SOALANDA SAPAROEA
Soalanda. Ya, para tetua Saparua terdahulu menyebutnya dengan nama itu,
hingga kini kami pun menyebutnya demikian. Kawasan yang menjadi pemukiman warga
keturunan Belanda, berlokasi di Kota Saparua, berada tepat di petuanan/dati
milik Soa Pelatu (Titaley) yang diperuntukkan atau di “tukar guling” kepada
mereka (?). Di
kawasan Soalanda ini, dahulunya berdiri gedung-gedung besar bertiang tinggi
mengikuti arsitektur Eropa semisal gedung Saparoea Lagere School (SDN 2 Saparua
- sekarang), Saparoea Residente Sectie (Kantor Kecamatan Saparua - sekarang),
Residenhuis (Rumah Residen/Rumah Camat – sekarang), Saparoea Landraad Afdeling
(Kantor Pengadilan Negeri), Rumah-rumah warga keturunan dan lain sebagainya. Kawasan elite ini dihuni
oleh warga kelas satu pada masa itu, karena lokasi pemukiman yang tidak
seberapa jauh atau masih satu kawasan dengan Benteng Duurstede, Soalanda pun
sangat mudah diawasi oleh serdadu-serdadu Belanda yang memberikan perlindungan
dan pengawasan ketat terhadap aset-aset pemerintah Kolonial Hindia Belanda,
pada masa itu.
![]() |
Kantor Kontroliir Saparoea (Kawasan Soalanda) |
Kawasan Soalanda yang didominasi oleh orang-orang Eropa
(kulit putih) tentunya tak bisa lepas dari interaksi sosial yang intens dengan
pribumi Saparua, “perjumpaan-perjumpaan”
itu lalu melahirkan keturunan-keturunan Indo Belanda Saparua atau
disebut Kaum Burgers/Mestizo. Kawasan dengan kaum Burgers/Mestizo yang ada di
dalamnya kemudian dinamai dan dikelompokkan oleh Para Tetua Negeri Saparua
menjadi “Soa/Rumatau” berdasarkan genetik/ras yang sama dengan nama
“SOALANDA/SOA WALANDA/SOA BELANDA”.
Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda tahun 1854 yang menyamakan beragam kelompok penduduk asli di Nusantara
kala itu, terutama untuk tujuan diskriminasi sosial. Selama masa pemerintahan,
Kolonial Belanda menanamkan sebuah rezim segresi/pemisahan rasial 3 tingkat
berdasarkan status/kelas sosial yaitu :
1.
Ras kelas pertama :
Europeanen/Eropa (kulit putih) yang
meliputi orang Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris dan lain-lain
2.
Ras kelas kedua :
Vreemde Oosterlingen/Timur Asing yang meliputi orang Tionghoa/China, Arab,
India dan Non Eropa lainnya.
3.
Ras kelas ketiga :
Inlander/Pribumi/Penduduk Asli setempat.
Akibat dari rezim segresi/pemisahan rasial oleh
pemerintah Kolonial Belanda maka timbulah status/kelas sosial yang membedakan
dan juga memisahkan pemukiman tempat tinggal warga kelas satu/elite/eropa,
warga kelas dua/timur asing dan kelas tiga/pribumi. Beberapa contoh pemukiman
warga kelas satu/elite/eropa di Maluku yang rata-rata berdekatan/satu kompleks
dengan benteng pertahanan semisal Soalanda di Kota Saparua berdekatan dengan
Benteng Duurstede, Harukuij di Negeri Haruku berdekatan/satu komplek dengan Benteng
Nieuw Zeelandia, Mardijkers/Mardika di Kota Ambon berdekatan dengan Benteng
Victoria dan lain sebagainya. Dari kawasan Soalanda ini pula yang kemudian
melahirkan keturunan-keturunan bermarga Belanda/Eropa di Saparua.
“Abrahams, Adriaansz/Adriaans, Bernard, de Fretes, de
Haas, de Lima, de Sirat, Engel,
Engelberth, Gaspersz, Hengstz, Hermans, Hogendorp, Jozef/Joseph,
Laurens, Meijer/Meyer, Pietersz/Pieters, Ramschie, Rhijbok/Rhebok, Rooij/Rooy, Sichers/Siegers,
Sourbag/Sourbeck, Thijssen/Thyssen dan Van den Berg.”
![]() |
John Thyssen (Burgers Soalanda Saparoea) |
Setelah era kemerdekaan pada tahun 1945-1950an, masa di
mana pemerintah Kolonial Hindia Belanda harus menyerahkan wilayah kedaulatan
Nusantara ke tangan pemerintah Republik Indonesia yang telah resmi
memproklamirkan diri sebagai bangsa merdeka, dan secara sah diakui oleh dunia
Internasional. Hal itu membuat banyak warga keturunan melakukan eksodus secara
besar-besaran ke Belanda, hanya ada sebagian kecil saja yang memilih menetap
dan beranak pinak di Indonesia. Hal yang sama dialami juga oleh pribumi dari suku
Maluku, Minahasa, Jawa dan lainnya yang berdinas di Konenklijk Nederlands
Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang tidak mau
berafiliasi/bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sehingga banyak
dari bekas-bekas serdadu ini bersama keluarganya memilih diberangkatkan dengan
kapal menuju Camp Penampungan di Belanda. Namun ada juga sebagian bekas serdadu
KNIL yang memilih untuk menetap di tanah kelahiran mereka dan bergabung dengan
TNI. Bekas-bekas serdadu dan warga keturunan Belanda yang memilih menetap
kemudian bersama warga kelas dua (Tionghoa/China, Arab, India dan Non Eropa
lainnya) serta warga kelas tiga (Pribumi) menjadi bagian dari Warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber:
1.
Catatan Sejarah Negeri
Saparua
2.
Pieter. H. van der Kemp
dalam bukunya : Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817
yang terbit tahun 1911.
3.
DS (Dictus – Pendeta)
Steven Adriaan Buddingh dalam bukunya (hlm 196-197), yang terbit di Amsterdam
tahun 1857 :“Nederlands Oost-Indie Reizen Over Java, Makasar, Madura, Selayar,
Ambon, Haroeko, Saparoea, Noesalaut
4. Wikipedia (Ensiklopedia Bebas)