Perjalanan menaklukkan
“Negeri di Awan”
(Oleh
: Aldrijn Anakotta)
A.
Pengantar Cerita
Banyak orang suka menulis catatan
harian kehidupan mereka. Beberapa tahun lalu, saat dunia maya belum
“menggelinjang” dan jadi bagian “penting”, diary adalah salah satu tempat
mencurahkan isi hati seseorang secara “pribadi”. Kertas-kertas berwarna dan
wangi jadi sarana untuk menulis kehidupan, tentang perasaan jatuh cinta,
kegalauan, kegembiraan dan semua hal. Ketika dunia berubah, diary seperti
barang “kuno” meski ada beberapa orang yang masih “setia” mempergunakannya. Sekarang orang lebih suka
“mencurahkan” akitivitas kehidupan mereka tiap hari di dunia maya, seperti
Facebook, Twitter, Path, Line, Instagram dan lain sebagainya.
Catatan kehidupan manusia
itu bisa berupa catatan tiap hari, atau bisa juga catatan tentang perjalanan
mereka ke suatu tempat, yang mereka anggap penting dan perlu dicatat, ditulis, direkam agar selalu diingat.
Banyak artikel atau banyak buku yang bersumber dari catatan perjalanan ini.
Artikel ini berisi kisah
perjalanan pribadi ke sebuah negeri asing, negeri baru. Namanya kisah pribadi
berarti tak lepas dari sisi subjektif penulis, namun itulah yang ditemui dan
dirasakan. Tentunya tiap orang mendapatkan pengalaman yang tak sama meski
sama-sama melakukan perjalanan itu, atau melewati jalan yang sama.
Kiranya artikel ini
“berguna” bagi orang lain yang belum pernah mencapai, mendatangi negeri asing
ini atau mungkin sebagai bacaan ringan penambah informasi dan pemahaman.
B.
Puisi
Kehidupan
Semuanya dimulai pada
tanggal 08 Juli 2015, saat negeri yang asing, negeri “baru” dan negeri yang di
peta pun sulit ditemukan serta kemudian ditetapkan menjadi awal buat
penjelajahan mencari hidup. Ini adalah puisi kehidupan yang baru. Puisi tentang
hidup yang tak mudah. Saat harus berpisah dengan keluarga, saudara,
teman-teman, kenalan. Itulah puisi kehidupan yang harus dibuat dan dimaknai. Persiapan
perjalanan dan penjelahan itu diawali dengan ibadah pengucapan syukur selaku orang
yang percaya Tuhan, menyerahkan seluruh hidup, takdir dan selembar nyawa di
sebuah negeri “antah berantah” di negeri orang. Dengan berbekal tekad ingin mencari
pengalaman baru, berusaha mandiri dan dewasa, perjalanan itu dimulai Kamis, 23
Juli 2015 dari negeri tercinta, negeri putus pusa, negeri pisarana hatusiri
amalatu, saparoea tercinta. Deburan ombak yang lembut seakan mengantar
kepergianku, menit menit berlalu saat perlahan-lahan pantai pulau saparua mulai
mengecil. Ada air mata yang mulai pecah, namun hati tetap beku dan mengeras. Pulau
saparua mulai menghilang dari tatapan mata, entah kapan akan kembali melihatnya.
Seminggu di kota Masohi,
untuk mengurus segala sesuatu, akhirnya waktu itu menagih janji, menuntut untuk
ditepati. Kebaikan tuan rumah, sepasang suami istri yang sebenarnya adalah
tetangga namun sudah
dianggap sebagai saudara, Jhonly Sahetapy dan Esty Soukotta/Sahetapy, tak akan
dilupakan. Jasa baik mereka begitu dalam dan luar biasa, benar kata orang tua, utang
materi bisa dibayar, namun utang budi, dibawa sampai ajal menjemput. Jumat, 31
Juli 2015 penjelajahan pun dimulai tepat jam 12.30 WIT. Menggunakan 2 sepeda
motor bersama saudara dekat Johan Titaley (ony) yang kebaikannya tak diragukan
serta anaknya Mario Titaley, kami berpacu meninggalkan kota Masohi di hari itu.
Entah kenapa cuaca di hari itu seperti “bersahabat”, panas terik menyengat
menyiram tubuh, padahal beberapa hari sebelumnya, selalu turun hujan. Perlahan-lahan
kota Masohi mulai tertinggal, desa Haruru, Waepo markas besar Yonif 731 Kabaresi yang selalu disebut sebagai
“hantu seram” dan Makariki tampak
didepan mata dan kemudian terlewati tanpa kata-kata. Sepeda motor terus berlari hingga tiba di pertigaan
Waipia. Butuh 20-30 menit untuk sampai di daerah itu dari kota Masohi. Kami
berhenti sejenak, seperti “mengambil nafas” untuk berlari jarak jauh. Tepat jam
13.10 WIT, kami bertiga mulai memacu kendaraan, tak sampai 5 menit, kendaraan mulai pelan dan
menanjak serta berkelok, beberapa ruas jalan terlihat rusak dan sedang
diperbaiki. Dalam perjalanan, sambil melihat kanan kiri, terhampar hutan yang
luas, pohon-pohon besar dan sekali-sekali terlihat jurang yang lumayan dalam. Pegunungan
di belakang kami mulai terlihat sejajar dengan pandangan mata. Itu semacam
“tanda” bahwa kami terus menanjak. Jalan terus berkelok seperti ular yang
sangat panjang, melingkar dan terus berputar, akhirnya kembali lagi, begitu
terus menerus. Beberapa kali kami berpapasan dengan mobil dan sepeda motor dari tujuan kami. Begitu “aneh”
dan “unik” jalan seperti ini. Kadang menanjak yang cukup jauh, kemudian menurun
terus menerus, seperti “rollcoaster”
dan menanjak lagi dalam “track”
yang melingkar. 1
jam perjalanan, kami bertiga berhenti karena mesin sepeda motor milik Mario
mulai panas dan perlu “didinginkan”. Waktu istirahat kami gunakan untuk
merokok, buang air kecil di pinggir jalan. Udara dingin mulai menusuk kulit,
tanpa terasa 2 batang rokok “lenyap” di waktu istirahat itu. Sinyal komunikasi
(HP) mulai hilang, dari “5 garis” menjadi 4, 3, 2, 1 dan akhirnya “lenyap”
entah kemana. Kami kembali melanjutkan perjalanan, tak ada yang berubah dengan “kontur”
jalan yang dilalui. Masih sama dengan sebelumnya, masih menanjak, menurun,
berputar, berkelok, melingkar dan entah apa lagi kata yang tepat untuk
menggambarkannya. Benar-benar sangat menantang. Di sisi kanan dan kiri, terbentang
hutan yang luas, pohon-pohon besar yang kokoh seperti raksasa dan jurang-jurang
yang dalam. Seperti sang maut yang siap memangsa jika tak hati-hati. Sebuah
pengalaman yang tak pernah dialami sebelumnya. Didepan kami mulai terlihat
sebuah puncak gunung yang tinggi…. menanti untuk ditaklukan dan berwajah
misterius diselimuti kabut tipis...
Sebuah pemandangan yang sangat indah karena “diselingi” jurang. Kami berhenti
beberapa kali saat mendapati tempat yang indah untuk berfoto. Di latar
belakangi gunung itu kami berfoto sebagai kenang-kenangan. Puncak itu yang
banyak dikenali sebagai puncak
SS. Setelah melewatinya baru saya “mengerti” kenapa jalur pegunungan itu bisa
disebut seperti itu. Selesai mengabdikan kenangan itu, kami melanjutkan lagi perjalanan.
Tak sampai 20 menitan, kami mulai memasuki “perkampungan kecil”. Ya itu semacam
tempat peristirahatan. Tempat
“bertemunya” para pelintas yang saling
berlawanan. Ada beberapa rumah makan di sekitar jalan yang pemiliknya ada
orang-orang dari suku bangsa Jawa. Menurut cerita teman, mereka ini adalah
transmigran asal korban lumpur LAPINDO di Sidoarjo Jawa Timur. Rupanya itu
tempat beristirahat, melepas lelah dan mengisi perut guna melanjutkan
perjalanan lagi. Kami berhenti di rumah makan yang paling terakhir, sinyal hp
tak ada, meski sekali-sekali muncul itupun hanya “1 garis”, hilang lagi, muncul
lagi seperti tersengal-sengal mencari nafas. Tepat jam 15.00 WIT, kami tiba di
tempat itu, pas di bawah kaki pegunungan misterius itu. Terlihat beberapa orang
yang sedang makan, ada yang beristirahat, beberapa mobil truk barang terparkir
di samping jalan seperti juga ikut beristirahat. Kami bertiga makan dengan
lahap, karena benar-benar sangat lapar. Selesai makan, kami mengaso sebentar di
tempat istirahat di depan rumah makan itu, sambil mengisi bahan bakar. Tanpa
sadar, mata ini menatap sesuatu yang sangat unik dan menggetarkan kalbu.
Mungkin itu sesuatu yang simple, yang sederhana. Di tiang rumah itu tergantung
gelas air mineral
kosong yang dipaku. Mata ini terus menatap dan pikiran terus bertanya-tanya,
apa ini? Apa ini permainan atau apa sebenarnya? Melihat kebingungan yang muncul
di mata, teman menjelaskan kalau itu berfungsi untuk menaruh/meletakan HP. Apa-apaan
ini??? Untuk apa menaruh HP di gelas air mineral yang tergantung? Ya Tuhan rupanya di “tempat unik” itu
sinyal HP muncul lagi. Saya mencoba mengujinya… Dan benar… sinyal komunikasi
muncul seperti tiba-tiba tersembul dari ruang hampa. Beberapa sms dari
teman-teman mulai mengalir masuk. Untuk membalasnya, saya mengangkat HP mencoba
membalas, tapi wuuuttttt… sinyal HP hilang lagi tak berbekas… Apa-apaan lagi
ini??? Akhirnya saya mengerti sepenuhnya… jangankan bergeser jauh, bergeser
sedikit saja… sinyal tak ada layaknya hantu. Air mata mulai basah dimata…
bayangkan 70 Tahun kita merdeka, tapi masih ada daerah seperti ini. Tayangan-tayangan
TV tentang daerah perbatasan yang sering saya nonton, tentang tak adanya
jaringan komunikasi selama ini seperti teori saja, sekarang saya mengalaminya.
Saya “mempraktekannya” sendiri. Inilah wajah Indonesia! Namun di tengah keterbatasan seperti itu
selalu muncul ide kreatif. Ya ide kreatif seperti tadi meski hanya berupa
gantungan gelas air mineral. Benar dikata orang, manusia akan terus menciptakan
ide-ide kreatif saat dihimpit kesulitan, keterbatasan dan kekurangan.
Selesai makan dan
beristirahat, tepat jam 15.30 WIT kami kembali lagi memulai perjalanan. Tepat
di depan wajah, pegunungan besar seperti tersenyum misterius, kami menengadah
menatapnya. Di sekelilingnya
melingkar berlarik-larik kabut menambah misterius. Itulah pegunungan yang banyak
orang menyebutnya puncak SS. Kami mulai menanjak, berkelok seperti huruf “S”,
kemudian menurun dalam gerak melingkar, menanjak lagi, menurun lagi, terus
menerus seperti itu. Berputar dan melingkar-lingkar. Akhirnya saya mengerti
kenapa daerah misterius ini disebut puncak SS. 2 huruf kembar yang
mengilustrasikan track melingkar yang
tak putus-putus seperti saling sambung menyambung. Di tengah perjalanan saya
terus mencari kata yang tepat untuk menamai kawasan ini. Secara pribadi saya
lebih suka menamainya silinder berputar yang sangat sexy!!! Ya… seperti
silinder yang sedang berputar-putar, sebuah déjà vu...jalan yang telah dilalui,
seperti muncul lagi di depan, begitu terus menerus. Bahkan kami pernah mencoba
dengan melihat speedometer, arah menurun sepanjang 3,8 KM tanpa menanjak, seperti
dari udara “menembus” bumi, masuk ke tanah layaknya!!!
Tanpa terasa, kacamata
penghalang debu yang saya pakai mulai “berembun”. Itu tanda daerah yang kami
lalui berkabut. Seumur-umur belum pernah saya alami pengalaman unik seperti
ini. Sang pengendara bercerita untung saat kami melalui daerah itu, sedang
musim kemarau hingga kabutnya tak terlalu banyak, jika musim hujan, lebih
“gawat“ lagi karena kabut makin banyak dan tebal hingga jarak pandang ke jalan
tak bisa jauh atau makin pendek. Cukup jauh jalan berkabut yang kami
lalui. Sepanjang jalan, pikiran terus mengembara, mencari-cari kata yang tepat
atau mungkin agak sedikit puitis untuk menggambarkan setiap negeri yang kami
lewati. Tanpa sadar, akhirnya pikiran menemukan kata-kata itu. Ya inilah NEGERI
DI AWAN!!!
Penamaan ini mungkin agak
berlebihan, tapi secara pribadi, saya menyukainya, dan ada penjelasan kenapa
saya menamakan seperti demikian.
Penamaan seperti ini memiliki 2 alasan :
1.
Alasan
Filosofis
Negeri-negeri
yang saya lewati adalah negeri-negeri “asing” negeri “antah berantah” negeri
yang belum pernah saya datangi sebelumnya, negeri yang tak pernah terpikirkan
akan saya datangi. Meski kenyataanya, negeri-negeri tersebut berada dalam
Kabupaten Maluku Tengah. Tepatnya di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi dan Seram
Utara Timur Seti. Ya seperti negeri di awan, negeri yang asing, negeri yang
hanya dalam khayalan semata. Negeri yang “jauh” layaknya seperti di awan
2. Alasan “geografis”
Letak
negeri-negeri tersebut seperti diawan, diselimuti kabut dan terlihat seperti
dekat dengan awan karena harus menanjak pegunungan. Pegunungan tinggi yang
hampir “berdekatan” dengan awan sehingga negeri-negeri di sekelilingnya seperti di awan saja.
Karena
“keeksotisan” pemandangan itulah, yang membuat saya memutuskan untuk menulis
pengalaman perjalanan ini. Di sepanjang
jalan, benak terus “mengedit” kata-kata puitis sebagai kerangka untuk menulis
kisah perjalanan ini.
Akhirnya
kami “mengakhiri” penaklukan puncak SS atau silinder berputar itu. Bayangkan untuk
menaklukannya, kami memerlukan 1,5 jam dengan kecepatan rata-rata 40-60 Km
perjam. Di kaki puncak SS itu, mulai terlihat kampung atau negeri-negeri di bawahnya. Sebuah
pemandangan yang sangat indah di senja hari. Sepeda motor terus berlari,
melewati negeri-negeri yang berjejer di pinggir jalan. Ada hal yang unik dan
sedikit “aneh” dalam sistim rotasi bumi.
Tanpa sengaja terlihat, matahari senja di depan kami, sepeda motor yang
terus berlari seakan mengejar matahari yang mulai bergerak tenggelam, tak lama
kemudian sepeda motor seperti melewati matahari senja sehingga terlihat di belakang kami, bagaimana mungkin
ini bisa terjadi??? Pikiran
saya makin bingung, saya tak mampu menjelaskan ‘fenomena” seperti ini. Inilah
kejaiban dan kebesaran Tuhan. Sang pengendara berbisik: “nanti sedikit lagi, bulan
akan muncul dan akan “bergerak berpindah-pindah” di kiri kanan kita, lihat dan
nikmati!!” saya tak percaya apa yang dikatakan sang pengendara, yang teman baik
saya, tapi tak sabar untuk menanti “kejutan” apa lagi yang terlihat.
Tepat
pukul 18.00 WIT, kami memasuki kota Wahai. Kami terus berpacu, karena
perjalanan menuju tujuan masih jauh. 15-20 menit kemudian, sang rembulan mulai
muncul, seperti terbit dari horizon langit, bulan purnama yang bertengger di
ranting-ranting pohon di kejauhan pandangan mata. Kami seakan mengejarnya, “tiba-tiba”
bulan itu “bergerak” dan “bergeser” ke sebelah kiri, 20 menit berikutnya,
“bergeser” ke kanan. Sepeda motor terus berpacu, karena gelap mulai menyelimuti
jalan yang dilalui. Terkadang bulan di atas kepala, lalu bergerak seakan
“mengikuti” kami dari belakang, bergerak ke samping kiri, ke samping kanan.
Sangat aneh dan membuat saya tak percaya. Mungkin bagi yang belum pernah
mengalaminya, menganggap ini hal mustahil, tapi itulah yang terjadi dan saya
alami. Benar-benar sangat memukau dan menandakan betapa mahakuasanya Tuhan. Negeri
Pasahari, negeri Siatele telah kami lewati, dan tepat pukul 20.00 WIT, kami
memasuki kota Kobisonta. Inilah adalah ibukota kecamatan Seram Utara Timur
Seti, sebuah kecamatan baru hasil pemekaran. Berarti perjalanan yang kami
lakukan “memakan” waktu 7 jam perjalanan.
Di
kota ini, saya menghubungi seorang teman bernama TRI MEI NINGSIH, yang
kebetulan mendapat penugasan di tempat yang sama. Lapar makin menggigit perut
dan atas kebaikannya, kami akan mengisi “bahan bakar” di rumah makan miliknya. Dari
kejauhan, dia sedang menunggu di depan rumah makannya. Ada rona gembira, dan
sukacita saat bertemu dengannya, saling bersalaman dan saling bercerita panjang
lebar ditemani nasi panas, ikan bakar dan teh panas. Mungkin hampir sejam
lamanya, kami bertiga menghabiskan waktu di tempat itu. Sang teman JOHAN
TITALEY, sang pengendara itu “memberi kode” agar perbincangan dihentikan karena
perjalanan masih jauh. Ya ampun, dari tadi saya mengira sudah dekat tempat
tujuan, rupanya masih jauh. Akhirnya kami berangkat lagi dengan tujuan, ke rumah
pimpinan saya untuk melapor diri. Mungkin agak aneh, urusan dinas tapi
melapornya pada malam hari, namun rupanya karena “koneksi” sang teman itulah,
hal itu bisa terjadi. Dia orang lama di negeri itu, hingga jaringan kenalannya
cukup banyak termasuk pimpinan saya. Hal itu “mempermudah” urusan kedinasan
itu. Sekitar 15-20 menitan perjalanan, kami memasuki sebuah kawasan yang cukup
jauh, sekitar 3,8 KM dari arah jalan utama/besar. Jalan di kawasan itu belum
beraspal tapi hanya berupa “siraman” batu kerikil dan pasir yang “dipadatkan”
tiap hari dengan siraman air dari mobil tanki air yang mondar mandir di daerah
itu. Demikian penjelasan teman saya saat kami melewati jalan di kawasan itu dan
sering kali “merasakan gelombang” karena terdapat banyak lobang-lobang. Tak
berapa kemudian mata ini melihat gapura bertuliskan selamat datang di
negeri/desa administratif Seti Tihuana. Yes, inilah tempat penugasan saya yang
baru!!!. Kawasan ini adalah salah satu dari sekian banyak lokasi pemukiman para
transmigran asal pulau Jawa di kecamatan ini. Di kiri kanan jalan terlihat, lampu
di teras rumah penduduk yang masih jarang. Tak lama berselang, kami memasuki
sebuah rumah. Di sinilah
berdiam pimpinan saya. Dengan ramah tamahnya, mereka menerima kami dan
berkenalan. Disuguhi kopi, saya melapor diri dan berbincang bincang. Hampir
sejam lamanya, kami berbincang-bincang, karena tak enak hati sudah larut malam
kami mohon pamit dan untungnya karena kebaikan hati pimpinanlah yang bisa “mengijinkan” saya, agar tak
buru-buru berdinas tapi nanti hari Senin, tanggal 3 Agustus baru berdinas. Kami
pamit dan berangkat lagi menuju lokasi rumah teman yang menurutnya bernama
Tanah Merah. Entah karena sial atau semacam “perkenalan” untuk orang baru, di
jalan keluar menuju jalan utama, kami bertemu dengan ular yang sedang menyeberang.
Ya Tuhan… seekor ular yang lumayan besar, yang pernah saya lihat, sebesar paha
anak usia 7 tahun dan panjangnya ± 1,5-2 M. saya bergidik melihatnya karena
ukuran dan warnanya yang “cantik” diterpa sinar rembulan. Kami menghindarinya
dan terus melaju hingga sampai di jalan utama. Di jalan utama, laju sepeda
motor dipelankan agar kami bisa menikmati pemandangan yang ada. Di sepanjang jalan kami
bercerita, dan mata ini memandang kiri kanan. Di sepanjang jalan itu
terhampar persawahan padi. Entah berapa luasnya. Mungkin sekitar seribuan
hektar luasnya dalam perkiraan saya sejauh mata memandang. Sinar bulan turut
“membantu” melihat padi yang mulai tumbuh. Sang teman bercerita, bahwa 1 KK mendapat lahan seluas 2 Hektar secara
gratis, jadi bayangkan dalam satu unit/kompleks/kawasan hunian itu ditempati
sekitar 100 KK saja berarti kawasan itu seluas 200 hektar. Kalau di kecamatan
Seram Utara Timur Seti ada 6 kawasan berarti luas persawahan bisa mencapai 1200
hektar. Hitungan itu hanya bersifat kasar dan berandai-andai.
Selain
persawahan padi, ada juga perkebunan, pisang, coklat yang lumayan luas. Lebih
dari 30 menitan kami terus menyusuri jalan utama itu, dan akhirnya kami singgah
di sebuah rumah di pinggir jalan, terdengar suara tawa dari dalam rumah,
rupanya ada banyak orang di dalamnya.
Saat masuk, saya melihat 7 orang dewasa, 6 laki-laki dan 1 perempuan. Sambil
berjabat tangan, sang teman kemudian memeluk seorang lelaki paruh baya mungkin
akhir 40an dan memperkenalkannya pada saya. Akhirnya saya tahu ia adalah tuan
rumah dan bernama Bpk.Kalam. Sang teman juga tak lupa “menitip” saya pada mereka yang hadir di
malam itu. Rupanya malam itu, ada keberuntungan lain yang saya peroleh. Salah
satu tamu yang hadir adalah pimpinan tertinggi pada dinas saya di tempat
penugasan. Ia adalah kepala UPTD atau Unit Pelaksana Teknis Dinas yang juga
kenalan dekat teman saya. Semuanya terasa dipermudah dengan cara seperti ini,
cara “koneksi” dan luasnya pertemanan yang di miliki oleh teman saya. Sang
nyonya rumah membawakan kami kopi dan sisa kue lebaran untuk dicicipi sambil
berbincang-bincang. Salah satu perbincangan yang menarik dan bikin meriah
suasana adalah soal pemilihan kepala desa. Rupanya sang tuan rumah adalah sang
kepala desa terpilih. Mungkin sekitar 2-3 minggu sebelumnya di desa/negeri
administratif Tanah Merah itu dilakukan pemilihan kepala desa secara
demokratis. Ternyata dari pembicaraan yang hangat itu, kebiasaan “suasana”
pemilihan kepala desa di pulau Jawa di “pindahkan” ke daerah ini. Hal yang
pernah saya tonton di televisi, kini saya dengar langsung. Segala intrik, strategi,
bahkan kampanye hitam hingga ada taruhan dari yang “kecil” hingga “besar”
seperti sawah diantara masyarakat tentang siapa yang akan menjadi kepala desa. Gaya
supel dan suka bercanda sang kepala desa menambah suasana di malam itu kian
“menjadi-jadi”. Tanpa terasa, waktu menunjukan pukul 01.30 WIT, karena cukup
lelah, kami pamit dan menuju ke rumah teman. Jarak yang kami tempuh kira-kira
400-500 M. Dari jalan utama, kami masuk lagi kearah hutan. Kira-kira 150an M,
kami tiba di sebuah rumah sederhana, rumah papan, yang belum ada jaringan
listriknya. Aneh… 150an meter dari situ adalah jalan utama/besar yang diterangi
listrik, tapi saya maklumi inilah Indonesia yang saya cintai. Inilah wajah
Indonesia dimana saya dilahirkan. Berbekal lampu pelita, kami
berbincang-bincang diselingi bunyi binatang malam hari. Tanpa terasa menjelang
pagi, waktu telah menunjukan pukul 02.30 WIT… Kami memutuskan tidur,
membaringkan tubuh fana ini, tubuh sementara ini. Ada airmata menggenangi pipi,
mata terpejam dan sepasang sayap doa dalam sunyi beterbangan ke atas langit…mengucap
syukur pada yang punya alam, atas segala perlindungan, penjagaan, pengalaman,
hal-hal unik yang ditemui dan dirasakan dalam perjalanan serta segalanya termasuk penyerahan hidup dan
takdir di sebuah negeri asing… mimpi
mulai menyapa… kesadaran mulai hilang… dan nafas mulai perlahan-lahan berjalan
lambat... ada
harapan, impian, perjuangan, belajar mandiri, dewasa dan masa depan di rumah baru, di negeri baru,…
NEGERI DI AWAN
selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar