[Philip Post]
A. Kata Pengantar
Banyak cara dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk mempertahankan kekuasaan mereka di wilayah jajahan. Salah satunya melalui kebijakan yang bersumber dari pembacaan terhadap literatur masa lalu yang ditulis oleh pendahulu mereka. Dari pembacaan literatur itulah, maka pemerintah kolonial, dalam hal ini para pegawainya membuat kebijakan dengan tujuan tersebut di atas.
Melalui artikel ini, sang penulis, Philip Post, sarjana dari Universitas Leiden, Belanda, mengkaji soal demikian. Ia menyorot tentang isi Memorie van Overgave atau Memorandum Serah Terima Jabatan, milik Gubernur Maluku, Hendrik Merkus de Kock, yang ternyata didalamnya bersumber dari pembacaan atau konsultasi dari literatur-literatur Gubernur-gubernur yang pernah berkuasa sebelum dirinya. Dengan tradisi itu, maka ia kemudian menulis memorandum itu, dan akan menjadi “literatur” juga bagi penggantinya, serta rangkaian ini akan berkelanjutan dalam hal reprouksi pengetahuan.
Artikel ini berjudul Kennis, macht en continuiteit : Tradities van kennisproductie in de Molukken (1770 – 1820) dan dipublikasikan di Jurnal De Achttiende Eeuw, volume 54, Issue 1, Oktober 2022, halaman 93-109. Sejujurnya, naskah artikel ini kami dapatkan dari Tuan Philip Post sendiri yang mengirimkannya ke kami melalui email. Ia berbaik hati mengirimkannya, mungkin karena kami “memintanya” dan ia mengapresiasi salah satu artikelnya yang pernah kami terjemahkan dan muat di blog ini. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati dan kepercayaanya kepada kami untuk menerjemahkan artikel miliknya.
Kajian dari Philip Post ini sepanjang 17 halaman, didukung dengan 32 catatan kaki, 2 foto/gambar dan bibliografi. Pada terjemahan ini, kami hanya menambakan sedikit catatan tambahan, beberapa gambar tambahan saja. Tujuan kami menerjemahkan artikel ini adalah untuk memberikan literasi bermutu untuk dibaca dan dipahami, sehingga kita lebih memahami secara baik tentang masa lalu kita sendiri, yang tanpa disadari telah ikut membentuk kita di masa kini. Ada penjelasan menarik dari Philip Post dalam kajian ini, ia menyebut bahwa selama 2 abad keberadaan kompeni atau VOC, para pegawai VOC memperoleh banyak sekali pengetahuan tentang perdagangan orang Asia. Mereka tidak hanya membutuhkan kapal dan militer tetapi juga informasi. Maka VOC sebagai sebuah organisasi, pengetahuan yang didapatkan itu penting untuk dikumpulkan dan disimpan. Dengan cara ini, pengetahuan yang disimpan dapat terus diperbarui dan ikhtisar yang semakin tepat dan terperinci dibuat. Jika kita mau kembali memikirkan penjelasan Philip Post ini, maka sewajarnya kita harus mengakui bahwa begitu banyak “sejarah” kita telah ditulis oleh mereka dan bersyukur karena mereka mau menyimpannya. Suka atau tidak suka, kita perlu membaca, memahami, menganalisis dan kemudian merekonstruksi ulang sejarah kita dari literatur yang mereka tulis dan simpan itu. Akhir kata, semoga kajian ini akan bermanfaat untuk kita semua.
B. Terjemahan
Abstraksi
Artikel ini menyorot memorandum serah terima jabatan yang ditulis oleh Hendrick Merkus de Kock, seorang Gubernur Belanda di Ambon pada tahun 1819, dan mempelajari bagaimana hal itu mengungkapkan pentingnya warisan pemerintahan VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) pada abad ke-19. Jenis dokumen [memorandum serah terima jabatan] ini adalah genre khas VOC dan, meskipun penulisnya secara retoris sangat kritis terhadap praktik-praktik VOC, memorandum tersebut menunjukan bahwa dia menggunakan warisan VOC untuk membentuk pemerintahannya sendiri. Dia mengulangi stereotip tentang penduduk lokal, yang pertama kali ditulis oleh bekas Gubernur VOC, untuk membenarkan kontrol Belanda di Ambon. Selain itu, De Kock menggunakan ritual-ritual yang dinegosiasikan selama periode VOC untuk membentuk interaksinya dengan para Regent [pemimpin] orang Ambon setempat. Terakhir, memorandumnya menunjukkan bagaimana pemerintahannya diilhami oleh produksi praktik dan tata kelola pengetahuan Inggris.
Pada tanggal 7 Januari 1819, Gubernur Maluku, Hendrick Merkus de Kock (1779 – 1845a), duduk di belakang mejanya di Ambon untuk menyelesaikan dokumen terakhir yang akan ditulisnya sebagai seorang Gubernur. Dokumen itu, [adalah] sebuah memorandum serah terima jabatanb, yang dimaksudkan untuk memberi tahu penggantinya, Hendrik Tielenius Kruythoff (1777-1822c), tentang cara terbaik untuk mempertahankan kepentingan kolonial Belanda di wilayah yang Kruythoff tidak kenal baik, dan dimana ia sekarang memegang otoritas dari negara kolonial. Dalam memorandumnya, De Kock tidak hanya menulis kata-kata penyemangat untuk penggantinya, tetapi di atas segalanya, [ia] berbagi beberapa pelajaran berharga yang telah membantunya dalam memerintah [wilayah] Maluku.
Dengan menulis memorandum ini, De Kock menempatkan dirinya dalam tradisi kuno, yang dengan cepat menjadi hal biasa setelah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) membangun otoritasnya di berbagai tempat di Asia sejak tahun 1602 dan seterusnya. Sejak saat itu, tidak terhitung banyaknya para Direktur [atau pejabat], baik di Ambon maupun di tempat-tempat lain, telah menulis banyak sekali memorandum untuk penerus/pengganti mereka yang memuat informasi tentang masyarakat lokal, jaringan perdagangan, ritual diplomatik, dan semua hal lain yang berkaitan dengan kekuasaan Belandad.
Yang istimewa dari memorandum De Kock adalah dia seharusnya tidak menulisnya. Ketika VOC hampir bangkrut pada akhir abad ke-18, aset-asetnya – terutama utang-utangnya – diambil alih oleh negara Belanda. Setelah beberapa tahun ketidakpastian administrasi, H.W. Daendels (1762-1818) diangkat pada tahun 1807 sebagai Gubernur Jendral dengan tugas “menyapu bersih” peninggalan-peninggalan VOC. Menurut banyak orang, VOC “binasa di bawah korupsi”. Sebaliknya, pemerintahan yang tercerahkan harus dibangun menjalankan koloni Belanda menurut prinsip-prinsip “modern”. Seperti Daendels yang meringkas situasi setibanya ia di Hindia, “kehancuran [..........] telah berkembang ke tingkat yang tidak dapat diperbaiki tanpa rekonstruksi institusi yang lengkap”1.
Sebagai bagian dari rencananya, dia telah menyusun intruksi-instruksi untuk para administratornya dan menciptakan arus informasi baru yang memungkinkan kontrol yang lebih ketat dari pusat administrasi di Jawa dan lebih sedikit ruang untuk adaptasi dengan budaya administrasi lokal. Oleh karena itu, para Gubernur tidak boleh berpedoman pada apa yang telah ditulis oleh para pendahulu mereka dalam memorandum serah terima jabatan – seperti kebiasaan pada zaman VOC – tetapi harus memerintah berdasarkan instruksi-instruksi yang tepat, yang diedarkan oleh Daendels pada tahun 1809. Menurut instruksi ini, para pejabat ini harus memerintah dengan “semangat hemat” dan dengan ketaatan tentang “administrasi yang penuh perhatian dan teliti”2. Tidak ada lagi ruang untuk memorandum serah terima jabatan dalam budaya administrasi baru ini. Dengan menulis memorandum serah terima jabatan sendirian, De Kock menempatkan dirinya dalam tradisi yang telah dijauhi oleh para pejabat (anggota dewan) lainnya dalam banyak hal.
Tetapi isi memorandum De Kock juga menunjukkan bahwa dia dalam banyak hal terinspirasi oleh warisan VOC ketika membentuk pemerintahannya. Dalam nasihatnya kepada Kruythoff, ia beberapa kali mengutip dokumen-dokumen yang ditulis puluhan tahun sebelumnya oleh para pendahulunya dari zaman VOC. Dia tidak hanya menggunakan memorandum serah terima jabatan mereka [para pendahulu] sebagai model untuk teksnya sendiri, tetapi juga mempelajari karya-karya mereka untuk lebih memahami sejarah politik dan ekonomi Ambon. Berkat semua referensi ini, karya De Kock membentuk jendela ke dunia yang telah lama dianggap hilang – dunia VOC – tetapi ternyata masih hadir dalam berbagai cara.
Ini terutama tercermin dalam 3 tema yang akan dibahas dalam artikel ini. Pertama, kita akan melihat bahwa justifikasi De Kock atas kehadiran dan dominasi kolonial Belanda atas penduduk lokal sangat dipengaruhi oleh gagasan para pendahulunya. Kedua, De Kock memanfaatkan tradisi VOC untuk menjalin relasi dengan para penguasa lokal Ambon. Dan ketiga, kita akan melihat bahwa memorandum serah terima jabatan memainkan peran penting dalam bagaimana pengetahuan direproduksi. Dengan memperbesar tema-tema ini dalam memorandum De Kock, terlihat bagaimana warisan VOC terus berperan di abad ke-19.
Analisis ini menyatukan 2 periode yang secara tradisional telah dipelajari secara terpisah oleh para sejarahwan, dengan beberapa peneliti berfokus terutama pada sejarah VOC (1602 – 1796) dan peneliti lainnya pada munculnya negara kolonial (dari tahun 1816). Tinjauan penting tentang munculnya administrasi kolonial Belanda pada abad ke-19 kurang memperhatikan bagaimana negara kolonial terhubung dengan VOC dan memberi kesan bahwa terjadi pemutusan/pemisahan relasi kerja yang tajam pada akhir abad ke-183. Dalam visi ini, VOC terutama didorong oleh perdagangan dan baru pada abad ke-19 muncul negara yang lebih memperhatikan masalah-masalah administrasi. Kurangnya perhatian terhadap kesinambungan antara VOC dan negara kolonial ini disebabkan oleh fakta bahwa arsip-arsip yang sangat berbeda dewasa ini harus dipelajari untuk merekonstruksi masa lalunya. Tetapi tentu saja pengarsipan ini baru terjadi kemudian – bagi para pegawai di Maluku pada awal abad ke-19, dokumen-dokumen dari zaman VOC merupakan sumber penting untuk menentukan posisi mereka sendiri. Baru-baru ini, sejarahwan seperti Alicia Schrikker dan René Koekkoek telah menunjukkan nilai tambah dengan memperbesar kesinambungan antara VOC dan negara kolonial4.
Artikel ini diawali dengan garis besar singkat sejarah kehadiran Belanda di Maluku. Selanjutnya menunjukkan peran produksi pengetahuan untuk sistem kolonial dan menunjukkan bagaimana memorandum serah terima jabatan begitu penting dalam hal ini. selanjutnya, ketiga tema tersebut di atas didiskusikan dan dan dibahas bagaimana genre memorandum serah terima jabatan tetap penting bagi administrasi kolonial hingga abad ke-20. Artikel diakhiri dengan kesimpulan singkat.
Monopoli Rempah-rempah
Jauh sebelum VOC berdiri pada tahun 1602, Maluku sudah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dunia. Cengkih, pala dan fuli Maluku diperdagangkan di seluruh Samudera Hindia berabad-abad sebelum kedatangan orang Eropa. Rempah-rempah ini sangat populer untuk keperluan kuliner dan obat-obatan dan dijual sangat mahal. Kehadiran teritorial Eropa di Maluku dimulai ketika Portugis menetap di Ambon pada awal abad ke-16 dan membangun benteng di sana. Butuh waktu lama sebelum Belanda tiba, tetapi setelah tahun 1602, Portugis menghadapi persaingan sengit dari VOC5.
Dalam beberapa dekade, VOC berhasil, melalui kombinasi kekerasan brutal dan kerjasama dengan penguasa lokal, dalam merebut kekuasaan di wilayah untuk dan mendominasi perdagangan rempah-rempah. Kompeni dapat memperoleh uang paling banyak dengan sepenuhnya menentukan pasokan rempah-rempah ini sendiri, sehingga segala sesuatu segera dilakukan untuk membangun monopoli. Setelah beberapa dekade aksi kekerasan, monopoli rempah-rempah di Maluku secara definitif didirikan sejak pertangahan abad ke-17. Cengkih hanya boleh dibudidayakan di beberapa pulau di sekitar Ambon dan pala serta fuli hanya di Banda. Untuk benar-benar mengumpulkan dan memperdagangkan cengkih di Ambon, VOC memanfaatkan kekuasaan para Regent (penguasa) lokal, yang dihadiahi semakin banyak orang dari desa mereka sendiri yang dapat dikerahkan untuk berdagang cengkih6.
Monopoli ini akhirnya bertahan selama 1, 5 abad dan sepertinya tidak bisa didekati untuk waktu yang lama. Namun pada akhir abad ke-18, VOC runtuh seperti rumah kartu. Hal ini sebagian karena ketidakmampuan organisasi untuk melakukan reformasi, tetapi terlebih lagi karena meningkatnya persaingan dari British East India Company. Ketika negara Inggris juga terlibat dalam pertempuran antara perusahan dagang, VOC segera menutup tirai. Dalam konteks perang revolusioner antara Inggris dan Prancis, Inggris mengambil alih beberapa koloni Belanda di Asia. Maluku mengalami 2 periode pemerintahan transisi (peralihan) Inggris : Ambon berada di bawah kekuasaan Inggris antara tahun 1796 – 1803 dan tahun 1810 – 1817. Setelah periode kedua Inggris di Ambon berakhir pada tahun 1817, koloni dikembalikan ke Belanda. Ada banyak penentangan lokal terhadap hal ini. Di bawah pimpinan seorang serdadu Maluku, Pattimura (1783-1817), pemberontakan besar-besaran melawan pemerintah Belanda terjadi, yang berlangsung beberapa bulan dan diakhiri dengan kekerasan oleh negara Belanda7.
Ketika
De Kock mengambil alih pemerintahan Maluku, di bertanggung jawab untuk lebih
membentuk otoritas Belanda dan memulai kembali perdagangan rempah-rempah.
Seperti yang sudah jelas dari bagian pengantar, ini berarti bagi De Kock bahwa
dalam praktiknya dia harus segera kembali ke pengalaman yang diperoleh VOC di
Asia. Salinan arsip dikirim ke Maluku dari Belanda dan Batavia untuk membantuk
para administrator lokal memahami bagaimana wilayah itu dibentuk oleh kehadiran
VOC. Genre tertentu terbukti sangat penting bagi De Kock : [yaitu] memorandum
serah terima jabatan.
Pengetahuan dan Kolonialisme
Selama 2 abad keberadaan kompeni, para pegawai VOC memperoleh banyak sekali pengetahuan tentang perdagangan Asia. Untuk dapat berdagang di Asia, VOC tidak hanya membutuhkan kapal dan tentara, tetapi juga informasi. Pengetahuan dibutuhkan tentang semua aspek perdagangan. Misalnya, informasi harus diperoleh tentang rute pelayaran ke (untuk orang Eropa) ke daerah-daerah di Asia yang tidak diketahui dan pengetahuan medis sangat penting untuk menjaga agar para pelaut tetap hidup selama perjalanan panjang mereka. Tetapi bahkan setelah tiba di pelabuhan-pelabuhan asing, informasi harus diperoleh dengan cepat untuk bertindak. Izin siapa yang diperlukan untuk membeli dan menjual produk?? Orang mana yang bisa dipercaya??? Siapa yang menjual produk bagus?? Penting juga bagi VOC sebagai organisasi bahwa jawaban atas pertanyaan semacam itu dikumpulkan dan disimpan. Dengan cara ini, pengetahuan yang disimpan dapat terus diperbarui dan ikhtisar yang semakin tepat dan terperinci dibuat8.
Jenis dokumen penting dalam reproduksi pengetahuan ini adalah memorandum serah terima jabatan. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pendahuluan, ini adalah tinjauan panjang dan terperinci yang ditinggalkan oleh seorang pejabat VOC untuk penggantinya dan dimana semua urusan pemerintahan ditangani/dikelola. Karena rata-rata seorang Gubernur hanya menjabat selama sekitar 5 tahun dan kemudian meninggalkan sebuah memorandum, sejumlah besar memorandum serah terima jabatan telah diwariskan sejak periode VOC. Dengan cara ini, reservoir pengetahuan dibangun di banyak tempat dimana VOC berada, yang dilengkapi dengan wawasan baru setiap beberapa tahun. Memorandum disimpan di hampir semua tempat penting dimana VOC berkantor. Memorandum itu hampir sepenuhnya tidak ada hanya untuk [kantor] di Batavia dan Tanjung Harapan.
Rumah Resident di Ambon, ca 1890 |
Bagi seorang pejabat senior di suatu daerah, seperti Gubernur Ambon, memorandum itu juga berfungsi sebagai petunjuk tentang apa yang diharapkan darinya. Tidak ada peraturan resmi untuk Gubernur, tetapi dengan membaca memorandum para pendahulunya, dia bisa mengetahui apa tugasnya di tempat tertentu dan bagaimana itu harus dilakukan9. Transfer pengetahuan secara alami juga banyak terjadi melalui personil-personil yang hadir/berada di [wilayah-wilayah] cabang; nilai tambah dari sebuah memorandum adalah di atas segalanya bahwa seorang pejabat yang akan pergi [atau mengakhiri masa tugasnya] dapat menyampaikan beberapa pelajaran berharga kepada penggantinya. Ini tidak berarti bahwa seorang Gubernur mempelajari semua memorandum pendahulunya segera setelah menjabat : biasanya hanya memorandum dari 1 atau 2 pendahulunya yang dibaca. Selain itu, memorandum dapat dikonsultasikan/dipelajari nanti pada saat-saat krisis untuk mempelajari bagaimana, misalnya, bencana alam atau konflik bersenjata ditangani lebih awal. Karena para pejabat meninggalkan memorandum, kelangsungan pemerintahan dapat dijamin tanpa seorang Gubernur tinggal terlalu lama di tempat tertentu dan dengan demikian mampu menciptakan basis kekuatannya sendiri yang terlepas dari VOC.
Tidak
semua orang senang dengan keuntungan yang ditawarkan oleh memorandum serah
terima jabatan. Menurut sang pembaharu, Daendels, yang menjadi Gubernur Jendral
antara tahun 1808 dan 1810, dokumen-dokumen ini juga memiliki kekurangan yang
besar. Dia percaya bahwa memorandum berkontribusi terlalu banyak pada
pemeliharaan budaya administrasi lokal. Menurutnya, tidak ada lagi ruang bagi
genre VOC seperti memorandum serah terima jabatan untuk menegaskan pengaruh
yang lebih kuat dari pusat pemerintahan di Jawa.
Ideologi Kolonial dan Stereotip
Tidak sepenuhnya jelas mengapa De Kock memutuskan untuk menulis memorandum serah terima jabatan untuk penggantinya. Ini mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa dia sendiri mendapat banyak dari teks-teks para pendahulunya. Namun bukan berarti ia melihat dirinya sebagai kelanjutan dari praktik-praktik kompeni. Seperti Daendels, De Kock juga mengkritik bagaimana VOC berdagang di Asia selama 2 abad. Dalam pandangannya, sudah saatnya menjauhkan diri dari monopoli ketat dan praktik-praktik opresif yang menjadi ciri khas Kompeni pada masa itu. Dalam memorandum serah terima jabatan-nya, misalnya, ia menulis bahwa pemberontakan tahun 1817 melawan negara kolonial Belanda adalah hasil dari “situasi lama yang lemah”, yaitu, monopoli perdagangan VOC, “kecurangan terdahulu” dan “perbuatan salah lainnya”10.
Akan tetapi, menurut pendapatnya, masa pencerahan telah dimulai dengan berdirinya negara kolonial. Karena itu dia memberi tahu penggantinya setelah perdamaian dipulihkan dan pemerintah ditata kembali, dia memerintah dengan cara yang berbeda. Dia telah menetapkannya “sebagai tugas yang menyenangkan untuk menanamkan kepercayaan kaum pribumi kepada pemerintah Belanda”11. Selama pemerintahannya dia telah “menerima dan berbicara dengan para Regent dan kaum pribumi yang paling tidak pada semua kesempatan” dan menjelaskan kepada mereka bahwa pemerintah kolonial kemudian bertujuan untuk “melihat dan mengatur penduduk pribumi dengan cara yang adil, dan memastikan bahwa mereka tidak ditindas atau diperlakukan tidak adil oleh siapapun”12.
Generasi administrator seperti De Kock jelas melihat dirinya tercerahkan dan beradab. Mereka percaya bahwa mereka memiliki hak untuk memaksakan “peradaban” ini kepada masyarakat yang mereka anggap kurang berkembang. Tetapi meskipun para administrator seperti De Kock sangat kritis terhadap VOC dalam retorika mereka, banyak dari gagasan mereka tentang pemerintahan kolonial yang unggul berhubungan baik dengan apa yang telah ditulis oleh Gubernur-gubernur sebelumnya sejak masa VOC. Menurut Jurrien van Goor, mereka juga telah “merasa perlu untuk mempertahankan pemerintahan mereka dengan menuntut kualitas administrasi dan standar moral yang dianggap lebih tinggi yang seharusnya mereka miliki”13. Hanya berkat manajemen VOC, rakyat jelata dapat dilindungi dari para Regent mereka.
Dalam satu memorandum VOC yang dikonsultasikan oleh De Kock, yaitu [memorandum milik] Bernadus van Pleurene, dicatat bahwa penting untuk “mengamati dengan cermat cara-cara dan perdagangan para Regent, jangan sampai rakyat jelata ditekan dan diberangus, dimana para kepala desa/negeri tidak akan menganggap diri mereka tidak bersalah”14. Citra administrator Belanda sebagai pelindung petani lokal yang miskin terhadap Regent-nya sendiri – sebuah citra yang dikenal banyak orang dari Max Havelaar karya Multatuli (1860) – dengan demikian memiliki sejarah yang panjang. Kesadaran bahwa para Regent ini hanya bertindak seperti itu karena didorong oleh para administrator kolonial itu sendiri hampir tidak ada sama sekali dalam tulisan-tulisan mereka.
Ada argumen lain (serupa) untuk membenarkan pemerintahan Belanda : anggapan bahwa penduduk lokal/pribumi malas dan hanya mampu menjadi produktif di bawah kepemimpinan orang Eropa. Misalnya, De Kock menulis dalam memorandumnya bahwa “orang Ambon pada umumnya sangat lembek [lambat] dan malas. Pekerjaan mereka jauh lebih sedikit daripada orang Jawa, dan, sulit untuk diakui, orang Kristen unggul dalam kemalasan dan kelesuan”15. Menurut De Kock, hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa mereka memiliki “sedikit kebutuhan [kebutuhan]” dan karenanya hanya “harus berbuat sangat sedikit untuk memenuhi/menyediakannya”16. De Kock bukanlah satu-satunya orang yang menggunakan stereotip semacam ini. Maurits Ver Huell (1787 – 1860), seorang yang mengunjungi Maluku pada tahun 1817, menulis, misalnya, dalam kunjungannya ke Ambon bahwa “semua yang dia [orang Ambon lokal/setempat] butuhkan untuk kenyamanan dan mata pencahariannya, alam yang subur menawarkan dia dalam ruang yang luas”17. Oleh karena itu, menurut Ver Huell, tidaklah mengherankan
bahwa penduduk pribumi, yang begitu kaya [oleh alam], hidup dalam pengangguran yang “lunak”: karena tidak ada yang memberi jiwa manusia lebih kuat daripada aktivitas. Pada orang-orang yang tinggal di daerah yang secara alami subur, kemampuan pikiran lebih berkembang, dan meningkat lebih tinggi19
Retorika ini memiliki 2 tujuan. Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa penduduk lokal Asia, dibandingkan dengan penduduk Eropa, dekat dengan alam dan karena itu kurang berkembang dan beradab. Kedua, stereotip semacam ini memungkinkan untuk berargumen bahwa daerah-daerah ini hanya dapat dikembangkan di bawah kekuasaan orang Eropa. Dengan demikian, pemikiran kolonial Belanda sejalan dengan pandangan yang lebih luas bahwa manusia Eropa lebih unggul daripada semua manusia non-Eropa19.
Yang mencolok dari pengamatan De Kock adalah bahwa ia memperkuat argumennya dengan mengacu pada tulisan-tulisan para pendahulunya. Dalam memorandum serah terima jabatan-nya kepada Kruythoff, ia menulis bahwa apa yang disebut kemalasan orang Ambon adalah “penyakit bawaan”. Dia memperkuat poin ini dengan merujuk pada teks para pendahulunya. Oleh karena itu, Kruythoff akan “menemukan ketika melihat/meninjau catatan-catatan lama [.........] bahwa bekas gubernur kami, sejak awal, telah mengeluhkan kekurangan-kekurangan ini”20. Stereotip ini telah diulangi oleh hampir setiap gubernur selama abad ke-18. Bernadus van Pleuren, misalnya, menulis dalam memorandum serah terima jabatan-nya pada tahun 1785 tentang “sifat bawaan yang mewah dan malas dari penduduk pribumi”21. Penduduk lokal hanya dapat mengembangkan etos kerja yang lebih baik di bawah kepemimpinan orang Eropa. Meskipun para penyelenggara negara kolonial sangat kritis terhadap VOC, dalam praktiknya mereka mengadopsi argumen-argumen yang melegitimasi otoritas mereka sendiri.
Kekerasan, Penguasa dan Ritual
Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintah Belanda secara teratur mengeluh tentang apa yang disebut “pelecehan” oleh para Regent Ambon, mereka [pemerintah Belanda) bergantung pada para Regent dalam banyak hal. Para Regent-lah yang memegang jabatan tertinggi di desanya masing-masing dalam masyarakat Ambon. Oleh karena itu, hanya dengan kerja sama mereka, cukup banyak pekerja yang dapat dimobilisasi untuk melakukan layanan penting bagi administrasi kolonial. Pertama-tama, ini menyangkut semua hal yang berkaitan dengan penanaman, budidaya, pemetikan, penanganan, pengemasan dan pengiriman cengkih ke Batavia. Tetapi juga untuk memperbaiki bangunan, mengirim surat, dan mempertahankan koloni dari serangan kekuatan asing, pekerja yang diatur oleh para Regent sangatlah penting. Oleh karena itu penting bagi seorang Gubernur untuk mengetahui dengan baik kewajiban pemimpin wilayah lokal yang dibebankan oleh Belanda, sehingga ia bisa “mengontrol” mereka. De Kock menasehati penggantinya : “untuk mengetahui urusan kaum pribumi, saya berani untuk merekomendasikan naskah dari instruksi kepada para Regent [.............]. Ini adalah teks/karya lama, dengan beberapa perubahan diterbitkan ulang oleh saya”22.
Instruksi untuk berurusan dengan para Regent lokal ini pertama kali secara sistematis dituangkan di atas kertas pada tahun 1771f oleh Gubernur VOC Ambon, Van der Voortg, yang telah menjalankan kekuasaan atas Ambon antara tahun 1770 dan 1775. Setelah itu, instruksi tersebut telah berlaku puluhan tahun di Ambon, sehingga para Regent Ambon sadar akan kewajibannya kepada pemerintahan kolonial. Fakta bahwa instruksi ini dikeluarkan kembali oleh De Kock pada tahun 1818, sangat berkaitan dengan pemberontakan Pattimura pada tahun 1817. Pemberontakan melawan pemerintah Belanda ini hanya mungkin terjadi karena banyak Regent lokal yang bergabung dengan Pattimura. Pemerintah kolonial Belanda bertindak keras terhadap mereka dan telah mengeksekusi banyak Regent berpangkat tinggi23. Seperti yang ditunjukkan oleh laporan salah satu panglima tentara Belanda, pada suatu hari, dalam serangan besar-besaran, sekitar 300 pemberontak telah ditangkap, “ oleh Mayor Meijer yang berusia 24 tahunh, semuanya dikenal sebagai pemimpin, kapitan, dan pejuang-pejuang utama, atas perintah saya dieksekusi oleh regu tembak”24.
Tindakan kekerasan oleh negara kolonial ini telah menghancurkan kepemimpinan di banyak desa di Ambon dan pulau-pulau sekitar, seperti Saparaua. Ketika otoritas Belanda dipulihkan, harus diangkat para Regent baru yang bersedia bekerja sama dengan Belanda. Selain itu, mereka harus tahu apa kewajiban mereka terhadap pemerintah kolonial. Untuk melakukan ini, De Kock kembali ke warisan VOC. Oleh karena itu, pada tanggal 14 Agustus 1818, ia mengeluarkan versi revisi dari instruksi lama VOCi. Dalam pengantar soal ini, ia menulis bahwa “mengingat bahwa karena gangguan baru-baru ini banyak diangkat Regent baruj yang sama sekali tidak akrab dengan instruksi lama”, maka perlu untuk menerbitkannya lagi25. Dalam daftar yang terdiri dari 45 pasal itu, disalin hampir satu per satu dari instruksi lama VOC, para Regent diberi gambaran tentang tugas terpenting mereka.
Rottingknoop van de Regent van Nakoe |
Masa lalu VOC juga digunakan dengan cara lain untuk membentuk relasi dengan para Regent. Setelah dilantik, seorang Regent tidak hanya menerima surat pengangkatan [atau besluit], tetapi juga segala macam status/martabat. Salah satu yang terpenting adalah rotan atau tongkat bergagang/berkepala dengan kancing perak atau emas, yang pada zaman kompeni dihiasi dengan tanda/simbol VOC. Negara kolonial memiliki kancing sendiri yang dibuat dari tahun 1816 dengan simbol-simbol monarki Belanda, tetapi para pelancong Belanda yang mengunjungi Maluku pada tahun 1820-an memperhatikan bahwa kancing pada tongkat para Regent masih dihiasi dengan logo lama VOC (lihat gambar 2). Oleh karena itu, kancing-kancing lama VOC dipertahankan dan digunakan pada abad ke-19 disamping kancing-kancing yang lebih baru. Bagi penduduk lokal, tampaknya tidak ada perbedaan yang mencolok antara VOC dan negara kolonial, yang juga dapat disimpukan dari kenyataan bahwa negara kolonial dikenal oleh penduduk pribumi/lokal hingga jauh ke abad ke-19 dengan nama kompeni, sebuah bahasa Melayu untuk [kata] Compagnie.
Pertukaran Pengetahuan
2 dekade sebelum De Kock mengeluarkan instruksinya untuk para Regent, ada sekelompok administrator yang telah membaca dan mempelajari instruksi lama VOC dengan penuh perhatian. Setelah Inggris merebut/menaklukan Ambon dari VOC pada tanggal 17 Februari 1796, mereka menelusuri arsip-arsip VOC [Belanda] untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana fungsi kolonialisme Belanda di Maluku. Beberapa bulan kemudian, Walter Caulfied Lennon dari Inggris menulis laporan panjang tentang situasi politik dan ekonomi di Ambon dan Banda, [serta] menambahkan terjemahan bahasa Inggris dari instruksi tersebut. Berkat terjemahan bangsa Inggris ini, rekan-rekannya dapat lebih memahami bagaimana hubungan pemerintah kolonial Belanda dengan para Regent. Catatan Inggris ini pada gilirannya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, setelah Maluku – sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Amiens pada tahun 1802 – dikembalikan ke Belanda. Menggunakan arsip Inggris, seorang administraor Belanda, F.O. de Bruijn van Trompk, menerjemahkannya ke bahasa Belanda, agar pemerintah Belanda dapat mengambil manfaat dari wawasan yang diperoleh Inggris.
Bentuk pertukaran pengetahuan seperti itu sangat penting bagi kebijakan kolonial. Pemerintah kolonial dapat belajar dari praktik dan gagasan pendahulu dan negara lain untuk membuat kebijakan mereka sendiri lebih efisien. Memorandum serah terima jabatan juga memainkan peran penting dalam hal ini. Kenangan selalu menjadi sumber pengetahuan yang dinamis dimana para administrator berbagi praktik terbaik untuk meningkatkan perdagangan rempah-rempah, misalnya. Mereka merujuk pada karya-karya ensiklopedia yang ekstensif tentang alam dan sejarah Maluku, seperti Het Amboinsche Kruidboek oleh Georgius Rumphius (1627 – 1702) dan Oud en Nieuw Oost-Indien oleh Francois Valentijn (1666 -1727). Memorandum De Kock menunjukkan bahwa para pejabat di awal abad ke-19 sangat tertarik dengan bagaimana Inggris memerintah Maluku. Dalam memorandumnya, De Kock menunjukkan bahwa dia berpikir tentang bagaimana praktik dan inovasi Inggris dapat memperbaiki kebijakan Belanda. Misalnya, De Kock mencatat dalam memorandumnya bahwa Inggris telah memperkenalkan posisi/jabatan baru, [yaitu] Superintendent, yang telah mengambil banyak pekerjaan dari tangan Resident (setara dengan Gubernur untuk orang Inggris). Pada tahun 1817, posisi ini dihapuskan oleh para administrator Belanda, tetapi menurut De Kock, ini bukanlah keputusan yang bai. Seperti yang dia katakan : “Saya kadang-kadang berharap itu tetap sama, sehingga membebaskan gubernur dari banyak detail kecil”27. Selain itu, Inggris telah menyusun instruksi untuk beberapa posisi, termasuk magistraat (mirip hakim), yang pada saat VOC itu telah berfungsi tanpa instruksi eksplisit. De Kock sangat antusias tentang bagaimana Inggris melakukan ini dan dalam beberapa kasus memutuskan bahwa “pekerjaan harus dilakukan dengan cara Inggris”28.
De Kock bukanlah satu-satunya Gubernur yang terinspirasi oleh Inggris. Setelah periode pemerintahan transisi Inggris pertama berakhir pada tahun 1803, Gubernur C.L. Wielingl mencatat dalam Memorandum serah terima jabatan tahun 1804, bahwa dia telah memperolah informasi dari literatur Inggris tahun 1800 tentang pengobatan penyakit kusata, yang merupakan masalah besar di Maluku. Wieling telah belajar dari literatur ini bahwa
di Hindia Barat dan di Spanyol, kadal rumput telah digunakan dengan sukses besar untuk menyembuhkan penyakit yang mengerikan yang sampai sekarang tidak dapat disembuhkan ini. Saya telah menyerahkan terjemahan kepada rumah sakit di sana dan perbaikan luar biasa telah diamati pada 2 orang Eropa, yang menggunakan prinsip pengobatan yang diresepkan untuk orang sakit29.
Fakta bahwa seorang administrator Belanda memperoleh pengetahuan melalui literatur Inggris tentang bagaiamana obat-obatan tertentu telah digunakan di wilayah Hindia Barat, menunjukkan betapa globalnya jaringan pengetahuan. Oleh karena itu, pertukaran pengetahuan merupakan bagian penting dari bagaiman negara-negara kolonial mengadopsi praktik satu sama lain untuk mempertajam kebijakan mereka sendiri.
Kelahiran kembali Memorandum serah terima jabatan
Dalam artikel ini, memorandum serah terima jabatan Gubernur De Kock telah dianalisis untuk menunjukkan bahwa memorandum menawarkan jendela ke dunia yang dalam banyak hal sangat disadari oleh para administrator di awal abad ke-19 akan dengan senang hati meninggalkannya dalam banyak hal. Banyak direktur segenerasi De Kock mengkritik praktik perdagangan VOC. Menurut mereka, dengan praktik monopoli dan korupsinya, hal itu tidak mengikuti zaman modern dan karena itu menyebabkan banyak ketidakadilan di daerah jajahan. Kebijakan.
Namun, analisis memorandum serah terima jabatan De Kock menunjukkan bahwa dalam praktik sehari-hari, masa lalu kompeni yang terkenal itu dirujuk dalam beberapa cara. Banyak stereotip tentang penduduk lokal, yang suka diulangi oleh pejabat kolonial seperti De Kock untuk melegitimasi otoritas mereka sendiri, berasal dari teks-teks yang lebih tua milik para Gubernur VOC. Selain itu, memorandumnya menunjukkan bahwa ia memanfaatkan tradisi VOC untuk membentuk relasi yang ia jalin dengan para Regent setempat/lokal. Namun memorandumnya juga menunjukkan bahwa memorandum tersebut menawarkan ruang untuk dinamisme dan inovasi. Inovasi administrasi dan ilmiah yang diperkenalkan Inggris dalam pemerintahan mereka mengilhami De Kock untuk merefleksikan pemerintahan Belanda, dan karena itu merupakan bagian dari perkembangan yang lebih luas di bidang pertukaran pengetahuan antara berbagai kekuatan kolonial. Dengan menyorot memorandum ini, artikel ini mencoba menjembatani kesenjangan antara penelitian tentang VOC dan negara kolonial, 2 institusi yang sering dipelajari secara terpisah.
A.H.W. Baron de Kock (1809 -1891) |
Namun, untuk sementara, De Kock akan menjadi administrator terakhir di wilayah bekas VOC yang menulis memorandum serah terima jabatan. Untuk paruh pertama abad ke-19, dokumen semacam itu merupakan sumber yang jarang dan hanya segelintir yang dapat ditemukan di arsip. Kebutuhan akan informasi bagi pemerintah kolonial tetap tidak berkurang, sehingga sejak tahun 180-an, para Gubernur dan administrator lainnya diinstrusikan untuk menyiapkan/membuat jenis laporan baru dan mengirimnkannya ke administrasi pusat di Batavia dan kemudian ke Den Haag. Dengan demikian, algemene verslagen (laporan umum), maandverslagen (laporan bulanan), dan politieke verslagen (laporan politik) segera muncul, yang seringkali mencakup periode yang jauh lebih pendek, dan oleh karena itu kurang ekstensif dibandingkan memorandum serah terima jabatan, yang biasanya mencakup periode 5 tahun.
Pelan tapi pasti, para pegawai di lingkungan pemerintahan kolonial menyadari bahwa hilangnya memorandum serah terima jabatan merupakan kerugian yang sangat besar. Pada tahun 1849, pemerintah kolonial memutuskan untuk menghidupkan kembali genre ini. Disimpulkan bahwa memorandum “merupakan sumber penting dari mana pengetahuan sejarah dapat diambil, dan berfungsi sebagai pedoman dalam menelusuri hal-hal dan peristiwa”, yang tanpa genre ini “tidak dapat atau hanya dengan kerja, usaha, dan kehilangan yang besar” bisa dilakukan30. Selain itu, laporan umum (algemeene verslagen) [............] sering meninggalkan begitu banyak yang diinginkan [untuk] dianggap hanya sebagai kontribusi yang sangat kecil untuk sejarah”31.
Diputuskan bahwa semua direktur harus membuat memorandum serah terima jabatan pada saat mereka menyerahkan jabatannya kepada penerus/pengganti mereka. Salah satu pegawai pertama yang menulis memorandum pada paruj kedua abad ke-19, tidak asing dengan De Kock. Pada 17 Mei 1851, Albert Hendrik Wendelin Baron de Kock, putra dari bekas Gubernur Ambon itum, menandatangani memorandum yang ditinggalkannya untuk penggantinyan. Banyak lagi yang akan menyusul kemudian. Sekilas melihat inventaris Arsip-arsip Nasional yang memuat daftar memorandum serah terima jabatan dari periode ini menunjukkan bahwa setidaknya sejak tahun 1849 dan seterusnya, sebanyak 1463 memorandum yang ditulis32. Penyusunan memorandum adalah praktik yang tetap umum sampai akhir kehadiran kolonial Belanda di Asia. Memorandum demikian membentuk genre khusus yang menghubungkan lebih dari 3,5 abad kehadiran kolonial Belanda di Indonesia.
====== selesai =====
Catatan Kaki
1. Daendels, Nederlandsche Oostindische Bezittingen, 4-5.
2. Van der Chijs, Nederlandsch-Indisch plakaatboek, 1602-1811, 977.
3. Lihat misalnya, Van den Doel, De Stille Macht en Kommers, Besturen in een onbekende wereld.
4. Lihat misalnya, Schrikker, De Vlinders van Boven Digoel dan Koekkoek, The Dutch Empire.
5. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 37-67.
6. Andaya, World of Maluku, 151-175.
7. van Fraassen, Ambon in het 19e-eeuwse Indië, 13-53.
8. Delmas, Les voyages de l’écrit.
9. Hovy, Ceylonees Plakkaatboek, LXXXIX.
10. De Kock, ‘Memorie van overgave’.
11. Ibidem.
12. Ibidem.
13. Van Goor, Kooplieden, Predikanten & Bestuurders Overzee, 151.
14. Van Pleuren, ‘Memorie’, 471.
15. De Kock, ‘Memorie van overgave’.
16. Ibidem.
17. Ver Huell, Herinnering aan een reis naar Oost-Indië, 229.
18. Ibidem.
19. Lihat juga Alatas, Myth en Noor, Data-Gathering.
20. De Kock, ‘Memorie van overgave’.
21. Bernardus van Pleuren, ‘Memorie’, 470.
22. De Kock, ‘Memorie van overgave’.
23. Lihat juga Van Fraassen, Ambon in het 19e-eeuwse Indië.
24. Buyskes, ‘Generaal Verslag’.
25. Idema, ‘De oorzaken van den opstand van Saparoea in 1817’.
26. Lihat Post, ‘Governors, Regents, and Rituals’
27. De Kock, ‘Memorie van overgave’.
28. Ibidem
29. Wieling, ‘Memorie’.
30. Overweel, Topics relating to Netherlands New-Guinea, 139.
31. Ibidem
32. Lihat Inventaris van de Memories van Overgave, 1852-1962, 2.10.39 via https://www.natio naalarchief.nl/onderzoeken/archief/2.10.39
Catatan Tambahan
a. Hendrik Merkus de Kock lahir pada tanggal 25 Mei 1779 di Heusden dan meninggal dunia di s’Gravenhage pada tanggal 12 April 1845. Ia adalah putra dari Johannes Conradus de Kock dan Maria Petronella Merkus. Menikah di Batavia pada tanggal 3 Mei 1807 dengan Luise Frederike Wilhelmina Gertrud von Belfinger. Hendrik Merkus de Kock menjadi Gubernur Maluku sejak tanggal 21 Februari 1818 – 7 Januari 1819.
b. Memorie van overgave atau MvOG, terkadang dialihbahasakan sebagai Nota Penyerahan Kekuasaan, Memori Penyerahan Tugas dan lain-lain. Kami lebih “memilih” menerjemahkannya sebagai Memorandum Serah Terima Jabatan. Apapun terjemahannya, pengertian dan tujuannya tetaplah sama.
c. Hendrik Tielenius Kruythoff atau Hendrik Tielenius Kruijthoff lahir pada tanggal 13 April 1777 di Amsterdam, putra dari Gerardus Cornelis Tielenius Kruijthoff (1735 – 1792) dan Delliana Maria Baart (1749 – 1829).
Menikah dengan Johanna Elisabeth Keyser pada 10 Juni 1804 di Batavia.. Hendrik Tielenius Kruijthoff sendiri meninggal saat masih bertugas di Ambon pada 3 Februari 1822 dan dimakamkan di Grote Kerk Ambon
d. Khusus di Ambon, di masa VOC, Gubernur Ambon pertama yang menulis Memorie van Overgave atau Memorandum serah terima jabatan adalah Gubernur Jasper Jansz, tertanggal 25 Juni 1614.
§ Gerrit J Knaap, Memorie van Overgave van Gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, Martinus Nijhoff, s’Gravenhage, 1987
e. Bernadus van Pleuren dibaptis di Amsterdam pada tanggal 16 Oktober 1735 dan meninggal di Batavia pada tanggal 31 Mei 1786. Ia menjadi Gubernur Ambon sejak 1 Mei 1775 – 2 Mei 1875. Memorie van Overgave milik Bernadus van Pleuren tertanggal 6 Juni 1785 ditinggalkan untuk penggantinya, Gubernur Adriaan de Bock (1785 – 1788).
f. Instruksi ini tertanggal 11 Januari 1771, terdiri dari 50 pasal dan 12 ayat (khusus di pasal 12)
g. Joan Abraham van der Voort, lahir di Utrecht pada tanggal 16 Juli 1732 dan meninggal pada tanggal 10 Mei 1798. Ia menjadi Gubernur Ambon pada 12 Juni 1770 – 1 Mei 1775.
h. Buijskes mungkin keliru menyebut usia Mayor Meijer dalam laporannya, sebagai 24 tahun, faktanya Mayor Jan Albert Meijer berusia 28 tahun di tahun 1817, karena ia lahir pada tanggal 27 Januari 1789.
i. Hendrik Merkus de Kock mengeluarkan instruksi dan merevisi instruksi dari Gubernur Joan Abraham van der Voort yang semula 50 pasal menjadi hanya 45 pasal
j. Khusus untuk wilayah Pulau Saparua, para Regent baru yang diangkat sejak Februari 1818 adalah :
1. Herman E. Kesaulija sebagai Radja van Ullath
2. Willem Albertus Tanalepij sebagai Radja van Tuhaha
3. Johannes Marcus Manusama sebagai Radja van Siri Sori
4. Izaak Nanlohij sebagai Radja van Porto
5. Hermanus Matheus Wattimena sebagai Pattij van Itawaka
6. Salomon Pattiwael sebagai Radja van Tiouw
7. Pieter P Nikijuluw sebagai Pattij van Ouw
8. Isaac Nicolaas Huliselan sebagai Radja van Nolloth
9. Melianus Jacob Titaleij sebagai Radja van Saparoea
10. Paulus Latumaerissa sebagai Radja van Paperu
11. Jeremias Leihitoe sebagai Pattij van Haria
12. J.M. Pattiasina sebagai Pattij van Booi
13. Roha Manuala [mungkin maksudnya Robo Pattisahusiwa) sebagai Orangkaija van Siri Sori [Islam]
§ ANRI Ambon 1818, Besluiten Pengangkatan Regent, no 173a
k. [Mungkin] bernama Frederik Otto de Bruijn van Tromp, lahir pada 21 April 1764 dan meninggal 14 Februari 1824.
l. Carel Lodewijk Wieling menjadi Gubernur Ambon sejak Juli 1803 – 30 April 1804.
m. Albert Hendrik Wendelin Baron de Kock,lahir di Surabaya pada tanggal 20 Maret 1808 dan meninggal dunia pada 17 Juni 1891 di Den Haag. Ia menikah di Batavia pada 24 Februari 1828 dengan Elisabeth Antoinette Verster.
n. A.H. W. Baron de Kock menjadi Resident van Jogja (1848 - 1851) dan memorandum serah terima jabatannya ditinggalkan untuk penggantinya, Resident J.J. Haselman (1851 – 1854)
Bibliografi
§ Alatas, S. H., The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism (Londen 1977).
§ Andaya, Leonard Y., The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu 1993).
§ Buijskes, A.A., ‘Generaal verslag Buijskes over zijn verrichtingen in de Molukken’, http:// resources.huygens.knaw.nl/retroboeken/middenmolukken17961902/#page=1236& accessor=toc&view=htmlPane (geraadpleegd 23 januari 2022).
§ Chijs, J.A. van der, Nederlandsch-Indisch plakaatboek, 1602-1811, vijftiende deel (Batavia 1896).
§ Daendels, H.W, Nederlandsche Oostindische Bezittingen, onder het bestuur van den Gouverneur-Generaal Herman Willem Daendels, Ridder, Luitenant-Generaal, etc. in de jaren 1808-1811 (’s Gravenhage 1814).
§ Delmas, Adrien, Les voyages de l’écrit: culture écrite et expansion européenne à l’époque moderne, essais sur la Compagnie hollandaise des Indes orientales (Parijs 2013).
§ Doel, H.W. van den, De Stille Macht. Het Europese Binnenlands Bestuur Op Java en Madoera, 1808-1942 (Amsterdam 1994).
§ Fraassen, Chris F. van, Ambon in het 19e-eeuwse Indië: van wingewest tot werfdepot (Amsterdam 2018).
§ Goor, Jurrien van, Kooplieden, Predikanten & Bestuurders Overzee. Beeldvorming en plaatsbepaling in een andere wereld (Utrecht 1982).
§ Hovy, L., Ceylonees plakkaatboek: plakkaten en andere wetten, uitgevaardigd door het Nederlandse bestuur op Ceylon, 1638-1796 (Hilversum 1991).
§ Idema, H.A., ‘De oorzaken van den opstand van Saparoea in 1817’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië 79 (1923) 619-640.
§ Jong, Jacob de, ‘Memorie dienende tot instructie’ in: Gerrit Knaap ed., Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw (’s-Gravenhage 1987).
§ Knaap, Gerrit, Kruidnagelen en christenen. De VOC en de bevolking van Ambon, 1656-1696 (Leiden 2004).
§ Kock, H.M. de, ‘Memorie van overgave van afgaand gouverneur der Molukken (generaal-majoor De Kock) aan zijn opvolger (Tielenius Kruijthoff)’, http:// resources.huygens.knaw.nl/retroboeken/middenmolukken17961902/#page=1 270&accessor=toc&view=htmlPane (geraadpleegd 22 januari 2022).
§ Koekkoek, René, Richard, Anne-Isabelle en Weststeijn, Arthur eds., The Dutch Empire between Ideas and Practice, 1600–2000 (Londen 2019).
§ Kommers, J.H.M., Besturen in een onbekende wereld. Het Europese binnenlands bestuur in Nederlands-Indië 1800-1830 (Meppel 1979).
§ Noor, Farish A., Data-Gathering in Colonial Southeast Asia 1800-1900: Framing the Other (Amsterdam 2019).
§ Overweel, Jeroen ed., Topics relating to Netherlands New Guinea in Ternate Residency Memoranda of Transfer and other assorted documents (Leiden-Jakarta 1995).
§ Pleuren, Bernardus van, ‘Memorie nopens den tegenwoordigen staat van ’s Compagnies zaken’ in: Gerrit Knaap ed., Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw (’s-Gravenhage 1987).
§ Post, Philip, ‘Governors, Regents, and Rituals: an Exploration of Colonial Diplomacy in Ambon at the Turn of the Nineteenth Century’, Diplomatica 3:1 (2021) 74-79.
§ Schrikker, Alicia, De Vlinders van Boven Digoel (Amsterdam 2021).
§ Ver Huell, Maurits, Herinnering aan een reis naar Oost-Indië: reisverslag en aquarellen van Maurits Ver Huell, 1815-1819. Chris F. van Fraassen en Pieter Jan Klapwijk eds. (Zutphen 2008).
Wieling, C.L., ‘Memorie van overgave van afgaand provisioneel gouverneur van Ambon C.L. Wieling’, http://resources.huygens.knaw.nl/retroboeken/middenmolukken17961902/#page=187&accessor=toc&view=htmlPane (geraadpleegd 15 januari 2022).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar