Sejarah singkat tentang
kearifan manusia
di tengah gempuran modernitas
Oleh : Aldrijn Anakotta
“Pergi
ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta,
karena
di rumah dukalah kesudahan setiap manusia, hendaknya
orang
yang hidup memperhatikannya” 1)
A.
Pengantar
Sepenggal kalimat indah di atas, dalam tradisi Kristen dikenal sebagai
tulisan Raja Salomo, Raja Israel III yang dikumpulkan dalam kitab Pengkhotbah
yang merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Kitab ini berisikan beragam “filsafat” tentang
kehidupan manusia. Dalam satu bagian ada yang menceritakan tentang kesia-siaan
manusia yaitu segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk mati atau meninggal
dunia 2). Kematian merupakan hal yang tak bisa dihindari. Setiap
kebudayaan dan agama berbeda dalam memahami konteks ini 3). Dari
pemahaman yang beragam itulah, muncul prosesi dan tata cara pemakaman serta perlakuan
terhadap jenazah yang berbeda, di setiap kebudayaan4). Di Mesir kuno
ada prosesi pembalseman yang nantinya akan jadi mumi dan itu hanya khusus
dilakukan pada kaum Raja/Kaisar (kalangan bangsawan) 5). Dalam injil
sinoptik, prosesi pemakaman Yesus Kristus atau Nabi Isa. as, juga dibalsam dengan
aneka rempah-rempah, dibalut dengan kain dan dimasukan kedalam gua, bukan dimasukan kedalam tanah 6). Ada juga yang dikremasi atau ada juga yang
dibiarkan begitu saja/ diletakan di ruangan terbuka hingga membusuk dan
dibiarkan dimakan oleh burung pemakan bangkai, ini dalam pemahaman agama
Zoroaster di Persia kuno serta beragam cara lainnya7). Di Provinsi
Maluku, terkhususnya di lingkup Ambon Lease yang telah dipengaruhi oleh agama
Kristen dan Islam serta penjajah bangsa barat, prosesi itu tidak lagi
dilakukan tetapi digunakan dengan cara dimasukan kedalam sepetak tanah yang
digali atau dikenal dengan istilah ditanam/dikubur.
B.
Kedukaan dan kearifan manusia
Kematian tentunya menimbulkan duka bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bukan saja bagi keluarga inti, tapi juga bagi orang yang mengenal, kerabat dan tetangga
atau kaum birman. Manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tak bisa hidup
sendiri, manusia juga dilahirkan dengan bawaan untuk saling menolong. Bentuk
saling menolong ini juga terlihat dalam kematian yang menimbulkan duka tadi. Ada
yang membantu membuat hidangan, memandikan jenazah, menggali lubang kubur,
membuat peti jenazah, mendirikan tempat bernaung bagi pelayat (sabua) dll. Bantuan seperti
itu bisa meringankan keluarga yang sedang berduka. Ini bentuk empati dan
solidaritas sosial sebagai pola kearifan manusia. Pada awalnya, bantuan
kemanusiaan ini tidaklah teroganisir dalam sebuah lembaga atau kumpulan atau
perhimpunan. Namun lama kelamaan, manusia yang berpikir akan memikirkan
cara-cara yang lebih efisien, efektif dalam menangani hal tersebut. Dari
pemikiran inilah maka munculah berbagai perkumpulan/perhimpunan atau
persekutuan yang lebih terorganisir untuk menjalankan tugas kemanusiaan ini. Dalam
kebudayaan Maluku, perkumpulan ini biasa dikenal dengan nama “peramponang atau muhabeth”.
C.
Tinjauan sejarah
Munculnya lembaga/perkumpulan/persekutuan
semacam ini sangat sulit dilacak sejarahnya, karena arsip yang tersedia tidak
mencukupi. Namun dalam berbagai kebudayaan dunia ada bentuk-bentuk lembaga
seperti ini. Dalam kebudayaan China, perkumpulan rumah duka sudah dikenal sejak
zaman dinasti para kaisar China kuno 8). Di negara Belanda, juga ada.
Mungkin kebiasaan Negara Belanda inilah yang kemudian diadopsi oleh Indonesia
sebagai negara bekas jajahannya. Maluku sebagai bagian Indonesia tentu juga
mewarisi kebiasaan itu. Namun sekali lagi, sejarah munculnya perkumpulan rumah
duka seperti ini tidak diketahui persis kapan waktunya. Begitu juga yang
dialami di Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu atau desa Saparua. Pengertian
Muhabeth atau peramponang bisa dilacak ke dalam bahasa Arab. Dalam sebuah blog
miliknya yang bernama kuti kata, Elifas Tomix Maspaitella, menjelaskan bahwa dengan bantuannya temannya,
Sumanto al Qurtuby yang juga anggota Jaringan Islam Liberal (JIL), memaparkan
bahwa mengenai Muhabet, ada istilah dalam
bahasa Arab yang diperkirakan sebagai etimologinya. Istilah tersebut ialah
‘muhiba’ [kata benda, noun] yang berarti = kunjungan. Kata sifatnya [adjective]
ialah ‘hibat’, dan keduanya bersumber dari akar kata ‘hub’ yang berarti =
cinta, kepedulian, atau orang-orang yang mendermakan sesuatu untuk orang yang
dia cintai. Di situ dapat dikatakan bahwa Muhabet ialah suatu perhimpunan yang
terdiri dari anggota masyarakat atas dasar kepedulian sosial, cinta kasih dan
bertujuan untuk membantu anggota masyarakat lain yang perlu dibantu, atau yang
berada dalam kesusahan/dukacita.
Dahulu ada pula istilah lokal lain mengenai Muhabet yaitu "PARAMPONANG". Penelusuran leksilkal terhadapnya patut dilakukan. Di duga
istilah itu adalah bentuk polisemi dalam Melayu Ambon tentang kata
‘perhimpunan’ dari kosa kata Bahasa Indonesia. Banding saja kebiasaan membahasa
orang Ambon yang sering diakhiri akhiran ‘ang’ –misalnya:perempuan = parampuang. Penjelasannya mengenai akar kata dari bahasa Arab itu
menarik dan dapat diterima sebab bahasa Melayu Ambon bertumbuh ketika bahasa
Arab telah menjadi sebuah bahasa yang dikenal orang-orang Ambon di zaman Belanda.
Malah beberapa teks Alkitab ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan beredar
sampai ke pelosok termasuk di Saparua. Istilah-istilah serapan dari bahasa
Arab, Portugis dan Belanda menjadi kosakata Melayu Ambon yang terus digunakan sampai
saat ini. 9)
D.
Muhabeth di Negeri
Pisarana Hatusiri Amalatu
Sampai tulisan ini dibuat, di negeri Pisarana Hatusiri
Amalatu (Desa Saparua), terdapat 6 muhabeth atau peramponang baik yang masih
beraktivitas maupun yang sudah tak beraktivitas lagi, yaitu;
1.Muhabeth /
Peramponang
2. Muhabeth Memantoemoeri /Memantumuri
3. Muhabeth Hercules
4. Muhabeth Ora et
Labora
5. Muhabeth Kampung
Jati/Jate (Momuntumuri)
6. Muhabeth Kampung Baru
d.1. Muhabeth /Peramponang 10)
Dari segi usia, muhabeth ini yang tertua/paling lama, di tahun 2015 ini, muhabeth ini akan berusia 104 tahun. Didirikan
pada tanggal 10 Agustus 1911. Jika dilihat dari tanggal berdirinya, perkumpulan
rumah duka ini didirikan atau dibentuk pada masa penjajahan Belanda. Belum
diketahui siapa yang mempunyai ide untuk membentuk muhabeth ini. Mungkin
orang-orang Belanda atau juga masyarakat lokal yang memiliki hubungan kerja
dengan pihak belanda atau bisa juga orang lokal yang mengadopsi kebiasaan
orang-orang belanda. Muhabeth ini memiliki rumah duka semacam sekretariat atau
markas besar (rumah peramponang) yang berlokasi di kompleks tiang belakang negeri saparua, di belakang rumah keluarga Tehubijuluw. Karena muhabeth ini yang
tertua maka anggotanya kebanyakan adalah berasal dari anggota-anggota
awal/pertama yang kemudian “menurunkan/mewarisi” kepada generasi berikutnya
dalam keluarga setelah mereka meninggal. Salah satu contohnya adalah penulis
sendiri yang sekarang menjadi anggotanya, melanjutkan keanggotaannya dari pihak
orang tua (papa dan mama), yang sebelumnya mewarisi keanggotaannya dari orang
tua mereka atau sang kakek dan nenek dari penulis. Ada juga anggota baru yang
merasa tertarik dan bergabung menjadi anggota muhabeth ini. Tentunya dalam sebuah
perkumpulan atau lembaga, pastilah memiliki aturan atau AD/ART organisasi.
Muhabeth ini juga memiliki aturan-aturan. Salah satunya adalah sistim pangku atau memangku anggota. Sistim ini diterapkan kepada anggota yang telah menjanda atau tidak lagi memiliki sanak keluarga dekat. Anggota muhabet yang termasuk dalam kategori ini dibiayai oleh muhabeth, sehingga iuran keanggotaan tidak diberlakukan kepada mereka, atau bisa dibilang segala sesuatu yang berhubungan dengan tanggungan mereka sebagai anggota adalah gratis/tidak membayar. Sistim ini akan hilang atau berhenti saat mereka meninggal dunia. Pembiayaan operasional muhabeth ini dihasilkan dari iuran anggota dan uang jenazah. Iuran tiap bulan adalah Rp.2.500,- sedang uang jenazah adalah Rp.2.000,-. Maksud uang jenazah ini adalah jika setiap anggota muhabeth yang meninggal, maka anggota muhabeth yang lain berkewajiban membayar uang jenazah sebagai tanggungan. Dari dana operasional ini, pihak muhabeth memberikan uang duka kepada keluarga yang berduka dan operasional saat anggota muhabeth meninggal. Muhabeth ini memiliki 3 seksi atau biasa di kenal dengan istilah troep . kata ini adalah bahasa belanda yang berarti pasukan, kelompok atau regu atau pasukan zeni dalam ketentaraan. Ke-3 seksi atau regu itu adalah, troep gali kubur/kolang, troep bikin peti, dan troep pikul peti atau memikul peti jenazah dari rumah anggota yang meninggal ke area pekuburan.
Muhabeth ini juga memiliki aturan-aturan. Salah satunya adalah sistim pangku atau memangku anggota. Sistim ini diterapkan kepada anggota yang telah menjanda atau tidak lagi memiliki sanak keluarga dekat. Anggota muhabet yang termasuk dalam kategori ini dibiayai oleh muhabeth, sehingga iuran keanggotaan tidak diberlakukan kepada mereka, atau bisa dibilang segala sesuatu yang berhubungan dengan tanggungan mereka sebagai anggota adalah gratis/tidak membayar. Sistim ini akan hilang atau berhenti saat mereka meninggal dunia. Pembiayaan operasional muhabeth ini dihasilkan dari iuran anggota dan uang jenazah. Iuran tiap bulan adalah Rp.2.500,- sedang uang jenazah adalah Rp.2.000,-. Maksud uang jenazah ini adalah jika setiap anggota muhabeth yang meninggal, maka anggota muhabeth yang lain berkewajiban membayar uang jenazah sebagai tanggungan. Dari dana operasional ini, pihak muhabeth memberikan uang duka kepada keluarga yang berduka dan operasional saat anggota muhabeth meninggal. Muhabeth ini memiliki 3 seksi atau biasa di kenal dengan istilah troep . kata ini adalah bahasa belanda yang berarti pasukan, kelompok atau regu atau pasukan zeni dalam ketentaraan. Ke-3 seksi atau regu itu adalah, troep gali kubur/kolang, troep bikin peti, dan troep pikul peti atau memikul peti jenazah dari rumah anggota yang meninggal ke area pekuburan.
Cara/kebiasaan
umum yang dilakukan oleh muhabeth2 bisa digambarkan sebagai berikut, saat
anggota muhabeth meninggal, pihak muhabeth biasanya membunyikan/pukul tifa
sebagai pengumuman kepada masyarakat dan anggota muhabeth lainnya jika anggota
muhabeth telah meninggal dunia, kemudian kepala troep bikin peti dan kepala
troep gali kubur mendatangi keluarga untuk berkonsultasi tentang tugas dan
tanggung jawab muhabeth, kepala troep bikin peti biasanya membawa ukuran atau
alat untuk mengukur yang terbuat dari kulit gaba-gaba. Alat ini bertujuan untuk
mengukur panjang dan besarnya jenazah yang nantinya jadi ukuran untuk membuat
peti jenazah. Sedang kepala troep gali kubur menanyakan lokasi atau tempat yang
diinginkan oleh keluarga agar jenazah anggota muhabeth akan dimakamkan.
Biasanya salah satu keluarga yang diutus untuk bersama kepala troep ke TPU
untuk menunjukan lokasinya atau atas keinginan keluarga, lokasinya bisa di
halaman milik keluarga atau kintal keluarga.
Selanjutnya masing-masing troep
menjalankan prosedur kerja yang telah ditetapkan atau yang telah menjadi
kebiasaan umum. Troeps bikin peti kemudian membuat peti jenazah dari papan yang
berjumlah 7 buah/lembar atau biasa disebut 7
urat, dengan bermodalkan ukuran panjang, lebar dan besar jenazah, mereka
membuat peti jenazah, bentuk peti adalah persegi panjang, pembuatan peti
jenazah ini ada 2 bagian yang dibuat, yaitu badan peti dan penutup peti, saat
telah selesai, peti jenazah yang terdiri dari 2 bagian itu kemudian dibalut dengan kain hitam dari
luar (hanya buat anggota yang adalah warga jemaat GPM), jika anggotanya adalah
warga jemaat Gereja Kharismatik, maka digunakan kain putih sedangkan bagian
badan peti, alas/dasar peti bagian dalam ditutupi oleh kain putih, sebelum ditutupi
kain putih, pihak muhabeth meminta dari keluarga untuk memberikan beberapa buah
bantal, yang isinya dikeluarkan untuk di taburkan sebagai bantalan tempat
jenazah dibaringkan. Isi bantal yang dimaksudkan adalah bantal yang berisikan
bunga tumbuhan kapuk/randu yang telah mengering, bukan bantal spons yang
dikenal sekarang. Setelah ditaburkan di dasar peti, kemudian ditutupi dengan
kain putih. Bagian badan peti dan penutup peti yang telah dibalut dengan kain
hitam, kemudian dibuat hiasan dan nama dari sang jenazah, hiasan di badan peti dan penutup bisa berupa
corak bunga, salib atau model-model lainnya tergantung kreativitas dari orang
yang bertugas melakukan itu.
Proses membuat hiasan ini disebut kas bajalang/ kas bajang banang peti. Proses ini sangat susah dan membutuhkan ketelitian, tak sembarang orang bisa
melakukannya, kecuali yang telah terbiasa, umumnya skil atau kemampuan ini
diwariskan oleh orang tuanya atau kepada anggota yang mau belajar. Dikatakan
sulit karena ada aturan atau “norma” bahwa benang yang ditarik mengikuti pola
yang diinginkan, tidak boleh berakhir atau “putus”
di bagian tengah pola yang dibuat. Jika benang itu habis atau berakhir, tak
boleh disambung di bagian tengah pola tadi, namun harus diakhiri pada bagian
peti atau penutup peti yang telah ditancapkan paku, entah di bagian mana saja.
Namun tak bisa disambung di bagian tengah dari 2 paku yang telah ditancapkan
di badan atau penutup peti yang merupakan jalannya atau arah benang itu ditarik.
Hal ini sangat menyulitkan karena orang yang melakukannya harus memikirkan dan
mempertimbangkan panjang benang dan hubungannya dengan pola yang ingin dibuat. Awalnya
orang yang melakukannya menancapkan paku
pompa 11), membentuk maal atau
bentuk dasar hiasan yang ingin dibuat, kemudian benang ditarik mengikuti arah
atau jalur dari bentuk itu. Setelah semuanya selesai, peti jenazah dibawa ke
rumah keluarga yang berduka, dan jenazah dimasukan kedalam peti itu dan
menunggu waktu yang telah ditetapkan oleh pihak keluarga kapan dimakamkan. Selain
itu saat jenazah belum dimakamkan, biasanya pada malam hari diadakan ibadah
penghiburan yang dipimpin oleh majelis gereja yang bertugas di sektor/daerah tempat keluarga itu berdiam. Ibadah penghiburan ini dihadiri oleh
kerabat, kenalan, tetangga dan anggota muhabeth. Tujuannya untuk menghibur,
menguatkan serta empati dan solidaritas sosial bagi keluarga yang sedang
berduka. Acara ini disebut matawana
atau bagadang/bergadang, di saparua kegiatan matawana di rumah duka ini disebut male male. Dalam kegiatan matawana/male-male ini, biasanya setelah ibadah
penghiburan, kaum laki-laki menghabiskan waktu dengan bermain kartu, minum sopi,
atau bercerita dengan tema bebas atau dudu
batukel sambil mencicipi penganan
dan minuman yang disediakan oleh tuan rumah. Biasanya kegiatan matawana
dilakukan sampai pagi atau matahari terbit atau dalam kebudayaan Maluku dikenal
dengan sebutan amper siang atau matahari pica, biasanya jam 06.00 pagi.
Jika jenazah belum juga dikuburkan karena pertimbangan dari pihak keluarga,
maka kegiatan matawana itu terus dilakukan.
Pemakaman biasanya dilakukan oleh pada
sore hari, namun kadangkala juga pagi atau siang, atas permintaan keluarga dengan
mempertimbangkan kondisi jenazah yang meninggal dunia akibat penyakit, sehingga
tak bisa membiarkan jenazah lebih lama. Istilah atau pengucapan atas kondisi
ini dikenal dengan nama seng bisa tahang
mayat/bangke. Sebelum prosesi ibadah pemakaman, biasanya dilakukan
penyerahan jenazah dari pihak muhabeth kepada keluarga, atas nama muhabeth dan anggotanya,
ketua muhabeth menyampaikan beberapa pata kata yang di dalamnya menyampaikan,
apa yang telah dibuat/dilakukan oleh pihak muhabeth sebagai bentuk dan tanggung
jawabnya terhadap anggota, kemudian dilanjutkan dengan ibadah pemakaman yang dilakukan oleh pendeta
di jemaat setempat. Setelah selesai ibadah, kemudian peti jenazah ditutup, dipaku dengan paku berukuran 7 cm, di paku pada 2 tempat, di bagian penutup di
kepala peti dan di bagian kaki peti jenazah, biasanya yang memaku penutup peti
adalah kepala troep gali kubur/kolang atau anggota muhabeth yang biasa
melakukan hal itu. Ada “aturan” dalam memaku penutup peti, proses memaku tidak
sama dengan cara memaku misalnya memaku kayu dalam pembangunan rumah, yang
biasanya seperti memaku dengan ketukan drum pada alat musik atau terkadang
seperti ketukan berbalas, tetapi harus dengan cara memaku 1 x ketukan
disertai jeda antara 1-2 detik untuk mengetuk yang kedua kali, hingga paku
tertancap habis. Dalam istilah orang saparua, paku peti zeng boleh balas.
Setelah itu, peti
diangkat dan diletakan di tempat usungan, tugas ini dilakukan oleh troep pikul
peti. Tempat usungan itu dikenal dengan nama baar, kata ini diambil dari bahasa belanda yang berarti usungan atau
alat mengusung jenazah. Mirip seperti keranda dalam tradisi muslim namun tidak
memiliki penutup, awalnya terbuat dari kayu, namun sekarang mulai diganti
dengan besi. Tugas pikul/mengusung peti jenazah ini juga bisa dilakukan oleh
keluarga, tentunya atas permintaan keluarga sebelumnya. Dulu, saat peti diusung
oleh troep pikul peti biasanya diiringi oleh paduan suling dan tamboor atau
paduan terompet yang berjalan di depan, kemudian dilanjutkan dengan Pendeta
bersama majelis bertugas serta keluarga, kemudian pasukan pengusung peti dan
diakhiri oleh pelayat yang mengikuti dari belakang. Namun karena dewasa ini,
paduan suling/terompet sudah tak beraktivitas lagi, maka iringan peti jenazah dibawa
ke area pemakaman tanpa iringan musik. Dulu proses ini lumayan lama karena,
perjalanannya mengikuti lagu/irama yang diperdengarkan oleh paduan
suling/terompet tadi. Sesampainya di tempat yang akan dimakamkan, tugas ini
diambil alih oleh troep gali kubur/kolang. Tugas ini berakhir sampai
tertutupnya liang kuburan.
Perlu dijelaskan
juga, pemukulan tifa yang dilakukan sebagai pengumuman kematian anggota
muhabeth dilakukan oleh anggota muhabeth yang bertugas, dan pemukulannya
memiliki makna, karena tiap muhabeth memiliki aturan pemukulan yang berbeda-beda
dengan muhabeth lainnya. Di muhabeth ini, terdapat 2 bagian pukulan tifa, pada
bagian pertama, pukulan berlangsung agak cepat, kemudian dilanjutkan dengan
bagian kedua yaitu pukulan balasan atau
dibalas dengan pukulan yang berjeda antara 5-10 detik. Muhabeth ini dikenal
dengan 4 kali pukulan balasan pada bagian kedua. Dengan cara seperti ini,
masyarakat atau anggota muhabeth bisa tahu/telah mengerti orang yang meninggal
ini apa adalah anggota muhabethnya atau anggota muhabeth lainnya. Pemandian jenazah juga
dilakukan oleh anggota muhabeth yang bertugas atau memiliki skil memandikan
jenazah, jika jenazah wanita maka yang memandikannya adalah wanita, begitupun
sebaliknya, namun sekarang ini sudah agak jarang dilakukan. Hal ini karena
keluarga ingin memandikan jenazah, dan juga karena cara yang efisien sekarang
dengan menggunakan alkohol dan kapas sehingga mudah dilakukan.
Profil singkat Muhabeth/Peramponang
Nama : Muhabeth/Peramponang
Lokasi : Kompleks tiang belakang-Negeri Saparua
Ketua : Bpk. Hengky Ayal
Sekretaris : Bpk. Josef Latumaerissa
Bendahara : Ibu. Talakua (istri alm Bpk Wellem
Talakua)
Logo : Gambar gergaji & martil/martelu yang bersilangan (baru dibuat pada akhir
1990an, awalnya tidak ada)
Jumlah anggota : 120-an KK
Mantan Ketua : Alm. Bpk Fredrik Talakua (Ayah), Bpk. Jhon Talakua (cucu), Alm. Bpk. Frans Lewerissa, Alm. Frans Mailuhu, Alm. Dominggus Souissa (om ikus), yang masih diketahui.
Mantan Ketua : Alm. Bpk Fredrik Talakua (Ayah), Bpk. Jhon Talakua (cucu), Alm. Bpk. Frans Lewerissa, Alm. Frans Mailuhu, Alm. Dominggus Souissa (om ikus), yang masih diketahui.
Orang-orang negeri saparua jaman dulu
yang pernah tercatat menjadi anggota muhabeth ini, Fredrik Anakotta (odek),
Batsyeba Anakotta (ba), Dominggus Pattinasarany (onggo), Anthoneta
Pattinasarany (antho onggo), Fredrik Tehubijuluw (pede), Inyo Lewerissa, Bpk
Ayal (ayah dari bpk Hengky Ayal), Bantji Lewerissa, Frans Mailuhu, Dominggus Souissa dll.
d.2. Muhabeth Memantumuri /Momentomuri/Memontomuri12)
Sejarah muhabeth ini, tidak diketahui
karena telah lama tak beroperasi lagi ditambah tidak ada data yang
ditinggalkan, hanya berupa ingatan2 dari bekas anggota muhabeth ini yang mulai
lupa karena waktu. Kapan berdiri dan kapan berhenti operasi muhabeth ini tak
diketahui secara pasti. Arti kata memantumuri yang digunakan oleh muhabeth ini
berarti “Ingat akan mati“. Harus
dibedakan bahwa muhabeth ini berbeda dengan muhabeth yang diuraikan pada bagian
d.5 meskipun kedua muhabeth itu bernama “sama”. Bahkan pengertian kata
memantumuri yang dijelaskan pada d.5 tidak bisa dipakai sebagai acuan untuk
menjelaskan pengertian atau arti kata memantumuri yang dipakai oleh muhabeth
ini. Hal ini disebabkan karena data-data yang tersedia tidak ada, para pelaku
sejarah dari muhabeth ini pun telah meninggal dunia. Alasan lain karena pendiri
dan anggota muhabeth ini berbeda dengan muhabeth memantumuri yang diurai pada
d.5. Informasi yang diterima, sebelum tahun 1985 pun, sudah lama muhabeth ini
sudah tak beraktivitas lagi 13). Menurut perkiraan penulis, mungkin
di akhir tahun 1970-an atau awal tahun 1980, muhabeth ini berhenti beroperasi
(beraktivitas secara terbatas).
Hal ini bisa dimungkinkan karena di tahun
1983-1984, penulis pernah bersekolah (TK) di bekas rumah peramponang muhabeth
ini yang telah dijadikan TK. Saat gedung TK tempat penulis pernah bersekolah
itu runtuh di tahun 1992, rumah peramponang dipindahkan ke rumah Alm.Bpk.
Dantji Limaheluw yang saat itu menjadi ketua. Rumah itu berlokasi di depan
gedung Film di Negeri Saparua. Menurut penuturan beberapa orang dan seingat
penulis, bahwa memang saat itu baar atau
tempat usungan jenazah muhabeth ini ditempatkan di depan rumah keluarga Alm.
Bpk. Dantji Limaheluw. Di akhir tahun
90-an dan awal2 2000-an, beberapa bekas anggota berniat menghidupkan lagi
muhabeth ini, namun entah kenapa tak berlangsung lama, kemudian tak beraktitas
lagi hingga sekarang. Lokasinya bertempat di bekas TK, di kompleks tiang
belakang, di samping rumah keluarga Bpk. Dominggus Latuihamallo/Ibu Itha
Latuihamallo. Rumah peramponang muhabeth ini pun telah hancur/runtuh dan masih
ada bekasnya hingga sekarang. Banyak dari anggota muhabeth ini kemudian
bergabung dan menjadi anggota baru pada muhabeth/peramponang di bagian d.1. Muhabeth ini dikenal dengan pukulan tifa yang
berbalas 3 x.
Profil singkat muhabeth Memantumuri
Nama :
Muhabeth Memantumuri
Lokasi :
Kompleks tiang belakang-Negeri Saparua
Mantan Ketua : alm. Bpk. Dominggus Noya (om uyu noya), Alm Dantji Limaheluw (pernah tercatat)
Anggota yang pernah tercatat, Ibu
Christhina Noya (mama ine), Alm. Bpk Pieter Maelissa (om piet), Keluarga
Hogendorf, Alm. Bpk Paulus Titaley (om polly), Alm. Bpk Elly Patty, Bpk Yacobis
Latupeirissa, Alm. Bpk Yacobis Mailuhu.
d.3. Muhabeth Hercules 14)
Muhabeth ini didirikan pada tanggal 26
Agustus 1933 dan yang memprakarsainya adalah Alm. Bpk. Petrus Sahetapy (om
petu)15. Nama muhabeth ini pun tak diketahui siapa yang memiliki ide
memberikan nama ini dan kenapa dinamakan seperti nama dewa mitologi Yunani yaitu
Hercules. Namun menurut penuturan Bpk Jacob Huwae (Jopie)16,
berdasarkan cerita dari Alm Abraham Polhaupessy (om bang), bahwa nama Hercules
dipilih karena pada jaman itu, nama itu adalah nama “top” yang dikenal dan
diketahui dan disukai, selain nama-nama jagoan seperti James Bond dalam film
James Bond. Menurut Bpk Corneles Tomasoa17, nama Hercules dipilih
mengikuti nama klub bola Hercules yang masa itu sangat “top” di negeri saparua
dan alasan lain karena penamaan itu sebagai tanda/lambang sesuatu yang ”kuat”
seperti dewa mitologi yunani tersebut. Berlokasi di samping pintu masuk daerah
pekuburan negeri saparua, depan gereja advent hari ke-7 negeri saparua.
Awalnya, rumah peramponang ini berlokasi di jalan RS Saparua, namun pada tahun
1975, dipindahkan ke lokasi sekarang Menurut informasi yang didapatkan, pengurus
muhabeth ini tak aktif lagi, namun masih beroperasi secara terbatas, karena
anggotanya sedikit dan mulai berkurang. Muhabeth ini dikenal dengan pukulan
balasan tifa sebanyak 5 x. Anggota yang tercatat, bpk Simon Noya, keluarga
de Haas, keluarga Halauwet, keluarga Hendriks, Semy Matulessy, keluarga Batis
Anakotta, Ony Latuihamallo, Edy Latuihamallo, Onisius Sopaheluwakan, Ibu Obe
Limaheluw, Ibu Itje Titaley, keluarga Abraham Polhaupessy (om bang) dan
beberapa keluarga lainnya di sekitar lokasi rumah peramponang muhabeth ini.
Profil singkat Muhabeth Hercules
Nama :
Muhabeth Hercules
Lokasi :
Depan Gereja Advent hari ke-7 Saparua (TPU Negeri Saparua)
Ketua :
Bpk. Dirk. Halauwet
Mantan ketua : Art Pietersz, Semy Matulessy (mol), Benny Noya (opa dari Bpk
Simon Noya), Marthin Hendriks, Corneles Tomasoa, Corneles de Haas, Corneles
simon de Haas, Charles de Haas.
d.4. Muhabeth “Fraude/Freide/Frede /vrede/Ora
et Labora 18)
Muhabeth ini merupakan “reinkarnasi”
dari muhabeth awal yang bernama “fraude” atau dilafalkan oleh orang saparua sebagai
frede atau freide.19) menurut Bpk Benny Lewerissa, kata Frede yang
digunakan tidak diketahui artinya20) Menurutnya kata ini adalah
bahasa Belanda. Penulis mencari kata ini untuk mengetahui artinya dan menemukan
informasi bahwa kata yang mungkin mirip atau “berdekatan dengan
pelafalan/pengucapan adalah kata “fraude”. Kata ini berasal dari bahasa Belanda yang
berarti “kegelapan” mungkin maksudnya “kegelapan” yang dihubungkan/dikaitkan
dengan kematian/kedukaan sebagai “kegelapan” dalam hidup manusia21).
Ada informasi juga bahwa nama “frede” adalah nama pendirinya yaitu Alm. Bpk.
Fredrik Simatauw yang disingkat atau diucapkan/dilafalkan oleh orang-orang,
namun tak ada dokumentasi yang bisa membuktikan hal itu, meskipun bisa saja ada
kemungkinan itu bisa terjadi22. Ada juga informasi bahwa nama
muhabeth ini adalah “vrede” yang dalam bahasa belanda artinya “damai”23.
Sejarah Muhabeth
“Fraude/Freide/frede/vrede” ini tak diketahui dengan pasti kapan berdirinya,
dan didirikan atas inisiatif Alm. Bpk. Fredrik Simatauw (opa ef, om ef).
Bersama Alm. Bpk. George Siahainenia (co kak), Matheos Tomasoa, Corneles
Pattiselanno, George Pattiasina, mereka mendirikan muhabeth ini. Mantan-mantan ketua dari muhabeth ini pun tak
diingat lagi karena telah lupa. Menurut penuturan Ibu Ende Siahainenia/Loupatty24
yang juga anak dari Alm Bpk George Siahainenia, pada usia 6 tahun, ibu ende
telah membantu ayahnya untuk membersihkan rumah peramponang/muhabeth ini. Ibu ende
sekarang berusia 59 tahun, jadi pada tahun 1955, muhabeth ini telah ada dan
eksis. Logo muhabeth ini ada, namun tak diingat lagi apa gambarnya, seingat
beliau, logo ini menghilang bersama dengan runtuhnya rumah muhabeth peramponang
dan tak diselamatkan. Menurut dugaan penulis, Muhabeth ini “mungkin” berusia
“sama” atau berselisih beberapa tahun dengan Muhabeth Memantumuri dan Hercules
yang diurai pada bagian d.2 dan d.3. Kapan muhabeth ini tak beraktivitas lagi
juga tak diketahui.
Sekitar
awal 80-an atas inisiatif dari Bpk. Ka Pattiselanno, yang ingin “membangkitkan”
muhabeth ini kembali, namun entah kenapa, tak berlangsung lama dan akhirnya
“mati suri”25). Selama tahun2
itu, muhabeth ini tak beraktivitas sehingga pelayanannya hanya bersifat “suka
duka” tanpa terorganisir dalam suatu lembaga dan dipimpin oleh Alm. Cande
Lokopessy. Jika ada yang meninggal di daerah itu, maka semua tetangga yang
lain hanya membantu dengan suka rela. Pada awal tahun 2000-an, atas inisiatif
beberapa orang maka didirikan kembali secara “definitive” muhabeth lama dengan
nama yang baru yaitu Ora et Labora. Beberapa orang di antaranya, Bpk Adolf
Pattiasina (om olop), Bpk Johanis Layan (om anes), Bpk Agusthinus Loupatty
(Abu), Bpk Simon Lokopessy (monci mong) dll. Rumah peramponang
muhabeth ini berlokasi di kompleks pohon kelapa, Sektor Makedonia Jemaat GPM
Saparua-Tiouw, Desa Saparua, di belakang rumah keluarga bpk Johanis Layan/Ibu
Agusthina Anakotta, yang juga adalah bekas lokasi rumah peramponang “fraude” . Anggotanya kebanyakan
merupakan masyarakat di kompleks pohon kelapa. Memiliki iuran anggota perbulan
Rp.2.500,- Uang pangkal bagi anggota baru adalah Rp.30.000,-. Muhabeth ini
memiliki 4 troep, troep gali kubur/kolang, bikin peti, pikul peti dan bikin sabua. Kelebihan dari muhabeth ini
adalah usaha “regenerasi” pekerjaan yang dianggap berhasil. Ini terlihat dari
pengerjaan membuat peti jenazah, tarik
banang peti dilakukan oleh anggota yang berusia muda, sekitar awal 20-an dan
awal 30-an. Muhabeth ini dikenal dengan pukulan tifa berbalas 1 kali, namun
setelah diganti dengan nama ora et labora kemudian diganti menjadi berbalas 6 x.
Profil singkat Muhabeth Ora et Labora
Nama :
Muhabet Ora et Labora
Ketua :
Bpk. Adolf Pattiasina
Lokasi : Kompleks pohon kelapa-Negeri Saparua
(belakang rumah keluarga Layan/Anakotta)
Jumlah anggota : 80-90 KK
d.5. Muhabeth Memontomuri
/Kampung Jati/Jate 26)
Muhabet ini merupakan
muhabeth yang dari segi usia, sudah termasuk lama karena didirikan pada tahun
1978 oleh beberapa orang yaitu Alm. Bpk Markus Siwabessy, Bpk. Jacob Toumahuw.
Menurut penjelasan nama memontumuri yang dipakai oleh muhabeth ini berarti
“Sekali kelak kita akan mati/meninggal dunia”. Muhabeth ini didirikan untuk
menampung aspirasi serta kebutuhan masyarakat pendatang di negeri Saparua khususnya
pendatang dari negeri Ullath/orang asal negeri ullath yang sudah lama
menjadi warga negeri Saparua. Pada awalnya, beberapa anggota KK saja yang
menjadi anggota muhabeth ini, namun seiring waktu semakin bertambah karena semakin
banyak kaum pendatang ini beranak cucu pinak atau pendatang dari negeri Ullath
yang berdiam dan menjadi masyarakat negeri Saparua. Kebanyakan anggota muhabeth
ini berdiam di satu lokasi saja yaitu di kompleks kampong jati/jate negeri Saparua
atau di Sektor Bethesda Jemaat GPM Saparua-Tiouw.
Alasan mereka mendirikan
muhabeth tersendiri, karena awalnya mereka tak bergabung/menjadi anggota muhabeth
lainnya, ditambah lagi kaum pendatang dari negeri Ullath ini semakin banyak
(beranak cucu pinak), sehingga diperlukan muhabeth untuk menampung segala
kebutuhan kaum pendatang ini khususnya dalam hal kematian. Rumah peramponang lama
muhabeth ini berlokasi di kompleks kampong jati, tepatnya di kintal keluarga
Takarbessy/Muskita, namun tidak layak lagi, sekarang rumah peramponang yang
baru sedang dibangun yang berlokasi dekat Pastori II Jemaat GPM SAPTI di sektor
Bethesda. Muhabeth ini tidak menggunakan pemukulan tifa sebagai pemberitahuan
namun menggunakan dentangan bunyi lonceng gereja sebagai tanda/kode. Jika ada
anggota baru yang ingin menjadi anggota muhabeth, dikenakan uang pangkal
sebesar Rp.200.000,-. Muhabeth ini hanya memiliki 2 troep yaitu Troep bikin
peti dan gali kubur/kolang. Awalnya muhabeth ini hanya beranggotakan kaum
pendatang dari negeri Ullath yang berlokasi di Kampung jati, namun sekarang, telah
menampung anggota dari kaum pendatang negeri Ullath yang berdiam di kompleks
abubu, di sekitar Benteng Duurstede Saparua
Profil singkat
Muhabeth Kampung Jati/Jate
Nama :
Muhabeth “ Memontumuri” /Kampung Jati /Jate
Lokasi :
Kompleks Kampung Jati-Negeri Saparua
Tanggal berdiri : 1978
Ketua : Bpl. Johanis Aipassa
(Bpk. Ais Aipassa)
Sekretaris : Bpk. Zeth Sapulette
Bendahara : Bpk. Zefnath Manukiley
Iuran : Rp.3.000,-/bulan,
uang jenazah Rp.5.000,-
Jumlah anggota : 48 KK
Mantan Ketua : Alm. Bpk. Markus Siwabesy, Bpk.
Jacob Toumahuw
d.6. Muhabeth Kampung Baru27)
Muhabeth ini adalah
muhabeth yang paling muda, karena baru berusia 1 tahun, didirikan pada tanggal
01 Desember 2013, oleh beberapa orang di antaranya Bpk Corneles Tomasoa dan Samy
Palijama. Pendirian muhabeth ini mirip seperti pendirian muhabeth kampung jati,
namun bukan untuk kaum pendatang, tetapi karena alasan jarak yang jauh dari
muhabeth2 lainnya. Anggota ini awalnya adalah anggota muhabeth/peramponang yang
diuraikan pada bagian d.1 berjumlah 6 orang dan 16 orang dari muhabeth Hercules
yang diuraikan pada d.3 Setelah muhabeth ini didirikan, mereka menarik diri dan
menjadi anggota muhabeth ini. Semua anggota muhabeth ini, berdiam di satu
lokasi yaitu kompleks kampung baru, sektor Zaitun, Jemaat GPM Saparua-Tiouw di negeri Saparua. Rumah peramponang sementara dibangun dan berlokasi di
daerah slois. Iuran perbulan anggota muhabeth ini Rp.5.000,- uang jenazah
Rp.5.000,- dan uang pangkal Rp.50.000,- . Muhabeth ini memilki 4 troep seperti
muhabeth Ora et Labora.
Profil singkat
Muhabeth Kampung Baru
Nama : Muhabeth Kampung Baru
Lokasi : Kompleks Kampung Baru-Negeri
Saparua (slois)
Ketua : Bpk. Semy Palijama
Wakil : Bpk. Corneles. Tomasoa (om
eles)
Sekretaris : Ibu. Netty Lewerissa
Bendahara : Ibu Non. Pasanea/Lesilolo
Jumlah anggota : 85 KK
Iuran : Rp.5.000,-/bulan, uang
jenazah : Rp.5.000,-
E.
Save Tradisi
Penulisan artikel ini, adalah sebuah cara melestarikan
tradisi dan kearifan yang ditinggalkan oleh orang totua kepada generasi berikutnya. Di saat dunia telah begitu maju,
saat komunikasi begitu cepat, saat kita telah “menciptakan dunia semu” dengan
media sosial seperti facebook, Twiiter, BBM, Path, line, whatsup dll,
masih ada tradisi “sederhana” yang tetap dipelihara dan dilakukan. Saat kita
mungkin mulai terbiasa dengan mengucapkan turut berduka cita lewat medsos,
masih ada tradisi “ berempati” secara fisik dan nyata. Tradisi yang
ditinggalkan adalah tradisi tentang bersosialisasi, percakapan dan pergulatan
antara manusia face to face bukan lewat mesin dan jaringan dunia maya. Sebuah
kearifan yang tetap dipelihara meski kearifan itu terus “bertempur” dan
terengah-engah menghadapi modernitas.
Modernitas tak bisa dibatasi, namun
alangkah bijaknya, ada usaha untuk melawan lupa. Kita harus tetap berkembang
sesuai jaman, namun kiranya tradisi “lama” tak perlu ditinggalkan atas alasan
“kekunoan”. Ada banyak “filsafat” hidup yang bisa digali, direnungi dari
hal-hal sederhana itu. Seharusnya pihak gereja bisa melihat hal ini. Pihak
Pemerintah Negeri bisa berimprovisasi untuk merangkul “muhabeth-muhabeth”. Persekutuan-persekutuan
semacam ini, adalah modal sosial, seperti “LSM” yang bisa menjadi partner dalam
kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Seharusnya ada subsidi dari pihak gereja
maupun pemerintah kepada muhabeth, hingga dalam operasional dan administrasinya
dapat dimodernkan, namun tak meninggalkan warisan yang telah diciptakan dari pergumulan
hidup para orang totua pada jamannya.
Artikel ini ditulis juga untuk “menyelamatkan” dan
“mengingatkan” betapa pentingnya sebuah “sejarah” kehidupan diarsipkan.
Tradisi lisan memang harus tetap ada, tetapi budaya dan kebiasaan untuk
mengarsipkan/mendokumentasikan juga penting. Pikiran manusia adalah terbatas,
tak selamanya kita terus menggantungkan “sejarah” kehidupan dari mulut ke mulut. Ini perlu dipikirkan... Let's Save Our Tradition!!!
F. Catatan Tambahan
1. Begitu pentingnya lembaga
Muhabeth ini sehingga kata “muhabeth” mengalami perluasan makna atau memiliki makna
ganda (polisemi). Kata ‘muhabeth” sering digunakan dalam percakapan sehari-hari
dalam masyarakat Ambon-Lease terkhusus negeri Saparua, sebagai bentuk
“ejekan/cemoohan/nada kekesalan” terhadap sifat atau sikap orang lain yang memperlakukan
barang/harta/milik orang lain sebagai milik pribadinya atau milik orang
banyak/milik umum (warmus, patawaru). Penggunaan kata muhabeth mungkin bisa
disamakan dengan kata siwalima/sewalima yang berarti milik orang banyak/milik
umum. Mungkin pembaca masih ingat kalimat di bawah ini :
Kamong kira beta pung barang ini barang muhabeth ka???
Kalian pikir
harta/sesuatu milikku adalah milik banyak orang/milik umum???
2.
Istilah “Memantumuri/mementumuri/momuntumuri”
agak sedikit “aneh” dan menimbulkan rasa penasaran, karena itu penulis berusaha
“melacak/mencari/menelusuri” kata ini. Rasa penasaran itu, karena dari sebagian
referensi/buku-buku yang dibaca tak ditemukan kata ini. Penulis mencari di
Kamus Bahasa Belanda, Bahasa Arab, bahasa asli/tanah negeri Ambon lease dan
buku-buku yang berkaitan dengan sejarah sosial di Maluku Tengah, namun tak
menemukan akar dari kata ini. Tanpa sengaja, penulis menemukan kata ini dalam
Kamus bahasa Indonesia dan sebuah buku berjudul Sejarah singkat Liturgi Barat
karangan Theodore Klauser yang terbit tahun 199128. Tapi bukan kata
memantumuri secara lengkap. Kata yang “mirip/berdekatan” adalah kata memento
dan memori. Arti dari kata memento menurut kamus bahasa indonesia adalah
peringatan /kenangan /doa memori/doa untuk mengingat/mengenang. Sedangkan kata
memori berarti ingatan/kenangan. Sedangkan penjelasan dalam buku sejarah
liturgi barat, kata memento berarti doa untuk orang yang hidup dan yang mati. Memento
merupakan bagian liturgi dari gereja perdana di jaman para Paus mulai mengarang
doa-doa pujian di abad ke-4 Masehi. Mungkin kata
“memantumuri/mementomuri/momuntumuri” adalah penggabungan dari kata memento dan
memori. Kebiasaan orang Ambon lease adalah tradisi penggabungan/pemendekan
beberapa kata untuk menjadi satu.
Bandingkan
kata Ose ---- os ---- se (kamu/anda)
Kita orang ---- kitorang/katorang
----katong (kami/kita)
Kamu orang ----kamorang ---- kamong
(kalian)
Jadi
mungkin kata mementumuri/memantumuri adalah hasil dari proses itu dan jadi
kebiasaan yang akhirnya terus dilestarikan dan dilafalkan. Jadi mungkin arti kata memantumuri adalah upaya/usaha
dan doa untuk mengingat/mengenang kembali manusia/orang yang telah meninggal. Dan
Muhabeth/peramponang adalah wadah untuk mengenang/mengingat kembali akan semua
kenangan itu. Pengertian ini bisa dikaitkan / dihubungkan dengan penjelasan
pada bagian d.5 yang mengartikannya sebagai sekali
kelak kita akan mati, dan juga bagian d.4 yang mengartikannya sebagai ingat akan mati. Ketiga pengertian ini saling berhubungan
dan “masuk akal” atau bisa diterima.
Sumber Referensi;
1). Pengkhotbah 7:2
2). Pengkhotbah 3:2
3). Blog sains dan sejarah, di unduh tanggal 20 januari 2015
4). Blog sains dan sejarah, di unduh tanggal 20 januari 2015
5). Blog sains dan sejarah, di unduh tanggal 20 januari 2015
6). Yohanes 19: 39-40
7). Wikipedia : Orang Mati dalam pemahaman agama Zoroaster
8). Wikipedia
9). Blog Kuti Kata : Muhabeth
dan Makburet di unduh tanggal 19 Januari 2015
10). Hasil wawancara dengan beberapa anggota tua/lama tanggal 20 Jan 2015
10). Hasil wawancara dengan beberapa anggota tua/lama tanggal 20 Jan 2015
11). Sejenis paku zink namun berukuran kecil/mini
12). Wawancara dengan Ibu Ine Noya (bekas anggota) tanggal 19 Januari 2015
13). Informasi berupa ingatan dari Ibu Pelly Anakotta
14). Beberapa sumber yang didapatkan
dari anggota dan orang-orang tua yang mengetahui keberadaan muhabeth ini
15). Perbincangan dengan Bpk. Corneles
Tomasoa (om eles) yang juga mantan ketua sekaligus anak dari sang pendiri
muhabeth ini, tanggal 29 Januari 2015
16).Perbincangan dengan Bpk. Jacob Huwae
tertanggal 27 Januari 2015
17). Perbincangan dengan Bpk. Corneles Tomasoa
(om eles) yang juga mantan ketua sekaligus anak dari sang pendiri muhabeth
ini, tanggal 29 Januari 2015
18). Beberapa sumber yang didapatkan
dari anggota dan orang-orang tua yang mengetahui keberadaan muhabeth ini
19). Penafsiran penulis / terjemahan bebas
20). Beberapa informasi yang didapatkan
dari Bpk Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 Jan 2015
21). Penafsiran penulis / terjemahan
bebas
22). Perbincangan dengan Bpk. Jacob
Huwae tertanggal 27 Januari 2015
23). Perbincangan dengan Bpk. Corneles
Tomasoa (om eles) tanggal 29 Januari 2015
24). Perbincangan dengan Ibu Ende
Siahainenia/Loupatty tertanggal 26 Januari 2015
25). Informasi yang didapatkan dari Bpk
Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 Jan 2015
26). Hasil wawancara dengan Bpk Toumahuw (pendiri) tanggal 21
Januari 2015
27). Perbincangan dengan Bpk Corneles
Tomasoa yang adalah pendiri sekaligus wakil ketua tanggal 29 Januari 2015
28). Theodore Klauser : Sejarah singkat liturgi Barat, Penerbit
Kanasius (terjemahan) terbit tahun 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar