A. Kata Pengantar
Matakau1 adalah bagian
dari kehidupan sosial masyarakat Nusantara bagian timur, terkhususnya orang
Maluku. Dalam kehidupan sosial orang Maluku, “objek” mistis dan menakutkan ini
sering digunakan di masa lalu, dan mungkin hingga kini masih tetap
dipraktikkan. Matakau dianggap dan dipercaya memiliki “kekuatan” untuk
melindungi, “memperingatkan” dan mencegah suatu kejahatan.
Melalui artikel pendek ini, G.L. Tichelman2, seorang pejabat
berkebangsaan Belanda yang pernah bertugas di Maluku, khususnya di Pulau Seram,
pada dekade awal abad ke-20 menjelaskan objek dan praktik ini. Tentunya ia
pernah melihat dan mengetahui betul objek dan praktik ini dikarenakan ia pernah
bertugas di Pulau Seram. Artikel pendek ini berjudul Pohung and Matakau
: Scaring Charms in the Bataklands and the Moluccas, dimuat
dalam Journal Man, volume 54 (Des 1954), halaman 183-185. Menarik
bahwa Tichelman mencoba mendefinisikan matakau dengan
penafsirannya yaitu “mata aku” (my eye). Selain mendeskripsikan tentang matakau, Tichelman
juga mendeskripsikan objek dan praktik yang mirip yang disebut Pohung, yang
dipraktikkan oleh masyarakat Suku Batak.
Meskipun artikel pendek ini sudah cukup lama, hampir 70 tahun lalu namun kami perlu menerjemahkannya untuk dibaca dan diketahui. Pada artikel asli, Tichelman menyisipkan 3 gambar/foto, sementara hasil terjemahan ini kami menambahkan beberapa catatan tambahan dan 1 foto pribadi dari G.L. Tichelman saat bertugas di Pulau Seram. Semoga artikel pendek ini bisa bermanfaat.
B.
Terjemahan
Dalam satu kasus pameran Museum Tropis di Amsterdam dipamerkan pohung dari
tanah Batak, suatu gambar kayu yang sangat primitif (ganaganaan),
sedikit lebih dari sepotong kayu dimana telah diukir wajah yang kikuk. Sepasang
tangan yang dipotong kasar dan sangat besar yang dipaku pada tunggulnya.
Manekin memakai sehelai kapas berwarna sebagai penutup kepala; kain dililitkan
pada bagian yang mewakili tubuh, dan selembar anyaman digunakan sebagai kain
pinggang (sarong).
Seorang tua dari Batak di Lumban Sitapongan, distrik Oonte Mungkur (Muara
Toba) memberi kami beberapa informasi yang sangat berharga tentang akibat dan
pentingnya pohung, yang masih digunakan secara umum di antara
suku-suku di tanah Batak (Sumatera Utara), dan dianggap sangat efektif untuk melindungi
tanaman. Orang Batak memiliki pohung (atau ganaganaan)
yang dibuat oleh seorang pendeta terpelajar (datu) sebagai jimat yang
menakutkan, tanda tabu dan peringatan bahwa tidak ada yang bernai mengambil
sehelai daun atau buah pun dari perkebunannya.
Di masa yang tenang, pohung tu suasuanan, pangingan ni pantangan menakut-nakuti pencuri di perkebunan, dan di masa perang itu berfungsi untuk mengusir serangan musuh di gubuk datu (pantangan).
Untuk membuat pohung, semua jenis tanah pangulubalang, tanah
lempung dan lain-lain (pangulubalang di sini berarti mantra untuk
menyebabkan kerusakan pada musuh) dikumpulkan, dan dicampur bersama di dalam
lesung. Dari campuran tanah ini, sebuah sosok dibuat/diremas, dan didudukan di
paha pembuat. Setelah dijemur di bawah sinar matahari, datu melukis
semua jenis karakter dan tanda tabu di atasnya, catnya dibuat dari tumbuk
ajaib. Manekin kemudian dibalut dengan daun bira, daun besar
tanaman sedap malam dan sulur baliang yang menjalar.
Selanjutnya ayam oraculur disediakan dan pohung “diberi
makan”. Setelah mantra khusus diucapkan, pohung dipasang di
perkebunan yang harus dilindungi, baik di depan gubuk datu (dukun),
atau di bawah atap tempat tinggal radja.
Di tanah Batak umumnya orang percaya akan keampuhan dan kekuatan pohung untuk
mendatangkan sihir melalui sebuah gambar. Kepercayaan pada kekuatan keinginan
sudah terbentuk sebelumnya; identitas keinginan dan kenyataan diterima. Gambar
tersebut diduga dapat menyebabkan penyakit atau keluhan yang serius, seperti
gangren, luka kaki (gejal frambosia), gangguan jiwa, dan kelumpuhan sementara
atau permanen pada salah satu anggota badan atau anggota tubuh lainnya, atau
seluruh tubuh. Kelumpuhan, bisa terjadi seketika, sehingga pencuri tidak bisa
meninggalkan TKP dan pemilik kebun bisa menangkap pencuri di tempat. Dalam
bentuknya yang paling ganas, pohung bahkan dapat menyebabkan
kematian. Tingkat pengaruhnya tergantung pada kekuatan sihirnya. Bagi pemilik
tanaman yang dilindungi, pohung tidak merugikan.
Seperti yang telah disebutkan, jimat yang menakutkan dibuat oleh
seorang datu yang sangat ahli dalam pekerjaan ini. Dia akan
membuat gambar seperti itu hanya atas permintaan khusus dari pemilik perkebunan
yang meminta bantuannya yang sangat berharga. Kadang-kadang datu benar-benar
harus dimohon untuk memberikan bantuannya.
Pohung sebagian besar terbuat dari jenis kayu bagian sebelah
luar dimana sesuatu seperti topeng manusia diukir secara kasar. Lebih jarang,
gambar batu kikuk digunakan untuk melindungi tanaman dari pencurian. Di suatu
tempat sekitar pusar atau pinggang pohung dibuat lubang yang
di dalamnya dimasukan zat yang disebut pupuk. Ini adalah
tumbukan atau pasta ajaib yang dibuat dari beberapa bahan, terkadang
menjijikan. Lubang ditutup dengan sumbat kayu untuk mencegah tumbukan ajaib itu
terbawa oleh hujan. Manekin dibungkus dengan sepotong kapas usang, kain apa pun
yang digunakan untuk tujuan itu. Seringkali “potongan rambut” yang terbuat dari
daun atau rumput dipasang di kepala, dan akhirnya tubuh dibungkus dengan anyaman
usang. Jelas sangat sedikit perawatan yang diberikan pada penampilan luarnya.
Sang datu kemudian mengucapkan mantra yang didiktekan
untuk pohung. Efisiensi pohung dengan
demikian dipastikan melalui intervensi datu, dengan penerapan
kombinasi :
1.
Gambar atau patung dalam bentuk apapun dan dari bahan
apapun yang dibuat
2.
Benda yang menghidupkan, pupuk;
3.
Rumus, mantra
Menurut beberapa datu, pohung juga harus memiliki pisau
yang terbuat dari sedikit kayu atau bambu. Senjata ini dikunci oleh
pemilik pohung di rumahnya.
Ketika tanaman untuk perlindungan telah dipanen, pohung dapat
disimpan untuk kesempatan lain tanpa perawatan lebih lanjut oleh datu. Bahkan
dapat digunakan beberapa kali. Tetapi orang yang hendak memasang pohung yang
“disiapkan” oleh datu di kebunnya, tidak boleh melakukannya
dengan seenaknya – ia harus menyatakan niatnya secara tegas dan umum dengan
pengumuman berikut : “Dengan ini saya memberitahukan kepada semua orang bahwa
sebuah pohung telah dipasang di..... Jadi berhati-hatilah agar tidak ada bahaya yang menimpa anda.....”.
Setelah pengumuman ini pemilik kebun membawa pohungnya ke
ladang yang membutuhkan perlindungan dan menempelkan jimat pada bambu atau
tiang kayu yang tinggi sehingga semua yang mendekati lingkungan dapat
melihatnya. Akhirnya ia mengharapkan gambar pohung untuk
menjaga kebunnya dengan setia. Dia kemudian bisa pulang tanpa perlu khawatir
lagi.
Pohung dapat disamakan dengan pangulubalang untuk
hasil bumi. Pangulubalang dalam pengertian ini adalah gambar,
baik dari batu atau kayu atau dalam bentuk gambar yang dengan sihir,
dimaksudkan untuk bertindak sebagai “jagoan” baik untuk tujuan agresif atau
defensif. Titik-titik kemiripan memang mencolok, gambar primitif yang dibuat
oleh seorang datu, dengan ramuan ajaib yang disimpan di
dalamnya, berulang kali sebagai jimat penghalang atau hukuman. Pesona seperti
yang digambarkan di sini terjadi di seluruh Indonesia.
Pohung hanya merugikan orang yang secara sadar bersalah
mencuri atau merusak tanaman dari perkebunan yang dilindungi. Yang
disebut penchuri raja atau tangko tangko raja tidak
termasuk. Siapapun yang mengambil buah atau sayuran sesuai dengan kode keramah
tamahan ini tidak akan dirugikan oleh pohung. Tangko tangko raja menurut
adat Batak, mengizinkan setiap orang yang lapar melewati perkebunan untuk
memetik buah atau sayuran untuk memenuhi kebutuhan yang mendesai; misalnya dia
mungkin mengambil 1 sampai 4 atau 5 sisir, suatu jumlah yang tidak banyak.
Sebagai aturan, tongkolnya dipanggang dan dimakan di tempat sebagai “obat”
untuk melawan rasa lapar. Makanan yang diperoleh dengan cara ini tidak boleh
dijual. Seseorang juga diperbolehkan untuk menggali sekitar 4 atau 5 bawang dan
membawanya untuk memulai kebunnya sendiri. Tidak ada pelanggaran yang
dimaksudkan dengan perampasan ini dan jika pemilik kebun bertemu di kemudian
hari, dia harus diberitahu bahwa sedikit dari hasil panennya telah diambil;
atau orang lain dapat diminta untuk memberitahunya. Pemilik tidak boleh marah
atas kesalahan ini.
Berbahaya membuat pohung tiruan (pohung tiru-tiruan)
yang dimaksudkan hanya untuk menakut-nakuti orang. Karena ada pohung yang
disebut pohung simadangadang, yang bisa bergerak dan
menyelinap. Potensi pohung semacam ini bisa masuk ke
dalam pohung tiru-tiruan, menghidupkan pembuatnya dan
mendatangkan sial. Itulah mengapa tidak ada yang akan membuat pseudo pohung (pohung
tiru-tiruan).
Pohung menunjukkan kemiripan yang besar dengan matakau (mata aku? = mataku) yang ditemukan di seluruh bagian timur Nusantara. Dalam literatur yang sangat luas tentang subjek ini, matakau sering diterjemahkan sebagai “mata merah”, sesuai dengan apa yang disebut “mata jahat”.
Pandangan yang dibuat oleh Tuan van Dissel, yang pada suatu waktu seorang
pejabat sipil yang bertugas di Indonesia, menganggap matakau atau kera
kera orang Papua sebagai representasi yang terwujud, tampaknya,
bagaimanapun, lebih pada suatu titik.
Matakau orang Maluku ditempatkan terutama di perkebunan dan di
dekat pohon-pohon buah-buahan. Ada yang berbentuk binatang (ular, macan,
buaya), senjata (panah, tombak, kapak) atau wayang (orang-orangan) dari gamutu (serat
aren) yang menyebabkan kematian siapa saja yang menyentuh barang milik orang
lain. Matakau juga bisa berbentuk seperti buah, yang membunuh
pencuri ketika dia memakannya. Jadi matakau dibentuk/dibuat
untuk mencegah pencurian atau memaksa pencuri mengembalikan barang yang dicuri.
Kekuatan penghancur hewan, senjata, atau buah yang terwakili oleh matakau, akan
menghancurkan penjahat. Apa yang membuat matakau menjadi jimat
adalah kenyataan bahwa ia bertindak sebagai makhluk hidup, menghukum pencuri
tetapi tidak membahayakan pemilik perkebunan atau kebunnya.
Beberapa jenis matakau adalah : api, peti mati, setan,
buaya, katak, babi, kusta, gonore, gila, tikam, perut, bantal-bantalan,
terong matakau dan sebagainya. Jenis yang agak ringan
adalah matakau kodok (katak), yang menyebabkan serangkaian
suara yang tidak terputus seperti derak katak di celana atau kain di pinggang
pelakunya. Seperti yang nampak dari nama-nama ini, malapetaka yang nyata
ditimpakan ke kepala pelaku. Kadang-kadang matakau didirikan
di bawah tenda kecil dan tidak boleh lupa untuk membisikkan ke telinganya
semacam perjanjian, umumnya ancaman menakutkan yang ditunjukan bagi
pelaku kesalahan.
Kauwakit orang Buru (Maluku Selatan) merujuk sepenuhnya kepada apa yang disebut matakau dalam dialek Melayu Maluku. Di antara Alifuru Buru umumnya sampai pada ini : bahwa patung beberapa binatang, biasanya buaya, terbuat dari gaba-gaba (tulang rusuk tengah daun sagu), atau diukir dari kayu, diikat ke objek yang membutuhkan perlindungan. Disertai dengan upacara tertentu, formula ucapan diucapkan dimana siapa saja yang berani untuk meletakkan tangan pada objek, akan dimakan oleh buaya.
G.L. Tichelman saat berkunjung ke pesisir selatan Seram |
Di kalangan orang Galela Halmahera (Maluku Utara) matakau umumnya
terbuat dari tongkat dan daun, dengan tombak yang ditancapkan, atau dengan palu
kayu yang diikat. Khawatir efek matakau, orang Galela tidak akan berani
mencuri. Jika ia melakukannya, maka dukun menusuk matakau dengan
tombak atau menghancurkannya dengan palu, sehingga memukul roh atau jiwa orang
yang bersalah, dan segera setelah itu, orang itu akan mati.
Tanda-tanda tabu yang mengancam pelaku dengan penyakit serius atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, digunakan tidak hanya di seluruh Indonesia, Papua
Nuigini dan Maluku Selatan, tetapi juga di pulau-pulau di Pasifik, di Cape
Colony, di Suriname, di Baltik Rusia, dan di Irlandia.
Dengan tidak adanya pengawasan polisi yang tepat dalam masyarakat primitif,
tindakan yang dijelaskan di atas memiliki efek pencegahan [terhadap kejahatan]
tingkat pertama.
====== selesai ======
Catatan
Tambahan:
1. Terminologi Matakau muncul pada sumber-sumber VOC pada awal tahun 1630-an
§ Gerrit J
Knaap, Crisis and Fairlure : War and Revolt in Ambon
Islands, 1636 – 163, Jurnal Cakalele, volume 3 tahun 1992, hal 1- 26,
khusus hal 8
2. Gerardus Lowrens Tichelman lahir pada 31 Januari 1893 di Palembang, dan
meninggal pada tanggal 3 Januari 1962. Ia adalah putra dari Johannes Cornelis
Tichelman dan Christina Louwrina Albertina van Eijck. Ia menikah dengan
Sjoukjen Mararetha Elisabeth Albertina Posthuma pada tanggal 27 Desember 1917
di Seram. Di Amahai ia bertugas sebagai Controleur onderafdeeling van Amahai
sejak 11 Januari 1918 hingga 01 November 1922, yang sebelumnya bertugas sebagai
Ads Gezaghebber onderafdeeling West Ceram (Seram sebelah barat) sejak 1917-Jan
1918.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar