Kamis, 14 Juli 2016

MENYOAL NAMA SAPAROEA

 

Sebuah Kajian Berdasarkan Beberapa Sumber 

Oleh:

Adryn Anakotta


Kaart van de Oeliassers

 

PENGANTAR

William Sheakspeare, penulis kenamaan Inggris pernah mengatakan: apalah arti sebuah namabunga mawar meski bernama lain, pasti tetaplah harumNamun, bagaimanapun juga nama adalah sebuah identitas, pengenal dari sebuah objek (benda) agar dikenali dan disapa dalam suatu percakapan antar manusia. Kita tak mungkin menyapa seseorang tanpa menyebut nama sebagai identitasnya. Jika itu dilakukan, agak terasa tidak etis dari sisi norma kesopanan yang hidup dalam suatu komunitas. Selain sebagai identitas, nama juga memiliki arti dan alasan serta sejarahnya suatu objek dinamai seperti itu. Banyak contoh bisa diberikan, Negara kita yang tercinta INDONESIA, juga memiliki sejarah yang panjang, arti dan alasan kenapa Negara kita dinamai INDONESIA. Berikut ini adalah catatan sejarah mengenai nama INDONESIA:

Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.

Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, diperkirakan pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil orang Jawa oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi (semuanya Jawa). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut Hindia Mukadan daratan Asia Tenggara dinamai Hindia Belakang, sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische ArchipelIndian Archipelagol'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost IndieEast IndiesIndes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische ArchipelMalay Archipelagol'Archipel Malais).

Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini. Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga Kepulauan Hindia (dalam bahasa Latin insula berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

 

Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur)), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (“Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia”). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):

“... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia...”

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (Etnologi dari Kepulauan Hindia). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago (Kepulauan Hindia) terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.[1]

Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

“Mr Earl menyarankan istilah etnografi “Indunesian”, tetapi menolaknya dan mendukung Malayunesian. Saya lebih suka istilah geografis murni “Indonesia”, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia” 

Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.[1] Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”) sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (“Hindia”) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (“pribumi”) diganti dengan Indonesiër  (“orang Indonesia”).

 

 

Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.[1] Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,

“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia-Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan Lema Nusantara sebagai bahasa Kawi untuk “Kapuloan (Indonesiah)”. Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia-Belanda”. Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Atau nama Provinsi Maluku sendiri juga memiliki sejarahnya sendiri. Ada beberapa versi kenapa daerah ini (Maluku-red) dinamai seperti ini:

1.     Pendapat pertama, menyatakan kata Maluku berasal dari Bahasa Arab yaitu kata Al-Mulk, Al-Mulk berarti sebagai tanah atau pulau atau negeri para raja. Hal ini memang benar karena Maluku sampai sekarangpun terdiri atas negeri-negeri kecil yang lumayan banyak dengan rajanya sendiri-sendiri.

2.     Pendapat kedua, menyatakan kata Maluku berasal dari bahasa Ternate yaitu kata Moloku atau Moloko, dua kata itu Moloku atau Moloko sama-sama berarti sebagai tanah air. Hal ini tercermin dari perkataan bangsa Ternate di masa lampau yang menyebutkan bumi Maluku belahan utara sebagai Moloku Kie Raha yang berarti tanah air dengan empat gunung. Keempat gunung yang dimaksud adalah 4 kerajaan atau kesultanan besar dari Maluku Utara yaitu kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.

Ada juga pendapat atau versi ke-3 yang bisa dianggap sebagai “Kristen sentris” versi itu menyebutkan bahwa kata Maluku berasal dari kata “Maloko” yang merupakan sebutan gelar bagi Kalano (kepala daerah). Kata “Maloko” ini menurut marga Resley berasal dari bahasa Ibrani. Sebutan bagi raja dalam bahasa Ibrani adalah “Melek” atau “Melekh”. Bentuk yang lebih kuno adalah “Maliki” (EKAMK II hal. 292), sehingga dalam Tambo Dinasti Tang di China (618-906) “Maluku” tercatat sebagai “Miliku”, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan “Holing” (Kalingga) yang ada di sebelah Barat. Kata Maluku mirip dengan Maloko yaitu “Molokh” yaitu Ilah yang disembah bani Amon. Bentuk Ibrani nama ini ialah “Molek”. Dalam kitab suci Perjanjian Lama, Molek umumnya memiliki kata sandang (Imamat 18:21; 20:2-5, 2 Raja-raja 23:10, Yeremia 32:35). Kata “Molokh” pada ayat-ayat tsb menyiratkan bahwa kata itu mungkin merupakan kata umum bagi orang yang memerintah (EKAMK II hal. 93). Dengan demikian, maka gelar Maloko yang dikenakan bagi seorang Kalano adalah berasal dari budaya dan bahasa Ibrani. Dan kata Molekh (Moloch) dalam bahasa Ibrani artinya raja. Maloko kemudian disebut Maluku (Molokhus). Dan memang kepulauan Maluku artinya Kepulauan Raja-Raja.

Tentunya pendapat ke-3 ini bisa dikaji lebih jauh atau bisa diperdebatkan. Namun penulis menganggap pendapat seperti itu haruslah tetap “hidup” sebagai bagian dari beragamnya pemikiran manusia. Tetangga provinsi kita, Irian pun juga memiliki sejarah namanya sendiri. Pada sekitar Tahun 200 M, ahli Geography bernama Claudius Ptolamaeus (Ptolamy) menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI, dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama JANGGI. Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas.

Merujuk pada beberapa contoh di atas, maka disimpulkan bahwa tentunya sebuah nama yang dilekatkan, tidak lahir atau muncul tiba-tiba dari ruang hampa. Pastilah ia memiliki sejarahnya, siapa yang menamainya serta alasan-alasan “filosofis” dibaliknya. Kita mungkin masih ingat dengan sejarah penamaan Batavia (Jakarta-sekarang), atau penamaan pulau Tasmania di Australia dan beberapa contoh lain. Jika begitu, bagaimana dengan Saparua sendiri? Apakah ada sejarahnya, siapa yang menamainya, dan mengapa dinamai seperti itu serta banyak pertanyaan lain yang menyertainya. Lewat artikel pendek ini, penulis mencoba menelusuri sejarahnya, mengkaji beberapa sumber yang tersedia serta menganalisanya. Sebagai bagian dari sekeping pemikiran, tentunya kajian serta analisa ini, tidak sempurna serta bersifat akhir atau kesimpulan tetap. Orang lain bisa membantah atau mengakuinya, jika membantah atau mengkritisi lebih jauh, tentunya harus ada penyajian bukti-bukti yang lebih valid atau dipercaya. Dalam kajian ini, penulis menggunakan berbagai sumber untuk memahami titik-titik soal yang dimunculkan dalam artikel ini. Dari titik-titik itulah, coba dirangkai, dianalisa, untuk memahami latar belakang serta mengambil “kesimpulan sementara”. Sumber-sumber yang dipakai meliputi sumber-sumber primer dan sekunder. Sebelum menjelaskan tentang sumber-sumber primer dan sekunder, sebaiknya kita pahami dulu soal Saparua itu sendiri.

Seperti yang diketahui, Saparua lebih dikenal sebagai nama sebuah pulau, meski di dalam pulau itu sendiri, ada sebuah negeri (desa) yang memiliki nama yang sama seperti nama pulau itu sendiri. Negeri yang dimaksud adalah negeri Saparua. Jadi Saparua, bukan saja nama sebuah pulau, tapi juga nama sebuah negeri, bukan hanya nama sebuah negeri, tapi juga nama sebuah pulau. Ada hal yang unik, jika kita meneliti secara cermat. Ada 3 pulau yang di dalamnya ada nama negeri (desa)/kota yang seperti nama pulau itu. Pulau Ambon dengan kota Ambon, pulau Haruku dengan negeri Haruku, serta pulau Saparua dengan negeri Saparua. Pulau Saparua juga merupakan sebuah kecamatan yang diberi nama kecamatan Saparua. Dulunya cuma hanya ada 1 kecamatan dalam pulau itu, yaitu kecamatan Saparua, sekarang kecamatan itu dimekarkan menjadi 2 yaitu kecamatan Saparua dan kecamatan Saparua Timur. Meski telah menjadi 2 kecamatan, tapi tetap menggunakan nama Saparua sebagai identitasnya. Walaupun telah terbagi menjadi 2 kecamatan, negeri-negeri yang tergabung di dalamnya tetaplah berjumlah sama, seperti pada saat masih menjadi 1 kecamatan. Negeri-negeri yang dimaksud antara lain : Negeri (desa) Saparua, Tiouw, Porto, Haria, Paperu, Booi, Kulur, Siri Sori Serani, Siri Sori Islam, Ullath, Ouw, Tuhaha, Kampung Mahu, Ihamahu, Iha, Nolloth dan Itawaka. Pia hanyalah sebuah dusun yang masih menjadi bagian dari wilayah administratif negeri (desa) Siri Sori Serani. Hal yang sama pernah dialami oleh Kampung Mahu yang juga menjadi wilayah negeri Paperu, sebelum menjadi negeri otonom yang terlepas dari negeri induknya.

Setiap negeri yang disebutkan di atas, memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tentang terbentuknya negeri masing-masing. Hal ini tak bisa dibantah, karena memang begitulah yang terjadi dan dipercayai dari generasi ke generasi. Selain itu, setiap negeri itu secara geografis terletak dalam sebuah pulau yang bernama Saparua. Maka konsukuensinya adalah, setiap sejarah mereka akan selalu berhubungan atau berkaitan dengan pulau Saparua. Hal ini yang dimaksud penulis sebagai sumber primer yang digunakan dalam artikel ini. Sumber primer karena sejarah tiap negeri itu akan selalu berkaitan dengan pulau Saparua. Lagipula, tiap negeri yang ada, merupakan tetangga satu dengan yang lain, sehingga paling tidak, akan selalu berlaku idiom “tahu sama tahu”. Selain itu, sejarah sebuah pulau pastilah lebih diketahui oleh “orang dalam” atau “inner circle” dalam pulau itu sendiri. Meski tak menutup kemungkinan “outsider” juga mengetahuinya. Pemilihan sejarah tiap negeri yang ada dalam pulau Saparua untuk dijadikan sebagai sumber primer, berangkat dari alasan seperti ini. Sedangkan sumber sekunder berasal dari sejarah negeri-negeri yang ada di sekitarnya, maksudnya di sekitar pulau Saparua, atau beberapa arsip yang berkaitan dengan asal usul penamaan. arsip-arsip yang dimaksud adalah arsip Belanda, beberapa buku dan data-data lain yang memiliki kaitan dengan isi dari artikel ini.

 

I.                   Pemaparan sumber-sumber primer

Adolf Heuken dalam sumbangan tulisannya yang dimuat dalam buku A History of Christianity In Indonesia dan dieditori oleh Jan Aritonang dan Karel Steenbrink menulis : kita tak tahu banyak tentang sejarah awal kepulauan Maluku. Tak ada bukti-bukti tertulis, yang ada hanyalah sedikit peninggalan dari periode prasejarah. Heuken memang benar dan kita tak bisa membantahnya. Sangat sedikit bukti-bukti yang dimaksud. Begitu juga yang terjadi di kawasan Lease (Maluku Selatan) yang terdiri dari 3 pulau kecil yaitu Pulau Saparua, Nusa Laut dan Haruku. Yang bisa kita gunakan adalah tradisi oral tentang munculnya tiap negeri di kawasan itu. Dan harus diakui bahwa itu semua adalah legenda atau mite dalam perspektif historiografi. Yang namanya legenda atau mite, bukanlah catatan atau arsip yang ditulis secara ketat tapi penceritaan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi yang telah bias atau bercampur aduk, bukan fakta sebenarnya. Kita pun tahu, sebagian besar “sejarah” di lokasi ini dikategorikan sebagai legenda dan mite yang dimaksud. Heuken menulis bahwa munculnya  4 kerajaan besar di Maluku (Maluku Utara – sekarang) berasal dari legenda dan mite tentang migrasi besar-besaran pada abad XIV-XV dari pulau Halmahera. Imam Rijali juga menulis kalau leluhur negeri Hitu berasal dari 4 lokasi, dari pulau Seram yaitu Seram bagian barat dan timur, Halmahera, serta Jawa. Heuken juga menyepakatinya dengan mengatakan kalau ini terjadi pada abad XV. Hal  yang sama juga terjadi di kawasan Ambon – Lease. Dari legenda-legenda terbentuknya tiap negeri, diceritakan jika awal mulanya dimulai dengan “migrasi” besar-besaran dari pulau Seram (Nunusaku). Dalam legenda itu, setelah terjadinya tragedi Putri Rapia Hinuewele dan perang besar, maka sebagian besar berpencar dan mencari daerah-daerah baru untuk dihuni. Beberapa sumber menyatakan bahwa peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1400 M (awal abad XV).

Jadi memang sebelum abad XV, kita tak mengetahui banyak tentang apa yang terjadi. Memang ada tulisan-tulisan yang lebih tua, dari sumber China, Yunani, India, bahkan Nagarakrtagama (Pancawarnana), tapi itu hanyalah fragmen-fragmen kecil bukan deskripsi panjang lebar. Hanya sebatas itu. Dalam kitab Nagarakrtagama, tertulis Ambwan dan Wanda, dimana Ambwan merujuk ke Ambon dan Wanda adalah kepulauan Banda sekarang. Selain itu, tentu kita masih ingat akan sumpah Gajah Mada yang dikenal dengan nama sumpah Amukti Palapa. Saat diangkat sebagai mahapatih kerajaan Majapahit oleh Ratu Tribuhwanatunggadewi pada tahun 1258 Caka/Saka atau 1336 Masehi, ia bersumpah akan menyatukan seluruh wilayah dalam kekuasaan Majapahit. Wilayah kekuasaan itu yang sekarang kita akui sebagai nusantara atau Indonesia. Di dalam sumpah amukti palapa yang lengkapnya berbunyi:

“...Lamun huwus kalah nuswantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring ahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa...”

Menurut Agus Aris Munandar dalam bukunya Biografi Gajah Mada, ia menerjemahkan dan menganalisa daerah-daerah yang dimaksud oleh Gajah Mada. Ring Seran itu merujuk pada pulau Seram di wilayah Maluku. Gajah Mada memilih lokasi-lokasi yang dijadikan simbol atau “wakil/utusan” dari berbagai kawasan. Pulau Seram dipilih untuk “mewakili” Indonesia timur, karena berkaitan dengan hasil-hasil rempah. Selain itu Ring Seran yang dimaksud bukan “pulau Seram sendirian” tapi juga meliputi pulau Irian. Itu menurut analisa Agus Aris Munandar. Dengan memahami pola pemikiran itu, maka daerah sekitar pulau Seram adalah wilayah yang tergolong Ring Seran dalam sumpah Gajah Mada. Berarti kawasan Lease dan sekitarnya termasuk di dalamnya.

Dari penyajian sumber-sumber itu, maka bisa disebut bahwa pada masa itu, Kawasan Lease belum “dikenal”, maksudnya adalah tidak disebut-sebut secara eksplisit. Ada beberapa kemungkinan, bisa saja kawasan itu belum memiliki nama, atau sudah memiliki nama namun dianggap tak terlalu penting. Karena dianggap belum terlalu penting, maka kawasan itu tidak disebut dalam perbincangan dan “lebih efisien” jika dimasukan dalam kawasan atau wilayah yang telah dikenal, sehingga jika disebut wilayah yang telah dikenal maka maksudnya ya termasuk daerah-daerah sekitarnya juga.

Jadi jika para sejarahwan atau sumber-sumber yang lebih tua dari periode ini, menyebut Maluku, itu lebih kepada Maluku Utara sebenarnya, bukan Maluku Tengah. Hal ini memang wajar karena dari sanalah rempah-rempah, yaitu cengkeh berasal dan banyak. Hanyalah buah pala, yang berasal dari Banda.

Adolph Heuken mengakui bahwa memasuki abad XV, barulah sumber-sumber lebih banyak bercerita tentang daerah ini. Sebelum priode itu, sumber yang tersedia sangatlah sedikit. Semakin banyak pada abad XVI, setelah Portugis mulai menginjak kakinya di Maluku pada 1512, dan semakin meningkat pada akhir abad XVI dan awal abad XVII setelah Belanda pun turut mengambil bagian. Karena semakin banyak sumber dari “outsider” inilah (arsip belanda) maka R.Z. Leirissa bisa menulis buku yang berjudul Maluku Tengah di masa lampau: Gambaran sekilas lewat arsip abad XIX.

Dari sumber China, nama Maluku telah dicatat atau disebut sebagai “Miliku” dalam tambo dinasti Tang yang berkuasa pada 618-906 M. Nama ini digunakan sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada disebelah barat. Berdasarkan sumber-sumber china inilah, W.P. Groenenveldt menulis bukunya yang diindonesiakan dengan judul Nusantara dalam catatan-catatan orang China. Jadi memang nama Maluku atau Mi-li-ku sekurang-kurangnya telah dikenal sejak abad VII Masehi. Pada masa dinasti Song (Sung) dan Yuan (960-1279, serta 1271-1368), ada banyak catatan tentang Maluku disertai peta-peta navigasi namun itu disembunyikan dari “pantauan” dunia luar, hanya untuk “konsumsi” kerajaan China dalam kepentingan perdagangannya. Lebih lanjut pada masa dinasti Ming (1368-1644), China kembali lagi “melengkapi” catatan-catatan mereka dalam “eksplorasi kolosal” di masa itu. Itu yang diulas oleh Gavin Menzies dalam bukunya : 1421, saat China menemukan dunia.

Jadi sekali lagi, pada periode ini atau periode lebih tua, secara eksplisit wilayah-wilayah dalam Maluku Tengah sekarang, tak disebut-sebut. Itulah sumber-sumber dari pihak luar pada periode ini. Bagaimana dengan sumber-sumber dari “inner circle” sendiri? Mari kita telusuri satu persatu, agar kita memahami lebih jauh. Dari seluruh legenda terbentuknya tiap negeri yang berada di Saparua, sebagian besar memiliki cerita yang sama. Dikatakan sama, karena sebagian besar dari cerita legenda itu merujuk pada emigrasi besar-besaran dari pulau Seram, yaitu dari Nunusaku. Dipercayai oleh bahwa leluhur dari tiap negeri itu berasal dari sana setelah terjadinya perang Nunusaku akibat terbunuhnya putri Rapia Hinuewele. Beberapa ahli memperkirakan bahwa emigrasi ini terjadi kira-kira tahun 1400an M, atau awal abad XV.

 

Sumber pertama dari negeri Iha

1.     Dikatakan kalau leluhur negeri Iha berasal dari Nunusaku kemudian berpindah ke pulau Saparua. Diketahui pada tahun 1480, penduduk Iha telah memeluk agama Islam, oleh seorang mubalik Aceh yang bernama Tengku Umar.  90 tahun kemudian, agama Katholik disiarkan di kepulauan Lease pada tahun 1570 oleh pastor Mascarenhas. (postingan blog nyong ambon tanggal 12 mei 2013 dengan judul Sejarah Kerajaan Iha)

2.     Seperti pada poin 1, leluhur negeri Iha berasal dari Nunusaku kemudian ke Sahulau dan kemudian menyeberang ke pulau Saparua, yang dari pantai Sahulau terlihat seperti 2 buah sampan yang terapung di laut yang sering disebut sampan lua atau sampan rua sehingga lama kelamaan menjadi Saparua. (Stenly Loupatty, S.Pd dalam artikel yang berjudul Hijrah Masyarakat Iha di Pulau Saparua)

ANALISA : Perhatikan kata-kata yang digaris bawahi

Dari deskripsi di atas, bisa dikaji dalam beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, penyebutan nama Saparua (dalam hal ini nama pulau) pada 2 deskripsi di atas, adalah penyebutan yang muncul belakangan sebagai bentuk “pengkaitan identitas” nama sebuah tempat yang “akhirnya” menjadi hunian baru leluhur mereka. Jika hal ini yang dilakukan, berarti, saat kedatangan leluhur negeri Iha, pulau itu belum bernama, atau sudah bernama tapi belum dikenal atau “didengar”. Pemahaman ini berlandaskan pada bukti bahwa tak ada bukti-bukti/dokumen kuno yang ditulis oleh leluhur, sehingga cerita ini hanyalah diwariskan dari mulut ke mulut kemudian “ditulis ulang” oleh generasi selanjutnya. Dengan begitu, maka masuk akal jika generasi itu “mengkaitkan” identitas sebuah pulau yang telah dikenal umum agar sejarahnya “nyambung” dan “logis” karena ada “bukti” berupa nama sebuah pulau.

Kemungkinan kedua, jika penyebutan nama Saparua dalam deskripsi di atas, merupakan “warisan kuno” sejak leluhur mereka datang dan tak “diotak-atik” seperti penjelasan kemungkinan pertama, maka harus diterima, jika nama Saparua atau Sampan Lua atau Sampan Rua telah ada (telah bernama) atau telah dikenal sebelum kedatangan leluhur negeri Iha. Namun, dari 2 deskripsi di atas, tak ada tahun tercatat kedatangan leluhur. Yang ada adalah tahun 1480 itu, berarti bisa dibilang di bawah tahun itulah, leluhur negeri Iha mulai menempati negeri mereka. sehingga akibatnya, kita tak mengetahui sejak kapan nama Saparua itu mulai “ada” atau “digunakan” baik dalam deskripsi yang pertama maupun kedua. Memang “penamaan” nama pulau sesuai deskripsi kedua agaknya bisa dijadikan alasan kenapa pulau itu dinamakan seperti itu, tapi ini pun menimbulkan pertanyaan lebih jauh, siapa yang menamainya, dan jika deskripsi kedua dikaitkan dengan analisa kemungkinan kedua, maka penamaan itu semakin “kabur”. Maksudnya berarti penamaan itu dilakukan oleh generasi selanjutnya, dan kemungkinan berasal dari “cerita hulaleng” tanpa tahu siapa yang sebenarnya memulainya.

 

Sumber kedua dari negeri Ihamahu  

1.     Dari versi sejarah lahirnya negeri Ihamahu, dimulai dengan penceritaan tentang letak negeri Ihamahu yang berada di pulau Saparua. Di situ dilanjutkan dengan informasi bahwa Saparua dalam bahasa daerah setempat disebut SOPANOLUA yang berarti sampan dua. Hal ini di sebabkan bentuk pulau ini sama benar dengan dua buah sampan yang terletak berdampingan. Sebuah sampan terletak di bagian selatan dan sebuah sampan lagi terletak di bagian utara. Sampan pada bagian utara pulau Saparua ini adalah jazirah yang sejak dahulu dengan nama: HATAWANO. Hatawano adalah daerah hutan lebat yang letaknya rata atau mendatar. Hatawano adalah suatu nama menurut bahasa setempat yang berarti: DAERAH KERAJAAN IHA. Kerajaan Iha pada waktu itu luas sekali sehingga pulau Saparua dikatakan: NUSA IHA.

2.     Versi sejarah negeri Ihamahu terbagi menjadi dua yaitu periode sebelum tahun 1653 dan setelah tahun 1653 yang disebut sebagai Ihamahu baru. Dilihat dari tahun itu, kita pun tahu bahwa itu adalah tahun berakhirnya perang Iha yang mengakibatkan hancurnya kerajaan Iha atau Amaiha. Dalam sejarahnya perang Iha disebut sebagai perang Madjiras yang berlangsung pada 13 April 1632 dan berakhir pada 1652. Dikatakan lebih jauh lagi bahwa masyarakat Ihamahu adalah sebagian kecil dari rakyat kerajaan yang tetap tinggal di hutan dan tidak melarikan diri saat hancurnya kerajaan. Setelah tinggal beberapa lama, kemudian turun dan memeluk agama Kristen di tahun 1680, dan mendirikan negeri Ihamahu baru di bawah rajanya yang pertama YEREMIAS DJUMAT PATIIHA.

ANALISA : Perhatikan kata-kata yang digaris bawahi

Pada poin 1, terlihat ada 3 nama dalam penjelasan meski sebenarnya merujuk pada 1 nama. Yang satu adalah nama Saparua, yang kedua adalah Sopanolua dan yang ketiga adalah Nusa Iha. Nama Saparua pada penyebutan pertama, memiliki kemungkinan seperti yang dijelaskan pada analisa tentang sumber dari negeri Iha. Mungkin penyebutan itu “dilakukan” belakangan oleh generasi selanjutnya, dengan alasan seperti di atas. Penyebutan nama Sopanolua disertai dengan arti serta penjelasannya “mirip” dengan deskripsi poin 2 pada sumber dari negeri Iha. Memang nama Sopanolua sepertinya terdengar lebih “kuno” daripada nama Sampanlua atau Sampanrua. Namun tidak dijelaskan siapa yang menamainya hanya dikatakan berasal dari bahasa daerah setempat. Bahasa daerah setempat mana yang dimaksud, tidak dijelaskan di situ. Penyebutan kedua tentang Nusa Iha, juga menarik. Di situ dikatakan karena wilayah kekuasaan kerajaan iha sangat luas, sehingga pulau Saparua disebut/dikatakan Nusa Iha. Dari sini, bisa dibilang jika Nusa Iha adalah nama “alias” dari nama sebenarnya Saparua atau bisa terbalik, Saparua adalah nama “alias” dari nama sebenarnya yaitu Nusa Iha. Kemungkinan ini juga bisa “memunculkan” dugaan-dugaan. Dugaan pertama, jika nama Nusa Iha adalah nama alias, berarti nama Saparua (entah itu masih bernama sopanolua, sampanlua, sampanrua) lebih dulu atau lebih awal dari nama Nusa Iha. Dugaan kedua, jika nama Saparua adalah nama alias, berarti nama “asli” Saparua adalah Nusa Iha. Namun inipun, sedikit “kontradiksi” dengan sumber dari negeri Iha yang disampaikan di atas. Jadi kitapun tak bisa memastikan yang sebenarnya. Meskipun begitu nama Nusa Iha juga disebut-sebut dalam sumber dari negeri Siri Sori Islam yang akan kita lihat nanti.

Pada poin 2, bisa dilihat secara jelas, bahwa masyarakat negeri Ihamahu awalnya adalah bagian dari wilayah kerajaan Iha. Di situ memang, tak diketahui secara pasti darimana leluhur mereka berasal, namun seperti negeri-negeri lainnya, mungkin mereka juga berasal dari pulau Seram (nunusaku). Hal ini bisa “diperkuat” dengan cerita-cerita yang berkembang kemudian dan dipercayai, kalau Ihamahu adalah Iha yang telah menjadi/memeluk agama Kristen (masu Kristen). 

 

Sumber ketiga dari negeri Siri Sori Islam

1.     Versi dari negeri Siri Sori Islam dimulai dengan kata-kata: Tidak ada catatan tertulis ataupun kapata yang menyebutkan perihal kedatangan orang pertama di negeri Louhata Amalatu Siri Sori Islamtetapi dalam cerita-cerita lama banyak mengisahkan tentang orang-orang yang mula-mula mendiami desa Siri Sori Islam adalah orang-orang sakti, dalam pengertian karena mereka adalah orang-orang yang memegang teguh ajaran Islam baik dalam hal ibadah maupun penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dan memiliki Karamah yang dianugerahi oleh Allah SWT. Mereka diantaranya adalah:

 

a.     Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana

Berasal dari Bagdad Iraq, beliau meninggalkan negeri asalnya bersama Syeh Abdul Aziz Assagaf (Maulana Malik Ibrahim) sekitar abad ke 12 M dengan tujuan menyiarkan Agama Islam keseluruh penjuru dunia. Sekitar tahun 1212 M, mereka tiba di Samudera Pasai Aceh. Syeh Abdul Aziz Assagaf menetap di Aceh, sedangkan Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana melanjutkan perjalanan menuju wilayah Timur dan tinggal di daerah Buton Sulawesi Tenggara (1213 M) dan mendapat gelar Ode Bunga (Ode Funa).

 

b.     Zainal Abidin Al Idrus

Berasal dari Bagdad Irak, tiba di semenanjung Malaysia pada tahun 1212 M, kemudian menuju ke pulau Sulawesi dan sampai di daerah Selayar sekitar tahun 1214 M dengan misi yang sama yaitu menyiarkan Agama Islam. Akibat perang antara kerajaan Goa di Makassar dan Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, maka Zainal Abidin Al Idrus bertemulah dengan Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana, keduanya kemudian sepakat untuk meninggalkan pulau Sulawesi dan menuju Maluku (Almuluqun). Untuk melanjutkan misi yang sama yaitu menyebarkan Islam secara lebih luas lagi.

Sampai di kepulauan Maluku keduanya singgah di Nusa Iha (pulau Saparua) tepatnya di negeri Louhata Amalatu di gunung Elhau yang pada waktu itu belum mempunyai nama. Di gunung inilah Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana mendirikan kerajaan Ama Iha, dengan gelar Sayyidna Baraba. Selama memimpin kerajaan Ama Iha beliau menikah dengan Nyai Mara Uta adik dari raja Pati Kaihatu dari negeri Oma Pulau Haruku. Dari perkawinan ini beliau memperoleh 5 orang anak terdiri dari 4 putra dan satu putri yaitu:

 

                                   I.            Nunu Mahu, yang kelak dikemudian hari menurunkan marga Wattihelu (cikal bakal marga Wattiheluw)

                                II.            Tabdede (Tablele) kelak dikemudian hari menurunkan marga Latuconsina di negeri Pellau pulau Haruku.

                               III.          Haris Hamza mendapat gelar Kapitan Juma’ate di negeri Laimu Pulau Seram.

                               IV.          Musa Hari Mullah (Kapitan Kawal) yang kemudian menurunkan marga Wattihelu, Sopacoa, Sopacoaperu dan Talawa (dikisahkan kapitan Kawal tidak pernah menetap di suatu tempat) beliau selalu bepergian untuk menjelajahi seluruh wilayah Nusantara dan di setiap daerah dimana beliau singgah dan menetap selalu meggunakan nama yang berbeda.

                               V.            Mananeuna (anak perempuan satu-satunya) menikah dengan kapitan Raiyapu yang menurunkan marga Toisuta. Zainal Abidin Al-Idrus Di kerajaan Ama Iha bergelar “Somallo” Beliau menikah dengan Nyai Wasolo (putri Paku Alam dari Kraton Solo). Mereka dikaruniai seorang putra bernama Bahrun. Dan dari Bahrun ini yang kemudian menurunkan marga Holle di Siri Sori Islam. (postingan ini disusun oleh seorang yang bernama Upang Pattisahusiwa)

 

2.   Versi dari sumber negeri Siri Sori Islam dilanjutkan dengan kalimat : Akibat perang antara Uli Lima dan Uli Siwa, maka Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana dan Zainal Abidin Al-Idrus meninggalkan kerajaan Ama Ina. Secara Syariat Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana meninggalkan kerajaan Ama Ina, Tapi secara Hakekat beliau mengangkat dan berangkat bersama kerajaan Ama Ina menuju tanah Papua daerah Rumbati. (di kelak kemudian hari anak cucu dari rumbati ini akan mencari tanah asal leluhurnya di Ama Ina pulau Saparua, dengan cara mencocokkan tanah yang dibawanya dari Rumbati, yang ternyata adalah tanah dari Rumbati itu adalah tanah Ama Ina juga yang dahulu dibawa oleh Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana Saniki yarimullah dari Ama Ina menuju Rumbati). Sedangkan Zainal Abidin Al Idrus menuju pulau Seram bagian selatan tepatnya di negeri Sepa. Di sini beliau mendapat gelar Kapitan Tihuruwa (kapitan dari saparua)

ANALISA :

Pada poin 1, dimulai dengan kata-kata yang penulis garis bawahi, itu berarti bahwa cerita selanjutnya bukanlah berasal dari dokumen tertulis, namun berasal dari cerita-cerita lama (tradisi oral) yang disusun ulang, oleh generasi selanjutnya. Ini memang perlu dilakukan agar cerita itu terdokumentasi dan “terjaga”. Itu bisa juga dikatakan sebagai legenda. Meskipun berisi legenda tapi di situ dicantumkan tahun atau penetapan penanggalan yang eksplisit. Jika itu dilakukan, maka tentunya “harus” dikaji. Maksudnya adalah jika kita “berani” mencantumkan waktu, maka kitapun harus siap jika itu dikritisi lebih lanjut. Tentunya pengkajian itu berlandaskan pada sumber-sumber yang resmi atau terpercaya dan diakui.

Poin 1 tertulis bahwa leluhur negeri Siri Sori Islam (jika bisa dikatakan seperti itu) adalah 2 orang yaitu Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana dan Zainal Abidin Al Idrus. Mereka berdua berasal Bagdad Irak dan tiba pada 1212 M di semenanjung  Malaysia. Orang pertama kemudian menuju Buton pada tahun 1213 M, dan orang kedua menuju Selayar (pulau Sulawesi) pada tahun 1214 M. Setelah perang kerajaan Gowa dan Buton, mereka berdua bertemu dan memutuskan menuju Maluku dengan tujuan menyiarkan agama Islam. Sampai di kepulauan Maluku, mereka berdua singgah di Nusa Iha (pulau Saparua). Dilihat dari tahun-tahun yang tercantum, harus dikatakan memang sangat “tua”. Tahun-tahun di atas adalah pada abad XIII, karena mencantumkan huruf M di belakangnya, yang berarti adalah tahun Masehi, bukan tahun Hijriah (tahun Islam). Maka tahun itu adalah pada permulaan abad ke-13, bukan abad ke-12. Terkadang kita sering keliru menentukan tahun masehi dengan abad yang menyertainya, kita terkadang menulis, contohnya tahun 1325 adalah abad ke-13, padahal yang seharusnya adalah abad ke-14. Sehingga antara tahun dengan abad selalu berselisih 1. Perhitungan ini disebabkan karena “kekeliruan” para Bapa Gereja saat menciptakan penanggalan. Awalnya, kita tak punya penanggalan, sehingga kita tak tahu kejadian ini terjadi kapan. Para bapa gereja kemudian membuatnya, pada sekitar tahun 300an. Mereka menjadikan kelahiran Yesus (nabi Isa) sebagai patokannya. Mereka menafsirkan jika Yesus dilahirkan pada tahun 0 (meski faktanya, dilahirkan pada tahun 4 SM), sehingga peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah itu disebut sebagai tahun masehi atau lebih dikenal sebagai AC (After Christ – setelah Kristus) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum itu disebut BC (Before Chris – sebelum Kristus) atau sebelum masehi (SM). 1 abad lamanya adalah 100 tahun, sehingga jika dihitung dari tahun 0  ke tahun 99, berarti 1 abad lamanya, sehingga tahun-tahun itu disebut abad I. Padahal inipun “keliru” karena seharusnya tahun-tahun itu bukan abad pertama tapi abad nol. Nantinya pada tahun 100-199, “barulah” bisa disebut sebagai abad pertama, dan seterusnya. Karena telah “keliru” maka akibat selanjutnya adalah akan selalu berselisih tahun dengan abadnya. Cobalah kita hitung sendiri sampai sekarang, sehingga tahun 2000-2099  (saat ini) dibilang abad XXI. Pengandaian abad-abad sebelum masehi dan masehi bisa diandaikan dengan garis bilangan, tahun sebelum masehi itu adalah bilangan negatif, dan tahun masehi adalah bilangan positif. Antara bilangan negatif dan positif ada angka 0 (nol) di tengah-tengah sebagai batasnya. Sehingga jika bergerak ke kanan dari bilangan negatif 1 (-1) ke bilangan positif 1 (+1), kita harus “singgah” atau “melewati” dulu angka 0 (nol). 1 abad lamanya 100 tahun, sehingga “butuh” 100 tahun lamanya baru kita bisa “berpindah” dari angka 0 ke  angka 1 dan seterusnya, sehingga tahun 0 -99 harus dimasukan sebagai abad 0, tahun 100-199, adalah abad pertama, tahun 200-299 adalah abad kedua dan seterusnya. Kelirunya adalah, saat dari bilangan negatif 1 (-1), kemudian “meloncat” ke positif 1 (+1), sehingga tahun 0 -99 disebut abad pertama.

Karena itulah, tahun-tahun sebelum masehi itu bergerak “turun/menurun” atau bergerak ke arah kanan pada garis bilangan. Jadi kita mengerti mengapa salah satu contohnya dibilang ahli matematika asal Yunani Pythagoras dilahirkan pada 570 SM dan meninggal pada tahun 471 SM. Melihat tahun-tahun yang tertera di atas, bisa dibilang “seumuran” dengan masa akhir dari kerajaan Kediri yang runtuh pada tahun 1222, bahkan sebelum berdirinya kerajaan Singasari apalagi munculnya kerajaan Majapahit yang baru berdiri pada tahun 1293. Memang jika tahun itu dikaitkan dengan penyiaran agama Islam di Nusantara, tidak “bermasalah” karena beberapa ahli pun meyakini kalau Islam sebenarnya mulai masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi atau kira-kira tahun 600an Masehi, setelah nabi Muhamad meninggal pada tahun 632 M. Berita dari China, yaitu kisah pengelana I Tsing yang menuturkan bahwa pada tahun 671 M, lalu lintas laut antara Arab, Persia, India dan Nusantara (Sriwijaya) sudah sangat ramai. Dinasti Tang juga menyatakan bahwa pada abad ke-9 dan ke-10, para pedagang Ta-Shih (sebutan bagi para pedagang arab dan persia) sudah sampai di Kanton dan Sumatera. Bukti lainnya datang dari Marco Polo di tahun 1292 yang singgah di kota Islam bernama Perlak di Sumatera Utara. Dari pemerian bukti-bukti di atas, maka kedatangan kedua ulama itu pada tahun-tahun yang disebut, masih bisa diterima. Namun deskripsi selanjutnya yang “mengganjal” dan meninggalkan pertanyaan kritis. Dikatakan orang pertama akhirnya menikah dengan Nyai Mara Uta, adik raja Pati Kaihatu dari negeri Oma pulau Haruku. Dari informasi ini, kita bisa “meloncat” dalam alur berpikir, kalau negeri Oma di pulau Haruku “haruslah” sudah ada (berdiri) di tahun-tahun itu atau maksimal beberapa tahun sebelumnya, karena buktinya negeri Oma pada tahun itu telah memiliki seorang raja. Atau andaikata saja, raja Oma itu belum menjadi raja pun saat perkawinan adiknya dengan ulama itu, konsukuensinya negeri Oma tetaplah harus berdiri sebelum itu. Yang jadi “masalah” adalah sejarah dari negeri Oma, tak diketahui dengan pasti kapan negeri itu didirikan, sehingga hanya bisa diperkirakan setelah terjadinya perang Nunusaku itu, yang oleh beberapa sumber disebutkan pada tahun 1400an. Akibatnya ini menimbulkan kronologis yang bertabrakan atau “kacau”.

Orang kedua disebut menikah dengan Nyai Wasolo (putri Paku Alaman dari Keraton Solo). Jika informasi benar (dipercaya), ini merupakan “kerancuan” kronologis dalam pembabakan sejarah yang bersifat resmi. Mari kita “berkelana” sebentar, kembali ke sejarah terbentuknya kerajaan Islam awal Nusantara untuk memahami konteks sebagai latar belakang dari informasi di atas. Kerajaan pertama Islam adalah kerajaan/kesultanan Samudera Pasai yang berdiri sekitar  tahun 1270-1275  dengan rajanya yang pertama Sultan Malik as-Saleh, memerintah antara tahun 1275-1297. Di pulau Jawa berdiri kerajaan Demak dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah memerintah antara tahun 1500-1518. Raden Patah adalah keturunan dari Raja Majapahit yang bernama Bhre Kertabhumi. Jika ditarik ke belakang, mereka adalah keturunan Hayam Wuruk yang terkenal itu, bahkan sampai ke Raden Wijaya, dan Ken Arok raja Singasari yang pertama. Pada masa akhir-akhir keruntuhan kerajaan Majapahit terjadi perebutan tahta diantara keluarga, salah satunya adalah Bhre Kertabhumi ini. Wilayah yang nantinya menjadi kerajaan Demak adalah wilayah bawahan (vassal) dari kerajaan Majapahit. Dari kerajaan Demak inilah yang nantinya muncul kerajaan Islam yang dikenal sebagai Mataram Islam. Pada akhir keruntuhan kerajaan Demak, terjadi perebutan antara keturunan Sultan Trenggono dan keturunan adiknya Pangeran Sekar Seda Ing Lepen. Anak pangeran Sekar Seda Ing Lepen yang bernama Arya Penangsang membunuh Sultan Prawoto yang adalah anak dari Sultan Trenggono dan berhasil menjadi raja Demak. Arya Penangsang kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, raja Pajang, yang adalah menantu dari sultan Trenggono atau ipar Sultan Prawoto. Pajang dulunya adalah wilayah bawahan (vasaal) Majapahit, saat Majapahit runtuh dan berdirinya Demak, pajang menjadi bagian dari kerajaan Demak. Di masa majapahit, wilayah Pajang ini diperintah oleh adik kandung perempuan  Hayam Wuruk yang bernama Dyah Nerttaja (Rajasaduhitecwari), karena itulah raja Pajang (penguasa) biasa digelari sebagai Bhre Pajang. Setelah Arya Penangsang terbunuh pada tahun 1549, seluruh pusaka kerajaan Demak dan lambang kerajaan dipindahkan ke keraton Pajang. Joko Tingkir kemudian menjadi raja kerajaan Pajang dan bergelar sultan Hadiwijaya. Terbunuhnya Arya Penangsang adalah hasil “keringat” dari Sutawijaya sang senopati (panglima perang) Pajang. Sutawijaya adalah anak dari Ki Ageng Pamanahan. Atas jasanya ini, Ki Ageng Pamanahan diberikan wilayah kekuasaan di tanah Mataram yang letaknya lebih ke selatan dari pusat pemerintahan kerajaan keraton Pajang. Hadiah tanah ini diberikan pada tahun 1556,  dan keraton didirikan di wilayah itu serta Ki Ageng Pamanahan memerintah hingga tahun 1575 dengan gelar Ki Ageng Mataram. Setelah Ki Ageng Pamanahan meninggal, kemudian digantikan oleh Sutawijaya, sang anak yang juga menantu dari Joko Tingkir Sultan kerajaan Pajang. Di masa itu, Mataram masih merupakaan kerajaan bawahan dari kerajaan/kesultanan Pajang. Saat sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) meninggal, kembali terjadi perebutan kekuasaan di kesultanan Pajang. Atas bantuan Sutawijaya, perebutan kekuasaan itu berakhir dengan naiknya Pangeran Bernawa menjadi Sultan Pajang dan pusat pemerintahan dipindahkan ke keraton Mataram. Beberapa saat memerintah, pangeran Bernawa menyerahkan kekuasaannya kepada Sutawijaya yang menjadi raja Mataram pertama dengan gelar penembahan senapati yang memerintah di tahun 1587-1601. Salah satu cucu dari Sutawijaya inilah, yang menjadi raja Mataram dan kita kenal sebagai Sultan Agung. Sultan Agung ini, yang menyerang Batavia pada tahun 1628-1629 dimasa Gubernur Jenderal VOC JP Coen itu. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613-1645. Perebutan tahta kerajaan Mataram Islam mulai terjadi 50 tahun kemudian (1705-1708) setelah Sultan Agung meninggal diantara keturunannya yaitu Sunan Amangkurat III dan Pangeran Puger. Perebutan tahta ini akhirnya berujung pada perjanjian Giyanti di tahun 1755 (13 Februari) yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunan Surakarta atau Keraton Solo. Tahun 1757, Kasunan Suarakarta dibagi lagi berdasarkan Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757, antara Sunan Pakubuwono III (Penguasa Kasunan Solo) dengan Raden Mas Said. Raden Mas Said diangkat sebagai Penguasa Kapangeranan yang disebut Praja Mangkunagaraan. Tahun 1813  (13 Maret) Kesultanan Ngayogyakarta dibagi lagi menjadi Paku Alaman, dimana Pangeran Natakusumah diangkat sebagai Penguasa Praja Paku Alaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.

Dari pemaparan sejarah kerajaan Mataram Islam itu, timbul pertanyaan paling kritis, bagaimana mungkin seorang ulama yang hidup pada tahun 1214, bisa menikah dengan seorang putri Paku Alam dari Keraton Solo yang baru muncul di tahun 1813? Rentang waktu antara mereka berdua itu 600 tahun lamanya. “jurang” waktu seperti ini tak bisa “didamaikan”. Andaikata yang dimaksud bukan putri Paku Alam, tapi wanita Jawa, tetap saja pertanyaan terus berlanjut. Di masa hidup ulama yang dimaksud itu, belum ada kerajaan Islam di pulau Jawa, karena kerajaan Islam pertama di pulau Jawa adalah kerajaan Demak di tahun 1500. Jika tetap “dipaksakan” harus menikah dengan wanita itu, maka wanita itu bukanlah dari Paku Alam, tapi harus “sezaman” dengan Samudera Pasai di ujung Sumatera yang sekali lagi baru berdiri di tahun 1270-1275. Bahkan kerajaan Ternate baru muncul di tahun 1257. Maka akibatnya adalah tahun 1214 itu bisa “diragukan” kebenarannya atau tahun itu “terlalu awal” dari waktu sebenarnya yang dikisahkan, karena tidak “ekuivalen” dengan ruang dan waktu atau bisa dibilang “dislokasi”.

Jika hal di atas, diragukan maka selanjutnya juga terus diragukan termasuk penyebutan nama Nusa Iha sebagai nama Saparua. Jika tahun itu (1214 ke atas) memang benar, maka tentunya sebelum kedatangan mereka, ke Nusa Iha, kerajaan Iha sudah “haruslah” berdiri, biar sesuai dengan sejarah dari negeri Ihamahu yang menyatakan nama Saparua disebut Nusa Iha karena akibat wilayah kekuasaan kerajaan Iha yang sangat luas. Padahal yang kita tahu dari beberapa sumber, kerajaan Iha itu “seumuran” dengan kerajaan Hitu yang berdiri pada tahun 1470. Beberapa sumber menyatakan bahwa terjadi kontak antara kerajaan Ternate dengan kerajaan Iha, melalui “jalan tol” kerajaan Hitu, sehingga 3 kerajaan itu bisa dikatakan harus ada bersama-sama. Memang dalam sumber dari negeri Siri Sori Islam itu, tidak disebut-sebut tentang kerajaan Iha, dan kita andaikan saja, kalau leluhur negeri Iha belum ada, tetaplah sebuah pulau tak mungkin dinamai Nusa Iha. Bagaimana mungkin suatu objek dinamai jika orang yang karena keberadaannya hingga suatu objek dinamai seperti itu belum ada?.

Ada juga informasi menarik yang menyatakan jika Zainal Abidin Al Idrus digelari Kapitan Tihuruwa (Kapitan dari Saparua) setelah ke Seram Selatan tepatnya di Sepa. Tihuruwa, Sopanolua, Sampanlua dan Sampanrua, terlihat “mirip” dari pengucapannya. Jadi kata Tihuruwa juga bisa dipertimbangkan di samping Sopanolua, Sampanlua maupun Sampanrua. Analisa lebih jauh, gelar itu didapatkan setelah ulama itu berada di Sepa, itu berarti orang-orang di situ yang memberi nama. Ini berarti pula, orang-orang di situ telah lebih dulu mengenal/mengetahui nama tempat (dalam hal ini, nama pulau) darimana ulama itu berasal sehingga memberi nama Tihuruwa. Mungkin saja saat tiba di situ, terjadi percakapan antara mereka dan berlanjut pada pertanyaan berasal darimana, sehingga orang-orang Sepa bisa langsung “mengidentifikasi” nama sebuah tempat yang telah mereka ketahui sebelumnya dan akhirnya menggelari ulama itu dengan sebutan seperti itu. Atau bisa juga, saat perkenalan, sang ulama besar itu langsung menyampaikan daerah darimana dia datang dan kemudian orang-orang sepa tinggal menyematkan gelar yang sesuai dengan asal sang ulama. Jika kemungkinan ini yang terjadi, maka sebenarnya sang ulama pun telah mengetahui nama sebuah pulau tempat asalnya.

 

Sumber  keempat dari negeri Ullath

1.      Konon ada tiga orang bersaudara masing-masing Kasim (kakak sulung), Tasim (kakak tengah) dan Abdullah Nekaulu (adik bungsu), disebut-sebut sebagai tiga moyang bersaudara yang menitiskan keturunan bagi tiga negeri di pulau Saparua, Tuhaha, Iha dan Ullath. Berasal dari Nunusaku, menggunakan sebuah kora-kora, “Matita Toma Nusa” yang artinya “Mari kita mencari pulau”. Berlabuh di Putiori–sebuah tempat yang berarti putih dari laut sampai ke darat, diduga adalah bagian barat negeri Itawaka..... di sini..... Kasim menuju ke Amaihal, yaitu bekas negeri Iha sekarang..... Tasim menuju ke Huhule, yang merupakan negeri lama Tuhaha, dan Abdullah Nekaulu kemudian berlayar menyusur pantai menuju ke Amahatu, yang merupakan negeri lama Ullath.

 

2.      Kesultanan ternate pada abad XIV memiliki tujuh orang anak yang sekaligus menjadi tujuh sultan yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan di Maluku Utara (bacan-djailolo-tidore-ternate) akibat perselisihan maka sultan bungsu meninggalkan saudaranya menuju NUSA INA menuju kerajaan NUNUSAKU dan tiba di NUNUSAKU pada abad 15-16. Keturunan “Kasale Latu Nunusaku” dengan istri pertama yang kawin pada tahun l582 melahirkan empat orang anak masing-masing:

 

                     I.            Anak pertama perempuan ke Buton melahirkan keturunan Sultan Buton

                  II.            Anak kedua Lau Abukasim Nunusaku mendiami Buano

               III.            Anak ketiga Tomalesi Nunusaku mendiami Oma

  IV.            Anak keempat Pattinusa Nunusaku mendiami Ulathe meninggalkan negeri “Nusa Inala Alam Kasturi Nisalemang; Patti Eli Pule-pule Nunusaku dan berkata “Mae Tita Toma Nusa” mari kita keluar mencari pulau-pulau yang lain

ANALISA :

Dari versi ini, terlihat pada poin 1 dan 2, tidak ada penyebutan nama Saparua, penyebutan nama Saparua dalam poin itu, lebih kepada “pengaitan” nama pulau oleh generasi selanjutnya. Jika dilanjutkan pembacaan terhadap sumber itu, maka tidak ada sama sekali penyebutan nama Saparua atau nama-nama yang mirip dengan itu. Sumber ini lebih “memfokuskan” pada lokasi mereka secara “eksklusif”. Maksudnya cerita tentang penamaan nama negeri mereka, dan asal usul kenapa nama itu diberikan. Yang menarik adalah poin 1 dan 2, kedua poin itu “saling melengkapi” tapi juga saling “membantah”. Penjelasannya seperti ini: jika poin 1 dijadikan rujukan, maka penentuan tahun pada poin 2 “agak meragukan” karena berlawanan dengan sumber negeri Iha, yang menyatakan di tahun 1480, masyarakat Iha telah memeluk agama Islam, sehingga di bawah tahun 1480 itulah, ketiga adik dan kakak itu sudah harus menempati lokasi mereka, atau minimal telah sampai di tempat yang baru.

Begitupun, jika poin 2 dijadikan rujukan, maka “bertabrakan” dengan poin 1 yang memiliki “kesejajaran” dengan sumber Iha. Tambah lagi, dalam dokumen agama Katholik tentang penyiaran agama Kristen, tercatat di tahun 1570, Pati Ulath terbunuh karena mempertahankan iman Kristennya. Data ini ada dalam artikel yang ditulis oleh Adolf Heuken dan dimuat dalam buku berjudul A History of Christianty in Indonesia. Dari sumber ini, maka disimpulkan bahwa leluhur orang-orang Ullath sudah ada sebelum tahun 1570, karena di tahun 1570 itu, telah ada seorang Pati atau penguasa di negeri itu.

 

Sumber kelima dari Negeri Porto    

Setelah proses perjanjian selesai, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury beristirahat tidur. Sementara itu Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua naik ke atas rakit. Tiba-tiba rakit itu terbawa arus dan hanyut, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury yang terbangun dari tidurnya melihat rakit itu hanyut yang semakin ke tengah laut hanya bisa melambaikan tangannya. Rakit yang membawa Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua terkatung-katung di Tanjung Hualoy. Mereka hanya bisa membalas lambaian tangan kedua kapitan yang berada di darat. Mereka tak bisa membawa rakitnya menepi. Kapitan Nanlohy meloncat dan berenang melawan arus. Tapi naas, karena letih dan kecapaian akhirnya ia terdampar di tempat yang bernama Nanaluhu, yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”. Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut berbawa arus hingga melewati Tanjung Uneputty. Pelayaran yang hanyut itu akhirnya terdampar juga pada suatu teluk di pulau Saparua. Dimana dibangunnya negeri yang diberi nama Porto. Hal itu didengar oleh Kapitan Nanlohy dan ia pun pindah dari Luhu ke Porto untuk hidup bersama dan mengembangkan keturunannya menjadi satu mata rumah yang besar. Mereka berdua tinggal di negeri lama yang bernama Opal. Talakua menempati atau mengambil daerah di bagian depan (arah timur) menghadap Saparua, sedangkan Nanlohy menempati daerah di bagian belakang yang menghadap ke pantai.

(http://www.angelfire.com.home/SAPAPORTO/Talakua/htm)

ANALISA :

Dari penceritaan di atas, tak ada penyebutan nama Saparua secara “spesifik”. Penyebutan nama Saparua, lebih kepada pengidentifikasian sebuah pulau yang telah dikenal kemudian. Namun jika cerita ini tak “diotak-atik” sebagai bagian pengidentifikasian tadi, maka kesimpulannya, nama Saparua telah ada, atau telah dikenal jauh sebelum leluhur negeri Porto datang. Hal yang menarik juga soal pembagian tempat di negeri lama itu, di situ disebutkan menghadap Saparua. Penyebutan nama ini, bukan nama sebuah pulau tapi sebuah nama negeri yaitu negeri Saparua. Dari informasi ini, apakah bisa diduga atau disebut dari kata menghadap itu berarti berbatasan? Apakah itu berarti dulu (di masa itu) wilayah kekuasaan negeri Porto berbatasan dengan negeri Saparua? Atau apakah penyebutan negeri Saparua “hanya” sebagai “petunjuk arah” dari sebuah lokasi? Gambaran “letak geografis” dari suatu wilayah?  Jika ini yang dimaksud, kenapa tidak disebut menghadap ke Tiouw? Bukankah negeri Tiouw berbatasan dengan negeri Porto?

Jika nama Saparua yang disebut-sebut dalam pembagian wilayah di negeri lama itu, adalah pengidentifikasian yang dilakukan oleh generasi selanjutnya dalam “penyusunan” ulang cerita, lalu apa nama “sebenarnya” wilayah yang berhadapan itu? Semakin menarik, jika penyebutan nama itu, adalah “warisan” lama, maka itu berarti, negeri Saparua telah ada, sebelum negeri Porto atau minimal, hadir bersamaan. Jika ini yang terjadi, maka kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi adalah, nama sebuah pulau itu “ternyata” mengikuti nama sebuah nama negeri, atau nama sebuah nama negeri mengikuti nama sebuah pulau.

 

Sumber keenam dari Negeri Itawaka

Adapun kisah sejarah sehingga menimbulkan negeri ini, dimulai dari sebatang air yang kecil di pinggir negeri tersebut, yang mana Air Potang-Potang. Tetapi nama air ini bukan demikian, melainkan sesuai dengan aslinya, yaitu Air Potang-Potang karena pada air ini ada sebuah batu pangasah parang dari Kapitan Iha. Alkisah bahwa, jazirah Hatawano berdiri sebuah kerajaan yang ternama yaitu Iha. Kerajaan ini memerintahkan negeri-negeri di situ termasuk negeri Tuhaha, dan tentu bagi negeri yang tunduk di bawah perintahnya, harus turut segala persyaratan yang diberikan, apalagi di saat-saat berkuasanya kerajaan ini.

ANALISA :

Cerita sejarah di atas, penulis “memotongnya” karena dirasa, tidak ada hubungan dengan isi dari tulisan ini. Dari cerita selanjutnya, diketahui bahwa terbentuknya negeri Itawaka, adalah “strategi” pihak penjajah (Belanda) dalam membendung pengaruh kerajaan Iha. Caranya dengan “menempatkan” orang-orang Ullath di perbatasan. Dari usaha ini, lama kelamaan terbentuklah sebuah negeri yang kita kenal sekarang sebagai negeri Itawaka.

Dari informasi ini, maka tentunya, penyebutan nama Saparua tidak disebut-sebut, karena peristiwa itu terjadi pada masa penjajah yang berarti pada tahun 1600an, mungkin bersamaan dengan perang Iha, yang terjadi pada 1632-1652an.

 

Sumber ketujuh dari Negeri Paperu

Orang yang mula-mula tiba di negeri Paperu ialah LATUNUSA yang artinya Raja Pulau. Dengan menggunakan sebuah perahu kora-kora, Latunusa datang dari Seram Barat dan mengelilingi pulau-pulau untuk dijadikan tempat tinggal. Setelah Latunusa melihat negeri Paperu yang cocok dihatinya, lalu ia mengatakan setengah berteriak TOUNUSA jang artinya “lihat pulau” atau “tengok pulau”. Dan dia (Latunusa) memutuskan untuk turun dan menetap di situ. Latunusa turun dan mencari tanah yang baik serta aman untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian dipilihnya bagian tanah di puncak gunung agar dari tempat itu ia dapat melihat keadaan sekitarnya, teristimewa letaknya jauh dari pesisir pantai, jang berarti ia bebas dari serangan musuh. Setibanya di gunung, ia lalu menukar namannya menjadi LATUSALISA atau Raja Gunung. Dan kemudian oleh rakyatnya ia disebut Luhukay yang artinya jang masuk/tiba pagi-pagi/mula-mula, dan keturunannya sampai sekarang memakai nama Luhukay sebagai nama marganya. Dan Latusalisa/Luhukay ini, berkuasa di darat maupun di laut, sebab pada waktu itu semua tanah masih kosong. Jadi daerah kekuasaannya sangat besar, mulai dari jembatan Booi sampai ke Tiouw (gereja Saparua sekarang) dan terus ke labuhan negeri Haria.

ANALISA :

Terlihat dari penceritaan di atas, tidak ada nama Saparua disebut-sebut, yang ada adalah “penjelasan” tentang batas-batas wilayah negeri dan hanya “menerangkan” pada lokasi bangunan (gereja) yang telah dikenal sekarang.

 

Sumber kedelapan dari negeri Tuhaha

Alkisah orang Tuhaha bermula berasal dari pedalaman pulau Seram yaitu Tupapa atau Tululauhaha (yang artinya turun kelaut/ketepi pantai), yang mungkin disebabkan karena  bencana alam atau peperangan, kemudian sampailah mereka ke pulau Saparua dan membentuk Hena-hena yang terdiri dari Soa-soa. (http://beinusaamalatu.blogspot.co.id/2013/06/sejarah-negeri-tuhaha.html)

ANALISA :

Sumber sejarah dari negeri ini “sangat” ringkas, sehingga kita tak “menemukan” apa yang menjadi tujuan dan isi dari tulisan artikel ini. Penyebutan nama pulau Saparua, itu mungkin “dilakukan” oleh generasi berikut, yang menyusun kembali cerita ini. Namun andaikata, nama Saparua yang disebut itu, telah dikenal sebelum leluhur itu datang, itu semakin “membuktikan” bahwa memang nama Saparua telah ada atau diketahui, sehingga nama itu dirujuk oleh leluhur negeri Tuhaha untuk mengidentifikasi sebuah pulau yang mereka huni nantinya.

 

Sumber kesembilan dari Negeri Booi  

Pada mulanya masyarakat negeri Booi (tradisional) adalah perpaduan dari rumpun suku SIWA dan rumpun suku LIMA, yang berasal dari pulau Seram. Tetapi kemudian dalam penelusuran sejarah kemudian, ada pengakuan yang kuat bahwa mereka (masyarakat pertama yang menguasai negeri Booi sekarang) berasal dari NUNUSAKU NUNU WAE SANE yang adalah tempat tinggal salah satu rumpun suku SIWA. Adapun alasan ini dapat dijelaskan dalam sejarah negeri Booi bahwa salah satu sub suku SIWA ini, awalnya menyinggahi dengan perahu kora-kora mereka, di pantai yang bernama HATURISSA (sekarang menjadi salah satu pantai yang ada di negeri Booi); yang artinya “BATU PERANG”. Di HATURISSA mereka berperang dengan orang-orang yang lebih dahulu telah menguasai tempat itu, yaitu mereka yang berasal dari rumpun sub suku LIMA, yang juga berasal dari pulau SERAM (dua rumpun suku ini, sejak dari pulau SERAM tidak pernah akur dan sering terlibat dalam perang). Namun kemenangan selalu ada di pihak sub suku SIWA, maka rumpun sub suku LIMA akhirnya mengajak bersekutu dan mereka berdamai; sehingga bermufakat untuk mencari tempat di atas gunung yang aman, sebagai tempat tinggal mereka (Semenjak dari situ sub suku LIMA tunduk di bawah kekuasaan sub suku SIWA dalam berbagai hal).

ANALISA :

Dari sumber negeri Booi di atas, lebih banyak bercerita tentang pembentukan negeri mereka, sehingga memang tidak ditemukan banyak informasi tentang nama yang berhubungan dengan nama Saparua. Meski begitu, ada juga informasi yang menarik. Dalam cerita itu disebutkan, bahwa leluhur negeri singgah di pantai Haturissa, dan berperang dengan orang-orang yang lebih dulu menguasai daerah itu. Berarti, sebelum mereka datang, orang-orang itu telah ada. Siapakah mereka sebenarnya? Apakah leluhur negeri Paperu? Leluhur negeri Haria? Leluhur negeri Tiouw? Ataukah Leluhur negeri Ullath, Ouw, Siri Sori atau malah leluhur negeri Saparua sendiri? Atau leluhur orang-orang Nusa Laut? Sayangnya, tidak ada informasi lanjutan dari cerita ini, sehingga kita tidak bisa mengidentifikasi lebih jauh.

 

Sumber kesepuluh dari Negeri Haria

1.      Versi Pemerintah Negeri : Pada beberapa abad yang silam, bangsa Alifuru dari pulau Seram bagian barat berpindah ke pulau Saparua, mereka mendiami beberapa pegunungan di pulau Saparua seperti gunung Moi di Itawaka, gunung Elhau di Sirisori dan gunung Hatuhahul di Haria. Dari sini, kemudian berkembang menjadi negeri-negeri, salah satunya adalah negeri Haria.

 

2.      Versi Marga/Faam Loupatty (Tuan Tanah) : Nenek moyang (leluhur) dari marga Loupatty pertama kali menginjakkan kakinya di Nusaunjo (negeri lama Haria). Setibanya di sana, leluhur itu kemudian mencari daerah yang tinggi (gunung) untuk menetap. Hal ini disebabkan oleh ancaman pembunuhan Orang Lano (pemenggal kepala dan pemakan daging manusia atau kanibal).

ANALISA :

1.      Versi pemerintah negeri, mungkin adalah versi hasil “rangkuman” dari beberapa versi faam/marga yang dianggap sebagai leluhur atau orang asli negeri Haria. Penyebutan nama Saparua di atas, mungkin “identifikasi” nama pulau yang dilakukan oleh generasi berikut saat menyusun cerita pada versi ini. Jika bukan, itu juga menjadi “bukti” tersendiri, jika nama Saparua memang telah ada, jauh sebelum kedatangan para leluhur itu, atau telah memiliki nama. Yang perlu dicermati dari versi ini, adalah informasi tentang orang Alifuru yang salah satunya menempati gunung Elhau di Siri Sori. Hal ini sedikit berbeda, dengan versi dari Negeri Siri Sori Islam. Dalam versi itu, disebutkan saat Syeh Abdurrahman Assagaf Maulana dan Zainal Abidin Al Idrus tiba di negeri Louhata Amalatu di gunung Elhau yang saat itu belum mempunyai nama. Dari kalimat ini, bisa muncul 2 tafsiran, yang satu nama Louhata Amalatu belum bernama, atau gunung Elhau itu belum memiliki nama. Jika yang dimaksud gunung Elhau itu belum memiliki nama, maka bisa diduga, yang memberi nama adalah kedua ulama itu. Dugaan ini juga menimbulkan dugaan lain, yaitu, di gunung itu belum ada orang atau telah ada orang sebelum kedua ulama itu datang, sehingga “sesuai” dengan sumber dari negeri Haria.

 

2.      Versi kedua, tidak menyebut Saparua secara khusus. Tapi di situ juga ada informasi yang menyebut bahwa ada ancaman dari Orang Lano, sehingga leluhur itu mencari daerah yang lebih tinggi untuk menetap (gunung). Ini bisa disimpulkan, jika memang telah ada orang sebelum leluhur itu datang, namun kita tak mengetahui banyak tentang “profil” orang Lano ini.      

 

Sumber kesebelas dari Negeri Nolloth

Datuk-datuk yang mendirikan negeri (desa) Nolot berasal dari Ceram Barat di daerah AIHIOLO dan mereka bermukim di tempat yang bernama Lumapalatale. Pada waktu itu negeri Aihiolo sedang bemusuhan dan berperan dengan negeri Nunutetu, sehingga keamanan sangat terancam, akibatnya mereka memutuskan untuk meninggalkan negeri di Ceram dan menuju ke pulau Saparua. Menyusuri sungai Tala mereka tiba di pantai dan selanjutnya menyeberang selat Ceram dan tiba di pantai HATAWANO. Dari sana mereka naik ke gunung NOLLO. Nollo artinya lihat dari jauh. Aman Nollo terdiri dari dua buah Soa atau Uku (kampong) dengan marga atau matarumah pokok yaitu:

 

1.     UKU LIMA : Terdiri dari matarumah Huliselan, Malessy, Selanno, Matatula dan Pasalbessy.

2.     UKU LUA : Terdiri dari matarumah Luhulima dan Metekohy.

 

Selain matarumah-matarumah pokok tersebut di atas, ada beberapa lagi yang tidak masuk dalam Uku Lima dan Uku Lua yaitu Silahooy, Patty, Sipasulta, Tousalwa dan Ihalauw. Selama berada di gunung Nollo, mereka diperintah oleh Raja LATUSOPACUA.

ANALISA :

Penyebutan nama Saparua (dalam hal ini nama pulau) mungkin adalah upaya generasi selanjutnya untuk mengidentifikasi nama pulau yang telah dikenal kemudian. Sejarah dari negeri Nolloth, lebih banyak kepada “konstruksi” dalam negeri mereka, sehingga tak terdapat asal usul nama Saparua seperti yang diinginkan oleh artikel ini.

 

Sumber keduabelas dari Negeri Tiouw

Desa Tiouw adalah desa pertama di pulau Saparua, pada jaman dahulu datuk-datuk desa Tiouw berasal dari pulau Seram/gunung Nunusaku. Mereka menyeberang dari pulau Seram ke pulau Saparua dan menempatkan di salah satu “Gunung Karang” yang terletak sampai sekarang di petuanan desa Tiouw yang diberi nama “Negeri Lama”.

Datuk-datuk desa Tiouw datang dari pulau Seram di bawah seorang pimpinan Kapitan Matahelumual, lama kelamaan mereka ingin bermukim di tepi pantai dan mereka turun dari gunung karang menetap di tepi pantai yang adalah desa Tiouw sekarang. Di tepi pantai mulailah mereka membangun desa dan diberi Nama TIOUW dengan artinya TIANG PERTAMA/NEGERI YANG PERTAMA. Di sinilah mereka bentuk soa atau kelompok yang dikepalai oleh seorang kepala soa.

(Hasil tulisan tangan mantan Patih Tiouw ke-17/Regent de Tiouw XVII : Z. Tehubijuluw, yang ditulis kembali oleh Rudy Victor Tehubijuluw) 

ANALISA :

Dari sumber negeri Tiouw, penyebutan nama Saparua dalam sejarah mereka, mungkin adalah penyebutan yang dilakukan oleh generasi berikutnya, saat menyusun cerita sejarah mereka.

 

Sumber ketigabelas dari Negeri Ouw

Sumber dari negeri Ouw intinya menceritakan tentang leluhur mereka yang datang dari Nunusaku, namun banyak memfokuskan pada sejarah asal usul marga/faam yang dianggap sebagai orang asli negeri Ouw, semisal Tatipatta, Titahena, Saptenno, Manuputty, Syahailatua, Sahetapy, Likumahuwa, Tomasoa, Makailopu, Titaley, Tutupoly, Silalily, Silahooy, Matulapelwa, Matulatuwa, Sinanu, Lumalesil, Pelupessy, Hehakaya, Lahalo, dll. (http://alanlahalo.com)

ANALISA :

Dari sumber di atas, memang tidak ada penyebutan nama Saparua secara khusus, karena lebih banyak menceritakan, tentang asal usul marga yang dianggap sebagai orang asli negeri Ouw. Dalam penceritaan tentang asal usul marga Titaley, disebut-sebut tentang sejarah Titaley yang nantinya menjadi leluhur Titaley yang dianggap sebagai orang asli negeri Saparua. Minimal dari informasi ini, “membuktikan” bahwa cerita keleluhuran orang negeri Saparua, memiliki basis yang “kuat”. Meski bisa saja, dalam versi negeri Saparua, terdapat penafsiran tentang asal usul munculnya marga/fam Titaley di Saparua (pulau) berbeda, tapi itu dianggap hal yang wajar dan bisa diterima sebagai bagian dari kayanya sumber cerita rakyat.

 

Sumber keempat  belas dari Negeri Saparua

Catatan penanggalan yang menjadi tahun keluarnya orang-orang Souku dari pulau Seram adalah pada tahun 1436. Rombongan Souku berangkat dari Tanjung Pulapa di bawah pimpinan Simatauw Adjelis dan Titaley Riang menuju pulau Saparua. Dalam perjalanan mencari wilayah baru untuk berdiam, ada beberapa tempat yang mereka singgahi. Persinggahan pertama (1) yaitu Tanjung Hatawano-Itawaka (sekarang) di Saparua sebelah timur, tetapi keputusan dari Simatauw Adjelis (saudara tertua) menyatakan tempat ini adalah labuhan karang, tidak cocok untuk dijadikan tempat tinggal/negeri baru. Gosepa Souku melanjutkan perjalanan menyusuri pesisir pantai ke timur dan selatan melewati 2 tanjung untuk melihat keadaan sekitar, semuanya masih kosong, tidak ada koloni-koloni/negeri  baru yang ditemui.

 

Catatan: Pada jaman itu suku-suku masih menempati/membuat pemukiman di wilayah pegunungan, belum seperti sekarang ini, setiap perkampungan/negeri ada di pesisir pantai.

 

Persinggahan kedua (2) yaitu petuanan Negeri Ouw/Ullath (sekarang), dengan mempertimbangkan lokasi yang kurang cocok/kurang strategis, mereka pun terus berlayar. Persinggahan ketiga (3) yaitu petuanan Negeri Siri Sori (sekarang), di sini orang-orang Souku turun ke daratan dan beristirahat. Tempat ini kemudian diberi nama Waihenahia, dusun yang membatasi Negeri Saparua dan Negeri Siri Sori Amalatu. Setelah beristirahat, rombongan gosepa Souku melanjutkan berlayar hingga terlihat dari jauh pesisir pantai Waisisil, petuanan antara Negeri Paperu dan Tiouw (sekarang). Dan terus masuk ke dalam Teluk Saparua (sekarang) lalu mendaratkan gosepa di pesisir pantai muka kota sebagai pelabuhan terakhir yang mereka pilih, diantara tanjung batu karang, yang banyak ditumbuhi katang-katang/tumbuhan tapak kuda dan pohon bintanggor/kanjoli.

Kapitan Titaley Riang dan istrinya Ahina Sahele kemudian mengambil tempat di atas batu karang untuk membuat wango-wango/api unggun dan berjaga, jika nanti ada gosepa lain datang mereka bisa melihat api/tanda klaim dan mengetahui bahwa sudah ada orang yang menempati wilayah ini. Sedangkan 3 Kapitan lain dan istri-istrinya mengambil tempat di pesisir pantai dekat batu karang.

Penamaan Saparua

Setelah kedatangan gosepa Souku ada juga rombongan gosepa lain yang datang, menyusuri tanjung batu untuk mencari tempat berdiam. Kapitan Riang Titaley pun terjaga lalu bercakap-cakap dengan Ahina Sahele, dengan suara keras!, supaya terdengar oleh mereka, dan tahu bahwa sudah ada orang di tempat ini. Terjadilah percakapan antara “Kapitan Titaley Riang” dengan “Mereka” :

Berkata orang di atas gosepa: “SAPA”

Artinya siapa/berapa?

(menanyakan ada siapa di situ/berapa orang di atas batu karang)

Kapitan Titaley Riang membalas: “RUA”

Artinya ada dua!

(ada 2 orang diatas batu karang)

Kapitan Titaley Riang balas bertanya: “SAMPANO”

Artinya ada berapa gosepa yang datang?

Dibalas oleh mereka: “RUA”

Artinya ada dua!

(2 gosepa yang datang)

Dari versi percakapan tersebut, kemudian menjadi cikal bakal pemberian nama negeri Saparua dan pulau dimana mereka tinggal. Orang-orang dengan gosepa yang belakangan datang lalu pergi, kemungkinan mereka singgah dan membentuk koloni-koloni lain di sepanjang pesisir Teluk Saparua seperti negeri Tiouw, Paperu dan Booi, karena asal-usul terbentuknya ke-3 negeri ini memiliki kemiripan dengan negeri Saparua.

Untuk beberapa waktu orang-orang Souku tinggal di situ lalu kemudian naik ke gunung mencari tempat yang akan dibuatkan Amano/Hena, sebab di tempat asalnya tidak pernah tinggal di tepi laut melainkan di tengah hutan. Tempat tinggal pertama orang-orang Souku di pegunungan dipilih oleh Simatauw Adjelis dan diberi nama SAPA RUA LESI yang mempunyai arti Saparua kecil /permulaan/akan bertambah-tambah.

Di sinilah awal kehidupan orang-orang Souku di pulau Saparua.

ANALISA :

Sumber dari negeri Saparua, terlihat agak “lebih lengkap” tentang cerita asal usul penamaan sebuah objek. Jika sumber Ihamahu, Iha menjelaskan asal usul nama yang bersumber dari pemaknaan “morfologi”, sumber dari negeri Saparua, lebih menitik beratkan pada “peristiwa” atau kejadian. Jadi bisa dibilang, yang satu berasal dari pemaknaan secara umum, sedangkan yang satu dari “kecelakaan” akibat dialog antara 2 kelompok yang tak saling mengenal. Memang harus diakui bahwa isi dialog yang termuat adalah “terjemahan modern” dari generasi berikutnya, artinya dialog itu adalah hasil cerita yang diwariskan dan disusun ulang, sehingga tentunya tidak harus “presisi” dalam kata per kata. Jika diperhatikan secara baik, ada kesamaan kata di antara sumber-sumber dari Ihamahu dan Iha dengan negeri Saparua. Ihamahu menyebut Sopanolua, Iha menyebut Sampanlua/Sampanrua, sedangkan dari negeri Saparua menyebut Sampanorua. Tambahan lagi ketiga sumber ini “melibatkan” objek yang sama yaitu Sampan (gosepa) dan angka yaitu bilangan dua.

Dari 16 negeri yang ada di pulau Saparua, sumber dari negeri Kulur, Kampung Mahu dan Dusun Pia tidak ditampilkan. Ini dikarenakan beberapa pertimbangan. Kampung Mahu dan Pia sebelumnya, adalah bagian wilayah dari Negeri Paperu dan Siri Sori Amalatu, meski Pia belumlah menjadi negeri “independen”. Sehingga versi mereka dianggap tidaklah berbeda jauh dengan versi negeri induk mereka. sedangkan Negeri Kulur dari beberapa sumber, merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Iha, sehingga sejarahnya bisa dimasukan kedalam sejarah dari sumber negeri Iha.

 

 

II.                Kajian Umum atas sumber-sumber Primer

Pembacaan ulang terhadap sumber-sumber primer, yang berisikan sumber-sumber dari negeri-negeri yang ada di pulau Saparua bisa dibagi menjadi 3 bagian besar :

1.      Penyebutan nama Saparua (nama pulau) tanpa asal usul. Maksudnya penyebutan identitas yang “telah jadi”. Ini ditandai dengan penulisan nama seperti bentuk penulisan sekarang. Tiouw, Paperu, Porto, Haria, Nolloth, Tuhaha, Ullath, Ouw adalah contohnya.

2.      Penyebutan nama Saparua (nama pulau) dengan asal usul. Iha, Ihamahu, Siri Sori Islam dan negeri Saparua sendiri.

3.      Tidak ada penyebutan nama Saparua. Ini disebabkan karena sumber ini lebih memfokuskan pada penceritaan “pelembagaan” sebuah negeri sehingga otomatis tidak menceritakan hal-hal lain di luar konteks dalam penceritaan.

Dari pembagian di atas, kita bisa melihat ada beberapa versi nama Saparua yang mirip, nama Sopanolua, Sampanrua/Sampanlua dan Sompanolua. Nama Nusa Iha yang disebut-sebut dalam sumber Ihamahu dan Siri Sori Islam bisa dipertimbangkan pula. Memang harus diakui, bahwa nama Nusa Iha bisa saja merupakan nama “asli” tapi tidak ada bukti tertulis yang valid. Lagipula penamaan itu berdasarkan pada akibat dari luasnya kerajaan Iha di masa itu. Kerajaan Iha mungkin berdiri di paruh pertama abad XV (tahun 1400-1450), atau mungkin beberapa tahun setelah tahun 1480, setelah mereka memeluk agama Islam seperti dalam sumber negeri Iha. Masa kejayaan kerajaan ini, diperkirakan beberapa tahun setelah berdiri. Rumphius mencatat, orang-orang Iha juga turut membawa cengkih ke Malaka dan bertemu dengan para pedagang China, Arab dan Jawa. Hubungan ini pasti melalui “pintu masuk” kerajaan Hitu, sehingga pasti berhubungan juga dengan Kerajaan Ternate. Imam Ridjali menulis tentang kerajaan Hitu, dikatakan bahwa kerajaan Hitu berdiri pada 1470, jadi mungkin setelah tahun-tahun itu, kerajaan Iha mengalami masa jayanya. Kerajaan Iha runtuh pada tahun 1652 setelah perang dengan Belanda. Sehingga mungkin di masa-masa itulah, nama Nusa Iha digunakan atau familiar dalam kehidupan sosial orang-orang pulau Saparua. Nama Sopanolua, Sampanlua/Sampanrua atau juga Sampanorua juga memiliki “peluang” yang besar sebagai nama “asli”. Memang nama-nama ini hanyalah bersumber pada legenda atau tradisi oral, bukan catatan tertulis. Namun “jejaknya” masih terasa (terlihat) hingga kini. Pengucapan dan penulisan “baku” kata Saparua lebih dekat ke kata-kata ini.

Mungkin setelah melewati berbagai percakapan dan pelafalan, sehingga ketiga kata itu perlahan-lahan menjadi seperti sekarang. 

Sopanolua à  Saparoea à Saparua atau Sampanlua/Sampanrua à Saparoea à Saparua atau Sampanorua à Saparoea à Saparua

Bagaimana dengan sumber-sumber sekunder yang “menceritakan” hal ini? Mari kita lihat sejenak pemaparan dari sumber-sumber sekunder itu.    

 

III.             Pemaparan sumber-sumber Sekunder

Menurut Adolph Heuken, Orang Eropa pertama yang mendatangi kepulauan Maluku adalah Ludivico Varthema atau dalam pengucapan orang Indonesia Lodewijk de Bartomo di tahun 1506. Orang inilah yang pertama kali mendeskripsikan kepulauan Maluku lebih panjang lebar dibanding sumber-sumber sebelumnya. Saat ia datang, Sultan Ternate yang berkuasa saat itu adalah Sultan Bayan Sirullah (Bayanullah) (1500-1521). 6 tahun kemudian (1512) armada Portugis pertama sampai di Maluku. Armada ini dipimpin oleh Antonio d’Abreu dengan 3 kapal atas perintah Albuquerque yang di tahun 1511 menaklukan Malaka. Salah satu kapalnya yang dipimpin oleh Fransisco Serao dihantam badai dan terdampar di pulau Penyu dan kemudian dibawa ke pantai pulau Ambon (Hitu). Para pelaut Portugis menyebut kepulauan Maluku sebagai as ilhas do cravo (kepulauan Cengkih). Di awal-awal tahun ini, mereka hanya berhubungan dengan Ternate dan Tidore. Mereka juga tinggal beberapa tahun di Hitu sambil menunggu musim yang baik untuk kembali. Diketahui pada awal tahun 1520, Portugis mendirikan benteng di dekat Hitu Lama. Sumber-sumber Portugis menyebut mereka tinggal di situ hingga tahun 1536-1539 sebelum pindah ke Rumah Tiga dekat Hative lewat Hukunalo. Di masa-masa ini, Agama Kristen (Katholik) mulai disebarkan pertama kalinya di Maluku. beberapa negeri di pulau Ambon, penduduknya minta dibaptiskan. Setelah tahun 1539, saat Portugis mulai “bercokol” di daerah-daerah sekitar teluk Ambon (leitimor), mereka juga “melebarkan sayap” ke wilayah kepulauan Lease.

Tahun 1546 (14 Februari), tokoh misi Kristen terkenal Fransiscus Xaverius tiba di Maluku (Ambon), ia mendarat di Hatiwe, dari pos Portugis di Malaka. Saat ia datang, telah ada beberapa negeri yang menjadi Kristen atau bisa dibilang “Kristen KTP”. Dilaporkan di masa kedatangan Fransiscus Xaverius pertama kali itu, di sekitar Hatiwe dan 6 negeri lain di sekitarnya, ada kira-kira 8.000an “Kristen KTP” yang sebelumnya telah dibaptis oleh orang-orang Portugis saat tinggal dengan mereka, beberapa tahun sebelum kedatangan Fransiscus Xaverius. Ia pernah mengunjungi Tamilau di pulau Seram selama beberapa hari, namun tak berhasil mengkristenkan satu orang pun di situ. Saat kembali, ia sempat singgah di Pulau Nusa laut. Hasilnya sama dengan di negeri Tamilau, orang-orang Nusa Laut menolak untuk menjadi Kristen, ia hanya berhasil membaptis satu orang anak muda, yang diberi nama Fransisco Nusalaut (nama Kristen). Akhir tahun 1547, misionaris kedua tiba, bernama Nuno Ribeiro, ia diketahui membaptis sekitar 500 orang dan menghancurkan beberapa benda animisme. Tak lama, ia diracun oleh musuhnya setelah tempat tinggalnya dibakar. Ia meninggal pada 23 Agustus 1549. Di tahun 1555, Alfonso de Castro Sj, Manuel de Tavora dan Fransisco Godhindo, tiba di Ambon dari Ternate. mereka kemudian melaporkan situasi lewat surat ke Malaka dan Goa (India). Dari surat-surat mereka diketahui, jika ribuan orang “Kristen” di Ambon dan kepulauan Lease (kira-kira 43 negeri Kristen) tak mengetahui banyak tentang iman Kristen, sehingga kembali ke kepercayaan lama (pagan/animisme) dan Islam. Di tahun 1562, N. Viera dan P Magelhaes mengunjungi Oma (Pulau Haruku) dan membaptis sekitar 800 orang di beberapa kampung di pulau itu. Di tahun 1563, dilaporkan telah ada sekitar 10 ribuan orang Kristen (Katholik) yang menghuni pulau Ambon dan kepulauan Lease.  Di tahun 1570, seorang Pati Ullath di pulau Saparua terbunuh oleh penduduk negeri Siri Sori. Pati Ullath ini telah menjadi Kristen saat terbunuh. Di tahun-tahun ini diketahui Frater Mascarenhas mulai aktif menyebarkan agama Kristen di kepulauan Lease. Di akhir tahun 1570 dilaporkan sekitar 3000 orang Kristen ada disekitar benteng dan sekitar teluk Ambon, 8000 ada di jazirah Leitimor dan kepulauan Lease. Di tahun 1583, Bernadino Ferari mengunjungi 22 desa di kepulauan Lease dan Pulau Seram, di situ ia sempat membaptis anak-anak dan melakukan “katekesasi” (pengajaran) kepada orang dewasa. Pada 13 Maret 1587, Frater Antonio Marta misionaris Katholik asal Italia, tiba di Ambon. Dari Ambon, ia menulis surat ke “markas besar” di Goa, menceritakan tentang kondisi orang-orang Kristen di Maluku, khususnya deskripsi tentang pulau-pulau di Maluku. Dia menulis bahwa Amboyno itu bukanlah Maluku tetapi nama salah satu pulau dalam kepulauan Maluku, di sekitar pulau Amboyno ada pulau-pulau lain seperti Omo (Haruku), Licer (Saparua), Ruselao (Nusalaut) dan lain-lain.

Saat Steven van Der Haghen menaklukan Ambon, pada 23 Februari 1605 dengan jatuhnya benteng Portugis (benteng Victoria – sekarang), orang-orang Kristen (Katholik), takut dan mengungsi ke gunung-gunung. Frater Lorenso Masonio yang saat itu bertugas, bersama beberapa orang Kristen mengunjungi benteng dan meminta perlindungan dan keselamatan perkembangan Katholik serta tunduk pada kekuasaan Belanda. Beberapa hari berikutnya penduduk beberapa desa dari Lease, juga melakukan hal yang sama. Di antara tahun 1633-1638, diketahui Justus Heurnius menyebarkan agama Kristen (Protestan) di kawasan Lease. Heurnius tak lama di pulau Saparua, karena ia diracun di pulau itu. Di sini, ia sempat belajar bahasa Lease, karena menurutnya bahasa Lease adalah bahasa hati untuk menarik hati orang-orang untuk menjadi agama Kristen atau menjadi Protestan. Ia diketahui sering berkhotbah dan menerjemahkan kitab Injil dalam bahasa itu.

Di masa-masa awal Belanda menancap kakinya di Maluku, tak banyak deskripsi tentang kepulauan Lease. Mereka lebih banyak “berfokus” pada Ambon dan Banda. Sampai beberapa tahun kemudian baru kepulauan Lease mulai “dilirik”. Salah satu contohnya dengan pengiriman Justus Heurnius itu. Ia awalnya ingin “berkarir” di Seram namun Gubernur Amboina memerintahkannya ke Saparua. Dari informasi ini, kita tahu, bahwa pihak Belanda mulai “mendata” daerah-daerah sekeliling.  Dalam arsip-arsip Belanda kemudian, Belanda sering menyebut-nyebut tentang Lease yang di dalamnya, pulau Saparua, Nusa Laut dan Haruku, meski ada juga yang menyebut dengan nama-nama sendiri.

 

IV.             Kajian lebih lanjut tentang nama Saparua

Dari pemaparan sumber-sumber Portugis dan Belanda, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa nama Lease atau nama Saparua, Nusa Laut maupun Haruku telah ada, jauh sebelum bangsa-bangsa itu datang. Jadi sebenarnya mereka hanya “melanjutkan” yang telah ada atau mungkin bisa dibilang mereka “mempopulerkan” ke dunia luar. Jika begitu, kenapa kawasan ini dinamai Lease atau lebih khusus tentang nama Saparua, siapa yang menamainya dan dari bahasa apa, sebuah pulau yang berbentuk seperti 2 perahu itu dinamai demikian.

Harus diakui, bahwa tak ada data-data yang bisa dijadikan rujukan, atau tak ada bukti-bukti yang menceritakan asal mulanya. Yang ada hanyalah legenda. Nama Lease atau nama Saparua seperti tiba-tiba muncul dari ruang hampa. Arsip-arsip Portugis dan Belanda pun tak menceritakan asal usulnya. Arsip mereka hanya berisikan penyebutan nama-nama yang telah “familiar” saat mereka datang dan mendeskripsikan daerah yang mereka kuasai.

Dari pemaparan sejarah versi tiap negeri yang ada di Saparua, tersaji 2 versi yang menceritakan “asal usul” nama Saparua. Yang satu berdasar pada bentuk pulau (sumber negeri Ihamahu dan Iha), yang satu berdasar pada akibat “kecelakaan” saat percakapan (sumber negeri Saparua). Pastilah kedua versi ini akan tetap berpegang pada versinya masing-masing yang dianggap paling benar atau bersifat subjektif. Itu adalah hal lumrah dari cara berpikir dan tak bisa dihakimi. Kedua versi ini tentunya memiliki alasan filosofis masing-masing dalam mempertahankan argumentasinya. Dan kedua versi inipun tidak salah jika merujuk pada beberapa kejadian atau preseden yang mengakibatkan suatu objek dinamai.  Salah satu contohnya, pulau Flores dinamai seperti itu, karena para pelaut Portugis yang tiba di tempat itu kagum pada bunga-bungaan yang sedang mekar di daerah itu maka dinamai Flora (bunga). Atau bisa juga suatu objek dinamai secara “sadar” oleh penemunya sebagai “tugu peringatan” agar abadi. Pulau Tasmania di Australia bisa jadi contohnya.

Kembali ke persoalan tentang nama Saparua, kita tak tahu pasti siapa yang menamainya, dan kenapa dinamai seperti itu, tak ada bukti-bukti tertinggal yang bisa diperiksa. Namun dari kedua versi yang ada, minimal kita bisa membuat “hipotesis” sederhana tentangnya. Kedua versi itu bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Uniknya, kedua versi ini “mengambil” objek yang sama yaitu perahu. Timbul pertanyaan “iseng” lainnya, ada apa dengan perahu? Apa pentingnya alat transportasi sederhana ini sehingga “dikaitkan” dengan sebuah nama pulau? Hampir sebagian besar sejarah negeri-negeri yang ada di pulau Saparua menceritakan tentang kedatangan leluhur mereka menggunakan gosepa (perahu). Jadi dari sisi ini, perahu memang penting. Namun sejarah di negeri lain di pulau lain pun menceritakan hal yang sama.

Baik Sopanolua, Sampanlua dan Sampanorua, jika dipecah katanya menjadi Sopano dan Lua, Sampan dan Lua serta Sampano dan Rua, yang bisa diterjemahkan secara bebas menjadi dua perahu. Jika dilihat dari “bentang alam” pulaunya memang seperti dua buah perahu yang terapung diatas lautan. Dari sisi ini memang sah-sah saja jika dinamai seperti itu, tapi tidak adakah kemungkinan yang lainnya? Ada, jika kita memahami lebih jauh versi dari negeri Saparua. Versi dari negeri Saparua menceritakan lebih “terperinci”, dan menimbulkan “konsukwensi” lebih jauh. Konsukwensi itu membawa ke perdebatan yang tak “produktif” alias “subjektif”. Siapa yang lebih dulu datang ke pulau Saparua? Atau di antara leluhur-leluhur yang menjadi cikal bakal tiap negeri, siapa yang pertama kali datang? Tentunya, tiap negeri akan tetap menganggap merekalah yang pertama kali datang. Dan kita akan terus berdebat tanpa ada hasil, ditambah lagi tak ada data sebagai pengujinya. Kemungkinan lain yang dimaksud adalah, jika kita tahu, diantara leluhur-leluhur itu, siapa yang pertama kali tiba dan menempati pulau ini, maka “disimpulkan” merekalah pemberi nama pulau ini. Namun kemungkinan inipun bisa di “bantah”. Belum tentu juga, yang pertama kali datang, yang menamainya, bisa saja leluhur-leluhur yang datang kemudian yang menamainya. Jika ini pun diterima, masih ada pertanyaan berikutnya, mengapa pulau ini tidak dinamai dengan nama seperti nama negeri lainnya? Misalnya saja, pulau ini dinamai pulau Haria, pulau Booi, pulau Paperu dan lain-lain. Faktanya yang kita tahu sampai saat ini, adalah nama pulau ini sama dengan nama sebuah negeri yang ada di dalamnya. Entah apakah nama sebuah negeri yang “mengikuti” nama sebuah pulau atau sebaliknya.

Masih ada perspektif lain, jika kita memperhatikan potongan kata-kata yang membentuk kata itu. Sopanolua, Sampanlua dan Sampanolua, berasal dari kata Sopano, Sampan, Sampano yang berarti Sampan (perahu kecil) atau gosepa. Lua atau Rua berarti dua. Kata “sampan” bukanlah kata asli bahasa daerah Maluku. Itu kata serapan dari bahasa lain yang telah menjadi “kosakata” sehari hari dalam bahasa proto melayu yang menjadi “akar” bahasa Maluku.

Leonard Blusse menulis dalam “Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC” bahwa ada beberapa kata China untuk menggambarkan perahu, ada sampha’o, hsiao-ch’uan, shang-sh’uan,yu-ch’uan. Semua kata-kata diatas berarti perahu kecil, mungkin disamakan dengan perahu tanpa cadik (semang – kole-kole?). kata ini lama-lama diserap dalam percakapan kemudian menjadi kata “sampan” lewat pelafalan. Jika begitu, mengapa “bahasa asing” ini bisa lahir dalam bahasa kita? Kita semua tahu, bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa melayu yang menyerap banyak kata-kata dari bahasa asing. Bendera, serdadu, adalah bahasa portugis. Kata-kata asing ini lahir dari akibat intensitas “pergaulan” masa lalu yang “kompleks”, dari situ, banyak kata diserap, digunakan dalam percakapan, perubahan pelafalan sesuai lidah orang-orang melayu dan akhirnya menjadi kosakata yang umum. Dalam sumber-sumber China, kita bisa baca, banyak tempat yang dinamai dengan bahasa china, kerajaan Kalingga disebut Holing, kerajaan Malayu/Melayu disebut Mo-lo-yeu (sumber T’ang hui-yao oleh Wang-p’u tahun 961 masa dinasti Tang), Sriwijaya disebut che-li-fo-she, san-fot-si, san-bot-si, bahkan Maluku disebut mi-li-ku. Jadi hal yang lumrah jika penamaan sesuatu yang kita kenal sekarang, disebut-sebut dalam bahasa asing tersebut. Dari sejarah kita juga belajar, jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa datang, bangsa China telah “menguasai” jalur perdagangan di sekitar Indonesia. Selain China, ada juga pedagang-pedagang India, Arab. Dari “hilir mudik” pergaulan inilah, banyak kata didengar dan digunakan.

Saat Cornelis de Houtman tiba di Banten pada 1596, mereka kaget jika peredaran uang China yang disebut caixa dari tembaga menguasai Banten saat itu. Dari info ini, kita bisa mengambil kesimpulan seperti di atas. Perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang China biasanya mengggunakan perahu-perahu kecil untuk “menerobos” jalur-jalur yang sulit. Hal ini diulas oleh sejarahwan Filipina Serafin Quaison, yang menggambarkan zaman kejayaan perdagangan dengan sampan di Filipina mengalami puncaknya sekitar tahun 1560-1670. Jadi logis, jika kawasan Maluku juga “dieksplorasi” sejak lama, jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa datang. Dari sumber kerajaan Kediri (Janggala) yang “hidup” pada 1100-1222, diketahui juga bahwa para pedagang jawa dari Kediri langsung datang membeli rempah-rempah di Maluku, kemudian membawanya dan dibeli oleh para pedagang China, India maupun Arab. Bukti yang agak “modern”, datangnya pasukan China untuk menghukum raja Jawa (singasari) Kertanagara yang pernah menghina utusan kaisar Khubilai Khan (dinasti Ming). Mereka datang namun Kartanagara telah tewas, dan Kertajaya yang mendapat hukuman. Bahkan Raden Wijaya memanfaatkan pasukan ini, dan akhirnya bisa mendirikan kerajaan terbesar Indonesia Majapahit. Jadi memang orang-orang China telah “familiar’ dengan Nusantara. Maka masuk akal jika kata-kata China banyak dikenal dan digunakan.

Kata lua atau rua berarti dua. Kita tahu bahwa bahasa Indonesia adalah termasuk salah satu rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia tenggara dan disebut rumpun bahasa Austria. Rumpun ini terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Austro-Asia dan Austronesia. Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (mundha) dan Mon Khmer di India Belakang, sedangkan Austronesia meliputi bahasa Indonesia, Melanesia, Micronesia dan polinesia. Kesimpulan ini didapatkan para ahli saat melacak kesamaan kata-kata yang digunakan. Salah satu contohnya adalah kata dua tadi. Kata dua dalam bahasa Proto-Austonesia adalah dusa, bahasa Tagalog adalah dalawa, bahasa Aceh adalah duwa, bahasa Toba Batak adalah duwa, bahasa Sasak adalah due, bahasa Jawa kuno adalah rwa, bahasa Jawa baru adalah loro, bahasa Madura adalah dhua, Minangkabau adalah duo, bahasa Rapanui adalah rua, bahasa Hawai adalah elua, bahasa Ma’anyan adalah rueh dan bahasa Malagasy adalah roa.

Meskipun dari perbandingan kata-kata diatas, kita tahu bahwa kata lua atau rua itu berarti dua, ada juga info menarik tentang kata lua ini. Info ini berasal dari zaman yang lebih tua yaitu di masa kerajaan Sriwijaya. Perlu diceritakan sedikit tentang Sriwijaya sebagai konteks besarnya, agar kita bisa memahami lebih mendalam tentang penjelasan mengenai kata lua ini. Sumber-sumber yang menceritakan tentang keberadaan Sriwijaya itu lumayan banyak. Sumber-sumber China, Arab, India serta pembacaan prasasti yang ditemukan di daerah sekeliling pusat kekuasaannya. Nama Sriwijaya mulai “dikenal” saat Goerge Coedes sejarahwan Perancis menulis artikel berjudul le royaume de crivijaya  di tahun 1918. Tiga tahun sebelumnya 1915, M. Kern telah menerbitkan pembacaan prasasti batu kapur, namun saat itu ia masih menganggap nama Sriwijaya yang ada pada prasasti itu bukan nama kerajaan tapi nama raja, karena kata Cri biasanya digunakan atau sebutan gelar seorang Raja. Beberapa tahun sebelumnya 1896, sejarahwan Jepang, Takasusu menerjemahkan karya I-Tsing yang berjudul Nan-hai-chi-kuei-na-fachu’an  kedalam bahasa Inggris dengan judul a record budhist as practice in india and malay archipelago. Namun dalam buku ini, tak ada nama Sriwijaya, yang ada hanyalah shih-lo-fo shih. Dari pembacaan buku ini, serta buku tentang prasasti batu kapur itulah, maka G. Coedes kemudian menyimpulkan itulah yang dimaksud dengan kerajaan Sriwijaya. Coedes juga memberikan hipotesis tentang pusat kerajaan Sriwijaya di kota Palembang berdasarkan intrepretasi dari pembacaan buku W. Groeneveldt yang berjudul Notes on Malay Archipelago and Malaca, compiled from Chinese source (Nusantara dalam sumber-sumber China- edisi terjemahan Indonesia) yang terbit tahun 1863.

Selain prasasti batu kapur, ditemukan juga beberapa prasasti lain, karang berahi, telaga batu, talang tuo, kedukan bukit. Batu kapur dan kedukan bukit bertarikh (bertahun) 682 M, Talang Tuo bertarikh 684 M. Prasasti batu kapur menceritakan tentang perjalanan suci Dapunta Hyang dari minana dengan perahu, 2 laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan serta 1213 tentara berjalan kaki. Talang Tuo menceritakan tentang pembangunan sebuah taman untuk semua makhluk yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Beberapa sejarahwan Perancis berusaha membaca dan menfasirkan ulang prasasti-prasasti ini untuk mendalami lebih jauh tentang Sriwijaya. J. Casparis, Herman Kulke dan P. Yves Manguin adalah contoh orang-orang yang dimaksud. Dalam salah satu prasasti, yaitu prasasti kedukan bukit, mereka berbeda pendapat tentang isi prasasti itu. Pada prasasti itu terdapat “kalimat pembuka” yang “sulit” ditafsirkan. Mereka “sepakat” menyimpulkan jika kalimat itu semacam “mantra kutukan” bagi para pelanggar isi prasasti. Di antara kata-kata yang ada dalam “kalimat pembuka” itu, ada kata lua, selain itu ada kata-kata yang tidak dimengerti, dari situlah mereka bertiga menyimpulkan itu semacam “mantra kutukan/sumpah”. Dari kata lua ini pun, mereka berbeda dalam menafasirkannya, ada yang menafsirkannya sebagai air, ada yang menafsirkan sebagai luas yang merujuk pada perubahan kata lua menjadi kata luwas dalam bahasa Jawa yang berarti luas (lapang). Di depan kata lua ada sebuah kata yang tidak dimengerti karena tidak ada padanannya sehingga J. Casparis menafsirkannya sebagai penguasa air (raja/panglima/kapitan air?). Ia menafsirkan kata itu dengan mempertimbangkan “status” Sriwijaya yang dikenal sebagai “Negara maritim”. Uniknya lagi, kata lua yang berarti air ini seperti memiliki “simbiosis” dengan isi prasasti batu kapur yang menceritakan tentang Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci dengan perahu. Dalam prasasti yang berbahasa melayu kuno ini, ada kata Melayu kuno samwau yang diartikan sebagai perahu. Jadi kita lihat bahwa kata samwau, sampha’o yang akhirnya menjadi sapano, sopano maupun sampano memiliki fonetik yang sama.

Memang kita tidak tahu seperti apa perubahan kata lua ini menjadi arti yang kita ketahui sekarang. Namun dari perubahan kata itu, kita bisa “menduga” perubahan makna dan “isi kepala” saat kata itu berubah dan diterima menjadi “kata baku”. Bukankah air itu juga sangat luas? Bukankah sebagian dari wilayah Nusantara adalah laut yang notabene adalah air? Lalu bagaimana “bisa berubah” menjadi arti dari bilangan dua? Kita juga tak tahu bagaimana “prosedur” perubahan itu, tapi mungkin antara kata air, luas dan dua, ada “hubungan” yang tidak kita pahami.

Tapi dari pemahaman kata lua dan sampan (sampha’o) seperti yang dijelaskan di atas, kita bisa menafsirkan “pengertian” dari kata Saparua. Apakah mungkin, maksudnya adalah penguasa air yang menggunakan (berkendaraan) perahu? Ataukah dalam bahasa sederhana, para kapitan penguasa wilayah yang dikelilingi air (lautan) ?   

Secara pribadi, penulis lebih condong ke arah  penafsiran model begini. Rasanya terlalu “dipaksakan” namun jika kita memahaminya lebih jauh, mungkin kita bisa “menerimanya”. Bukankah sebagian besar tradisi-tradisi oral tentang sejarah para leluhur tiap negeri selalu menceritakan kedatangan mereka dengan menggunakan perahu (gosepa)? Bukankah kita selalu “mempercayai” jika para leluhur yang datang itu adalah para kapitan, panglima perang, yang juga bisa dikategorikan sebagai pemimpin atau penguasa? Bukankah saat mereka berhasil “menaklukan” air/lautan dan mendarat di tempat hunian baru, mereka bisa dibilang atau membanggakan diri sendiri sebagai “penguasa air/laut”? Kita tak tahu persis bagaimana pengalaman mereka saat menaklukkan lautan/air, apa yang mereka rasakan, alami, kita hanya bisa membayangkan berdasarkan narasi “umum” yang hidup dalam bingkai tradisi oral itu. Jadi saat berhasil itulah, mereka bisa membanggakan diri sebagi orang-orang yang sukses dan disebut-sebut sebagai sang penguasa air.

Jika begitu, kita bisa “menghubungkan” pengertian ini dengan asal usul “alasan” kenapa nama Saparua ada, baik dari alasan bentuk sebuah pulau, maupun akibat kecelakaan dari suatu percakapan.

Lalu siapakah yang menamainya? Secara jujur, kita tak mempunyai data-data yang menceritakan secara lengkap tentang hal ini. Semua leluhur yang ada memiliki “peluang” yang sama untuk dianggap sebagai pemberi nama. Atau mungkin para pedagang-pedagang yang lebih dulu “menerobos” kawasan ini, dibandingkan para leluhur itu. Bisa saja, para pedagang China yang menamainya, bisa saja para pedagang Jawa, atau Arab atau mungkin saja bukan mereka tapi para leluhur sendiri. Maksudnya adalah, kosakata yang telah “umum” tadi dan berasal dari “bahasa asing” itu telah “tertanam” dalam alam pemikiran sehingga sebuah objek dinamai berdasarkan “penglihatan” pada bentuk pulau atau lahir dari “salah pahamnya” suatu percakapan.

Menarik pula, melihat sebuah artikel yang berjudul “yang mana, Sapano – lua atau Saparua?”. Artikel ini di tulis oleh Moh. Kasman bin Djaelani bin Kasim bin Kahar bin Ahmad Sanaky, seorang asal Siri Sori Islam (dilihat dari faam/marga penulis dan isi artikel yang secara eksplisit mengakuinya). Di situ tergambar pemaparan asal usul nama yang didasarkan pada cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut orang tua-tua bahwa nama “asli” Saparua adalah Nusa Ama Ihal atau biasa disebut sebagai Sapano-lua. Kata Sapano-lua disebabkan karena bentuk pulau yang mirip 2 perahu/kapal yang merujuk pada 2 kerajaan besar di masa itu. Kata Sapano-lua akhirnya menjadi kata Saparua karena “diduga” akibat keterbatasan pengucapan orang-orang Belanda yang tak bisa sempurna mengucapkan kata Sapano-lua.

Mari kita kaji informasi yang penting ini secara bersama-sama. Kata Sapano-lua kiranya tak berbeda jauh dengan kata Sopano-lua, Sampanlua, Sampanrua atau Sampanolua/Sampanorua. Mungkin yang agak “berbeda” adalan bentuk pelafalan pada tiap kawasan darimana kata ini lahir. Jika dicermati secara baik, mungkin kata Sapano, Sopano, Sampano “berasal” dari kata Sampha’o. Kata ini lama-kelamaan berubah atau “diadaptasi”  menjadi Sopano, Sapano, atau Sampano sesuai pelafalan masing-masing penduduk di tempat yang berbeda. Jadi prinsipnya sama dan artikel ini tak berbeda atau saling “menguatkan” dengan sumber-sumber oral pada beberapa negeri yang menyebut kata-kata ini.

Informasi kedua yang penting juga adalah perubahan nama dari sapano-lua menjadi saparua. Banyak bukti yang bisa dijadikan sebagai pembandingnya. Contoh kata kadera (kursi) berasal dari kata Portugis yaitu Cadeira, kata bendera dari kata Bandeira, dan beberapa kata lainnya. Ini berarti bahwa ada semacam hubungan timbal balik diantara 2 subjek pelaku pembicaraan, yaitu orang-orang kita dengan bangsa barat. Orang-orang kita “mengadptasi” kata-kata asing yang disesuaikan dengan mulutnya, begitupun sebaliknya. Pada posisi ini, perubahan kata Sapano-lua bisa diterima. Namun apakah semuanya harus seperti itu? Belum tentu juga… Mari kita lihat bukti lain untuk mendapat pemahaman yang lebih luas.

Sama seperti Portugis yang selain membeli rempah-rempah, juga menyebarkan agama Kristen (Katholik), begitu juga yang dilakukan Belanda. Saat Belanda mulai datang, bersama armada itu terdapat para pendeta beraliran Calvinis yang ditugaskan untuk menyebarkan paham baru ini ke penduduk lokal. Para pendeta yang datang ini memahami betapa pentingnya komunikasi dalam tugas pekabaran Injil ke penduduk lokal. Pentingnya bahasa yang mudah dimengerti oleh penduduk lokal dipilih agar pengajaran Injil (katekisasi) bisa di terima. Tentunya bahasa yang dipilih adalah bahasa yang telah digunakan di masa itu yaitu bahasa Melayu (Malayu). Cara yang digunakan adalah menerjemahkan pilar-pilar pengajaran Kristen ke dalam bahasa Melayu agar bisa diterima. Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh para misionaris Katholik 1 abad sebelumnya. Para misionaris Katholik lebih memilih bahasa “asli” yaitu bahasa latin dan penduduk lokal menerimanya dalam bentuk hafalan. Di bidang “politik” orang-orang Belanda mulai menerjemahkan kamus Belanda-Melayu untuk kepentingan mereka. Buku pertama yang berbahasa Melayu adalah kamus. Kamus ini disusun oleh Frederik de Houtman dan diterbitkan pada tahun 1603 dengan judul spraeck ende woerd boeck in de maleysche ende madagaskarche talen met vale arabische ende turchse woorden. Kamus ini memuat tentang tata bahasa dan menyertakan banyak kata-kata Arab. Kamus ini disusun saat Frederik de Houtman dipenjara di Atjeh. Untuk diketahui Fredrik de Houtman adalah adik dari Cornelis de Houtman. Pada kedatangan yang kedua ini, adik dan kakak menuju Atjeh dan tiba pada 21 Juni 1599. 1 September 1599, pasukan Atjeh menyerang armada Belanda dan menewaskan Cornelis de Houtman, sang adik ditangkap, sultan Atjeh memaksanya masuk Islam dan akan dikawini dengan wanita Atjeh, namun ditolak, karena penolakan ini, ia di penjara selam 26 bulan (11 September 1599-25 Agustus 1601). Di dalam penjara inilah, ia “ngobrol” dengan para tahanan, hasil obrolan inilah yang akhirnya menjadi kamus dengan judul diatas. Kamus ini berjumlah 222 halaman, di tahun 1612, kamus ini diedit lagi dan diterjemahkan oleh Albert Cornelisz Ruil, seorang pegawai VOC dengan judul baru speighel vanden malaysche tale. Seperti diketahui kemudian Frederik Houtman inilah yang nantinya menjadi Gubernur Amboina pada tahun 1605-1611 dan gubernur Maluku pada 1621-1623.

Seperti yang diceritakan di atas, bahwa orang-orang Belanda ini, khususnya para pendeta berusaha menerjemahkan pokok-pokok pengajaran agama Kristen ke dalam bahasa yang telah dikenal di masa itu yaitu bahasa Melayu. Salah satunya adalah Doa Bapa Kami yang diterjemahkan dan dimuat di dalam buku katekisasi dengan judul Sovrat ABC akan meng ayd jer anack boudack sepercy deayd ‘jern ‘ja capada sagala manusia nassarany : daen berbagy sombahayang christiaan. Buku katekisasi ini disusun oleh  Albert Cornelisz Ruil dan diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1611. Buku ini adalah terjemahan dari buku katekisasi berbahasa Belanda yang ditulis oleh Philip van Marnix dan sering disebut sebagai Cort Begryp.

Buku katikesasi yang disusun Ruil itu, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia modern bisa dimengerti sebagai : Surat ABC ditujukan untuk mengajar anak-anak kecil, yang isinya sama dengan pengajaran yang diberikan kepada semua umat Nasrani dilengkapi dengan beberapa doa dalam agama Kristen. Selain terjemahan Doa Bapa Kami, di dalam buku katikesasi ini juga ada terjemahan 10 hukum taurat atau Dasa Titah. 10 hukum taurat ini diterjemahkan ke dalam bahasa melayu dengan judul Sabda Allah-ta Allah jang sapoulo percara.

Delapan tahun kemudian Caspar Wiltens dan sang murid, Sebastian Daencarts juga menerjemahkan Doa Bapa Kami ke dalam bahasa Melayu. Mereka juga menerjemahkan kamus Belanda-Melayu, Melayu-Belanda dengan judul vocabularium ofte woort-boeck naar ordre van den alphabet in’t Duytsch–Maleysch ende Maleysch–Duytsch yang di terbitkan pada tahun 1623, setelah kematian Caspar Wiltens di Ambon pada 8 Januari 1619.

Baiknya, kita lihat sekilas isi Doa Bapa Kami hasil terjemahan Ruil, untuk melihat kata-kata Melayu yang digunakan di masa itu, untuk mendapatkan gambaran :

            Bappa hamba jang berdoudouck cadalam surga

            berulcadoes manjady nama moe

            hoccuman moe mendatangy

            cahandak moe menjady de atas boemy seperty de dalam sorga

            beryla hamba moe macannan sedecala hary

            macka beramponla doesa kyta

            seperty kyta berampon akan jang bersalah capada hamba

            d’jang-an berhanter kyta capada fael seytan

Dari gambaran ini, kita bisa lihat orang-orang Belanda tidak harus “memaksakan” bahasa Belanda kepada masyarakat, tetapi memilih menggunakan bahasa yang “hidup” di masa itu. Contohnya kata sapoulo yang berarti sepuluh, bahkan kalau kita masih ingat dengan jelas, hingga sekarang, dalam percakapan tiap hari, orang-orang tua “lebih suka” mengucapkan kata sapulu daripada sepuluh. Atau kata hanter yang berarti membawa/mengiringi, orang tua “lebih suka” mengucapkannya dengan kata hentar atau menghentar  (mengantar – bahasa Indonesia baku).

Dari pemahaman ini, apakah mungkin kata “sapano” atau “sopano” bisa diterjemahkan sebagai “sepenuh” atau “satu ponoh” yang berarti semua, segala, seluruhnya? Jika bisa, apakah mungkin juga kata sapano, bisa diartikan sebagai penuh air? Semuanya air? Seluruhnya air? Segalanya air? Jika bisa, maka ini bisa dikaitkan dengan “arti semula” yang berhubungan dengan penguasa air.

Dari informasi diatas, kita bisa lihat, bahwa tidak selamanya setiap kata “dirubah” dan disesuaikan dengan lidah orang luar, banyak juga yang ditulis dengan nama yang telah dikenal sebelumnya. Contoh yang lain, dari laporan Rumphuijs tentang tsunami Ambon yang terjadi pada 17 Februari 1674, ia menulis nama-nama tempat sesuai dengan nama pada masa itu. Bouro (Buru – sekarang), Kelang, Nusalaut, Oma Haruku, Honimoa (Saparua) dan beberapa nama lain. Jadi memang tidak semuanya harus namanya “dipangkas” seperti yang dijelaskan lewat artikel di atas.

Lalu bagaimana dengan kasus nama Saparua? Apakah nama Saparua itu hasil “pangkas” atau memang nama yang telah ada atau nama yang telah familiar di masa itu?

Dari seluruh arsip-arsip orang luar (portugis dan belanda), penulis “belum” menemukan kata-kata yang lain selain kata Saparua, tentunya masih dalam ejaan lama yang berlaku di masa itu.

Contohnya adalah Inventaris “Islands archief atau Nederlandsh – Indisch Plakaatboek (1602-1811) yang disusun oleh Mr Jacob. Anne. Van der Chijs  dan diterbitkan pada tahun 1882. Ini adalah inventaris tentang arsip/arsip atau dokumen-dokumen VOC. Dalam inventaris ini, berisikan laporan-laporan dari berbagai karesidenan atau cabang-cabang VOC. Nama-nama karesidenan atau kantor-kantor cabang itu mengikuti nama yang ada pada masa itu. Contohnya Ambon, Haroekoe, Bagoeala, Halmaheira, Batjan, Boeroe, Ceram, Saparoea, Hila, Larike, Soela-eilanden (kepulauan sula), Banda. Perlu dipahami jika inventaris ini adalah hasil “revisi” dari inventaris yang dibuat tahun 1799, sehingga nama-nama tempat inipun hanyalah hasil “copian” dari inventaris sebelumnya. Agak janggal jika nama tempat yang telah umum itu kemudian “dirubah” hanya karena mengikuti alasan “keterbatasan lidah” orang belanda. Jika ini dilakukan maka kemungkinan adalah salah persepsi terhadap sebuah tempat dari para pegawai VOC karena mereka tak bisa “melacak” nama tempat yang dimaksud, yang sebenarnya mereka telah tahu nama tempat itu dengan nama yang dikenal sebelumnya. Data inventaris itu adalah data yang dikumpulkan dari periode tahun 1602, sehingga otomatis nama-nama itulah yang terdata, atau terinventarisir, sehingga konsukuensinya, nama-nama itulah yang telah ada di masa itu atau telah dikenal. Lagipula perlu diketahui juga, van der Chijs adalah orang yang pernah berkunjung ke Maluku, di tahun 1867. Ia mengadakan “kunjungan kerja” sebagai Inspektur Pendidikan Pribumi ke daerah Maluku. Hasil kunjungan kerja inilah yang membuat ia memberikan kritikan serta usulan terhadap perbaikan pendidikan bagi orang-orang pribumi. Jadi tentunya saat ia menyusun inventaris ini, minimal nama-nama daerah telah ia ketahui sebelumnya, jikapun ada nama lain “saparua” dalam kasus kita, tentunya ia akan memberikan catatan. Faktanya di dalam arsip itu tak ada catatan mengenai itu.

Perubahan nama menjadi Saparua mungkin dilakukan sendiri oleh penduduk lokal mengikuti “perkembangan zaman” jauh sebelum bangsa barat datang. Mungkin saja prosesnya seperti begini:

sampha’o lua à sapanolua/sopanolua à sampanolua à sampanorua à sapalua à saparua (saparoea)

Jadi saat Portugis datang, nama itu telah ada sehingga mereka tinggal “mencatat” saja. Begitu juga yang dilakukan oleh pihak Belanda. Faktanya adalah dari arsip-arsip mereka, tak ada nama lain, yang ada adalah nama Saparua, meski terkadang mereka menggunakan istilah lain misalnya licer (Sumber Portugis), Honimoa (sumber Belanda), namun semua “nama alias” itu merujuk pada nama Saparua dan orang-orang di masa itu telah tahu apa yang dimaksud dengan nama-nama itu.

Menarik jika kita membaca artikel Edy Sedyawati yang berjudul “penataan air pada masa jawa juno”. Dari pembacaan beberapa prasasti dan sumber-sumber tertulis, ia menulis bahwa di masa itu dikenal semacam lembaga yang bernama SOPANO. Kata ini secara gramatikal berarti anak tangga. Dimana lembaga ini terdiri dari 4 orang panglima/senapati (kapitan?) yang berpengaruh dalam kerajaan. Salah satu dari senapati ini adalah senapati laut atau bisa kita samakan dengan KSAL sekarang. Uniknya lagi, istilah ini di masa kerajaan Ternate dinamakan sebagai Kapita Laut. Lembaga Sopano merupakan “inner circle” atau “ring 1” yang diberikan kekuasaan penuh dan diizinkan untuk menyampaikan informasi dan perkembangan kepada Maharaja. Karena itulah, mereka atau lembaga ini disebut anak tangga.

Dari sini, kita bisa menduga bahwa kata samwau, sampha’o, sopano, sampan, sapano mungkin hasil dari asimilasi yang berlangsung berabad-abad yang disesuaikan dengan kondisi serta konteks pada sebuah tempat. Jika merujuk pada kata sopano tadi, dan disejajarkan dengan legenda asal usul negeri Saparua, mungkin bisa dikaitkan meski tentunya perlu pembuktian yang lebih kuat. Bukankah legenda asal mula negeri Saparua menceritakan tentang 4 orang kapitan yang dianggap sebagai leluhur negeri? Apakah ini berarti nama “Saparua” adalah hasil penamaan dari mereka? atau gara-gara ini, nama “Saparua” diberikan? Walahualam.....

Permasalahan lain yang perlu dikaji adalah mengapa sebuah pulau yang terdiri dari banyak negeri dengan nama yang berbeda ini menggunakan nama Saparua, nama yang sama dengan nama sebuah negeri yang ada di dalamnya? Apakah nama sebuah negeri dipakai untuk menyebut keseluruhan nama pulau atau sebaliknya, nama pulau yang digunakan untuk menyebut nama sebuah negeri? Data-data yang ditemukan dan ditelusuri, tak banyak yang menceritakan hal ini. Hanya potongan-potongan yang bisa dijadikan “landasan’ berhipotesis, tentunya dengan cara “meloncat” atau out the box, sedikit berpikir “liar”. Jika permasalahan di atas dijawab dengan menggunakan sumber-sumber oral dari tiap negeri atau tradisi bertutur, maka akibatnya adalah perdebatan. Para pembaca yang berasal dari negeri lain akan membantah dan tetap menganggap versi merekalah yang paling benar. Para pembaca akan menuduh penulis yang kebetulan berasal dari negeri Saparua melakukan “narsis” atau “chauvanisme” tanpa dasar. Namun pertanyaan menggelitik, lalu kenapa dinamakan Saparua? Mengapa tidak dinamakan pulau Haria, Porto, Tiouw, Itawaka, Tuhaha, Ouw, Ullath, Siri Sori, Kulur dan seterusnya.

Harus diakui bahwa Saparua juga disebut Nusa Ama Ihal, namun nama ini adalah “produk” karena besarnya wilayah kerajaan Iha, bukan nama “asli”. Jika pernyataan ini dibantah dengan argumen bahwa nama Nusa Ama Ihal “dihapus” oleh orang-orang barat/penjajah, karena sentimen agama dan politik, rasanya kita tidak adil. Jika pola pikir itu diikuti, maka semua nama kerajaan Islam dan yang berseberangan dengan penjajah akan dihapus juga. Faktanya adalah nama Ternate, Tidore, Hitu tetap ada dan “dilestarikan” sehingga kita bisa belajar dan tahu tentang keberadaan mereka di masa lampau. Lagipula “kebesaran” kerajaan Iha berlangsung bersamaan dengan kedatangan Portugis, ini ditandai dengan terjadinya aliansi “tiga kaki” antara Iha, Hitu dan Ternate, maka tentunya nama Nusa Ama Ihal pasti ada dalam arsip mereka. Mengapa tidak ada, karena mungkin saja para pencatat tahu, bahwa nama Nusa Ama Ihal bukan “nama resmi” tetapi nama “tidak resmi” atau nama “biasa” yang digunakan dalam percakapan antar masyarakat bukan nama resmi yang dipakai dalam dokumen “ketatanegaraan”.

Di dalam arsip-arsip awal, baik itu milik Portugis maupun Belanda, mereka memang menyebut-nyebut nama Saparua, namun tidak secara eksplisit merujuk ke nama apa, apa nama pulau atau nama sebuah negeri. Jika nama yang digunakan itu, merujuk pada nama sebuah negeri, maka pastilah yang dimaksud negeri Saparua sekarang, jika itu merujuk pada nama pulau, maka itu pastilah nama sebuah “himpunan” yang di dalamnya memiliki banyak anggota himpunan yaitu nama-nama negeri. Pertanyaan selanjutnya, darimana mereka mendapat “ide” untuk menamai sebuah “himpunan” itu? Bukankah mereka orang asing yang sebelumnya tidak tahu apa-apa? Jawabannya adalah, ya… karena nama “himpunan” itu telah umum digunakan di masa itu atau telah disebut-sebut sebelum mereka tiba.

Selanjutnya, jika nama Saparua yang muncul dalam arsip-arsip mereka itu merujuk pada nama sebuah negeri, ada beberapa “bukti pendukung”. Sekali lagi perlu dipahami, bahwa mereka tidak menyebut nama Saparua secara eksplisit sebagai nama sebuah negeri, namun dari deskripsi itu, kita bisa menduga jika yang mereka maksud adalah nama sebuah negeri yang digunakan untuk nama sebuah pulau.

Bukti :

a)     Sumber dari arsip-arsip agama Katholik bangsa Portugis, menceritakan akibat penyebaran agama Kristen maka terjadi “persaingan terbuka” antara negeri-negeri Islam di satu sisi dan Portugis di sisi yang lain. Akibat persaingan ini maka terjadi pembumihangusan negeri-negeri yang masyarakatnya mulai memeluk agama Kristen. Di tahun 1564, pemimpin Hitu Tahalele dengan bantuan orang-orang Jawa dari Gresik serta di bawah perlindungan Sultan Ternate Sultan Hairun, mengambil seluruh kontrol terhadap pulau Ambon. Gubernur Portugis yang berkedudukan di Ternate menolak memberi pertolongan karena ingin menjaga hubungan baik dengan Sultan Hairun yang nyata-nyata mendukung Hitu, begitu juga Sultan Batjan menolak memberi perlindungan kepada orang-orang Kristen. Terjadi pembumihangusan di pulau Ambon, banyak orang Kristen yang meninggal sebagai Martir karena tak sempat mengungsi ke gunung-gunung. Efek ini berantai dan merembet ke luar di pulau-pulau sekitarnya. Salah satunya, pati  Ulat di pulau Saparua terbunuh oleh para penduduk negeri Siri Sori karena mempertahankan imannya sejak ia menjadi Kristen pada tahun 1570.  Dari kata-kata bergaris bawah, kita bisa lihat bahwa penyebutan nama sebuah “himpunan” di sertai dengan nama anggota himpunan yang disebut terpisah-pisah. Ini dibuktikan dengan nama negeri Ulat (Ullath) dan nama negeri Siri Sori. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa nama sebuah negeri digunakan untuk nama sebuah pulau atau mereka merujuk nama sebuah negeri untuk menyebut nama sebuah pulau yang di dalamnya terdapat anggota-anggota negeri lain.

 

b)    Sumber dari pastor Mascarenhas yang diketahui lewat laporannya bahwa di tahun 1570, ia menyebarkan agama Katholik di pulau Saparua dan berhasil membaptis sekitar 8.000 orang dewasa dimana beberapa orang yang telah bertahun-bertahun menunggu untuk dibaptis. Kasus ini sama seperti yang di atas.

 

c)     Di tahun 1570, setelah terbunuhnya Sultan Hairun oleh Portugis, maka sang putra, Sultan Baabulah bersumpah membalas dendam untuk menghancurkan Portugis dan orang-orang Kristen. Di bawah pimpinan sang paman, Kalasineo berarmadakan 5 kora-kora dibantu 7 kora-kora dari pulau Buru, Hitu dan Seram menyerang Ambon. Negeri Ulat di Saparua bisa bertahan untuk mempertahankan diri dan membuktikan diri sebagai tanda setia pada Portugis dengan cara mengirim keranjang-keranjang berisikan penuh kepala para pembunuh yang menyerang mereka. Informasi ini bisa dicermati lewat cerita asal mula munculnya Aer Ternate dan Batu Potong di negeri Tuhaha. Dalam cerita tersebut pasukan Ternate disebut sebagai “Kalasingko”. Ini mungkin penyebutan orang lokal terhadap pemimpin armada Ternate yaitu Kalasineo.

Dari beberapa bukti di atas, bisa dilihat bahwa penyebutan nama Saparua untuk menyebut nama pulau, namun di sisi lain yang sejajar, data-data itu juga menyebutkan nama-nama negeri lain secara terpisah, itu berarti bahwa pengetahuan mereka tentang sebuah negeri yang bernama Saparua telah ada, dan nama itu digunakan sebagai nama sebuah himpunan dalam hal ini, nama sebuah pulau. Apakah nama Saparua telah digunakan sebelumnya untuk penamaan sebuah pulau, ataukah mereka sendiri yang memperkenalkannya? Data yang tersedia sangat terbatas dalam hal ini, jadi kita pun tak bisa langsung menetapkannya. Seperti yang disampaikan di atas, jika kita hanya bersandar pada tradisi oral, maka tentunya akan muncul perdebatan. Masing-masing akan “egois” mempertahankan versinya dan mengakui sebagai pemberi nama atau leluhur merekalah yang pertama kali menempati sebuah tempat sehingga nama pulau itu dinamakan seperti demikian. Maka tentunya, diperlukan “hipotesis” lain sebagai solusi yang adil dalam menjelaskan hal ini dalam konteks besarnya.

Dari sumber-sumber awal, khususnya arsip-arsip gereja Katholik milik Portugis, kita tahu bahwa di tahun 1512 itu, Fransisco Serao, pemimpin armada Portugis yang diperintahkan oleh Alfonso de Albuquerque, terdampar di pulau Penyu di jazirah utara pulau Ambon, pantai Hitu. Armada eksplorasi kepulauan Maluku ini berangkat dari Malaka pada November 1511 di bawah pimpinan utama Antonio de’ Abreu, Fransisco Serao adalah pemimpin armada di kapal lain yang bersama-sama datang. Sultan Ternate dan Tidore yang mendengar kabar ini bersaing untuk membawa Fransisco Serao ke istana mereka. Persaingan ini di “menangkan” oleh Ternate yang saat itu dipimpin oleh Sultan Abu Lais. Serao dibawa ke istana, dan mulailah proses negosiasi yang nantinya mengubah wajah “Maluku” hingga sekarang. Data selanjutnya menceritakan bahwa di tahun-tahun pertama itu, Portugis hanya “berkeliaran” di kawasan itu, dan sedikit yang menempati jazirah Hitu. Tak ada informasi apapun tentang pulau-pulau di sekitarnya. Mungkin saja di tahun-tahun awal ini, saat dimulainya “relasi sosial” inilah, mereka mulai mendengar dari orang-orang lokal tentang pulau-pulau di sekitarnya. Di awal tahun 1520 portugis mulai mendirikan benteng kecil di Hitulama, sumber lain menyebut mereka tinggal di situ hingga tahun 1536 dan membangun benteng di Hila, di tahun 1539 mereka mulai “merangsek” maju kearah kota lewat Hukunalo ke Rumah Tiga (sekarang) dekat Hatiwe (sekarang) di pantai barat Teluk Ambon. Diketahui pula bahwa di tahun 1538 ini, Hitu dikenal sebagai eksportir utama Cengkih, dari sini kita bisa menduga bahwa Portugis mulai “terbuka matanya” mengetahui tentang pulau-pulau lain karena Hitu merupakan “jalan tol” yang membuka jalur ke “kawasan Lease”. Kita tentunya masih ingat tentang aliansi “tiga kaki” antara Hitu, Ternate dan juga Iha. Dari jalur cepat inilah, kita tahu tentang hal itu, karena di masa itu, Iha adalah kerajaan terbesar di “pulau Saparua”. Bukti pendukung yang memperkuat dugaan ini, adalah di tahun itu juga terjadi pertempuran untuk merebut dominasi penguasaan cengkih, atas dukungan Ternate – Tidore, Portugis bisa mengalahkan pedagang Jawa yang dibantu oleh Hitu. Setelah kemenangan ini, diceritakan bahwa Portugis menikmati masa “bulan madu” di jazirah Leitimor dan kepulauan Lease.

Dari pemaparan ini, kita bisa menduga bahwa Portugis di awal-awal kedatangan tidak banyak tahu tentang pulau-pulau kecil di sekitarnya. Yang mereka hanya tahu adalah Banda, Ternate dan Hitu. Dari relasi sosial bertahun-tahun, akhirnya mereka mulai tahu dan mungkin mulai mendata dan mengeksplorasi daerah-daerah asing ini. Dari sini, penyebutan nama Saparua tentunya berdasarkan informasi yang mereka terima, bukan karena “inisiatif” mereka untuk menamakannya. Jadi mungkin saja nama Saparua telah umum digunakan atau telah jadi “bahasa percakapan sosial” untuk penamaan sebuah pulau “di seberang” yang masih asing bagi mereka. Jadi ketika mereka mulai mendata bagian-bagian daerah yang belum diketahui itulah, nama itu telah ada di kepala akibat relasi model ini. Hal ini dibuktikan dengan informasi beberapa tahun kemudian, mereka langsung menyebut Saparua sebagai nama sebuah pulau, tanpa menjelaskan kepada kita mengapa dan asal usulnya seperti apa kenapa dinamai demikian.

 

Tentang Nama Lease

Kata “Lease” merupakan sebuah kata yang asing. Kata ini seperti tiba-tiba muncul dari ruang hampa. Kita yang ada di masa sekarang, hanya tahu tentang kata ini, tanpa tahu kata ini berasal darimana, sejarahnya seperti apa dan artinya apa. Dari sumber-sumber awal, kita tidak diberikan penjelasan yang memadai tentang sejarah penamaan. Yang kita ketahui sekarang, jika orang menyebut Lease, itu berarti mereka merujuk kepada kawasan “Segitiga Bermuda” yang terdiri dari 3 pulau kecil di dalamnya, yaitu pulau Saparua, Pulau Haruku dan Pulau Nusalaut. Jika dicermati dalam peta, ke-3 pulau ini seperti “membentuk” bangun ruang segitiga siku-siku, dimana “ruas garis” antara pulau Haruku dan Saparua bisa disebut sebagai sisi alas segitiga, “ruas garis” antara pulau Saparua dan Nusalaut bisa disebut sebagai sisi lain (tinggi segitiga), dan ruas garis terpanjang yang ditarik dari pulau Nusalaut ke pulau Haruku, bisa disebut sebagai sisi miring/sisi terpanjang atau hipotenusa dalam geometri bangun datar segitiga. Pulau Saparua berada pada sudut siku-siku yang besarnya 900.

Jika orang menyebut Ambon-Lease, berarti orang telah mengetahui bahwa yang dimaksud adalah pulau Ambon, pulau Haruku, pulau Saparua dan pulau Nusalaut.

Lalu darimana asalnya, dan apa artinya kata “Lease” ini, mengapa pada akhirnya kawasan ini disebut Lease? Mari kita kaji berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Kata “Lease” pertama kali muncul di dalam sumber-sumber Portugis. Sumber-sumber ini berasal dari surat-surat yang dikirim oleh para misionaris Katholik yang bertugas menyebarkan agama Katholik di Maluku. Kumpulan surat-surat ini kemudian dijadikan buku oleh Hubert Jacobs pada tahun 1971 dengan judul Moluco Document. Dalam dokumen ini, kata Lease muncul pada tahun 1530an, untuk “menyebut” atau “menamai” sebuah lokasi dimana di dalamnya terdapat 3 pulau yaitu pulau Saparua (Honimoa), Nusahaluwano (Nusalaut) dan Omo (Haruku). Di masa Fransiscus Xavierus (1546), kata Lease muncul lagi yang menceritakan bahwa di abad XVI, orang-orang Kristen dapat ditemukan di jazirah Leitimor dan Lease. Di tahun 1555, misionaris Alfonso de Castro bersama Manuel de Tavora dan Fransisco Godhindo melaporkan situasi perkembangan Katholik. Dari surat mereka, kata Lease muncul lagi, dimana mereka menceritakan bahwa ribuan orang Kristen (Katholik) yang ada di pulau Ambon dan Lease (sebanyak 43 desa/negeri Kristen) tidak tahu banyak tentang dasar-dasar iman Kristen dan gampang kembali ke agama lama yaitu pagan (agama leluhur).

Di tahun 1563 disebut dalam surat-surat itu, bahwa lebih kurang 10 ribu orang Katholik berdiam di Ambon dan Lease. Di tahun 1570, tertulis bahwa sekitar 3000 orang Katholik berdiam disekitar benteng sedangkan sisanya sekitar 8000 orang berdiam di jazirah Leitimor dan Lease. Selanjutnya kata Lease muncul lagi di tahun 1583 dari seorang misionaris Bernadino Ferari, di situ disebutkan pada kunjungan yang kedua, Ferari mengunjungi 22 desa di Lease dan Seram untuk membabtis anak-anak kecil dan memberikan pengajaran (katekisasi) kepada orang dewasa.

Pada tahun 1587, misionaris asal Italia Frater Antonio Martha saat tiba kemudian menulis surat ke Goa India. Dalam surat ini ia lebih “memperjelas” kondisi geografis Maluku. salah satunya ia menulis bahwa Maluku terdiri dari banyak pulau, di antaranya Ambon, Licer (Saparua), Ruselao (Nusalaut) dan Omo (Haruku).

Dari sumber Belanda, kita mengetahui bahwa orang Belanda pertama yang tiba di Maluku tepatnya di Ternate adalah laksamana Jacob Corneliszoon van Neck pada tahun 1588 dengan kapal Amsterdam dan Utrecht. Armada ini berada di Ternate dari bulan Mei hingga Juni 1588. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1598, armada lain di bawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba di Ternate. Ini adalah kedatangan kedua de Houtman setelah tahun 1596, ia tiba di Banten. Ia datang dengan 22 kapal dan membuang jangkar di Ternate. Tanggal 8 Januari 1599, ekspedisi yang lain datang lagi, kali ini dengan kapal Zeeland dan Gelderland dibawah pimpinan  Wijbrand van Warwijk dan Jacob Heemskerk. Ekspedisi ini datang lagi pada 28 Juli 1599. Tahun 1600, tiba armada yang di pimpin oleh Steven van der Haghen. Tahun 1601 tepatnya 2 juli, van Neck kembali datang dan pada 7 Februari 1602 armada lain di bawah pimpinan Walfret Hermanszoon tiba di Ternate. Dari tokoh-tokoh di atas, kita tahu bahwa salah satunya Steven van der Haghen adalah penakluk kota Ambon. Di bawah pimpinan orang ini, benteng Portugis di Ambon ditaklukan dan diganti namanya menjadi Victoria. Penaklukan kota Ambon ini terjadi pada 23 Februari 1605. Saat mengadakan perjalanan inilah, ia mengumpulkan “seluruh kenangan” dan menyurat ke para direktur VOC di Belanda. Dalam surat-surat itu, ia mencatat nama tempat yang pernah ia kunjungi atau “lewati” atau ia tahu. Salah satu suratnya yang bernomor 1063f 50r 1064f 202r 1068f 254v, ia menulis tentang Liasser atau Lijasser. Surat-surat ini dikumpulkan dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Tiele.

Selanjutnya seluruh arsip bangsa barat selalu menyebut daerah ini licer/liasser/lijasser dalam arsip-arsip mereka. Yang pasti adalah menurut Antonio Martha, bahwa kata “Licer” adalah merujuk pada pulau Saparua sendiri, bukan pada kawasan “Lease” yang kita kenal sekarang, yang terdiri dari 3 pulau. Faktanya ia merinci, 3 pulau itu dengan nama sendiri-sendiri dalam suratnya. Dalam suratnya, ia menyebut kata Licer adalah Saparua, Ruselao adalah Nusalaut dan Omo adalah Haruku. Menurut legenda, nama “asli” pulau Nusalaut adalah Nusahaluwano sedangkan nama asli pulau Haruku adalah Omo yang berarti “bundar”. Dalam diari Rumphuijs tentang tsunami Ambon di tahun 1674, ia merinci daerah-daerah yang terkena dampak tsunami, salah satunya adalah Honimoa (Saparua), selain itu Nusa Laut dan Oma (Haruku). Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa istilah “Lease” untuk menyebut kawasan 3 pulau ini muncul belakangan, bukan pada mulanya.

Jadi bagaimana perubahannya hingga kita kenali sekarang? Mari kita telusuri berdasarkan data.

Dari sumber-sumber Portugis maupun Belanda, kita tahu bahwa kata “Lease” bukan dinamai oleh mereka, tapi telah ada sebelum mereka tiba. Faktanya saat mereka tiba, dan mendeskripsikan pulau-pulau mereka langsung menyebut dalam arsip-arsip mereka, hal ini ditunjukan oleh Antonio Martha (Portugis) maupun Steven van Der Haghen (Belanda). Jika begitu, berarti apa sebenarnya arti dari “Lease”? dari sumber-sumber, kita tidak tahu dengan persis apa arti kata ini.

Menarik jika kita membaca artikel dari, Jacob W. Ajaiwaila yang berjudul “Orang Ambon dan Perubahan Kebudayaan”. Dalam artikel itu ia mengutip kajian J.P. Duyvendak yang berjudul Het Kakean Genotschaap van Seran terbitan Drukkeriij. N.V.W Hilarius Wzn Almelo tahun 1926. Duyvendak menulis tentang mitos yang menceritakan bahwa penduduk asli Ambon dan pulau-pulau sekitarnya berasal dari Nunusaku, sebuah gunung di pulau Seram, tempat tumbuh sebuah pohon beringin yang mempunyai 3 cabang/dahan. Di tempat itu hidup 3 orang kakak beradik, ketika air bah meluap, mereka bertiga memencar sesuai arah 3 cabang/dahan pohon beringin dan mengikuti aliran sungai Eti, Tala dan Sapalewa. Kakak tertua menurunkan kelompok ulisiwa, adiknya menurunkan kelompok ulilima sedangkan yang bungsu menurunkan kelompok uliasa. Kajian ini juga sejalan dengan Encyclopaedie van Nederlandsche-Indie terbitan Grevenhage-Leiden tahun 1917-1939 karangan J. Paulus. Dalam ensiklopedia, dalam penjelasan terma uli, ada pembagian yaitu oelisiwa, oelilima dan oeliassers. Ensiklopedia ini merupakan salah satu referensi dari ratusan referensi lain yang digunakan oleh Marc Koijmans dan Judith Schooneveld-Oosterling untuk menyusun VOC Glosarium (tahun 2000) yang berisikan vocabulary/kata-kata yang biasa digunakan/telah familiar pada abad XVI-XIX oleh VOC saat berkorespendensi dengan daerah-daerah vassal di Asia Tenggara.

Dari penjelasan Ajaiwaila, Duyvendak maupun Paulus, kita memahami bahwa ada 3 uli yaitu Ulisiwa, Ulilima dan Uliasa/uliaser. Di kepustakaan lain, kita hanya mengenal ulisiwa dan ulilima, sedangkan uliasa/uliaser seperti “terhapus”.

Jika begitu, tepatnya apa itu uliasa/uliaser/licer/lijasser/liasser? Apa artinya kata ini…..?

Kata “Licer” agak mirip dengan kata bahasa Inggris yaitu kata “Lesser” yang berarti kecil atau minor. Dalam geografi kata ini biasa digunakan untuk menamai daerah yang kecil misalnya Asia Lesser atau Asia Kecil/Asia Minor, atau Sunda Lesser atau Sunda Kecil. Kata Sunda Lesser biasa muncul dalam arsip-arsip Belanda saat menceritakan tentang ekspansi Sultan Baabulah untuk memperluas kerajaan Ternate di masa jayanya pada tahun 1575-1583. Salah satu daerah yang ditaklukkan adalah Sunda Lesser yang kita kenal sebagai daerah Bali, NTB dan NTT sekarang.

Jika kita bisa “menerima” mitos yang dikaji oleh Duyvendak tadi, maka makna kata Uliasa bisa dihubungkan dengan kata “Lesser” yang berarti kecil. Bukankah kata uliasa bisa dihubungkan dengan kata “bungsu” dalam mitos, yang juga bisa diartikan sebagai “kecil/paling kecil”?

Jadi mungkin, saat bangsa barat tiba, kata Uliasa telah ada dan mereka tinggal menyebutnya, atau saat mengeksplorasi daerah ini, mereka “menyebutnya” berdasarkan pada pemahaman geografis yang mereka miliki. Jadi mungkin Uliaser berarti “uli kecil” atau persekutuan kecil.

Kedua pengertian ini memiliki kesejajaran yang sama dan bisa dihubungkan dari aspek mitos maupun pengertian gramatikal.

Pengertian Uliaser sebagai “uli kecil” juga bisa dipahami dalam konteks penaklukan Sultan Baabulah. Saat Sultan Baabulah naik tahta dan melancarkan ekspansinya, ia berusaha menaklukan pulau Saparua. Itu berarti sebelum  masa Baabulah itu, pulau Saparua adalah daerah bebas atau “merdeka”, bukan dibawah taklukan kerajaan lain. Ini bisa dipahami karena, dimasa itu ada kerajaan Iha di pulau Saparua, yang kedudukannya “sederajat”. Dari konteks ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa uliasa/licer/lijasser/liasser adalah semacam “uli kecil” atau “daerah non blok” yang bukan di bawah “pengaruh ulisiwa atau ulilima”. Mungkin dari sini, pulau Saparua disebut uliasa/licer/lijasser/liasser.

Penyebutan “kawasan” ini sehingga disebut liasser/licer/uliasa/lijasser juga bisa disebabkan dari pemahaman morfologis maupun kondisi geografis oleh bangsa barat. Mungkin saat mengetahui daerah ini, mereka “menyebut” berdasarkan pengetahuan mereka tentang geografis suatu lokasi. Apapun alasannya, kedua alasan ini saling menguatkan satu dengan yang lain.

Lalu, bagaimana istilah “Lease” yang awalnya nama “eksklusif” buat pulau Saparua bisa berkembang menjadi nama untuk “kawasan segitiga bermuda” ini? Yang pasti bahwa istilah “licer” yang disampaikan oleh pastor Antonio Martha khusus ditujukan hanya kepada pulau Saparua bukan kepada yang lainnya. Sumber-sumber belakangan barulah menyebut “lease” untuk kawasan ini, meski terkadang juga menyebut nama sendiri-sendiri. Seperti yang ditujukan oleh beberapa sumber belakangan, contohnya oleh Steven van der Haghen. Ia menyebut kawasan ini liasser/lijasser tanpa menjelaskan/merinci pulau mana yang ia maksud. Mungkin yang ia maksud adalah kawasan 3 pulau ini. Jadi penyebutan ini lebih kepada “efisiensi” dalam laporan, maksudnya daripada harus menyebut satu demi satu, lebih praktis jika ia hanya menyebut nama “himpunan”.

Kebiasaan ini akhirnya “dilanjutkan” oleh generasi berikutnya yang lebih suka menyebut kawasan ini sebagai liasser/lijasser atau oeliaser. Hal ini bisa ditujukan dengan berbagai arsip yang muncul belakangan yang sering menyebut kawasan ini sebagai uliaser/oeliaser. Demi efisiensi dan kepraktisan sebuah laporan, maka penamaan sebuah kawasan lebih familiar jika digunakan nama suatu himpunan daripada memerinci satu persatu, meskipun terkadang ada juga yang terperinci saat menyebut Saparua, Haruku dan Nusalaut. 

Kata Lease yang kita kenal sekarang, lahir dari “pemotongan” kata yang umum terjadi oleh orang Maluku, dari kata uliasa à licer à liasser/lijasser à lease.    

 

PENUTUP

Nama merupakan sebuah identitas kebanggaan yang diberikan orang tua kepada anak yang dikasihinya. Nama yang diberikan pastilah memiliki arti, alasan dan harapan buat sang anak kedepannya. Memahami sejarah nama “Saparua” dan “Lease” yang panjang, haruslah dimaknai bukan hanya dari perspektif kesejarahan semata, tapi juga dari berbagai aspek yang melingkupinya, aspek filosofis, sosial, ekonomi dan lain-lain. Semoga pemaknaan itu bisa dipahami oleh generasi sekarang untuk lebih peduli dan cinta kepada daerahnya. Bukan hanya cinta, tapi juga memiliki rasa memiliki dan bergerak untuk membangun “kawasan tua” ini. Kawasan ini bisa dibilang kawasan “tertinggal” jika dibandingkan dengan kawasan lain yang “lahir belakangan, padahal kawasan ini dikenal sebagai kawasan penghasil SDM dan “otak” dari kemajuan provinsi Maluku dewasa ini. Tidak berlebihan jika dibilang bahwa karena orang Lease-lah, semua daerah lain memiliki pengetahuan. Sejarah dan fakta telah mengajarkan, karena orang Lease-lah, guru-guru jemaat asal Lease-lah yang jadi ujung tombak dalam semua aspek terhadap kawasan lain. Hampir dimana saja, jika dicermati selalu ada orang Lease hanya dengan menyebut nama keluarganya (faam/marga), orang telah tahu dan langsung mengidentifikasi bahwa orang itu asal Saparua, asal Nusalaut atau asal Haruku.

Artikel ini hanyalah sebuah pengantar terhadap sebuah tema “besar” dan yang namanya penafsiran pastilah bukan akhir dari sebuah pernyataan. Dengan memahami itu, maka penulis menyadari bahwa inipun bukan pernyataan yang sepenuhnya harus benar, karena itu perlu dikritisi lebih jauh. Maka tentunya lebih baik, jika ada yang “memperbaikinya” dengan menggunakan sumber-sumber baru yang bisa diperiksa atau diuji silang. Itu kegunaan yang diperlukan daripada penyajian atau tanggapan yang hanya berdasarkan pada opini tidak berdasar atau tidak memiliki sumber referensi.

Yang pasti, bahwa artikel ini adalah usaha penulis dengan pemahaman yang terbatas untuk “mengulik” tema ini. Ini juga bentuk dari rasa cinta yang mendalam terhadap negeri, pulau dan kawasan tua ini, negeri Saparua, pulau Saparua dan Uliasa/Liaser/Lijasser/Licer.

 

Daftar bacaan:

i.       A History of Christianity In Indonesia  oleh Jan Aritonang dan Karel Steenbrink

ii.    Nusantara dalam catatan-catatan orang Tonghoa (edisi bahasa Indonesia) oleh W.P. Groeneveldt

iii.  Gadjah Mada oleh Agus Aris Munandar

iv.   Menuju Puncak Kemegahan (sejarah kerajaan Majapahit) Oleh Prof Slamet Muljana

v.      1421 : saat China menemukan Dunia oleh Gavin Mensies

vi.   Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC  oleh  Leonard Blusse

vii. Sejarah kepulauan rempah-rempah oleh M. Adnan Amal

viii.   The World of Maluku : eastern in Indonesia in the early modern period  oleh Leonard Y Andaya

ix.        Sejarah Indonesia modern 1200-2004   oleh M.C. Rickleffs

x.          Documenta Malucensia (3 vol) oleh Hubert.S.J. Jacobs (editor) 1974-1980

xi.         Berbagai artikel yang berhubungan dengan isi tulisan

3 komentar:

  1. Luar biasa panjaaaang. Bravo atas kerja keras penulis mencari dan merangkum sejarah nama saparua.

    BalasHapus
  2. Dellas Sildon Manuputty24 Mei 2020 pukul 08.20

    Mantap paskali. Pengetahuan bertambah e... Sukses untuk penulis. Menarik paskali.

    BalasHapus
  3. Salut sih sama penuturan sejarahnya yang lengkap. Mantaplah. Jarang dapat ringkasan sejarah Maluku khusus nya pulau saparua ang lengkap dan lugas seperti ini. Namun, sumber sejarah seperti blog-blog tidak mesti dijadikan patokan dari sebuah kesimpulan. Karna jujur saya juga pernah buat blog sejarah negeri. Dan itu murni hasil googling yang saya olah sebagian besar kalimat dan paragraf nya agar mudah dimengerti. Terbayang tidak, artikel itu pasti sudah 100% tidak asli yang kemudian dijadikan acuan dan disimpulkan? Ohiya, saya aktif di blog waktu kelas 1 SMA, dan sampai sekarang kadang ikut menyesal melihat beberapa artikel yang juga merujuk ke blog saya. Wkwk. Tapi blog nya sudah saya hapus sih.

    BalasHapus