Sabtu, 20 April 2024

De um caminho ganhar almas e fazenda : Motif-motif Ekspansi Portugis di Timur Indonesia pada Abad XVI

 

[John Villiers]

 

  1. Pengantar

Kajian yang kami terjemahkan ini adalah tulisan dari John Villiers yang berjudul De um caminho ganhar almas e fazendaa : Motives of Portuguese Expansion in Eastern Indonesia in the Sixteenth Century, dan dimuat dalam Jurnal Terrae Incognitae : The Journal of the Society for the History of Discoveries, volume 14, nomor 1, halaman 23-39, tahun 1982.

Nampak dari judulnya, sang penulis mengkaji tentang motif-motif bangsa Portugis yang melakukan ekspansi di timur Nusantara pada abad ke-16 itu. Ia lebih “memperdebatkan” soal gagasan lama yaitu 3 G, Gold, God/Gospel and Glory atau Emas (kekayaan), Penyebaran agama dan Kejayaan yang menjadi motivasi utama. Apakah Penyebaran agama, dalam hal ini agama Katolik lebih diprioritaskan atau menjadi motivasi utama dalam hal ekspansi Portugis, ataukah kekayaan yang lebih diutamakan, atau sebenarnya apa.

Artikel ini sepanjang 17 halaman dan berisi 51 catatan kaki, namun sayangnya tidak menyisipkan gambar ilustrasi, sehingga hasil terjemahan yang kami buat akan menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan sedikit catatan tambahan. Semoga apa yang menjadi perspektif dari penulis bisa bermanfaat, meski mungkin saja kita tidak menyetujui kesimpulan atau pikiran utama penulis.

 

  1. Terjemahan

Sejarahwan imperium Portugis telah lama berdebat tentang tujuan dan motif, yang pada abad ke-15 pertama kali mendorong Portugis untuk memulai dengan sumber daya yang begitu sedikit untuk petualangan imperium yang begitu besar dan berbahaya, tetapi semua sepakat bahwa semua itu sangat saling bercampur. Juga diakui secara umum bahwa, apapun motif Portugis di Afrika dan India, setelah mereka merebut Malaka pada tahun 1511, dan setelah menjelajah ke kepulauan Nusantara, mereka sebagian besar meninggakan peran mereka sebagai penjelajah dan penakluk tanah baru dan kemudian menjadi pedagang, yang perhatian utamanya adalah untuk mendapatkan bagian dari perdagangan yang menguntungkan dalam berbagai barang berharga, yang dihasilkan oleh pulau-pulau di Nusantara dan yang selama berabad-abad sebelum kedatangan Portugis, telah dipertukarkan dalam jaringan perdagangan yang rumit1.

Bagi orang Portugis, seperti halnya orang Venesia sebelum mereka, barang-barang yang paling mudah dijangkau, karena paling melimpah, adalah lada. Namun, barang itu bukan yang paling menguntungkan, dan, meskipun Portugis sangat menyadari kekayaan kerajaan-kerajaan Semenanjung Melayu, Sumatera, dan Jawa sebagai sumber lada, serta komoditas berharga lainnya, sumber daya mereka yang terbatas memaksa mereka untuk berkonsentrasi pada barang-barang yang akan menghasilkan keuntungan tertinggi dan paling cepat dengan pengeluaran manusia dan uang paling sedikit. Kebetulan 3 komoditas inilah yang menurut ungkapan Melayu, bahwa Tuhan secara khusus menciptakan 3 pulau – Maluku untuk Cengkih, kepulauan Banda untuk Pala dan Fuli, serta Timor untuk Cendana2. Semua ini bernilai hingga 3 kali lebih banyak berat per unit seperti lada atau rempah-rempah India seperti jahe dan kayu manis. Kebetulan ketiga komoditas itu berasal dari “1 daerah” kecil di bagian timur Nusantara. Hal ini menyebabkan kelangkaan komoditas tersebut dan akibatnya untuk nilai yang tinggi, dan juga membuatnya relatif mudah bagi Portugis dengan hanya sejumlah kecil orang dan kapal untuk mengambil bagian dan mendapatkan bagian yang substansial, - jika bukan monopoli- dari perdagangan, tanpa perlu melakukan penaklukan/penjajahan, seperti yang belakangan dirasakan dan dilakukan Belanda.

Sejak awal, Portugis terhalang oleh laporan yang mereka kumpulkan di Malaka tentang kesulitan perdagangan di bagian barat Nusantara, karena permusuhan para penguasa lokal. Kekuatan angkatan laut Portugis tidak cukup untuk memerangi negara-negara Muslim yang kuat ini, dan hanya ada sedikit kesempatan untuk membujuk mereka untuk mengadopsi agama Kristen, dan dengan demikian membuat mereka (para penguasa lokal) tidak terlalu menentang kehadiran Portugis. Pantai timur Sumatera dan pantai utara Jawa dengan demikian segera menjadi tempat bagi Portugis, sedikit lebih dari panggung dalam perjalanan ke Sunda Kecil dan kepulauan rempah-rempah, dan sumber dari beberapa barang, terutama beras dan tekstil, yang Portugis, seperti para saudagar/pedagang Asia yang sekarang bersaing dengan mereka, dapat menukar rempah-rempah dan kayu cendana3. Dalam satu dekade setelah penaklukan Malaka, Portugis telah berlayar ke Sunda Kecil, Kepulauan Banda, dan Maluku dan mulai berdagang. Sampai Portugis terusir dari benteng-benteng mereka yang tersebar di Nusantara pada tahun-tahun awal abad ke-17, kegiatan komersial utama mereka di timur Malaka terkonsentrasi di 3 pulau ini, sementara aktivitas misionaris mereka juga terbatas hampir secara eksklusif di pulau-pulau wilayah timur. Kaum Dominikan berbasis di Solor dan Flores, sedangkan Kaum Jesuit di Ternate dan kemudian di Tidore.  

Pertanyaan yang akan coba dijawab oleh kajian ini adalah apakah pada saat Portugis telah menaklukan Malaka dan menjelajah ke pulau-pulau di sebelah timurnya, benarkah, sebagaimana dinyatakan oleh Sar Desai, “rempah-rempah dan kekayaan menjadi lebih penting bagi orang Portugis daripada Kekristenan dan para jiwa”, dan apakah, oleh karena itu, “gagasan lama bahwa imperium Portugis dimotivasi 3 G, - Gold, God/Gospel and Glory – sekarang harus dibuang”4. Dengan kata lain, pembahasan ini mengkaji sejauh mana di kepulauan Indonesia, kepentingan agama dari kekaisaran Portugis diperoleh melalui haknya dan kewajiban padroado real dalam misi dan pendirian gerejawi kekaisaran, disubordinasikan dalam pikiran manusia dan akibatnya dalam menjalankan urusan mereka pada kepentingan komersial yang ingin dipromosikan oleh kekaisaran melalui pemaksaan monopoli kerajaan. Pada saat yang sama, kajian ini berusaha untuk menetapkan seberapa banyak individu Portugis, apakah pegawai kekaisaran atau gereja, atau beroperasi secara independen dari keduanya, memang lebih peduli dengan keuntungan pribadi daripada dengan pelayanan kepada Tuhan dan raja mereka.

Di beberapa tempat, terutama Jepang dan kepulauan Sunda Kecil, misi-misi tersebut merupakan maksud dan tujuan seluruh administrasi Portugis, dan menjalankan kendali otonom atas benteng atau pos perdagangan (feitoria) yang membentuk kehadiran Portugis di daerah tersebut. Tetapi pembentukan misi adalah jarang, jika pernah, menjadi satu-satunya alasan orang Portugis pergi ke wilayah ini sejak awal. Misalnya, pencarian kayu cendana yang mendorong pelayaran Portugis pertama ke Timor setelah penaklukan Malaka, dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengubah penduduk Timor dan pulau-pulau tetangganya menjadi Kristen, sampai kelompok pertama kaum Dominikan tiba di Solor pada tahun 1561, setengah abad kemudian5. Demikian pula, orang Portugis pertama yang pergi ke Brunei melakukannya hanya untuk membuat perjanjian dengan penguasa untuk ikut serta dalam perdagangan kapur barus. Pada tahun 1530, Goncalo Pereira, kapten benteng Maluku yang baru diangkat, berlayar dari Malaka ke Brunei dengan instruksi untuk memberitahu penguasa, yang saat itu telah masuk Islam, bahwa ia telah dikirim oleh Rajanya “untuk melayani dia dalam hal apapun yang dia perintahkan, bahwa, jika rakyatnya datang lagi ke Malaka untuk berdagang seperti dulu, mereka akan sangat diterima dan bahwa Portugis ingin pergi ke negerinya dan berdagang di sana”6. Baru pada tahun 1551, misionaris pertama kaum Fransiskan tiba di Kalimantan, dan kaum Jesuit pertama yang tiba di sana adalah 2 misionaris yang pada tahun 1566 terpaksa berlindung di Brunei ketika dalam perjalanan dari Malaka ke Ternate7.

Setidaknya dari titik pandangan pemerintah Portugis, nilai utama konversi agama penguasa lokal dan rakyatnya ke Kristen, tampaknya membuat mereka lebih siap untuk bekerjasama dengan Portugis melawan kaum pagan (gentios) dan kaum Muslim yang bermusuhan, yang ditakuti sebagai saingan dagang, tidak kurang dari sebagai lawan agama. Tema yang berulang dalam deskripsi awal pulau-pulau Indonesia dan penduduknya adalah bahwa, dimana pun mereka tampak setuju dengan doktrin Kristen, upaya harus dilakukan untuk mengkonversi mereka, karena meningkatkan peluang untuk perdagangan  yang menguntungkan dan memperoleh dukungan saat berhadapan dengan orang-orang non-Kristen yang bermusuhan akan terjadi. Karena dipandang menguntungkan secara politik dan ekonomi untuk mengkonversi penguasa lokal ke agama Kristen, dan berdasarkan prinsip cuius regio, eus religiob, pendukung mereka bersama mereka akan berlanjut pada kebutuhan untuk menuai panen jiwa-jiwa serta lebih banyak lagi serta barang-barang komoditas.

Selama seluruh periode aktif mereka di Nusantara, Portugis bergantung untuk keamanan mereka dan untuk mempertahankan bagian mereka dalam perdagangan wilayah atas niat baik dan dukungan dari penguasa lokal. Dengan demikian sejak awal kebijakan kerajaan yang dinyatakan untuk memenangkan kepatuhan penduduk pribumi, jika mungkin dengan cara damai, dan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan penguasa mereka untuk tujuan berdagang dengan mereka tanpa mengganggu pola perdagangan lokal yang sudah ada.

Sejak tahun 1506, instruksi yang diberikan kepada Fransisco de Almeida, Gubernur pertama dan wakil raja (viceroy) India, menunjukan dengan jelas betapa terbatasnya tujuan Portugis semakin jauh mereka berlayar di luar India. Almeida pertama diberitahu untuk mendirikan sebuah benteng di Malaka, tetapi untuk menghindari konflik dengan penduduk setempat dan untuk menjelaskan kepada mereka bahwa benteng itu semata-mata untuk perlindungan Portugis dan barang dagangan mereka, dan tidak dibangun dengan tujuan perang. Dia diperintahkan untuk mengirim kapal dari sana ke Sumatera, “yang dekat Malaka dan dikatakan sebagai pulau yang kaya”, dan ke “pulau-pulau cengkih dan pulau-pulau penting lainnya yang berdekatan dengannya, yang kami informasikan sangat kaya dan darimana banyak keuntungan yang bisa diperoleh”. Dia harus mengumumkan posisi di pulau-pulau ini dan melakukan apa pun yang dia anggap  perlu sebagai tanda kepemilikan (yaitu, mendirikan padrao atau tiang peringatan dengan lambang kerajaan dan salib di atasnya), dan mencoba untuk “menaklukan dan membuat para radja dan penguasa pulau mematuhi kami, menjadikan mereka sebagai upeti kami, dan menyepakati dengan mereka tentang bagaimana hal tersebut dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk pekerjaan kami”8. Singkatnya, penetrasi damai di daerah-daerah yang kemungkinan besar akan menghasilkan keuntungan besar dan kesimpulan damai dari perjanjian perdagangan harus menjadi dasar kebijakan Portugis di kepulauan itu. Saat itu tidak disebutkan, dan hanya kadang-kadang dalam komunikasi resmi berikutnya di Estado da India, tentang tugas-tugas penginjilan9. Dimana sumber-sumber resmi Portugis menyebutkan urusan penyebaran agama Kristen, mereka hampir selalu melakukannya dalam konteks meningkatkan pengaruh Portugis, mendapatkan sekutu, dan memperoleh lebih banyak keuntungan.

Di tempat-tempat dimana misi-misi permanen didirikan oleh ordo-ordo agama, hal ini hanya mendapat dukungan “suam-suam kuku” dari otoritas sekuler, dan bahkan di pusat-pusat dimana administrasi sipil dan militer Portugis telah dibentuk melalui pembangunan benteng, seperti di Ternate dan Solor, kegiatan para misionaris sering dibatasi hanya pada pelayanan spiritual komunitas Kristen Portugis atau mestizo, para pelayan dan budak mereka di dalam benteng dan wilayah sekitarnya, dan, sekali lagi, sebagian besar karena permusuhan kaum Muslim dan dominasi mereka atas orang-orang “kafir” yang  tidak bersekutu dengan Portugis, sehingga hanya ada sedikit kesempatan yang diberikan kepada para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen kepada orang-orang yang belum dikonversi10.

Akan tetapi, Franciscus Xaverius dan sebagian besar rekan-rekan Jesuit-nya, yakin bahwa banyak orang di kepulauan timur, baik kaum Muslim maupun pagan, dapat dikonversi (dikristenkan). Xavier memiliki pendapat yang negatif tentang mereka, menggambarkan mereka sebagai “sangat barbar, pengkhianat, dan sangat tidak menyenangkan”, dan dia mengakui bahwa motif mereka untuk mengadopsi agama Kristen, mungkin lebih karena manfaatnya daripada keyakinan pada agama. Namun demikian, dia melihat akar masalahnya sebagai bukan bagaimana mengkonversi mereka tetapi bagaimana menjaga mereka tetap setia dan teguh dalam menghadapi penganiayaan kaum Muslim. “Orang-orang kafir di wilayah ini, lebih banyak daripada orang-orang Muslim”, tulisnya pada Mei 1546, “dan mereka tidak saling menyukai satu sama lain. Orang-orang Muslim ingin mengkonversi orang-orang kafir menjadi Islam atau menjadikan mereka budak (cativos), dan orang-orang kafir tidak ingin menjadi Muslim atau budak. Jika ada seseorang yang mengajarkan kebenaran kepada mereka, mereka semua akan menjadi Kristen, karena mereka lebih ingin menjadi Kristen daripada Muslim”. Adapun Muslim, meskipun Islam pertama kali datang ke Maluku sekitar 70 tahun sebelumnya saat sekelompok pengkhotbah (cacizes) telah tiba dari Mekah untuk mengislamkan mereka, mereka “tidak tahu apa-apa tentang agama itu”, dan itu hanya “karena kurangnya seseorang untuk memberitakan kebenaran kepada mereka, bahwa orang-orang Muslim ini bukanlah orang-orang Kristen”. Xavier percaya bahwa jika sebuah lembaga Jesuit didirikan di wilayah tersebut, dan selusin misionaris dikirim setiap tahun, pekerjaan mengkonversi dapat dengan cepat diselesaikan11. Sayangnya, kelompok Jesuit tidak pernah memiliki cukup sumber daya manusia atau uang, untuk membuat upaya misionaris yang sangat sederhana seperti ini. Akibatnya, seperti yang ditunjukan oleh Juan de Beira hanya 3 tahun kemudian, mereka yang menerima agama Kristen, tanpa adanya Portugis untuk memberi mereka perlindungan atau imam untuk mengajar mereka dalam doktrin, tidak mampu melawan penganiayaan kaum Muslim, dan “melalui ketakutan dan ketidaktahuan” dengan cepat meninggalkan/melepaskan keyakinan baru mereka12.

Bagi orang-orang Portugis – para misionaris, pegawai dan pemukim Portugis – benteng dan garnisun permanen mereka di Ternate, Tidore dan Ambon, di Solor Ende, dan Larantuka, bahkan di Malacca sendiri, ada sebagai oasis kecil pemerintahan Portugis di tengah-tengah penduduk pribumi di sekitar mereka. Mereka menggantungkan sebagian besar pasokan mereka pada masyarakat pribumi Ternate, misalnya, mendapatkan sebagian besar bahan makanannya dari wilayah Moro, seperti halnya para pesaingnya, yaitu Tidore dan Jailolo, dan memang, tanpa niat baik mereka, orang-orang Portugis tidak akan bisa bertahan. Tetapi mereka sebagian besar tetap terisolasi dari komunitas-komunitas ini, dan hanya terkait erat satu sama lain, sehingga mereka membentuk unit-unit administrasi yang hampir otonom, yang melakukan sedikit atau tidak sama sekali kontrol atas penduduk lokal di sekitar mereka, kecuali mereka yang berhasil pindah agama ke agama Kristen; dan mereka diwajibkan untuk berurusan dengan penguasa lokal seperti halnya dengan penguasa independen lainnya. Pada saat yang sama, komunikasi buruk antara mereka dan pusat-pusat pemerintahan Portugis (Malacca, Goa, dan Lisbon) dan kurangnya dukungan militer dan angkatan laut yang dapat diberikan pemerintah, berarti bahwa untuk waktu yang lama, mereka tetap berada di luar perlindungan pemerintah, Estado da India. Kesetiaan komunitas Kristen (Christandades) dianggap berutang kepada Portugis melalui agama mereka tetap merupakan jaminan terbaik, tidak hanya dukungan mereka untuk Portugis terhadap serangan kekuatan lain di wilayah tersebut dan, kemudian di abad ini, dari permusuhan Belanda, tetapi juga karena mereka memberikan perlakuan yang disukai Portugis dalam pembelian barang dagangan berharga yang dihasilkan oleh kepulauan itu. Di tempat-tempat lain di kepulauan itu, seperti misalnya di Moro (Tolo dan Samafo) dan kepulauan Banda, Portugis kadang-kadang mendirikan pos perdagangan kecil atau tempat misi, atau keduanya; tetapi ini, bahkan jika mereka memiliki beberapa benteng kecil dan 1 atau 2 orang serdadu, situasi ini hampir tidak bisa dikatakan sebagai kehadiran militer atau pusat darimana administrasi dan pengaruh Portugis dapat diperluas13.

Perdagangan Portugis di Nusantara terpaksa dilakukan dalam persaingan, atau kadang-kadang bekerjasama dengan pedagang-pedagang Asia. Orang Portugis menjual barang yang sama dengan mereka, menggunakan rute yang sama dan seringkali kapal yang sama, dan umumnya harus membayar harga yang sama dan tunduk pada persyaratan yang sama yang diberlakukan oleh penguasa. Mereka tidak pernah berhasil mempertahankan monopoli untuk kerajaan atas perdagangan komoditas tunggal apa pun; apalagi mereka bercita-cita untuk memperoleh dominasi atas sistem perdagangan kuno kaum pribumi. Profitbilitas dengan demikian sangat sulit dicapai. Lagipula, keuntungan yang diperoleh pihak kerajaan tidak pernah sebanding dengan tuntutan yang diberikan kepada keuangan kerajaan untuk pemeliharaan armada dan benteng Estado da India. Lingkaran setan yang diciptakan oleh kebutuhan para pedagang akan dukungan militer dan angkatan laut – yang sebagimana harus dibayar dari keuntungan perdagangan mereka – dirangkum oleh Francisco de Madureira dalam sebuah surat kepada Raja, yang ditulis dari Malacca pada tahun 1519. Dia menekankan perlunya benteng-benteng dibangun dan serdadu serta armada dipasok “ sehingga beberapa ketakutan dan yang lainnya sukarela “ dapat tunduk pada kepatuhan Raja. Pengeluaran yang begitu besar, bagaimanapun, hanya dapat dibenarkan jika itu membawa perdamaian dan peningkatan perdagangan yang konsekuen darimana kerajaan dapat membayar pemeliharaan benteng-benteng dan pendirian militer dan angkatan laut. Bagi Kekristenan, “komunitas Kristen yang diinginkan Raja tidak dapat didirikan” tanpa biaya seperti itu, yang pada gilirannya “tidak dapat dipertahankan kecuali ada keuntungan”. Individu Portugis – apakah pegawai kerajaan, serdadu, atau pendeta – secara tidak wajar cenderung mengeksploitasi situasi ini untuk keuntungan mereka sendiri. Dalam surat yang sama tertanggal Januari 1519, Madureira menunjukan bahwa “potongan-potongan damask, batang-batang kayu gaharu, anak perempuan, dan anak laki-laki” lebih diutamakan dalam pikiran kebanyakan orang daripada pengertian apa yang harus mereka lakukan dalam melayani Raja. “Untuk permainan yang dimainkan manusia di sini adalah untuk mendapatkan uang dengan cara apa pun yang memungkinkan. Mereka menertawakan orang-orang yang telah lama berada di sini dan masih miskin karena mereka telah melayani Yang Mulia Raja dengan jujur”14.

Menghadapi penyampingan untuk mencapai keuntungan ini, tidak heran bahwa Portugis memiliki sedikit keraguan tentang membuat perjanjian perdagangan dengan penguasa lokal, apa pun agama mereka, yang dengannya bagian dari hasil yang dimiliki oleh penguasa atas perintahnya dialokasikan kepada mereka dengan harga yang tetap. Beberapa penguasa Indonesia pada saat yang sama mendeklarasikan diri sebagai “sekutu” Raja Portugal, tetapi dalam banyak kasus deklarasi ini, tampaknya tidak lebih dari ekspresi formal penghargaan dan persahabatan, dan hanya melibatkan pembayaran upeti dalam bentuk nominal. Tentu saja, para penguasa seperti Sultan Hairun tidak segan-segan meninggalkan hal itu saaat keadaan memaksa.

Namun, ketika Portugis pertama kali berlayar ke perairan Indonesia, tampaknya ada peluang bagus untuk membangun jaringan aliansi baru, yang memungkinkan mereka memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah tanpa menggunakan senjata. Pada Januari 1515, Jorge de Albuquerque, menulis dengan optimis dari Malacca kepada Raja Manuel I bahwa “semua raja di pulau-pulau itu [Maluku, Ambon, Banda, dan sebagainya] ingin menjadi sekutu Yang Mulia, dan semua menginginkan agar Yang Mulia membangun benteng di wilayah mereka, dan semua menyurati Yang Mulia dalam bahasa Melayu”15. Sebuah surat dari Raja Boleife dari Ternate, menawarkan “ketaatan dan harga diri” kepada Raja Portugal, dan menegaskan bahwa tidak perlu ada 4 kerajaan di Maluku (yaitu 4 kesultanan, Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo) karena satu Raja sudah akan cukup untuk mereka semua (mungkin dia memikirkan dirinya sendiri). Ada pun pulaunya sendiri, pelabuhannya dengan semua yang ada di dalamnya, ia serahkan kepada Raja Portugal, “yang dapat menjaga dan memasoknya sebagai miliknya sendiri”, dan dia dan semua rakyatnya akan menjadi vassal Portugis sepanjang hidupnya dan para penerusnya. Dia mengakhiri suratnya dengan menyatakan bahwa raja-raja lain di Maluku tidak ingin mengakui kedaulatan Portugis16.

Raja Tabarija, pengganti Raja Boleife, menjadi Kristen di Goa pada tahun 1537 dan sejak itu dikenal sebagai Dom Manuel. Pada pembaptisannya, ia menyerahkan “pulau dan tanah Ambon dan Seram.... dari Buru sampai ke Papua”, yang otoritasnya sendiri sangat lemah, kepada pelindungnya, Jordao de Freitas17. Pada tahun 1544, Freitas menjadi Kapten Maluku, dan segera setelah dia tiba di Ternate, dia mengirim keponakannya, Vasco, dengan 2 kora-kora ke Ambon untuk mengambil alih pulau-pulau tersebut. Niat Jordao adalah, setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Kapten, untuk menetap secara permanen di Ambon, dan sebagai penguasa pulau-pulau itu, untuk mengubah semua penduduknya menjadi Kristen18. Jordao de Freitas telah membawa Dom Manuel bersamanya dari Goa untuk mengambil alih pulau-pulau tersebut, tetapi Dom Manuel mendadak meninggal di Malacca dalam perjalanan itu. Namun, ia (Dom Manuel) terlebih dahulu membuat wasiat yang menyebutkan Raja Portugal sebagai penggantinya, untuk menghindari kerajaan jatuh ke tangan saudara tirinya yang beragama Islam, yaitu Hairun19. Freitas pergi ke Ternate, menangkap Hairun dan mengirimnya ke India, dan, setelah menenangkan ketakutan umat Muslim dengan meyakinkan bahwa tidak ada konversi paksaan, membuat mereka bersumpah setia kepadanya sebagai wakil Raja Portugal. Dia bertugas tidak lama di posisi itu. Pada bulan Oktober 1546, wakil Raja, Joao de Castro, mengirim Bernaldim de Sousa dan Hairun ke Ternate dengan suatu alvara yang menyatakan bahwa Hairun adalah penguasa Ternate yang sah, dan bahwa Sousa akan menjadi Kapten Maluku. Freitas digulingkan dan dikirim pulang ke India, untuk membela dirinya terhadap tuduhan soal wasiat Dom Manuel dan penangkapan Hairun 2 tahun sebelumnya20.

Kejadian ini secara mengagumkan menggambarkan sejauh mana keuntungan politik dan ekonomi yang segera dan seringkali meragukan dapat melebihi keuntungan jangka panjang yang mungkin diperoleh dari pekerjaan penginjilan di Maluku. Sebagai akibat dari pemulihan Hairun dan pengusiran Freitas, semua harapan kaum Jesuit untuk misi mereka di Ambon dan Ternate telah hancur, tanpa kerajaan Portugis mendapatkan sekutu yang dapat diandalkan atau bagian yang lebih besar dalam perdagangan cengkih sebagai kompensasi21.

Sultan Hairun setelah kepulangannya ke Ternate hampir tidak kurang efusif dan merendahkan diri dibandingkan dengan Boleife. Pada tahun 1544, ia menyatakan bahwa ia bermaksud untuk hidup dan mati dalam melayani kepentingan Portugal, “bukan sebagai orang Maluku dan raja negeri ini, tetapi sebagai seorang bawahan Portugis yang baik, dan waktu akan menjadi saksi”22. Luis Frois melaporkan pada akhir tahun 1556 bahwa meskipun sebagai penguasa Muslim, dia merasa berkewajiban untuk menganiaya orang-orang Kristen, dia melakukannya secara rahasia, sering berbicara buruk tentang Islam, dan menunjukan dirinya dalam segala hal, paling ingin melayani kepentingan Portugis23. Dia (Hairun) mendorong Xavier untuk percaya bahwa ia sendiri dapat menjadi seorang Kristen, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa anggota keluarganya, dan berjanji bahwa salah satu putranya, “dari sekian banyak yang ia miliki” akan menjadi seorang Kristen dengan syarat bahwa setelah pengkonversiannya, putranya ini harus dijadikan penguasa Moro, dimana kaum Jesuit telah membangun kegiatan misi yang sukses, dan oleh karena itu Portugis memiliki pengaruh24. Janji ini tidak pernah ditepati.

Namun dalam menghadapi realitas politik dan ekonomi saat itu, tidak ada penguasa di Maluku yang tetap teguh mendukung Portugis, dan Hairun khususnya menjadi salah satu lawan mereka yang paling tangguh. Di Tidore, dimana Portugis mendirikan benteng setelah terusir dari Ternate pada tahun 1575, penguasa menunjukan dirinya sebagai sekutu yang sama-sama tidak dapat diandalkan, mempertahankan hubungan baik dengan Portugis hanya jika ia merasa perlu. Seperti yang ditulis oleh Bernardino Ferrari pada tahun 1583, “kami sekarang memiliki tempat di Maluku, dimana kami dapat hidup dengan cara kami sendiri, tetapi kami berada di Tidore sebagai tamu”25. Pero Nunes mengatakannya dengan lebih halus. Menulis dari Tidore pada tahun 1588, dia berkata, “walaupun [sultan] Tidore adalah teman kita, namun dia seorang Muslim dan hanya akan berteman dengan kita selama dia membutuhkan kita. Dia memperkuat kekuatannya untuk membuat kita lebih menderita............dan luka-luka yang dia buat setiap hari menjadikan kita lebih seperti budaknya daripada teman-temannya”26.

Di kepulauan Banda, posisinya agak berbeda, karena di sana orang Portugis berhadapan dengan oligarki orang kaija. Orang kaija Banda, meskipun rela untuk melakukan bisnis dengan Portugis, tidak pernah menyatakan diri mereka sebagai bawahan kepada Raja Portugal, dan mereka dengan tegas menolak semua upaya Portugis untuk memonopoli perdagangan pala dan fuli yang menguntungkan, atau untuk membangun benteng di pulau-pulau mereka. Tidak ada usaha untuk mengkristen masyarakat Banda, mungkin karena Portugis menganggap hal itu sia-sia dan juga tidak politis untuk dilakukan27.

Beberapa penguasa memusuhi Portugis dan menyatakan diri sebagai musuh dari kekristenan sejak awal. Seperti Katarabumi, Sultan Jailolo, yang oleh Frois digambarkan sebagai “sangat tirani” dan “bermusuhan dengan orang-orang Kristen”28. Namun demikian, jelaslah bahwa orang Portugis, reputasi apa pun untuk kekejaman, kebuasaan, dan pengkhianatan yang mungkin mereka peroleh kemudian, pertama kali disambut oleh banyak penduduk di kepulauan timur, tidak hanya sebagai sekutu potensial tetapi juga sebagai guru-guru untuk doktrin Kristen, yang telah mereka dengar dan yang sebagian besar dari mereka, setidaknya bagi mereka yang tidak memeluk Islam, tampaknya merasakan simpati tertentu, jika hanya karena mereka percaya bahwa pengadopsian agama dari Portugal ini akan memberi mereka perlindungan dan dukungan dari Portugis. Misalnya, “raja Solor” (ternyata adalah sang adipati) telah menulis surat kepada Baltazar Diaz pada tahun 1550, tiga tahun sebelum kaum Dominikan meninggalkan Malacca untuk mendirikan kegiatan misi mereka di Solor, meminta kaum Jesuit untuk mengirim para imam mereka untuk mengajar dan membaptis dia dan masyarakatnya29.

Bahkan di Papua, yang di masa itu merupakan batas terjauh dari dunia yang baru dikenal, dan masih diyakini oleh banyak orang sebagai tanah yang membentang luas sejauh seperti Tanjung Harapan, orang-orang dikatakan “terus menerus berteriak : ‘Tuhan, tidak ada seorangpun yang menempatkan kita di kolam baptisan suci’”. “Akan mudah”, tulis Luis Frois pada tahun 1556, “untuk pergi ke sana dari benteng di Ternate, karena jaraknya hanya 6 atau 7 hari perjalanan dan bisa mencapai semua pulau” dan mendapati “orang-orang yang sangat bersukacita untuk melihat Portugis dan sangat beradab”30.

Dilema Portugis adalah bahwa, untuk mendapatkan lebih banyak kontrol dan memenangkan lebih banyak sekutu di wilayah tersebut, mereka perlu mengkonversi lebih banyak penguasa lokal dan rakyatnya menjadi Kristen, sementara pada saat yang sama, tingkat yang lebih tinggi dari konversi hanya dapat dicapai jika lebih banyak sumber daya manusia dan uang yang tersedia bagi mereka melalui peningkatan jumlah dan kekuatan sekutu mereka, dan bagian yang lebih besar dalam perdagangan di wilayah tersebut. Pernyataan yang jelas tentang masalah ini dibuat oleh Melchior Nunes Barreto, wakil provincial India, dalam sebuah laporan yang ditulis pada bulan Januari 1566 :

Salah satu cara utama untuk membawa banyak konversi ke Kristen di Maluku adalah agar para Raja memiliki kekuasaan yang cukup dalam usaha membela orang-orang Kristen dari penindasan dan kezaliman [Muslim], dan tampaknya ini akan meningkatkan biaya dan beban negara. Banyak orang yang telah melakukan perjalanan di daerah ini, telah mengkonfirmasi bahwa raja-raja perlu memiliki lebih banyak orang dan lebih banyak kekuasaan di Maluku, tidak hanya untuk penyebarluasan iman, tetapi juga untuk menciptakan keamanan yang lebih baik, dan untuk meningkatkan pendapatan kerajaan; karena ketika Ternate dikepung [seperti pada tahun 1557] bantuan dari Malacca tidak dapat mencapai wilayah itu dalam waktu kurang lebih dari 8 bulan dan kadang-kadang 1 tahun, dan di Malacca sendiri seringkali kekurangan orang dan perbekalan serta amunisi yang begitu besar, sehingga tidak cukup untuk pertahanan sendiri, apalagi untuk membantu Ternate31

 Namun misi di kepulauan Indonesia bergantung pada otoritas sipil dalam segala hal. Para misionaris dibayar dari keuangan kerajaan di Malacca, dan memperoleh sebagian besar perbekalan mereka, yaitu dari senjata api hingga anggur komuni (perjamuan) dari Malacca dan dari Goa. Untuk berlayar dari satu pulau ke pulau lain, kaum Jesuit harus mendapatkan perahu dan pendayung dari Kapten Maluku, yang pada gilirannya sering harus meminjamnya dari Sultan Ternate. Jarak yang jauh antara Goa, Malacca, dan Ternate dan jarangnya kapal yang berlayar di antara kota-kota itu membuat pos-pos kekaisaran ini semakin terisolasi, lebih bergantung pada sumber daya lokal yang biasanya tidak memadai untuk kebutuhan hidup, dan lebih rentan terhadap pemusuhan dari musuh-musuh lokal mereka32.

Ketidakmampuan Ternate bukan hanya berfungsi sebagai pusat kekuatan dan pengaruh Portugis di kepulauan timur, tetapi bahkan untuk mempertahankan dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar, adalah salah satu argumen utama yang mendukung pendirian benteng di Ambon, yang akhirnya dilakukan Portugis pada tahun 1567. Surat dari Raja Sebastiao kepada wakil raja (viceroy), Antao de Noronho, yang ditulis pada bulan Maret 1565, menunjukan bahwa sebuah benteng di Ambon akan mengamankan pasokan perbekalan ke Ternate, “yang dikatakan dalam bahaya besar, karena raja (Hairun) semakin hari semakin kuat” akan mencegah orang Jawa mengambil semua cengkih dari pulau itu, dan akan membantu penyebaran agama Kristen “yang merupakan sarana penting untuk membuat negara aman dan akan meningkatkan keuntungan yang dihasilkan di sana”33. Tidak ada pernyataan yang lebih jelas daripada hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan evangelisasi pemerintah Portugis sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi. Nunes Barreto menulis dalam nada yang sama, menegaskan bahwa orang Jawa setiap tahun mengambil alih 1.000 kuintal cengkih berkualitas rendah dan bahwa jika ada benteng Portugis, penduduk Ambon yang “kafir” tidak lagi ingin menjual cengkih kepada orang Jawa dengan harga rendah yang mereka tawarkan, tetapi kepada orang Portugis, dan akan meminta orang Portugis untuk membela mereka dari “tirani yang sama dari orang Jawa dan Muslim Ternate”34. Dengan cara ini, Portugis akan dapat meningkatkan pembelian mereka menjadi lebih dari 2.000 kuintal setahun, di samping pala dan fuli dari Banda yang sudah di bawa ke Ambon untuk dijual35.

Dengan demikian, Ternate memberikan contoh mencolok tentang sulitnya mendamaikan kepentingan agama dan perdagangan yang saling bertentangan bagi Portugis di Asia. Para penguasa Ternate sepanjang sebagian besar abad ke-16, menerapkan kebijakan ekspansionis, dimana penyebaran agama Islam memainkan peran penting. Sementara Raja Portugis mengirimkan misionaris ke Maluku sesuai dengan hak yang diberikan kepadanya melalui padroado real, Sultan mendatangkan para ulama dari Mekah, Mesir, dan Konstantinopel. Kapten-kapten benteng Portugis di Ternate tidak berniat menentang para sultan, karena takut kehilangan klaim mereka atas monopoli cengkih; dan upaya mereka untuk menenangkan situasi, menyebabkan banyak protes dari para misionaris terhadap kebijakan yang memaksa pejabat-pejabat kekaisaran Portugis untuk mendukung musuh-musuh Katolik36.

Selain itu, para kapten, hampir tanpa pengecualian, sangat jahat dan korup, dan lebih berniat mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri selama 3 tahun masa jabatan mereka daripada meningkatkan kekuasaan atau pendapatan kerajaan yang seharusnya mereka layani37. Dalam pendapat Barreto, 2 hal diperlukan, selain anugerah ilahi, untuk memastikan bahwa mereka yang telah menjadi Kristen tidak kehilangan iman mereka dan untuk memenangkan mereka yang belum. Yang pertama adalah Portugis memiliki kekuatan militer yang cukup untuk menundukkan dan menghukum “pemberontak” – khususnya Ternate – “karena sisanya sangat sedikit yang cukup”, dan ini lagi-lagi dapat dicapai dengan membangun benteng di Ambon. Yang kedua adalah memilih Kapten di Maluku, yang sama-sama bersemangat melayani Tuhan dan Raja dan tidak untuk kepentingan diri sendiri. Dia menunjukan bahwa, karena mereka sangat jauh dari India dan otoritas wakil raja, dan dengan demikian memiliki kendali yang hampir tak terbatas atas semua orang Kristen di pulau-pulau itu, mereka menghabiskan 3 tahun masa jabatan mereka dengan memperkaya diri mereka sendiri dan tetap tidak dihukum pada akhirnya, sementara “iman akan Kristus binasa” sebagai akibat dari kurangnya kerjasama dan bahkan konflik terbuka antara otoritas sipil dan agama38. Bahaya bagi pekerjaan-pekerjaan dari seorang kapten yang acuh tak acuh atau bermusuhan dengan mereka, diperparah dengan fakta bahwa, sebagaimana diakui secara terus terang oleh Barreto, motif awal menjadi Kristen di antara banyak orang kafir di pulau-pulau timur adalah untuk mendapatkan dukungan dari kapten dan Portugis, dan dengan demikian perlindungan mereka terhadap kaum Muslim39. Namun demikian, di beberapa tempat orang-orang mencari perlindungan para misionaris daripada para kapten dan serdadu mereka. Pada tahun 1563, sekelompok Jesuit mengunjungi setelah selang 4 tahun, dan, menurut Fernao de Osorio, baik komunitas Kristen maupun Muslim di Moro menyatakan bahwa mereka tidak mempercayai siapa pun kecuali imam-imam kaum Jesuit dan tidak membutuhkan armada yang telah dikirim untuk menyelesaikan perselisihan mereka40.

Satu pengecualian yang paling menonjol dari kekejaman dan keganasan dari sebagian besar Kapten Maluku adalah Antonio Galvao, yang secara aktif mendukung pekerjaan misi kaum Jesuit, dan hampir secara unik, tidak menggunakan jabatannya sebagai sarana memperkaya diri sendiri. Namun bahkan Galvao menghargai bahwa pemerintahan yang dia layani setidaknya sama tertariknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan, seperti jiwa-jiwa dan bahwa peningkatan hal itu pada akhirnya paling diinginkan, jika hal demikian membawa peningkatan pada masalah yang sebelumnya. Pada tahun 1538, setelah pembaptisan  2 bangsawan Macassar di Ternate, ia mengirim casado bersama Francisco de Castro, dalam misi ke Sulawesi, dimana konon terdapat banyak emas dan kayu cendana, dengan 2 imam dan instruksi untuk mendapatkan persahabatan para penguasa lokal, karena seperti yang dikatakan Barros kepada kita, dia (Galvao) berharap bahwa dengan demikian, “pada satu jalan, jiwa-jiwa dan keuntungan bisa didapatkan” (“de um caminho se podiam ganhar almas e fazenda”)41.

Sementara perdagangan dan peperangan, kadang-kadang berjalan bersama-sama, keduanya cukup sering mengarah pada konversi agama. Kekristenan pertama kali diperkenalkan ke Moro, sebagai hasil kunjungan saudagar Goncalo Veloso ke Mamuya pada tahun 1533. Veloso menasehati pemimpin (sengaji) Mamuya untuk menjadi seorang Kristen, untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan dari Portugis saat melawan Muslim Ternate, yang telah menyerang dan menaklukan negerinya. Kemudian, sang pemimpin itu pergi ke Ternate dengan sengaji Toro dan keduanya dibaptis, dengan nama baptis Joao de Mamuya dan Tristao de Ataide. Pada awal tahun 1534, 2 lagi pemimpin suku Moro datang ke Ternate dari Sugala dan Cawa dan kemudian dibaptis; dan segera setelah itu, Simao Vaz, Vicaris di Ternate, diikuti imam Francisco Alvares, dikirim ke Moro untuk membaptis 4 pemimpin. Simao Vaz dibunuh di Sao, dekat Sugala di barat daya Morotai, pada tahun yang sama, setelah itu tidak ada imam, konon, yang berani pergi untuk tinggal di antara orang-orang Moro. Konversi ini, meskipun awalnya didorong bukan oleh keyakinan agama tetapi oleh keinginan, yang disesalkan oleh kaum Jesuit, untuk memperoleh perlindungan Potugis, namun memberikan dasar yang kemudian dapat digunakan oleh Xavier dan penerusnya dalam misi di Moro42.

Pada tahun yang sama dengan misi Castro ke Sulawesi, yaitu tahun 1538, sebuah armada dibawah komando Diogo Lopes de Azevedo dikirim oleh Antonio Galvao ke Ambon, untuk menghadang armada gabungan Jawa-Macassar-Banda-Ambon yang sedang dalam perjalanan dari Hitu ke Maluku untuk membeli cengkih dengan imbalan senjata. Armada Azevedo terdiri dari 25 kora-kora dengan 40 orang Portugis, 200 orang Tidore, dan 200 orang Ternate. Dalam pertempuran berikutnya, Portugis menang, dan Azevedo kemudian berlayar di sepanjang pesisir Ambon, menaklukan desa/negeri. Akibatnya, penduduk 3 uli Ambon atau konfederasi negeri - Hatiwe, Amantelo dan Nusaniwi – meminta untuk dibaptis; dan pada saat Franciscus Xaverius tiba di pulau Ambon 8 tahun kemudian, setidaknya ada 7 uli Kristen di sana43.

Pada tahun 1544, Kapten Malacca, Rui Vaz Pereira, mengirim Antonio de Paiva ke kerajaan Supa di Sulawesi barat daya untuk berdagang kayu cendana. Kita tidak tahu seberapa sukses kegiatan perdagangan Paiva, tetapi kita mengetahui bahwa dia berhasil mengkonversi Raja Supa dan banyak rakyatnya menjadi Kristen, dan kemudian pergi ke kerajaan Siang di dekatnya, dimana dia juga berhasil mengkonversi penguasanya44. Pada tahun 1544, kaum Jesuit melaporkan konversi serupa oleh para pedagang di pulau Buru dan Ambelau. Di pulau-pulau ini, dikatakan bahwa orang-orang telah berteriak meminta seseorang untuk menjadikan mereka sebagai orang Kristen, dan begitu besar keinginan mereka sehingga ketika beberapa orang tiba di sana dengan kapal untuk berdagang (“a fazer viniagoa”), mereka mengikat kapal itu dan tidak akan mengizinkan kapal itu berlayar kembali sampai mereka dibaptis. Para pedagang (“Portuguese chatin”) dengan demikian membaptis sekitar 4000 orang; dan ketika para penganut yang baru itu ditanya bagaimana mereka akan menjalankan agama mereka selanjutnya, mereka menjawab bahwa mereka hanya akan membuat salib yang akan mereka hormati setiap kali mereka melewatinya45.

Beberapa dari konversi insidental ini mengarah pada pembentukan komunitas Kristen permanen, kecuali dimana pusat misi kemudian didirikan atau dimana setidaknya kunjungan rutin dapat dilakukan oleh para imam yang dapat mengajarkan ajaran kepada orang yang insaf dan menyelenggarakan sakramen. Seperti yang ditulis oleh Juan de Beira dari Ternate pada tahun 1550, ada banyak pulau yang pernah dikunjungi oleh orang Portugis, yang telah mengkonversi sebagian penduduknya menjadi Kristen, membaptis semua orang yang memintanya dan mengajari mereka dasar-dasar iman. Tetapi orang Portugis itu hanyalah pelaut (“navegantes”) dan tidak ada imam bersama mereka, sehingga para penganut baru dibiarkan “tanpa instruksi; dan karena tidak ada misionaris yang dikirim selanjutnya untuk mengajar mereka, banyak jiwa yang hilang”46.

Sementara pedagang dan pelaut kadang-kadang melakukan pekerjaan para imam, para imam dengan sigap juga meniru para pedagang. Sejak tahun 1514, Vicariz pertama Malacca, Afonso Martins, melaporkan dari Cochin bahwa seorang imam telah mengatakan kepadanya, “dia tidak akan puas jika setelah 3 tahun, dia tidak mengumpulkan 5000 cruzado dan banyak mutiara dan rubi”47. Kaum Jesuit di Maluku dan Kaum Dominikan di Kepulauan Sunda Kecil, memperoleh reputasi yang sama buruknya karena lebih mementingkan perdagangan daripada penyelamatan jiwa-jiwa. Setiap Jesuit Portugis dalam misi Maluku telah diberikan izin oleh Raja untuk membeli 4 bahar cengkih setiap tahun atas biayanya sendiri, dan mengirimkannya tanpa membayar ongkos angkut ke India, dimana 1 bahar biasanya menghasilkan sekita 100 pardaus. Tetapi menurut sumber-sumber Spanyol, bahkan aktivitas perdagangan yang resmi dan relatif sederhana ini (dengan asumsi bahwa batasan yang dikenakan pada mereka oleh kerajaan tidak pernah dilampaui) menimbulkan komentar buruk oleh penduduk pribumi, yang menganggapnya “tidak baik, untuk tidak menyebutnya memalukan/skandal” (“desideficativo y puedo dizer scandalozo”) bahwa pembimbing spiritual mereka harus berperilaku seperti imam-pedagang (“clerigos tratantes”). Kaum Jesuit Spanyol dan Augustinian di Filipina, yang pernah ke Maluku, sama-sama mengutuk saudara-saudara Portugis mereka karena lebih berpikiran komersial daripada diri mereka sendiri48.

Di Kepulauan Sunda Kecil, Kaum Dominikan sering diserang karena keterlibatan mereka dalam perdagangan kayu cendana. Mereka membela diri dengan menunjukan bahwa, karena mereka hampir tidak menerima dukungan dari Malacca atau Goa, mereka harus menggunakan perdagangan barang-barang yang dipasok begitu melimpah ke pulau-pulau itu, untuk mempertahankan tidak hanya misi mereka tetapi juga benteng-benteng di Solor dan Flores, yang telah mereka dirikan dan rawat sebagian besar dengan biaya sendiri. Mereka juga, tentu saja, berpendapat bahwa cara terbaik untuk memastikan bahwa kekayaan Timor tetap berada di tangan Portugis adalah dengan mengkonversi penduduk pulau itu menjadi Kristen, sebelum Belanda dan “orang-orang Muslim Macassar” merebut perdagangan yang menguntungkan dari mereka49.

Tuduhan-tuduhan ini, bahwa para pendeta yang mencari keuntungan dari perdagangan gelap juga menentang fakta yang tak dapat disangkal bahwa, setidaknya di ladang misi, tidak ada cara lain bagi mereka untuk bertahan hidup. Meskipun beberapa imam Portugis di kepulauan itu, menurut pengakuan mereka sendiri, menghasilkan uang dalam jumlah besar dari perdagangan, sebagian besar dari mereka menggunakan uang ini untuk pekerjaan pastoral dan evangelis mereka, dan banyak dari mereka mengalami kesulitan yang cukup besar dan menjalani kehidupan asketisme dan kemiskinan yang patut diteladani. Dalam misi Maluku pada tahun 1550-an, ada 7 Jesuit yang bekerja dan menderita karena “tandusnya tanah dan niat buruk penduduk”. Mereka hidup dari makanan sagu, yang menurut mereka cukup memadai, dan sering sakit akibat kurangnya “hal-hal yang diperlukan untuk menopang kehidupan sebagai manusia”. Ternate digambarkan sebagai “sangat kekurangan kebutuhan bagi tubuh; sebagai ganti roti, mereka makan tepung dari pohon tertentu [sagu] tanpa rasa atau makanan dan dengan bau yang tidak sedap”50. Beira menyebut kunjungannya ke Moro pada tahun 1552, sebagai kemartiran yang berkepanjangan (“hum prolongado martirio”), dimana ia diserang oleh para perampok, karam 3 kali, menderita demam, kelaparan dan kehausan, dan hidupnya dalam bahaya terus menerus dari musuh-musuh Islam51.

Banyaknya inisiatif individu dan seringkali tidak terkoordinasi yang bersama-sama membentuk ekspansi Portugis di kepulauan Indonesia selama abad ke-16, dan sebagian besar menentukan karakternya, tidak selalu bertentangan dengan kebijakan yang terkandung dalam pernyataan resmi dari Lisbon atau Goa, atau dengan peran ganda yang pada dasarnya pemerintah Portugis telah menetapkan dirinya untuk bermain, atau mendapati dirinya bermain di seluruh kerajaannya yang luas. Jelas ada sejumlah orang Portugis di Nusantara, yang terutama tertarik pada pelayanan Tuhan dan mungkin lebih banyak lagi yang terutama tertarik pada perolehan emas. Namun, mayoritas tampaknya tertarik pada keduanya. Tidak ada konflik yang diperlukan antara kedua tujuan, tetapi dalam praktiknya, seperti yang coba ditunjukan oleh kajian ini, konflik memang muncul, sebagian karena perluasan perdagangan di pulau-pulau Indonesia melibatkan kerjasama dengan umat Islam, sementara penginjilan melibatkan permusuhan terhadap mereka, sebagian karena konversi penguasa lokal dan rakyatnya menjadi Kristen, dipandang sebagai salah satu cara untuk mendapatkan pengaruh politik dan ekonomi atas mereka, sebagian karena begitu banyak misionaris di daerah itu harus terlibat dalam perdagangan untuk bertahan hidup, dan sebagian karena kontrol gereja dan kerajaan atas kegiatan para pelayan mereka yang sangat lemah di sudut-sudut kerajaan yang jauh ini, dan dukungan material yang dapat mereka berikan dengan begitu boros. Jadi, menyerang Islam, menyebarkan agama Kristen, dan mencari keuntungan “de um caminho” pada kenyataannya adalah 3 aspek dari motif yang sama untuk ekspansi. Motif ini semata-mata untuk memanfaatkan situasi politik, ekonomi, dan agama di kepulauan Indonesia seperti pada tahun-tahun setelah penaklukan Malacca, untuk keuntungan maksimal semua orang yang peduli dengan petualangan kekaisaran Portugis, baik dalam melayani kerajaan, gereja, dirinya sendiri, atau kombinasi dari ketiganya.

======= selesai =====


Catatan Kaki:

1.       Lihat Bailey W. Diffie and George D. Winius, Foundations of the Portuguese Empire, 1465-1580 (Minneapolis: University of Minnesota Press; London: Oxford University Press, 1977): 380.

2.    Tome Pires, Suma Oriental, trans. and ed. Armando Cortesao, 2 vols. Hakluyt Society, 2d ser. 89 (London: Hakluyt Society, 1944): 204

         3.        Marie Antoinette Petronella Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian
                    Archipelago between 1500 and about 1630 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1962): 136-72.

4.      D.R. Sar Desai, "The Portuguese Administration in Malacca, 1511-1641," Journal of Southeast Asian History 10 (1969): 501-512.

5.   Lihat John Villiers, "The Sandalwood Trade and the First Portuguese Settlements in the Lesser Sunda Islands," in Proceedings of the II Seminar of Indo-Portuguese History (Lisbon: Centro de Estudos de Cartografia Antiga, forthcoming).

6.       Joao de Barros, Decadas da Asia 1-4,9 vols. (Lisbon: N. pagliarini, 1777-78),2: 111. Ini dan semua kutipan selanjutnya dari sumber Portugis, Spanyol, dan Italia diterjemahkan oleh penulis, kecuali dinyatakan lain.

7.       Mereka adalah Tristao de Araujo dan Joao de Veiga. Lihat Artur Basilio de Sa, Documentaciio para a historia das missoes do padroado portugues do Oriente: Insulindia, 5 vols. (Lisbon: Agencia Geral do Ultramar, 1954-58), 1: 46, dan Hubert Jacobs, Monumenta Missionum Societatis Iesu: Documenta Malucensia, 2 vols. (Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1974-80), 1:497-98.

8.      King to Almeida, March/April 1506, in Sa, 1:3-13. See also Regimento of Diogo Lopes de Sequeira, Almeirim, 13 February 1508, in Jeronimo Osorio, De Rebus Emmanuelis Regis Lusitaniae Invictissimi Virtute et Auspicio Gestis, 12 vols. (Lisbon: Gondisaluii, 1571), 12:417. Ekspedisi yang diusulkan dalam instruksi Almeida dilakukan oleh Sequeira, yang mencapai Pedir dan Pasai di Sumatera bagian utara pada bulan September 1509, mendirikan padroes di sana, dan membuat perjanjian damai dengan para penguasa mereka.

9.   Hal ini sangat kontras dengan dokumen Spanyol mengenai pemukiman pertama di Filipina, yang berulang kali menekankan bahwa konversi masyarakat adat ke agama Kristen tidak hanya dipahami sebagai kewajiban suci bagi semua umat beriman, tetapi sebagai salah satu kunci elemen dalam seluruh konsep Spanyol tentang kekuatan kekaisaran melalui conquista and reduccion. See Robert R. Reed, Colonial Manila: The Context of Hispanic Urbanism and Process of Morphogenesis (Berkeley: University of California Press, 1978), pp. 11-14.

10.    Sensus Antonio Galvao tahun 1536 mengungkapkan total ada 123 orang Portugis di kota Ternate, di antaranya hanya 18 casados. Mereka beserta istri, anak-anak, dan budaknya membentuk populasi Kristen sebanyak 1.600 jiwa. Di bawah kepemimpinan Galvao, jumlah casado meningkat menjadi 50 menurut Baltasar Veloso (Sa, 1:521), dan, ketika Francis Xavier tiba pada bulan Juli 1546, sudah ada 60 casado dan 60 tentara yang belum menikah. Lihat juga Fernao Lopes de Castanheda Historia do descobrimento e conquista da India pelos portugueses, 3d ed., 4 vols. (Coimbra: Imprensa da Universidade, 1924-33), book 9, chapter 21

11.       Xavier to the Jesuits in Europe, Ambon, 10 May 1546, in jacobs, Documenta, 1: 11-12.

12.   Beira to the rector of Goa, Ternate, February/April 1549, in jacobs, Documenta, 1: 60. Kebutuhan akan sekolah juga dihargai namun jarang dipenuhi. Antonio Galvao, ketika menjadi kapten Kepulauan Maluku (1536-1539), mendirikan sekolah primitif di rumahnya sendiri di Ternate. (Jacobs, A Treatise on the Moluccas [c1544], Probably the Preliminary Version of Antonio Galvlio's Lost Historia das Molucas [Rome: jesuit Historical Institute, 1971] p. 299). Kaum Dominikan mendirikan sebuah seminari di Solor di mana pada tahun 1600 terdapat lima puluh anak, yang diajari "doktrin Kristen, kebiasaan moral yang baik, membaca, menulis, dan bahasa Latin" (Joao dos Santos, Ethiopia Oriental, 2 vols. [Lisbon: Bibliotheca dos Classicos Portuguezes, 1891],2:103).  Namun para Yesuit tidak pernah mendirikan sekolah apa pun di Maluku yang sebanding dengan sekolah ini atau sekolah yang mereka dirikan di Filipina, baik untuk anak laki-laki Filipina maupun Spanyol. (See Horacio de la Costa, The Jesuits in the Philippines, 1581-1768 [Cambridge: Harvard University Press, 1961], khususnya pp. 75, 119, 163, 172-73, 188-89, 195-96.) Mereka umumnya membatasi diri hanya dengan mengirimkan beberapa anak laki-laki, biasanya putra penguasa dan bangsawan, ke Malaka atau Goa untuk mendapatkan pendidikan.

13.    Fransiskus Xaverius melihat dengan jelas kesulitan-kesulitan yang menghalangi misi jesuit. Salah satu alasan utama, tulisnya, mengapa para Yesuit menemukan tugas konversi begitu sulit di daerah-daerah seperti Tanjung Komorin, "Moro di luar Maluku" (yaitu, Morotia dan Morotai), dan Jepang adalah kurangnya materi. dukungan yang akan diberikan oleh pemukiman dan administrasi Portugis di tempat mereka, sedangkan para misionaris yang bekerja di daerah-daerah di mana terdapat kehadiran Portugis yang substansial, meskipun mereka sering mengalami kesulitan fisik yang besar, tidak berhenti memenangkan jiwa. (Xavier to Berze, Goa, 6-14 April 1552, in jacobs, Docurnenta, 1:93). Xavier also advocated the establishment of the Inquisition in the Estado da India, and this was done in 1560

14.      Madureira to the king, Malacca, 4 January 1519. Macgregor Papers, University of Singapore Library, Ill/6.

15.      Albuquerque to the king, Malacca, 4 January 1515, in Sa, 1:80.

16.  Sebagai imbalan atas ketundukannya yang total ini, Boleife hanya meminta nasihat dan sejumlah senjata untuk pertahanan Ternate, termasuk baju besi untuk dirinya sendiri sehingga ia dapat berperang demi Portugal, sebuah helm, dan sebuah kursi (yang pada saat itu adalah kursi). sebuah objek yang cukup langka di Ternate), "untuk mendapatkan sesuatu dari Yang Mulia yang akan membuat saya terhormat." King of Ternate to king of Portugal, n.d., in Sa, 1:85-87.

17.    Sumbangan Ambon, Almeirim, 15 Maret 1543, dalam Sa, 4:31-35. Sumbangan Manuel dikonfirmasi oleh Raja Joao III pada tahun 1543, dan tahun berikutnya Vicente Pereira menggambarkan Freitas sebagai "penguasa negeri ini" (Pereira kepada rektor Goa, Ambon, 29 Maret 1554, dalam jacobs, Documenta, 1:157). Pada bulan Juni 1574, Raja Sebastiao mengukuhkan wilayah bawahan Ambon kepada Goncalo de Freitas, putra sah tertua jordao (ibid., n.l [Brit. Mus. Add. MSS. 21526, fols. 72r-74r]).Tentang pertobatan Tabarija lihat Georg Schurhammer, Francis Xavier: His Life, His Times, 3 jilid. (Roma: jesuit Historical Institute, 1974-80), 2: 249 dan 3: 38-39, dan sumber-sumber yang dikutip di sana.

18.      Epistolae S. Francisci Xaverii Aliaque Eius Scripta, ed. Schurhammer and josef Wicki, 2 vols. (Rome: IHSI, 1944-45), 1: 340.

19.     Referensi terhadap surat wasiat Manuel terdapat dalam beberapa surat jordao de Freitas kepada raja, misalnya, Cochin, 7 Januari 1548 (dalam Sa, 1:531, 533); Goa, 31 Agustus 1548 (ibid., 1:558-59). Surat wasiat itu sendiri, bersama dengan dokumen lain yang relevan, termasuk jawaban Bernaldim de Sousa kepada Freitas, ada di Sa, 2: 19-39.

20.    Lihat  Schurhammer, Francis Xavier, 3: 189-95, untuk penjelasan lengkap tentang pengusiran Freitas dari Ternate.

21.   Freitas memperkirakan kerugian pribadinya karena dicabut jabatan kaptennya pada tahun panen cengkeh sebesar 40.000 pardaus (Freitas to the king, Cochin, 7 Januari 1548, dalam Sa,' 1:529). Pada saat yang sama, Alvaro de Sousa, putra raja muda, menulis surat kepada ayahnya dari Malaka untuk mengatakan betapa senangnya dia pergi ke Maluku karena cengkih menunggunya di sana: “Saya diberitahu bahwa dalam dua tahun saya akan menjadi orang terkaya di dunia dan aku pergi dengan penuh semangat sehingga aku tidak mempunyai kegembiraan yang lebih besar dari apa pun" (dikutip dalam Schurhammer, Francis Xavier, 3: 193-94). Ini adalah pengakuan yang mengungkapkan yang harus disampaikan oleh putra raja muda kepada ayahnya pada malam sebelum keberangkatannya dalam perjalanan mengabdi pada mahkota.

22.    As gavetas da Torre do Tombo, 11 vols. (Lisbon: Centro de Estudos Hist6ricos Ultramarinos, 1971), 9: 139-40, gaveta XVIII, ma~o 8, doc. 1.

23.     Frois to the jesuits in Portugal, Malacca, 19 November 1556, in jacobs, Documenta, 1:185.

24.     Xavier to the jesuits in Rome, Cochin, 20 january 1548, in jacobs, Documenta, 1:40.

25.     Ferrari to Rodrigues, Ambon, 19 May 1583, in jacobs, Documenta, 2: 129.

26.    Nunes to Rodrigues, Tidore, 5 March 1588, in jacobs, Documenta, 2:237.

27.  Lihat  john Villiers, "Trade and Society in the Banda Islands in the Sixteenth Century," Modern Asian Studies 15 (1981):728-31 and 745, n. 100.

28.     Frois to the jesuits in Portugal, Malacca, 19 November 1556, in jacobs, Documenta, 1:187 and 193-94.

29.  Permintaan ini tidak dapat dikabulkan, sehingga sang adipati mengirim keponakannya, yang diberi nama baptis Lourenco, ke Malaka untuk mempelajari doktrin Kristen secukupnya agar dapat kembali ke Solor untuk mengajarkannya. Lourenco disebut-sebut memiliki karakter dan kemampuan yang baik sehingga bisa mempelajari apapun dalam waktu singkat. Frois to the jesuits in Europe. Goa, 1 December 1651, in jacobs, Documenta, 1:335

30.   Dizem ter 700 legoas de costa e chegar mui perto de Nova Espanha segundo a informacao dos castelhanos que de la vierao." Frois to the jesuits in Portugal, Malacca, 19 November 1556, in jacobs, Documenta, 1: 191. Adalah kepentingan Spanyol untuk mengklaim bahwa Papua meluas sejauh ini, karena nantinya akan ditempatkan di sisi mereka dari garis demarkasi yang disepakati dalam Perjanjian Tordesillas.

31.    Barreto to Miron, Cochin, 20 january 1566, in jacobs, Documenta, 1: 487. Seperti yang dikeluhkan Miguel Rangel dari Solor, "mengharapkan pasokan datang dari Malaka berarti mengharapkan keajaiban" ("Missoes Dominicanas no Oriente, n.d., Summaria Relacamdo que obrarao os Religiosos da Ordem dos Pregadores na conversao das almas ... em todo 0 Estado da India," in Sa, 5:416).

32.   Dari Goa a nau de carreira berangkat pada bulan April setiap tahun dan tiba di Ternate pada bulan Oktober; nau de carreira tahunan serupa berlayar ke Banda setiap bulan September, tiba pada bulan Februari berikutnya. Kedua kapal ini biasanya berlindung dari musim hujan (invernar) di Teluk Ambon, dimana mereka akan kembali ke India pada bulan Mei, dan mencapai Cochin pada bulan Januari atau Februari. Dengan demikian, perjalanan pulang pergi Goa-Ternate-Goa bisa memakan waktu dua puluh tiga bulan dan perjalanan dari Ternate ke Goa pulang pergi hanya kurang satu atau dua bulan. Pelayaran dari Lisbon ke Goa atau dari Goa ke Lisbon memakan waktu antara tujuh dan delapan bulan, dan jika—seperti yang kadang-kadang terjadi—kapal-kapal harus singgah di Mozambik dalam perjalanan, delapan bulan berikutnya akan ditambahkan pada pelayaran tersebut. Jadi, surat yang dikirim dari Ternate ke Lisbon atau ke Roma biasanya tidak akan mendapat balasan selama hampir empat tahun.

33.   King to viceroy, Almeirim, 14 March 1565, in jacobs, Documenta, 1:461-62. The viceroy conde de Redondo memerintahkan Antonio Pais untuk membangun sebuah benteng di Ambon dalam tahun 1562, tetapi Pais “ 0 empedio fazer-se por nao descontentar 0 rey [Hairun], sendo a dita fortaleza muy necessaria e efficaz remedio contra os males que 0 mesmo rey faz." Contoh lain dari kemanfaatan politik yang mengesampingkan pertimbangan lain.

34.   Yaitu cravo de bastlio, yang terdiri dari batang-batang, berbeda dengan cravo de cabefa, atau kuncup cengkeh, yang dibeli Portugis di Ternate.

35.     Barreto to Miron, Cochin, 20 january 1566, in jacobs, Documenta, 1:487-88.

36.  Misalnya, Mascarenhas to Quadros, Ternate, 16 April 1562, dalam jacobs, Documenta, 1:349-52. Dalam surat ini Mascarenhas menceritakan pertempuran antara Henrique de Sa, kapten Maluku dari tahun 1562 hingga 1564, dan Ratiputi, raja Nusaniwi di Leitimor. Ratiputi akhirnya dikalahkan dan dibaptis dengan nama Antonio de Abreu (Sa, 2: 440-42).

37.   Seperti yang ditulis oleh Raja Sebastiao kepada raja muda pada tahun 1565, "Dikatakan bahwa perintah dan ketentuan yang diterima oleh para kapten kapal di Maluku dari saya dan para gubernur saya dan yang mereka buat sendiri hampir selalu membatalkan apa pun yang bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri. ... Mereka menafsirkan, memperluas, dan memperkuatnya sesuai keinginan mereka." Dalam pandangan pemerintah Lisbon, peperangan dan kehancuran yang enam tahun sebelumnya diakibatkan oleh dipenjaranya Sultan Hairun dan memakan banyak korban jiwa, baik umat Kristiani maupun Islam, tidak diperlukan dan disebabkan oleh keserakahan masyarakat. para kapten. (Raja kepada raja muda, Almeirim, 14 Maret 1565, dalam jacobs, Documenta, 1:460.)

38.   Barreto ke Miron, Cochin, 20 Januari 1566, dalam jacobs, Documenta, 1:486. Di Ternate, para kapten kapal dituduh tidak menghormati, melecehkan, dan mempermalukan umat Kristen dan para menteri mereka di depan umum; dan "karena hal ini orang-orang kafir memperlakukan mereka dengan kurang ajar, sementara orang-orang Kristen kurang menghormati doktrin atau para pelayannya, sehingga setiap orang kehilangan hak mereka atas iman dan hukum Tuhan" (Raja ke Raja Muda, Almeirim, 14 Maret 1565 , dalam Jacobs, Documenta, 1:462). Di Kepulauan Sunda Kecil juga, kaum Dominikan sering menemukan alasan untuk mengajukan keluhan terhadap para kapten Solor yang, menurut mereka, "menempatkan diri mereka di distrik-distrik terpencil dan tidak mendengarkan nasihat para ayah, yang telah menyebabkan banyak penyakit, baik yang lama maupun yang baru. " (Miguel Rangel, "Relaces Sumarias: Relacam das Christandades, e Ilhas de Solor, em khususnya, da Fortaleza, que para emparo dellas foi feita ... , " dalam Sa, 5:237. Lihat juga Villiers, "Sandalwood Trade" ). Di sisi lain, seorang Fransiskan yang bekerja di India pada tahun 1580-an, Gaspar de Lisboa, menulis tentang kenangan indahnya saat bergaul dengan gente da guerra dari semua tingkatan, yang karyanya ia anggap sebagai tugas Kristiani "trabalho sagrado e fraterno") dan dengan siapa dia dan saudara-saudaranya berbagi banyak kesulitan (dikutip dalam Felix Lopes, "Os Franciscanos no Oriente Portugues de 1584 a 15~0," Studia 9 [Januari 1962]:56).

39.    Barreto to Miron, Cochin, 20 january 1566, in jacobs, Documenta, 1:487.

40.    Osorio to the jesuits in Lisbon, Ternate, 15 February 1563, in jacobs, Documen(a, 1:366.

41.     Barros, Da Asia, 9, bab 21. Harapan akan keuntungan dibandingkan semangat perang salib melawan orang-orang kafir tampaknya juga menjadi bujukan utama yang membujuk pasukan Galvao untuk bergabung dalam ekspedisinya melawan jailolo pada tahun 1537. Ketika kapal-kapalnya tertahan oleh badai di Talangame, dia menyadari bahwa dia tidak dapat memaksa pasukannya untuk berperang, karena mereka telah mendapat "bau cengkeh dan kedamaian" dan menyatakan bahwa mereka hanya datang ke Ternate untuk berbisnis ("fazer fazenda"); Mereka segera mulai berdagang cengkeh secara pribadi. Oleh karena itu, Galvao mengeluarkan proklamasi yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh mengumpulkan cengkeh kecuali feitor, yang "melakukannya demi raja, tuan kita". Namun demikian, ia menunjukkan dirinya tidak kalah bersemangatnya dibandingkan anak buahnya terhadap peluang komersial dari situasi tersebut, dan, setelah berdamai dengan para penguasa penjara ailolo dan Bacan, mulai berbisnis dengan mereka, memberi tahu mereka bahwa raja yang dikuasainya hanya memiliki mengirim orang-orangnya ke negara mereka untuk tujuan ini dan mengingatkan mereka bahwa mereka pernah mengatakan bahwa mereka adalah pengikut Portugal. (Jacobs, Treatise, pp. 265-67, 271-73).

42.    Lihat Schurhammer, Francis Xavier, 3:  161, and Sa, 1: 316-18. Faktanya, setidaknya ada satu kunjungan pendeta ke Moro sejak pembunuhan Vaz. Antonio Galvao telah mengirimkan seorang clerigo de missa, Fernao Vinagre, sebagai kapten ekspedisi ke sana, bersama empat puluh orang Portugis dan armada kora-kora yang dipinjam dari sultan Tidore. Seperti biasa dengan Galvao, ekspedisi ini mempunyai dua tujuan - untuk memadamkan pemberontakan dan menyebarkan agama Kristen. Rupanya Vinagre mencapai keduanya dan memberikan "pelayanan yang besar kepada Tuhan dan raja, karena, selain membuat banyak orang Kristen baru dan meneguhkan iman orang lain, ia berhasil membawa banyak perbekalan ke Ternate, sebagai hasilnya negara itu menjadi lebih murah dibandingkan sebelumnya." (Castanheda, Descobrimento, book 8, chapter 200.)

43.     jacobs, Treatise, p. 305, and idem, Documenta, 1: 13. See also Castanheda, Descobrimento, book 8, chapter 200.

44. Untuk penjelasan rinci tentang misi Paiva dan transkripsi dokumen aslinya, lihat Jacobs "The First Locally Demonstrable Christianity in Celebes, 1544," Studia 17 (April 1966): 251-305. See also Sa, 1: 463-66, and 589-94.

45.     Pereira to the rector of Goa, Ambon, 26 February 1554, in jacobs, Documenta, 1:151. Viniagoa berasal dari bahasa Melayu berniaga ("berdagang").

46.    Beira to Loyola, Ternate, 13 February 1550, in Jacobs, Documenta, 1:79-80.

47.  Letter of Afonso Martins, Cochin, 17 December 1514. See Schurhammer, "Carta inedita de Afonso Martins, primeiro vigario de Malacca," Studia 1 (1958): 111-17.

48.     Sebagai contoh, Sedeno to Acquaviva, Manila, 15 September 1583, in Jacobs, Documenta, 2: 134.

49.    LihatVilliers, "Sandalwood Trade,"  dan sumber-sumber yang dikutip di sana. Meskipun panggilan keagamaan mereka tidak menghalangi ordo misionaris, atau pendeta sekuler, untuk terlibat dalam perdagangan, ada di antara beberapa fidalgo yang bertugas di pelosok kekaisaran Portugis yang masih merasakan bahwa perdagangan adalah aktivitas yang tidak pantas bagi pangkat mereka. Xavier memberi kita ilustrasi tentang hal ini. Menulis kepada Joao III pada tahun 1546, ia memuji tiga kapten yang bertempur dalam serangan Luso-Spanyol di penjara pada tahun 1545—joad Galvao, Manuel de Mesquita, dan Lionel de Lima—dan mengatakan bahwa, karena orang-orang ini adalah pria terhormat dan bukan pedagang ( "mais cavaleiros que chatis nem mercadores"), mereka tidak berusaha menutup pengeluaran mereka dari "buah pohon cengkeh yang Tuhan berikan ke negeri ini." Oleh karena itu, menurut pendapatnya, mereka pantas mendapat imbalan karena telah melayani raja dengan sangat baik dan membahayakan jiwa dan nyawa mereka. (Xavier ke raja, Ambon, 16 Mei 1546, dalam Jacobs, Documenta, 1:21). Joao Galvao dibunuh oleh peluru meriam selama  pengepungan jailolo, dan Lionel de Lima (c. 1521-64) memasuki Perkumpulan Jesuit pada tahun 1550.

50.    Lancillotto to Loyola, Quilon, 11 january 1551, in jacobs, Documenta, 1:89.

51.      Beira to Rodrigues, Cochin, 7 February 1553, in Sa, 2:85.

Catatan Tambahan :

a.      De um caminho ganhar almas e fazenda bisa diartikan secara luas sebagai Jiwa-jiwa dan kekayaan berada pada jalan yang sama atau 1 jalan.  

b.   cuius regio, eus religio  adalah ungkapan dari bahasa Latin yang bermakna “siapa memerintah, agamanya dianut”. Dengan kata lain agama seorang penguasa akan menentukan agama wilayah yang ia kuasai.

2 komentar:

  1. Bung kalau bisa foto raja2 pulau saparua dri tahun 1700 sampai 1900 gitu ada ka tdk bung, terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atas komentarnya...soal foto para raja Saparua dari tahun 1700- 1900 z ada kk bu...dftrnya saja z lengkap...setau b klo foto yg baru ditemukan hanya raja porto dan raja nolloth untuk tahun 1890an...🙏🙏🙏

      Hapus