Tradisi malam konci
taong di Jemaat GPM Saparua – Tiouw yang mulai hilang
(Sebuah rekonstruksi atas ingatan untuk melawan lupa)
(Sebuah rekonstruksi atas ingatan untuk melawan lupa)
Oleh: Aldryn Anakotta
“Nyanyikanlah nyanyian baru
bagi Tuhan.
Menyanyilah
bagi Tuhan hai segenap bumi” 1
A.
PENGANTAR
Orang Maluku sejak masa lalu hingga sekarang selalu dikenal memiliki suara
yang indah atau kemampuan musikal yang diakui. Dari bakat/talenta itulah,
Maluku disebut sebagai gudang penyanyi. Banyak contoh untuk membuktikan itu,
bahkan beberapa penyanyi kelas dunia pun berdarah Maluku. Tielman
Brothers, Daniel Sahuleka, Jhony Manuhutu (vocalis grup Masada), Kim Sasabone
(Vocalis Grup Vengaboys), Monique Kleman (Vocalis Grup Musik Lois Lane), Tan
Man (Rapper), dan beberapa yang lain2. Dari pentas musik Indonesia,
ada Alm. Broery Pesulima/Marantika, Grace Simon, Bob Tutupoly, Melky dan
anaknya Melly Goeslaw, Glenn Fredly, Ello Tahitu, dan masih banyak lagi3.
Musik sebagai salah satu hasil kebudayaan telah meresap, mengambil bagian,
bergerak bersama dan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Musik juga
digunakan dalam konteks agama sebagai salah satu bagian ungkapan kesaksian iman
umat beragama, terhadap Tuhan yang adalah “penguasa tertinggi”. Islam dan
Kristen juga melakukan hal itu. Dalam tradisi Kristen selain mazmur atau puisi,
musik juga dipakai dalam ritual ibadah sejak jaman para Bapa patriakh dalam
Alkitab4. Itu tentunya dalam skop yang lebih luas, dalam skop lokal,
di Maluku yang perbandingan agama Islam dan Kristen berimbang, juga melakukan
hal demikian. Tradisi bermusik dalam kehidupan gereja sudah berlangsung lama.
Seperti dijelaskan di awal, musik merupakan salah satu bagian dari ungkapan
kesaksian iman umat Kristen kepada Tuhan. Teolog Kristen Karl Barth5,
mengatakan “umat Kristen adalah umat yang bernyanyi”. Liturgi ibadah yang
dikenal oleh gereja berisikan banyak pujian berupa lagu sebagai bagian dari
liturgi ibadah. Dalam liturgi ibadah, yang berisikan lagu-lagu pujian itulah,
banyak “lahir” tradisi baru atau kontekstualisasi budaya dalam kehidupan
bergereja. Salah satunya yang terjadi di jemaat GPM Saparua-Tiouw, yang adalah
salah satu jemaat di lingkup Klasis Pulau-Pulau Lease. Tradisi yang dimaksud
adalah tradisi tiop/tiup dobelir/dobolir.
B. SEPOTONG KENANGAN
YANG MASIH TERSISA
Kenangan adalah sebuah proses mengingat dalam sejarah kehidupan. Kehidupan
yang telah dilewati sering jadi bahan perenungan dan pemikiran pada saat-saat
tertentu. Begitulah manusia dalam sejarah pergulatan hidup. Dalam kebudayaan
dan tradisi orang Negeri Saparua, salah satu moment perenungan itu adalah saat
tanggal 31 Desember setiap tahun. Tanggal 31 Desember setiap tahun adalah
tanggal terakhir dari tahun itu. Itu juga sebuah tapal batas terakhir dari
perjalanan panjang kehidupan selama 365 hari dalam tahun itu. Tanggal itu dalam
khasanah bahasa dan kebudayaan orang negeri Saparua biasanya disebut Konci
taong. Ada makna “terdalam” dalam penggunaan kata konci taong, yaitu tahun
yang dikunci, akhir dari tahun itu, mengunci atau menutup tahun itu seperti
sebuah kunci untuk menutup atau mengunci pintu atau menggembok gerbang. Tanggal
terakhir, hari terakhir untuk mengakhiri tahun dimaksud. Orang Kristen di
Negeri Saparua atau di negeri lain pada tanggal itu melakukan ibadah “terakhir”
pada hari itu. Sebagai ucapan syukur karena telah melewati hari-hari yang
panjang, atas segala kebaikan, kebahagiaan, kesenangan, tawa, canda bahkan
kedukaan yang dialami dalam hidup. Ibadah itu dikenal sebagai ibadah/gereja
konci taong. Seperti yang dijelaskan di atas, dalam liturgi ibadah gereja, ada
bagian puji-pujian yang berupa nyanyian. Dalam tradisi ibadah/gereja konci
taong itulah ada sebuah tradisi “tua” yang disebut Tiop Dobelir/dobolir.
Tradisi ini hanya ada di Negeri Saparua, tepatnya di Jemaat GPM Saparua-Tiouw,
tidak ada di Jemaat lain, meskipun jemaat-jemaat di Pulau Saparua yang
merupakan tetangga dekat. Semua warga Jemaat GPM dari kedua negeri
Saparua-Tiouw yang pernah mengalami, mendengar tradisi ini, pastilah tahu.
Bahkan jika yang telah lama merantau dan kebetulan mudik, ingin merayakan Hari
Natal dan Tahun Baru, pastilah “salah satu” alasan mereka beribadah di malam
tanggal 31 Desember adalah ingin mendengar tradisi tiop/tiup dobelir/dobolir
ini.
Pastilah ada sesuatu yang “aneh” dengan tradisi ini hingga banyak yang
ingin mengenang kembali, hanya untuk mendengar, merenungi akan tradisi ini.
Tradisi ini hanyalah berupa musik instrumental yang dibawakan oleh paduan
suling bambu yang diperdengarkan dalam ibadah itu. Musik instrumental ini hanya
dibawakan sekitar 5-7 menit saja. Dan “mistisnya” musik instrumental tersebut
diperdengarkan menjelang akhir ibadah, yaitu sebelum terima/menerima berkat dalam
liturgi ibadah. Bayangkanlah, sebuah musik instrumental yang bernada “ratapan”
dibawakan diiringi dentangan lonceng gereja yang mendayu-dayu, bisa membuat
merinding/bulu kuduk berdiri. Saat musik instrumental itu diperdengarkan,
jemaat terpaku dalam keheningan. Tak ada yang berbicara, diam, dan
merenung sambil mendengarkan musik instrumental itu. Bunyi dentangan lonceng
gereja yang ditarik juga menambah aroma “mistis” dalam gereja. Bunyi dentangan
lonceng gereja seperti mengikuti irama musik instrumental yang mendayu-mendayu
dan seperti “ratapan kesedihan”. Lonceng gereja berada di toreng (menara
lonceng), dan lonceng diikat menggunakan tali untuk menariknya, sehingga timbul
bunyi lonceng. Lonceng gereja biasanya terdiri dari 2 bagian, bagian lonceng
yang besar dan “anak” lonceng. Umumnya, saat dibunyikan, “anak lonceng” memukul
bagian besar lonceng, namun pada saat musik instrumental itu dibawakan dan juga
panggilan ibadah pada tiap minggu, cara membunyikan lonceng secara
“terbalik” yaitu bagian besar lonceng lah yang memukul “anak lonceng”. Anak
lonceng hanya “diam” sedang bagian besar itu yang bergerak untuk memukul anak
lonceng. Sehingga bunyi yang dihasilkan seperti berbalas-balasan karena kedua
sisi kiri dan kanan bagian besar itu mengenai anak lonceng. Dalam tradisi oral
atau pengucapan orang negeri saparua cara membunyikan lonceng gereja seperti
itu biasa disebut “meme pukul ana” atau mama/ibu pukul anak6,
maksudnya bagian besar lonceng memukul bagian kecil lonceng yaitu anak
lonceng. Lonceng yang terdiri dari 2 bagian itu seperti sebuah kesatuan, dalam
pemahaman orang Negeri Saparua, itu seperti seorang ibu/mama dan anaknya. Saat
musik instrumental ini dibawakan akan diiringi oleh dentangan lonceng gereja
sebanyak 40 kali, dan “ditutup” dengan dentangan lonceng sebanyak 3 kali.
Ada “filsafat” terdalam dalam istilah itu, mengapa digunakan kata
mama/ibu yang notabene adalah seorang perempuan/wanita, bukan digunakan kata
bapak/laki-laki. Ada penghormatan, apresiasi dan sikap “mengkultuskan”
perempuan dalam kebudayaan orang Maluku. Ibu/Mama/perempuanlah yang mengandung,
melahirkan, mengasuh, menyayangi kita dalam seluruh kehidupan. Ibu memukul anak
adalah sikap mendidik, memperingati, mengingatkan akan kesalahan anak yang
telah dilakukan. Sering dalam suasana musik instrumental itu dibawakan ada yang
mengalami “trance/ekstase”. Ada yang menangis, ada yang sedih, dalam khasanah
orang Maluku biasa dibilang manangis tahek-hek atau menangis
tersedu-sedu. Saat masih kecil, penulis sedikit "heran" kenapa hanya
dengan mendengar musik instrumental yang agak “aneh” ini bisa membuat
orang menangis? Ada apa dengan musik ini? Namun saat beranjak dewasa dan
mulai memahami makna terdalam dari musik instrumental ini, penulis bisa
memahami dan mengerti kenapa itu bisa terjadi. Musik instrumental ini hanyalah
terdiri dari 2 bagian, bagian pertama adalah suara suling diperdengarkan secara
serempak/bersama-sama, itu hanya sekitar 3-5 menit, dan diakhiri dengan bunyi
suling yang diperdengarkan secara tunggal/solo sekitar 2-3 menit, sedangkan
suara bunyi suling yang lain bertindak seperti “backing vocal”. Suara suling
yang dibawakan secara solo itu ditiup sangat mendayu-dayu seperti orang
menangis tertahan, bahkan pemindahan dari satu not ke not lainnya, sangat lama
dan seperti “berputar-putar”.
Menurut penuturan Bpk. Benny Lewerissa7, not yang dibunyikan itu
harus ditahan panjang sehingga menimbulkan efek yang diinginkan. Cara
membunyikan /meniup suling yang dibawakan secara tunggal itu membutuhkan nafas
yang panjang dari peniup suling. Tak bisa sembarang orang melakukan itu, jika
tak mampu bernafas panjang, maka bunyi yang dihasilkan seperti patah-patah dan
bukan seperti satu kesatuan. Banyak orang yang telah belajar cara meniup bagian
itu dan mempraktekkannya, namun bunyi dan efek yang dihasilkan tak sama.
Orang Negeri Saparua hanya “mengakui dan mengenal” Keluarga Lokopessy yang
cocok dan pas meniup bagian itu8. Seperti talenta yang “diwariskan”
secara genetika, keluarga itulah yang sampai sekarang dikenal dan diketahui
mewarisi cara meniup suling pada bagian kedua dari musik instrumental itu yang
paling indah dan baik dari segi musikal. Namun sayangnya, tradisi musik
instrumental itu 4-5 tahun belakangan ini, sudah tak diperdengarkan lagi9.
Ada sesuatu yang hilang dari ibadah konci taong. Sangat hambar dan seperti
tak memiliki makna apa-apa. Menurut penuturan beberapa orang yang ditemui, ada pertengkaran dan perbedaan pemahaman dari pejabat-pejabat gereja dengan
anggota paduan suling10. Ditambah lagi pemahaman baru, bahwa paduan
suling itu simbol “kekunoan” dengan munculnya alat musik yang lebih modern
seperti paduan terompet, orgen dan keyboard. Paduan suling seperti tersingkir
dari bagian tata ibadah dan tak diperlukan lagi. Dari kondisi dan alasan
itulah, tulisan ini dibuat untuk mengingat, mengenang, menceritakan kembali
sebuah narasi besar tentang tradisi dan kebudayaan yang pernah ada, yang
berusia tua. Narasi tentang tradisi tiop dobelir/dobolir yang sangat panjang,
berusia tua lebih dari yang kita bayangkan, melibatkan banyak generasi dalam
paduan suling yang melakukannya dan jadi “prestise dan privilege11”
buat orang negeri Saparua-Tiouw serta telah menjadi kebiasaan yang terus ada di
tiap tahun.
Prestise dan privilege yang dimaksud adalah pada sekitar tahun 1925an,
paduan suling Negeri Saparua-Tiouw dalam sebuah pertandingan paduan suling di
kota Ambon memenangkan gelar paling tinggi “eir prize” dari Pemerintah Belanda12
Generasi awal/pertama, yang meniop/meniup tradisi musik instrumentalia ini
adalah :
Alm. Nicholas Pietersz, Alm. Hendrek Pietersz (om endek-ponakan),
Alm. Fredrik Lokopessy (pede bubor), Alm. Bernadus Latupeirissa (opa nadus),
Alm. Petrus Matulessy (otus gafur), Alm. Frederik Anakotta (odek), Alm. Willem
Halauwet (opa beng), Salmon Latuihamallo (opa among), dan lain-lain.
Generasi kedua adalah:
Johanis Lokopessy (om ais-anak pede bubor), Kelly Latuihamallo,
Anyong Latuihamallo, Evert……, dan lain-lain.
Generasi ketiga adalah:
Simon Lokopessy (om mong/monci), Benny Lewerissa, Simon Souhoka, Pieter
Maelissa, Wellem Pietersz, Alm. Dominggus Noya (om uyu), dan lain-lain.
C.
SEJARAH YANG “gelap”
Istilah “gelap” yang digunakan penulis tidak bermakna sesuatu yang
berhubungan dengan kejahatan atau sesuatu yang bersifat tidak baik. Gelap yang
dimaksud adalah bahwa sejarah lengkap dari tradisi ini tak diketahui dengan
pasti. Dari penelusuran penulis tentang sejarah ini selalu “buntu” dan
menimbulkan banyak tafsiran dan dugaan yang bersifat “moderat atau nakal” tentang asal usul tradisi ini. Gelap dan samar-samar karena tak ada arsip
yang ditinggalkan, hanya berupa tradisi lisan/oral yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Pihak gereja yang seharusnya memiliki “hak dan tanggung
jawab” terhadap tradisi ini pun tak memiliki arsip.
Sungguh disayangkan! Dari berbagai penulusuran dan sumber-sumber yang
ditemui, potongan-potongan informasi yang didapatkan, penulis berusaha merekonstruksi ulang sejarah tradisi tiop dobelir yang sangat panjang ini,
sejarah panjang yang diperkirakan hampir 1 abad lamanya. Sejarah ini bermula dari seorang tokoh Negeri Saparua yang memiliki jiwa
seni dan musikalitas yang tinggi pada jamannya, yaitu Alm. Nicholas Pietersz.
Beliau adalah seorang pemimpin paduan suling, pencipta lagu, yang mempunyai
bakat musik, dan berhubungan dengan dunia luar/memiliki link/jaringan pergaulan
yang sangat luas pada jaman itu13.
Ada 2 sumber informasi yang penulis dapatkan :
1). Suatu waktu yang tidak diketahui secara
pasti, Nicholas Pietersz membawa “sebuah musik/irama instrumental” yang “baru”
pada anggota paduan suling yang sedang berlatih atau
berkumpul/nongkrong/kumpul-kumpul. Di tempat itu, beliau memperdengarkan “musik
instrumental” itu sambil meminta para anggota untuk secara seksama
mendengarnya. Setelah selesai, beliau menunjuk seorang anggotanya yang bernama
Alm. Bpk Fredrik Lokopessy (Pede bubor), untuk mengulanginya. Entah aneh atau
memiliki pendengaran fotografis dan bakat musik yang tinggi, Fredrik Lokopessy,
memainkan musik itu dengan sangat indah bahkan dengan variasi-variasi atau
improvisasi yang mencengangkan dalam satu kali mendengar saja. Orang Negeri
Saparua menggunakan istilah biking babunga terhadap cara seperti
itu yang “sedikit keluar” dari sistim baku yang telah ditetapkan dalam aturan
musik. Sejak saat itu, atas “penunjukan” dari beliau, maka cara
meniup/memainkan musik instrumental ini dilakukan oleh Fredrik Lokopessy14.
2). Pada suatu waktu yang tak diketahui
secara pasti, ada seseorang yang tak diketahui namanya, tanpa sengaja mendengar
musik/irama, yang sedang dimainkan oleh beberapa orang Belanda di sebuah rumah,
karena tertarik dengan irama lagu tersebut, ia berniat mendengarnya dan merekamnya.
Perlu dicatat bahwa pada jaman itu, belum ada alat perekam seperti sekarang,
maka dengan kondisi seperti itulah, dia memutuskan untuk “mencuri dengar”
dengan cara bersembunyi dalam selokan/got disamping rumah itu dan “merekamnya”
lewat pendengaran. Dia bersembunyi dan mendengarnya secara diam-diam karena
takut orang-orang Belanda mengetahui dan menangkapnya. Kemudian setelah selesai
“merekamnya” orang itu membawa “salinannya” kepada anggota paduan suling
untuk diperdengarkan, dicoba dan dilatih15.
Menurut mereka dugaan lagu ini adalah lagu “duka” atau seperti lagu iringan
pemakaman jenazah dari kaum bangsawan/raja/ratu. Dugaan itu bersumber dari
pemahaman mereka, bahwa jika didengar musik instrumental ini seperti
“ratapan/kesedihan” bukan musik gembira atau musik yang digunakan dalam
pesta-pesta. Kedua informasi ini mungkin memiliki “kaitan/hubungannya”, meski kebenarannya tidak diketahui
secara pasti mana yang paling tepat karena para pelaku sejarahnya (generasi
awal/pertama) telah lama meninggal dunia tanpa mewariskan sejarah ini dalam
bentuk catatan/arsip. Penamaan istilah Dobelir/dobolir terhadap musik
instrumental ini pun tak diketahui dan menimbulkan banyak dugaan dan
tafsiran. Kenapa diberikan nama itu dan maknanya apa dari kata dobelir/dobolir
itu. Darimana kata itu berasal pun tak diketahui secara pasti. Menurut Bpk. Benny Lewerissa dan Bpk. Simon Lokopessy (om mon/om monci)16, “lagu”
ini tak memiliki judul/tak diketahui judulnya, hanyalah partitur/klad berupa
not-not dalam bentuk not balok saja, tak mempunyai lirik/teks atau kata-kata di
dalamnya. Bahkan sumber darimana lagu ini berasal juga tak diketahui. Maksudnya
apa lagu/irama itu berasal dari nyanyian-nyanyian gereja seperti Mazmoer dan
Tahlil? Atau mungkin juga berasal dari irama “kapata”/bahasa tanah?
Dengan yakin mereka membantah bahwa lagu itu adalah lagu/irama yang
bersumber dari nyanyian Mazmoer dan Tahlil bahkan Doea Sahabat Lama. Alasan
mereka jika lagu ini bersumber dari nyanyian gereja seperti Mazmoer, Tahlil
atau Doea Sahabat Lama, pastilah mereka mengetahuinya, selain itu irama/musik
ini harus mempunyai judul dan kata-katanya seperti layaknya nyanyian gereja,
meskipun mungkin saja irama/musik tersebut telah diubah/dikurangi/ditambahkan
atau diberikan versi baru sekalipun oleh orang yang pertama kali
memperkenalkannya. Alasan dan argumentasi mereka bisa diterima! Selain itu
keyakinan mereka ditunjang oleh fakta bahwa mereka adalah generasi ketiga yang
adalah bagian dari paduan suling yang selama generasi demi generasi merupakan
satu-satunya pengiring dalam ibadah gereja jauh sebelum munculnya paduan
terompet, pemain piano atau keyboardis yang baru dikenal sekarang. Sehingga
dengan yakin bisa dikatakan mereka fasih atau selalu mengingat
nyanyian-nyanyian gereja seperti Mazmoer, Tahlil dan Doea Sahabat Lama.
Kapan tradisi tiop dobelir ini dibawakan/diperdengarkan untuk pertama kali
dalam sebuah ibadah ataupun ibadah konci taong pun tak diketahui. Ada yang
menduga meski dengan ragu-ragu, bahwa tradisi ini mungkin pertama kali
diperdengarkan pada tahun 1935 bersamaan dengan berdirinya gereja Zebaoth di
Negeri Saparua17. Dari penelusuran penulis yang menemui beberapa orang
totua, ada yang mengatakan bahwa sejak tahun 194218, tradisi ini
telah lama ada berdasarkan cerita dari orang tua mereka. Informan “tertua” yang
ditemui penulis adalah berusia 82 tahun19, dia mengatakan bahwa dia
lahir pada tahun 1933, dan masih mengingat dengan baik dari cerita ayahnya
bahwa tradisi tiop dobelir/dobolir ini sudah lama ada dan telah jadi kebiasan
tiap akhir tahun dalam ibadah. Berdasarkan perbincangan dengan Nicholas
Pietersz20, sang cucu yang “mengikuti” nama dari sang kakek (pikol
nama) bahwa berdasarkan sebuah akta tanah milik keluarganya, yang bertarikh
tahun 1914, bahwa Nicholas Pietersz (sang kakek) berusia 21 tahun. Dari akta
ini, sang cucu “memperkirakan” bahwa sang kakek “kemungkinan” lahir pada tahun
1893. Ada informasi juga bahwa menurut sang ayah (Paulus Pietersz), anak dari
Nicholas Pietersz (sang kakek), yang diceritakan pada Nicholas Pietersz (cucu),
sang kakek mulai bergabung/menjadi pemimpin paduan suling, berusia sekitar
16-20 tahun. jadi menurutnya, kemungkinan “tradisi dobeliir/doboliir” ini
“ditemukan dan diperdengarkan” pada tahun 1915-1920an. Dari informasi-informasi
ini, penulis menduga tradisi ini mulai diperdengarkan sekitar tahun 1920 awal
atau paling terlambat sekitar 1925an. Penentuan penanggalan ini pun menimbulkan
resiko karena merupakan“keberanian” penulis dan juga tak memiliki bukti yang
benar-benar ada dan masih tertinggal. Namun tak ada cara lain lagi, selain
harus “menduga/menentukan” kira-kira dalam rentang tahun seperti itu, tradisi
ini dimulai.
Sejak saat itulah tradisi ini terus menerus diperdengarkan tiap tahun pada
ibadah kunci tahun/konci taong. Jika diambil secara “kasar” bahwa pada tahun
1920 ini dimulai, berarti telah 95 tahun tradisi ini hidup dan jadi bagian
dalam kehidupan orang-orang negeri Saparua-Tiouw, khususnya kepada umat
Kristiani di dua negeri ini. Bahkan jika tahun 1930 jadi batas terakhir dari
dimulainya tradisi ini, tetaplah tradisi ini telah berusia tua (85 tahun).
Sungguh, sebuah tradisi yang tua dan sangat panjang! Penulis berkali-kali
meneteskan airmata, saat merangkai kata menulis artikel yang bersejarah seperti
ini. Bayangkanlah, sebuah tradisi ini seperti manusia, seorang manusia yang
telah berusia 85-95 tahun. Tentunya jika itu manusia, pastilah telah
menghasilkan cucu bahkan cicit dari keturunannya. Sebuah usia yang sangat
panjang, seperti layaknya manusia yang telah makan asam garam kehidupan dengan
seluruh suka duka kehidupannya, penuh petualangan, pengalaman bahkan
cerita-cerita rahasia yang disembunyikan dan disimpan dalam kehidupannya hingga
ia meninggal. Begitu juga dengan tradisi ini, tradisi yang dimulai oleh
generasi awal di awal abad 20, mewariskan kepada generasi berikutnya, bertahan,
bertarung, bergumul dalam seluruh aspek kehidupan bergereja yang turun naik
seperti gelombang hingga saat ini di dekade pertama awal abad 21. Tradisi ini
telah melewati dan terus bertahan dalam berbagai pengalaman sejarah, kehidupan
penjajahan Belanda, Jepang, Indonesia Merdeka, Pemberontakan RMS, Demokrasi
terpimpin Soekarno, Peristiwa PKI 1965, Orde Baru, dan masa reformasi hingga
ditahun 2015 ini.
Tradisi yang diwariskan oleh orang totua kepada generasi berikutnya,
tradisi yang berasal dan merupakan kristalisasi perjuangan, pergumulan,
pengalaman kehidupan mereka pada jamannya. Begitu hebat bukan?
Sungguh disayangkan jika kemudian tradisi ini “dihilangkan” oleh pihak
gereja! Generasi sekaranglah yang harus menentukan apakah tradisi harus
dipertahankan? atau dihilangkan? Istilah
dobelir/dobolir juga menimbulkan berbagai tafsiran/dugaan kenapa musik
instrumental ini dinamai seperti itu.
Berikut ini tafsiran-dugaan yang penulis dengar dari beberapa orang yang
ditemui dan tafsiran penulis sendiri:
a. Dobeliir/dobolir berarti “mengulang kembali” “mengingat lagi” “merenungkan
kembali”21. Doboliir/dobeliir berasal dari
kata dobel atau dobol yang berarti ganda/rangkap/berulang. Maksud dari
tafsiran/dugaan ini adalah “perenungan/pengingatan ulang/kembali” yang
dilakukan oleh umat Kristiani pada saat ibadah di akhir tahun. Perenungan
terhadap apa yang telah terjadi dalam kehidupan manusia selama 365 hari dari
tanggal 1 Januari hingga 31 Desember.
b. Dobeliir/doboliir berarti lagu/irama yang
diulang-ulang22. Maksudnya adalah musik instrumental ini hanyalah berupa beberapa bait yang
diulang/ulang atau dimainkan/ditiup berulang-ulang.
c. Doboliir/dobeliir berarti “satu tiupan menghasilkan
dua suara/bunyi”23. Maksudnya adalah saat suling ditiupkan dalam musik instrumental ini
seperti menghasilkan 2 suara/ 2 bunyi yang merdu. Dari 2 bunyi ini, diartikan
sebagai bunyi yang dobel/dobol/berganda. Jika didengar secara teliti, memang
benar seperti ada 2 bunyi atau 2 suara yang dihasilkan. “Kelebihan” cara meniup
seperti ini tak ditemui di negeri lain pada jaman itu.
d. Dobeliir/doboliir berarti “nyanyian/lagu/kidung/pujian yang
berulang”24.
Kata ini berasal dari kata dobel/dobol dan kata lied dalam bahasa Belanda.
Liir mungkin dari potongan lied atau liedgreen yang berarti
nyanyian/lagu/kidung.
e. Dobeliir/doboliir
berasal dari kata Dobblaar25 yang dalam bahasa Belanda berarti
“bertaruh/berjudi”.
Tentunya sangat “ganjil/aneh”
kata yang berkaitan dengan hal tidak baik tetapi digunakan dalam liturgi
gereja.
f. Dobeliir/doboliir
“mungkin” berasal dari istilah musik yaitu Double bar26.
Kata double bar menurut kamus musik berarti garis birama rangkap. Mungkin
kata ini dikaitkan dengan bentuk musik instrumental yang terdiri dari 2 bagian
itu? ataukah partitur/klaad musik itu ditulis dalam garis birama rangkap yang
hanya berupa not-not balok? Sayangnya, partitur/klad itu tak ada lagi, telah
hilang hingga tak bisa dibuktikan lagi penafsiran seperti ini. Kebiasan orang
Maluku adalah pemendekan/pemotongan kata dalam pengucapan/lafal. Mungkin kata
double bar atau dobel bar ini lama kelamaan berubah menjadi dobelir/dobolir.
Double bar -à double aar -à doublear --à doubleir --à doubliir atau mungkin
dari dobel bar -à dobel aar -à dobelaar -à dobeleer -à dobeliir.
g. Dobeliir/doboliir
“mungkin” berasal dari 2 kata, dobel dan eer atau dobel dan leer27.
Kata dobel dan eer, dobel berarti ganda/rangkap/ulang dan kata eer berarti
kehormatan/kemegahan/kebesaran. Sedangkan kata dobel dan leer, dobel berarti
ganda/rangkap/ulang, dan kata leer berarti teori, ajaran, wejangan, nasehat.
Jika kata ini berasal dari kata dobel dan eer berarti mungkin maksudnya adalah
kehormatan/kemegahan/kebesaran yang terus menerus/tetap lestari
(rangkap/dobel/ulang-ulang??). Sedangkan jika kata ini berasal dari dobel
dan leer berarti mungkin maksudnya teori/ajaran/wejangan/nasehat yang di
ulang-ulang. Dalam konteks ini ajaran/teori/wejangan/nasehat itu dalam bentuk
irama musik instrumental yang berfungsi sebagai media penyampaian
wejangan/nasehat dan ajaran itu.
Haruslah dipahami tafsiran dan dugaan di atas bukan arti dobeliir/doboliir
yang sebenarnya untuk menggambarkan arti kata kenapa kata ini
digunakan/dipakai/disematkan pada istilah dobeliir/doboliir yang pertama kali
digunakan oleh generasi awal. Kita tak mengetahui secara pasti arti dari
istilah ini, kenapa digunakan kata ini dan awal mula mengapa harus menggunakan
istilah itu. Namun semua dugaan/tafsiran di atas hanya untuk menggambarkan/memberi arti dan bisa diterima. Dugaan dan penafsiran mana
yang paling benar serta paling “mendekati” sejarah sebenarnya, semuanya
berpulang kepada masing-masing orang. Pendapat pribadi penulis, semua tafsiran
dan dugaan di atas, semuanya saling berkaitan/berhubungan/saling
mengisi/memberikan makna atas sejarah tradisi ini yang “gelap” dan
“samar-samar”. Itu semua memberikan khazanah pemahaman yang lebih luas, yang lebih lebar
dalam memahami, mengerti betapa hebatnya tradisi yang berusia panjang ini.
Betapa “hebatnya/cerdas/jenius” tradisi ini dinamakan seperti itu.
D.
TINJAUAN KRITIS ATAS SEBUAH SEJARAH YANG “gelap”
Bagian ini perlu ditulis dan diurai karena sejarah asal mula tradisi yang
tak diketahui secara pasti. Begitu juga tentang penamaan istilah
dobeliir/doboliir yang dipakai/digunakan oleh generasi awal. Bagaimana
sejarahnya? Kenapa harus dinamakan seperti itu? Dari mana “sumber”
irama/musik instrumental ini berasal? Kapan pertama kali diperdengarkan? Dan
berbagai pertanyaan lainnya yang menimbulkan rasa penasaran. Sejarah tradisi
ini seperti “unsolved mistery” yang “bersembunyi” dalam tumpukan debu jaman
yang berusia panjang.
Ada kekecewaan dari beberapa orang28, menurut mereka, betapa
menyesal dan kecewanya mereka saat ini karena mereka tak pernah bertanya
darimana musik instrumental ini berasal? Bagaimana sejarah lengkap dan paling
benar?. Mereka hanya bergabung dengan paduan suling dan mengikuti tradisi ini,
tetapi lupa menanyakan pada saat generasi awal masih ada/hidup bahkan berlatih
suling dengan mereka. Dari berbagai “masalah” dan kondisi itulah, perlu
dilakukan tinjauan kritis atas berbagai informasi/tafsiran/dugaan yang
didapatkan. Tinjauan kritis ini berupa, catatan kritis, analisa, membedah,
membandingkan bahkan menguji berbagai informasi/tafsiran/dugaan tadi apakah
bisa “diterima” dalam metode penulisan sejarah yang baku? Atau sejarah tradisi
ini hanyalah “mitologi”?
Tinjauan kritis ini mempergunakan sumber-sumber sekunder yang biasa/umum
ditemui dan digunakan dalam sistim penulisan skripsi/disertasi. Sumber sekunder
dimaksud adalah berbagai literatur/referensi baik itu buku sejarah,
ensiklopedia, kamus, bahkan pencarian di dunia maya/internet lewat mesin
pencari google, berbagai blog, wikepedia, serta pengetahuan penulis.
Sumber-sumber itu digunakan untuk menilai, menganalisa, membedah, membandingkan
dan menguji semua itu.
Agar tinjauan ini lebih terstruktur dan bisa dipahami secara sistematis,
penulis membaginya kedalam 2 bagian yaitu :
1). Tinjauan kritis
tentang asal mula/sejarah lahirnya tradisi ini
2). Tinjauan kritis
tentang asal mula penamaan tradisi ini
a). Kedua informasi tentang asal mula/sejarah lahirnya tradisi ini adalah tradisi
lisan/oral. Tradisi lisan/oral ini menambah khazanah selain tentunya tradisi
tulis/tulisan baik berupa dokumen/arsip/catatan/surat2 dan lain lain dalam
penulisan sejarah. Tradisi lisan/oral bisa disebut sebagai sejarah sampingan29 untuk membedakannya dari sejarah utama. Bisa
juga disebut sebagai petite histoire atau sejarah kecil 30.
Sejarah sampingan atau sejarah kecil dalam konteks tradisi ini adalah
sejarah/narasi tentang kehidupan sehari-hari dari orang biasa di sebuah negeri
yang jauh yaitu Negeri Saparua. Dari perspektif itulah, kedua informasi atau
cerita itu bisa “diterima”. Kedua cerita itu saling berhubungan, saling
berkaitan, saling mengisi, bahkan mungkin saling melengkapi tentang sejarah
awal tradisi ini. Apakah mungkin orang tak dikenal itu adalah
Nicholas Pietersz? ataukah ada “orang lain”
yang mencuri dengar kemudian memberikannya pada
Nicholas Pietersz yang kemudian membawanya dan memperdengarkannya kepada
anggota paduan suling? Semuanya tak diketahui pasti,
namun kedua cerita ini seperti “jembatan” yang saling menghubungkan jika kedua
cerita ini dijadikan sebagai “sejarah” asal mula lahirnya tradisi tua ini.
Lalu, kalau begitu darimana “sumber” musik/lagu instrumental ini berasal?
Darimana musik ini berasal? Apakah benar-benar diciptakan oleh Nicholas
Pietersz? atau musik instrumental ini berasal dari orang lain? Apakah hasil
dari “mencuri dengar”? ataukah musik ini
berasal dari link-link pergaulan yang luas yang dimiliki oleh Nicholas
Pietersz? Semuanya tak pasti dan diketahui namun memiliki segala kemungkinan.
Lagu ini bukanlah berasal dari nyanyian gereja seperti mazmoer, tahlil, dua
sahabat lama, seperti penjelasan dan keyakinan Bpk. Benny Lewerissa dan Bpk. Simon Lokopessy yang diurai diatas. Dr Th.Van den End dan Dr J. Weitjins, S.J.
menulis mula-mula nyanyian gereja tetap dari Mazmur
gubahan Werndly. Disamping itu terdapat kumpulan beberapa mazmur dan tahlil
gubahan Le Bruijn dan sebuah kumpulan mazmur dan tahlil yang diterbitkan di
Batavia pada tahun 1860. R. Bosset, pendeta bantu di Saparua 1854-1872 yang
juga berkhotbah dalam bahasa melayu rendah, menggubah sebuah bundel nyanyian
rohani dalam bahasa melayu rendah itu. Bundel itu mungkin sekali dipakai di
Saparua atau boleh jadi di jemaat lain. Tetapi pada tahun 1908 terbitlah mazmur
dan tahlil gubahan C.Ch. J. Schroeder yang menjabat direktur STOVIL dari tahun
1892 – 1907. Mazmur dan tahlil karangan Schroeder itu menjadi buku nyanyian
yang umum dipakai di Maluku dan seluruh GPI. Disamping itu ada Dua sahabat
lama, bundel nyanyian kebangunan karangan Schoeder dan Izaac Tupamahu31.
Selain itu, “pesan tobat” yang dikeluarkan oleh Sinode GPM tahun 1960 yang
dicetuskan oleh Pdt. Th. P. Pattiasina menelurkan beberapa hal. Dalam hal
tata ibadah, misalnya Mazmoer dan tahlil karangan Schroeder -Tupamahu diganti
oleh Mazmur dan Nyanyian Rohani karangan I.S. Kijne32
Dilihat dari deskripsi sejarah nyanyian-nyanyian gereja di atas, maka
penjelasan bahwa sumber musik instrumental ini bukan berasal dari nyanyian
gereja mendapat pengesahannya. Alasannya jika berasal dari nyanyian2 gereja
seperti diungkap di atas, maka sumber dari musik instrumental itu akan
diketahui oleh anggota paduan suling maupun oleh pihak gereja karena telah
menjadi nyanyian umum dalam ibadah di masa itu. Selain itu andaikata, Nicholas
Pietersz “mengubah/memodifikasi” lagu ini dari sumber nyanyian gereja di atas
dan tak diketahui oleh generasi awal, karena mereka belum menjadi bagian dari
paduan suling pengiring dalam ibadah, maka pastilah akan diketahui “jejak” oleh
generasi berikutnya dan pihak gereja berdasarkan urutan kronologis
nyanyian-nyanyian gereja di atas. Namun semua sumber yang ditemui penulis
dengan yakin menyatakan bahwa musik instrumental ini bukan berasal dari
nyanyian gereja. Jika bukan dari nyanyian-nyanyian gereja, lalu darimana?
Satu-satunya kemungkinan adalah berasal dari “luar”? ataukah Nicholas Pietersz
mendapat “salinan” lagu ini dari teman-teman sesama pencipta lagu di daerah
lain yang merupakan link pergaulannya? ataukah dengan bakat musikalitas yang
tinggi beliau “menggubah/mengintepretasi ulang” lagu “dunia/sekuler” dan
dijadikan sebagai bagian dari liturgi sebuah ibadah? Semuanya serba mungkin.
Menurut pemikiran/tafsiran Bpk. Jacob Huwae33, bentuk /model
musik instrumental ini adalah musik internasional. Maksudnya pada zaman itu,
model/genre musik seperti itu sangat “top/umum” di kawasan Eropa. Pemikiran ini
berasal dari beliau yang pernah beberapa kali menonton/mendengar beberapa
nyanyian/musik dari Negara-negara luar negeri di kawasan Eropa yang mirip
dengan model/genre/bentuk seperti ini di TV dan radio. Bergerak dalam alur
pemikiran ini, penulis “melacak” ulang, genre-genre musik yang berkembang pada
masa itu. Dari pelacakan itu, ada beberapa informasi yang menarik. Salah
satunya adalah artikel yang ditulis oleh Ester Gunawan Nasrani34
yang berjudul “Penelusuran dan perkembangan musik gereja dalam
hubungannya dengan perkembangan gereja”. Dalam artikel ini, dijelaskan
soal sejarah munculnya musik dan pembagian genre musik dalam istilah zaman,
khususnya musik gereja. Dimulai dengan musik abad permulaan (th 100 – 900),
abad pertengahan (th 900 – 1500), zaman Renaissance (th 1450 – 1700), zaman
Barok (th 1600 – 1750), zaman Klasik (th 1750 – 1820), zaman Romantik (th 1820
– 1900), zaman modern (th 1900 – 1970), dan zaman kontemporer (th 1970 –
sekarang). Disitu juga setiap zaman musik itu dijelaskan secara
terperinci. Dari pembagian zaman musik yang ditulis dalam artikel ini, penulis
mencoba “menduga-duga”, bahwa zaman yang paling dekat dengan “sejarah tradisi
dobeliiir” adalah zaman Musik Romantik. Zaman musik romantik dan zaman klasik
saling mempengaruhi dan berkesinambungan, meskipun berbeda dalam beberapa hal.
Musik-musik zaman romantik yang menjadi ciri khas adalah musik-musik yang
diciptakan oleh Ludwig von Beethoven, Frans Peter Schubert, Francois Fredrik
Chopin, Johanis Brahms, dan Robert Alexander Schuman. Sedang zaman musik
klasik yang mempengaruhi zaman musik romantik, penuh dengan musik-musik yang
diciptakan oleh Wolfgang Amadeus Mozart dan Frans Joseph Haydn. Mungkinkah
musik-musik seperti ini yang dimaksud dalam penafsiran Bpk Jacob Huwae
diatas? Jika berangkat dari asumsi ini, apakah mungkin “Nicholas
Pietersz”? “mendapat inspirasi” atau bahkan mengambil secara mentah-mentah
musik-musik model begini? Entahlah, meskipun tak memiliki bukti kuat, tapi
semua bisa saja mengingat begitu “mendunianya” zaman-zaman musik diatas
dibandingkan pada “sejarah” muculnya tradisi ini. Jika begitu, apakah musik
instrumental dobeliir/doboliir merupakan hasil “asimilasi” atau bahkan “copy paste” dari musik ciptaan komponis besar diatas? Sekali lagi, tak ada
kepastian, namun memiliki kemungkinan mengingat besar pengaruhnya dalam musik
gereja maupun musik sekuler di masa itu. Mungkin dari link
pergaulan yang luas itu, Nicholas Pietersz “mendapat” musik/lagu/irama ini.
Perlu dipahami, zaman itu, tidak banyak orang yang memiliki radio apalagi
TV, sehingga banyak orang yang tak mengetahui apa saja yang terjadi di luar
negeri apalagi oleh daerah terpencil seperti Negeri Saparua yang jauh dari
pusat Negara di Jakarta. Kita masih ingat pelajaran sejarah bahwa kabar tentang
Kemerdekaan Negara Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945,
beberapa bulan kemudian baru didengar/diterima oleh daerah-daerah di kawasan
timur/terpencil karena begitu sulitnya komunikasi dan hanya mengandalkan kurir
atau penyampai berita36. Itu yang terjadi pada tahun 1945, bagaimana
jika terjadi pada tahun 1920an?
Dari pemaparan kondisi sosial di zaman itu, maka mungkin saja Nicholas
Pietersz adalah berasal dari keluarga yang di atas rata-rata kemampuan
ekonominya, sehingga hal-hal seperti itu bisa diterima dengan cepat
dibandingkan dengan kebanyakan orang. Perlu diingatkan lagi, bahwa Nicholas
Pietersz memiliki kemampuan musikalitas yang tinggi, sehingga beliau bisa
“melakukan” apa saja yang berkaitan dengan kegiatan bermusik dimaksud. Dari
mendengar radio dan menghafal model/bentuk/genre/ragam musik yang sedang
top/umum di kawasan Eropa itulah, mungkin saja Nicholas Pietersz
“memperkenalkan” musik instrumental ini kepada para anggota paduan suling. Sesuatu yang awalnya “biasa/umum” dijadikan “baru” karena
kebanyakan orang tak mengetahui kondisi di luar daerah, berbeda dengan yang
dialami oleh Nicholas Pietersz, sehingga wajar jika mereka menganggap ini
sesuatu yang baru, atau kemungkinan kedua adalah kaitan daya musikalitas yang
tinggi ini dengan asal musik yang berasal dari
cara “mencuri dengar” itu. Penjelasan seperti mendapatkan “penghubungnya”
darimana lagu/musik ini berasal. Apakah lagu/musik ini adalah lagu duka? Lagu
pengiring pemakaman jenazah kaum bangsawan/raja/ratu kerajaan Belanda seperti
dugaan generasi awal?
Dalam sebuah blog yang mengurai tentang sejarah perkembangan musik, blogger
di blog tersebut, menjelaskan bahwa pada zaman musik klasik,dahulu musik pada
zaman ini di Eropa,sering dipergunakan untuk keperluan lagu di gereja dan lagu
untuk pengiringan Raja35. Mungkin maksud lagu untuk pengiringan Raja
adalah, lagu untuk pelantikan, pernikahan maupun pemakaman36. Kita
tentunya masih ingat saat pernikahan Putra Mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran
William pada April 2011, atau saat upacara pemakaman jenazah ibunya, Lady Diana
Spencer di Gereja Anglikan, Westminster Abbey pada Agustus 1996, dimana
musik-musik klasik/romantic diperdengarkan. Mungkin lagu-lagu seperti ini yang
dimaksud oleh blogger tersebut tentang lagu untuk keperluan pengiringan Raja.
Wikipedia dan beberapa blog37 menceritakan bahwa Raja
William/Willem III meninggal dunia pada tanggal 23 November 1890, meninggalkan
istri keduanya Ratu Emma dan putri satu-satunya yang hidup, calon Ratu putri
Willhelmina. Karena putri Wilhelmina masih berusia 10 tahun, maka kerajaan
belanda dipegang oleh ibunya Ratu Ema sebagai walinya hingga Wilhelmina berusia
18 tahun. Ibu Suri Ratu Emma meninggal pada tahun 1934, sedangkan Ratu
Willhelmina meninggal pada tahun 1962. Dari pemaparan sejarah tentang keluarga
kerajaan Belanda itu, jika dijadikan acuan sumber dari musik
instrumental ini berasal, maka kemungkinan dari segi waktu yang “berdekatan”
adalah meninggalnya Raja Willem III pada tahun 1890. Dari segi waktu “mungkin
saja” ini adalah lagu duka/lagu pengiring pemakaman Raja Willem III. Rentang
waktu sekitar 30 tahun dari meninggalnya Willem III hingga dugaan munculnya
tradisi musik instrumental ini dimainkan di tahun 1920an, masih bisa
diterima/dipertimbangkan. Rentang waktu sepanjang itu masih bisa “diizinkan”
mengingat kondisi sosial dijaman itu yang sangat sulit berhubungan lewat
komunikasi. Namun teori/dugaan itu mengalami “kendala”
karena lewat pencarian di Youtube tak ditemukan link-link yang menampilkan lagu
pengiring pemakaman keluarga kerajaan baik itu Belanda maupun Inggris. Sehingga
tak bisa dibandingkan dengan contoh lagu duka
dimaksud. Jika demikian, apakah berarti dugaan generasi
awal bahwa ini merupakan lagu duka dengan otomatis gugur? Belum tentu
juga!
Perlu dijelaskan juga, bahwa pengenalan militerisme di Ambon, baru mulai
pada tahun 1840. Melalui Keputusan Kerajaan Belanda pada tanggal 12 Juni 1840,
terbentuklah satu formasi kesatuan Ambon yang terdiri dari 763 personel38.
Pasukan KNIL di bentuk Belanda pada tahun 1830, tetapi selama beberapa puluh
tahun, anggota-anggota dari kalangan pemuda Ambon-Uliaser sangat sedikit39.
Dalam rentang di antara tahun 1840-1880, terjadi “fluktuasi” perekrutan anggota
militer setiap tahun40. Menyikapi hal itu, di tahun 1885 Residen
J.G.F. Riedel memberikan analisa serta anjuran untuk meningkatkan hasil
kegiatan perekrutan dimaksud41. Dengan mengikuti anjuran itu, maka
berbagai cara dilakukan salah satunya lewat mitos yang diciptakan untuk
mengikat hubungan “fanatik” anggota KNIL dengan Kerajaan Belanda.
Ratu Willhelmina pada usia 10 tahun |
R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu42, menulis bahwa di awal
1880 hingga awal 1920 munculnya sebuah mitos tentang “door de euwen trouw” yang
diartikan sebagai “setia sampai akhir/mati/setia sepanjang abad”. Mitos tentang
kesetiaan terhadap kerajaan Belanda khususnya kepada keluarga Kerajaan, yaitu
Raja dan Ratu. Mitos ini diciptakan oleh para pembesar ketentaraan Belanda
(KNIL) kepada anggotanya yang jauh di tanah jajahan maupun orang pribumi yang
menjadi tentara KNIL (teken soldadu). Dari mitos ini maka munculnya panggilan
atau sebutan “nene mina” yang merujuk kepada pengkultusan dan pengakuan
kesetiaan terhadap Ratu Wilhelmina yang baru saja dilantik menjadi Ratu
Kerajaan pada tahun 1898. Mitos ini diciptakan sehingga tentara kerajaan yang
berasal dari Belanda dan tinggal jauh di tanah jajahan maupun orang pribumi
yang menjadi anggota/pasukan KNIL berperang bukan demi orang Belanda tetapi
demi Ratu Wilhelmina. Dari pemaparan ini, bisa disimpulkan bahwa semua hal bisa
diciptakan/dilakukan oleh pihak Kerajaan termasuk menciptakan mitos demi
menancapkan kuku kekuasannya di negeri-negeri jajahannya. Mungkin saja media
yang dilakukan adalah melalui lagu. Kita tahu lagu adalah bahasa universal,
alat “pariwara/iklan” bahkan propaganda yang efektif dalam penyampaian pesan.
Dengan menggunakan logika seperti itu, lagu duka/lagu pemakaman keluarga bangsawan
yang awalnya bersifat “eksklusif” dijadikan sesuatu yang umum yang bisa
didengar oleh rakyat biasa di Belanda. Dari sini, mungkin juga lagu ini
dijadikan semacam “memento” dan disebarkan/dikirim kepada kaum pembesar
kerajaan Belanda di negeri jajahan. Lagu yang “diciptakan” untuk menaikan moral
anggota tentara KNIL sebagai pelaksana lapangan bahwa mereka terus diingatkan
bahwa beberapa waktu berselang Raja mereka telah meninggal dan seorang Ratu
yang baru telah diangkat menjadi Ratu mereka. Selain itu, mungkin juga lagu ini
semacam usaha untuk “mengembangkan” pemahaman bahwa Ratu tetap sama dengan
Raja, meskipun selama ini, mereka telah terbiasa dengan pemahaman bahwa,
keluarga kerajaan selalu diperintah oleh Raja dari garis laki-laki. Bergerak
dalam alur berpikir seperti ini, masuk akal maka lagu duka/lagu pemakaman
keluarga bangsawan tadi menjadi kebiasan dan selalu didengarkan bahkan
dimainkan oleh orang-orang negeri belanda di tanah jajahan khususnya di daerah
Saparua yang masa itu merupakan pusat keresidenan Pulau Saparua. Lagi pula,
lagu duka/lagu pemakaman itu ditujukan kepada Raja Willem III yang notabene
adalah ayahnya sendiri, sehingga dengan kekuasaan absolut, Ratu Willhelmina
bisa melakukan hal itu demi tujuan-tujuan yang diinginkan. Mungkinkah dugaan generasi awal terhadap musik/irama yang dihasilkan dari
mencuri dengar itu adalah lagu duka/lagu pemakaman kaum bangsawan? Mungkin
saja berdasarkan pemahaman atas deskripsi sejarah di atas!
Dari “rekonstruksi” ini bisa dikira-kira atau diduga bahwa tradisi tiop
dobelir ini adalah bersumber dari lagu duka/lagu pemakaman kaum bangsawan yang
awalnya dimainkan oleh orang-orang Belanda, yang tanpa sengaja didengar,
menarik perhatian seseorang (Nicholas Pietersz?) yang kemudian memutuskan
“mencuri dengar/merekamnya” dan “salinannya” dibawa dan diperdengarkan kepada
anggota paduan suling. Atau bisa juga tradisi ini bersumber dari
genre/bentuk/model/ragam musik yang “top/umum” di kawasan Eropa zaman itu,
didengarkan oleh Nicholas Pietersz, di “copy paste” kemudian dibawa dan
diperkenalkan kepada anggota paduan suling dan dianggap sesuatu yang baru di
telinga para anggota paduan suling. Dengan rekonstruksi seperti ini, maka
uraian [C.1] dan [C.2] serta pemikiran Bpk. Jacob Huwae, bisa kait
mengkait/berhubungan dan bisa dianggap/diduga bahwa tradisi tiop
dobelir/dobolir ini bermula/berasal.
Pertanyaan kritis selanjutnya, jika sumber musik instrumental ini adalah
sesuatu yang umum, bisa didengarkan oleh para pencipta lagu di zaman itu,
kenapa tradisi ini hanya ada di Negeri Saparua-Tiouw?
Jawabannya sederhana saja, kelebihan dan daya musikalitas yang tinggi dari
Nicholas Pietersz itulah yang jadi pembedanya. Kita tahu, hal-hal demikian
tidaklah aneh bagi orang yang berjiwa seni tinggi, mereka seringkali mampu
“menangkap” sesuatu yang biasa/aneh/ganjil untuk dijadikan bernilai
seni/masterpiece!
b). Tinjauan Kritis bagian ini menyoal tentang
istilah dobeliir/doboliir pada musik/lagu instrumental dimaksud. Penggunaan
/pemakaian/penyematan nama/istilah dobeliir/doboliir pada musik/lagu
instrumental ini agak “aneh” dan menerbitkan rasa penasaran. Sesuai dengan
penjelasan Bpk Benny Lewerissa dan Bpk Simon Lokopessy, lagu/musik instrumental
ini tidak berjudul, tidak memiliki syair/teks/kata hanya berupa klad/partitur
yang berupa not balok. Dari sini kita bisa yakin, jika lagu/musik instrumental
ini memiliki judul, syair maka dipastikan tidak akan diberi
nama/digunakan/dipakai/disematkan istilah dobeliir/doboliir. Kalau begitu, kenapa,
mengapa, untuk apa dan makna serta tujuannya untuk apa digunakan istilah ini? Pada uraian [C.a] hingga [C.g] telah dijelaskan berbagai tafsiran dan dugaan
tentang pengertian istilah ini. Penulis akan meninjau kritis satu demi satu
agar bisa merekonstruksi dan menghasilkan “kesimpulan” sementara yang bisa
dijadikan acuan.
b.C.a. Penafsiran ini bersifat “filosofis” dan mungkin dikembangkan
belakangan oleh generasi berikutnya setelah tradisi ini telah mendapat “tempat”
dan jadi kebiasaan. Tradisi ini awalnya “asing” di telinga kaum awam umat
Kristiani bahkan pihak gereja, lagi pula tradisi ini bersumber dari “luar”
sesuai analisis sumber darimana tradisi ini berasal. Karena itu agak
“janggal” jika pengertian filosofis lahir sejak awal oleh penciptanya maupun
oleh anggota paduan suling. Jika dipikir secara kritis pengertian “filosofis”
ini tak memiliki “kaitan” dengan sumber darimana tradisi ini bermula. Meskipun
bisa saja, pengertian filosofis ini bisa dijadikan alasan/bahan argumentasi
Nicholas Pietersz dan anggota paduan suling ketika memperkenalkan tradisi
“asing” ini kepada pihak gereja agar diterima/dimasukan/dilibatkan/digunakan
dalam liturgi. Wajar dan masuk akal jika saat diperkenalkan pihak gereja
membutuhkan alasan/argumentasi yang bisa diterima, maka wajar juga jika
pengertian filosofis ini dibuat agar bisa dipahami oleh pihak gereja. Namun,
pengertian filosofis ini bukan “asli” atau pengertian awal saat tradisi ini
untuk pertama kali diperkenalkan oleh Nicholas Pietersz kepada anggota paduan
suling.
b.C.b, C.c, C.d, C.f. Penafsiran ini bersifat “teknis” atau
bersifat pengertian yang berhubungan dengan istilah2 dalam musik.
Pengertian “teknis” ini bisa juga disebut sebagai pengertian awal tradisi
ini. Alasannya, sebuah bentuk/model/musik instrumental tanpa judul, tanpa teks
ini dinamai dengan menggunakan istilah teknis dalam musik. Hal ini bisa
dipercaya karena sang “penciptanya” adalah seorang pencipta lagu, sehingga
istilah2 teknis dalam musik bukan hal asing baginya. Lagipula mungkin saja
penamaan dengan menggunakan istilah teknis itu merupakan upaya “menutupi”
atau “samaran” terhadap “plagiat” atau “pencurian hak cipta” darimana
bentuk/lagu/musik instrumental ini bersumber.
b. C.g. Penafsiran ini juga bersifat “filosofis” yang bersumber dari
terjemahan bebas penulis setelah membaca kamus untuk melihat kata-kata
yang”berdekatan”. Penafsiran ini pun bisa dikaitkan dengan pemaparan soal mitos
“door de euwen trouw” di atas. Wejangan/nasehat/ajaran yang disampaikan lewat
media lagu. Namun, penafsiran ini bukan “asli” atau berasal dari pemikiran
pencipta atau anggota suling sejak awal. Meskipun mitos door de euwen trouw
bisa jadi sesuatu yang umum dan menjadi alam pemikiran dimasa itu. Mungkin saja
pengertian filosofis yang bersumber dari mitos even de troow yang awalnya
adalah kesetiaan terhadap Ratu Belanda “ ditransformasi/dimodifikasi” menjadi
kesetiaan terhadap Tuhan. Penafsiran filosofis seperti ini juga bisa menjadi
bahan argumentasi saat diperkenalkan kepada pihak gereja sehingga bisa
diterima.
b. C.e. Penafsiran “bebas dan agak nakal” dari penulis yang bersumber
dari pembacaan kamus dan pemikiran lebih jauh.
Dobeliir/doboliir mungkin berasal dari kata dobblaar yang berarti berjudi/bertaruh.
Apa hubungannya? Bagaimana mungkin pengertian yang tidak baik ini bisa
dimasukkan kedalam liturgi ibadah? Seseorang tak dikenal (Nicholas
Pietersz?) yang berjudi/bertaruh/mempertaruhkan dalam hal ini nyawa/keselamatan
untuk mendapatkan lagu ini. Mungkin saja
tradisi ini dinamai karena pengalaman menegangkan ini. Sebagai nama
pengingat/perenungan darimana sumber lagu/musik instrumental ini berasal.
Bayangkan jika usaha yang berisiko itu diketahui oleh orang belanda? Mungkin
saja dikenai hukuman atau nyawa bisa melayang! Mungkin dari
pengalaman/petualangan inilah, tradisi ini dinamai seperti itu pada awalnya.
Perlu dipahami juga, dilihat dari fam atau marganya, Pietersz adalah marga dari
golongan “mestizo/burger”43 yang mendiami kawasan burger di
Negeri Saparua yaitu kawasan Soalanda dalam keresidenan saparua, jadi kata-kata
belanda adalah hal-hal umum dalam percakapan sehari-hari. L.Z. Leirissa dan J.
A. Pattikayhatu menjelaskan bahwa dalam sensus tahun 1930, diperkirakan
50% dari penduduk Indonesia di masa itu yang melek huruf ada di Maluku.
Dari pemaparan itu, bisa disimpulkan bahwa orang burger/meztizo adalah
bagian dari orang melek huruf tadi sehingga, bahasa belanda pun wajar jika
dikuasai oleh golongan ini. Dan wajar pula Nicholas Pietersz menguasai tata
bahasa/minimal kata-kata dalam bahasa Belanda. Dengan penguasan bahasa belanda,
kemampuan musikalitas yang tinggi, seorang Nicholas Pietersz bisa menamai
tradisi baru ini dengan istilah baru. Penamaan ini juga bisa dimaksudkan
sebagai samaran/menutupi darimana sumber lagu ini berasal.
Kesimpulan:
Dari pemaparan di atas, ditinjau secara kritis dengan menggunakan
sumber-sumber sekunder, bisa “dipastikan” bahwa pengertian “asli” dari
dobelir/doboliir adalah berjudi/bertaruh atau penggunaan istilah-istilah dalam
musik kepada musik instrumental ini. Ini adalah pengertian awal.
Bisa saja istilah dobeliir/doboliir berasal dari kata dobblaar, dobel bar,
dobel lindgren. Dari pengertian awal yang tidak bersifat “filosofis dan
beretika Kristen” ini kemudian berkembang pengertian filosofis dan bisa
diterima sampai sekarang.
Dugaan/tafsiran dari semua pengertian ini bisa diterima, baik itu bersifat
“sekuler”, hal teknis sampai filosofis sekalipun, serta layak direnungkan oleh
generasi sekarang dan paling tidak menjadi khazanah luas dalam pemahaman untuk
memahami sejarah tradisi tua ini lebih jauh.
Pertanyaan berikutnya : apakah kita perlu menelusuri serta “menetapkan”lebih jauh tentang
sejarah dobeliir/doboliir secara meyakinkan?
Mungkin jawabannya adalah, biarkan waktu dan usaha dari generasi
selanjutnya yang akan menelusuri, mencari jawaban serta menyampaikan sejarahnya
yang paling benar. Mungkin juga sejarah yang “gelap/samar-samar dan kabur” ini
menjadi aura mistis yang lain dari tradisi tua ini. Mungkin di balik sesuatu
yang samar-samar itu menunggu waktu, untuk muncul dalam pengenalan yang lebih
baik.
E.
SAVE TRADISI
Saat menulis artikel ini, menelusuri berbagai sumber, menemui orang totua,
membaca ulang berbagai referensi/literatur yang ada, merangkai, menjahit
kata demi kata demi terciptanya tulisan ini, penulis selalu meneteskan airmata.
Sebagai bagian dari anak negeri, bagian dari jemaat GPM Saparua-Tiouw, yang putus
pusa, besar, dibentuk oleh alam Negeri Saparua, diberi makan dan minum oleh
sumber alam yang berlimpah ruah, diwariskan dengan berbagai tradisi, ada
kecintaan mendalam yang mendasari penulisan sejarah tua ini. Pahamilah bahwa,
tradisi ini lahir/dibentuk dalam alam penjajahan. Tradisi tua yang lahir dari
pergumulan, pergulatan, pengalaman, petualangan dari manusia-manusia hebat pada
zamannya. Pahami juga tradisi ini adalah sebuah hasil budaya, pernyataan hidup
manusia yang mempunyai tendensi universal45. Dari batang
bambu/buluh, dibuat alat instrument musik. Betapa hebatnya sebuah kreasi
manusia. Harus dipahami juga, zaman itu gereja dalam hal ini adalah GPM
adalah gereja negara46 , “kekuasan”gereja yang saling tumpang tindih
dengan pemerintah, batas wilayah gereja bertindih dengan batas administratif
pemerintahan, saat-saat seperti itulah tradisi ini lahir. Beriring bersama,
bergumul bersama, bergulat dan berjuang bersama hingga gereja menjadi gereja mandiri47
, gereja yang lepas dari pemerintah, gereja yang bisa mengatur dirinya
sendiri di tahun 1935 atas perjuangan Pdt T.J. van Oostroem Soede dan Pdt van
Herwerden. Terus berjuang, terus mengiringi dan jadi bagian integral dalam
kehidupan gerejawi dan juga masyarakat.
Kumpulan batang-batang bambu yang dijadikan satu dalam paduan suling pernah
menjadi bagian penting dalam liturgi ibadah, jadi kebudayaan yang “trend’ pada
jamannya. Namun sekarang, seperti tersingkir, tergeser oleh piano, keyboard,
yang lebih canggih. Kemajuan teknologi tak bisa ditolak, namun kearifan dan
kebudayaan tak perlu disingkirkan! Ingatlah! dari batang-batang bambu
itu, ia jadi saksi sejarah ketika gereja bergumul, bergulat, berjuang hingga
mencapai “kemerdekaannya”. Ia turut menjadi “orang tua saksi” “bapa ani” “mama
ani” saat gereja “dibaptis” menjadi pribadi dewasa dan mandiri. Haruskah “bapa ani” “mama ani” ini disingkirkan, ditinggalkan, dihilangkan
atas nama sebuah “kekunoan”? ada kearifan, ada filosofis yang dalam jika kita
mau memahaminya lebih jauh. Saat kita melupakan/meninggalkan/menghilangkan
tradisi tua, kita seperti melupakan “kasih sayang/pengasuhan/jasa” orang tua
yang tak bisa dibalas sampai mati!
Mungkin perlu dipikirkan ulang oleh pihak gereja dan pihak pemerintah
negeri, bahwa kecintaan terhadap kebudayaan bukan diartikan
pemujaan/pengkultusan buta, atau narsisme kebudayaan. Ada hal-hal yang perlu
dipertahankan! Dari sini, jika itu dilakukan, penulis membayangkan suatu saat
di tiap kompleks, unit, sektor, terdengar alunan fals dan merdu dari tiupan
suling yang bergemuruh, saling bersaing, saling berkompetisi, sehingga tercipta
“industri” yang saling mengisi dengan instrument modern. Tak ada kompetisi yang
“unfair” semuanya saling mendukung dan mendapat tempat dalam sebuah sejarah.
Semoga!
Let,s save our tradition!
Referensi:
1)
Mazmur 96 : 1
2)
Wikipedia : Orang –orang terkenal asal Maluku
- Blog Hurnala Tulehu : Daftar Tokoh Asal Maluku, diunduh pada tanggal 04 desember 2014
3)
Wikipedia : Orang-orang terkenal asal Maluku
- Blog Hurnala Tulehu : Daftar Tokoh Asal Maluku, diunduh pada tanggal 04 desember 2014
4)
Exodus /Kitab Keluaran 15:1-18
5)
J.D. Engel : Liturgika : Pemahaman dan penghayatan ibadah dalam
liturgi (Salatiga : Tisara grafika, 2007 hlm. 38)
6)
Perbincangan dengan Tuagama Fredrik Loupatty (tua pelo) yang adalah tuagama
paling senior di Jemaat GPM Saparua Tiouw, tanggal 15, 26 januari 2015
7) Perbincangan dengan Bpk. Benny Lewerissa, yang merupakan generasi ke-3 yang
meniup musik instrumental ini (tiop dobelir), tanggal 22 januari 2015
8)
Penuturan warga negeri saparua yang ditemui
9)
Pengamatan penulis dan pengakuan beberapa warga jemaat
10) Mereka tak ingin
namanya disebutkan, namun informasinya sangat valid karena penulis melakukan
“croscek” pada beberapa pihak
11) Cerita yang
disampaikan oleh Bpk Benny Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 januari 2015
12) Perbincangan dengan
Bpk. Corneles Tomasoa tertanggal 29 januari 2015.
13) Perbincangan dengan
Bpk. Benny Lewerissa, Bpk. Simon Lokopessy, Ibu. Ende Siahainenia, Bpk. Fredrik
Loupatty, Bpk. Corneles Tomasoa, Bpk. Jacob Huwae, Ibu. Pelly Anakotta, Bpk.
Jance Latupeirissa, dan beberapa orang totua dalam negeri
14) Perbincangan dengan
Bpk. Simon Lokopessy yang adalah anak dari Fredrik Lokopessy tanggal 24 januari
2015
15) Cerita sang ibu, Alm
Josephina Anakotta kepada penulis sekitar 8-9 tahun lalu. Alm adalah anak dari
Fredrik Anakotta yang merupakan generasi awal/pertama yang meniup tradisi tiop
dobelir ini. Cerita ini didengar dari ayahnya yang juga kakek
dari penulis.
16) Perbincangan dengan
mereka pada tanggal 22 dan 24 januari 2015
17) Dugaan Bpk. Benny
Lewerissa dalam perbincangan tanggal 22 januari 2015
18) Informasi dari Ibu. Tine Noya yang lahir pada tahun 1942
19) Informasi dari Bpk.
Corneles Tomasoa yang lahir pada tahun 1933
20) Perbincangan dengan
Nicholas Pietersz (cucu) tanggal 14-15 februari 2015
21) Penuturan Bpk. Benny
Lewerissa
22) Penuturan Bpk. Simon
Lokopessy
23) Tafsiran Bpk. Jacob
Huwae
24) Tafsiran Bpk.
Corneles Tomasoa
25) Tafsiran bebas/nakal
dari penulis berdasarkan Kamus Bahasa Belanda
26) Tafsiran bebas
penulis berdasarkan kamus musik karangan M. Soeharto, PT Gramedia Widiasarana
Jakarta, 1992 di bagian abjad D, hlm. 31
27) Tafsiran dari
penulis berdasarkan Kamus Bahasa Belanda karangan A.L.N. Kramer Sr, terbitan
G.B. Van Goor Zonen,s Uitgeversmaatschappij N.V. Denhaag tahun 1959
28) Penuturan dari Bpk. Benny Lewerissa, Bpk. Simon Lokopessy tanggal 22 dan 24 januari 2015
29) Toenggoel Siagian.
M.S. M.Ed, Direktur Penerbit Pustaka Harapan dalam kata pengantar penerbit yang
menerbitkan buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan
Indonesia 1764 – 1962” karangan Dr. Th. Stevens, 2004 (edisi terjemahan)
30) Ucapan dari
sejarahwan terkenal Indonesia, Prof Dr. Taufik Abdulah yang dikutip oleh
Rosihan Anwar dalam bagian sekapur sirih/kata pengantar pada bukunya: Sejarah
kecil – petite histoire Indonesia, PT Kompas Media Nusantara, 2004, hal ix
31) Dr. Th van den End
dan Dr. J.Weitjins, S.J : Ragi Carita 2, sejarah gereja di
Indonesia 1860an – sekarang, PT BPK Gunung Mulia, 1993 hlm. 71
32) – ibid hlm. 79
33) Pemikiran dan
tafsiran bebas dari Bpk Jacob Huwae yang disampaikan pada tanggal 27 januari
2015
34) Ester Gunawan
Nasrani : Penelusuran Perkembangan Dan Peranan Musik Gereja Dalam Hubungannya
Dengan Perkembangan Gereja, yang di muat ulang pada majalah digital WWW.Praise. Com,
diunduh pada tanggal 15 februari 2015
35) Sebuah blog yang
memuat tulisan tentang sejarah perkembangan musik dunia, diunduh pada tanggal
15 februari 2015
36) Tafsiran Penulis
berdasarkan tulisan ini serta pengetahuan penulis
37) M. C. Ricklefs
Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hlm. 320 (edisi
terjemahan)
-
Drs. Jhon. A. Pattikayhatu : Sejarah Revolusi Kemerdekaan di daerah Maluku,
1991 hal 29
38) Artikel yang
ditulis oleh seorang blogger yang “tak diketahui namanya” dalam sebuah blog,
diunduh pada tanggal 12 februari 2015
39) R.Z.
Leirissa dan J. A. Pattikayhatu : Sejarah Sosial di Daerah Maluku, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, hlm. 68-69
40) Ibid
– hlm. 70 - 73
41) Ibid – hlm. 73-74
42) Wikipedia
: sejarah kerajaan belanda dan silsilah para raja/ratu kerajaan belanda, di
unduh pada tanggal 22 januari 2015
- http://kadalsuharni.blog.com/ diunduh tanggal 22 januari 2015
- Fajar Muhamad Nugraha : Stamboom/silsilah raja dan ratu belanda diunduh pada
tanggal 22 januari 2015
- 1909 - 1936 Het leven van onze Kroonprinses in Beeld atau dalam
bahasa Indonesia “Kehidupan dari Puteri Mahkota kita dalam Gambar 1909-1936”.
Sebuah buku yang berisikan foto-foto Ratu Juliana pada saat kecil hingga 27
tahun. buku ini diterbitkan pada tahun 1936 untuk memperingati pertunangan Ratu
Juliana dengan Pangeran Bernhard pada tanggal 8 September 1936, diunduh pada
tanggal 22 Januari 2015
43) R.Z.
Leirissa dan J. A. Pattikayhatu : Sejarah Sosial di Daerah Maluku, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, hal 75
44) Ibid
hal 52-56
45) Kutipan
Wiratmo Soekito dalam buku yang di “karang” oleh D.S. Moeljanto dan Taufiq
Ismail : Prahara Budaya, Mizan 1995, hal 157
46) Dr. Th
van den End dan Dr. J.Weitjins, S.J : Ragi Carita 2, sejarah
gereja di Indonesia 1860an – sekarang, PT BPK Gunung Mulia, 1993 hlm. 62
47)
Ibid hal 74-75
-
Dr. G.P.H. Locher : Tata Gereja Gereja Protestan di Indonesia, PT BPK Gunung
Mulia, 1995, hlm. 92-95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar