oleh:
Richard Chauvel
Richard Chauvel
Richard Harry Chauvel |
- Kata Pengantar
RMS mungkin adalah terminologi “traumatis” buat
orang Ambon–Lease, sejak gerakan separatis itu ditumpas hingga era digital
ini. Masih sejelas matahari, di saat kami (penerjemah) masih nai-nai badang (akil balig), setiap tanggal 24 April, selalu saja isu soal RMS ini menjadi “viral”
dan menakutkan. Pasti ada yang berjaga-jaga, ronda keliling dengan tujuan agar
“pelangi raja” tidak boleh berkibar. Jika kepingan cerita masa kecil itu
diceritakan dan dipahami di jaman ini,
itu seperti cerita yang aneh... paranoid pada sepotong kain dengan 4 warna.
Namun begitulah era represif di masa Orde Baru.
Di masa orde baru itu juga, dalam dunia akademis,
seorang Richard Harry Chauvel asal Australia menulis suatu disertasi untuk
gelar Ph.D-nya dengan judul Indonesia
Merdeka! Ambon Merdeka? : A Modern Social and Political History of the Ambonese
Islands pada tahun 1984. Sebuah disertasi yang ditulis dengan “indah” dan “membuka” mata serta
hati. Dieter Bartels dalam bukunya, juga memuji disertasi Chauvel dengan
menyebut bahwa Chauvel mengemukakan pendapat paling obyektif terhadap sejarah
sosial politik orang-orang Ambon yang menjadi “background” dari peristiwa RMS
itu.
1 tahun setelah disertasi itu rampung, Chauvel
menulis artikel dengan judul Ambon :
Not a Revolution but a Counterrevolution. Bersama dengan artikel-artikel
lain dari beberapa penulis misalnya Robert Cribb, Barbara S Harvey, Audrey R
Kahin, dikumpulkan dan di editori oleh Audrey Kahin diterbitkan dengan judul
besar Regional Dynamics
of the Indonesian Revolution : Unity to Diversity. Artikel itu ada pada halaman 237 – 264, dengan isi artikel sebanyak 25
hal, 38 catatan kaki. 6 tahun setelah disertasinya rampung, disertasinya itu
dibukukan dengan berbagai revisi dan diberi judul Nationalists, Soldiers and Separatists : The Ambonesse Island from
the colonialism to revolt (1880 -1950) dan diterbitkan oleh
KITLV Press di Leiden Belanda.
Artikel Chauvel yang berbahasa Inggris itulah yang
kami terjemahkan. Kami memberanikan diri untuk menerjemahkannya, karena merasa
perlu untuk diketahui dan dibaca banyak orang. Artikel ini bisa dianggap
semacam “abstraksi” dari isi disertasi Chauvel sendiri. Ada banyak informasi soal kondisi sosial politik,
pergulatan ide antara kaum loyalis dan kaum nasionalis, “pertengkaran” tentang
status kaum tradisional yang merasa terancam posisinya dengan munculnya
generasi baru yang ingin “bebas” sebagai latar belakangnya. Hal-hal inilah yang
tidak kita temukan saat kita belajar sejarah di bangku sekolah dalam konteks
pemberontakan RMS.
Dengan pemahaman “kesejarahan” itulah kami merasa
perlu untuk menerjemahkan artikel itu. Kita perlu mengetahui dan memahami “suasana
batin” orang-orang Ambon pada awal abad 20 itu. Kita perlu memahami gengsi,
status dan kuasa kaum adat yang disimbolkan lewat para raja pada satu sisi, dan
juga harus memahami jiwa “berontak” intelektual muda orang-orang Ambon yang
ingin “merdeka” pada sisi yang lain. Jika kita bisa memahami “sejarah sosial”
itu, mungkin kita bisa lebih “netral” dan minimal bisa “mengobati” luka
traumatis itu. Seperti kata Richard Chauvel sendiri saat menghadiri seminar
yang membahas bukunya di Ambon tahun 2016 lalu.... “Saya yakin mungkin banyak orang tidak
terlalu setuju dengan apa yang saya tulis. Itu tak penting bagi saya. Yang
penting, saya telah memberi inspirasi dan mendorong perdebatan mengenai sejarah
masyarakat itu sendiri,"
Pada tahun 1990 buku yang dieditori oleh Kahin itu
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Pergolakan Daerah pada Awal
Kemerdekaan dan diterbitkan oleh Grafiti Press Jakarta. Meski
begitu, terjemahan yang sekarang dibaca ini bukanlah copy paste dari edisi terjemahan itu, ini merupakan terjemahan kami sendiri, lagipula
kami belum memiliki buku itu apalagi
membacanya.
Seperti yang disebutkan bahwa artikel asli Chauvel
ditulis pada tahun 1985, itu berarti telah 34 tahun lalu. Maka pada terjemahan
ini, kami tambahkan beberapa catatan tambahan yang kami tandai dengan huruf. Hal
ini perlu kami tambahkan untuk melengkapi dan ada tambahan informasi yang kami
rasa perlu. Selain itu, kami juga tambahkan beberapa foto untuk “mewarnai”
artikel ini, karena pada artikel aslinya hanya ada 1 gambar yaitu peta.
Akhirnya, selamat membaca... selamat
menikmati... semoga kita bisa bersejarah dengan lebih baik, dengan tidak
gampang memvonis... dengan lebih bermartabat!
- Terjemahan : oleh Kutu Busu
(Sebenarnya) tidak ada suatu revolusi di Ambon
dalam berbagai pengertian yang secara terminologi
umumnya dipahami dalam konteks keIndonesiaan. Tidak ada perlawanan fisik untuk memperoleh kemerdekaan dari Belanda,
juga tidak ada pengulangan kekerasan pada tatanan sosial orang-orang Ambon
dalam tahun-tahun setelah kekalahan Jepang. Agaknya, hanya ada usaha percobaan
“pemberontakan” berdarah dan sengit yang dilakukan oleh pihak RMS (Republic of
South Moluccas – Republik Maluku Selatan) untuk mencegah Ambon “jatuh” dibawah otoritas Pemerintah Baru
Indonesia, hanya 4 bulan setelah proses penyerahan kekuasaan secara formal dari
Belanda pada Desember tahun 1949. Aksi ini bisa dianggap sebagai tindakan
mendahului suatu kontrarevolusi, suatu koalisi yang kuat antara pihak tentara,
anggota kaum elit tradisional dan pejabat-pejabat sipil – pewaris utama dari
sistim kolonial pada masyarakat Ambon – yang mencoba untuk memotong “relasi”
mereka dengan pihak Indonesia serta mengembalikan proses perubahan sosial selama 3 dasawarsa. Daya dorong dari proses ini, “dibentuk” oleh
otoritas kaum elit tradisional dan pihak tentara serta para pejabat yang
terisolasi, yang takut pengaruh mereka akan hilang, jika otoritas pemerintah
Indonesia berkuasa dengan kuat di Ambon.
Tahun-tahun setelah berakhirnya perang, umumnya
dilihat sebagai latar belakang menuju aksi RMS. Perhatian hanya terfokus pada
soal separatisme dan regionalisme daripada suatu revolusi - pada hubungan wilayah-wilayah dengan wilayah
lain Indonesia dan kekuasaan kolonial daripada perkembangan sosial politik
dalam masyarakat. Kajian ini mencoba untuk menyeimbangkan serta memperhatikan
kemiripan di antara pola-pola perubahan sosial yang “tersembunyi” dan
lingkungan politik di Ambon dan wilayah-wilayah lain di Nusantara (Indonesia). Sebagai salah satu wilayah yang dianggap
sebagai bagian paling tua dan paling “setia” dari Hindia Belanda, di Ambon isu kemerdekaan Indonesia, dan usaha-usaha keterlibatan didalamnya, mendominasi politik lokal sejak periode 1920an. Isu ini berjalin rapat dengan
perlawanan untuk mengontrol masyarakat di antara unsur adat, elit pendukung
Belanda dan kelompok baru, kaum nasionalis dan kaum loyalis pro Belanda, yang
mendasari klaim mereka pada bidang pendidikan dan kemahiran dalam pekerjaan. Karakter
politik kaum nasionalis berakar dalam perubahan struktur sosial dan pengalaman
historis di wilayah itu. Tidak seperti
situasi di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, perlawanan politik untuk kemerdekaan
Indonesia digawangi dalam struktur yang diputuskan oleh Belanda. Setelah masa
okupasi pihak sekutu dalam tahun 1945, wilayah Maluku tertinggal seperti area “bebas”
terhadap kontrol politik dan militer Belanda. Politik lokal beroperasi dalam institusi
federal bentukan Belanda, dan lebih mengejutkan para penciptanya dan banyak
orang Ambon, kaum nasionalis Ambon pro Indonesia mengalahkan pendukung gerakan konservatif dalam pemilihan umum yang
diselenggarakan Belanda, dan menguasai institusi perwakilan lokal. Dari dasar
itu, akan tetapi kaum nasionalis tak mampu memperluas upaya kontrolnya terhadap
seluruh masyarakat. Dalam 4 bulan pertama tahun 1950, mereka menyadari bahwa pertarungan
tidak hanya dengan pendukung loyalis/musuh lama mereka, tetapi juga dengan 2000
tentara Ambon dari kesatuan angkatan
bersenjata kolonial (KNIL). Kedua kelompok ini merasa dikhianati dan
ditinggalkan oleh “cabutnya” pihak Belanda.
Latar Sosial dan
kesejarahan
Kepulauan Ambon di Maluku
Tengah terletak pada bagian timur Nusantara dimana dunia Melayu dan Melanesia
saling menjalin sehingga mengakibatkan wilayah itu secara etnis dan budaya
sangat beragam. Semuanya itu bermula karena
suatu peranan, pertama sebagai entreport
dan selanjutnya sebagai sumber rempah-rempah, sejarah hubungan perdagangan Ambon membawa
gagasan ekonomi dan politik bersama-sama dua dunia keimanan, Islam dan Kristen
yang pada akhirnya menguasai masyarakat Ambon lebih dari 4 abad lamanya. Pulau-pulau
kecil yang berpenduduk jarang, dimana panen
sagu dan perikanan disajikan sebagai makanan pengganti, yang juga bisa
ditinggalkan andai panen cengkih sangat melimpah, seperti juga pohon sagu. Untuk memastikan kepercayaan dan
ketersediaan cengkih yang murah, bangsa
Portugis dan Belanda mempertimbangkan perlu untuk memantapkan kontrol politik
atas seluruh wilayah penghasil cengkih. Nyaris 450 tahun lamanya, Ambon mengalami kontak pertama kali perdagangan
hingga akhirnya didominasi secara politik oleh kaum Eropa. Komunitas Kristen
Ambon merupakan produk dari kontak kaum Eropa seperti komunitas muslim yang
juga produk dari hubungan perdagangan awal dengan orang Jawa, Ternate dan
Makasar.
Pada
dekade akhir pemerintahan Belanda, populasi penduduk di kepulauan Ambon sekitar
65,9% beragama Protestan dan 32,7% beragama Muslim1. Di kota Ambon,
selain orang Ambon Muslim dan Kristen, juga ada orang China dan Arab serta kaum
muslim dari tempat-tempat lain di Nusantara. Di luar kota, dengan sedikit
pengecualian, kaum Muslim dan Kristen Ambon hidup terpisah di masing-masing
negeri (desa) dengan raja dan seniri/saniri negeri mereka
sendiri-sendiri. Dengan pengecualian pada kaum Kristen di pulau Nusa laut,
semua pulau terdiri dari negeri Muslim dan Kristen. Pada periode kolonial, anggota-anggota
seniri negeri memilih seorang raja
dari keluarga raja, meskipun resident Belanda memiliki kekuasaan untuk memveto,
menunjuk dan memecat. Sejak awal, Belanda memerintah suatu negeri melalui Raja.
Pada level di atas negeri, hanya orang-orang Ambon yang bekerja di bidang
administrasi adalah asisten administrasi (bestuur-assistant),
yang diambil dari keluarga-keluarga raja yang menonjol/terkemuka, untuk
membantu pejabat Eropa tingkat terendaha.
Perdagangan
cengkih menurun tajam sejak akhir abad ke-18, dan akibat minimnya keuntungan
yang diperoleh membuat pihak memerintah
menghapuskan sistim monopoli tahun 1864. Setelah itu, meskipun
adakalanya di tahun-tahun yang baik, penduduk-penduduk desa Ambon menyadari
bahwa perdagangan cengkih umumnya merugi dan pertanian mengalami kemunduran dengan cepat. Semua
usaha untuk menciptakan alternatif panen
mengalami kegagalan dan kepulauan Ambon “menderita” ekonomi yang stagnan serta perekonomian
berbasis sagu dibawah tekanan peningkatan populasi2.
Berbarengan
dengan penghapusan sistim monopoli, Belanda memperluas dan mengkonsolidasi
pengawasan mereka atas seluruh kepulauan Nusantara sepanjang akhir abad
ke-19. Ini berarti Belanda memerlukan figur-figur “berkuasa” yang dapat dipercaya dan efektif
untuk angkatan bersenjatanya dan untuk memperluas birokrasi level yang lebih
rendah. Untuk kedua tujuan ini, mereka merekrut sejumlah besar kaum Kristen
Ambon. Pendidikan bergaya barat telah dinikmati oleh kaum Kristen dan
sekolah-sekolah telah ada sejak masa Portugis, namun kesempatan menikmati
pendidikan meningkat pada tahun akhir abad itu. Dekade berikutnya, ribuan orang Ambon Kristen “merantau”
untuk bekerja demi kepentingan Belanda di
bidang sipil dan militer di seluruh Nusantara. Bekerja sebagai kaum tentara dan para juru
tulis mengubah pengalaman kolonial orang Ambon Kristen dari sikap dieksploitasi yang intens dibawah
monopoli rempah-rempah ke perasaan memiliki hak istimewa. Banyak kaum Kristen yang
mempertimbangkan bahwa mereka memiliki hubungan khusus dengan Belanda karena
memiliki agama yang sama , serta pelayanan mereka, khususnya di bidang militer
dalam usaha menaklukan Nusantara.
Kaum
Muslim Ambon tidak dilibatkan dalam pekerjaan
kolonial. Otoritas angkatan bersenjata Belanda tidak merekrut mereka, seperti
yang dilakukan pada kaum Kristen, juga tidak terdapat fasilitas pendidikan di
negeri-negeri Muslim hingga tahun 1920an. Kaum Muslim yang ingin terlibat
dengan jabatan/pekerjaan dan pendidikan haruslah mempertimbangkan untuk
terlebih dulu menjadi Kristen. Bagi
mereka yang tidak mau, bagaimanapun juga, menyisakan tidak terpengaruhnya
perubahan dalam dunia kolonial di sekeliling mereka. Penghapusan monopoli cengkih, yang dibarengi
dengan perbaikan komunikasi, serta kemudahan untuk menghidupkan kembali kontak antar kaum
Muslim Ambon dengan sesama kaumnya di berbagai tempat di Nusantara dan diluar,
membuat mereka “bertemu” dengan dunia
luar, bukan sebagai pelayan kekuasaan kolonial namun sebagai pelaut, para
pedagang dan juga jemah haji. Kontak dengan dunia muslim membawa gagasan baru
ke negeri-negeri orang Ambon, dan selanjutnya menghasilkan perubahan signifikan
dalam bidang agama dan kebiasaan3.
Pengalaman
kaum Kristen dan Muslim Ambon sangat berbeda pada akhir periode kolonial. Kaum
Kristen selalu diidentikan dengan Belanda, berlawanan dengan kaum Muslim yang dicurigai dan tidak
dilibatkan. Kaum Kristin dengan dukungan Belanda dan pendidikan, mendominasi
masyarakat Ambon secara meluas, sehingga banyak “orang luar” mengira Ambon
adalah wilayah Kristen.
Orang
Ambon, khususnya kaum Kristen yang bekerja di luar, diperhadapkan dengan suatu
dilema, oleh berkembangnya gerakan kaum
nasionalis Indonesia. Dikarenakan oleh kelebihan pendidikan mereka, orang-orang
Kristen Ambon adalah diantara orang-orang Indonesia pertama yang “bergerak”
sebagai para juru tulis, para profesional dan kaum tentara yang “terjebak” dalam wilayah abu-abu antara
elit orang Eropa dan masa populasi rakyat pribumi. Mereka cepat menyadari tawaran
peluang melalui peningkatan pekerjaan dan pendidikan serta melalui dukungan dan
perlindungan Belanda, mereka mendirikan organisasi nirlaba pertama yaitu – Ambonsch studiefonds (1909) – untuk
menyediakan beasiswa dan kesempatan bersekolah bagi siswa-siswa Kristen
berbakat4. Pada akhir tahun 1910an, beberapa orang Ambon, seperti anggota
kaum nasionalis Indonesia, mulai menyadari batasan-batasan kerja dalam sistim
dan akhirnya hanya satu solusi untuk menyelesaikannya melalui kemerdekaan
Indonesia dari Belanda. Hal ini khususnya merupakan situasi yang sulit untuk
diterima oleh banyak kaum Kristen Ambon yang menganggap mereka lebih “unggul”
dari kaum nasionalis Indonesia dan menginginkan setara
dengan orang-orang Belanda.
Kaum
nasionalis Ambon mendirikan suatu cabang dari Insulinde ( Partai Nasionalis di Jawa yang dipimpin oleh Douwes
Dekker dan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo) pada tahun 1917 dan Sarekat Ambon pada tahun 1920. Kedua organisasi ini meminta kemajuan
hasil yang besar pada pertumbuhan sosial ekonomi serta menuntut partisipasi
politik bagi rakyat jelata dalam pengaturan urusan mereka sendiri. Akibatnya di
kota Ambon sendiri adalah melalui terlibatnya mereka dalam perselisihan-perselisihan
di negeri-negeri. Setelah penghapusan monopoli cengkih pada tahun 1860,
kekuasaan dan keadaan keuangan para raja menurun tajam, serta meningkatnya
mobilitas penduduk-penduduk negeri di Ambon untuk “mempromosikan” negeri mereka
ke dunia luar. Perselisihan “lama” tentang persaingan klaim individu dan
keluarga dalam hal kepemimpinan suatu negeri segera melanda negeri-negeri. Penduduk kota, kaum berpendidikan dan sebagian
besarnya kaum Kristin, anggota-anggota Insulinde
dan Sarekat Ambon yang berasal
dari “luar” suatu negeri/desa turut “mempermasalahkan” hal kepemimpinan
tersebut, serta menyampaikan keluhan-keluhan dari penduduk negeri-negeri
Kristen dan Islam melalui Raja dan pejabat administrasi rendah asal Belanda. Jadi mereka mengajukan keberatan kepada
Belanda yang mendukung kaum elit adat dalam hal kepemimpinan masyarakat, dimana
Belanda dan pihak Raja-Raja bereaksi dengan keras. Pertama, Belanda mendukung hak Raja dan
pemerintahannya untuk mengusir orang-orang “bermasalah” dari negeri, kedua mengasingkan pemimpin utama kaum nasionalis
dari Ambon. A.J. Patty, ketua Sarekat Ambon diasingkan pada bulan Oktober 1924 dan pengasingannya
ditandai sebagai akhir dari periode “tertutup” dan keberhasilan aktivitas
politik5. Sejak itu hingga
invasi Jepang, kaum nasionalis berada di
pinggiran masyarakat Ambon, terkucil dari penduduk negeri.
Elisa Urbanus Pupella (1910-?) |
Namun,
dalam tahun 1930an Sarekat Ambon bisa
bekerja secara diam-diam dan efektif di kota Ambon dibawah pemimpin baru, E.U
Pupella6/b, yang mendirikan sekolah berjenis Taman Siswa¸yaitu Balai Pendidikan dan selama beberapa tahun
menerbitkan suratkabar mingguan. Pupella
mengumpulkan sekelompok kecil pendukung disekelilingnya yang berasal dari kedua
komunitas agama. Meskipun banyak figur penting adalah kaum Kristen7,
banyak juga dukungan finansial dan organisasitorisnya berasal dari kaum Muslim.
Mereka memiliki kesadaran kuat seperti juga kaum nasionalis Ambon, mereka
menemukan ikatan kuat diluar perbedaan agama dan meyakini masa depan orang
Ambon terletak pada kemerdekaan Indonesia, dimana masyarakat Ambon akan berubah
secara drastis. Secara khusus, kaum Kristen bisa mendapatkan kembali kesempatan
bekerja di gubernemen, sipil dan dunia
militer untuk bertumbuhnya ekonomi di “rumah sendiri”. Seperti sedikit anggota-anggota elit politik Ambon
lainnya, kaum nasionalis juga menikmati berbagai tingkatan pendidikan Belanda,
namun tidak seperti banyak penentangnya,
mereka memiliki kemampuan berorganisasi sendiri – menjalankan partai dan
sekolah-sekolah mereka tanpa tergantung dan seringkali berlawanan dengan pihak
pemerintah.
Sarekat Ambon
bukanlah gerakan massa, tidak juga berkomitmen
untuk memperluas gerakan kemerdekaan Indonesia pada masyarakat Ambon, namun aksi mereka
seiring waktu mampu mengerahkan dukungan diantara kelompok-kelompok berbeda,
penduduk negeri dan kota, kaum Muslim dan Kristen. Aktivitas kaum nasionalis
ini menampakan diri bahwa orang Ambon dan masyarakatnya tidak setia dan stabil, seperti banyak pemimpin mereka dan Belanda
percayai selama ini.
Pergeseran Keseimbangan :
Periode Jepang
Hanya
dalam waktu 24 jam, angkatan perang Jepang mengakhiri hampir 300 tahun
kekuasaan Belanda di kepulauan Ambon. Serangan Jepang dilancarkan pada 31 Januari
1942 dengan cepat mengalahkan gabungan pasukan KNIL (Koninklijk Netherlands Indisch
Leger – Angkatan bersenjata Kerajaan Belanda) dan batalion Australia. Dengan niat untuk
menguasai Indonesia Timur sebagai bagian dari kekasairan mereka, selama 3,5
tahun pendudukan Jepang banyak melakukan hal untuk menyeimbangkan kekuatan
politik antara kaum elit adat dan kaum nasionalis. Dalam struktur pemerintahan,
Jepang menunjuk pemimpin-pemimpin Sarekat
Ambon pada posisi-posisi yang lebih tinggi pada pemerintahan di tempat atau
di atas putra-putra terbaik dari kaum adat, dimana Pupella menjadi kepala “perwakilan”
Ambonc. Pada level negeri,
mayoritas Raja mempertahankan posisi mereka – termasuk beberapa mengembangkan
hubungan akrab dengan Jepang – namun sebagai kelompok, mereka tidak menikmati “kebisuan”
publik yang didukung Jepang seperti yang mereka alami dengan Belanda.
Selain
daripada masalah pemerintahan, kaum nasionalis juga berpengaruh di beberapa
wilayah lain. Sinar Matahari, surat
kabar yang disponsori oleh Jepang dieditori oleh kaum nasionalis, sekolah
sekolah nasional diijinkan untuk tetap
beroperasi dan pemimpin-pemimpin Taman
Siswa dipromosikan ke sekolah-sekolah lain. Meskipun Sarekat Ambon dan semua organisasi politik lainnya dilarang, Jepang
mendirikan Seinendan8 kelompok kaum muda, dengan tujuan kebangkitan
jiwa muda yang telah dimatikan oleh Belanda. Berbeda prakteknya di tempat lain
di Indonesia, pemuda Seinendan tidak
diberikan latihan mereka, tetapi kaum nasionalis di pemerintahan memberikan
mereka dengan beberapa pelatihan soal politik. Pengalaman kaum nasionalis dalam
pemerintahan masa perang, bagaimanapun juga bukanlah sepenuhnya suatu anugerah,
dimana oleh rakyat jelata ,mereka dikaitkan dengan perampasan barang secara
kejam dan menggunakan cara-cara kasar ala Jepang. Pada akhir perang, mereka tak
bisa mempertahankan otoritas yang Jepang percayakan kepada mereka. Pengaruh Jepang pada hubungan komunal
masyarakat Ambon sangat mendasar, yaitu menghancurkan hubungan khusus dengan
menduduki kekuasaan tradisional yang dinikmati oleh kaum Kristen Ambon. Jepang
mencurigai kaum Kristen simpatisan Belanda dan mendiskriminasi mereka. Sikap
ini direfleksikan sejak awal dan lebih bersemangat dengan dukungan
organisasi-organisasi kaum Muslim daripada organisasi kaum Kristen. Sebagai
akibatnya, 2 komunitas secara menyolok berbeda dalam merespon perubahan
kekuasaan kolonial, dimana banyak kaum Muslim menerima Jepang sebagai pihak
pembebas, sementara kaum Kristen menderita akibat kehilangan pelindung mereka9.
Indonesia Merdeka! Ambon Merdeka?
Proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, merubah apa yang kemudian
menjadi isu diskusi diantara kelompok kecil politik yang peduli pada nasib orang Ambon yaitu
pertanyaan nyata dan kepentingan segera bagi seluruh masyarakat. Dalam beberapa
bulan dan tahun setelah proklamasi, Ambon ditempatkan dalam penguasaan struktur
negara Indonesia dan semua isu menjadi perdebatan diantara orang Ambon. Sebaliknya,
hubungan langsung berupa pembagian dan penyatuan dalam masyarakat serta
perjuangan berkelanjutan terhadap isu
kepemimpinan masyarakat – perlawanan yang diperkuat oleh pengalaman masa perang dan
berkembangnya kemungkinan pada datangnya Belanda untuk kedua kali, bisa jadi
hanyalah bersifat sementara. Meskipun Indonesia, dan Ambon ditempatkan pada
situasi demikian dan dikuasi oleh politik lokal, pendapat orang Ambon dengan
seluruh perbedaannya memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali pengaruhnya
pada pembuat keputusan utama dalam revolusi – apakah Indonesia atau Belanda.
Belanda
dan Australia kembali lagi ke Ambon untuk pertama kali pada 22 September 1945,
sebulan setelah kekalahan Jepang, mereka memperhatikan hanya sedikit respon pada
proklamasi Sukarno dan Hata di sana, serta kaum oposisi dibiarkan sendiri
melakukan “pembentukan ulang” pemerintahan kolonial. Pihak sekutu juga
menyadari, dari laporan intelejen mereka, bahwa Jepang mendirikan
organisasi-organisasi nasionalis, namun mereka tidak mengamati aktivitas
politik organisasi itu. Di seluruh gugusan kepulauan Ambon, pihak sekutu
diterima dengan hangat. Kelompok loyalis tradisional – yang menderita di masa
Jepang karena simpati mereka pada Belanda – tiba-tiba mempertegas kekuasaan
mereka kembali. Pihak sekutu menyerahkan pemerintahan lokal ke tangan yang lebih
dipercayai dari anggota salah satu keluarga terkemuka Ambon, keluarga Gasperszd,
tanpa “perlawanan” dari pejabat Gubernur, E.U Pupella. Salah satu tindakan
pertama dari kembalinya pejabat Belanda adalah pengerahan kembali
tentara-tentara kolonial, yang segera terlibat dalam perselisihan dengan
pasukan-pasukan tawanan Jepang, golongan milisi orang Jawa dan kaum sipil
Ambon. Ini mirip gambaran lama kolonial di Ambon seperti
benteng kesetian yang ditetapkan
kembali. Setelah pihak sekutu kembali, kaum nasionalis dan lainnya yang
bekerjasama dengan Jepang bertindak
sangat “hati-hati”, mengkhawatirkan
kemungkinan Belanda beraksi terhadap mereka, juga bersikap hati-hati pada
tentara-tentara Ambon. Pupella bermaksud
mendirikan pemerintahan Republik, namun memutuskan untuk membatalkannya karena mungkin
sekali bertentangan dengan pihak tentara10. Beberapa kelompok pemuda dibentuk oleh anggota Seinendan, termasuk organisasi Persatuan Pemuda Indonesia, dibentuk
pada Februari 1946 mungkin oleh Pupella
dan Wim Reawaru, yang mewakili usaha kehati-hatian mereka untuk membentuk
pergerakan kaum republikan11. Hanya sedikit yang diketahui dari gerakan sebagian
besar kelompok Muslim sebelum tahun 1949, atau gerakan mereka dilaporkan
sebagai “gerakan bawah tanah”12
Delegasi Ambon ke Konferensi Malino 1946 | (dari kiri ke kanan : J.Tupenalay, D.P. Tahitu, R.J. Metekohy, J.H.S.Norimarna dan J Tahija) |
Kebijakan
Belanda dan Pilihan Orang Ambon
Politik-politik di Ambon tersusun dalam bagian besar sebagai respon terhadap perkembangan strategi federal Belanda. Kelompok-kelompok politik bereaksi berbeda pada strategi itu, dan secara lebih umum berkurang dan mengikuti pertempuran militer dan diplomatik antara pihak Republik dan Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1946, pihak pemerintah menyampaikan uraian ide Belanda untuk mewujudkan janji dari Ratu (Belanda ) pada tahun 1942 yang berisikan usulan otonomi demokrasi Indonesia sejajar dengan Kerajaan Belanda. Untuk 6 bulan berikutnya, kelompok loyalis konservatif di Ambon mengambil inisiatif terhadap usulan ini. Ide paling nyata dari usulan ini adalah mereka mengusulkan suatu pembentukan Persemakmuran Maluku (Gemenebest Molukken), yang terdiri dari Maluku Utara, Papua juga Maluku Selatan. Dan kemudian, elemen-elemen berkuasa konservatif di Ambon melihat/memahami gagasan persemakmuran, merupakan kelompok terpisah dalam Kerajaan Belanda, yang sejajar dengan Belanda, Indonesia, Suriname dan Antiles, dan memiliki hubungan yang terbatas dengan Indonesia. Gagasannya adalah kepedulian pada kelemahan ekonomi ambon, tetapi ide persemakmuran itu, tidak melibatkan hal yang besar atau orang banyak , yang bisa saja menghalangi orang Ambon untuk mengambil peran penting. Tidak jelas siapa yang pertama kali mengusulkan ide ini, namun ide ini disukai dan didukung luas diantara para Raja dan elit-elit intelektual di Ambon, serta orang-orang “Ambon KTP” di Jawa. Penganjur ide persemakmuran Maluku termotivasi oleh ide “persamaan”, yang pada akhirnya turut menyumbang ide pada gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), namun mereka lebih peduli pada persoalan-persoalan ekonomi dan keberlangsungan politik, jadi pada sesuatu yang lebih luas. Gagasan itu tidak terwujud, sebagian disebabkan Sultan Ternatee tidak merespon ide itu dengan baik, sehingga ia diajak bernegosiasi oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Dr Tahitu13. Namun yang paling signifikan adalah ide persemakmuran Maluku, secara khusus adalah samaran dari ide separatis/pemisahan, tidak cocok dalam rencana Belanda yang ingin membentuk struktur negara yang meliputi kawasan timur Nusantara dan berbasis pada unit-unit lokal yang lebih kecil. Pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946, pemerintah Hindia Belanda hanya “menikmati” mendengar suara-suara pernyatan kesetian orang Ambon seperti suara nyanyian, yang berada pada lingkungan yang bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi seperti van Mook yang mengembangkan strateginya untuk melawan pihak Republik yang hadir dalam wujud Republik Indonesia yang telah merdeka, namun struktur federal dan lebih menerima pengaruh Belanda, keinginan kaum loyalis Ambon untuk tetap menjadi bagian dari Kerajaan, terpisah dari Indonesia menjadi lebih sulit diterima. Kaum loyalis Ambon perlu berada dalam Negara Indonesia Timur (NIT) untuk membantu menjaga ide itu bisa diterima. Sebagai bagian terpisah dari kerajaan, Ambon hanya menjadi beban pemerintahan dan ekonomi serta mungkin menjadi sumber konflik dengan pihak Indonesia. Bentuk sistim federal diperkenalkan secara umum dilakukan pada 2 konferensi dalam tahun 1946. Konferensi pertama berlangsung di Malino, Sulawesi Selatan sejak 10 hingga 22 Juli 1946, perwakilan delegasi yang ditunjuk Belanda berasal dari Kalimantan dan “Timur Besar”. Delegasi Ambon pada konferensi ituf, nampak menerima rencana Belanda untuk menggabungkan Ambon kedalam negera Indonesia federal, namun mereka menentang penggunaan bendera Indonesia (bendera merah putih) dan lagu kebangsaan (Indonesia Raya) di negara baru itu14. Peristiwa Malino, merupakan bukti bahwa gagasan persemakmuran Maluku ditolak oleh para sultan dari kawasan Maluku Utara dan diabaikan oleh Belanda. Gagasan ini “dimatikan” bertepatan dengan pemunculan kembali kepemimpinan kaum nasionalis Ambon kedalam arena politik. Kelompok inti di sekeliling Pupella – tidak lebih dari selusin orang yang bekerja bersama-sama pada tahun 1930an dan bekerjasama dengan Jepang – mendirikan PIM (Partai Indonesia Merdeka) pada tanggal 17 Agustus 1946, ulang tahun pertama proklamasi kemerdekaan. Pertemuan/Rapat umum perdana ini menarik minat lebih besar dari pertemuan politik sebelumnya di Ambon, dan sepenuhnya “mengalahkan” pertemuan yang diadakan pada saat yang sama oleh perwakilan dari konferensi Malino untuk menjelaskan konferensi dan hasil-hasilnya. Dari 1500 orang yang menghadiri pertemuan perdana PIM, sekitar ¾ nya dilaporkan berasal dari komunitas Muslim15. Pupella menguraikan tujuan partai untuk “mempertahankan” kemerdekaan Indonesia melalui sarana hukum, yang berarti turut berpartisipasi dalam lembaga-lembaga federal. Para pemimpin PIM adalah kaum republik, tujuan utama mereka adalah merealisasikan proklamasi 1945. Namun, di Ambon harus ada sarana untuk tujuan kesatuan. Karena kuatnya kaum republik dan minoritas kaum separatis, hanya di dalam federalisme sajalah ada kompromi, yang sanggup mempertahankan kesatuan orang-orang Ambon16. Di bawah kepemimpinan Pupella yang tak memihak dan pragmatis, PIM mengupayakan kebijakan kooperatif pro-federal yang secara hati-hati mempromosikan perjuangan Indonesia pada daerah diluar kontrol Belanda dan pada kelompok-kelompok berpengaruh yang masih intim dengan jaringan kolonial mereka. Pupella berhasil mempertahankan kebijakan ini, meskipun ditentang oleh Reawaru dan pemimpin lainnya yang cenderung kurang bisa menerima sikap kompromi dan “pernak-pernik” gejolak.
Konflik
antara pragmatisme Pupella dan dukungan terbuka Reawaru terhadap Republik,
tetap menjadi sumber ketegangan yang laten dalam tubuh PIM.
PIM telah mengorganisir dirinya dengan baik untuk
bersiap menghadapi pemilihan yang disponsori oleh Belanda pada awal November
1946 untuk lembaga DMS (Dewan Maluku
Selatan), yang akan menjadi lembaga perwakilan Ambon di tingkat terendah
dari struktur federal NIT. DMS merupakan “versi baru” yang telah diperluas dari Ambonraad
(Dewan Ambonhg di masa sebelum
perang yang hanya mencakup pulau-pulau Ambon, lembaga baru ini akan mewakili seluruh wilayah
Maluku Selatan. Partainya Pupella diizinkan berkampanye di negeri-negeri, dan membentuk
organisasi-organisasi yang belum sempurna, yang sehaluan dengan partai mereka. Hal
ini menjadi penyebab dukungan dari para kandidat yang bersimpati pada mereka,
meskipun banyak dari mereka mungkin umumnya adalah anggota kelompok oposisi.
Lawan-lawan PIM adalah – para Raja, para Pendeta, dan para veteran – yang secara
fungsional telah lama mendirikan organisasi, tetapi untuk kampanye mereka
membentuk komite pemilihan. Anggota komite menikmati keuntungan dari penggunaan
fasilitas pemerintah serta akses dan pengaruh di negeri-negeri, akibat
posisi/status mereka.
Alberth Wairisal |
Selain Komite dan Partai Indonesia Merdeka, sejumlah
kandidat independen turut mencalonkan diri, seperti Tahitu dan Albert Wairisal,
yang secara politis bersedia mendukung rencana Belanda untuk ide Indonesia ferderal, tetapi komitmen kepada
nasionalisme Indonesia membuat mereka bersimpati pada PIM. Tak satupun dari
para kandidat itu memiliki program komprehensif untuk menarik hati para pemilih. Seruan
pemilihan dilakukan secara simbolis, bendera-bendera nasional dan lagu-lagu
kebangsaan, mewakili komitmen masing-masing kepada Belanda dan Republik. Pada
kedua tahap pemilihan tidak langsung, lebih banyak suara kepada individu
daripada organisasi/partai, dan dengan demikian kepribadian dan reputasi adalah
faktor-faktor penting. Hasil pemilihan
adalah kemenangan “sensasional” bagi PIM. PIM memenangkan 4 dari 7 kursi dari
“dapil” kota dan kepulauan Ambon. Dr Tahitu juga memperoleh kursi, sehingga
golongan Raja hanya mendapat 2 kursi. Di pulau-pulau Ambon lainnya, kaum Muslim
memilih Raja Pelauw yang progresif, A.B. Latuconsina. 4 kursi sisanya,
diperoleh oleh kanddat independen, yang seperti Tahitu di Ambon, juga
bersimpati pada perjuangan nasionalis. Hasil itu seperti penghargaan bagi
kekuatan persuasif dan ketrampilan berorganisasi dari partai PIM. Kaum loyalis
merasa sangat malu dan tersinggung. Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang mengaku
mewakili masyarakat Ambon, hanya memperoleh 2 kursi – kaum raja konservatif –
yang merasa diri mereka adalah pemimpin masyarakat ??? Seperti garam yang
dibalur ke dalam luka-luka kaum loyalis, ketika DMS pertama kali mengadakan
pertemuan dengan para perwakilan non Ambon – yang dipilih oleh para kepala
desa/negeri – menyelaraskan/beradaptasi dengan Partai Indonesia dan para
intelektual daripada dengan kelompok raja-raja konservatif. Hasil pemilu itu
mengambarkan banyak hal tentang sifat mendasar dari kekuatan politik yang
berbeda, yang menyimbolkan pilihan masyarakat Ambon sendiri. Bagi gengsi semua kaum
lama elit tradisional dan pendukung utamanya, organisasi itu sangat “menderita”
dibandingkan dengan golongan PIM nasionalis, dikarenakan keanggotaannya
didasarkan pada fungsi daripada komitmen politik. Ini berarti para raja atau
para pendeta tidak dibutuhkan untuk sependapat dengan sikap-sikap politik
organisasi, dimana mereka sendiri adalah anggota secara formal. Kelompok elit
lama pasti menderita daripada rasa puas
diri dan dari fakta bahwa mereka tidak terbiasa harus bersaing untuk
mendapatkan dukungan karena sebelumnya Belanda telah berhasil mengisolasi
penduduk negeri dari pengaruh luar yang dapat menantang kekuasaan mereka. Hasil pemilu ini menegaskan bahwa masyarakat
sangat terpecah dan tidak yakin tentang masa depan dan kepemimpinannya.
Setengah tahun setelah kembalinya Belanda, telah memberikan banyak bukti bahwa
ada kelompok-kelompok berpengaruh yang ingin melangengkan hubungan kolonial.
Hasil dan komposisi DMS mengungkapkan bahwa ada pemilih yang tertarik pada
tujuan nasionalis dan ada organisasi yang mampu menantang elit adat untuk
kepemimpinan masyarakat. Ada juga indikasi bahwa perpecahan masyarakat Ambon, antara
kaum Kristen dan Muslim menjadi signifikan secara politis. Kepemimpinan PIM
berasal dari komunitas Kristen dan Muslim, namun lebih banyak dukungan berasal
dari komunitas Muslim. Selain para raja, sangat sedikit kaum Muslim yang
memiliki kepentingan dalam memperpanjang sistim kolonial. Dalam pemilihan, sejumlah
negeri Muslim menunjukan perbedaan atau “perpecahan” yang jelas antara kelompok raja konservatif dan penduduk
yang mendukung PIM17.
Ambon
dan Negara Indonesia Timur
Salah satu tindakan pertama Dewan Maluku Selatan yang baru dibentuk
adalah memilih delegasi untuk konferensi kedua yang disponsori Belanda pada
tahun 1946, yang diadakan di Denpasar pada bulan Desember tahun itu. 3 bulan kemudian, dewan mengkonfirmasi bahwa
Ambon ditempatkan dalam Negara Indonesia Timur yang baru dibentuk, dan ketika secara
mayoritas disetujui oleh 27 melawan 3 dengan 3 memilih abstain, menyatakan
bahwa Maluku Selatan harus tetap dalam NIT “ sampai pada waktunya, masyarakat
memutuskan melalui DMS apakah mereka ingin terus berada dalam NIT atau tidak”. Pertemuan itu mencapai puncaknya selama 2 bulan aktivitas politik yang intens,
yang meliputi kunjungan Presiden NIT Sukowatih dan serangkaian
pertemuan yang diadakan oleh para loyalis lokal dan “di luar”, yang belakangan
mengkampanyekan penarikan segera Maluku Selatan dari (NIT). Perdebatan itu sendiri sangat hebat dan
seperti “membalikan” fungsinya. 2 Raja
konservatif dalam dewan, Gaspersz dan
Pelu, figur-figur yang telah
membangun karir mereka berdasarkan kesetiaan pada Belanda, mendesak penarikan Maluku
Selatan dari NIT, dan dengan demikian mungkin menyadari untuk pertama kalinya
dalam kehidupan mereka, mengkritik
pemerintah yang mereka layani dengan setia selama 2 dasawarsa, sementara
Pupella adalah pembicara utama yang mendukung NIT18.
Presiden NIT Tjokorda Gde Raka Soekawati (1946-1950) |
Pada tahun antara awal kegiatan politik di bulan Maret 1946 dan keputusan DMS untuk tetap berada di NIT, keseimbangan kekuasaan yang jelas di Ambon telah berubah secara dramatis – dari kesetiaan masyarakat Ambon yang “fanatis” yang dipimpin oleh kaum elit lama ke masyarakat Ambon dengan institusi demokrasi yang masih muda, yang dikuasai (lebih banyak oleh kemampuan dari jumlah) oleh kepemimpinan PIM. Tidaklah mengherankan, jika kaum elit lama merasa diri mereka kurang terwakili dalam DMS dan parlemen NIT yang baru. Mereka berharap Republik akan ditangani oleh Belanda seperti halnya di Aceh dan Lombok – dengan bantuan tentara Ambon. Apa yang kemudian tidak dapat dipahami oleh para raja, tentara dan veteran adalah pemerintah Belanda sendiri akan bekerja menuju ke arah yang mereka duga untuk kemerdekaan Indonesia. Desakan Belanda pada usaha dimasukannya Ambon ke bagian federal Indonesia sama dengan “menyangkal” kesetian mereka. Pilar-pilar pandangan dunia mereka telah runtuh. Menanggapi hasil pemilihan yang tidak menguntungkan, kelompok-kelompok yang telah bekerjasama dengan komite dalam pemilihan – para raja, pendeta, dan para veteran - bergabung dengan asosiasi guru dan kelompok pemuda Kristen membentuk sebuah federasi, GSS (Gabungan Lima Serangkai, kemudian berubah menjadi Gabungan Sembilan Serangkai). Federasi ini menentang kemerdekaan dalam kondisi saat ini (pada masa itu) dan mengungkapkan pilihannya kepada pemerintahan Belanda yang abadi di Maluku Selatan. Orang Ambon di masa depan dianggap dapat memikul tanggung jawab sendiri dalam pemerintahan, namun Ambon akan tetap berada dalam kerajaan Belanda. Sejak didirikan, federasi GSS dikaitkan dengan PTB (Persataoen Timoer Besar) yang bermarkas di Jakarta, yang berupaya mempromosikan pemisahan Ambon, Menado, dan Timor dari Indonesia, untuk membentuk suatu entitas terpisah dalam kerajaan , dengan status yang mirip/sama dengan Suriname. PTB dipimpin oleh orang-orang “Ambon KTP” dan pada dasarnya didukung oleh tentara-tentara Ambon.
Hubungan
antara mereka dengan raja-raja konservatif Ambon, yang menguasai GSS tidaklah “harmonis” terlepas dari kesamaan
tujuan mereka. Kaum tradisional tidak
percaya pada politisi Ambon di Jawa, apakah dari golongan nasionalis atau
loyalis, dimana para raja tidak pernah mendukung upaya kelompok-kelompok yang
berbasis di Jakarta untuk memobilisasi dukungan
di Ambon, tetapi lebih memilih untuk tetap mengontrol wilayah mereka
sendiri. Namun demikian, hubungan PTB
dengan sejumlah politisi Belanda dan pemimpin militer yang terkait dengan
gerakan Rijkseenheid (kesatuan dunia)
sebagian besar bertanggungjawab atas kelangsungan hidup PTB dan akhirnya
berpartisipasi sebagai pihak “yang
menaruh perhatian” pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Bagi mereka
yang terlibat secara intim, perbedaan antara GSS dan PTB sangat jelas, namun untuk masyarakat luas,
kesamaan tujuan mereka berarti kedua kelompok ini menjadi identik. Dalam petisi
kepada pemerintah Belanda, PTB mengklaim hak penentuan nasib sendiri untuk Ambon,
Menado dan Timor di bawah perjanjian Linggajati (pasal 3 dan 4), serta menegaskan bahwa PTB lah, bukan Dewan Maluku
Selatan yang mewakili masyarakat
Ambon19. Namun bagi Belanda, lebih banyak yang akan dipertaruhkan
daripada hanya soal sentimen dan pilihan masyarakat Ambon. NIT adalah yang tertua dan terkuat dari
negara-negara federal, namun didalamnya ada keseimbangan yang baik antara kaum
republikan dan mereka yang bersimpati pada perjuangan Belanda. Jika Ambon,
Menado dan Timor diberi kesempatan untuk memisahkan diri, kelangsungan hidup
negara akan dipertanyakan.
Jalan Tengah
Diskusi sejauh ini berpusat di sekitar 2 kelompok
politik, kaum nasionalis yang terorganisir dalam tubuh PIM di satu ujung
spektrum, dan di sisi lain, sebuah kelompok yang digambarkan sebagai kaum
konservatif atau loyalis, diantaranya para
raja, pendeta dan tentara yang paling menonjol, yang secara longgar terkait
dengan GSS/PTB. Selain itu, selama tahun 1947, sejumlah
individu yang sebelumnya telah terlibat dalam politik lokal mulai muncul
sebagai kelompok yang lebih terlihat. Mereka menganggap diri mereka sendiri,
dan sering ditunjuk dalam laporan-laporan Belanda sebagai kaum intelektual,
yang menunjukan bahwa mereka telah mencapai level tertinggi dalam sistim
pendidikan Hindia Belanda dan menjadi kaum profesional. Mereka berbeda dari
kaum nasionalis di PIM karena mereka memiliki sedikit atau tidak memiliki
sejarah aktivitas politik atau komitmen politik, namun lebih bersimpati pada
tujuan nasionalis. Selain satu atau dua raja progresif yang dapat dihitung
diantara mereka, mereka tidak memiliki status dalam sistim keadatan. Tidaklah
mengherankan, banyak dari mereka telah sangat dipengaruhi oleh pendidikan
Belanda, dan dalam beberapa kasus dibesarkan dalam lingkungan birokrasi Hindia Belanda di luar wilayah asal mereka. Meskipun
kehidupan dalam masyarakat kolonial bukanlah sepenuhnya negatif, mereka
menyimpan ambisi untuk mereformasi dan
membebaskan masyarakat mereka , serta membayangkan peran lebih besar untuk diri
mereka sendiri dan orang lain yang memiliki latar belakang sama dalam soal-soal
demikian.
Sophia W.G. Versteegh (1888-1979) dan J.Alexander Manusama (1881-1954), orang tua Johanes Alvares Manusama |
J.A. Manusamai, yang dalam tahun 1950 adalah tokoh kunci dalam gerakan RMS, menjadi salah satu pemimpin penting kelompok itu, dan “mewarnai” kelompok itu dengan kecakapan dan identitas organisasi20. Manusama adalah arkatipel kaum emigran ambon masa kolonial – lahir, dibesarkan, dan dididik di lingkungan Hindia Belanda di luar Ambon – yang kembali ke “tanah kelahirannya” pada pertengahan 1947 sebagai kepala sekolah yang baru pada sekolah menengah milik pemerintah. Dia mengaku bersimpati pada Indonesia merdeka, sambil menghibur keraguan dirinya terhadap keberlangsungan hidup Republik Indonesia karena perbedaan kelompok-kelompok etnis yang sangat mencolok dalam masyarakat. Kekerasan revolusi di Jawa membuatnya pindah ke Makasar dan kemudian ke Ambon. Ia terpilih untuk mewakili kelompok “imigran” Ambon di Dewan Maluku Selatan, dimana ia memainkan peran progresif, bekerjasama dengan PIM, dan berkampanye agar orang-orang Ambon bisa menggantikan ketua dewan yang berasal dari Belanda. Dia mendukung Pupella dalam upayanya untuk membatasi perekrutan KNIL, dan menyadari bahwa pilihan pekerjaan kaum Kristen Ambon perlu diarahkan ke pengembangan ekonomi wilayah mereka sendiri. Pada bulan Februari 1948, ia mendirikan GDMS (Gerakan Demokrasi Maluku Selatan), yang melihat otonomi dan demokrasi Maluku Selatan ada didalam Negara Indonesia Timur dan pada akhirnya didalam kemerdekaan Indonesia. Komitemen gerakan demokrasi dari kaum intelektual ke Indonesia merdeka berubah-ubah dari dukungan bersyarat Manusama (suatu federal Indonesia yang menjaga revolusi hanya terbatas di Jawa dan Sumatera) hingga kurangnya kepedulian pihak lain bersama struktur negara yang konstitusional.
Melkias Augustinus Pelaupessij, Kepala Daerah Maluku Selatan (1948) |
Pemilihan Umum Kedua
Tes untuk Manusama dan Gerakan Demokratiknya terwujud pada akhir tahun 1948 melalui pemilihan yang kedua, kali ini sistimnya langsung untuk komposisi Dewan Maluku Selatan. GSS yang konservatif mengalami kesulitan untuk menemukan kandidat yang cocok dari keanggotaannya sendiri dan harus mendukung beberapa kandidat intelektual dari GDMS. Para pemimpin Gerakan sendiri menderita akibat keyakinan bahwa kedudukan profesional dan sosial mereka cukup untuk menjamin pemilihan mereka, dan kampanye mereka kekurang energi karena program yang kurang jelas. Didalam partai nasionalis PIM, ketegangan masih ada antara dukungan Pupella yang moderat dan taktis terhadap sistim federal dan perjanjian negosiasi antara Republikan dan belanda pada satu sisi, dan kelompok Republik yang lebih terang-terangan di bawah pimpinan Reawaru di sisi lain. Dalam kampanyenya, PIM sangat menekankan pencapaian kemerdekaan pada tanggal 1 Januari 1949, seperti yang dijanjikan dalam perjanjian Linggajati. Ketika tanggal itu semakin dekat, dan kemungkinan prospek kemerdekaan mulai menghilang, oposisi terhadap sikap moderat Pupella makin menguat.
Pemilihan yang berlangsung tanpa insiden, hanya beberapa hari sebelum Belanda melancarkan aksi “polisional” kedua pada tanggal 19 Desember 1948, menghasilkan kemenangan meyakinkankan buat PIM21. Hal ini mengkonfirmasi dominasi partai di Dewan Maluku Selatan dan membantah tuduhan kaum konservatif bahwa keberhasilan sebelumnya adalah karena manipulasi cerdas dari sistim pemilihan tidak langsung. PIM mendapatkan 1 kursi tambahan, dan Pupella mencetak sukses pribadi dengan memuncaki perolehan suara dengan selisih yang cukup besar, sementara kelompok raja-raja dipermalukan sekali lagi, hanya D.J. Gaspersz yang berhasil. Manusama yang moderat, juga mengalami nasib serupa : hanya Albert Wairisal, tokoh populer dan pro-Indonesia yang terpilih. Namun keberhasilan pemilihan itu memiliki batas-batasnya sendiri. Kepala Daerah Ambon, M.A. Pelaupessij22/j yang diangkat oleh pemerintah NIT, masih memegang kekuasaan penuh, dan sebagian karena terbukti tidak efektif, DMS dianggap tidak berkenaan oleh masyarakat banyak. Ironisnya, kesuksesan Pupella berkontribusi pada kesulitan partainya, karena sebagai hasil dari pemilihan, ia harus menghabis banyak waktunya sebagai anggota parlemen di Makasar. Kedua pemilihan itu telah menyisakan rasa frustrasi pada kelompok-kelompok yang masih kuat dalam masyarakat terhadap kemampuan mereka untuk membangun diri mereka kembali dalam apa yang dijanjikan untuk menjadi institusi kekuasaan di masa depan. Setelah gagal dalam tawaran pemilihannya di Ambon dan Saparua, Manusama segera bergabung dengan kandidat-kandidat lain yang tidak berhasil untuk membentuk sebuah komite untuk memeriksa ulang isu penempatan Maluku Selatan dalam Negara Indonesia Timur dengan pandangan kemungkinan penarikan. Meskipun inisiatif ini dapat dilihat sebagai tanda pertama dari kekecawaan yang akan membawa Manusama dan kawan-kawannya untuk memainkan peran aktif dalam pembentukan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), komitmen Manusama sendiri terhadap sistim federal bersifat sementara oleh pengangkatannya sebagai wakil Maluku Selatan di senat sementara di Makasar.
