PENGANTAR
William
Sheakspeare, penulis kenamaan Inggris pernah mengatakan: “apalah arti sebuah nama, bunga mawar meski
bernama lain, pasti tetaplah harum”. Namun, bagaimanapun juga nama adalah sebuah identitas,
pengenal dari sebuah objek (benda) agar dikenali dan disapa dalam suatu
percakapan antar manusia. Kita tak mungkin menyapa seseorang tanpa menyebut
nama sebagai identitasnya. Jika itu dilakukan, agak terasa tidak etis dari sisi
norma kesopanan yang hidup dalam suatu komunitas. Selain sebagai identitas,
nama juga memiliki arti dan alasan serta sejarahnya suatu objek dinamai seperti
itu. Banyak contoh bisa diberikan, Negara kita yang tercinta INDONESIA, juga
memiliki sejarah yang panjang, arti dan alasan kenapa Negara kita dinamai
INDONESIA. Berikut ini adalah catatan sejarah mengenai nama INDONESIA:
Catatan masa
lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia
dengan aneka nama.
Kronik-kronik
bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai (“Kepulauan Laut Selatan”). Berbagai
catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (“Kepulauan Tanah Seberang”), nama yang
diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau)
dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga
Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana,
sampai ke Suwarnadwipa (“Pulau Emas”, diperkirakan pulau Sumatera sekarang) yang
terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan
itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk
kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi (“kemenyan Jawa”), sebab para pedagang Arab
memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax
sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di
Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “orang Jawa” oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun.
Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh
Jawi (“semuanya Jawa”). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia
hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah
yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia.
Jazirah Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia
Belakang”, sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische
Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien)
atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes
Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan
Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel
Malais).
Unit politik
yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia
Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. Eduard Douwes
Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli,
pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu “Insulinde”, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (dalam bahasa Latin “insula” berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer,
walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad
ke-20.
Nama Indonesia
Pada tahun
1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: “Jurnal
Kepulauan Hindia dan Asia Timur”)), yang
dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang
meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849
seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),
menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume
IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (“Pada
Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan
Melayu-Polinesia”). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki
nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan
sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua
pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani berarti “pulau”). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
dari Bahasa Inggris):
“... Penduduk Kepulauan Hindia
atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia"
atau "Orang Malayunesia...”
Earl sendiri
menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia
(Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan
Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan
Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa
bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl
memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah
Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James
Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian
Archipelago (“Etnologi dari
Kepulauan Hindia”). Pada awal tulisannya, Logan
pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab
istilah Indian Archipelago (“Kepulauan Hindia”) terlalu panjang dan
membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan
huruf u digantinya dengan huruf o agar
ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.[1]
Dan itu
membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di
kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah
terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama
kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam
tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
“Mr Earl menyarankan
istilah etnografi “Indunesian”, tetapi menolaknya dan mendukung “Malayunesian”. Saya lebih suka istilah geografis murni “Indonesia”, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia”
Ketika
mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa
di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan
secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan
ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para
ilmuwan bidang etnologi dan geografi.[1] Pada tahun 1884 guru
besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des
Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan
Melayu”) sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika
mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah
yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan
Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie
van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian
mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan
Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan
istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers
dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk
"Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (“Hindia”)
oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (“pribumi”) diganti dengan Indonesiër (“orang
Indonesia”).
Politik
Pada dasawarsa
1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis,
yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai
akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata
ciptaan Logan itu.[1] Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad
Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi
Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri
Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama
menjadi Indonesische
Vereeniging atau Perhimpoenan
Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta
menegaskan dalam tulisannya,
“Negara Indonesia Merdeka yang
akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil
disebut “Hindia-Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya.”
Di Indonesia
Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti
nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten
Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama "Indonesia"
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan
sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin,
Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada
Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai
pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Permohonan ini ditolak. Sementara
itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan Lema Nusantara sebagai bahasa Kawi untuk “Kapuloan
(Indonesiah)”. Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah
nama “Hindia-Belanda”. Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi
Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Atau nama
Provinsi Maluku sendiri juga memiliki sejarahnya sendiri. Ada beberapa versi
kenapa daerah ini (Maluku-red) dinamai seperti ini:
1.
Pendapat pertama, menyatakan kata Maluku berasal dari
Bahasa Arab yaitu kata Al-Mulk, Al-Mulk berarti sebagai tanah atau pulau atau
negeri para raja. Hal ini memang benar karena Maluku sampai sekarangpun terdiri
atas negeri-negeri kecil yang lumayan banyak dengan rajanya sendiri-sendiri.
2.
Pendapat kedua, menyatakan kata Maluku berasal dari
bahasa Ternate yaitu kata Moloku atau Moloko, dua kata itu Moloku atau Moloko
sama-sama berarti sebagai tanah air. Hal ini tercermin dari perkataan bangsa
Ternate di masa lampau yang menyebutkan bumi Maluku belahan utara sebagai
Moloku Kie Raha yang berarti tanah air dengan empat gunung. Keempat gunung yang
dimaksud adalah 4 kerajaan atau kesultanan besar dari Maluku Utara yaitu kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Ada juga
pendapat atau versi ke-3 yang bisa dianggap sebagai “Kristen sentris” versi itu
menyebutkan bahwa kata Maluku berasal dari kata “Maloko” yang merupakan sebutan
gelar bagi Kalano (kepala daerah). Kata “Maloko” ini menurut marga Resley
berasal dari bahasa Ibrani. Sebutan bagi raja dalam bahasa Ibrani adalah
“Melek” atau “Melekh”. Bentuk yang lebih kuno adalah “Maliki” (EKAMK II hal.
292), sehingga dalam Tambo Dinasti Tang di China (618-906) “Maluku” tercatat
sebagai “Miliku”, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan
arah ke kerajaan “Holing” (Kalingga) yang ada di sebelah Barat. Kata Maluku
mirip dengan Maloko yaitu “Molokh” yaitu Ilah yang disembah bani Amon. Bentuk
Ibrani nama ini ialah “Molek”. Dalam kitab suci Perjanjian Lama, Molek umumnya
memiliki kata sandang (Imamat 18:21; 20:2-5, 2 Raja-raja 23:10, Yeremia 32:35).
Kata “Molokh” pada ayat-ayat tsb menyiratkan bahwa kata itu mungkin merupakan
kata umum bagi orang yang memerintah (EKAMK II hal. 93). Dengan demikian, maka
gelar Maloko yang dikenakan bagi seorang Kalano adalah berasal dari budaya dan
bahasa Ibrani. Dan kata Molekh (Moloch) dalam bahasa Ibrani artinya raja.
Maloko kemudian disebut Maluku (Molokhus). Dan memang kepulauan Maluku artinya
Kepulauan Raja-Raja.
Tentunya
pendapat ke-3 ini bisa dikaji lebih jauh atau bisa diperdebatkan. Namun penulis
menganggap pendapat seperti itu haruslah tetap “hidup” sebagai bagian dari
beragamnya pemikiran manusia. Tetangga provinsi kita, Irian pun juga
memiliki sejarah namanya sendiri. Pada sekitar Tahun 200 M, ahli Geography
bernama Claudius Ptolamaeus (Ptolamy) menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada
akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI,
dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan
menggunakan nama JANGGI. Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya
sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun
1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang
memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas.
Merujuk pada
beberapa contoh di atas, maka disimpulkan bahwa tentunya sebuah nama yang dilekatkan, tidak
lahir atau muncul tiba-tiba dari ruang hampa. Pastilah ia memiliki sejarahnya,
siapa yang menamainya serta alasan-alasan “filosofis” dibaliknya. Kita
mungkin masih ingat dengan sejarah penamaan Batavia (Jakarta-sekarang), atau
penamaan pulau Tasmania di Australia dan beberapa contoh lain. Jika begitu,
bagaimana dengan Saparua sendiri? Apakah ada sejarahnya, siapa yang menamainya,
dan mengapa dinamai seperti itu serta banyak pertanyaan lain yang menyertainya.
Lewat artikel pendek ini, penulis mencoba menelusuri sejarahnya, mengkaji
beberapa sumber yang tersedia serta menganalisanya. Sebagai bagian dari
sekeping pemikiran, tentunya kajian serta analisa ini, tidak sempurna serta
bersifat akhir atau kesimpulan tetap. Orang lain bisa membantah atau
mengakuinya, jika membantah atau mengkritisi lebih jauh, tentunya harus ada
penyajian bukti-bukti yang lebih valid atau dipercaya. Dalam kajian ini,
penulis menggunakan berbagai sumber untuk memahami titik-titik soal yang
dimunculkan dalam artikel ini. Dari titik-titik itulah, coba dirangkai,
dianalisa, untuk memahami latar belakang serta mengambil “kesimpulan sementara”.
Sumber-sumber yang dipakai meliputi sumber-sumber primer dan sekunder. Sebelum
menjelaskan tentang sumber-sumber primer dan sekunder, sebaiknya kita pahami
dulu soal Saparua itu sendiri.
Seperti yang
diketahui, Saparua lebih dikenal sebagai nama sebuah pulau, meski di dalam
pulau itu sendiri, ada sebuah negeri (desa) yang memiliki nama yang sama
seperti nama pulau itu sendiri. Negeri yang dimaksud adalah
negeri Saparua. Jadi Saparua, bukan saja nama sebuah pulau, tapi juga
nama sebuah negeri, bukan hanya nama sebuah negeri, tapi juga nama sebuah
pulau. Ada hal yang unik, jika kita meneliti secara cermat. Ada 3 pulau yang di
dalamnya ada nama negeri (desa)/kota yang seperti nama pulau itu. Pulau Ambon
dengan kota Ambon, pulau Haruku dengan negeri Haruku, serta pulau Saparua
dengan negeri Saparua. Pulau Saparua juga merupakan sebuah kecamatan
yang diberi nama kecamatan Saparua. Dulunya cuma hanya ada 1 kecamatan
dalam pulau itu, yaitu kecamatan Saparua, sekarang kecamatan itu dimekarkan
menjadi 2 yaitu kecamatan Saparua dan kecamatan Saparua Timur.
Meski telah menjadi 2 kecamatan, tapi tetap menggunakan nama Saparua
sebagai identitasnya. Walaupun telah terbagi menjadi 2 kecamatan, negeri-negeri
yang tergabung di dalamnya tetaplah berjumlah sama, seperti pada saat masih
menjadi 1 kecamatan. Negeri-negeri yang dimaksud antara lain : Negeri (desa)
Saparua, Tiouw, Porto, Haria, Paperu, Booi, Kulur, Siri Sori Serani, Siri Sori
Islam, Ullath, Ouw, Tuhaha, Kampung Mahu, Ihamahu, Iha, Nolloth dan Itawaka. Pia
hanyalah sebuah dusun yang masih menjadi bagian dari wilayah administratif
negeri (desa) Siri Sori Serani. Hal yang sama pernah dialami oleh Kampung Mahu
yang juga menjadi wilayah negeri Paperu, sebelum menjadi negeri otonom yang
terlepas dari negeri induknya.
Setiap negeri
yang disebutkan di atas, memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tentang terbentuknya negeri
masing-masing. Hal ini tak bisa dibantah, karena memang begitulah yang terjadi
dan dipercayai dari generasi ke generasi. Selain itu, setiap negeri itu secara
geografis terletak dalam sebuah pulau yang bernama Saparua. Maka
konsukuensinya adalah, setiap sejarah mereka akan selalu berhubungan atau
berkaitan dengan pulau Saparua. Hal ini yang dimaksud penulis sebagai
sumber primer yang digunakan dalam artikel ini. Sumber primer karena sejarah
tiap negeri itu akan selalu berkaitan dengan pulau Saparua. Lagipula, tiap
negeri yang ada, merupakan tetangga satu dengan yang lain, sehingga paling
tidak, akan selalu berlaku idiom “tahu sama tahu”. Selain itu, sejarah
sebuah pulau pastilah lebih diketahui oleh “orang dalam” atau “inner circle”
dalam pulau itu sendiri. Meski tak menutup kemungkinan “outsider” juga
mengetahuinya. Pemilihan sejarah tiap negeri yang ada dalam pulau Saparua
untuk dijadikan sebagai sumber primer, berangkat dari alasan seperti ini.
Sedangkan sumber sekunder berasal dari sejarah negeri-negeri yang ada di
sekitarnya, maksudnya di sekitar pulau Saparua, atau beberapa arsip yang
berkaitan dengan asal usul penamaan. arsip-arsip yang dimaksud adalah
arsip Belanda, beberapa buku dan data-data lain yang memiliki kaitan
dengan isi dari artikel ini.
I.
Pemaparan sumber-sumber primer
Adolf Heuken
dalam sumbangan tulisannya yang dimuat dalam buku A History of
Christianity In Indonesia dan dieditori oleh Jan Aritonang dan Karel
Steenbrink menulis : kita tak tahu banyak tentang sejarah awal
kepulauan Maluku. Tak ada bukti-bukti tertulis, yang ada hanyalah sedikit
peninggalan dari periode prasejarah. Heuken memang benar dan kita tak bisa
membantahnya. Sangat sedikit bukti-bukti yang dimaksud. Begitu juga yang
terjadi di kawasan Lease (Maluku Selatan) yang terdiri dari 3 pulau kecil yaitu
Pulau Saparua, Nusa Laut dan Haruku. Yang bisa kita gunakan adalah tradisi oral
tentang munculnya tiap negeri di kawasan itu. Dan harus diakui bahwa itu semua
adalah legenda atau mite dalam perspektif historiografi. Yang namanya legenda
atau mite, bukanlah catatan atau arsip yang ditulis secara ketat tapi
penceritaan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi yang telah bias atau
bercampur aduk, bukan fakta sebenarnya. Kita pun tahu, sebagian besar “sejarah”
di lokasi ini dikategorikan sebagai legenda dan mite yang dimaksud. Heuken
menulis bahwa munculnya 4 kerajaan besar di Maluku (Maluku Utara –
sekarang) berasal dari legenda dan mite tentang migrasi besar-besaran pada abad
XIV-XV dari pulau Halmahera. Imam Rijali juga menulis kalau leluhur negeri Hitu
berasal dari 4 lokasi, dari pulau Seram yaitu Seram bagian barat dan timur, Halmahera, serta Jawa. Heuken juga
menyepakatinya dengan mengatakan kalau ini terjadi pada abad XV.
Hal yang sama juga terjadi di kawasan Ambon – Lease. Dari
legenda-legenda terbentuknya tiap negeri, diceritakan jika awal mulanya dimulai
dengan “migrasi” besar-besaran dari pulau Seram (Nunusaku). Dalam legenda
itu, setelah terjadinya tragedi Putri Rapia Hinuewele dan perang besar, maka
sebagian besar berpencar dan mencari daerah-daerah baru untuk dihuni. Beberapa
sumber menyatakan bahwa peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1400 M
(awal abad XV).
Jadi memang
sebelum abad XV, kita tak mengetahui banyak tentang apa yang terjadi. Memang
ada tulisan-tulisan yang lebih tua, dari sumber China, Yunani, India, bahkan
Nagarakrtagama (Pancawarnana), tapi itu hanyalah fragmen-fragmen kecil bukan
deskripsi panjang lebar. Hanya sebatas itu. Dalam kitab Nagarakrtagama,
tertulis Ambwan dan Wanda, dimana Ambwan merujuk ke Ambon
dan Wanda adalah kepulauan Banda sekarang. Selain itu, tentu kita masih
ingat akan sumpah Gajah Mada yang dikenal dengan nama sumpah Amukti Palapa. Saat diangkat sebagai mahapatih kerajaan Majapahit oleh Ratu
Tribuhwanatunggadewi pada tahun 1258 Caka/Saka atau 1336 Masehi, ia bersumpah
akan menyatukan seluruh wilayah dalam kekuasaan Majapahit. Wilayah
kekuasaan itu yang sekarang kita akui sebagai nusantara atau
Indonesia. Di dalam sumpah amukti palapa yang lengkapnya berbunyi:
“...Lamun huwus kalah nuswantara
isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring
Haru, ring ahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun
amukti palapa...”
Menurut Agus
Aris Munandar dalam bukunya Biografi Gajah Mada, ia menerjemahkan dan
menganalisa daerah-daerah yang dimaksud oleh Gajah Mada. Ring Seran itu merujuk
pada pulau Seram di wilayah Maluku. Gajah Mada memilih lokasi-lokasi yang
dijadikan simbol atau “wakil/utusan” dari berbagai kawasan. Pulau Seram dipilih untuk “mewakili” Indonesia timur, karena berkaitan dengan
hasil-hasil rempah. Selain itu Ring Seran yang dimaksud bukan “pulau Seram sendirian” tapi juga meliputi pulau Irian.
Itu menurut analisa Agus Aris Munandar. Dengan memahami pola pemikiran itu,
maka daerah sekitar pulau Seram adalah wilayah yang
tergolong Ring Seran dalam sumpah Gajah Mada. Berarti
kawasan Lease dan sekitarnya termasuk di dalamnya.
Dari penyajian
sumber-sumber itu, maka bisa disebut bahwa pada masa itu, Kawasan Lease belum
“dikenal”, maksudnya adalah tidak disebut-sebut secara eksplisit. Ada beberapa
kemungkinan, bisa saja kawasan itu belum memiliki nama, atau sudah memiliki
nama namun dianggap tak terlalu penting. Karena dianggap belum terlalu penting,
maka kawasan itu tidak disebut dalam perbincangan dan “lebih efisien” jika dimasukan
dalam kawasan atau wilayah yang telah dikenal, sehingga jika disebut wilayah
yang telah dikenal maka maksudnya ya termasuk daerah-daerah sekitarnya juga.
Jadi jika para
sejarahwan atau sumber-sumber yang lebih tua dari periode ini, menyebut Maluku,
itu lebih kepada Maluku Utara sebenarnya, bukan Maluku Tengah. Hal ini
memang wajar karena dari sanalah rempah-rempah, yaitu cengkeh berasal dan
banyak. Hanyalah buah pala, yang berasal dari Banda.
Adolph Heuken
mengakui bahwa memasuki abad XV, barulah sumber-sumber lebih banyak bercerita
tentang daerah ini. Sebelum priode itu, sumber yang tersedia sangatlah sedikit.
Semakin banyak pada abad XVI, setelah Portugis mulai menginjak kakinya di
Maluku pada 1512, dan semakin meningkat pada akhir abad XVI dan awal abad XVII
setelah Belanda pun turut mengambil bagian. Karena semakin banyak sumber dari
“outsider” inilah (arsip belanda) maka R.Z. Leirissa bisa menulis buku yang
berjudul Maluku Tengah di masa lampau: Gambaran sekilas lewat arsip abad
XIX.
Dari sumber
China, nama Maluku telah dicatat atau disebut sebagai “Miliku” dalam tambo
dinasti Tang yang berkuasa pada 618-906 M. Nama ini digunakan sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing
(Kalingga) yang ada disebelah barat. Berdasarkan sumber-sumber china inilah, W.P. Groenenveldt menulis bukunya yang diindonesiakan dengan judul Nusantara
dalam catatan-catatan orang China. Jadi
memang nama Maluku atau Mi-li-ku sekurang-kurangnya telah dikenal sejak abad
VII Masehi. Pada masa dinasti Song (Sung) dan Yuan (960-1279, serta 1271-1368), ada banyak catatan tentang Maluku disertai peta-peta navigasi namun
itu disembunyikan dari “pantauan” dunia luar, hanya untuk “konsumsi” kerajaan
China dalam kepentingan perdagangannya. Lebih lanjut pada masa dinasti Ming (1368-1644),
China kembali lagi “melengkapi” catatan-catatan mereka dalam “eksplorasi
kolosal” di masa itu. Itu yang diulas oleh Gavin Menzies dalam bukunya :
1421, saat China menemukan dunia.
Jadi sekali
lagi, pada periode ini atau periode lebih tua, secara eksplisit wilayah-wilayah
dalam Maluku Tengah sekarang, tak disebut-sebut. Itulah sumber-sumber dari
pihak luar pada periode ini. Bagaimana dengan sumber-sumber dari “inner circle”
sendiri? Mari kita telusuri satu persatu, agar kita memahami lebih jauh. Dari
seluruh legenda terbentuknya tiap negeri yang berada di Saparua, sebagian
besar memiliki cerita yang sama. Dikatakan sama, karena sebagian besar dari
cerita legenda itu merujuk pada emigrasi besar-besaran dari pulau Seram,
yaitu dari Nunusaku. Dipercayai oleh bahwa leluhur dari tiap negeri itu
berasal dari sana setelah terjadinya perang Nunusaku akibat terbunuhnya
putri Rapia Hinuewele. Beberapa ahli memperkirakan bahwa emigrasi ini
terjadi kira-kira tahun 1400an M, atau awal abad XV.
Sumber pertama dari negeri Iha
1. Dikatakan kalau leluhur negeri Iha berasal dari Nunusaku kemudian
berpindah ke pulau Saparua. Diketahui pada tahun 1480,
penduduk Iha telah memeluk agama Islam, oleh seorang
mubalik Aceh yang bernama Tengku Umar. 90 tahun kemudian,
agama Katholik disiarkan di kepulauan Lease pada
tahun 1570 oleh pastor Mascarenhas. (postingan blog nyong ambon tanggal 12 mei
2013 dengan judul Sejarah Kerajaan Iha)
2. Seperti pada poin 1, leluhur negeri Iha berasal dari Nunusaku
kemudian ke Sahulau dan kemudian menyeberang ke pulau Saparua,
yang dari pantai Sahulau terlihat seperti 2 buah sampan yang terapung di
laut yang sering disebut sampan lua atau sampan rua sehingga
lama kelamaan menjadi Saparua. (Stenly Loupatty, S.Pd dalam artikel yang berjudul
Hijrah Masyarakat Iha di Pulau Saparua)
ANALISA : Perhatikan kata-kata yang digaris bawahi
Dari deskripsi
di atas, bisa dikaji dalam beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama,
penyebutan nama Saparua (dalam hal ini nama pulau) pada 2 deskripsi di
atas, adalah penyebutan yang muncul belakangan sebagai bentuk “pengkaitan
identitas” nama sebuah tempat yang “akhirnya” menjadi hunian baru leluhur
mereka. Jika hal ini yang dilakukan, berarti, saat kedatangan leluhur
negeri Iha, pulau itu belum bernama, atau sudah bernama tapi belum dikenal atau
“didengar”. Pemahaman ini berlandaskan pada bukti bahwa tak ada
bukti-bukti/dokumen kuno yang ditulis oleh leluhur, sehingga cerita ini
hanyalah diwariskan dari mulut ke mulut kemudian “ditulis ulang” oleh generasi
selanjutnya. Dengan begitu, maka masuk akal jika generasi itu “mengkaitkan”
identitas sebuah pulau yang telah dikenal umum agar sejarahnya “nyambung” dan
“logis” karena ada “bukti” berupa nama sebuah pulau.
Kemungkinan
kedua, jika penyebutan nama Saparua dalam deskripsi di atas, merupakan
“warisan kuno” sejak leluhur mereka datang dan tak “diotak-atik” seperti
penjelasan kemungkinan pertama, maka harus diterima, jika nama Saparua
atau Sampan Lua atau Sampan Rua telah ada (telah bernama) atau telah dikenal
sebelum kedatangan leluhur negeri Iha. Namun, dari 2 deskripsi di atas,
tak ada tahun tercatat kedatangan leluhur. Yang ada adalah tahun 1480 itu,
berarti bisa dibilang di bawah tahun itulah, leluhur negeri Iha mulai
menempati negeri mereka. sehingga akibatnya, kita tak mengetahui sejak kapan
nama Saparua itu mulai “ada” atau “digunakan” baik dalam deskripsi yang pertama
maupun kedua. Memang “penamaan” nama pulau sesuai deskripsi kedua agaknya bisa
dijadikan alasan kenapa pulau itu dinamakan seperti itu, tapi ini pun
menimbulkan pertanyaan lebih jauh, siapa yang menamainya, dan jika deskripsi
kedua dikaitkan dengan analisa kemungkinan kedua, maka penamaan itu semakin
“kabur”. Maksudnya berarti penamaan itu dilakukan oleh generasi selanjutnya,
dan kemungkinan berasal dari “cerita hulaleng” tanpa tahu siapa yang sebenarnya
memulainya.
Sumber kedua dari negeri Ihamahu
1. Dari versi sejarah lahirnya negeri Ihamahu, dimulai dengan penceritaan
tentang letak negeri Ihamahu yang berada di pulau Saparua.
Di situ dilanjutkan dengan informasi bahwa Saparua dalam
bahasa daerah setempat disebut SOPANOLUA yang
berarti sampan dua. Hal ini di sebabkan bentuk pulau ini sama
benar dengan dua buah sampan yang terletak berdampingan. Sebuah sampan
terletak di bagian selatan dan sebuah sampan lagi terletak di bagian
utara. Sampan pada bagian utara pulau Saparua ini adalah
jazirah yang sejak dahulu dengan nama: HATAWANO. Hatawano adalah
daerah hutan lebat yang letaknya rata atau mendatar. Hatawano adalah suatu
nama menurut bahasa setempat yang berarti: DAERAH
KERAJAAN IHA. Kerajaan Iha pada waktu itu luas sekali
sehingga pulau Saparua dikatakan: NUSA IHA.
2. Versi sejarah negeri Ihamahu terbagi menjadi dua yaitu periode sebelum
tahun 1653 dan setelah tahun 1653 yang disebut sebagai Ihamahu baru. Dilihat
dari tahun itu, kita pun tahu bahwa itu adalah tahun berakhirnya perang Iha
yang mengakibatkan hancurnya kerajaan Iha atau Amaiha. Dalam sejarahnya perang
Iha disebut sebagai perang Madjiras yang berlangsung pada 13 April 1632 dan
berakhir pada 1652. Dikatakan lebih jauh lagi bahwa masyarakat Ihamahu adalah
sebagian kecil dari rakyat kerajaan yang tetap tinggal di hutan dan tidak
melarikan diri saat hancurnya kerajaan. Setelah tinggal beberapa lama, kemudian
turun dan memeluk agama Kristen di tahun 1680, dan mendirikan negeri Ihamahu
baru di bawah rajanya yang pertama YEREMIAS DJUMAT PATIIHA.
ANALISA
: Perhatikan kata-kata yang digaris bawahi
Pada poin 1, terlihat ada 3 nama dalam penjelasan meski sebenarnya merujuk
pada 1 nama. Yang satu adalah nama Saparua, yang kedua adalah Sopanolua dan
yang ketiga adalah Nusa Iha. Nama Saparua pada penyebutan pertama, memiliki
kemungkinan seperti yang dijelaskan pada analisa tentang sumber dari negeri
Iha. Mungkin penyebutan itu “dilakukan” belakangan oleh generasi selanjutnya,
dengan alasan seperti di atas. Penyebutan nama Sopanolua disertai dengan arti
serta penjelasannya “mirip” dengan deskripsi poin 2 pada sumber dari negeri
Iha. Memang nama Sopanolua sepertinya terdengar lebih “kuno” daripada
nama Sampanlua atau Sampanrua. Namun tidak dijelaskan siapa yang menamainya
hanya dikatakan berasal dari bahasa daerah setempat. Bahasa daerah setempat
mana yang dimaksud, tidak dijelaskan di situ. Penyebutan kedua tentang Nusa
Iha, juga menarik. Di situ dikatakan karena wilayah kekuasaan kerajaan iha
sangat luas, sehingga pulau Saparua disebut/dikatakan Nusa Iha. Dari sini, bisa
dibilang jika Nusa Iha adalah nama “alias” dari nama sebenarnya Saparua atau
bisa terbalik, Saparua adalah nama “alias” dari nama sebenarnya yaitu Nusa Iha.
Kemungkinan ini juga bisa “memunculkan” dugaan-dugaan. Dugaan pertama, jika
nama Nusa Iha adalah nama alias, berarti nama Saparua (entah itu masih bernama
sopanolua, sampanlua, sampanrua) lebih dulu atau lebih awal dari nama Nusa Iha.
Dugaan kedua, jika nama Saparua adalah nama alias, berarti nama “asli” Saparua
adalah Nusa Iha. Namun inipun, sedikit “kontradiksi” dengan sumber dari negeri
Iha yang disampaikan di atas. Jadi kitapun tak bisa memastikan yang sebenarnya.
Meskipun begitu nama Nusa Iha juga disebut-sebut dalam sumber dari negeri Siri
Sori Islam yang akan kita lihat nanti.
Pada poin 2, bisa dilihat secara jelas, bahwa masyarakat negeri Ihamahu
awalnya adalah bagian dari wilayah kerajaan Iha. Di situ memang, tak diketahui
secara pasti darimana leluhur mereka berasal, namun seperti negeri-negeri
lainnya, mungkin mereka juga berasal dari pulau Seram (nunusaku). Hal ini bisa
“diperkuat” dengan cerita-cerita yang berkembang kemudian dan dipercayai, kalau
Ihamahu adalah Iha yang telah menjadi/memeluk agama Kristen (masu
Kristen).
Sumber ketiga dari negeri Siri Sori Islam
1. Versi dari negeri Siri Sori Islam dimulai dengan
kata-kata: Tidak ada catatan tertulis ataupun kapata yang menyebutkan
perihal kedatangan orang pertama di negeri Louhata Amalatu Siri Sori
Islam, tetapi dalam cerita-cerita lama banyak mengisahkan
tentang orang-orang yang mula-mula mendiami desa Siri Sori Islam adalah
orang-orang sakti, dalam pengertian karena mereka adalah orang-orang yang
memegang teguh ajaran Islam baik dalam hal ibadah maupun penerapannya dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dan memiliki Karamah yang dianugerahi oleh
Allah SWT. Mereka diantaranya adalah:
a. Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana
Berasal dari Bagdad Iraq, beliau meninggalkan negeri asalnya bersama Syeh
Abdul Aziz Assagaf (Maulana Malik Ibrahim) sekitar abad ke 12 M dengan tujuan
menyiarkan Agama Islam keseluruh penjuru dunia. Sekitar tahun 1212 M,
mereka tiba di Samudera Pasai Aceh. Syeh Abdul Aziz Assagaf menetap di
Aceh, sedangkan Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana melanjutkan perjalanan menuju
wilayah Timur dan tinggal di daerah Buton Sulawesi Tenggara (1213 M) dan
mendapat gelar Ode Bunga (Ode Funa).
b. Zainal Abidin Al Idrus
Berasal dari Bagdad Irak, tiba di semenanjung Malaysia pada tahun
1212 M, kemudian menuju ke pulau Sulawesi dan sampai di daerah
Selayar sekitar tahun 1214 M dengan misi yang sama yaitu menyiarkan Agama
Islam. Akibat perang antara kerajaan Goa di Makassar dan Kerajaan Buton di
Sulawesi Tenggara, maka Zainal Abidin Al Idrus bertemulah dengan Syeh
Abdurrahman Assagaf Maulana, keduanya kemudian sepakat untuk meninggalkan pulau
Sulawesi dan menuju Maluku (Almuluqun). Untuk melanjutkan misi yang sama yaitu
menyebarkan Islam secara lebih luas lagi.
Sampai di kepulauan Maluku keduanya singgah di Nusa Iha (pulau
Saparua) tepatnya di negeri Louhata Amalatu di gunung
Elhau yang pada waktu itu belum mempunyai nama. Di gunung inilah Syeh
Abdurrahman Assagaf Maulana mendirikan kerajaan Ama Iha, dengan gelar Sayyidna
Baraba. Selama memimpin kerajaan Ama Iha beliau menikah dengan Nyai Mara Uta
adik dari raja Pati Kaihatu dari negeri Oma Pulau Haruku. Dari perkawinan
ini beliau memperoleh 5 orang anak terdiri dari 4 putra dan satu putri yaitu:
I.
Nunu Mahu, yang kelak dikemudian hari menurunkan marga
Wattihelu (cikal bakal marga Wattiheluw)
II.
Tabdede (Tablele) kelak dikemudian hari
menurunkan marga Latuconsina di negeri Pellau pulau Haruku.
III.
Haris Hamza mendapat gelar Kapitan Juma’ate
di negeri Laimu Pulau Seram.
IV.
Musa Hari Mullah (Kapitan Kawal) yang kemudian
menurunkan marga Wattihelu, Sopacoa, Sopacoaperu
dan Talawa (dikisahkan kapitan Kawal tidak pernah menetap
di suatu tempat) beliau selalu bepergian untuk menjelajahi seluruh wilayah
Nusantara dan di setiap daerah dimana beliau singgah dan menetap selalu
meggunakan nama yang berbeda.
V.
Mananeuna (anak perempuan satu-satunya) menikah
dengan kapitan Raiyapu yang menurunkan marga Toisuta. Zainal Abidin
Al-Idrus Di kerajaan Ama Iha bergelar “Somallo” Beliau menikah dengan
Nyai Wasolo (putri Paku Alam dari Kraton Solo). Mereka dikaruniai
seorang putra bernama Bahrun. Dan dari Bahrun ini yang kemudian menurunkan
marga Holle di Siri Sori Islam. (postingan ini disusun oleh seorang yang bernama Upang Pattisahusiwa)
2. Versi dari
sumber negeri Siri Sori Islam dilanjutkan dengan kalimat :
Akibat perang antara Uli Lima dan Uli Siwa, maka Syeh Abdurrahman
Assagaf Maulana dan Zainal Abidin Al-Idrus meninggalkan kerajaan Ama
Ina. Secara Syariat Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana meninggalkan kerajaan
Ama Ina, Tapi secara Hakekat beliau mengangkat dan berangkat bersama kerajaan
Ama Ina menuju tanah Papua daerah Rumbati. (di kelak kemudian hari anak cucu dari rumbati ini akan mencari tanah asal
leluhurnya di Ama Ina pulau Saparua, dengan cara mencocokkan tanah yang dibawanya dari
Rumbati, yang ternyata adalah tanah dari Rumbati itu adalah tanah Ama Ina juga yang dahulu dibawa oleh Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana Saniki
yarimullah dari Ama Ina menuju
Rumbati). Sedangkan Zainal Abidin Al Idrus menuju pulau Seram
bagian selatan tepatnya di negeri Sepa. Di sini beliau mendapat gelar
Kapitan Tihuruwa (kapitan dari saparua)
ANALISA :
Pada poin 1,
dimulai dengan kata-kata yang penulis garis bawahi, itu berarti bahwa cerita
selanjutnya bukanlah berasal dari dokumen tertulis, namun berasal dari
cerita-cerita lama (tradisi oral) yang disusun ulang, oleh generasi
selanjutnya. Ini memang perlu dilakukan agar cerita itu terdokumentasi dan
“terjaga”. Itu bisa juga dikatakan sebagai legenda. Meskipun berisi legenda
tapi di situ dicantumkan tahun atau penetapan penanggalan yang eksplisit.
Jika itu dilakukan, maka tentunya “harus” dikaji. Maksudnya adalah jika kita
“berani” mencantumkan waktu, maka kitapun harus siap jika itu dikritisi lebih
lanjut. Tentunya pengkajian itu berlandaskan pada sumber-sumber yang resmi
atau terpercaya dan diakui.
Poin 1
tertulis bahwa leluhur negeri Siri Sori Islam (jika bisa
dikatakan seperti itu) adalah 2 orang yaitu Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana
dan Zainal Abidin Al Idrus. Mereka berdua berasal Bagdad Irak dan tiba pada
1212 M di semenanjung Malaysia. Orang pertama kemudian menuju Buton
pada tahun 1213 M, dan orang kedua menuju Selayar (pulau Sulawesi) pada tahun
1214 M. Setelah perang kerajaan Gowa dan Buton, mereka berdua bertemu dan
memutuskan menuju Maluku dengan tujuan menyiarkan agama Islam. Sampai
di kepulauan Maluku, mereka berdua singgah di Nusa Iha (pulau Saparua). Dilihat dari tahun-tahun yang tercantum, harus dikatakan
memang sangat “tua”. Tahun-tahun di atas adalah pada abad
XIII, karena mencantumkan huruf M di belakangnya,
yang berarti adalah tahun Masehi, bukan tahun Hijriah (tahun Islam). Maka tahun itu adalah pada permulaan abad ke-13, bukan abad ke-12.
Terkadang kita sering keliru menentukan tahun masehi dengan abad yang
menyertainya, kita terkadang menulis, contohnya tahun 1325 adalah abad ke-13,
padahal yang seharusnya adalah abad ke-14. Sehingga antara tahun dengan abad
selalu berselisih 1. Perhitungan ini disebabkan karena “kekeliruan” para Bapa Gereja saat
menciptakan penanggalan. Awalnya, kita tak punya penanggalan, sehingga kita tak
tahu kejadian ini terjadi kapan. Para bapa gereja kemudian membuatnya, pada
sekitar tahun 300an. Mereka menjadikan kelahiran Yesus (nabi Isa) sebagai
patokannya. Mereka menafsirkan jika Yesus dilahirkan pada tahun 0 (meski
faktanya, dilahirkan pada tahun 4 SM), sehingga peristiwa-peristiwa yang
terjadi setelah itu disebut sebagai tahun masehi atau lebih dikenal sebagai AC
(After Christ – setelah Kristus) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum
itu disebut BC (Before Chris – sebelum Kristus) atau sebelum masehi
(SM). 1 abad lamanya adalah 100 tahun, sehingga jika dihitung dari tahun
0 ke tahun 99, berarti 1 abad lamanya, sehingga tahun-tahun itu
disebut abad I. Padahal inipun “keliru” karena seharusnya tahun-tahun itu
bukan abad pertama tapi abad nol. Nantinya pada tahun 100-199, “barulah” bisa
disebut sebagai abad pertama, dan seterusnya. Karena telah “keliru” maka akibat
selanjutnya adalah akan selalu berselisih tahun dengan abadnya. Cobalah kita
hitung sendiri sampai sekarang, sehingga tahun 2000-2099 (saat ini)
dibilang abad XXI. Pengandaian abad-abad sebelum masehi dan masehi bisa
diandaikan dengan garis bilangan, tahun sebelum masehi itu adalah bilangan
negatif, dan tahun masehi adalah bilangan positif. Antara bilangan negatif dan
positif ada angka 0 (nol) di tengah-tengah sebagai batasnya. Sehingga jika
bergerak ke kanan dari bilangan negatif 1 (-1) ke bilangan positif 1 (+1), kita
harus “singgah” atau “melewati” dulu angka 0 (nol). 1 abad lamanya 100
tahun, sehingga “butuh” 100 tahun lamanya baru kita bisa “berpindah” dari angka
0 ke angka 1 dan seterusnya, sehingga tahun 0 -99 harus dimasukan
sebagai abad 0, tahun 100-199, adalah abad pertama, tahun 200-299 adalah abad
kedua dan seterusnya. Kelirunya adalah, saat dari bilangan negatif 1 (-1),
kemudian “meloncat” ke positif 1 (+1), sehingga tahun 0 -99 disebut abad
pertama.
Karena itulah,
tahun-tahun sebelum masehi itu bergerak “turun/menurun” atau bergerak ke arah
kanan pada garis bilangan. Jadi kita mengerti mengapa salah satu contohnya
dibilang ahli matematika asal Yunani Pythagoras dilahirkan pada 570 SM dan
meninggal pada tahun 471 SM. Melihat tahun-tahun yang tertera di atas,
bisa dibilang “seumuran” dengan masa akhir dari kerajaan Kediri yang runtuh
pada tahun 1222, bahkan sebelum berdirinya kerajaan Singasari apalagi munculnya
kerajaan Majapahit yang baru berdiri pada tahun 1293. Memang jika tahun
itu dikaitkan dengan penyiaran agama Islam di Nusantara, tidak
“bermasalah” karena beberapa ahli pun meyakini kalau Islam sebenarnya mulai
masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi atau
kira-kira tahun 600an Masehi, setelah nabi Muhamad meninggal pada tahun 632 M.
Berita dari China, yaitu kisah pengelana I Tsing yang menuturkan bahwa pada
tahun 671 M, lalu lintas laut antara Arab, Persia, India
dan Nusantara (Sriwijaya) sudah sangat ramai.
Dinasti Tang juga menyatakan bahwa pada abad ke-9 dan ke-10, para pedagang
Ta-Shih (sebutan bagi para pedagang arab dan persia) sudah sampai
di Kanton dan Sumatera. Bukti lainnya datang dari Marco Polo di
tahun 1292 yang singgah di kota Islam bernama Perlak
di Sumatera Utara. Dari pemerian bukti-bukti di atas, maka kedatangan kedua ulama itu pada tahun-tahun yang disebut, masih
bisa diterima. Namun deskripsi selanjutnya yang “mengganjal” dan meninggalkan
pertanyaan kritis. Dikatakan orang pertama akhirnya menikah dengan Nyai Mara
Uta, adik raja Pati Kaihatu dari negeri Oma pulau Haruku. Dari
informasi ini, kita bisa “meloncat” dalam alur berpikir, kalau negeri Oma
di pulau Haruku “haruslah” sudah ada (berdiri) di tahun-tahun itu
atau maksimal beberapa tahun sebelumnya, karena buktinya negeri Oma pada
tahun itu telah memiliki seorang raja. Atau andaikata saja, raja Oma itu
belum menjadi raja pun saat perkawinan adiknya dengan ulama itu, konsukuensinya
negeri Oma tetaplah harus berdiri sebelum itu. Yang jadi “masalah” adalah
sejarah dari negeri Oma, tak diketahui dengan pasti kapan negeri itu
didirikan, sehingga hanya bisa diperkirakan setelah terjadinya
perang Nunusaku itu, yang oleh beberapa sumber disebutkan pada tahun
1400an. Akibatnya ini menimbulkan kronologis yang bertabrakan atau “kacau”.
Orang kedua
disebut menikah dengan Nyai Wasolo (putri Paku Alaman dari Keraton Solo). Jika informasi benar (dipercaya), ini merupakan “kerancuan”
kronologis dalam pembabakan sejarah yang bersifat resmi. Mari kita “berkelana”
sebentar, kembali ke sejarah terbentuknya kerajaan Islam
awal Nusantara untuk memahami konteks sebagai latar belakang dari
informasi di atas. Kerajaan pertama Islam adalah kerajaan/kesultanan Samudera Pasai
yang berdiri sekitar tahun 1270-1275 dengan rajanya yang
pertama Sultan Malik as-Saleh, memerintah antara tahun 1275-1297. Di pulau Jawa
berdiri kerajaan Demak dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah memerintah
antara tahun 1500-1518. Raden Patah adalah keturunan dari Raja Majapahit yang bernama Bhre Kertabhumi. Jika ditarik ke belakang, mereka adalah
keturunan Hayam Wuruk yang terkenal itu, bahkan sampai ke Raden Wijaya, dan Ken
Arok raja Singasari yang pertama. Pada masa akhir-akhir keruntuhan
kerajaan Majapahit terjadi perebutan tahta diantara keluarga, salah
satunya adalah Bhre Kertabhumi ini. Wilayah yang nantinya menjadi
kerajaan Demak adalah wilayah bawahan (vassal) dari kerajaan Majapahit.
Dari kerajaan Demak inilah yang nantinya muncul kerajaan Islam yang
dikenal sebagai Mataram Islam. Pada akhir keruntuhan
kerajaan Demak, terjadi perebutan antara keturunan Sultan Trenggono dan
keturunan adiknya Pangeran Sekar Seda Ing Lepen. Anak pangeran Sekar Seda Ing Lepen
yang bernama Arya Penangsang membunuh Sultan Prawoto yang adalah anak dari
Sultan Trenggono dan berhasil menjadi raja Demak. Arya Penangsang kemudian
dibunuh oleh Joko Tingkir, raja Pajang, yang adalah menantu dari sultan
Trenggono atau ipar Sultan Prawoto. Pajang dulunya adalah wilayah bawahan
(vasaal) Majapahit, saat Majapahit runtuh dan berdirinya Demak,
pajang menjadi bagian dari kerajaan Demak. Di masa majapahit,
wilayah Pajang ini diperintah oleh adik kandung perempuan Hayam
Wuruk yang bernama Dyah Nerttaja (Rajasaduhitecwari), karena itulah
raja Pajang (penguasa) biasa digelari sebagai Bhre Pajang. Setelah Arya
Penangsang terbunuh pada tahun 1549, seluruh pusaka kerajaan Demak dan
lambang kerajaan dipindahkan ke keraton Pajang. Joko Tingkir kemudian
menjadi raja kerajaan Pajang dan bergelar sultan Hadiwijaya. Terbunuhnya
Arya Penangsang adalah hasil “keringat” dari Sutawijaya sang senopati (panglima
perang) Pajang. Sutawijaya adalah anak dari Ki Ageng Pamanahan. Atas
jasanya ini, Ki Ageng Pamanahan diberikan wilayah kekuasaan
di tanah Mataram yang letaknya lebih ke selatan dari pusat
pemerintahan kerajaan keraton Pajang. Hadiah tanah ini diberikan pada
tahun 1556, dan keraton didirikan di wilayah itu serta Ki Ageng
Pamanahan memerintah hingga tahun 1575 dengan gelar Ki Ageng Mataram. Setelah
Ki Ageng Pamanahan meninggal, kemudian digantikan oleh Sutawijaya, sang anak
yang juga menantu dari Joko Tingkir Sultan kerajaan Pajang. Di masa itu,
Mataram masih merupakaan kerajaan bawahan dari kerajaan/kesultanan Pajang.
Saat sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) meninggal, kembali terjadi perebutan
kekuasaan di kesultanan Pajang. Atas bantuan Sutawijaya, perebutan kekuasaan
itu berakhir dengan naiknya Pangeran Bernawa menjadi Sultan Pajang dan pusat
pemerintahan dipindahkan ke keraton Mataram. Beberapa saat memerintah,
pangeran Bernawa menyerahkan kekuasaannya kepada Sutawijaya yang
menjadi raja Mataram pertama dengan gelar penembahan senapati yang
memerintah di tahun 1587-1601. Salah satu cucu dari Sutawijaya inilah, yang
menjadi raja Mataram dan kita kenal sebagai Sultan Agung. Sultan Agung
ini, yang menyerang Batavia pada tahun 1628-1629 dimasa
Gubernur Jenderal VOC JP Coen itu. Sultan Agung memerintah dari tahun
1613-1645. Perebutan tahta kerajaan Mataram Islam mulai terjadi 50 tahun
kemudian (1705-1708) setelah Sultan Agung meninggal diantara keturunannya yaitu
Sunan Amangkurat III dan Pangeran Puger. Perebutan tahta ini akhirnya berujung
pada perjanjian Giyanti di tahun 1755 (13 Februari) yang membagi kerajaan Mataram
Islam menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunan Surakarta atau
Keraton Solo. Tahun 1757, Kasunan Suarakarta dibagi lagi berdasarkan Perjanjian
Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757, antara Sunan Pakubuwono III
(Penguasa Kasunan Solo) dengan Raden Mas Said. Raden Mas Said diangkat sebagai
Penguasa Kapangeranan yang disebut Praja Mangkunagaraan. Tahun
1813 (13 Maret) Kesultanan Ngayogyakarta dibagi lagi menjadi Paku
Alaman, dimana Pangeran Natakusumah diangkat sebagai Penguasa Praja Paku Alaman
dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.
Dari pemaparan
sejarah kerajaan Mataram Islam itu, timbul pertanyaan paling kritis, bagaimana
mungkin seorang ulama yang hidup pada tahun 1214, bisa menikah dengan seorang
putri Paku Alam dari Keraton Solo yang baru muncul di tahun 1813? Rentang
waktu antara mereka berdua itu 600 tahun lamanya. “jurang” waktu seperti ini
tak bisa “didamaikan”. Andaikata yang dimaksud bukan putri Paku Alam, tapi wanita Jawa, tetap saja pertanyaan terus berlanjut. Di masa
hidup ulama yang dimaksud itu, belum ada kerajaan Islam di
pulau Jawa, karena kerajaan Islam pertama di pulau Jawa adalah
kerajaan Demak di tahun 1500. Jika tetap “dipaksakan” harus menikah
dengan wanita itu, maka wanita itu bukanlah dari Paku Alam, tapi
harus “sezaman” dengan Samudera Pasai di ujung Sumatera yang sekali lagi baru
berdiri di tahun 1270-1275. Bahkan kerajaan Ternate baru muncul di tahun 1257.
Maka akibatnya adalah tahun 1214 itu bisa “diragukan” kebenarannya atau tahun itu
“terlalu awal” dari waktu sebenarnya yang dikisahkan, karena tidak “ekuivalen”
dengan ruang dan waktu atau bisa dibilang “dislokasi”.
Jika hal di
atas, diragukan maka selanjutnya juga terus diragukan termasuk penyebutan nama
Nusa Iha sebagai nama Saparua. Jika tahun itu (1214 ke atas) memang benar,
maka tentunya sebelum kedatangan mereka, ke Nusa Iha,
kerajaan Iha sudah “haruslah” berdiri, biar sesuai dengan sejarah dari
negeri Ihamahu yang menyatakan nama Saparua disebut Nusa Iha
karena akibat wilayah kekuasaan kerajaan Iha yang sangat luas. Padahal
yang kita tahu dari beberapa sumber, kerajaan Iha itu “seumuran” dengan
kerajaan Hitu yang berdiri pada tahun 1470. Beberapa sumber menyatakan
bahwa terjadi kontak antara kerajaan Ternate dengan kerajaan Iha,
melalui “jalan tol” kerajaan Hitu, sehingga 3 kerajaan itu bisa dikatakan
harus ada bersama-sama. Memang dalam sumber dari
negeri Siri Sori Islam itu, tidak disebut-sebut tentang
kerajaan Iha, dan kita andaikan saja, kalau leluhur negeri Iha belum
ada, tetaplah sebuah pulau tak mungkin dinamai Nusa Iha. Bagaimana
mungkin suatu objek dinamai jika orang yang karena keberadaannya hingga suatu
objek dinamai seperti itu belum ada?.
Ada juga
informasi menarik yang menyatakan jika Zainal Abidin Al Idrus
digelari Kapitan Tihuruwa (Kapitan dari Saparua) setelah ke Seram Selatan
tepatnya di Sepa. Tihuruwa, Sopanolua, Sampanlua dan Sampanrua, terlihat
“mirip” dari pengucapannya. Jadi kata Tihuruwa juga bisa dipertimbangkan
di samping Sopanolua, Sampanlua maupun Sampanrua. Analisa lebih jauh,
gelar itu didapatkan setelah ulama itu berada di Sepa, itu berarti orang-orang
di situ yang memberi nama. Ini berarti pula, orang-orang di situ
telah lebih dulu mengenal/mengetahui nama tempat (dalam hal ini, nama pulau)
darimana ulama itu berasal sehingga memberi nama Tihuruwa. Mungkin saja saat
tiba di situ, terjadi percakapan antara mereka dan berlanjut pada pertanyaan
berasal darimana, sehingga orang-orang Sepa bisa langsung “mengidentifikasi”
nama sebuah tempat yang telah mereka ketahui sebelumnya dan akhirnya menggelari
ulama itu dengan sebutan seperti itu. Atau bisa juga, saat perkenalan, sang
ulama besar itu langsung menyampaikan daerah darimana dia datang dan kemudian
orang-orang sepa tinggal menyematkan gelar yang sesuai dengan asal sang ulama.
Jika kemungkinan ini yang terjadi, maka sebenarnya sang ulama pun telah
mengetahui nama sebuah pulau tempat asalnya.
Sumber keempat dari negeri Ullath
1. Konon ada tiga orang bersaudara masing-masing Kasim (kakak sulung), Tasim
(kakak tengah) dan Abdullah Nekaulu (adik bungsu), disebut-sebut sebagai tiga
moyang bersaudara yang menitiskan keturunan bagi tiga negeri di pulau
Saparua, Tuhaha, Iha dan Ullath. Berasal dari Nunusaku, menggunakan
sebuah kora-kora, “Matita Toma Nusa” yang artinya “Mari kita mencari pulau”.
Berlabuh di Putiori–sebuah tempat yang berarti putih dari laut sampai ke darat,
diduga adalah bagian barat negeri Itawaka..... di sini..... Kasim
menuju ke Amaihal, yaitu bekas negeri Iha sekarang..... Tasim menuju ke
Huhule, yang merupakan negeri lama Tuhaha, dan Abdullah Nekaulu kemudian
berlayar menyusur pantai menuju ke Amahatu, yang merupakan negeri lama Ullath.
2. Kesultanan ternate pada abad XIV memiliki tujuh orang anak yang sekaligus
menjadi tujuh sultan yang kemudian berkembang menjadi
kerajaan-kerajaan di Maluku Utara
(bacan-djailolo-tidore-ternate) akibat perselisihan maka sultan bungsu
meninggalkan saudaranya menuju NUSA INA menuju kerajaan NUNUSAKU dan tiba
di NUNUSAKU pada abad 15-16. Keturunan “Kasale Latu Nunusaku” dengan istri
pertama yang kawin pada tahun l582 melahirkan empat orang anak masing-masing:
I.
Anak pertama perempuan ke Buton melahirkan
keturunan Sultan Buton
II.
Anak kedua Lau Abukasim Nunusaku mendiami Buano
III. Anak ketiga Tomalesi Nunusaku mendiami Oma
IV. Anak keempat Pattinusa Nunusaku mendiami Ulathe meninggalkan negeri “Nusa Inala Alam Kasturi Nisalemang; Patti Eli Pule-pule Nunusaku dan berkata “Mae Tita Toma Nusa” mari kita keluar mencari pulau-pulau yang lain
ANALISA :
Dari versi
ini, terlihat pada poin 1 dan 2, tidak ada penyebutan nama Saparua,
penyebutan nama Saparua dalam poin itu, lebih kepada “pengaitan” nama
pulau oleh generasi selanjutnya. Jika dilanjutkan pembacaan terhadap sumber
itu, maka tidak ada sama sekali penyebutan nama Saparua atau nama-nama
yang mirip dengan itu. Sumber ini lebih “memfokuskan” pada lokasi mereka secara
“eksklusif”. Maksudnya cerita tentang penamaan nama negeri mereka, dan asal
usul kenapa nama itu diberikan. Yang menarik adalah poin 1 dan 2, kedua poin
itu “saling melengkapi” tapi juga saling “membantah”. Penjelasannya seperti
ini: jika poin 1 dijadikan rujukan, maka penentuan tahun pada poin 2 “agak
meragukan” karena berlawanan dengan sumber negeri Iha, yang menyatakan di
tahun 1480, masyarakat Iha telah memeluk agama Islam, sehingga di
bawah tahun 1480 itulah, ketiga adik dan kakak itu sudah harus menempati lokasi
mereka, atau minimal telah sampai di tempat yang baru.
Begitupun,
jika poin 2 dijadikan rujukan, maka “bertabrakan” dengan poin 1 yang memiliki
“kesejajaran” dengan sumber Iha. Tambah lagi, dalam dokumen
agama Katholik tentang penyiaran agama Kristen, tercatat di tahun
1570, Pati Ulath terbunuh karena mempertahankan iman Kristennya.
Data ini ada dalam artikel yang ditulis oleh Adolf Heuken dan dimuat dalam buku
berjudul A History of Christianty in Indonesia. Dari sumber ini, maka
disimpulkan bahwa leluhur orang-orang Ullath sudah ada sebelum tahun 1570,
karena di tahun 1570 itu, telah ada seorang Pati atau penguasa di negeri itu.
Sumber kelima dari Negeri
Porto
Setelah proses perjanjian selesai, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury
beristirahat tidur. Sementara itu Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua naik ke
atas rakit. Tiba-tiba rakit itu terbawa arus dan hanyut, Kapitan Wattimena dan
Kapitan Wattimury yang terbangun dari tidurnya melihat rakit itu hanyut yang
semakin ke tengah laut hanya bisa melambaikan tangannya. Rakit yang membawa
Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua terkatung-katung di Tanjung Hualoy. Mereka
hanya bisa membalas lambaian tangan kedua kapitan yang berada di darat. Mereka
tak bisa membawa rakitnya menepi. Kapitan Nanlohy meloncat dan berenang melawan
arus. Tapi naas, karena letih dan kecapaian akhirnya ia terdampar di tempat
yang bernama Nanaluhu, yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”. Sementara
itu, Kapitan Talakua terus hanyut berbawa arus hingga melewati Tanjung
Uneputty. Pelayaran yang hanyut itu akhirnya terdampar juga pada suatu
teluk di pulau Saparua. Dimana dibangunnya negeri yang diberi nama Porto.
Hal itu didengar oleh Kapitan Nanlohy dan ia pun pindah dari Luhu ke Porto
untuk hidup bersama dan mengembangkan keturunannya menjadi satu mata rumah yang
besar. Mereka berdua tinggal di negeri lama yang bernama Opal.
Talakua menempati atau mengambil daerah di bagian depan (arah timur)
menghadap Saparua, sedangkan Nanlohy menempati daerah di bagian
belakang yang menghadap ke pantai.
(http://www.angelfire.com.home/SAPAPORTO/Talakua/htm)
ANALISA :
Dari penceritaan di atas, tak ada penyebutan nama Saparua secara
“spesifik”. Penyebutan nama Saparua, lebih kepada pengidentifikasian
sebuah pulau yang telah dikenal kemudian. Namun jika cerita ini tak
“diotak-atik” sebagai bagian pengidentifikasian tadi, maka kesimpulannya,
nama Saparua telah ada, atau telah dikenal jauh sebelum leluhur
negeri Porto datang. Hal yang menarik juga soal pembagian tempat di negeri
lama itu, di situ disebutkan menghadap Saparua. Penyebutan nama ini,
bukan nama sebuah pulau tapi sebuah nama negeri yaitu negeri Saparua. Dari
informasi ini, apakah bisa diduga atau disebut dari kata menghadap itu berarti
berbatasan? Apakah itu berarti dulu (di masa itu)
wilayah kekuasaan negeri Porto berbatasan dengan negeri Saparua? Atau
apakah penyebutan negeri Saparua “hanya” sebagai “petunjuk arah” dari
sebuah lokasi? Gambaran “letak geografis” dari suatu wilayah? Jika
ini yang dimaksud, kenapa tidak disebut menghadap ke Tiouw? Bukankah negeri
Tiouw berbatasan dengan negeri Porto?
Jika nama Saparua yang disebut-sebut dalam pembagian wilayah di negeri
lama itu, adalah pengidentifikasian yang dilakukan oleh generasi selanjutnya
dalam “penyusunan” ulang cerita, lalu apa nama “sebenarnya” wilayah yang
berhadapan itu? Semakin menarik, jika penyebutan nama itu, adalah “warisan”
lama, maka itu berarti, negeri Saparua telah ada, sebelum negeri Porto
atau minimal, hadir bersamaan. Jika ini yang terjadi, maka
kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi adalah, nama sebuah pulau itu
“ternyata” mengikuti nama sebuah nama negeri, atau nama sebuah nama negeri
mengikuti nama sebuah pulau.
Sumber keenam
dari Negeri Itawaka
Adapun kisah sejarah sehingga menimbulkan negeri ini, dimulai dari sebatang
air yang kecil di pinggir negeri tersebut, yang mana Air Potang-Potang.
Tetapi nama air ini bukan demikian, melainkan sesuai dengan aslinya, yaitu Air
Potang-Potang karena pada air ini ada sebuah batu pangasah parang dari Kapitan
Iha. Alkisah bahwa, jazirah Hatawano berdiri sebuah kerajaan yang ternama
yaitu Iha. Kerajaan ini memerintahkan negeri-negeri di situ termasuk
negeri Tuhaha, dan tentu bagi negeri yang tunduk di bawah perintahnya, harus
turut segala persyaratan yang diberikan, apalagi di saat-saat berkuasanya
kerajaan ini.
ANALISA :
Cerita sejarah di atas, penulis “memotongnya” karena dirasa, tidak ada
hubungan dengan isi dari tulisan ini. Dari cerita selanjutnya, diketahui bahwa
terbentuknya negeri Itawaka, adalah “strategi” pihak penjajah (Belanda) dalam
membendung pengaruh kerajaan Iha. Caranya dengan “menempatkan” orang-orang
Ullath di perbatasan. Dari usaha ini, lama kelamaan terbentuklah sebuah negeri
yang kita kenal sekarang sebagai negeri Itawaka.
Dari informasi ini, maka tentunya, penyebutan nama Saparua tidak
disebut-sebut, karena peristiwa itu terjadi pada masa penjajah yang berarti
pada tahun 1600an, mungkin bersamaan dengan perang Iha, yang terjadi pada
1632-1652an.
Sumber ketujuh
dari Negeri Paperu
Orang yang mula-mula tiba di negeri Paperu ialah LATUNUSA yang artinya Raja
Pulau. Dengan menggunakan sebuah perahu kora-kora, Latunusa datang dari Seram
Barat dan mengelilingi pulau-pulau untuk dijadikan tempat tinggal. Setelah
Latunusa melihat negeri Paperu yang cocok dihatinya, lalu ia mengatakan
setengah berteriak TOUNUSA jang artinya “lihat pulau” atau “tengok
pulau”. Dan dia (Latunusa) memutuskan untuk turun dan menetap
di situ. Latunusa turun dan mencari tanah yang baik serta aman untuk
dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian dipilihnya bagian tanah di puncak
gunung agar dari tempat itu ia dapat melihat keadaan sekitarnya, teristimewa
letaknya jauh dari pesisir pantai, jang berarti ia bebas dari serangan musuh.
Setibanya di gunung, ia lalu menukar namannya menjadi LATUSALISA atau Raja
Gunung. Dan kemudian oleh rakyatnya ia disebut Luhukay yang
artinya jang masuk/tiba pagi-pagi/mula-mula, dan keturunannya sampai
sekarang memakai nama Luhukay sebagai nama marganya. Dan Latusalisa/Luhukay
ini, berkuasa di darat maupun di laut, sebab pada waktu itu semua tanah masih
kosong. Jadi daerah kekuasaannya sangat besar, mulai dari jembatan Booi sampai
ke Tiouw (gereja Saparua sekarang) dan terus ke labuhan negeri Haria.
ANALISA :
Terlihat dari
penceritaan di atas, tidak ada nama Saparua disebut-sebut, yang ada adalah
“penjelasan” tentang batas-batas wilayah negeri dan hanya “menerangkan” pada
lokasi bangunan (gereja) yang telah dikenal sekarang.
Sumber kedelapan dari negeri Tuhaha
Alkisah orang
Tuhaha bermula berasal dari pedalaman pulau Seram yaitu Tupapa atau Tululauhaha
(yang artinya turun kelaut/ketepi pantai), yang mungkin disebabkan
karena bencana alam atau peperangan, kemudian sampailah mereka ke
pulau Saparua dan membentuk Hena-hena yang terdiri dari Soa-soa. (http://beinusaamalatu.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-negeri-tuhaha.html)
ANALISA :
Sumber sejarah
dari negeri ini “sangat” ringkas, sehingga kita tak “menemukan” apa yang
menjadi tujuan dan isi dari tulisan artikel ini. Penyebutan nama
pulau Saparua, itu mungkin “dilakukan” oleh generasi berikut, yang
menyusun kembali cerita ini. Namun andaikata, nama Saparua yang disebut
itu, telah dikenal sebelum leluhur itu datang, itu semakin “membuktikan” bahwa
memang nama Saparua telah ada atau diketahui, sehingga nama itu dirujuk
oleh leluhur negeri Tuhaha untuk mengidentifikasi sebuah pulau yang mereka huni
nantinya.
Sumber kesembilan dari Negeri Booi
Pada mulanya
masyarakat negeri Booi (tradisional) adalah perpaduan dari rumpun suku
SIWA dan rumpun suku LIMA, yang berasal dari pulau Seram. Tetapi kemudian dalam
penelusuran sejarah kemudian, ada pengakuan yang kuat bahwa mereka (masyarakat
pertama yang menguasai negeri Booi sekarang) berasal dari NUNUSAKU NUNU WAE
SANE yang adalah tempat tinggal salah satu rumpun suku SIWA. Adapun alasan ini
dapat dijelaskan dalam sejarah negeri Booi bahwa salah satu sub suku SIWA ini,
awalnya menyinggahi dengan perahu kora-kora mereka, di pantai yang bernama
HATURISSA (sekarang menjadi salah satu pantai yang ada di negeri Booi); yang
artinya “BATU PERANG”. Di HATURISSA mereka berperang dengan orang-orang yang
lebih dahulu telah menguasai tempat itu, yaitu mereka yang berasal dari rumpun
sub suku LIMA, yang juga berasal dari pulau SERAM (dua rumpun suku ini, sejak
dari pulau SERAM tidak pernah akur dan sering terlibat dalam perang). Namun
kemenangan selalu ada di pihak sub suku SIWA, maka rumpun sub suku LIMA
akhirnya mengajak bersekutu dan mereka berdamai; sehingga bermufakat untuk
mencari tempat di atas gunung yang aman, sebagai tempat tinggal mereka
(Semenjak dari situ sub suku LIMA tunduk di bawah kekuasaan sub suku SIWA dalam
berbagai hal).
ANALISA :
Dari sumber
negeri Booi di atas, lebih banyak bercerita tentang pembentukan negeri
mereka, sehingga memang tidak ditemukan banyak informasi tentang nama yang
berhubungan dengan nama Saparua. Meski begitu, ada juga informasi yang
menarik. Dalam cerita itu disebutkan, bahwa leluhur negeri singgah
di pantai Haturissa, dan berperang dengan orang-orang yang lebih dulu
menguasai daerah itu. Berarti, sebelum mereka datang, orang-orang itu telah
ada. Siapakah mereka sebenarnya? Apakah leluhur negeri Paperu? Leluhur negeri
Haria? Leluhur negeri Tiouw? Ataukah Leluhur negeri Ullath, Ouw, Siri Sori atau
malah leluhur negeri Saparua sendiri? Atau leluhur orang-orang Nusa Laut?
Sayangnya, tidak ada informasi lanjutan dari cerita ini, sehingga kita tidak
bisa mengidentifikasi lebih jauh.
Sumber kesepuluh dari Negeri Haria
1. Versi Pemerintah Negeri : Pada beberapa abad yang silam, bangsa Alifuru
dari pulau Seram bagian barat berpindah ke pulau Saparua, mereka
mendiami beberapa pegunungan di pulau Saparua
seperti gunung Moi di Itawaka, gunung Elhau di
Sirisori dan gunung Hatuhahul di Haria. Dari sini, kemudian
berkembang menjadi negeri-negeri, salah satunya adalah negeri Haria.
2. Versi Marga/Faam Loupatty (Tuan Tanah) : Nenek moyang (leluhur) dari
marga Loupatty pertama kali menginjakkan kakinya di Nusaunjo (negeri
lama Haria). Setibanya di sana, leluhur itu kemudian mencari daerah yang
tinggi (gunung) untuk menetap. Hal ini disebabkan oleh ancaman pembunuhan Orang
Lano (pemenggal kepala dan pemakan daging manusia atau kanibal).
ANALISA :
1. Versi pemerintah negeri, mungkin adalah versi hasil “rangkuman” dari
beberapa versi faam/marga yang dianggap sebagai leluhur atau orang asli
negeri Haria. Penyebutan nama Saparua di atas, mungkin “identifikasi”
nama pulau yang dilakukan oleh generasi berikut saat menyusun cerita pada versi
ini. Jika bukan, itu juga menjadi “bukti” tersendiri, jika nama Saparua
memang telah ada, jauh sebelum kedatangan para leluhur itu, atau telah memiliki
nama. Yang perlu dicermati dari versi ini, adalah informasi tentang orang Alifuru
yang salah satunya menempati gunung Elhau di Siri Sori. Hal ini sedikit
berbeda, dengan versi dari Negeri Siri Sori Islam. Dalam versi itu,
disebutkan saat Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana dan Zainal Abidin Al
Idrus tiba di negeri Louhata Amalatu di gunung Elhau yang saat itu belum
mempunyai nama. Dari kalimat ini, bisa muncul 2 tafsiran, yang satu nama
Louhata Amalatu belum bernama, atau gunung Elhau itu belum memiliki nama. Jika
yang dimaksud gunung Elhau itu belum memiliki nama, maka bisa diduga, yang
memberi nama adalah kedua ulama itu. Dugaan ini juga menimbulkan dugaan lain,
yaitu, di gunung itu belum ada orang atau telah ada orang sebelum kedua ulama
itu datang, sehingga “sesuai” dengan sumber dari negeri Haria.
2. Versi kedua, tidak menyebut Saparua secara khusus. Tapi di situ juga
ada informasi yang menyebut bahwa ada ancaman dari Orang Lano, sehingga leluhur
itu mencari daerah yang lebih tinggi untuk menetap (gunung). Ini bisa
disimpulkan, jika memang telah ada orang sebelum leluhur itu datang, namun kita
tak mengetahui banyak tentang “profil” orang Lano
ini.
Sumber kesebelas dari Negeri Nolloth
Datuk-datuk
yang mendirikan negeri (desa) Nolot berasal dari Ceram Barat di daerah AIHIOLO
dan mereka bermukim di tempat yang bernama Lumapalatale. Pada
waktu itu negeri Aihiolo sedang bemusuhan dan berperan dengan negeri Nunutetu,
sehingga keamanan sangat terancam, akibatnya mereka memutuskan untuk
meninggalkan negeri di Ceram dan menuju ke pulau Saparua. Menyusuri
sungai Tala mereka tiba di pantai dan selanjutnya menyeberang selat Ceram dan
tiba di pantai HATAWANO. Dari sana mereka naik ke gunung NOLLO. Nollo
artinya lihat dari jauh. Aman Nollo terdiri dari dua buah Soa atau Uku
(kampong) dengan marga atau matarumah pokok yaitu:
1.
UKU LIMA : Terdiri dari matarumah Huliselan,
Malessy, Selanno, Matatula dan Pasalbessy.
2.
UKU LUA : Terdiri dari matarumah Luhulima
dan Metekohy.
Selain
matarumah-matarumah pokok tersebut di atas, ada beberapa lagi yang tidak masuk
dalam Uku Lima dan Uku Lua yaitu Silahooy, Patty, Sipasulta, Tousalwa dan
Ihalauw. Selama berada di gunung Nollo, mereka diperintah oleh Raja
LATUSOPACUA.
ANALISA :
Penyebutan
nama Saparua (dalam hal ini nama pulau) mungkin adalah upaya generasi
selanjutnya untuk mengidentifikasi nama pulau yang telah dikenal kemudian.
Sejarah dari negeri Nolloth, lebih banyak kepada “konstruksi” dalam negeri
mereka, sehingga tak terdapat asal usul nama Saparua seperti yang
diinginkan oleh artikel ini.
Sumber keduabelas dari Negeri Tiouw
Desa Tiouw
adalah desa pertama di pulau Saparua, pada jaman dahulu datuk-datuk desa
Tiouw berasal dari pulau Seram/gunung Nunusaku. Mereka menyeberang
dari pulau Seram ke pulau Saparua dan menempatkan di salah
satu “Gunung Karang” yang terletak sampai sekarang
di petuanan desa Tiouw yang diberi nama “Negeri Lama”.
Datuk-datuk
desa Tiouw datang dari pulau Seram di bawah seorang pimpinan Kapitan
Matahelumual, lama kelamaan mereka ingin bermukim di tepi pantai dan
mereka turun dari gunung karang menetap di tepi pantai yang
adalah desa Tiouw sekarang. Di tepi pantai mulailah mereka
membangun desa dan diberi Nama TIOUW dengan artinya TIANG PERTAMA/NEGERI
YANG PERTAMA. Di sinilah mereka
bentuk soa atau kelompok yang dikepalai oleh
seorang kepala soa.
(Hasil tulisan tangan mantan Patih Tiouw ke-17/Regent
de Tiouw XVII : Z. Tehubijuluw, yang ditulis kembali oleh Rudy Victor
Tehubijuluw)
ANALISA :
Dari sumber
negeri Tiouw, penyebutan nama Saparua dalam sejarah mereka, mungkin adalah
penyebutan yang dilakukan oleh generasi berikutnya, saat menyusun cerita
sejarah mereka.
Sumber ketigabelas dari Negeri Ouw
Sumber dari
negeri Ouw intinya menceritakan tentang leluhur mereka yang datang
dari Nunusaku, namun banyak memfokuskan pada sejarah asal usul marga/faam
yang dianggap sebagai orang asli negeri Ouw, semisal Tatipatta, Titahena,
Saptenno, Manuputty, Syahailatua, Sahetapy, Likumahuwa, Tomasoa, Makailopu,
Titaley, Tutupoly, Silalily, Silahooy, Matulapelwa, Matulatuwa, Sinanu,
Lumalesil, Pelupessy, Hehakaya, Lahalo, dll. (http://alanlahalo.com)
ANALISA :
Dari sumber di
atas, memang tidak ada penyebutan nama Saparua secara khusus, karena lebih
banyak menceritakan, tentang asal usul marga yang dianggap sebagai orang asli
negeri Ouw. Dalam penceritaan tentang asal usul marga Titaley, disebut-sebut
tentang sejarah Titaley yang nantinya menjadi leluhur Titaley yang dianggap
sebagai orang asli negeri Saparua. Minimal dari informasi ini,
“membuktikan” bahwa cerita keleluhuran orang negeri Saparua, memiliki
basis yang “kuat”. Meski bisa saja, dalam versi negeri Saparua, terdapat
penafsiran tentang asal usul munculnya marga/fam Titaley di Saparua
(pulau) berbeda, tapi itu dianggap hal yang wajar dan bisa diterima sebagai
bagian dari kayanya sumber cerita rakyat.
Sumber keempat belas dari Negeri Saparua
Catatan
penanggalan yang menjadi tahun keluarnya orang-orang Souku dari pulau Seram adalah pada tahun 1436. Rombongan Souku berangkat
dari Tanjung Pulapa di bawah pimpinan Simatauw Adjelis dan
Titaley Riang menuju pulau Saparua.
Dalam perjalanan mencari wilayah baru untuk berdiam, ada beberapa tempat yang
mereka singgahi. Persinggahan pertama (1) yaitu Tanjung
Hatawano-Itawaka (sekarang) di Saparua sebelah timur,
tetapi keputusan dari Simatauw Adjelis (saudara tertua) menyatakan
tempat ini adalah labuhan karang, tidak cocok untuk dijadikan tempat
tinggal/negeri baru. Gosepa Souku melanjutkan perjalanan menyusuri
pesisir pantai ke timur dan selatan melewati 2 tanjung untuk melihat keadaan
sekitar, semuanya masih kosong, tidak ada koloni-koloni/negeri baru yang
ditemui.
Catatan: Pada jaman itu suku-suku masih menempati/membuat pemukiman di wilayah pegunungan, belum seperti sekarang ini, setiap
perkampungan/negeri ada di pesisir pantai.
Persinggahan
kedua (2) yaitu petuanan Negeri Ouw/Ullath (sekarang), dengan
mempertimbangkan lokasi yang kurang cocok/kurang strategis, mereka pun
terus berlayar. Persinggahan ketiga (3) yaitu petuanan Negeri
Siri Sori (sekarang), di sini orang-orang
Souku turun ke daratan dan beristirahat. Tempat ini kemudian diberi nama
Waihenahia, dusun yang membatasi Negeri Saparua dan Negeri Siri Sori
Amalatu. Setelah beristirahat, rombongan gosepa Souku melanjutkan berlayar
hingga terlihat dari jauh pesisir pantai Waisisil, petuanan antara
Negeri Paperu dan Tiouw (sekarang). Dan terus masuk ke dalam Teluk Saparua
(sekarang) lalu mendaratkan gosepa di pesisir pantai muka kota sebagai
pelabuhan terakhir yang mereka pilih, diantara tanjung batu karang, yang banyak
ditumbuhi katang-katang/tumbuhan tapak kuda dan pohon
bintanggor/kanjoli.
Kapitan
Titaley Riang dan istrinya Ahina Sahele kemudian
mengambil tempat di atas batu karang untuk membuat wango-wango/api
unggun dan berjaga, jika nanti ada gosepa lain datang mereka bisa melihat
api/tanda klaim dan mengetahui bahwa sudah ada orang yang menempati wilayah
ini. Sedangkan 3 Kapitan lain dan istri-istrinya mengambil tempat di pesisir
pantai dekat batu karang.
Penamaan Saparua
Setelah
kedatangan gosepa Souku ada juga rombongan gosepa lain yang datang, menyusuri
tanjung batu untuk mencari tempat berdiam. Kapitan Riang Titaley pun terjaga
lalu bercakap-cakap dengan Ahina Sahele, dengan suara keras!, supaya
terdengar oleh mereka, dan tahu bahwa sudah ada orang di tempat ini.
Terjadilah percakapan antara “Kapitan Titaley Riang” dengan “Mereka” :
Berkata orang
di atas gosepa: “SAPA”
Artinya
siapa/berapa?
(menanyakan
ada siapa di situ/berapa orang di atas batu karang)
Kapitan
Titaley Riang membalas: “RUA”
Artinya ada dua!
(ada 2 orang
diatas batu karang)
Kapitan
Titaley Riang balas bertanya: “SAMPANO”
Artinya ada
berapa gosepa yang datang?
Dibalas oleh
mereka: “RUA”
Artinya ada
dua!
(2 gosepa yang
datang)
Dari versi
percakapan tersebut, kemudian menjadi cikal bakal pemberian nama negeri Saparua
dan pulau dimana mereka tinggal. Orang-orang dengan gosepa yang
belakangan datang lalu pergi, kemungkinan mereka singgah dan membentuk
koloni-koloni lain di sepanjang pesisir Teluk Saparua seperti negeri
Tiouw, Paperu dan Booi, karena asal-usul terbentuknya ke-3 negeri ini
memiliki kemiripan dengan negeri Saparua.
Untuk beberapa
waktu orang-orang Souku tinggal di situ lalu kemudian naik ke gunung
mencari tempat yang akan dibuatkan Amano/Hena, sebab di tempat asalnya tidak
pernah tinggal di tepi laut melainkan di tengah hutan. Tempat tinggal pertama
orang-orang Souku di pegunungan dipilih oleh Simatauw Adjelis dan diberi
nama SAPA RUA LESI yang mempunyai arti Saparua kecil
/permulaan/akan bertambah-tambah.
Di sinilah
awal kehidupan orang-orang Souku di pulau Saparua.
ANALISA :
Sumber dari
negeri Saparua, terlihat agak “lebih lengkap” tentang cerita asal usul penamaan
sebuah objek. Jika sumber Ihamahu, Iha menjelaskan asal usul nama yang
bersumber dari pemaknaan “morfologi”, sumber dari negeri Saparua, lebih menitik
beratkan pada “peristiwa” atau kejadian. Jadi bisa dibilang, yang satu berasal
dari pemaknaan secara umum, sedangkan yang satu dari “kecelakaan” akibat dialog
antara 2 kelompok yang tak saling mengenal. Memang harus diakui bahwa isi
dialog yang termuat adalah “terjemahan modern” dari generasi berikutnya, artinya
dialog itu adalah hasil cerita yang diwariskan dan disusun ulang, sehingga
tentunya tidak harus “presisi” dalam kata per kata. Jika diperhatikan secara
baik, ada kesamaan kata di antara sumber-sumber dari Ihamahu dan Iha dengan negeri Saparua. Ihamahu menyebut Sopanolua, Iha menyebut
Sampanlua/Sampanrua, sedangkan dari negeri Saparua menyebut Sampanorua.
Tambahan lagi ketiga sumber ini “melibatkan” objek yang sama yaitu Sampan (gosepa) dan angka yaitu bilangan dua.
Dari 16 negeri
yang ada di pulau Saparua, sumber dari negeri Kulur, Kampung Mahu dan
Dusun Pia tidak ditampilkan. Ini dikarenakan beberapa pertimbangan. Kampung
Mahu dan Pia sebelumnya, adalah bagian wilayah dari Negeri Paperu dan
Siri Sori Amalatu, meski Pia belumlah menjadi negeri “independen”.
Sehingga versi mereka dianggap tidaklah berbeda jauh dengan versi negeri induk
mereka. sedangkan Negeri Kulur dari beberapa sumber, merupakan wilayah
kekuasaan kerajaan Iha, sehingga sejarahnya bisa dimasukan kedalam sejarah dari
sumber negeri Iha.
II.
Kajian Umum atas sumber-sumber
Primer
Pembacaan
ulang terhadap sumber-sumber primer, yang berisikan sumber-sumber dari
negeri-negeri yang ada di pulau Saparua bisa dibagi menjadi 3 bagian besar
:
1. Penyebutan nama Saparua (nama pulau) tanpa asal usul. Maksudnya
penyebutan identitas yang “telah jadi”. Ini ditandai dengan penulisan nama
seperti bentuk penulisan sekarang. Tiouw, Paperu, Porto, Haria, Nolloth,
Tuhaha, Ullath, Ouw adalah contohnya.
2. Penyebutan nama Saparua (nama pulau) dengan asal usul. Iha, Ihamahu,
Siri Sori Islam dan negeri Saparua sendiri.
3. Tidak ada penyebutan nama Saparua. Ini disebabkan karena sumber ini
lebih memfokuskan pada penceritaan “pelembagaan” sebuah negeri sehingga
otomatis tidak menceritakan hal-hal lain di luar konteks dalam
penceritaan.
Dari pembagian
di atas, kita bisa melihat ada beberapa versi nama Saparua yang
mirip, nama Sopanolua, Sampanrua/Sampanlua dan Sompanolua.
Nama Nusa Iha yang disebut-sebut dalam sumber Ihamahu dan Siri Sori Islam
bisa dipertimbangkan pula. Memang harus diakui, bahwa nama Nusa Iha bisa saja
merupakan nama “asli” tapi tidak ada bukti tertulis yang valid. Lagipula
penamaan itu berdasarkan pada akibat dari luasnya kerajaan Iha di masa itu.
Kerajaan Iha mungkin berdiri di paruh pertama abad XV (tahun 1400-1450), atau mungkin
beberapa tahun setelah tahun 1480, setelah mereka memeluk agama Islam seperti
dalam sumber negeri Iha. Masa kejayaan kerajaan ini, diperkirakan beberapa
tahun setelah berdiri. Rumphius mencatat, orang-orang Iha juga turut membawa
cengkih ke Malaka dan bertemu dengan para pedagang China, Arab dan Jawa.
Hubungan ini pasti melalui “pintu masuk” kerajaan Hitu, sehingga pasti
berhubungan juga dengan Kerajaan Ternate. Imam Ridjali menulis tentang kerajaan
Hitu, dikatakan bahwa kerajaan Hitu berdiri pada 1470, jadi mungkin setelah
tahun-tahun itu, kerajaan Iha mengalami masa jayanya. Kerajaan Iha runtuh pada
tahun 1652 setelah perang dengan Belanda. Sehingga mungkin di masa-masa
itulah, nama Nusa Iha digunakan atau familiar dalam kehidupan sosial orang-orang
pulau Saparua. Nama Sopanolua, Sampanlua/Sampanrua atau juga Sampanorua juga
memiliki “peluang” yang besar sebagai nama “asli”. Memang nama-nama ini
hanyalah bersumber pada legenda atau tradisi oral, bukan catatan tertulis.
Namun “jejaknya” masih terasa (terlihat) hingga kini. Pengucapan dan penulisan
“baku” kata Saparua lebih dekat ke kata-kata ini.
Mungkin
setelah melewati berbagai percakapan dan pelafalan, sehingga ketiga kata itu
perlahan-lahan menjadi seperti sekarang.
Sopanolua à Saparoea à Saparua atau Sampanlua/Sampanrua à Saparoea à Saparua atau Sampanorua à Saparoea à Saparua
Bagaimana
dengan sumber-sumber sekunder yang “menceritakan” hal ini? Mari kita lihat
sejenak pemaparan dari sumber-sumber sekunder itu.
III.
Pemaparan sumber-sumber
Sekunder
Menurut Adolph
Heuken, Orang Eropa pertama yang mendatangi kepulauan Maluku adalah Ludivico
Varthema atau dalam pengucapan orang Indonesia Lodewijk de Bartomo
di tahun 1506. Orang inilah yang pertama kali mendeskripsikan kepulauan
Maluku lebih panjang lebar dibanding sumber-sumber sebelumnya. Saat ia datang,
Sultan Ternate yang berkuasa saat itu adalah Sultan Bayan Sirullah (Bayanullah)
(1500-1521). 6 tahun kemudian (1512) armada Portugis pertama sampai di
Maluku. Armada ini dipimpin oleh Antonio d’Abreu dengan 3 kapal atas
perintah Albuquerque yang di tahun 1511 menaklukan Malaka. Salah satu
kapalnya yang dipimpin oleh Fransisco Serao dihantam badai dan terdampar
di pulau Penyu dan kemudian dibawa ke pantai pulau Ambon (Hitu). Para
pelaut Portugis menyebut kepulauan Maluku sebagai as ilhas do
cravo (kepulauan Cengkih). Di awal-awal tahun ini, mereka hanya
berhubungan dengan Ternate dan Tidore. Mereka juga tinggal beberapa tahun di
Hitu sambil menunggu musim yang baik untuk kembali. Diketahui pada awal tahun
1520, Portugis mendirikan benteng di dekat Hitu Lama. Sumber-sumber Portugis
menyebut mereka tinggal di situ hingga tahun 1536-1539 sebelum pindah ke Rumah
Tiga dekat Hative lewat Hukunalo. Di masa-masa ini, Agama Kristen (Katholik)
mulai disebarkan pertama kalinya di Maluku. beberapa negeri di pulau Ambon,
penduduknya minta dibaptiskan. Setelah tahun 1539, saat Portugis mulai
“bercokol” di daerah-daerah sekitar teluk Ambon (leitimor), mereka juga
“melebarkan sayap” ke wilayah kepulauan Lease.
Tahun 1546 (14
Februari), tokoh misi Kristen terkenal Fransiscus Xaverius tiba di Maluku
(Ambon), ia mendarat di Hatiwe, dari pos Portugis di Malaka. Saat ia
datang, telah ada beberapa negeri yang menjadi Kristen atau bisa dibilang
“Kristen KTP”. Dilaporkan di masa kedatangan Fransiscus Xaverius pertama
kali itu, di sekitar Hatiwe dan 6 negeri lain di sekitarnya, ada kira-kira
8.000an “Kristen KTP” yang sebelumnya telah dibaptis oleh orang-orang Portugis
saat tinggal dengan mereka, beberapa tahun sebelum kedatangan Fransiscus
Xaverius. Ia pernah mengunjungi Tamilau di pulau Seram selama beberapa hari,
namun tak berhasil mengkristenkan satu orang pun di situ. Saat kembali, ia
sempat singgah di Pulau Nusa laut. Hasilnya sama dengan di negeri
Tamilau, orang-orang Nusa Laut menolak untuk menjadi Kristen, ia hanya berhasil
membaptis satu orang anak muda, yang diberi nama Fransisco Nusalaut (nama
Kristen). Akhir tahun 1547, misionaris kedua tiba, bernama Nuno Ribeiro, ia
diketahui membaptis sekitar 500 orang dan menghancurkan beberapa benda
animisme. Tak lama, ia diracun oleh musuhnya setelah tempat tinggalnya dibakar.
Ia meninggal pada 23 Agustus 1549. Di tahun 1555, Alfonso de Castro Sj, Manuel
de Tavora dan Fransisco Godhindo, tiba di Ambon dari Ternate. mereka kemudian
melaporkan situasi lewat surat ke Malaka dan Goa (India). Dari surat-surat
mereka diketahui, jika ribuan orang “Kristen” di Ambon dan kepulauan Lease
(kira-kira 43 negeri Kristen) tak mengetahui banyak tentang iman Kristen,
sehingga kembali ke kepercayaan lama (pagan/animisme) dan Islam. Di tahun
1562, N. Viera dan P Magelhaes mengunjungi Oma (Pulau Haruku) dan membaptis
sekitar 800 orang di beberapa kampung di pulau itu. Di tahun 1563, dilaporkan
telah ada sekitar 10 ribuan orang Kristen (Katholik) yang menghuni pulau Ambon dan kepulauan Lease. Di tahun
1570, seorang Pati Ullath di pulau Saparua terbunuh
oleh penduduk negeri Siri Sori. Pati Ullath ini telah menjadi Kristen
saat terbunuh. Di tahun-tahun ini diketahui Frater Mascarenhas mulai aktif
menyebarkan agama Kristen di kepulauan Lease. Di akhir tahun 1570
dilaporkan sekitar 3000 orang Kristen ada disekitar benteng dan
sekitar teluk Ambon, 8000 ada di jazirah Leitimor dan
kepulauan Lease. Di tahun 1583, Bernadino Ferari mengunjungi 22 desa
di kepulauan Lease dan Pulau Seram, di situ ia sempat
membaptis anak-anak dan melakukan “katekesasi” (pengajaran) kepada orang
dewasa. Pada 13 Maret 1587, Frater Antonio Marta misionaris Katholik asal
Italia, tiba di Ambon. Dari Ambon, ia menulis surat ke “markas besar”
di Goa, menceritakan tentang kondisi orang-orang Kristen di Maluku, khususnya
deskripsi tentang pulau-pulau di Maluku. Dia menulis bahwa Amboyno itu
bukanlah Maluku tetapi nama salah satu pulau dalam kepulauan Maluku, di sekitar
pulau Amboyno ada pulau-pulau lain seperti Omo (Haruku), Licer
(Saparua), Ruselao (Nusalaut) dan lain-lain.
Saat Steven
van Der Haghen menaklukan Ambon, pada 23 Februari 1605 dengan jatuhnya
benteng Portugis (benteng Victoria – sekarang), orang-orang Kristen
(Katholik), takut dan mengungsi ke gunung-gunung. Frater Lorenso Masonio yang
saat itu bertugas, bersama beberapa orang Kristen mengunjungi benteng dan
meminta perlindungan dan keselamatan perkembangan Katholik serta tunduk pada
kekuasaan Belanda. Beberapa hari berikutnya penduduk beberapa desa dari Lease,
juga melakukan hal yang sama. Di antara tahun 1633-1638, diketahui Justus
Heurnius menyebarkan agama Kristen (Protestan) di kawasan Lease. Heurnius tak
lama di pulau Saparua, karena ia diracun di pulau itu. Di sini, ia
sempat belajar bahasa Lease, karena menurutnya bahasa Lease adalah
bahasa hati untuk menarik hati orang-orang untuk menjadi agama Kristen atau
menjadi Protestan. Ia diketahui sering berkhotbah dan menerjemahkan
kitab Injil dalam bahasa itu.
Di masa-masa
awal Belanda menancap kakinya di Maluku, tak banyak deskripsi tentang kepulauan
Lease. Mereka lebih banyak “berfokus” pada Ambon dan Banda. Sampai beberapa
tahun kemudian baru kepulauan Lease mulai “dilirik”. Salah satu contohnya
dengan pengiriman Justus Heurnius itu. Ia awalnya ingin “berkarir” di Seram
namun Gubernur Amboina memerintahkannya ke Saparua. Dari informasi
ini, kita tahu, bahwa pihak Belanda mulai “mendata” daerah-daerah
sekeliling. Dalam arsip-arsip Belanda kemudian, Belanda sering
menyebut-nyebut tentang Lease yang di dalamnya, pulau Saparua, Nusa
Laut dan Haruku, meski ada juga yang menyebut dengan nama-nama sendiri.
IV.
Kajian lebih lanjut tentang
nama Saparua
Dari pemaparan
sumber-sumber Portugis dan Belanda, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nama
Lease atau nama Saparua, Nusa Laut maupun Haruku telah ada, jauh sebelum
bangsa-bangsa itu datang. Jadi sebenarnya mereka hanya “melanjutkan” yang telah
ada atau mungkin bisa dibilang mereka “mempopulerkan” ke dunia luar. Jika begitu,
kenapa kawasan ini dinamai Lease atau lebih khusus tentang nama Saparua,
siapa yang menamainya dan dari bahasa apa, sebuah pulau yang berbentuk seperti
2 perahu itu dinamai demikian.
Harus diakui,
bahwa tak ada data-data yang bisa dijadikan rujukan, atau tak ada bukti-bukti
yang menceritakan asal mulanya. Yang ada hanyalah legenda. Nama Lease atau
nama Saparua seperti tiba-tiba muncul dari ruang hampa. Arsip-arsip
Portugis dan Belanda pun tak menceritakan asal usulnya. Arsip mereka hanya berisikan
penyebutan nama-nama yang telah “familiar” saat mereka datang dan
mendeskripsikan daerah yang mereka kuasai.
Dari pemaparan
sejarah versi tiap negeri yang ada di Saparua, tersaji 2 versi yang
menceritakan “asal usul” nama Saparua. Yang satu berdasar pada bentuk
pulau (sumber negeri Ihamahu dan Iha), yang satu berdasar pada akibat
“kecelakaan” saat percakapan (sumber negeri Saparua). Pastilah kedua versi ini
akan tetap berpegang pada versinya masing-masing yang dianggap paling benar
atau bersifat subjektif. Itu adalah hal lumrah dari cara berpikir dan tak bisa
dihakimi. Kedua versi ini tentunya memiliki alasan filosofis masing-masing
dalam mempertahankan argumentasinya. Dan kedua versi inipun tidak salah jika
merujuk pada beberapa kejadian atau preseden yang mengakibatkan suatu objek
dinamai. Salah satu contohnya, pulau Flores dinamai seperti itu,
karena para pelaut Portugis yang tiba di tempat itu kagum pada bunga-bungaan
yang sedang mekar di daerah itu maka dinamai Flora (bunga). Atau bisa juga suatu
objek dinamai secara “sadar” oleh penemunya sebagai “tugu peringatan” agar
abadi. Pulau Tasmania di Australia bisa jadi contohnya.
Kembali ke
persoalan tentang nama Saparua, kita tak tahu pasti siapa yang menamainya,
dan kenapa dinamai seperti itu, tak ada bukti-bukti tertinggal yang bisa
diperiksa. Namun dari kedua versi yang ada, minimal kita bisa membuat
“hipotesis” sederhana tentangnya. Kedua versi itu bisa saling menguatkan satu
dengan yang lainnya. Uniknya, kedua versi ini “mengambil” objek yang sama yaitu
perahu. Timbul pertanyaan “iseng” lainnya, ada apa dengan perahu? Apa
pentingnya alat transportasi sederhana ini sehingga “dikaitkan” dengan sebuah
nama pulau? Hampir sebagian besar sejarah negeri-negeri yang ada di
pulau Saparua menceritakan tentang kedatangan leluhur mereka menggunakan
gosepa (perahu). Jadi dari sisi ini, perahu memang penting. Namun sejarah di
negeri lain di pulau lain pun menceritakan hal yang sama.
Baik
Sopanolua, Sampanlua dan Sampanorua, jika dipecah katanya menjadi Sopano
dan Lua, Sampan dan Lua serta Sampano dan Rua, yang bisa diterjemahkan
secara bebas menjadi dua perahu. Jika dilihat dari “bentang alam” pulaunya
memang seperti dua buah perahu yang terapung diatas lautan. Dari sisi ini
memang sah-sah saja jika dinamai seperti itu, tapi tidak adakah kemungkinan
yang lainnya? Ada, jika kita memahami lebih jauh versi dari
negeri Saparua. Versi dari negeri Saparua menceritakan lebih “terperinci”,
dan menimbulkan “konsukwensi” lebih jauh. Konsukwensi itu membawa ke perdebatan
yang tak “produktif” alias “subjektif”. Siapa yang lebih dulu datang ke
pulau Saparua? Atau di antara leluhur-leluhur yang menjadi cikal bakal tiap
negeri, siapa yang pertama kali datang? Tentunya, tiap negeri akan tetap
menganggap merekalah yang pertama kali datang. Dan kita akan terus berdebat
tanpa ada hasil, ditambah lagi tak ada data sebagai pengujinya. Kemungkinan
lain yang dimaksud adalah, jika kita tahu, diantara leluhur-leluhur itu, siapa
yang pertama kali tiba dan menempati pulau ini, maka “disimpulkan” merekalah
pemberi nama pulau ini. Namun kemungkinan inipun bisa di “bantah”. Belum tentu
juga, yang pertama kali datang, yang menamainya, bisa saja leluhur-leluhur yang
datang kemudian yang menamainya. Jika ini pun diterima, masih ada pertanyaan
berikutnya, mengapa pulau ini tidak dinamai dengan nama seperti nama negeri
lainnya? Misalnya saja, pulau ini dinamai pulau Haria, pulau Booi,
pulau Paperu dan lain-lain. Faktanya yang kita tahu sampai saat ini,
adalah nama pulau ini sama dengan nama sebuah negeri yang ada di dalamnya. Entah
apakah nama sebuah negeri yang “mengikuti” nama sebuah pulau atau sebaliknya.
Masih ada
perspektif lain, jika kita memperhatikan potongan kata-kata yang membentuk kata
itu. Sopanolua, Sampanlua dan Sampanolua, berasal dari kata Sopano, Sampan,
Sampano yang berarti Sampan (perahu kecil) atau gosepa. Lua atau Rua berarti
dua. Kata “sampan” bukanlah kata asli bahasa daerah Maluku. Itu kata serapan
dari bahasa lain yang telah menjadi “kosakata” sehari hari dalam bahasa proto
melayu yang menjadi “akar” bahasa Maluku.
Leonard Blusse
menulis dalam “Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di
Batavia VOC” bahwa ada beberapa kata China untuk menggambarkan perahu, ada
sampha’o, hsiao-ch’uan, shang-sh’uan,yu-ch’uan. Semua kata-kata diatas berarti
perahu kecil, mungkin disamakan dengan perahu tanpa cadik (semang –
kole-kole?). kata ini lama-lama diserap dalam percakapan kemudian menjadi kata
“sampan” lewat pelafalan. Jika begitu, mengapa “bahasa asing” ini bisa lahir
dalam bahasa kita? Kita semua tahu, bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
melayu yang menyerap banyak kata-kata dari bahasa asing. Bendera, serdadu,
adalah bahasa portugis. Kata-kata asing ini lahir dari akibat intensitas
“pergaulan” masa lalu yang “kompleks”, dari situ, banyak kata diserap,
digunakan dalam percakapan, perubahan pelafalan sesuai lidah orang-orang melayu
dan akhirnya menjadi kosakata yang umum. Dalam sumber-sumber China, kita
bisa baca, banyak tempat yang dinamai dengan bahasa china, kerajaan Kalingga disebut
Holing, kerajaan Malayu/Melayu disebut Mo-lo-yeu (sumber T’ang hui-yao oleh
Wang-p’u tahun 961 masa dinasti Tang), Sriwijaya disebut che-li-fo-she,
san-fot-si, san-bot-si, bahkan Maluku disebut mi-li-ku. Jadi hal yang lumrah
jika penamaan sesuatu yang kita kenal sekarang, disebut-sebut dalam bahasa
asing tersebut. Dari sejarah kita juga belajar, jauh sebelum
bangsa-bangsa Eropa datang, bangsa China telah “menguasai” jalur
perdagangan di sekitar Indonesia. Selain China, ada juga pedagang-pedagang India, Arab.
Dari “hilir mudik” pergaulan inilah, banyak kata didengar dan digunakan.
Saat Cornelis
de Houtman tiba di Banten pada 1596, mereka kaget jika peredaran uang China
yang disebut caixa dari tembaga menguasai Banten saat itu.
Dari info ini, kita bisa mengambil kesimpulan seperti di atas. Perdagangan yang
dilakukan oleh para pedagang China biasanya mengggunakan perahu-perahu
kecil untuk “menerobos” jalur-jalur yang sulit. Hal ini diulas oleh sejarahwan
Filipina Serafin Quaison, yang menggambarkan zaman kejayaan perdagangan dengan
sampan di Filipina mengalami puncaknya sekitar tahun 1560-1670. Jadi logis,
jika kawasan Maluku juga “dieksplorasi” sejak lama, jauh sebelum
bangsa-bangsa Eropa datang. Dari sumber kerajaan Kediri (Janggala) yang
“hidup” pada 1100-1222, diketahui juga bahwa para pedagang jawa dari Kediri
langsung datang membeli rempah-rempah di Maluku, kemudian membawanya dan dibeli
oleh para pedagang China, India maupun Arab. Bukti yang agak “modern”,
datangnya pasukan China untuk menghukum raja Jawa (singasari) Kertanagara
yang pernah menghina utusan kaisar Khubilai Khan (dinasti Ming). Mereka datang
namun Kartanagara telah tewas, dan Kertajaya yang mendapat hukuman. Bahkan Raden
Wijaya memanfaatkan pasukan ini, dan akhirnya bisa mendirikan kerajaan terbesar
Indonesia Majapahit. Jadi memang orang-orang China telah “familiar’
dengan Nusantara. Maka masuk akal jika kata-kata China banyak dikenal
dan digunakan.
Kata lua
atau rua berarti dua. Kita tahu bahwa bahasa Indonesia adalah termasuk
salah satu rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia tenggara dan disebut rumpun
bahasa Austria. Rumpun ini terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Austro-Asia
dan Austronesia. Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (mundha) dan Mon
Khmer di India Belakang, sedangkan Austronesia meliputi bahasa Indonesia,
Melanesia, Micronesia dan polinesia. Kesimpulan ini didapatkan para ahli saat
melacak kesamaan kata-kata yang digunakan. Salah satu contohnya adalah kata dua
tadi. Kata dua dalam bahasa Proto-Austonesia adalah dusa, bahasa Tagalog adalah dalawa, bahasa Aceh adalah duwa, bahasa Toba Batak adalah duwa, bahasa Sasak
adalah due, bahasa Jawa kuno adalah rwa, bahasa Jawa
baru adalah loro, bahasa Madura adalah dhua, Minangkabau
adalah duo, bahasa Rapanui adalah rua, bahasa Hawai
adalah elua, bahasa Ma’anyan adalah rueh dan
bahasa Malagasy adalah roa.
Meskipun dari
perbandingan kata-kata diatas, kita tahu bahwa kata lua atau rua itu berarti
dua, ada juga info menarik tentang kata lua ini. Info ini berasal dari zaman
yang lebih tua yaitu di masa kerajaan Sriwijaya. Perlu diceritakan sedikit
tentang Sriwijaya sebagai konteks besarnya, agar kita bisa memahami lebih
mendalam tentang penjelasan mengenai kata lua ini. Sumber-sumber yang
menceritakan tentang keberadaan Sriwijaya itu lumayan banyak.
Sumber-sumber China, Arab, India serta pembacaan prasasti yang ditemukan
di daerah sekeliling pusat kekuasaannya. Nama Sriwijaya mulai “dikenal”
saat Goerge Coedes sejarahwan Perancis menulis artikel berjudul le
royaume de crivijaya di tahun 1918. Tiga tahun
sebelumnya 1915, M. Kern telah menerbitkan pembacaan prasasti batu kapur, namun
saat itu ia masih menganggap nama Sriwijaya yang ada pada prasasti itu
bukan nama kerajaan tapi nama raja, karena kata Cri biasanya digunakan atau
sebutan gelar seorang Raja. Beberapa tahun sebelumnya 1896, sejarahwan Jepang,
Takasusu menerjemahkan karya I-Tsing yang berjudul Nan-hai-chi-kuei-na-fachu’an kedalam
bahasa Inggris dengan judul a record budhist as practice in india
and malay archipelago. Namun dalam buku ini, tak ada nama Sriwijaya,
yang ada hanyalah shih-lo-fo shih. Dari pembacaan buku ini,
serta buku tentang prasasti batu kapur itulah, maka G. Coedes kemudian
menyimpulkan itulah yang dimaksud dengan kerajaan Sriwijaya. Coedes juga
memberikan hipotesis tentang pusat kerajaan Sriwijaya di kota Palembang
berdasarkan intrepretasi dari pembacaan buku W. Groeneveldt yang berjudul Notes
on Malay Archipelago and Malaca, compiled from Chinese source (Nusantara
dalam sumber-sumber China- edisi terjemahan Indonesia) yang terbit tahun 1863.
Selain
prasasti batu kapur, ditemukan juga beberapa prasasti lain, karang berahi,
telaga batu, talang tuo, kedukan bukit. Batu kapur dan kedukan bukit bertarikh
(bertahun) 682 M, Talang Tuo bertarikh 684 M. Prasasti batu kapur
menceritakan tentang perjalanan suci Dapunta Hyang dari minana dengan perahu, 2
laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan serta 1213 tentara berjalan
kaki. Talang Tuo menceritakan tentang pembangunan sebuah taman untuk semua
makhluk yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat
pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Beberapa sejarahwan Perancis
berusaha membaca dan menfasirkan ulang prasasti-prasasti ini untuk mendalami
lebih jauh tentang Sriwijaya. J. Casparis, Herman Kulke dan P. Yves Manguin
adalah contoh orang-orang yang dimaksud. Dalam salah satu prasasti, yaitu
prasasti kedukan bukit, mereka berbeda pendapat tentang isi prasasti itu. Pada
prasasti itu terdapat “kalimat pembuka” yang “sulit” ditafsirkan. Mereka
“sepakat” menyimpulkan jika kalimat itu semacam “mantra kutukan” bagi para
pelanggar isi prasasti. Di antara kata-kata yang ada dalam “kalimat pembuka”
itu, ada kata lua, selain itu ada kata-kata yang tidak dimengerti, dari situlah
mereka bertiga menyimpulkan itu semacam “mantra kutukan/sumpah”. Dari kata lua
ini pun, mereka berbeda dalam menafasirkannya, ada yang menafsirkannya sebagai
air, ada yang menafsirkan sebagai luas yang merujuk pada perubahan kata lua
menjadi kata luwas dalam bahasa Jawa yang berarti luas (lapang). Di depan
kata lua ada sebuah kata yang tidak dimengerti karena tidak ada padanannya
sehingga J. Casparis menafsirkannya sebagai penguasa air (raja/panglima/kapitan
air?). Ia menafsirkan kata itu dengan mempertimbangkan “status” Sriwijaya
yang dikenal sebagai “Negara maritim”. Uniknya lagi, kata lua yang berarti air
ini seperti memiliki “simbiosis” dengan isi prasasti batu kapur yang
menceritakan tentang Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci dengan perahu.
Dalam prasasti yang berbahasa melayu kuno ini, ada kata Melayu kuno samwau yang
diartikan sebagai perahu. Jadi kita lihat bahwa kata samwau,
sampha’o yang akhirnya menjadi sapano, sopano maupun sampano memiliki
fonetik yang sama.
Memang kita
tidak tahu seperti apa perubahan kata lua ini menjadi arti yang kita ketahui
sekarang. Namun dari perubahan kata itu, kita bisa “menduga” perubahan makna
dan “isi kepala” saat kata itu berubah dan diterima menjadi “kata baku”.
Bukankah air itu juga sangat luas? Bukankah sebagian dari
wilayah Nusantara adalah laut yang notabene adalah air? Lalu bagaimana
“bisa berubah” menjadi arti dari bilangan dua? Kita juga tak tahu bagaimana
“prosedur” perubahan itu, tapi mungkin antara kata air, luas dan dua, ada
“hubungan” yang tidak kita pahami.
Tapi dari
pemahaman kata lua dan sampan (sampha’o) seperti yang dijelaskan di atas, kita
bisa menafsirkan “pengertian” dari kata Saparua. Apakah mungkin, maksudnya
adalah penguasa air yang menggunakan (berkendaraan) perahu? Ataukah dalam
bahasa sederhana, para kapitan penguasa wilayah yang dikelilingi air
(lautan) ?
Secara
pribadi, penulis lebih condong ke arah penafsiran model begini.
Rasanya terlalu “dipaksakan” namun jika kita memahaminya lebih jauh, mungkin
kita bisa “menerimanya”. Bukankah sebagian besar tradisi-tradisi oral tentang
sejarah para leluhur tiap negeri selalu menceritakan kedatangan mereka dengan
menggunakan perahu (gosepa)? Bukankah kita selalu “mempercayai” jika para
leluhur yang datang itu adalah para kapitan, panglima perang, yang juga bisa
dikategorikan sebagai pemimpin atau penguasa? Bukankah saat mereka berhasil
“menaklukan” air/lautan dan mendarat di tempat hunian baru, mereka bisa
dibilang atau membanggakan diri sendiri sebagai “penguasa air/laut”? Kita
tak tahu persis bagaimana pengalaman mereka saat menaklukkan lautan/air, apa
yang mereka rasakan, alami, kita hanya bisa membayangkan berdasarkan narasi
“umum” yang hidup dalam bingkai tradisi oral itu. Jadi saat berhasil itulah,
mereka bisa membanggakan diri sebagi orang-orang yang sukses dan disebut-sebut
sebagai sang penguasa air.
Jika begitu,
kita bisa “menghubungkan” pengertian ini dengan asal usul “alasan” kenapa
nama Saparua ada, baik dari alasan bentuk sebuah pulau, maupun akibat
kecelakaan dari suatu percakapan.
Lalu siapakah
yang menamainya? Secara jujur, kita tak mempunyai data-data yang
menceritakan secara lengkap tentang hal ini. Semua leluhur yang ada memiliki
“peluang” yang sama untuk dianggap sebagai pemberi nama. Atau mungkin para
pedagang-pedagang yang lebih dulu “menerobos” kawasan ini, dibandingkan para
leluhur itu. Bisa saja, para pedagang China yang menamainya, bisa saja para
pedagang Jawa, atau Arab atau mungkin saja bukan mereka tapi para
leluhur sendiri. Maksudnya adalah, kosakata yang telah “umum” tadi dan berasal
dari “bahasa asing” itu telah “tertanam” dalam alam pemikiran sehingga sebuah
objek dinamai berdasarkan “penglihatan” pada bentuk pulau atau lahir dari
“salah pahamnya” suatu percakapan.
Menarik pula,
melihat sebuah artikel yang berjudul “yang mana, Sapano – lua
atau Saparua?”. Artikel ini di tulis oleh Moh. Kasman bin Djaelani bin
Kasim bin Kahar bin Ahmad Sanaky, seorang asal Siri Sori Islam (dilihat
dari faam/marga penulis dan isi artikel yang secara eksplisit mengakuinya). Di
situ tergambar pemaparan asal usul nama yang didasarkan pada cerita yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut orang tua-tua bahwa nama
“asli” Saparua adalah Nusa Ama Ihal atau biasa disebut
sebagai Sapano-lua. Kata Sapano-lua disebabkan karena bentuk pulau
yang mirip 2 perahu/kapal yang merujuk pada 2 kerajaan besar di masa itu.
Kata Sapano-lua akhirnya menjadi kata Saparua karena “diduga” akibat
keterbatasan pengucapan orang-orang Belanda yang tak bisa sempurna
mengucapkan kata Sapano-lua.
Mari kita kaji
informasi yang penting ini secara bersama-sama. Kata Sapano-lua kiranya
tak berbeda jauh dengan kata Sopano-lua, Sampanlua, Sampanrua
atau Sampanolua/Sampanorua. Mungkin yang agak “berbeda” adalan bentuk
pelafalan pada tiap kawasan darimana kata ini lahir. Jika dicermati secara
baik, mungkin kata Sapano, Sopano, Sampano “berasal” dari
kata Sampha’o. Kata ini lama-kelamaan berubah atau
“diadaptasi” menjadi Sopano, Sapano, atau Sampano
sesuai pelafalan masing-masing penduduk di tempat yang berbeda. Jadi prinsipnya
sama dan artikel ini tak berbeda atau saling “menguatkan” dengan sumber-sumber
oral pada beberapa negeri yang menyebut kata-kata ini.
Informasi
kedua yang penting juga adalah perubahan nama dari sapano-lua menjadi saparua.
Banyak bukti yang bisa dijadikan sebagai pembandingnya. Contoh kata kadera
(kursi) berasal dari kata Portugis yaitu Cadeira, kata bendera dari
kata Bandeira, dan beberapa kata lainnya. Ini berarti bahwa ada semacam
hubungan timbal balik diantara 2 subjek pelaku pembicaraan, yaitu orang-orang
kita dengan bangsa barat. Orang-orang kita “mengadptasi” kata-kata asing yang
disesuaikan dengan mulutnya, begitupun sebaliknya. Pada posisi ini, perubahan
kata Sapano-lua bisa diterima. Namun apakah semuanya harus seperti itu?
Belum tentu juga… Mari kita lihat bukti lain untuk mendapat pemahaman yang
lebih luas.
Sama
seperti Portugis yang selain membeli rempah-rempah, juga menyebarkan agama
Kristen (Katholik), begitu juga yang dilakukan Belanda. Saat Belanda mulai
datang, bersama armada itu terdapat para pendeta beraliran Calvinis yang
ditugaskan untuk menyebarkan paham baru ini ke penduduk lokal. Para pendeta
yang datang ini memahami betapa pentingnya komunikasi dalam tugas
pekabaran Injil ke penduduk lokal. Pentingnya bahasa yang mudah dimengerti
oleh penduduk lokal dipilih agar pengajaran Injil (katekisasi) bisa di
terima. Tentunya bahasa yang dipilih adalah bahasa yang telah digunakan
di masa itu yaitu bahasa Melayu (Malayu). Cara yang digunakan adalah
menerjemahkan pilar-pilar pengajaran Kristen ke dalam bahasa Melayu agar
bisa diterima. Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh para misionaris Katholik
1 abad sebelumnya. Para misionaris Katholik lebih memilih bahasa “asli”
yaitu bahasa latin dan penduduk lokal menerimanya dalam bentuk hafalan. Di bidang “politik” orang-orang Belanda mulai menerjemahkan
kamus Belanda-Melayu untuk kepentingan mereka. Buku pertama
yang berbahasa Melayu adalah kamus. Kamus ini disusun oleh Frederik de
Houtman dan diterbitkan pada tahun 1603 dengan judul spraeck ende woerd
boeck in de maleysche ende madagaskarche talen met vale arabische ende turchse
woorden. Kamus ini memuat tentang tata bahasa dan menyertakan banyak
kata-kata Arab. Kamus ini disusun saat Frederik de Houtman dipenjara di
Atjeh. Untuk diketahui Fredrik de Houtman adalah adik dari Cornelis de Houtman.
Pada kedatangan yang kedua ini, adik dan kakak menuju Atjeh dan tiba pada 21 Juni 1599. 1 September 1599, pasukan Atjeh menyerang armada Belanda dan
menewaskan Cornelis de Houtman, sang adik ditangkap, sultan Atjeh memaksanya
masuk Islam dan akan dikawini dengan wanita Atjeh, namun ditolak, karena
penolakan ini, ia di penjara selam 26 bulan (11 September 1599-25 Agustus
1601). Di dalam penjara inilah, ia “ngobrol” dengan para tahanan, hasil obrolan
inilah yang akhirnya menjadi kamus dengan judul diatas. Kamus ini berjumlah 222
halaman, di tahun 1612, kamus ini diedit lagi dan diterjemahkan oleh Albert
Cornelisz Ruil, seorang pegawai VOC dengan judul baru speighel vanden
malaysche tale. Seperti diketahui kemudian Frederik Houtman inilah yang
nantinya menjadi Gubernur Amboina pada tahun 1605-1611 dan gubernur Maluku pada
1621-1623.
Seperti yang
diceritakan di atas, bahwa orang-orang Belanda ini, khususnya para pendeta
berusaha menerjemahkan pokok-pokok pengajaran agama Kristen ke dalam bahasa
yang telah dikenal di masa itu yaitu bahasa Melayu. Salah satunya adalah
Doa Bapa Kami yang diterjemahkan dan dimuat di dalam buku katekisasi dengan
judul Sovrat ABC akan meng ayd jer anack boudack sepercy deayd ‘jern
‘ja capada sagala manusia nassarany : daen berbagy sombahayang christiaan.
Buku katekisasi ini disusun oleh Albert Cornelisz Ruil dan
diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1611. Buku ini adalah terjemahan dari buku
katekisasi berbahasa Belanda yang ditulis oleh Philip van Marnix dan
sering disebut sebagai Cort Begryp.
Buku
katikesasi yang disusun Ruil itu, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia modern
bisa dimengerti sebagai : Surat ABC ditujukan untuk mengajar anak-anak kecil,
yang isinya sama dengan pengajaran yang diberikan kepada semua
umat Nasrani dilengkapi dengan beberapa doa dalam agama Kristen. Selain
terjemahan Doa Bapa Kami, di dalam buku katikesasi ini juga ada terjemahan 10
hukum taurat atau Dasa Titah. 10 hukum taurat ini diterjemahkan ke dalam bahasa
melayu dengan judul Sabda Allah-ta Allah jang sapoulo percara.
Delapan tahun
kemudian Caspar Wiltens dan sang murid, Sebastian Daencarts juga menerjemahkan
Doa Bapa Kami ke dalam bahasa Melayu. Mereka juga menerjemahkan
kamus Belanda-Melayu, Melayu-Belanda dengan judul vocabularium
ofte woort-boeck naar ordre van den alphabet in’t Duytsch–Maleysch ende
Maleysch–Duytsch yang di terbitkan pada tahun 1623, setelah kematian
Caspar Wiltens di Ambon pada 8 Januari 1619.
Baiknya, kita
lihat sekilas isi Doa Bapa Kami hasil terjemahan Ruil, untuk melihat kata-kata
Melayu yang digunakan di masa itu, untuk mendapatkan gambaran :
Bappa
hamba jang berdoudouck cadalam surga
berulcadoes
manjady nama moe
hoccuman
moe mendatangy
cahandak
moe menjady de atas boemy seperty de dalam sorga
beryla
hamba moe macannan sedecala hary
macka
beramponla doesa kyta
seperty
kyta berampon akan jang bersalah capada hamba
d’jang-an
berhanter kyta capada fael seytan
Dari gambaran
ini, kita bisa lihat orang-orang Belanda tidak harus “memaksakan”
bahasa Belanda kepada masyarakat, tetapi memilih menggunakan bahasa yang
“hidup” di masa itu. Contohnya kata sapoulo yang berarti sepuluh, bahkan
kalau kita masih ingat dengan jelas, hingga sekarang, dalam percakapan tiap
hari, orang-orang tua “lebih suka” mengucapkan kata sapulu daripada
sepuluh. Atau kata hanter yang berarti membawa/mengiringi, orang tua “lebih
suka” mengucapkannya dengan kata hentar atau menghentar (mengantar
– bahasa Indonesia baku).
Dari pemahaman
ini, apakah mungkin kata “sapano” atau “sopano” bisa diterjemahkan sebagai
“sepenuh” atau “satu ponoh” yang berarti semua, segala, seluruhnya? Jika bisa,
apakah mungkin juga kata sapano, bisa diartikan sebagai penuh air? Semuanya
air? Seluruhnya air? Segalanya air? Jika bisa, maka ini bisa dikaitkan dengan
“arti semula” yang berhubungan dengan penguasa air.
Dari informasi
diatas, kita bisa lihat, bahwa tidak selamanya setiap kata “dirubah” dan
disesuaikan dengan lidah orang luar, banyak juga yang ditulis dengan nama yang
telah dikenal sebelumnya. Contoh yang lain, dari laporan Rumphuijs tentang
tsunami Ambon yang terjadi pada 17 Februari 1674, ia menulis
nama-nama tempat sesuai dengan nama pada masa itu. Bouro (Buru – sekarang),
Kelang, Nusalaut, Oma Haruku, Honimoa (Saparua) dan beberapa nama lain. Jadi
memang tidak semuanya harus namanya “dipangkas” seperti yang dijelaskan lewat
artikel di atas.
Lalu bagaimana
dengan kasus nama Saparua? Apakah nama Saparua itu hasil “pangkas”
atau memang nama yang telah ada atau nama yang telah familiar di masa itu?
Dari seluruh
arsip-arsip orang luar (portugis dan belanda), penulis “belum” menemukan
kata-kata yang lain selain kata Saparua, tentunya masih dalam ejaan lama
yang berlaku di masa itu.
Contohnya adalah Inventaris “Islands archief atau Nederlandsh – Indisch Plakaatboek (1602-1811)” yang disusun oleh Mr Jacob. Anne. Van der Chijs dan diterbitkan pada tahun 1882. Ini adalah inventaris tentang arsip/arsip atau dokumen-dokumen VOC. Dalam inventaris ini, berisikan laporan-laporan dari berbagai karesidenan atau cabang-cabang VOC. Nama-nama karesidenan atau kantor-kantor cabang itu mengikuti nama yang ada pada masa itu. Contohnya Ambon, Haroekoe, Bagoeala, Halmaheira, Batjan, Boeroe, Ceram, Saparoea, Hila, Larike, Soela-eilanden (kepulauan sula), Banda. Perlu dipahami jika inventaris ini adalah hasil “revisi” dari inventaris yang dibuat tahun 1799, sehingga nama-nama tempat inipun hanyalah hasil “copian” dari inventaris sebelumnya. Agak janggal jika nama tempat yang telah umum itu kemudian “dirubah” hanya karena mengikuti alasan “keterbatasan lidah” orang belanda. Jika ini dilakukan maka kemungkinan adalah salah persepsi terhadap sebuah tempat dari para pegawai VOC karena mereka tak bisa “melacak” nama tempat yang dimaksud, yang sebenarnya mereka telah tahu nama tempat itu dengan nama yang dikenal sebelumnya. Data inventaris itu adalah data yang dikumpulkan dari periode tahun 1602, sehingga otomatis nama-nama itulah yang terdata, atau terinventarisir, sehingga konsukuensinya, nama-nama itulah yang telah ada di masa itu atau telah dikenal. Lagipula perlu diketahui juga, van der Chijs adalah orang yang pernah berkunjung ke Maluku, di tahun 1867. Ia mengadakan “kunjungan kerja” sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi ke daerah Maluku. Hasil kunjungan kerja inilah yang membuat ia memberikan kritikan serta usulan terhadap perbaikan pendidikan bagi orang-orang pribumi. Jadi tentunya saat ia menyusun inventaris ini, minimal nama-nama daerah telah ia ketahui sebelumnya, jikapun ada nama lain “saparua” dalam kasus kita, tentunya ia akan memberikan catatan. Faktanya di dalam arsip itu tak ada catatan mengenai itu.
Perubahan nama
menjadi Saparua mungkin dilakukan sendiri oleh penduduk lokal mengikuti
“perkembangan zaman” jauh sebelum bangsa barat datang. Mungkin saja prosesnya
seperti begini:
sampha’o lua à sapanolua/sopanolua à sampanolua à sampanorua à sapalua à saparua (saparoea)
Jadi
saat Portugis datang, nama itu telah ada sehingga mereka tinggal
“mencatat” saja. Begitu juga yang dilakukan oleh pihak Belanda. Faktanya adalah
dari arsip-arsip mereka, tak ada nama lain, yang ada adalah nama Saparua,
meski terkadang mereka menggunakan istilah lain misalnya licer (Sumber
Portugis), Honimoa (sumber Belanda), namun semua “nama alias” itu merujuk
pada nama Saparua dan orang-orang di masa itu telah tahu apa yang dimaksud
dengan nama-nama itu.
Menarik jika
kita membaca artikel Edy Sedyawati yang berjudul “penataan air pada
masa jawa juno”. Dari pembacaan beberapa prasasti dan sumber-sumber
tertulis, ia menulis bahwa di masa itu dikenal semacam lembaga yang
bernama SOPANO. Kata ini secara gramatikal berarti anak tangga. Dimana
lembaga ini terdiri dari 4 orang panglima/senapati (kapitan?) yang berpengaruh
dalam kerajaan. Salah satu dari senapati ini adalah senapati laut atau bisa
kita samakan dengan KSAL sekarang. Uniknya lagi, istilah ini di masa kerajaan
Ternate dinamakan sebagai Kapita Laut. Lembaga Sopano
merupakan “inner circle” atau “ring 1” yang diberikan kekuasaan penuh dan
diizinkan untuk menyampaikan informasi dan perkembangan kepada Maharaja. Karena
itulah, mereka atau lembaga ini disebut anak tangga.
Dari sini,
kita bisa menduga bahwa kata samwau, sampha’o, sopano, sampan,
sapano mungkin hasil dari asimilasi yang berlangsung berabad-abad yang
disesuaikan dengan kondisi serta konteks pada sebuah tempat. Jika merujuk pada
kata sopano tadi, dan disejajarkan dengan legenda asal usul
negeri Saparua, mungkin bisa dikaitkan meski tentunya perlu pembuktian
yang lebih kuat. Bukankah legenda asal mula negeri Saparua menceritakan
tentang 4 orang kapitan yang dianggap sebagai leluhur negeri? Apakah ini
berarti nama “Saparua” adalah hasil penamaan dari mereka? atau gara-gara ini,
nama “Saparua” diberikan? Walahualam.....
Permasalahan lain
yang perlu dikaji adalah mengapa sebuah pulau yang terdiri dari banyak negeri
dengan nama yang berbeda ini menggunakan nama Saparua, nama yang sama
dengan nama sebuah negeri yang ada di dalamnya? Apakah nama sebuah negeri
dipakai untuk menyebut keseluruhan nama pulau atau sebaliknya, nama pulau yang
digunakan untuk menyebut nama sebuah negeri? Data-data yang ditemukan dan
ditelusuri, tak banyak yang menceritakan hal ini. Hanya potongan-potongan yang
bisa dijadikan “landasan’ berhipotesis, tentunya dengan cara “meloncat” atau
out the box, sedikit berpikir “liar”. Jika permasalahan di atas dijawab dengan
menggunakan sumber-sumber oral dari tiap negeri atau tradisi bertutur, maka
akibatnya adalah perdebatan. Para pembaca yang berasal dari negeri lain akan
membantah dan tetap menganggap versi merekalah yang paling benar. Para pembaca
akan menuduh penulis yang kebetulan berasal dari negeri Saparua melakukan
“narsis” atau “chauvanisme” tanpa dasar. Namun pertanyaan menggelitik, lalu
kenapa dinamakan Saparua? Mengapa tidak dinamakan pulau Haria, Porto, Tiouw, Itawaka, Tuhaha, Ouw, Ullath, Siri Sori, Kulur
dan seterusnya.
Harus diakui
bahwa Saparua juga disebut Nusa Ama Ihal, namun nama ini
adalah “produk” karena besarnya wilayah kerajaan Iha, bukan nama “asli”.
Jika pernyataan ini dibantah dengan argumen bahwa
nama Nusa Ama Ihal “dihapus” oleh orang-orang barat/penjajah,
karena sentimen agama dan politik, rasanya kita tidak adil. Jika pola
pikir itu diikuti, maka semua nama kerajaan Islam dan yang
berseberangan dengan penjajah akan dihapus juga. Faktanya adalah
nama Ternate, Tidore, Hitu tetap ada dan “dilestarikan” sehingga
kita bisa belajar dan tahu tentang keberadaan mereka di masa lampau. Lagipula
“kebesaran” kerajaan Iha berlangsung bersamaan dengan
kedatangan Portugis, ini ditandai dengan terjadinya aliansi “tiga kaki”
antara Iha, Hitu dan Ternate, maka tentunya
nama Nusa Ama Ihal pasti ada dalam arsip mereka. Mengapa
tidak ada, karena mungkin saja para pencatat tahu, bahwa
nama Nusa Ama Ihal bukan “nama resmi” tetapi nama “tidak resmi”
atau nama “biasa” yang digunakan dalam percakapan antar masyarakat bukan nama
resmi yang dipakai dalam dokumen “ketatanegaraan”.
Di dalam
arsip-arsip awal, baik itu milik Portugis maupun Belanda, mereka memang
menyebut-nyebut nama Saparua, namun tidak secara eksplisit merujuk ke nama
apa, apa nama pulau atau nama sebuah negeri. Jika nama yang digunakan itu,
merujuk pada nama sebuah negeri, maka pastilah yang dimaksud negeri Saparua
sekarang, jika itu merujuk pada nama pulau, maka itu pastilah nama sebuah
“himpunan” yang di dalamnya memiliki banyak anggota himpunan yaitu
nama-nama negeri. Pertanyaan selanjutnya, darimana mereka mendapat “ide” untuk
menamai sebuah “himpunan” itu? Bukankah mereka orang asing yang sebelumnya
tidak tahu apa-apa? Jawabannya adalah, ya… karena nama “himpunan” itu
telah umum digunakan di masa itu atau telah disebut-sebut sebelum mereka tiba.
Selanjutnya,
jika nama Saparua yang muncul dalam arsip-arsip mereka itu merujuk pada
nama sebuah negeri, ada beberapa “bukti pendukung”. Sekali lagi perlu dipahami,
bahwa mereka tidak menyebut nama Saparua secara eksplisit sebagai nama
sebuah negeri, namun dari deskripsi itu, kita bisa menduga jika yang mereka
maksud adalah nama sebuah negeri yang digunakan untuk nama sebuah pulau.
Bukti :
a)
Sumber dari arsip-arsip agama Katholik bangsa
Portugis, menceritakan akibat penyebaran agama Kristen maka terjadi “persaingan
terbuka” antara negeri-negeri Islam di satu sisi dan Portugis di sisi
yang lain. Akibat persaingan ini maka terjadi pembumihangusan negeri-negeri
yang masyarakatnya mulai memeluk agama Kristen. Di tahun 1564, pemimpin Hitu
Tahalele dengan bantuan orang-orang Jawa dari Gresik serta di bawah perlindungan Sultan Ternate Sultan Hairun, mengambil seluruh kontrol
terhadap pulau Ambon. Gubernur Portugis yang berkedudukan di Ternate
menolak memberi pertolongan karena ingin menjaga hubungan baik dengan Sultan
Hairun yang nyata-nyata mendukung Hitu, begitu juga Sultan Batjan menolak
memberi perlindungan kepada orang-orang Kristen. Terjadi pembumihangusan di
pulau Ambon, banyak orang Kristen yang meninggal sebagai Martir karena tak
sempat mengungsi ke gunung-gunung. Efek ini berantai dan merembet ke luar di
pulau-pulau sekitarnya. Salah satunya, pati Ulat di
pulau Saparua terbunuh oleh para penduduk negeri Siri
Sori karena mempertahankan imannya sejak ia menjadi Kristen pada tahun
1570. Dari kata-kata bergaris bawah, kita bisa lihat bahwa
penyebutan nama sebuah “himpunan” di sertai dengan nama anggota himpunan yang
disebut terpisah-pisah. Ini dibuktikan dengan nama negeri Ulat (Ullath) dan
nama negeri Siri Sori. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa nama sebuah negeri
digunakan untuk nama sebuah pulau atau mereka merujuk nama sebuah negeri untuk
menyebut nama sebuah pulau yang di dalamnya
terdapat anggota-anggota negeri lain.
b)
Sumber dari pastor Mascarenhas yang diketahui lewat
laporannya bahwa di tahun 1570, ia menyebarkan agama Katholik di
pulau Saparua dan berhasil membaptis sekitar 8.000 orang dewasa dimana beberapa orang yang telah bertahun-bertahun
menunggu untuk dibaptis. Kasus ini sama seperti yang di atas.
c)
Di tahun 1570, setelah terbunuhnya Sultan Hairun oleh
Portugis, maka sang putra, Sultan Baabulah bersumpah membalas dendam untuk
menghancurkan Portugis dan orang-orang Kristen. Di bawah pimpinan sang paman, Kalasineo berarmadakan 5 kora-kora dibantu 7
kora-kora dari pulau Buru, Hitu dan Seram menyerang Ambon.
Negeri Ulat di Saparua bisa bertahan untuk
mempertahankan diri dan membuktikan diri sebagai tanda setia pada Portugis
dengan cara mengirim keranjang-keranjang berisikan penuh kepala para pembunuh
yang menyerang mereka. Informasi ini bisa dicermati lewat cerita asal mula
munculnya Aer Ternate dan Batu Potong di negeri Tuhaha.
Dalam cerita tersebut pasukan Ternate disebut sebagai “Kalasingko”. Ini
mungkin penyebutan orang lokal terhadap pemimpin armada Ternate
yaitu Kalasineo.
Dari beberapa
bukti di atas, bisa dilihat bahwa penyebutan nama Saparua untuk menyebut nama
pulau, namun di sisi lain yang sejajar, data-data itu juga menyebutkan
nama-nama negeri lain secara terpisah, itu berarti bahwa pengetahuan mereka
tentang sebuah negeri yang bernama Saparua telah ada, dan nama itu
digunakan sebagai nama sebuah himpunan dalam hal ini, nama sebuah pulau. Apakah
nama Saparua telah digunakan sebelumnya untuk penamaan sebuah pulau,
ataukah mereka sendiri yang memperkenalkannya? Data yang tersedia sangat
terbatas dalam hal ini, jadi kita pun tak bisa langsung menetapkannya. Seperti
yang disampaikan di atas, jika kita hanya bersandar pada tradisi oral, maka tentunya akan
muncul perdebatan. Masing-masing akan “egois” mempertahankan versinya dan
mengakui sebagai pemberi nama atau leluhur merekalah yang pertama kali menempati
sebuah tempat sehingga nama pulau itu dinamakan seperti demikian. Maka
tentunya, diperlukan “hipotesis” lain sebagai solusi yang adil dalam
menjelaskan hal ini dalam konteks besarnya.
Dari
sumber-sumber awal, khususnya arsip-arsip gereja Katholik milik Portugis, kita
tahu bahwa di tahun 1512 itu, Fransisco Serao, pemimpin armada Portugis yang
diperintahkan oleh Alfonso de Albuquerque, terdampar di pulau Penyu di jazirah utara pulau Ambon, pantai Hitu. Armada eksplorasi kepulauan
Maluku ini berangkat dari Malaka pada November 1511 di bawah pimpinan utama
Antonio de’ Abreu, Fransisco Serao adalah pemimpin armada di kapal lain yang
bersama-sama datang. Sultan Ternate dan Tidore yang mendengar kabar ini
bersaing untuk membawa Fransisco Serao ke istana mereka. Persaingan ini
di “menangkan” oleh Ternate yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abu Lais.
Serao dibawa ke istana, dan mulailah proses negosiasi yang nantinya mengubah
wajah “Maluku” hingga sekarang. Data selanjutnya menceritakan bahwa di
tahun-tahun pertama itu, Portugis hanya “berkeliaran” di kawasan itu, dan
sedikit yang menempati jazirah Hitu. Tak ada informasi apapun tentang
pulau-pulau di sekitarnya. Mungkin saja di tahun-tahun awal ini, saat
dimulainya “relasi sosial” inilah, mereka mulai mendengar dari orang-orang
lokal tentang pulau-pulau di sekitarnya. Di awal tahun 1520 portugis mulai
mendirikan benteng kecil di Hitulama, sumber lain menyebut mereka tinggal
di situ hingga tahun 1536 dan membangun benteng di Hila, di tahun 1539
mereka mulai “merangsek” maju kearah kota lewat Hukunalo ke Rumah Tiga
(sekarang) dekat Hatiwe (sekarang) di pantai barat Teluk Ambon. Diketahui pula
bahwa di tahun 1538 ini, Hitu dikenal sebagai eksportir utama Cengkih,
dari sini kita bisa menduga bahwa Portugis mulai “terbuka matanya” mengetahui
tentang pulau-pulau lain karena Hitu merupakan “jalan tol” yang membuka jalur
ke “kawasan Lease”. Kita tentunya masih ingat tentang aliansi “tiga kaki” antara Hitu,
Ternate dan juga Iha. Dari jalur cepat inilah, kita tahu tentang hal itu,
karena di masa itu, Iha adalah kerajaan terbesar di “pulau Saparua”. Bukti
pendukung yang memperkuat dugaan ini, adalah di tahun itu juga terjadi
pertempuran untuk merebut dominasi penguasaan cengkih, atas dukungan Ternate – Tidore, Portugis bisa mengalahkan pedagang Jawa yang dibantu oleh
Hitu. Setelah kemenangan ini, diceritakan bahwa Portugis menikmati masa “bulan
madu” di jazirah Leitimor dan kepulauan Lease.
Dari pemaparan
ini, kita bisa menduga bahwa Portugis di awal-awal kedatangan tidak banyak tahu
tentang pulau-pulau kecil di sekitarnya. Yang mereka hanya tahu adalah
Banda, Ternate dan Hitu. Dari relasi sosial bertahun-tahun, akhirnya mereka
mulai tahu dan mungkin mulai mendata dan mengeksplorasi daerah-daerah asing
ini. Dari sini, penyebutan nama Saparua tentunya berdasarkan informasi
yang mereka terima, bukan karena “inisiatif” mereka untuk menamakannya. Jadi
mungkin saja nama Saparua telah umum digunakan atau telah jadi “bahasa
percakapan sosial” untuk penamaan sebuah pulau “di seberang” yang masih
asing bagi mereka. Jadi ketika mereka mulai mendata
bagian-bagian daerah yang belum diketahui itulah, nama itu telah ada di kepala akibat relasi model ini. Hal ini dibuktikan dengan informasi
beberapa tahun kemudian, mereka langsung menyebut Saparua sebagai nama
sebuah pulau, tanpa menjelaskan kepada kita mengapa dan asal usulnya seperti
apa kenapa dinamai demikian.
Tentang Nama Lease
Kata “Lease” merupakan sebuah kata yang asing. Kata ini seperti tiba-tiba muncul
dari ruang hampa. Kita yang ada di masa sekarang, hanya tahu tentang kata ini,
tanpa tahu kata ini berasal darimana, sejarahnya seperti apa dan artinya apa.
Dari sumber-sumber awal, kita tidak diberikan penjelasan yang memadai tentang
sejarah penamaan. Yang kita ketahui sekarang, jika orang menyebut Lease, itu berarti mereka merujuk kepada kawasan “Segitiga Bermuda” yang
terdiri dari 3 pulau kecil di dalamnya, yaitu pulau Saparua, Pulau Haruku
dan Pulau Nusalaut. Jika dicermati dalam peta, ke-3 pulau ini seperti
“membentuk” bangun ruang segitiga siku-siku, dimana “ruas garis” antara pulau
Haruku dan Saparua bisa disebut sebagai sisi alas segitiga, “ruas garis” antara
pulau Saparua dan Nusalaut bisa disebut sebagai sisi lain (tinggi
segitiga), dan ruas garis terpanjang yang ditarik dari pulau Nusalaut ke pulau Haruku, bisa disebut sebagai sisi miring/sisi
terpanjang atau hipotenusa dalam geometri bangun datar segitiga.
Pulau Saparua berada pada sudut siku-siku yang besarnya 900.
Jika orang
menyebut Ambon-Lease, berarti orang telah mengetahui bahwa yang dimaksud
adalah pulau Ambon, pulau Haruku, pulau Saparua dan
pulau Nusalaut.
Lalu darimana
asalnya, dan apa artinya kata “Lease” ini,
mengapa pada akhirnya kawasan ini disebut Lease? Mari kita kaji berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Kata “Lease”
pertama kali muncul di dalam sumber-sumber Portugis. Sumber-sumber ini
berasal dari surat-surat yang dikirim oleh para misionaris Katholik yang
bertugas menyebarkan agama Katholik di Maluku. Kumpulan surat-surat ini kemudian dijadikan buku oleh Hubert Jacobs pada
tahun 1971 dengan judul Moluco Document. Dalam dokumen ini, kata Lease
muncul pada tahun 1530an, untuk “menyebut” atau “menamai” sebuah lokasi dimana
di dalamnya terdapat 3 pulau yaitu pulau Saparua (Honimoa), Nusahaluwano (Nusalaut)
dan Omo (Haruku). Di masa Fransiscus Xavierus (1546), kata Lease muncul lagi yang
menceritakan bahwa di abad XVI, orang-orang Kristen dapat ditemukan di
jazirah Leitimor dan Lease. Di tahun 1555, misionaris Alfonso de
Castro bersama Manuel de Tavora dan Fransisco Godhindo melaporkan situasi
perkembangan Katholik. Dari surat mereka, kata Lease muncul lagi,
dimana mereka menceritakan bahwa ribuan orang Kristen (Katholik) yang ada di pulau Ambon dan Lease (sebanyak 43
desa/negeri Kristen) tidak tahu banyak tentang dasar-dasar iman Kristen dan
gampang kembali ke agama lama yaitu pagan (agama leluhur).
Di tahun
1563 disebut dalam surat-surat itu, bahwa lebih kurang 10 ribu
orang Katholik berdiam di Ambon dan Lease. Di tahun 1570,
tertulis bahwa sekitar 3000 orang Katholik berdiam disekitar benteng
sedangkan sisanya sekitar 8000 orang berdiam di jazirah Leitimor
dan Lease. Selanjutnya kata Lease muncul lagi di tahun 1583 dari
seorang misionaris Bernadino Ferari, di situ disebutkan pada kunjungan yang
kedua, Ferari mengunjungi 22 desa di Lease dan Seram untuk membabtis anak-anak
kecil dan memberikan pengajaran (katekisasi) kepada orang dewasa.
Pada tahun
1587, misionaris asal Italia Frater Antonio Martha saat tiba kemudian
menulis surat ke Goa India. Dalam surat ini ia lebih “memperjelas” kondisi
geografis Maluku. salah satunya ia menulis bahwa Maluku terdiri dari banyak
pulau, di antaranya Ambon, Licer (Saparua), Ruselao (Nusalaut)
dan Omo (Haruku).
Dari sumber
Belanda, kita mengetahui bahwa orang Belanda pertama yang tiba di Maluku
tepatnya di Ternate adalah laksamana Jacob Corneliszoon van Neck pada tahun
1588 dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Armada ini berada di Ternate dari
bulan Mei hingga Juni 1588. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1598, armada lain
di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba di Ternate. Ini adalah kedatangan
kedua de Houtman setelah tahun 1596, ia tiba di Banten. Ia datang dengan 22
kapal dan membuang jangkar di Ternate. Tanggal 8 Januari 1599, ekspedisi yang
lain datang lagi, kali ini dengan kapal Zeeland dan Gelderland dibawah
pimpinan Wijbrand van Warwijk dan Jacob Heemskerk. Ekspedisi ini
datang lagi pada 28 Juli 1599. Tahun 1600, tiba armada yang di pimpin oleh
Steven van der Haghen. Tahun 1601 tepatnya 2 juli, van Neck kembali datang dan
pada 7 Februari 1602 armada lain di bawah pimpinan Walfret Hermanszoon
tiba di Ternate. Dari tokoh-tokoh di atas, kita tahu bahwa salah satunya Steven
van der Haghen adalah penakluk kota Ambon. Di bawah pimpinan orang
ini, benteng Portugis di Ambon ditaklukan dan diganti namanya menjadi
Victoria. Penaklukan kota Ambon ini terjadi pada 23 Februari 1605. Saat
mengadakan perjalanan inilah, ia mengumpulkan “seluruh kenangan” dan menyurat
ke para direktur VOC di Belanda. Dalam surat-surat itu, ia mencatat nama tempat
yang pernah ia kunjungi atau “lewati” atau ia tahu. Salah satu suratnya yang
bernomor 1063f 50r 1064f 202r 1068f 254v,
ia menulis tentang Liasser atau Lijasser. Surat-surat ini dikumpulkan
dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Tiele.
Selanjutnya
seluruh arsip bangsa barat selalu menyebut daerah ini licer/liasser/lijasser dalam
arsip-arsip mereka. Yang pasti adalah menurut Antonio Martha, bahwa kata “Licer” adalah merujuk pada pulau Saparua sendiri, bukan pada kawasan “Lease” yang kita kenal sekarang, yang terdiri dari 3 pulau. Faktanya ia
merinci, 3 pulau itu dengan nama sendiri-sendiri dalam suratnya. Dalam
suratnya, ia menyebut kata Licer adalah Saparua, Ruselao
adalah Nusalaut dan Omo adalah Haruku. Menurut legenda, nama
“asli” pulau Nusalaut adalah Nusahaluwano sedangkan nama asli pulau Haruku
adalah Omo yang berarti “bundar”. Dalam diari Rumphuijs tentang
tsunami Ambon di tahun 1674, ia merinci daerah-daerah yang terkena
dampak tsunami, salah satunya adalah Honimoa (Saparua), selain itu Nusa Laut dan Oma (Haruku). Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa istilah “Lease” untuk menyebut kawasan 3 pulau ini muncul belakangan, bukan pada
mulanya.
Jadi bagaimana
perubahannya hingga kita kenali sekarang? Mari kita telusuri berdasarkan data.
Dari
sumber-sumber Portugis maupun Belanda, kita tahu bahwa kata “Lease” bukan
dinamai oleh mereka, tapi telah ada sebelum mereka tiba. Faktanya saat mereka
tiba, dan mendeskripsikan pulau-pulau mereka langsung menyebut dalam
arsip-arsip mereka, hal ini ditunjukan oleh Antonio Martha (Portugis) maupun
Steven van Der Haghen (Belanda). Jika begitu, berarti apa sebenarnya arti dari
“Lease”? dari sumber-sumber, kita tidak tahu dengan persis apa arti kata ini.
Menarik jika
kita membaca artikel dari, Jacob W. Ajaiwaila yang berjudul “Orang Ambon dan
Perubahan Kebudayaan”. Dalam artikel itu ia mengutip kajian J.P. Duyvendak yang
berjudul Het Kakean Genotschaap van Seran terbitan Drukkeriij.
N.V.W Hilarius Wzn Almelo tahun 1926. Duyvendak menulis tentang mitos yang
menceritakan bahwa penduduk asli Ambon dan pulau-pulau sekitarnya berasal
dari Nunusaku, sebuah gunung di pulau Seram, tempat tumbuh sebuah pohon
beringin yang mempunyai 3 cabang/dahan. Di tempat itu hidup 3 orang kakak
beradik, ketika air bah meluap, mereka bertiga memencar sesuai arah 3
cabang/dahan pohon beringin dan mengikuti aliran sungai Eti, Tala dan Sapalewa.
Kakak tertua menurunkan kelompok ulisiwa, adiknya menurunkan
kelompok ulilima sedangkan yang bungsu menurunkan
kelompok uliasa. Kajian ini juga sejalan dengan Encyclopaedie
van Nederlandsche-Indie terbitan Grevenhage-Leiden tahun 1917-1939
karangan J. Paulus. Dalam ensiklopedia, dalam penjelasan terma uli, ada
pembagian yaitu oelisiwa, oelilima dan oeliassers. Ensiklopedia ini
merupakan salah satu referensi dari ratusan referensi lain yang digunakan oleh
Marc Koijmans dan Judith Schooneveld-Oosterling untuk menyusun VOC Glosarium
(tahun 2000) yang berisikan vocabulary/kata-kata yang biasa digunakan/telah
familiar pada abad XVI-XIX oleh VOC saat berkorespendensi dengan daerah-daerah
vassal di Asia Tenggara.
Dari
penjelasan Ajaiwaila, Duyvendak maupun Paulus, kita memahami bahwa ada 3 uli
yaitu Ulisiwa, Ulilima dan Uliasa/uliaser. Di kepustakaan lain,
kita hanya mengenal ulisiwa dan ulilima, sedangkan uliasa/uliaser seperti
“terhapus”.
Jika begitu,
tepatnya apa itu uliasa/uliaser/licer/lijasser/liasser? Apa artinya kata ini…..?
Kata “Licer” agak mirip dengan kata bahasa Inggris yaitu kata “Lesser” yang berarti kecil atau minor. Dalam geografi kata ini biasa
digunakan untuk menamai daerah yang kecil misalnya Asia Lesser
atau Asia Kecil/Asia Minor, atau Sunda Lesser
atau Sunda Kecil. Kata Sunda Lesser biasa muncul dalam
arsip-arsip Belanda saat menceritakan tentang ekspansi Sultan Baabulah
untuk memperluas kerajaan Ternate di masa jayanya pada tahun 1575-1583. Salah
satu daerah yang ditaklukkan adalah Sunda Lesser yang kita kenal sebagai daerah Bali, NTB dan NTT sekarang.
Jika kita bisa
“menerima” mitos yang dikaji oleh Duyvendak tadi, maka makna kata Uliasa
bisa dihubungkan dengan kata “Lesser” yang berarti kecil. Bukankah kata uliasa
bisa dihubungkan dengan kata “bungsu” dalam mitos, yang juga bisa diartikan
sebagai “kecil/paling kecil”?
Jadi mungkin,
saat bangsa barat tiba, kata Uliasa telah ada dan mereka tinggal
menyebutnya, atau saat mengeksplorasi daerah ini, mereka “menyebutnya”
berdasarkan pada pemahaman geografis yang mereka miliki. Jadi
mungkin Uliaser berarti “uli kecil” atau persekutuan kecil.
Kedua
pengertian ini memiliki kesejajaran yang sama dan bisa dihubungkan dari aspek
mitos maupun pengertian gramatikal.
Pengertian Uliaser
sebagai “uli kecil” juga bisa dipahami dalam konteks penaklukan Sultan Baabulah.
Saat Sultan Baabulah naik tahta dan melancarkan ekspansinya, ia berusaha
menaklukan pulau Saparua. Itu berarti sebelum masa Baabulah
itu, pulau Saparua adalah daerah bebas atau “merdeka”, bukan dibawah
taklukan kerajaan lain. Ini bisa dipahami karena, dimasa itu ada kerajaan Iha
di pulau Saparua, yang kedudukannya “sederajat”. Dari konteks ini, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa uliasa/licer/lijasser/liasser adalah semacam “uli
kecil” atau “daerah non blok” yang bukan di bawah “pengaruh ulisiwa atau ulilima”.
Mungkin dari sini, pulau Saparua disebut uliasa/licer/lijasser/liasser.
Penyebutan
“kawasan” ini sehingga disebut liasser/licer/uliasa/lijasser juga bisa
disebabkan dari pemahaman morfologis maupun kondisi geografis oleh bangsa
barat. Mungkin saat mengetahui daerah ini, mereka “menyebut”
berdasarkan pengetahuan mereka tentang geografis suatu lokasi. Apapun
alasannya, kedua alasan ini saling menguatkan satu dengan yang lain.
Lalu,
bagaimana istilah “Lease” yang awalnya nama “eksklusif” buat pulau Saparua
bisa berkembang menjadi nama untuk “kawasan segitiga bermuda” ini? Yang pasti
bahwa istilah “licer” yang disampaikan oleh pastor Antonio Martha khusus
ditujukan hanya kepada pulau Saparua bukan kepada yang lainnya. Sumber-sumber
belakangan barulah menyebut “lease” untuk kawasan ini, meski terkadang juga
menyebut nama sendiri-sendiri. Seperti yang ditujukan oleh beberapa sumber
belakangan, contohnya oleh Steven van der Haghen. Ia menyebut kawasan ini
liasser/lijasser tanpa menjelaskan/merinci pulau mana yang ia maksud. Mungkin
yang ia maksud adalah kawasan 3 pulau ini. Jadi penyebutan ini lebih kepada
“efisiensi” dalam laporan, maksudnya daripada harus menyebut satu demi satu,
lebih praktis jika ia hanya menyebut nama “himpunan”.
Kebiasaan ini
akhirnya “dilanjutkan” oleh generasi berikutnya yang lebih suka menyebut
kawasan ini sebagai liasser/lijasser atau oeliaser. Hal ini bisa ditujukan
dengan berbagai arsip yang muncul belakangan yang sering menyebut kawasan ini
sebagai uliaser/oeliaser. Demi efisiensi dan kepraktisan sebuah laporan, maka
penamaan sebuah kawasan lebih familiar jika digunakan nama suatu himpunan
daripada memerinci satu persatu, meskipun terkadang ada juga yang terperinci
saat menyebut Saparua, Haruku dan Nusalaut.
Kata Lease yang kita kenal sekarang, lahir dari
“pemotongan” kata yang umum terjadi oleh orang Maluku, dari kata uliasa à licer à liasser/lijasser à lease.
PENUTUP
Nama merupakan
sebuah identitas kebanggaan yang diberikan orang tua kepada anak yang
dikasihinya. Nama yang diberikan pastilah memiliki arti, alasan dan harapan
buat sang anak kedepannya. Memahami sejarah nama “Saparua” dan “Lease” yang panjang, haruslah dimaknai bukan hanya dari perspektif
kesejarahan semata, tapi juga dari berbagai aspek yang melingkupinya, aspek
filosofis, sosial, ekonomi dan lain-lain. Semoga pemaknaan itu bisa
dipahami oleh generasi sekarang untuk lebih peduli dan cinta kepada daerahnya.
Bukan hanya cinta, tapi juga memiliki rasa memiliki dan bergerak untuk
membangun “kawasan tua” ini. Kawasan ini bisa dibilang kawasan “tertinggal”
jika dibandingkan dengan kawasan lain yang “lahir belakangan”, padahal kawasan ini dikenal sebagai kawasan penghasil SDM dan “otak” dari
kemajuan provinsi Maluku dewasa ini. Tidak berlebihan jika dibilang bahwa karena
orang Lease-lah, semua daerah lain memiliki pengetahuan. Sejarah dan fakta telah
mengajarkan, karena orang Lease-lah,
guru-guru jemaat asal Lease-lah yang
jadi ujung tombak dalam semua aspek terhadap kawasan lain. Hampir dimana saja,
jika dicermati selalu ada orang Lease hanya
dengan menyebut nama keluarganya (faam/marga), orang telah tahu dan langsung
mengidentifikasi bahwa orang itu asal Saparua, asal Nusalaut atau
asal Haruku.
Artikel ini
hanyalah sebuah pengantar terhadap sebuah tema “besar” dan yang namanya
penafsiran pastilah bukan akhir dari sebuah pernyataan. Dengan memahami itu,
maka penulis menyadari bahwa inipun bukan pernyataan yang sepenuhnya harus
benar, karena itu perlu dikritisi lebih jauh. Maka tentunya lebih baik, jika
ada yang “memperbaikinya” dengan menggunakan sumber-sumber baru yang bisa
diperiksa atau diuji silang. Itu kegunaan yang diperlukan daripada penyajian
atau tanggapan yang hanya berdasarkan pada opini tidak berdasar atau tidak
memiliki sumber referensi.
Yang pasti,
bahwa artikel ini adalah usaha penulis dengan pemahaman yang terbatas untuk
“mengulik” tema ini. Ini juga bentuk dari rasa cinta yang mendalam terhadap
negeri, pulau dan kawasan tua ini, negeri Saparua, pulau Saparua
dan Uliasa/Liaser/Lijasser/Licer.
Daftar bacaan:
i. A History of Christianity In Indonesia oleh
Jan Aritonang dan Karel Steenbrink
ii. Nusantara dalam catatan-catatan orang Tonghoa (edisi bahasa Indonesia)
oleh W.P. Groeneveldt
iii. Gadjah
Mada oleh Agus Aris Munandar
iv. Menuju Puncak
Kemegahan (sejarah kerajaan Majapahit) Oleh Prof
Slamet Muljana
v. 1421 : saat China menemukan Dunia oleh Gavin Mensies
vi. Persekutuan
Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC oleh Leonard Blusse
vii. Sejarah
kepulauan rempah-rempah oleh M. Adnan
Amal
viii. The World of
Maluku : eastern in Indonesia in the early modern period oleh Leonard Y Andaya
ix. Sejarah Indonesia modern 1200-2004 oleh M.C. Rickleffs
x. Documenta Malucensia (3 vol) oleh
Hubert.S.J. Jacobs (editor) 1974-1980
xi. Berbagai artikel yang berhubungan dengan isi tulisan
Luar biasa panjaaaang. Bravo atas kerja keras penulis mencari dan merangkum sejarah nama saparua.
BalasHapusMantap paskali. Pengetahuan bertambah e... Sukses untuk penulis. Menarik paskali.
BalasHapusSalut sih sama penuturan sejarahnya yang lengkap. Mantaplah. Jarang dapat ringkasan sejarah Maluku khusus nya pulau saparua ang lengkap dan lugas seperti ini. Namun, sumber sejarah seperti blog-blog tidak mesti dijadikan patokan dari sebuah kesimpulan. Karna jujur saya juga pernah buat blog sejarah negeri. Dan itu murni hasil googling yang saya olah sebagian besar kalimat dan paragraf nya agar mudah dimengerti. Terbayang tidak, artikel itu pasti sudah 100% tidak asli yang kemudian dijadikan acuan dan disimpulkan? Ohiya, saya aktif di blog waktu kelas 1 SMA, dan sampai sekarang kadang ikut menyesal melihat beberapa artikel yang juga merujuk ke blog saya. Wkwk. Tapi blog nya sudah saya hapus sih.
BalasHapus