SOALANDA SAPAROEA
Soalanda. Ya, para Tetua Saparua
terdahulu menyebutnya dengan nama itu, hingga kini kami pun menyebutnya
demikian. Kawasan yang menjadi pemukiman warga keturunan Belanda, berlokasi di Kota Saparua, berada tepat di
petuanan/dati milik Soa Pelatu (Titaley) yang
diperuntukkan atau di “tukar guling”
kepada mereka (?) Di kawasan Soalanda ini, dahulunya berdiri gedung-gedung
besar bertiang tinggi mengikuti arsitektur Eropa semisal gedung Saparoea
Lagere School (SDN 2 Saparua - sekarang), Saparoea
Residente Sectie (Kantor Kecamatan Saparua - sekarang), Residenhuis (Rumah Residen/Rumah Camat –
sekarang), Saparoea Landraad Afdeling (Kantor Pengadilan Negeri), Rumah-rumah
Warga Keturunan dan lain sebagainya. Kawasan elite ini dihuni oleh
warga kelas satu pada masa itu, karena lokasi pemukiman yang tidak seberapa
jauh atau masih satu kawasan dengan Benteng Duurstede, Soalanda pun
sangat mudah diawasi
oleh serdadu-serdadu Belanda yang memberikan perlindungan dan pengawasan ketat
terhadap aset-aset pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pada masa itu.
Kantor Kontroliir Saparoea (Kawasan Soalanda) |
Hal ini dikonfirmasi oleh Pieter. H. van der Kemp dalam bukunya
: Het herstel van het Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817 yang terbit
tahun 1911. Van der Kemp menulis :
Aan
de noordzijde aanschouwt men de hoofdplaats Saparoea met fort Duurstede. Schilderachtig
doet zij zich voor van de reede gezien lezen wij vooral door het op eene
kalkrots gebouwde steenen fort Duurstede. Duizenden klapperpalmeu en andere
vruchtboomen overschaduwen de woningen, welke meer van het middelpunt der
hoofdplaats zijn verwijderd. Enkele op europeesch-indische wijze gebouwde
huizen, onder welke het residentiehuis het voornaamste is, strekken zich achter
het fort uit, langs eene breede straat, in eene lijn, nagenoeg evenwijdig aan
het strand achter deze rei huizen liggen nog eeuige min of meer op europesche
wijze gebouwde huizen, bewoond door mestiezen of burgers (hlm. 469).
(terjemahan “garis besarnya” : Di Negeri
Saparua terdapat Benteng Duurstede di sekitarnya terdapat beberapa rumah orang Indo
Eropa yang berdekatan dengan rumah Residen yang menuju ke arah benteng.
Rumah-rumah tersebut adalah milik Kaum Burger atau Mestizo)
Hal mana juga dicatat oleh DS (Dictus – Pendeta) Steven Adriaan Buddingh dalam bukunya (hlm 196-197), yang
terbit di Amsterdam tahun 1857 : “Nederlands Oost-Indie Reizen
Over Java, Makasar, Madura, Selayar, Ambon, Haroeko, Saparoea, Noesalaut”
Negeri Saparua, diperintah oleh
seorang Raja, yang berpenduduk kira-kira 1400 Jiwa. Negeri Saparua adalah
negeri yang “lumayan” luas dan terbuka. Cukup banyak tempat yang “kosong” dan
“dipenuhi” banyak pohon kelapa, membuat negeri itu nyaman dan sejuk.
Negeri Saparua memiliki beberapa
jalan utama yang lebar dan panjang, serta membentang dari barat ke timur “di
sepanjang” teluknya. Masih ada juga jalan lain, yang membentang kearah utara,
dan saling “berpotongan”.
Sebagian besar rumah, bergaya
Eropa, yang bertembok batu, tapi ada juga rumah yang hanya dari bambu atau
gaba-gaba.
Dari Rumah Asisten Residen
Saparua (di masa itu, pemimpin Saparua dan Haruku disebut Asisten Residen dan
berpusat di Negeri Saparua), terlihat ada bangunan batu di tepi teluk, itulah
Benteng Duurstede, yang di tahun 1691 dibangun oleh Nicolaas Schagen, Gubernur
VOC Ambon (1691 – 1696). Di samping benteng itu, terdapat sebuah gudang cengkih
yang besar. Kantor Asisten Residen (Kantor Pemerintahan) terletak di bagian
barat dari rumah “dinas” Asisten Residen dan jalannya menuju ke Negeri Tiouw
yang terhubung dengan Negeri Saparua.
Di jalan yang “terhubung” itulah,
di sekitarnya terdapat gereja dan sekolah, yang bangunannya seperti
“menyatukan” kedua negeri itu.
Gereja itu pada tahun 1802
dibangun untuk menggantikan gereja yang berada di sekitar benteng, dan
merupakan salah satu bangunan paling indah di Pulau Saparua, selain gereja yang
berada di Negeri Waai (Ambon), Siri Sori Kristen, Haria dan Porto. Jumlah
penduduk Kristen di dua negeri itu berjumlah 1616 jiwa, termasuk 610 anggota
sidi gereja dan 800 anak-anak.
Jumlah orang bebas
(burger/borgor) yang beragama Kristen 1256 jiwa. Keturunan orang Eropa hanyalah
sebagian kecil saja, bahkan lebih kecil dari populasi orang pribumi.
Jumlah anak-anak sekolah yang
tercatat berjumlah 203 siswa yang dipimpin dan dididik oleh seorang Guru
Sekolah atau Guru Keliling.
Kawasan Soalanda yang didominasi
oleh orang-orang Eropa (kulit putih) tentunya tak bisa lepas dari interaksi sosial
yang intens dengan pribumi Saparua, “perjumpaan-perjumpaan” itu lalu melahirkan
keturunan-keturunan Indo Belanda Saparua
atau disebut Kaum Burger/Mestizo. Kawasan dengan kaum Burger/Mestizo yang ada di dalamnya
kemudian dinamai dan dikelompokkan oleh Para
Tetua Negeri Saparua menjadi “Soa/Rumatau” berdasarkan genetik/ras yang
sama dengan nama “SOALANDA/SOA WALANDA/SOA BELANDA”.
Berdasarkan Undang-Undang
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tahun 1854 yang menyamakan beragam kelompok
penduduk asli di Nusantara kala itu,
terutama untuk tujuan diskriminasi sosial. Selama masa pemerintahan, Kolonial
Belanda menanamkan sebuah rezim segresi/pemisahan rasial 3 tingkat berdasarkan
status/kelas sosial yaitu :
1.
Ras
kelas pertama : Europeanen/Eropa (kulit
putih) yang meliputi orang Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris dan
lain-lain
2.
Ras
kelas kedua : Vreemde Oosterlingen/Timur
Asing yang meliputi orang Tionghoa/China, Arab, India dan Non Eropa lainnya.
3.
Ras
kelas ketiga : Inlander/Pribumi/Penduduk
Asli setempat.
Akibat dari rezim
segresi/pemisahan rasial oleh pemerintah Kolonial Belanda maka timbulah
status/kelas sosial yang membedakan dan juga memisahkan pemukiman tempat
tinggal warga kelas satu/elite/eropa, warga kelas dua/timur asing dan kelas
tiga/pribumi. Beberapa contoh pemukiman warga kelas satu/elite/eropa di Maluku
yang rata-rata berdekatan/satu kompleks dengan benteng pertahanan semisal Soalanda di Kota Saparua
berdekatan dengan Benteng Duurstede, Harukuij di Negeri Haruku
berdekatan/satu komplek dengan Benteng
Nieuw Zeelandia, Mardijkers/Mardika di Kota
Ambon berdekatan dengan Benteng Victoria
dan lain sebagainya. Dari kawasan Soalanda ini pula yang kemudian melahirkan keturunan-keturunan
bermarga/famillie nama Belanda/Eropa di Saparua.
“Abrahams, Adriaansz/Adriaans, Bernard, de
Fretes, de Haas, de Lima, de Sirat, Engel, Engelberth, Gaspersz, Hengstz,
Hermans, Hogendorp, Jozef/Joseph, Laurens, Meijer/Meyer, Pietersz/Pieters, Ramschie,
Rooij/Rooy, Sichers/Siegers, Sourbag/Sourbeck, Thijssen/Thyssen dan
Van den Berg”
John Thyssen (Burgers Soalanda Saparoea) |
Setelah era kemerdekaan pada tahun 1945-1950an, masa di mana
pemerintah Kolonial Hindia Belanda harus menyerahkan wilayah kedaulatan Nusantara
ke tangan pemerintah Republik Indonesia yang telah resmi memproklamirkan diri
sebagai bangsa merdeka, dan secara sah diakui oleh dunia Internasional. Hal itu
membuat banyak warga keturunan melakukan eksodus secara besar-besaran ke
Belanda, hanya ada sebagian kecil saja yang memilih menetap dan beranak pinak di
Indonesia. Hal yang sama dialami juga oleh pribumi dari suku Maluku,
Minahasa, Jawa dan lainnya yang berdinas di Konenklijk Nederlands Indisch
Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL)
yang tidak mau berafiliasi/bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
sehingga banyak dari bekas-bekas serdadu ini bersama keluarganya
memilih diberangkatkan dengan kapal menuju Camp Penampungan di Belanda. Namun
ada juga sebagian bekas serdadu KNIL yang memilih untuk menetap di tanah
kelahiran mereka dan bergabung dengan TNI. Bekas-bekas serdadu dan warga
keturunan Belanda yang memilih menetap kemudian bersama warga kelas dua (Tionghoa/China,
Arab, India dan Non Eropa lainnya) serta warga kelas tiga (Pribumi) menjadi
bagian dari Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber:
1.
Catatan Sejarah Negeri
Saparua
2.
Pieter. H. van der Kemp dalam bukunya : Het herstel van het
Nederlandsch gezag in de Molukken in 1817 yang terbit tahun 1911.
3. DS (Dictus – Pendeta) Steven Adriaan
Buddingh dalam bukunya (hlm 196-197), yang terbit di Amsterdam tahun 1857 :“Nederlands
Oost-Indie Reizen Over Java, Makasar, Madura, Selayar, Ambon, Haroeko,
Saparoea, Noesalaut
4.
Wikipedia (Ensiklopedia
Bebas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar