggungjawab sejarahwan, tidak hanya untuk menawarkan rekonstruksi masa lalu, tetapi juga untuk menyarankan cara-cara dimana masa lalu dapat dieksplorasi lebih efektif dan lebih mudah dipahami. Untuk masalah-masalah itulah, saya menulis buku ini. Yang bisa saya harapkan adalah mereka yang membaca karya saya, akan senang dengan beberapa temuannya dan terangsang untuk memperluas penyelidikan akademik secara positif.

Leonard Y Andaya bersama sang istri Barbara Watson


Catatan Kaki
1.      R.J. Wilkinson, A Malay-English Dictionary (Romanised). Part 1 (A-K) (London:Macmillan, 1959), p. 380.
2.     See for example A. C. Milner, "Islam and Malay Kingship," Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland 1 (1981): 46-70; and M. C. Ricklefs, "Six Centuries of Islamization in Java," in Conversion to Islam., ed. Nehemia Levtizion (New York: Holmes & Mejer, 1979)
3.     Mary W. Helms, Craft and the Kingly Ideal: Art, Trade, and Power (Austin: University of  Texas Press, 1993), ch. 12.
4.     Ibid., p. 11.


Catatan Tambahan (dari kami penerjemah)
  1. Sejarah Ternate yang disusun oleh Naidah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dengan judul Geschiedenis van Ternate...... oleh Petrus van der Craab, orang yang pernah menjadi Residen van Ternate (1863 – 1866).
  2. Gubernur Ternate yang dimaksud oleh van Fraasen adalah Laurens Reael (1616 – 1621), sedangkan Gubernur Ambon adalah Steven van der Haghen (1617 – 1618). Perdebatan antara J.P. Coen dengan Laurens Reael dan Steven van der Haghen dapat dibaca dalam kajian M.A.P. Meilink – Roelofs berjudul Asian Trade and European Influence: In the Indonesian Archipelago between 1500 and 1630, Den Haag, Martinus Nijhoff, 1962 atau edisi terjemahan Indonesianya : Persaingan Eropa & Asia di Nusantara : Sejarah Perniagaan 1500 – 1630, Jakarta, Komunitas Bambu, 2016 (hal 193 – 213)
  3.  Karya yang dimaksud oleh Leonard Andaya adalah artikelnya sendiri yang berjudul Centers and Peripheries in Maluku (dimuat pada Jurnal Cakalele, volume 4, 1993, halaman 1 – 21)