Setiap gerakan politik selanjutnya oleh komite dihalangi oleh kepala daerah Pelaupessij pada larangan dalam bentuk pertemuan politik, yang tetap berlaku sampai Agustus 1949 dan bertindak sebagai pengendali terhadap upaya-upaya kelompok konservatif dan separatis untuk menghidupkan kembali keuntungan politik mereka. Pelaupessij membenarkan larangan tersebut dengan alasan bahwa inisiatif oleh komite akan memprovokasi PIM untuk membalas, yang mana dalam kondisi tidak menentu akan memunculkan serangan Belanda terhadap republik dan menciptakan emosi yang tidak stabil dari pendukungnya , sehingga dapat mengganggu ketertiban dan pelaksanaan hukum.
Johanes Hermanus Manuhuttu (1908-1984) |
Tentara dan Pemuda: Wahana Perubahan Politik
Pembukaan Konferensi Meja Bundar memperpanjang “pertempuran” tentang masa depan konstitusional Maluku Selatan, dan siapa yang siapa yang harus mewakili wilayah tersebut ke Den Haag. Semua faksi di Ambon, termasuk separatis PTB memiliki perwakilan 1 kapasitas atau lainnya. Selama konferensi berlangsung, kabel telegraf antara Ambon dan Den Haag menjadi panas dengan klaim , balasan klaim, dan janji kesetiaan dari kelompok-kelompok yang bersaing pada kedua ujungnya23.
Di Ambon sendiri, kepergian Pupella dan Pelaupessij ke Den Haag, berbarengan dengan pencabutan larangan pertemuan, memiliki efek katalistis pada aktivitas politik. Dasar pemikiran larangan itu terbukti sebagai ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya. Ketidakhadiran Pelaupessij dan Pupella serta kemungkinan “cabutnya” Belanda menciptakan kekosongan otoritas yang tak dapat “dipikul” oleh kepala daerah, J.H. Manuhuttu24/k. Kontes politik yang sampai saat itu memiliki karakter parlementer, dalam bulan-bulan terakhir tahun 1949 telah menyusup ke jalan-jalan dan negeri-negeri. Selain perubahan tempat, para peserta baru memasuki kontes seiring dengan peningkatan jumlah tentara yang kembali ke Ambon untuk menunggu masa depan mereka yang akan diputuskan di Den Haag. Bersama-sama dengan polisi, para tentara mulai menaruh minat aktif dalam politik, lebih sering daripada bergabung dengan kelompok separatis GSS/PTB. Pada sisi lain dari spektrum politik, Wim Reawaru, tokoh dominan dalam PIM, dengan tidak adanya Pupella, menghidupkan kembali kelompok-kelompok pemudanya, yang terakhir aktiv pada 1945-1946. Sebagian besar anak muda berasal dari negeri-negeri besar Muslim di Ambon dan dari para buruh pelabuhan beragama Muslim. Berusaha mempromosikan pemuda sebagai polisi alternatif dan satuan pasukan yang tersedia bagi kepala daerah, Reawaru melatih mereka di jalan-jalan kota Ambon, berbaris, mempersenjatai mereka dengan bambu runcing daripada dengan senapan. Beberapa sedikit aksi menjadi lebih provokatif pada kelompok tentara, yang lebih peduli pada keselamatan dan pekerjaan mereka di masa depan. Dimulai pada bulan Oktober, sering terjadi bentrokan di seluruh pulau antara kedua kelompok karena masing-masing berusaha memperluasa dukungan diantara masyarakat negeri/desa.
Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timurl, memerintahkan Manuhuttu untuk memulihkan ketertiban. Ia bagaimanapun juga, tidak memiliki polisi atau militer ia bisa mengandalkan mereka, dan karena simpatinya sendiri cenderung kepada PIM dan pemuda, ia tidak mau memerintahkan polisi yang pro-PTB untuk mengambil tindakan terhadap kaum muda. Dalam suasana tegang ini, pemilihan umum diadakan untuk parlemen NIT di Makasar. PIM mengulangi kesuksesan sebelumnya, memenangkan 2 kursi dari dapil kepulauan Ambon. Upacara yang menandai pemindahan kedaulatan dari Belanda (ke Indonesia) berlangsung tanpa insiden, meskipun Manusama mengingat kembali bahwa para leluhur menyatakan ketidaksukaan mereka dengan hujan lebat25, dan selama bulan Desember muncul tanda-tanda di dinding pasar di kota Ambon : “Awas ! Singa Maluku akan makan merah putih” (Waspadalah ! Singa Maluku akan melahap Republik)26.
Selingan ketenangan berakhir dengan tiba-tiba pada tanggal 7 Januari 1950, ketika serangkaian bentrokan dimulai antara polisi dan pemuda. Situasi semakin memburuk 10 hari kemudian dengan kedatangan di Ambon, kontingen tentara dari pasukan elit khusus, pasukan “baret” yang juga bentrok dengan pemuda. Dalam bentrokan-bentrokan ini, 3 pemuda tewas dan 15 orang terluka27.
Dalam suasana yang sangat sibuk pada awal tahun 1950, tentara Ambon, yang secara teori masih berada di bawah komando Belanda, sedang menunggu reorganisasi KNIL28. Banyak pasukan khusus yang kembali merasa kecewa saat mendapati bahwa pemerintah Belanda hanya melakukan sedikit tindakan rekonstruksi, sementara mereka mempertaruhkan leher mereka dan menjadikan diri mereka sendiri sasaran pembalasan kaum republik dengan melakukan pekerjaan kotor Belanda di Jawa dan Sulawesi29. Kecemasan dan kekecewaan diantara para tentara tercermin dalam ketidakstabilan pilihan politik mereka ketika kelompok separatis GSS/PTB bersaing dengan pemimpin PIM Reawaru untuk mendapatkan dukungan mereka. Pada tanggal 24-25 Maret, upaya Reawaru menghasilkan deklarasi yang tidak tepat waktunya dan bernasib buruk oleh sekelompok pasukan khusus yang menyatakan bahwa mereka menganggap diri mereka tidak lagi di bawah komando Belanda.
Ida Anak Agung Gde Agung, Perdana Menteri NIT |
Pemerintah NIT di Makasar sangat kritis pada penanganan Manuhutu terhadap situasi di Ambon dan khususnya pada ketidakmampuannya untuk mengendalikan pemuda, yang oleh pemerintah dianggap bertanggung jawab atas insiden tersebut. Sikap NIT mencerminkan situasi strategis, dimana mereka menyadari setelah pengalihan kedaulatan dan kepergian mantan Perdana Menteri, Anak Agung Gde Agung untuk menjadi anggota pemerintah pusatm. Pada tahun 1949, pemerintahan Anak Agung mendukung upaya kepala daerah Pelaupessij untuk mengendalikan kelompok-kelompok seperatis, dan dengan penuh semangat menentang kampanya PTB untuk memenangkan dukungan kepada Belanda. Namun, saat konflik antara pemuda dan tentara terus berkembang, Makasar memandang aktivitas pemuda di Ambon sebagai ancaman dan tentu saja tidak ingin mengasingkan para tentara yang mendukung keberlangsungan hidup NIT sendiri. secara bersamaan, ada perubahan lebih lanjut dalam NIT, dari mendukung kaum nasionalis ke tindakan penguatan ketakutan pada pihak republik, baik itu mereka yang separatis atau federalis. (tampaknya pemerintah NIT melakukan pendekatan ke Manusama, untuk membujuknya mengambil alih kekuasaan dari Manuhuttu). Belanda tidak lagi menjadi masalah, sekarang NIT merasa sedang berjuang untuk bertahan hidup melawan tekanan, baik secara internal maupun dari Jawa untuk negara kesatuan. Dalam satu bulan kemerdekaan, sebagai akibat dari desakan kaum republik dan sebagai respon terhadap upaya kudeta Westerling di Jawa Barat, semua terkecuali 2 negara federal telah runtuh dan setuju untuk menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesian.
Kemampuan pemerintah NIT bertahan dari gerakan unitaris/republik tergantung pada isu-isu kembar yang berhubungan dengan nasib tentara KNIL Indonesia (kebanyakan orang Menado dan Ambon) yang ditempatkan di NIT, dan apakah Jakarta akan memindahkan mantan anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Indonesia Timur. Pada bulan Desember 1949, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk tidak memindahkan pasukan ke Indonesia Timur tanpa persetujuan Makasar. Kaum republik hanya hadir di Makasar, yang akan menjadi misi penghubung di bawah Letnan Kolonel Mokogintao. Namun, bulan-bulan pertama tahun 1950 didominasi oleh “pertikaian” Jakarta dan Makasar dalam masalah ini, dan keputusan sepihak Jakarta pada awal April untuk mengirim batalion Worangp (kebanyakan orang Menado) ke Makasar memprovokasi kudeta, yang dipimpin oleh seorang bekas KNIL asal Bugis, Kapten Andi Abdul Azisq.
Pada dini hari tanggal 5 April, Andi Azis dengan kompinya dan beberapa tentara KNIL, menangkap misi penghubung militer dan mengambil alih instalasi-instalasi vital pemerintah di Makasar, serta menyatakan bahwa pasukannya akan memerangi setiap upaya untuk mendaratkan pasukan-pasukan dari batalion Worang. Tindakan Andi adalah fase pertama dari rencana untuk mengklaim pemisahan Republik Indonesia Timur. Meskipun NIT tidak “terlibat” dalam tindakan ini, rencana ini pada faktanya dirancang dan dipimpin oleh anggota-anggota senior pemerintah NIT sendiri, termasuk Presiden Sukowati, Soumokil30/r Jaksa Agung dan Mantan Menteri Kehakiman asal Ambon, dan R.J. Metekohys, pegawai keuangan dan mantan pengacara Persemakmuran Maluku asal Ambon31. Kudeta Azis dan kegagalannya, seperti yang akan kita lihat, adalah tahap penting dalam peristiwa yang akan mengarah pada proklamasi RMS32.
Inisiatif Manusama
Selama
3 bulan pertama tahun 1950, Manusama, mantan pemimpin moderat Gerakan Demokratik tidak aktif secara politik.
Tetapi sekitar akhir Maret, prihatin dengan “jatuhnya” sebagian besar
negara-negara bagian federal, dan ancaman terhadap keberlangsungan NIT oleh
gerakan pasukan republik dan kerusuhan di Ambon sendiri, ia menyadari bahwa
bentrokan antara pasukan republik dengan KNIL Ambon di Ambon dapat menjadi “mandi darah” dimana
penduduk sipil akan menjadi korban. Dia memutuskan untuk mengadakan rapat umum
untuk menunjukan dukungan orang-orang Ambon kepada pemerintah NIT, yang saat
itu berada pada tahap kritis dalam negosiasi dengan Jakarta setelah kudeta Azis33.
Rapat itu tidak diadakan sampai tanggal 18 April, 2 hari setelah Dr Soumokil
tiba dari Makasar34/t. Manusama berbicara dengan fasih membela
federalisme, tentang kejahatan revolusi, dan ketidakjujuran pemerintah Jakarta,
serta menyatakan bahwa jika Makasar jatuh, Ambon akan menjadi “benteng
pertahanan terakhir35”.
Pada tanggal 21 April, Presiden NIT
Sukowati secara resmi menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur pada prinsipnya
siap bergabung dengan negara kesatuan. 2 hari kemudian, suatu pertemuan di
Tulehu diselenggarakan oleh Manusama, mendesak eksekutif DMS untuk memutuskan semua
hubungan konstitusional dan politik dengan pemerintah federal dan NIT. Pertemuan
berikutnya memuncak dalam rapat umum yang diadakan pada malam tanggal 24 April,
dimana pejabat kepala daerah Manuhuttu akhirnya “luluh” pada sikap menentangnya
terhadap gerakan dan akhirnya memproklamirkan Republik Maluku Selatan36.
Adalah sulit untuk menilai tingkat dukungan rakyat pada
gerakan RMS. Manuhuttu menuduh bahwa
ia diintimidasi oleh tentara untuk membuat deklarasi, dan mereka tentu saja
bertindak kasar sebelum dan sesudah deklarasi itu dibuat. Menurut pendapat
Manusama dan Soumokil, Manuhuttu dan Wairisal harus menjadi pihak yang harus memproklamasikan RMS untuk memberi kesan kepada dunia luar bahwa proklamasi adalah
tindakan pemerintah daerah/lokal yang legal konstitusional. Para pemimpin
nasionalis diintimidasi dan ditahan, dan tak lama setelah proklamasi, Wim
Reawaru dibunuh oleh pasukan khusus. Namun demikian, setidaknya pada hari-hari
pertama, ada antusiasme yang diungkapkan untuk RMS. Nampaknya, bagaimanapun, bahwa ini adalah indikasi yang
membesar dari suasana yang penuh emosional dan tegang, terkhususnya pihak
tentara menunjukan sikap intoleransi terhadap kaum oposisi. Peristiwa bulan
November 1949 yang baru selesai, yaitu pemilihan untuk parlemen NIT diadakan
dalam keadaan yang relatif bebas dari intimidasi, dimana masyarakat pulau-pulau
Ambon menegaskan kembali pilihan mereka kepada pro-republik37.
RMS
bukanlah pilihan struktur konstitusional dari
kedua pengusung utamanya, Soumokil dan Manusama. Mereka telah menerima bentuk
federal Indonesia yang merdeka dan berusaha mempertahankannya. Ketika itu
gagal, RMS adalah benteng terakhir tempat
mereka mundur, tanpa berpikir atau merencanakan struktur, sumber daya atau
keberlangsungan hidup suatu negara yang baru. Tujuannya dalah untuk tetap
menjaga republik dan revolusinya “diluar” Ambon. Manusama mengakui tidak ada
utang spiritual atau organisasi pada kelompok separatis GSS/PTB, namun banyak dari keberhasilannya dan Soumokil dapat
dikaitkan dengan dukungan yang mereka gerakan, berasal dari raja-raja dan pejabat
rendahan yang sebelumnya terkait dengan GSS/PTB.
Namun, tak pelak lagi, RMS menerima dukungan paling penting dari para
tentara. Gangguan-gangguan pada bulan Maret dan kegagalan untuk menjamin penggabungan para tentara
kedalam tentara Indonesia, seiring dengan gejolak naik turunnya kudeta Andi
Azis di Makasar, meyakinkan mereka (para tentara) bahwa mereka tidak memiliki
jaminan masa depan dalam tubuh angkatan
bersenjata Republik Indonesia. Selama bulan April, perhatian utama mereka
adalah mengusir pasukan republik dari Ambon, dan Manusama serta akhirnya
Soumokil mampu mengisi kepemimpinan politik yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, setidaknya untuk
sementara waktu. Para tentara yang
mengambil bagian dari “penghancuran” PIM, Reawaru dan kaum mudanya sebagai
kekuatan politik, memastikan bahwa Manuhuttu dan rekan-rekannya bisa
bekerjasama untuk memberikan RMS suatu
“wajah” konstitusional yang diinginkan.
Republik Maluku Selatan
Pemerintah RMS mengendalikan kepulauan Ambon dari bulan April hingga Desember 1950. Selama bulan-bulan ini, ada negosiasi intensif antara pemerintah Belanda dan Indonesia untuk mencapai solusi damai. Hasil-hasil yang “menjanjikan” dari upaya tulus kedua belah pihak dibatasi oleh kedua sisi, pada satu sisi oleh obsesi Belanda dengan prinsip penentuan nasib sendiri, dan pada sisi lain oleh intervensi tak terduga dari otoritas militer Indonesia, yang merusak inisiatif perdamaian Dr Leimena pada bulan Mei dan September. Namun, sementara upaya sedang dilakukan di Jakarta dan Den Haag, para pemimpin RMS tampaknya tidak mengambil inisiatif tunggal untuk menghindari “mandi darah” yang terjadi. Seluruh upaya diplomatik mereka diarahkan untuk mendapatkkan pengakuan dan dukungan militer dari Belanda, Amerika Serikat dan Australia, dan banyak orang di Ambon nampaknya percaya bahwa bantuan akan segera datang38. TNI melancarkan serangannya ke pulau Ambon pada bulan September, tetapi hampir 3 bulan kemudian, dan setelah pengorbanan manusia dan material yang besar, akhirnya kota Ambon bisa ditaklukan. Beberapa pemimpin RMS dan pasukan bersenjatanya mundur ke pulau Seram, dimana 12 tahun berikutnya, mereka akhirnya ditangkap atau melarikan diri melalui Irian ke Belanda. Pada tahun 1955, 12 pemimpin sipil dan militer RMS diadili dan dijatuhi hukuman penjara antara 3 hingga 15 tahunu. Soumokil ditangkap pada tahun 1962 dan dieksekusi pada tahun 1966.
Christian Robbert Steven Soumokil (1905-1966) |
Akibat-akibat
RMS dan
penindasannya mungkin merupakan cara terburuk bagi Ambon agar bergabung dengan kemerdekaan
Indonesia. Masyarakat Ambon, sangat
terpecah dengan para anggota yang bertempur di pihak Indonesia dan RMS dalam
konflik yang memiliki karakteristik perang saudara. Relasi yang sudah tegang
antara komunitas Muslim dan Kristen, semakin menderita lebih dalam, melalui
identifikasi yang jelas bahwa kepemimpinan sipil RMS dan tentara adalah kaum
Kristen, dan fakta bahwa paling banyak korban dari tentara-tentara Ambon adalah
kaum Muslim. Elit politik yang berbasis di Ambon, juga sangat lemah dan dalam
dekade-dekade berikutnya tidak mampu mempertahankan otonomi daerah yang sama.
Yang terkait dengan RMS, didiskreditkan. Kaum nasionalis Ambon, seperti
Pupella, juga gagal dalam usaha-usaha mereka untuk membujuk rekan-rekan mereka
bahwa kemakmuran masa depan mereka36 dan pembangunan dapat tercapai saat bergabung
dengan Indonesia. Pupella melanjutkan karir politiknya di tahun 1950an, tetapi
tidak pernah mendapatkan kembali pengaruh yang dia nikmati di masa pra-RMS.
Setelah penumpasan
RMS, proses-proses perubahan sosial yang mencoba untuk didapati, itu
dipercepat dan diberikan dalam bentuk baru. Golongan Raja dengan cepat kehilangan salah
satu dukungan kolonial mereka yang krusial – dukungan judisial mereka – dan semakib banyak raja yang diangkat
berasal dari luar keluarga-keluarga raja. Dukungan finansial pemerintah untuk
para raja, suatu perebutan “tulang” dalam beberapa dekade terakhir pemerintahan
Belanda, hanya menjadi sekedar tanda kenangan.
Salah satu efek samping RMS yang paling signifikan
adalah hilangnya KNIL sebagai kelompok sosial. Seolah-olah seperti KNIL dan
seluruh masalah sosialnya, “dipindahkan” ke Belanda, ketika sekitar 4000
tentara dengan keluarga mereka diangkut ke Belanda. Akibatnya, sejumlah kecil
orang Ambon yang tergabung dalam KNIL pasca perang, dipindahkan ke TNI.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka adalah mantan tentara RMS yang kemudian
membedakan diri mereka dalam kampanye melawan Darul Islam, gerakan untuk
mendirikan negara Islam. Orang Ambon masih bertugas di TNI, tetapi mereka tidak
lagi membentuk kelompok istimewa seperti yang mereka lakukan di zaman Belanda.
Soumokil, Istri (Josina Taniwel) dan Anak di hari-hari terakhir |
Dengan menghormati relasi antara 2 komunitas agama, RMS adalah
upaya untuk mempertahankan dominasi Kristen dalam masyarakat Ambon. Pada saat
itu, desas desus yang disebarkan oleh Soumokil tentang “pengislaman” paksa menimbulkan
ketakutan masyarakat Kristen yang sangat dalam, akan “dikuasai” oleh mayoritas
muslim Indonesia. Bagaimana pun juga, penyerahan kedaulatan akan berarti
hancurnya relasi khusus antara komunitas Kristen dengan pemerintah. Tindakan
penumpasan RMS , dimaknai melalui kepergian personel Belanda secara mendadak
dan nyata, daripada yang seharusnya, menyisakan , misalnya saja Gereja
Protestan bergantung pada sumber dayanya sendiri, seprti selama masa perang. Secara
umum, kegunaan identifikasi Kristen Ambon dengan hal-hal yang “berbau” Belanda
semakin menurun. Erosi keunggulan kaum Kristen dalam bidang pendidikan, yang
dimulai sebelum masa RMS memperoleh momentum dengan ekspansi cepat pemerintah
dalam bidang pendidikan.
Dalam perkembangan pasca RMS ini, sisi mata uang koin
dibalik ke pihak umat Islam. Mereka tidak lagi tinggal di sebuah “negara” yang
diperintah oleh orang Kristen. Untuk pertama kalinya, kebutuhan agama dan
pendidikan mereka, menerima dorongan langsung dan dukungan finansial dari
pemerintah. Ketegangan yang diciptakan oleh RMS dan pertumbuhan lebih lanjut
dalam iklim kompetisi tidak membuat harmonisnya hubungan komunal, tetapi
mungkin lebih mengarah pada hal yang kompleks
dan sejajar.
Catatan Kaki
Penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada banyak orang Ambon yang meluangkan waktu dengan murah hati untuk menjelaskan seluk beluk masyarakat mereka. Penelitian ini didukung di Indonesia oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Arsip Nasional dan Universitas Pattimura, sedangkan di Belanda oleh General State Archives, the Royal Institute of Linguistics and Anthropology, the Royal Institute for the Tropics, and the archives of the former Ministry of Overseas Territories and the Ministry of Defense. Terima kasih yang tulis kepada staf lembaga-lembaga ini atas dorongan dan bantuan mereka.
- Volkstelling 1930, vol. 1 (Batavia: Departement van Economische Zaken, 1936), hal 91. Masyarakat yang disebut “orang ambon” tinggal di Afdeeling Ambon
- See R. H. Chauvel, "Stagnatie, exodus, en frustratie: Economische geschiedenis van Ambon van 1863 tot 1950," in intermediair (Amsterdam), Feb. 20,1981.
- See R. H. Chauvel, "Ambon's Other Half . . . ," Review of Indonesian and Malayan Affairs 14,1 (1980): hal 53-67.
- A. Th. Manusama, Beknopt Geschiedenis der Vereeniging der Ambonschstudiefonds, 1909-1919 (Weltevreden: n.p., 1919).
- A.J. Patty seorang Kristen, lahir di Ambon tahun 1894, gagal menyelesaikan pelatihan kesehatan di Stovia. Ia bekerja sebagai juru tulis di firma swasta dan sebagai jurnalis di Insulinde/ surat kabar NIP. Ia menjadi anggota Insulinde/NIP pada tahun 1920. Dalam tahun 1919-1920, ia berkampanye diantara tentara-tentara Ambon. Tahun 1922-1923, ia mendirikan Sarekat Ambon di komunitas Ambon di Batavia, sebelum pindah ke Ambon pada April 1923. Diusir dari Ambon pada Oktober 1924, ia kemudian dibuang ke Boven Digul
- E.U. Pupella lahir di Ambon tahun 1910, mengikuti MULO di Makasar. Ia bergabung dengan Sarekat Ambon di Makasar, saat bekerja di Bataafse Petroleum Maatschappij. Pada tahun 1933, ia mengikuti pelatihan guru di Taman Siswa Yogyakarta. Ia kembali ke Ambon tahun 1934, dan menjadi pemimpin Sarekat Ambon, dan terpilih sebagai anggota Ambonraad tahun 1938.
- Termasuk diantaranya Pattimaipau, Tjokro dan Wim Reawaru, seorang Kristen (advent) yang merupakan pegawai kapal laut KPM. Reawaru menjadi pemimpin kaum nasionalis Ambon paling radikal.
- Sinar Matahari (Ambon), Nov. 3,1943.
- "Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional di Daerah Maluku" (Ambon: Proyek Penilitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978), p. 122.
- Interview with E. U. Pupella, Ambon, Feb. 2,1975.
- H . H . Luhukay, "Maluku dalam perlintasan suasana Orde Baru" (Ujung Pandang, typescript, 1967), p. 58.
- Ibid., p. 61; Sejarah Militer XV/Pattimura, Mengenal dari dekat Komando Daerah Militer XV/Pattimura (Ambon: n.p., 1974), pp. 15 and 18- 19.
- "Politiek Verslag der Residentie Zuid-Molukken, 1-15 June 1946," RL E81 (Ministry of Overseas Territories, The Hague). D.P. Tahitu, seorang dokter Kristen yang bekerja di pemerintahan, turut bekerja di masa pemerintahan Jepang. Ia tidak memiliki afiliasi politik atau pengalaman politik sebelum masa
- Sikap orang Ambon terhadap Indonesia sangat kuat dipengaruhi oleh pengalaman orang-orang Ambon yang pernah hidup selama awal revolusi di wilayah Republlik atau wilayah-wilayah pertikaian, dan yang menjadi sasaran penyerangan dan pembalasan, yang sering dipicu oleh perilaku tentara-tentara Ambon. Meskipun tidak ada pengusiran besar-besaran orang Ambon dari Jawa dan Sulawesi, pengaruh psikologi dari pengalaman di daerah-daerah itu pada pemikiran politik di Ambon, jauh lebih besar daripada jumlah yang sebenarnya.
- KNIL Hoofdkwartier, "Groote Oost en Borneo, sitrap no. 20, 3 1 - 8 - 46," Verbaal 31-12-47 LE 78 (Ministry of Overseas Territories, The Hague).
- Interview with E. U. Pupella, Ambon, Jan. 20,1979.
- "Politiek Verslag der Residentie der Zuid-Molukken, October-November 1946" (Ministry of Overseas Territories); see also Chauvel, "Ambon's Other Half," pp. 70-75.
- Nefis Buitenkantoor Amboina no. 49/geh Bijlage CIO-MIO no. 37 "Weekverslag 6 t/m 12 Maart 1947" (Nefis AA 23) Ministerie van Defensie, Centraal Archieven Depot (MvD), The Hague.
- Petition, PTB to the Queen, dated May 8, 1947, in S. L. van der Wal, ed., Officiële Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen 1945-50, vol. 8 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), p. 580.
- J. A. Manusama, seorang Kristen Ambon yang memiliki orang tua indo, lahir di Banjarmasin pada tanggal 17 Agustus 1910. Ia adalah lulusan teknis mesin di THS Bandung tahun 1940, dan menjadi guru sekolah menengah selama dan sesudah perang.
- "Politiek Verslag der Residentie der Zuid-Molukken, December 16-31, 1948" (Ministry of Overseas Territories).
- M.A. Pelaupessij, seorang Kristen dan dididik sebagai pegawai karir oleh Belanda, menjadi konsultan perdagangan di Ambon tahun 1946, dan diangkat oleh NIT sebagai Kepala Daerah tahun 1948.
- E. I. van der Meulen, De Ronde-tafelconferentie (The Hague: Staatsuitgeverij, 1978).
- J.H. Manuhuttu, seorang Kristen lahir tahun 1908, pegawai karir didikan Belanda. Tahun 1946-1957, ia adalah Raja negeri Haria dan merupakan salah satu dari sedikit Raja yang bukan loyalis GSS/PTB. Ia adalah simpatisan PIM namun bukan anggota
- Interview with J. A. Manusama, Capelle A/D I'ssel, Jan. 17,1978.
- KNIL/KL-WTIR no. 35, Makassar, December 21, 1949 (Secretariaat Landmacht Nieuw-Guinea, 1950, ZG 101, no. 79), MvD.
- KNIL-WOMOT, no. 6, Feb. 16, 1950 (Landmacht NG, ZG 1, 79), MvD; and I. M. Djabir Sjah [Minister of Internal Affairs, NIT], "Het incident te Ambon," Jan. 26,1950, Arsip Nasional, Ujung Pandang, no. 22/23.
- Menurut perjanjian RTC, tentara Indonesia dalam KNIL dapat memilih antara demobilisasi (tetap tinggal) dan perpindahan ke angkatan bersenjata RIS, suatu pilihan antara hidup sederhana di kampung atau bergabung dengan bekas musuh, yang diperumit dengan masalah pensiun, gaji, status dan keamanan.
- KNIL/KL-WOMOT, no. 12, Maart 30, 1950, bijlage C (HKGS-N.OI no. GG 81, ongenummerd 1950), MvD.
- Soumokil lahir, dibesarkan dan mendapatkan pendidikan di luar kampungnya (luar Ambon). Meskipun minim pengalaman politik, ia diangkat sebagai menteri kehakiman di kabinet NIT. Karirnya terancam oleh keterlibatannya dalam eksekusi “napi” pemimpin gerilya, Monginsidi, yang bertanggungjawab atas aksi nasionalisnya. Awal tahun 1950, ia kehilangan posisinya di kabinet federalis, namun sebagai jaksa agung, ia mati-matian mempertahankan eksistensi NIT.
- R.J. Metekohy, seorang Kristen, pegawai sipil didikan Belanda. Seorang utusan ke Malino dan Denpasar, ia menjadi deputi menteri keuangan di kabinet pertama NIT dan penasehat orrganisasi militer orang Ambon di Makasar
- E. I. van der Meulen, Dosier Ambon 1950 (The Hague: Staatsuitgeverij, 1981), p. 22.
- Versi Manusama tentang RMS ada dalam bukunya Om Recht en Vrijheid (Utrecht: Libertas, 1952), juga pada laporan lebih ekstensif seperti “Verslag betreffende de gebeurtenissen in de Zuid-Molukken na de sourvereiniteits-overdracht op 27 Desember 1949," September 1952, juga muncul secara terpisah-pisah seperti Geheim verslag van Manusama" in T. Pollmann and J. Seleky, Istori-Istori Maluku (Amsterdam: De arbeiderspers, 1979), pp. 96-100.
- Ia (Soumokil) meninggalkan Makasar, saat kaki tangannya dalam kudeta Andi Azis memiliki kemungkinan untuk memproklamasikan kemerdekaan, dan peranan Soumokil barangkali menggerakan dukungan bagi kemerdekaan Indonesia Timur di Menado dan Ambon. Saat ia masih di Menado, ia telah memperlajari melalui pertukaran telegram dengan Makasar, bahwa rencana deklarasi mungkin tidak bisa terwujud. "Nederlands Indie, le & 2e Pol. actie" doos 045 (MvD).
- Angkatan Darat Territorium VII, "Panitya Penjelesaian Pemeriksaan Terhadap Pemimpinan RMS" (Ambon, 1952). Setelah pertemuan, Manusama mengirim telegram ke Makasar, mendesak pemerintah untuk mempertahankan sistim federalis dan jika perlu memproklamirkan republik merdeka. Telegram itu memberi kesan bahwa ia dan Soumokil masih memiliki harapan (telegram exchange Soumokil-Hopster, 15/16 April, quoted in telegram PXOO [Schotborgh]-CGS [Buurman van Vreeden] nr. CS220 A, 16-4-50, "Nederlands Indie, le &C 2e Pol. actie," doos 045), MvD.
- Suasana tiba-tiba dari proklamasi RMS, telah menjadi fokus kontroversi pahit saat mereka “menyentuh” isu klaim RMS tentang legitimasi dan dukungan rakyat. Manusama dan para pengikutnya menyatakan bahwa proklamasi adalah keinginan jelas dan bebas yang diinginkan oleh orang-orang Maluku Selatan. Manuhutu dan Wairisal menyatakan bahwa mereka memproklamasikan gerakan itu, dibawah ancaman. Wawancara dengan Manusama, Wairisal dan Manuhutu dipublikan dalam Ben van Kaam The South Moluccans (London: Hurst, 1980), hal. 107-114
- Peristiwa seputar proklamasi tidak menyebar ke luar pulau Ambon. Tidak ada bukti yang menunjukan dukungan untuk RMS berasal dari orang-orang yang tinggal di luar Maluku Selatan.
- Van der Meulen, Dosier Ambon, chs. 2 and 3.
Catatan Tambahan (dari
kami)
- Bestuurassistent atau asisten administrasi adalah suatu jabatan yang dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20 (1910an) khususnya dalam konteks wilayah karesidenan Ambon. Jabatan ini pertama kali disebutkan dalam Memorie van Overgave Resident van Ambon, Raedt van Oldenbarnevelt tertanggal 12 Juni 1915.
§ Lihat Arsip
no 109 : Memorie van Overgave van de
Resident van Ambon, Raedt van Oldenbarnevelt, 12 Juni 1915 (dimuat dalam P.Jobse Bronnen
Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel I (1900 – 1918), Den Haag,
1997, hal 383 – 417, khususnya hal 409.
Jabatan ini diisi oleh 4 asisten administrasi dan para figurnya
dipilih dari keluarga Raja yang “berpengaruh” berdasarkan kesetiaan kepercayaan
mereka kepada Belanda. Menurut Memorie
van Overgave Assisten Residen Afdeling Ambon, H.J. Schmidt (1922-1924)
tertanggal 23 September 1924, menyebutkan bahwa Afdeling Ambon memiliki 4
onderafdeling, yaitu :
1.
onderafdeling Ambon yang
dibantu oleh 2 bestuur assistent
2.
onderafdeling Saparua yang
dibantu oleh 2 bestuur assistent
§ Lihat Arsip
no 85 : Memorie van Overgave van de Afdeeling
van Ambon, van Assistent-Resident Schmidt , 23 September 1924 (dimuat dalam Ch.
F. Fraasen Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel II (1918 – 1924), Den Haag, 1997, hal 451 –
466, khususnya hal 452.
§ Lihat Richard
Chauvel Nationalists, Soldiers and
Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880 -1950),
Leiden, 1990, hal 15
Bestuur-assistant (asisten
administrasi) untuk onderafdeling Saparua, berdasarkan hasil penelusuran kami,
yang dapat diketahui adalah :
1.
Johan Roberth Titaley,
regent van Saparua menjadi bestuur-assistent (?? – 1924)
2.
Rudolf Pieter de Queljoe,
regent van Porto menjadi bestuur-assistent (1924-1928, 1929-1933)
3.
Pattiraja R Toeharea,
regent van Tengah-tengah menjadi bestuur-assistent (1924)
4.
Matheus Ahasverus
Kesaulya, dari Siri Sori Kristen menjadi bestuur-assisten (1925-1938)
5.
Abdul Azis Pattisahusiwa, calon
regent van Siri Sori Islam menjadi bestuur assistent (1940 – 1942)
6.
Johanes Hermanus
Manuhuttu, regent van Haria menjadi bestuur assisten (1942? -1945)
§ Lihat
Arsip no 87: Bestuur-memorie voor de afdeeling Ambon van Assisten-Resident
Schmidt tertanggal 29 September 1924 (dimuat dimuat dalam Ch. F. Fraasen Bronnen
Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel II (1918 – 1924), Den Haag, 1997, hal 483 –
466, khususnya hal 484,485, 488.
§ Lihat
Algemeen register : Pattisahusiwa, Abdul Azis (dimuat dimuat dalam Ch. F.
Fraasen dan P.Jobse Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel IV (lampiran), Den Haag, 1997, hal 199
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 176, catatan kaki no 6
- Pada catatan kaki no 6, Richard Chauvel hanya menulis nama Pupella dengan inisial namanya yaitu E.U. Pupella, begitu juga dengan sumber pada buku/artikel dan disertasinya. I.O. Nanulaita dalam biografi Johanes Latuharhary, hanya menulis E.U. Pupella. Begitu juga dengan Dieter Bartels dalam bukunya, juga hanya menulis E.U.Pupella yang mengutip disertasi dan artikel Chauvel. Menurut sumber lain, nama lengkapnya adalah Eliza Urbanus Pupella, lahir pada tanggal 24 April 1910 di Hila.
§ Lihat
Richard Chauvel Indonesia Merdeka! Ambon
Merdeka?: A Modern Social and Political History
of the Ambonese Islands, Universitas Sydney, Sydney, 1984 (Disertasi
Phd), hal 259-260
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 152, catatan kaki no 1
§ Lihat
I.O. Nanulaita Mr Johanes Latuharhary,
Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
Jakarta, 2009, hal 56
§ Lihat
Dieter Bartels Dibawah Naungan Gunung
Nunusaku (edisi terjemahan Indonesia), jilid 2, KGP, Jakarta 2017, hal 659
§ Lihat
Chris Lundry Separatism and State
Cohesion in Eastern Indonesia, Arizona State University, 2009, Hal 111
(disertasi Phd) diunduh dari www.papuaweb.org
version
§ Lihat
Dita Nurdayati, Kaum Nasionalis Ambon:
Peran dan Perjuangannya membawa Ambon menjadi bagian dari NKRI, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, (sebuah skripsi)
Hal 29
§ Lihat
John Pattikayhatu, Sejarah Revolusi
Kemerdekaan di Daerah Maluku, Departemen Pendidikan & Kebudayaan,
Jakarta, 1979, hal 14
- E.U. Pupella pemimpin Sarekat Ambon ditunjuk menjadi Bunkencho (Head of the subregency of Ambon Island) atau yang kami terjemahkan sebagai Kepala “perwakilan” Ambon.
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 175
§ Lihat
Richard Chauvel Republik Maluku Selatan
and Social Change in Ambonese Society during the late colonial period (dimuat
dalam jurnal Cakalele volume 1 no1/2, 1990, hal 13-26), khususnya hal 20
§ Lihat
Dieter Bartels Dibawah Naungan Gunung
Nunusaku (edisi terjemahan Indonesia), jilid 2, KGP, Jakarta 2017, hal 661
§ Lihat Sejarah Daerah tematis zaman kebangkitan
nasional di Maluku (1900-1942), Departemen P&K, Ambon, 1977-1978, Hal
125
- Pada artikel ini, yang dieditori oleh Audrey Kahin dan diterbitkan tahun 1985 Richard Chauvel hanya menulis keluarga Gapersz, namun 5 tahun kemudian (1990), saat disertasinya di tahun 1984 dijadikan buku dengan revisi disertasinya, ia menulis bahwa D.J. Gaspersz dan anaknya Wim Gaspersz ditunjuk oleh sekutu untuk memegang pemerintahan lokal menggantikan E.U. Pupella. D.J. Gaspersz bernama lengkap Daniel Johanis Gaspersz diangkat sebagai regent van Naku sejak 10 Juni 1911, juga menjadi bestuur-assisten di onderafdeling Ambon sejak 1924-1942
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 213-214
§ Lihat
Dieter Bartels Dibawah Naungan Gunung
Nunusaku (edisi terjemahan Indonesia), jilid 2, KGP, Jakarta 2017, hal 671
§ Lihat
Arsip no 87: Bestuur-memorie voor de afdeeling Ambon van Assisten-Resident
Schmidt tertanggal 29 September 1924 (dimuat dimuat dalam Ch. F. Fraasen Bronnen
Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel II (1918 – 1924), Den Haag, 1997, hal 483 –
466, khususnya hal 484,485, 486 (catatan kaki no 13)
§ Lihat
Algemeen register : Gaspersz, D.J. (dimuat dimuat dalam Ch. F. Fraasen dan
P.Jobse Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel IV (lampiran), Den Haag, 1997, hal 136
§ Lihat
Jusuf A Puar Peristiwa Republik Maluku Selatan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1956,hal 138
§
Lihat Petrik Matanasi Republik Militer (para) Sersan, 2015, hal 36
- Pada artikel ini dan bukunya, Richard Chauvel hanya menulis tentang Sultan Ternate yang menolak proposal “Moluccan Commonwealth”, namun tidak menyebut nama Sultan Ternate itu. Pada sumber lain, Paul van Dijk menyebut nama Sultan Ternate, yaitu Iskandar Mohamad Djabir Sjah
§ Lihat
Paul van Dijk Where the pale tricolours
blows: The NIT through the lens of the North Moluccan residency 1946-1950,
2015, hal 23
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 217
- Delegasi asal Ambon pada konferensi Malino adalah dr D.P. Tahitu, R.J. Metekohy, J.Tahya, J.S.H. Norimarna dan J.Tupenalay (regent van Halong)
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 217
- Ambonraad dibentuk pada 12 Desember 1921, yang disebutkan dalam lembaran negara Staatsblad 1921 No 158. Menurut Chauvel yang mengutip sumber dari Memorie van Overgave Gubernur Maluku, Leonard Willem Hendrik van Sandick tertanggal 30 September 1926 menyebut bahwa anggota Ambonraad yang pertama didalamnya ada 9 raja.
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 87, catatan kaki no 4
§ Lihat
Arsip no 101: Bestuur-memorie van Gouverneur der Molukken van Sandick tertanggal
30 September 1926 (dimuat dimuat dalam Ch. F. Fraasen Bronnen
Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel II (1918 – 1924), Den Haag, 1997, hal 598 – 711,
khususnya hal 631,636
§ Lihat
I.O. Nanulaita Mr Johanes Latuharhary,
Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
Jakarta, 2009, hal 25
9 raja
yang dimaksud antara lain (kami menemukan 10 orang dan 1 diantaranya adalah
anggota National Indonesia Partij, yang juga menjadi anggota Ambonraad,
sehingga dianggap tidak mewakili golongan raja):
1.
Johan Roberth Titaley
regent van Saparoea menjadi anggota (1921-1924, 1930-1938)
2.
P.M. Pattiasina regent van
Booi menjadi anggota (1921-1930)
3.
Daniel Johanes Gaspersz
regent van Naku menjadi anggota (1921-1942)
4.
L.L. Rehatta regent van
Soya menjadi anggota (1921-1942)
5.
I.Th. Tita regent van
Rumah Tiga menjadi anggota (1921-1924)
6.
Mohamad Saleh Latuconsina
regent van Pelau menjadi anggota (1921 -1924)
7.
Mohamad Latuny/Lestuny,
kepala soa di Hila menjadi anggota (1921-1924)
8.
Haji Djailudin Lestaluhu,
kepala soa di Tulehu menjadi anggota (1921 – 1924)
9.
A. Mewar regent van Laha
menjadi anggota (1921-1924)
10. Jeremias
Sipahelut regent van Ameth menjadi anggota (1921-1924)
§
Lihat Algemeen register :
nama-nama di atas (dimuat dalam Ch. F. Fraasen dan P.Jobse Bronnen
Betreffende de Midden Molukken 1900-1942, deel IV (lampiran), Den Haag, 1997, hal 136
- Presiden Negera Indonesia Timur (24 Des 1946 – 17 Agus 1950) pertama dan juga terakhir bernama lengkap Tjokorda Gde Raka Soekawati. Lahir di Ubud pada 15 Januari 1899, meninggal pada 1967. Menikah dengan 2 wanita, pertama dengan Gusti Agung Niang Putu, yang kedua dengan wanita Perancis, Gilberta Vincent.
Selama 4 tahun masa pemerintahannya, ada 6 Perdana Menteri yaitu :
1.
Nadjamudin Daeng Malewa (13
Jan 1947-11 Oktober 1947)
2.
Semuel Jusuf Warouw (11
Oktober 1947 – 15 Des 1947)
3.
Ida Anak Agung Gde Agung
(15 Des 1947 – 27 Des 1949)
4.
Jan Engelberth Tatengkeng
(27 Des 1949 – 14 Maret 1950)
5.
D.P. Diapari (14 Maret
1950 – 10 Mei 1950)
6.
Marthinus Putuhena (10 Mei
1950 – 17 Agustus 1950)
- Pada catatan kaki no 20, Chauvel hanya menyebut J.A. Manusama memiliki orang tua Euresia atau Indo. Petrik Matanasi yang mengutip sumber dari Rosihan Anwar hanya menyebut ayah Manusama orang Ambon, dan ibunya Indo (campuran Belanda).
Manusama memiliki nama lengkap Johanes Alvarez Manusama, lahir di
Banjarmasin 17 Agustus 1910 serta meninggal di Roterdam 29 Desember 1995.,
menikah dengan Kit de Kock. Orang tua Manusama bernama Johan Alexander Manusama (1881/2-1954)
dan Sophia Welhelmina Geertruida Versteegh (1888-1979). Kakek dan Nenek Manusama (dari pihak ayah)
adalah Johannis Alvariz Manusama (1850-1914) dan Susana Abigael Makatita
(1853-?), sedangkan Kakek dan Nenek Manusama (dari pihak ibu) adalah Philip
Leonard Versteegh (1852-1892) dan Johanna Isabella Louisa van Lutzow
(1856-1935). Tante Manusama (kakak perempuan ibunya) yang bernama Wilhelmina
Johana Carolina (1886-?) menikah kedua kali dengan Sech Abdullah bin Salim
Baadilla (1883-?) di Ambon pada 28 Januari 1928. Pernikahan ini akan
menghubungkan Manusama dengan Des Alwi. Ibu Des Alwi yang bernama Khalija
Baadilla adalah sepupu dari Sech Abdullah. Ayah Khalija Baadilla yang bernama
Said Baadilla adalah kakak dari Salim Baadila, ayah Sech Abdullah. Kakak dari
kakek buyut Manusama (dari pihak ibu) yang bernama Hendrik Dirk Versteegh (1791
-1849) adalah seorang perkenier terkenal di Banda. Salah satu anak perempuannya
yang bernama Anna Elizabeth Versteegh (1816-1883) menikah dengan Fredrik
Alexander Neijs (1806 – 1888) putra Johanes Alexander Neijs, Resident van
Ternate (1817 – 1831), serta Secunde Gubernemen van Ambon (1816 – 1817).
§ Lihat
M.D. Etmans De Bevolking van Banda van
1818 tot 1920, 2 volume, Ferwerd, 1998, hal 16,17,51, 60,123,138,489
§ Lihat
Chr. Fr. Fraasen Bronnen Betreffende
Midden Molukken 1796-1902, Naam Register Neijs, Fredrik Alexander, Versteegh,
Anna Elizabeth, Versteegh, Hendrik Dirk
§ Lihat Mariette
van Selm, Betreffende de Protestantse
Kerk op Banda Eilanden 1795-1923,Huygen Knaw, 2004, hal 524
§ Lihat
Des Alwi, Sejarah Maluku : Banda Naira,
Ternate, Tidore dan Ambon, Dian Raya, Jakarta, 2005, hal 190,199
§ Lihat
Rosihan Anwar, La Petite Historie, Jakarta,
2004
- Pramoedya Ananta Toer menulis marganya Pelupessy, sedangkan Herbeth Feith menulis marganya Pelaupessij. M.A.Pelaupessij memiliki nama lengkap Melkianus Augustinus Pelaupessij, lahir di Ihamahu 25 Mei 1906, menikah dengan Susana Elizabeth Judith (Deetje) Metekohy di Bandung pada 17 Desember 1936. Istrinya ini lahir di Batavia pada 6 Oktober 1914. Pada Agustus 1948, ia ditunjuk oleh NIT menjadi kepala daerah karesidenan Maluku Selatan menggantikan resident F.W.G.Linck. Menurut sumber Chauvel, kandidat untuk menjadi kepala daerah ada 3 orang yaitu R.C.S. Soumokil, E.U. Pupella dan M.A. Pelaupessij.
Roberth Christian Steven Soumokil adalah menteri kehakiman di dalam
kabinet perdana menteri S.J. Warouw ,Ida Agung Gde Agung dan J.E. Tatengkeng.
Eliza Urbanus Pupella adalah anggota parlemen di NIT, sedangkan M.A.
Pelaupessij adalah anggota senior di pemerintahan NIT.
Pada Agustus 1949, ia ke Den Haag mengikuti Konferensi Meja Bundar
(23 Agustus – 2 Nov 1949) meski bukan dalam kapasitas sebagai delegasi resmi.
Jabatannya diserahkan kepada J.H. Manuhuttu sebagai pejabat kepala daerah. Saat NIT dibubarkan dan digabung kedalam
Republik Indonesia, ia dipercayakan menjadi Menteri Penerangan di masa kabinet
Natsir (6 Sept 1950 – 27 Apr 1951), Menteri Urusan Umum di kabinet Sukiman (27
Apr 1951 -3 Apr 1952), dan merangkap jadi Menteri Kehakiman (14 Juni 1951 – 20
Nov 1951) saat Muhamad Yamin mengundurkan diri pada 14 Juni 1951.
Pelaupessij juga adalah anggota Panitia Lambang Negara bersama
Sultan Hamid II, Muhamad Yamin, Ki Hadjar Dewantara, R.M.N. Poerbatjaraka,
Muhamad Natsir. Ia diketahui mengusulkan angka 8 sebagai jumlah ekor burung
garuda pada lambang negara yang kita ketahui sekarang.
§ Lihat South Pasific Commission :Biographical Notes
on Members of Delegations Attending, Sydney,
Oktober 1948, Hal 7
§ Lihat
Turiman Fachturahman Nur, Kronologis
Sejarah Hukum Lambang Negara Indonesia,Universitas Indonesia, Jakarta, 1999
(suatu tesis)
§ Lihat
Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi
Indonesia, Jilid V, KPG, Jakarta, 2014,hal 241
- J.H. Manuhuttu memiliki nama lengkap Johanes Hermanus Manuhuttu, lahir di Haria pada 9 April 1908, meninggal di Ambon pada tanggal 22 Agustus 1984. Putra dari Jacob Michel Manuhuttu dan Antonia Luisa Wattimena . Menikah dengan Helena Manusama di Namlea. Yusuf Puar dan Petrik Matanasi menyebut Manuhuttu lahir pada tanggal 8 April 1908
§ Lihat Jusuf Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, Bulan
Bintang, Jakarta, 1956,hal 137
§
Lihat Petrik Matanasi Republik Militer (para) Sersan, 2015, hal 35
- Menteri Dalam Negeri NIT yang dimaksud oleh Chauvel adalah M.A. Pelaupessij. Ia menjadi Menteri dalam negeri pada tanggal 2 April 1949 dalam kabinet Ida Anak Agung Gde Agung.
§ Lihat
Richard Chauvel Nationalists, Soldiers
and Separatists : The Ambonesse Island from the colonialism to revolt (1880
-1950), Leiden, 1990, hal 288, catatan kaki no 29
- Yang dimaksud oleh Chauvel adalah Ida Anak Agung Gde Agung menjadi Duta Besar Indonesia untuk Belgia (1949-1953).
- Negara-negara federal yang telah runtuh seperti yang dimaksud Chauvel dalam kalimat ini adalah :
1.
Negara Jawa Timur (19
Januari 1950)
2.
Negara Pasundan (8 Maret
1950)
3.
Negara Madura (9 Maret
1950)
4.
Negara Sumatera Selatan
(18 Maret 1950)
Jadi hanya tersisa Negara Sumatera Timur (15 Agustus 1950) dan
Negara Indonesia Timur (17 Agustus 1950)
- Letnan kolonel Mokoginta bernama lengkap Ahmad Junus Mokoginta, lahir di Kotamobagu 28 April 1921, meninggal di Jakarta pada 11 Januari 1984. Ayahnya bernama Abraham Patra Mokoginta. Ia menikah dengan Koriati Kori Mangkuraatmaja (1923-2005).
- Batalion Worang yang dimaksud adalah Batalion yang dipimpin oleh Mayor Hein.Victor. Worang.
- Andi Abdul Azis lahir di Sulawesi Selatan pada 19 September 1924 meninggal 30 Januari 1984. Menikah dengan Hasri Ainun.
- Soumokil bernama lengkap Christian Roberth Steven Soumokil lahir pada 13 Oktober 1905 di Surabaya. Menikah dengan seorang wanita Seram bermarga Taniwel.
- R.J. Metekohy bernama lengkap Rudolf Julianus Metekohy, biasa dipanggil Dolf Metekohy.
- Soumokil tiba di Ambon pada tanggal 16 April 1950, 6 hari kemudian ia “dipecat” dari jabatan Jaksa Agung NIT . Kronologisnya adalah sebagai berikut: Soumokil menjadi Menteri Kehakiman di masa pemerintahan Perdana Menteri S.J. Warouw (Oktober 1947-Des 1947), Ida Anak Agung Gde Agung (Des 1947-Des 1949) dan J.E. Tatengkeng (Des 1949-Maret 1950). Pada saat kabinet dipegang oleh D.P. Diapari (14 Maret –Mei 1950), Soumokil diberhentikan dari jabatannya dan ditunjuk menjadi Jaksa Agung NIT sejak 27 Maret 1950.
- Menurut Vonis hakim Overste Tituler Salatun terhadap 12 terdakwa pemimpin RMS dijatuhi hukuman sebagai berikut:
1.
J.H. Manuhuttu divonis 4
tahun penjara, tuntutan Jaksa 6 tahun
2.
A.Wairisal divonis 5
tahun, tuntutan jaksa 6 tahun
3.
D.J. Gaspersz divonis 4,5
tahun, tuntutan jaksa 6 tahun
4.
J.B. Pattiradjawane
divonis 4,5 tahun, tuntutan jaksa 5 tahun
5.
G.C.H. Apituley divonis
5,5 tahun, tuntutan jaksa 8 tahun
6.
D.Z. Pesswuarissa dovonis
5,5 tahun, tuntutan jaksa 8 tahun
7.
I. Ohorela divonis 4,5
tahun tuntutan jaksa 5 tahun
8.
J.S.H. Norimarna divonis
5,5 tahun, tuntutan jaksa 5 tahun
9.
F.H. Pietersz divonis 4
tahun, tuntutan jaksa 6 tahun
10. T.A.H.
Pattiradjawane divonis 3 tahun, tuntutan jaksa 3 tahun
11. D.J.
Samson divonis 10 tahun, tuntutan jaksa 15 tahun
12. T.
Nussy divonis 7 tahun, tuntutan jaksa 10
tahun
§ Lihat Jusuf Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, Bulan
Bintang, Jakarta, 1956,hal 196,202
https://niadilova.wordpress.com/2016/03/28/visual-klasik-nusantara-29-presiden-pertama-rms-dan-anggota-kabinetnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar