SIAPA KAUM
BANGSAWAN/RAJA SEBENARNYA ?
( Tinjauan “historis” terhadap klaim Matarumah Parentah
di Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu )
“...Ketika Samuel melihat Saul,
maka berfirmanlah Tuhan kepadanya :
Inilah orang yang Kusebutkan kepadamu itu;
orang ini akan memegang
tampuk pemerintahan atas umat-Ku...” 1)
Leparissa Manupalo - Anakotta |
A.
PENDAHULUAN
Pada mulanya adalah 4 orang “kapitan” dari negeri Souhuku (Lilipori
Kalapessy) di pesisir selatan pulau Seram, menurut cerita orang totua, tradisi
yang diturunkan dari generasi ke generasi dan “dipercaya” hingga sekarang,
mereka berempat “merantau” mencari tanah baru sebagai huniannya. Dengan
menggunakan “gosepa”, mereka berlayar menuju pulau baru yang pada akhirnya
sekarang disebut sebagai pulau Saparua. Ke-4 “kapitan” itu adalah Kapitan
Adjelis Simatauw yang beristrikan seorang wanita bermarga Anakotta, Kapitan
Riang Titaley yang beristrikan wanita bermarga Simatauw, Kapitan
Untaune/Hintaune Anakotta yang beristrikan wanita bernama Kupasila Ririnama,
dan Kapitan bermarga Ririnama yang beristrikan wanita bermarga Ruhupessy.
Melalui perjalanan panjang, setelah beberapa kali singgah di tempat yang
“kurang cocok” menurut pandangan mereka, akhirnya mereka berlabuh di sebuah
pantai. Di pantai itulah yang sekarang disebut pantai muka kota, tempat benteng
Duurstede berdiri dengan kokoh. Menurut perhitungan dan data-data yang ada pada
negeri asal mereka yaitu Souhuku, kedatangan mereka tercatat pada tahun 1463.
Cerita “sejarah” lengkap ini bisa dilihat/dibaca dengan lebih rinci pada blog
Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu).2) Dari merekalah,
kemudian beranak pinak, menurunkan generasi demi generasi, menerima berbagai
kaum “pendatang”, berasimilasi, kawin mawin dan akhirnya “membentuk” sebuah
“negeri”. Negeri itulah yang sekarang disebut negeri Saparua atau Pisarana
Hatusiri Amalatu.
Dalam perspektif sejarah modern, masyarakat komunal seperti itu, akan
dipimpin oleh seorang pemimpin. Pemimpin masyarakat bisa bergelar raja, sultan,
patih, orang kaya, kepala desa dan berbagai gelar lainnya.3) Negeri-negeri
atau desa yang ada di Maluku, terkhusus yang berada dalam lingkup Kabupaten
Maluku Tengah, sesuai Peraturan Daerah No 1 tahun 2006, dipimpin oleh seorang
Raja/Patih/Orang Kaya bagi desa adat, dan Kepala Desa bagi desa administratif.4)
Upaya pengembalian status desa adat ini merupakan implementasi dari penjabaran
Peraturan Daerah Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 tentang "Penetapan
Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di dalam Wilayah
Pemerintahan Provinsi Maluku".5) Peraturan Daerah Provinsi
Maluku tersebut, merupakan komitmen melaksanakan Undang-Undang No 22 Tahun 1999
yang kemudian dirubah menjadi Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Desa.6) Semua Undang-Undang dan Peraturan Daerah tersebut berhulu
pada UUD 1945 hasil amendemen ke-4 pasal 18 b ayat 2.7) Negeri
Saparua sebagai salah satu desa yang termasuk dalam lingkup Kabupaten Maluku
Tengah dan merupakan desa adat, tentunya turut menjalankan Peraturan Daerah
dimaksud.
R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu, menjelaskan: Kecuali beberapa
negeri seperti Soya dan Hitu di Pulau Ambon, Saparua di Pulau Saparua dan
lain-lain, semua pejabat negeri menggunakan gelar “orang kaya” segera setelah
diangkat.8) Dari penjelasan tersebut, maka dipastikan jauh
sebelum munculnya Peraturan Daerah tersebut, Negeri Saparua dipimpin oleh
seorang dengan bergelar Raja. Ada hal yang menarik, pada saat pemberlakuan
Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, dimana semua
desa/negeri adat “dilebur/dihilangkan” dan menjadi desa, kepala pemerintahannya
disebut sebagai kepala desa, namun dalam kebiasaan sehari-hari, kepala desa
disebut/dipanggil/disapa sebagai Bapa Raja atau Ibu Raja, meskipun secara
adminstratif disebut Kepala Desa. Hal itu juga terjadi di Negeri Saparua, pada
jaman Kepala Desa Ny. A.B. Anakotta yang memerintah dari tahun 1969-1996, beliau
disebut/dipanggil/disapa Ibu Raja dalam pergaulan sosial kemasyarakatan,
meskipun secara administratif seharusnya adalah Kepala Desa. Hal ini mungkin
disebabkan bahwa masyarakat Negeri Saparua telah terbiasa dengan panggilan Raja
sejak dulu.
Dengan pemberlakuan Peraturan Daerah No 1 tahun 2006 tadi, maka desa/negeri
yang bersifat adat dipimpin oleh seorang yang bergelar Raja/Patih/Orang Kaya.
Sebagai payung hukum yang mengatur proses penentuan, pencalonan hingga
pelantikan dan tugas-tugas pemerintahan yang diemban oleh Kepala Pemerintahan,
dalam implementasinya selalu menemui masalah yaitu salah satunya adalah
“Penentuan mata rumah parentah” atau siapa sebenarnya yang paling berhak
dicalonkan sebagai Raja di negeri tersebut. Masalah penentuan calon yang
dimaksud bukan dalam perspektif kapasitas, kemampuan, wawasan, kepimpinan, dan
berbagai unsur yang bisa diuji/diukur secara ilmiah. Namun lebih pada sebuah
“kebiasaan” “aturan” “norma” yang bersifat “adat” yang berlaku di desa/negeri
tersebut. Maksudnya adalah, bahwa penentuan calon Raja/Patih/Orang Kaya “harus”
berasal dari garis keturunan Raja/Kaum Bangsawan. Hal ini selalu menimbulkan
“perdebatan” maupun “tafsiran” yang kadang-kadang berujung pada pertikaian dan
kompetisi yang tak sehat. Banyak contoh yang bisa ditunjukkan untuk menguatkan
pemahaman dimaksud dan menjadi bukti keras yang tak bisa dibantah. Terkadang
masalah tersebut menjadi berlarut-larut dalam proses pemilihan Raja definitif.
Di tiap negeri/desa, selalu muncul “kebiasaan, aturan, norma” dimaksud,
misalnya negeri Paperu, yang harus menjadi Raja adalah yang bermarga Luhukay,
Tiouw, yang harus menjadi Patih adalah bermarga Pattiwael, Porto, haruslah
bermarga Nanlohy, Soya, haruslah bermarga Rehatta, Siri Sori Serani, haruslah
bermarga Kesaulija/Kesaulya, Tuhaha haruslah bermarga Sasabonne dan Tanalepy,
dan masih banyak lagi. Begitu juga yang terjadi di negeri Saparua, “kebiasaan,
norma dan aturan” yang berlaku adalah calon Raja “haruslah” dari orang-orang
yang bermarga Titaley. Itupun “ditambah lagi” dengan “identitas” yang selalu
debatebel atau menimbulkan perdebatan yaitu pemakaian istilah “garis lurus”.
Sejak pemberlakuan Perda No 1 tahun 2006 tersebut, sekurang-kurangnya 10
tahun belakangan, muncul klaim-klaim dari marga lain yang “membantah,
menyangga, memprotes” kebiasaan, norma atau aturan yang telah ada. Ini
terkhusus terjadi di negeri Saparua, dalam 10 tahun ini, muncul suara-suara
yang mengklaim bahwa dari pihak/kaum/marganyalah yang paling berhak menjadi
calon Raja. Di negeri Saparua, muncul klaim dari marga Simatauw yang menganggap
merekalah yang paling “berhak” menjadi Raja bukan marga Titaley. Klaim itu
berdasarkan pemahaman, pengetahuan, penafsiran terhadap berbagai “data sejarah”
yang dimiliki. Beruntung bahwa klaim seperti ini masih dalam batas “wacana”
sehingga masih terhindar dari pertikaian atau mungkin bisa jadi mengarah pada
hal yang tak diinginkan. Dari kontemplasi masalah-masalah itulah, tulisan ini
dibuat. Tulisan ini mencoba “mendudukan” ujung pangkal terhadap penafsiran,
pemahaman, pengetahuan dan pembacaan ulang yang menjadi sebab musabab timbulnya
saling klaim itu. Tulisan ini berusaha “seobyektif” mungkin tak berpihak,
meskipun hal obyektif itu tak bisa dicapai karena tak akan sempurna. Upaya
rekonstruksi selalu menimbulkan bias, penafsiran selalu tak bisa tunggal.
Pemahaman dan pembacaan ulang selalu tak bisa seragam. Itu hal manusiawi dan
wajar serta perlu dalam alam demokrasi demi kemajuan sebuah negeri. Berangkat
dari konteks itu, tulisan ini bermaksud sebagai “solusi” “jalan kompromistis”
yang bisa diterima dan perlu dipikirkan kedepan.
B.
SEJARAH (
Simpang siur ? )
Kutipan di atas, adalah bersumber dari Perjanjian Lama, yang merupakan
“landasan hukum” pengangkatan Raja Bangsa Israel. Itu yang nantinya berkembang dan
disebut sebagai sistim pemerintahan teokrasi dalam konteks hukum tata negara.
Biasanya dalam pemerintahan sistim ini, pemerintahan dipegang oleh orang atau
kaum agamawan yang memerintah atas nama “Tuhan”. Mereka memahami bahwa mereka
adalah wakil Tuhan yang memerintah atas nama-Nya.9) Dewasa ini
sebagai contohnya adalah Negara Vatikan dan Negara Tibet. Dari pengertian ini,
sistim teokrasi itu mengalami perubahan hingga muncul sistim monarkhi yang
dipahami atau ditetapkan berdasarkan keturunan atau warisan. Sebutan kepala
pemerintahan bagi sistim ini adalah Raja/Ratu, Sultan, Kaisar dan lainnya.10)
Dalam sistim ini, kepala pemerintahan yang berdasarkan keturunan itu menganggap
mereka adalah penjelmaan “Tuhan” atau keturunan yang diberikan hak untuk berkuasa
atau memerintah. Contohnya di Jepang, Kaisar menganggap ia adalah keturunan
Dewa Matahari yang merupakan simbol “Tuhan” dalam agama Shinto, Firaun di masa
Mesir Kuno, dan banyak contoh lain. Pada sistim ini dikenal “teori kedaulatan
Tuhan” atau Gods souvereiniteit yang menyatakan atau menganggap kekuasan
pemerintahan diberikan oleh Tuhan. Contohnya kerajaan Belanda, Raja atau Ratu
resmi menamakan dirinya Raja atas kehendak Tuhan bij de gratie Gods, atau
di negara Ethiopia, Raja dinamakan singa penakluk dari suku Yuda yang
terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia11. Di negara Indonesia,
ada juga seperti ini, misalnya Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan
Hamengkubuwono, Kesultanan Solo, dengan gelar Pakubuwono dll.
Lantas bagaimana dengan “sistim pemerintahan” di Negeri Pisarana Hatusiri
Amalatu??? Apakah juga mengikuti sistim teokrasi di atas? Darimana dan
sejarahnya seperti apa hingga muncul “kebiasaan, norma dan aturan” bahwa mata
rumah/soa/marga Titaley yang “harus” menjadi Raja? Harus diakui, bahwa tak
ada catatan tertulis, arsip, dokumen yang tertinggal, yang menceritakan kepada
kita bagaimana asal usulnya. Bagaimana sejarahnya, bagaimana deskripsi dan
alasan kenapa mata rumah tertentu yang harus jadi “Raja”. Yang ada hanyalah
tradisi lisan/oral yang diturunkan dari generasi ke generasi dan akhirnya
“dipercaya dan diakui”. Dalam konteks sejarah, tradisi seperti ini bisa
dikategorikan sebagai “mitos” dan legenda” dan bukan sebagai laporan sejarah
faktual. Mitos adalah cerita yang disusun oleh orang-orang pada zaman dulu
sebagai usaha untuk menjelaskan kehidupan atau asal mula sebuah peristiwa
sebagaimana yang mereka ketahui. Legenda adalah cerita yang didasarkan pada
ingatan-ingatan manusia tentang para leluhur dan kejadian-kejadian yang
menyangkut diri mereka. Cerita-cerita seperti ini tersimpan lama dalam ingatan
maupun dalam tradisi lisan dan terus menerus diceritakan dari generasi yang
satu kepada generasi berikutnya. Seringkali cerita itu barulah ditulis ratusan
tahun kemudian sesudah peristiwa yang dilaporkan/diceritakan itu telah terjadi.12)
Menurut cerita orang totua (legenda/mitos), asal mula penunjukan mata rumah
Titaley untuk menjadi Raja bermula dari kedatangan bangsa penjajah, yaitu
(Portugis atau Belanda?). Pada saat bangsa penjajah itu datang dan mulai
melakukan pendekatan dengan masyarakat negeri Saparua, mereka melakukan kontak
dengan orang-orang negeri asli (anak-anak adat). Berhubung bahwa orang-orang
negeri asli tinggal di “hutan”/negeri lama (Rila?), dan mereka telah memantau
kedatangan bangsa penjajah memasuki wilayah perairan/lautan dan menimbulkan
ketakutan karena perbedaan fisik dan anatomi, maka upaya kontak itu pada
awalnya mengalami kegagalan. Dengan beberapa kali usaha dari bangsa penjajah,
maka orang-orang pribumi/asli negeri Saparua yang tinggal di hutan, atas
kesepakatan dan pertimbangan, mereka mengutus seorang yang bermarga Titaley
untuk menemui pembesar-pembesar bangsa penjajah. Tak disangka, orang yang
diutus itulah kemudian diangkat dan dianugerahi oleh bangsa penjajah sebagai
Raja bagi masyarakat negeri Pisarana Hatusiri Amalatu. Menurut cerita pula,
sebagai tanda penunjukan atau pengangkatan sebagai Raja, bangsa penjajah itu
memberikan mahkota, tongkat, panji-panji kebesaran sebagai simbol Raja. Sejak
saat itulah, keturunan/generasi orang yang bermarga Titaley itu “dipercaya dan
diakui” sebagai keturunan Raja/Kaum Bangsawan di Negeri Saparua.13)
Seperti dijelaskan pada bagian pendahuluan, bahwa selain mata rumah
Titaley, ada juga mata rumah Simatauw yang mengklaim merekalah yang berhak
menjadi Raja/Kaum Bangsawan. Dasar klaim mereka adalah mereka “yakin dan
percaya” bahwa “pemimpin” dari ke-4 kapitan yang pertama kali datang ke negeri
Saparua adalah, kapitan Adjelis Simatauw. Dengan pemahaman dan kepercayaan itu,
maka mereka yakin bahwa kapitan Adjelis Simatauw adalah Raja pertama. Dan
kemudian diturunkan ke beberapa generasi berikutnya salah satunya bernama
(raja?) Mayasang. Selain itu, klaim mereka “diperkuat” dengan bekas
kuburan/pusara dari Raja/Kapitan? Adjelis di negeri lama (hutan Rila) serta
Mayasang di samping Baileu Negeri Saparua, tepatnya di pekarangan rumah
Keluarga Herman sekarang.14) Kedua “mitos” ini kemudian
dijadikan dasar untuk saling mengklaim siapa sebenarnya yang paling berhak
menduduki jabatan Raja. Atau tepatnya dalam kebudayaan Maluku, siapa sebenarnya
Mata Rumah Parentah?.
Terjadi sejarah “simpang siur” karena seperti yang dijelaskan bahwa kedua
cerita adalah mitos atau legenda. Tak ada bukti, arsip atau dokumen, catatan
yang menjelaskan kepada kita bagaimana asal mulanya. Lalu dari kedua cerita di
atas, mana yang harus dipercaya? Mana yang lebih kredibel? Apakah cerita
versi dari yang bermarga Titaley atau yang bermarga Simatauw? Sangat sulit
menjawabnya karena alasannya sangat sederhana, tak ada petunjuk awal untuk
“memutuskan” atau “menetapkan”. Yang bisa dilakukan adalah dekonstruksi dan
rekonstruksi ulang terhadap mitos tersebut dengan menggunakan sumber-sumber
sekunder. Sumber-sumber sekunder yang dimaksud adalah seluruh literatur yang
sebenarnya tak memiliki kaitan “langsung” atau “mendukung” dengan kedua
mitologi itu, namun setidaknya memberikan penjelasan atau pemaparan mengenai
“realita sosial” yang bisa dihubungkan dengan perkiraan masa seperti yang
dilaporkan atau diceritakan dalam mitos/legenda itu. Sumber sekunder itu juga
dipakai untuk “menganalisis, membedah dan menguji kedua mitos tersebut. Dari
sini mungkin kita bisa “menentukan” tujuan yang ingin dicapai meski hanya
berupa hipotesis yang bisa dibantah atau ditanggapi lebih jauh. Andaikan tak
mencapai tujuannya, mungkin ini bisa digunakan sebagai bahan pemikiran dan
perenungan buat kedepannya.
C. TINJAUAN ( Historis )
R.Z. Leirissa dan J. A. Pattikayhatu15), Ziwar Efendi16),
Ivan Titawanno17), dan beberapa blog yang dicari serta dibaca,
menjelaskan bahwa sistim kekerabatan di Maluku Tengah, yang paling mendasar
adalah “keluarga batih” atau “keluarga inti” yang berdasar hubungan genealogis
(darah). Dari beberapa gabungan keluarga batih ini, dibentuk sebuah kelompok
yang disebut sebagai lumatau/mataluma/matarumah atau dalam bahasa asing
biasa dikenal dengan istilah clan. Kelompok-kelompok ini sesungguhnya
adalah patriclan atau kelompok kekerabatan yang menganggap dirinya satu
keturunan/seketurunan. Beberapa lumatau ini kemudian membentuk soa. Dari
pemaparan ini, maka di Negeri Saparua, bisa dijelaskan bahwa marga Anakotta
sekarang berasal dari lumatau/mataluma/matarumah Leparissa yang kemudian
menjadi Soa Manupalo. Marga Simatauw, berasal dari matarumah Soulessy kemudian
menjadi Soa Latuwaelaiti, Marga Titaley berasal dari matarumah Latu kemudian
menjadi Soa Pelatu, dan marga Ririnama berasal dari matarumah Souhala yang
menjadi Soa Namasina.18)
Penjelasan singkat di atas kiranya bisa dijadikan sebagai diskripsi umum
untuk memulai analisa di bagian ini. Hal itu perlu dilakukan agar kita bisa
memahami semua “hubungan” yang akan diurai selanjutnya. Bagian ini akan
menganalisa, membedah serta menguji kedua cerita “mitos atau legenda” tentang
klaim kedua matarumah ini. Untuk lebih terstruktur dan sistimatis, akan
dijelaskan masing-masing agar bisa dipahami dengan baik.
c.1. Klaim Matarumah Simatauw
Marga Simatauw adalah salah satu dari ke-4 marga/faam yang diakui/dipercaya
oleh masyarakat Negeri Saparua sebagai orang negeri asli (orang pribumi?).
Dalam sistim adat, marga Simatauw menjadi Soa Simatauw atau soa LATUWAELAITI
yang matarumah/mataluma adalah SOULESSY. Perlu dijelaskan pengertian
kedua kata ini agar kita bisa mengerti.
SOU (beritahu), LESSY (banyak) --> SOULESSY yang
artinya banyak memberitahu. Soa LATUWAELAITI --> LATU
(raja), WAE (air), LAI (datang) dan ITI (teriak).
LATUWAELAITI yang artinya raja air datang memberitahu. Sesuai dengan
perannya sebagai kewang negeri (pengawas hutan dan lautan)
sekaligus juga sebagai marinyo (pemberitahu).19)
Klaim soa ini seperti dijelaskan pada bagian (B), bermula dari pemahaman dan keyakinan mereka bahwa “pemimpin”
dari ke-4 kapitan yang merantau hingga tiba di pantai muka kota Negeri Saparua
adalah Kapitan Adjelis. Karena mereka menganggap Kapitan Adjelis sebagai
pemimpin, maka saat tiba dan menghuni maka, Kapitan tersebut diangkat sebagai Raja.
Kita perlu menganalisa, membedah, menguji serta berpikir kritis terhadap
pemahaman cerita yang bersifat “mitos dan legenda” ini.
a. Ada pemahaman
dan kepercayaan bahwa, istilah pemimpin yang dimaksud bukan dalam pengertian
seperti yang kita kenal. Atau dalam arti pemimpin/pemenang yang lahir dari
sebuah kompetisi, pertarungan atau peperangan di antara ke-3 kapitan lainnya.
Sehingga bisa dianggap “bos” terhadap yang lain. Kapitan Adjelis
dianggap/ditunjuk sebagai “pemimpin” atas kesepakatan dan pertimbangan bersama.
Ya mungkin bisa dikategorikan sebagai “musyawarah mufakat” dalam pengertian
sekarang. Pertimbangan itu karena dari ke-4 kapitan, Kapitan Adjelis yang
berusia paling tua.20 Pemahaman seperti ini bisa masuk akal dengan
asumsi bahwa orang yang berusia tua adalah seorang yang punya banyak
pengalaman, sehingga pengalaman tersebut bisa digunakan saat dibutuhkan.
Apalagi saat mereka memutuskan “merantau” dan mencari wilayah/daerah hunian
baru yang sangat asing buat mereka. Bisa juga ada pemahaman bahwa “rambut putih
selalu bijak” maksudnya bahwa orang yang lebih tua adalah yang lebih bijak atau
lebih mengetahui segalanya. Dari asumsi seperti ini maka logis jika kapitan
adjelis dianggap/ditunjuk sebagai pemimpin yang mengepalai “armada” itu. Atau
apakah “cerita” ini “disusun” oleh generasi berikutnya untuk
“menghilangkan/menutupi/menyingkirkan” cerita sebenarnya (undercover/behind
story) bahwa sebenarnya Kapitan Adjelis adalah pemimpin yang lahir dari
kompetisi, pertarungan, persaingan bahkan peperangan di antara mereka?
Walahualam! Namun jika seperti ini, agak kurang “logis” karena ternyata ke-4
kapitan itu tiba dengan “selamat” di tempat yang dituju. Perlu juga dipahami
dalam cerita “mitologi” seperti ini, para kapitan adalah para petarung yang
memiliki “kekuatan super” sehingga jika terjadi pertarungan atau peperangan
atau saling menguji kekuatan dan kemampuan demi sebuah jabatan “pemimpin” dalam
perjalanan mereka, maka tentunya nyawalah yang jadi taruhannya. Dalam kerangka
berpikir seperti itu, maka “tak mungkin” ke-4 kapitan itu bisa lengkap tiba di
tempat yang dituju. Keyakinan orang-orang negeri Souhuku, bahwa hanya ke-4
kapitan yang keluar dari negeri mereka mendapat legitimasi dengan kepercayaan
orang negeri Saparua yang “mengakui dan percaya” bahwa orang negeri asli adalah
keturunan dari ke-4 kapitan ini. Legitimasi dari 2 sumber ini bisa jadi
“hipotesis” bahwa Kapitan Adjelis yang dianggap sebagai “pemimpin” memang bukan
lahir dari pertarungan/peperangan tapi memang atas kesepakatan bersama sesuai
penjelasan sebelumnya!.
b. Jika ke-4
kapitan itu adalah yang mula-mula mendiami negeri Saparua, bagaimana “bisa”
Kapitan Adjelis menjadi “Raja” yang hanya memerintah 7 orang? Ke-3 kapitan
lain bersama istri dan istrinya sendiri? Agak terasa “janggal” jika pemahaman
ini “dipaksakan”. Lagipula dalam cerita selanjutnya mengenai kehidupan mereka
berempat bersama istri-istrinya, mereka “berpisah” dan mencari tempat berbeda
untuk tinggal. Ini dibuktikan dengan kepercayaan bahwa bagian-bagian terpisah
di dalam negeri Saparua adalah milik mereka, meskipun berbatasan sekalipun. Dan
buktinya masih ada hingga saat ini. Kapitan Riang Titaley menempati kawasan
Batu Kota dan sekitarnya (areal benteng Duurstede dan sekitarnya sekarang),
Kapitan Adjelis Simatauw menempati Hutan Sapa Rua Lesi (saparua mula-mula),
Kapitan Untaune/Hintaune Anakotta menempati Hutan Waimaerua dan Morillo, serta
Kapitan Ririnama menempati Hutan Launa dan Rila.21) Ke-4 tempat ini
berbeda dan berada dalam petuanan negeri Saparua/Pisarana Hatusiri Amalatu.
Jika seperti ini maka bisa dikatakan ke-4 kapitan itu adalah kepala keluarga
bagi keluarga dan keturunan mereka sendiri, bukan pemimpin atas lainnya.
Mungkin bisa disebut mereka adalah kepala puak bagi puak mereka, atau pemimpin clan
masing-masing. Maka “dipastikan” Kapitan Adjelis adalah pemimpin clan atau
kepala puak bagi puaknya bukan “raja” dalam pengertian kita sekarang. Lalu
bagaimana dengan bukti adanya pusara yang dipercaya sebagai kuburan Kapitan
Adjelis di negeri lama (hutan Rila)?. Apakah ini bukan bukti bahwa klaim
mereka mengandung kebenaran?. Bukti bahwa di tempat awal negeri Saparua ini
bermula, ada kuburan yang bisa jadi penanda bahwa Kapitan Adjelis adalah “Raja”
atau “orang yang dihormati” sehingga perlu dimakamkan di “tempat khusus”
itu?. Pemikiran ini juga layak dipertimbangkan namun mengalami sedikit
“masalah” karena kita tak mengetahui keberadaan makam ke-3 kapitan yang lain.
Andaikata makam ke-3 kapitan yang lain bukan di tempat khusus itu, bukan
berarti bahwa Kapitan Adjelis adalah “Raja” sehingga mendapat perlakuan khusus.
Mungkin ke-3 kapitan yang lain lebih merasa “senang” jika mereka dimakamkan di
tempat hunian mereka masing-masing. Jika makam ke-3 kapitan itu berada di
kawasan negeri lama (hutan Rila), itu juga membuktikan bahwa memang itu bukan
tempat khusus buat areal pemakaman kaum Raja. Hal ini lebih “cocok” dianggap
sebagai penghormatan terhadap Kapitan Adjelis yang jadi “pemimpin” sehingga
wajar jika dimakamkan di tempat asal mula negeri Saparua (ingat penjelasan (a) pada bagian ini). Mungkinkah ini
seperti mengikuti apa yang dilakukan oleh Abraham dan istrinya Sarah yang
dimakamkan di Gua Makhpela.22) Lewat penjelasan ini, mungkin
kapitan-kapitan itu bisa “dianggap” sebagai “bapa-bapa patriakh” orang negeri Saparua. Atau bisa disebut Kapitan Adjelis dan ketiga kapitan lain adalah “para
bapa leluhur negeri saparua” dalam istilah studi sejarah Israel, jika istilah
ini ingin digunakan.23)
c.
Lalu bagaimana
dengan “Raja” Mayasang seperti klaim mata rumah Simatauw?. Kembali lagi, tak
ada bukti apapun yang tertinggal yang bisa dijadikan panduan atau referensi.
Yang ada hanya cerita “mitos” atau “legenda” tadi. Jika ini dianggap sebagai
fakta, maka mari kita berandai-andai dan sekaligus menganalisanya secara
jernih. Kita tak mengetahui apakah “Raja” Mayasang ini adalah anaknya Kapitan
Adjelis atau cucunya atau cicitnya atau generasi keberapa dari Kapitan Adjelis.
Jika adalah anaknya, maka tak mungkin, karena kehidupan sosial yang dijelaskan
tadi yang hanya baru 8 orang, andaikan saja Kapitan lain masing-masing memiliki
10 anak dalam rentang ini, dan ditambah oleh kaum pendatang sekalipun, masih
tetap tak bisa “diterima”. Bisa dikatakan “kacau” “anakronik” dari segi
kronologis dan reproduksi manusia yang kita pahami. Dalam studi sejarah sejarah
Israel, orang-orang Israel menghitung 1 generasi berusia 40 tahun dalam ukuran
moderat, bahkan yang sedikit “ekstrim” 1 generasi berusia 25 tahun.24)
Kita mencoba menggunakan perhitungan ini maka kita bisa berandai-andai seperti
ini : “Raja” Mayasang mulai memerintah saat ia berusia 25 tahun jika ia adalah
anaknya Kapitan Adjelis, maka kira-kira pada tahun 1488, ia memerintah. Tahun
ini didapatkan dari tahun kedatangan ke-4 kapitan tadi pada tahun 1463 ditambah
25 tahun kemudian dengan asumsi pada tahun 1463 itu juga, Kapitan Adjelis
“harus” sudah memiliki anak/keturunan. Andaikata, ke-4 kapitan masing memiliki
10 anak termasuk “raja” Mayasang sekalipun dan ditambah kaum pendatang yang
menjadi bagian dari masyarakat Negeri Saparua, berarti “raja” mayasang
memerintah hanya 48 orang termasuk dirinya ditambah kaum pendatang. Apakah
“jumlah” ini “cukup” dijadikan “syarat” sebuah masyarakat?. Jika
“pengandaian” ini “dipaksakan” diterima, maka tak mungkin karena pengandaian di
atas hanya berasumsi pada pengandaian juga, pengandaian jika masing-masing
kapitan memiliki 10 orang anak ditambah bergabungnya kaum pendatang dalam
rentang itu. Bagaimana jika kurang dari 10 anak dan belum ada pendatang yang
jadi bagian masyarakat?. Berarti semakin sedikit orang yang dipimpin dan
semakin “janggal” sebagai sebuah syarat masyarakat. Mungkin bisa dibantah
dengan analogi bahwa ini sebagai suku kecil, namun analogi ini kembali berhadapan
dengan sistim clan/keluarga batih yang dipahami dalam sistim sosial di
kepulauan lease/uliaser (Saparua, Haruku dan Nusalaut).25)
Pengandaian di atas menggunakan perhitungan generasi yang berusia 25 tahun,
bagaimana dengan 40 tahun? kita berandai-andai lagi : Raja Mayasang mulai
memerintah pada usia 40 tahun, berarti ia berkuasa pada tahun 1503. Pengandaian
ini juga mengalami sedikit “kendala” karena pada tahun 1514 sesuai papan
informasi yang berada di Baileu Negeri Saparua menyatakan, yang berkuasa adalah
“Raja” Melyanus Titaley. Meski ada rentang 11 tahun sebelum “peralihan”
kekuasaan dari “Raja” Mayasang ke “Raja” Melyanus, harus dicatat bahwa dalam
“11 tahun” itu, Raja Mayasang masih memerintah. Kita tak mengetahui bagaimana
proses peralihannya? dan kapan tepatnya terjadi pergantian kekuasaan ini?.
Semua pengandaian di atas, adalah jika “Raja” Mayasang adalah anaknya
Kapitan Adjelis, padahal kita tak mengetahui dengan pasti, apa anaknya, apa
cucunya atau cicitnya atau generasi ke berapa?. Jika cucunya, cicitnya
bahkan generasi selanjutnya, maka seluruh klaim mata rumah ini akan “runtuh”
saat berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis di atas serta informasi
tentang “Raja” Melayanus Titaley di tahun 1514 tadi. Informasi Raja Melyanus
Titaley ini bisa “dijadikan” parameter sebagai penguji klaim-klaim tersebut
meski parameter itupun harus dianalisa/diuji pula, dengan menguji silang
menggunakan klaim klaim ini. Analisa itu akan diurai pada bagian tinjauan
historis terhadap klaim mata rumah Titaley. Bagaimana pula dengan bukti bekas
makam “Raja” Mayasang yang berada di samping Baileu Negeri Saparua, tepatnya di
pekarangan/kintal rumah keluarga Herman sekarang? Apakah ini bukan bukti
bahwa areal pemakaman yang dekat dengan rumah adat (rumah suci) bukan indikasi
tempat dimakamkan seorang pembesar dalam hal ini seorang “Raja”? Ya jika itu
alasannya, maka pemikiran ini bisa diterima. Namun ada pertanyaan yang
“mengganjal” apakah mungkin areal pemakaman seorang “raja” bisa “seenaknya”
sekarang dijadikan sumur yang buktinya ada hingga sekarang?.26)
Tentu tak mungkin, sesuatu tempat khusus bagi orang yang dihormati atau
situs penting seperti itu dijadikan hal lain. Kalau alasannya ketidakpedulian
dan memang banyak contoh yang bisa dijadikan alasan, tetap saja terasa
mengganjal karena tak ada sesuatu bentuk “protes” atau kritik terhadap hal ini
dari keturunan “Raja” Mayasang. Yang mungkin lebih masuk akal adalah mungkin
memang di situ adalah areal pemakaman, namun “Raja” Mayasang bukanlah seorang
“Raja” dalam pengertian yang dipahami. Mungkin saja ia cuma “masyarakat
biasa”? Meskipun ia adalah keturunan dari Kapitan Adjelis.
d. Ada hal yang
menarik bahwa kedua marga ini, Titaley dan Simatauw “menggunakan” nama soa yang
ada kata LATU. Yang satu adalah Pelatu, yang satunya lagi adalah Latuwaelaiti.
Mungkinkah “klaim” marga Simatauw berasal dari penggunaan nama Soa ini?. Jika
dilihat secara sepintas dan berpikir kritis, mungkin saja, namun memang harus
diakui, bahwa tak ada arsip/dokumen/catatan yang tertinggal yang bisa dijadikan
sebagai pegangan untuk membenarkan klaim seperti ini. Dalam sistim adat
di Negeri Saparua, Marga Simatauw, sering bertindak sebagai Mauweng/Pendeta Adat
atau Imam. Apa mungkin karena berasal dari “kaum rohaniwan” maka klaim ini
muncul berdasarkan pada sistim “Pemerintahan Teokrasi” di Negeri Saparua?.
Menurut penjelasan sebelumnya, memang pada awalnya sistim pemerintahan yang ada
berlandaskan pada sistim teokrasi. Mungkin saja karena bertindak sebagai “kaum
rohaniwan” maka klaim ini bisa dibenarkan. Namun sering kali diulang, semuanya
hanyalah klaim tanpa bukti yang dibilang valid.
c.2. Klaim Matarumah Titaley
Marga Titaley adalah salah satu dari ke-4 marga/faam yang diakui/dipercaya
oleh masyarakat Negeri Saparua sebagai orang negeri asli (orang pribumi?).
Dalam sistim adat, marga Titaley menjadi Soa Titaley atau soa PELATU yang
matarumah/mataluma adalah LATU. Perlu dijelaskan pengertian kedua kata ini agar
kita bisa mengerti.
LATU (raja), Soa PELATU --> PEI (perintah), LATU (raja)
--> PELATU yang artinya diperintahkan/diangkat menjadi Raja.
Secara turun-temurun Titaley menjadi Matarumah Perintah/Raja di
Negeri Saparua.27)
Klaim matarumah ini seperti dijelaskan pada bagian B di atas, tak perlu diulang lagi, namun kita perlu menganalisa,
membedah serta menguji dengan sumber-sumber sekunder yang ada apakah klaim itu
bisa dipertahankan atau harusnya bagaimana?.
a. Pertanyaan kritisnya adalah siapakah nama orang yang
bermarga Titaley “yang diutus” oleh ke-3 marga lain? Pada tahun berapa? Pihak Belanda atau Pihak Portugis yang “mengangkat/menetapkan” orang yang
bermarga Titaley ini menjadi “Raja” seperti klaim di atas? Harus diterima
oleh semua pihak, bahwa tak ada bukti berupa dokumen, arsip, catatan yang
ditinggalkan sebagai data valid. Jika pun ada, atau telah “hilang” tak ada
keterangan apapun untuk diverifikasi kebenarannya. Dari itu maka semua
pertanyaan kritis di atas selamanya tak bisa dijawab.
b. Jika klaim ini “dipertahankan” maka pertanyaannya
adalah pihak Belanda atau pihak Portugis yang “mengangkat/menetapkan”? dan
pada tahun berapa itu terjadi?. Jika Pemerintah Belanda, maka tak mungkin!.
Mari kita lihat data-data sejarahnya sebagai sumber sekunder untuk menganalisa
lebih jauh. Belanda menghancurkan kekuasaan Portugis di Maluku pada tahun
1605, tepatnya tanggal 23 Februari, direbut oleh satu kekuatan eskader di bawah
pimpinan Steven van der Hagen.28) Pasukan ini merebut benteng
Portugis di kota Ambon, kemudian mengubah namanya menjadi “Victoria” yang
sekarang kita kenal. Awalnya benteng ini dibangun oleh Portugis di bawah
pemerintahan Gubernur Gazapar de Mello29), batu pertama dari benteng
tersebut diletakan oleh seorang panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de
Vasconcelos, pada tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng
dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya.
Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada,
artinya sampai di sini Bunda Maria dibangun.30) Pemberian nama
tersebut berkaitan dengan Hari Kenaikan “Anunciada”31) yang
bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut.
Sejak saat itu benteng tersebut menjadi pusat administrasi pemerintahan
untuk wilayah Maluku guna memperkuat politik monopoli rempah-rempah di seluruh
Maluku. Sejak itu pun Maluku berada di bawah cengkeraman Belanda untuk
menguasai komoditi rempah-rempah, demikian J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen,
Portugezen en Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956).32)
Memang sebelum menghancurkan kekuatan Portugis, Belanda telah melakukan ekspedisi ke Wilayah Maluku
sekitar tahun 1599-1600 di bawah pimpinan Jacob Van neck dan Wybrant
Warwick. Laporan ekspedisi mereka berisikan catatan kunjungan mereka ke
perkampungan Muslim di Banda kemudian diterbitkan pada tahun 1601.33)
Barulah beberapat tahun kemudian, Belanda bisa merebut kekuasaan dari tangan
Portugis seperti dijelaskan diatas. Pada tahun 1610 diciptakanlah
Jabatan Gubernur Jenderal untuk menangani lebih tegas urusan-urusan
Penjajah Belanda (VOC) di Asia, selama masa jabatan 3 orang Gubernur Jenderal
yang pertama (1610-1619) kota Ambon menjadi pusat Gubernur Jenderal
Belanda tersebut.34) Dari pemaparan singkat sejarah di atas, berarti
dalam rentang 9 tahun,VOC mulai menanamkan kuku kekuasaannya di wilayah Maluku,
khususnya di daerah Ambon dan Uliaser/Lease. Hal ini dibuktikan dengan plakat
informasi yang berada di Benteng Duurstede. Pada plakat informasi tersebut,
tertulis Benteng Duurstede dibangun oleh Gubernur Arnold de Vlaming
van Oudshoorn pada tahun 1676, kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Nicholaas
Schagen pada tahun 1690.35)
Kita melakukan pengandaian dalam menganalisa lebih jauh kasus ini.
Andaikata “penetapan/pengangkatan” “Raja” oleh Pihak Belanda pada tahun
1610-1619 tersebut, bagaimana dengan informasi yang terdapat pada papan
informasi tentang pembangunan Rumah Baileu Negeri Saparua? Pada papan informasi
itu, yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku,
dikatakan bahwa pembangunan baileu dilakukan pada tahun 1514 oleh Raja
Melyanus Titaley. Berarti ada “jurang jarak” hampir 1 abad, yang
mempertentangkan klaim mata rumah, dengan sumber-sumber sejarah itu. Bagaimana
bisa seorang Raja yang telah ada “diangkat/ditetapkan” lagi oleh Pemerintah
Belanda? Yang paling mungkin adalah hanya “memperkuat” saja keberadaan
dan kekuasaan Raja tersebut oleh Pemerintah Belanda, bukan mengangkat/menetapkan
seperti klaim mata rumah ini. Apakah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi
Maluku melakukan “kesalahan” penulisan tahun tersebut? Jika melakukan
kesalahan, darimana sumber yang mereka pakai??? Hal ini terus di “perparah” oleh
silsilah Raja dari matarumah Titaley yang agak “kacau”. Disebut “kacau” karena
dokumen yang ada bukanlah daftar silsilah Raja-raja secara kronologis yang
berisikan lebih detil tahun-tahun mereka memerintah. Yang ada adalah silsilah
keluarga besar Titaley, dimana dalam silsilah tersebut, hanya dilabeli orang
ini yang menjadi Raja, orang itu yang menjadi Raja dan seterusnya tanpa tahun
memerintah. Karena dokumen yang ada hanya seperti itu, sangat sulit menentukan
kapan tepatnya mereka memerintah dan seterusnya. Kembali lagi kepada Raja
Melyanus Titaley yang memerintah di tahun 1514 itu, memang dalam silsilah
Keluarga Titaley itu, ada 2 nama yang menyandang nama tersebut. Melianus Jacob
Titaley (ayah) dan Jacob Izaach Melianus Titaley (anak) adalah 2 nama yang
dimaksud. Entah yang mana yang dimaksud oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
provinsi Maluku itu. Nama yang pertama adalah ayah sedangkan nama kedua adalah
anaknya. Jika yang dimaksud adalah ayah, akan “bermasalah” dari kronologis
waktu dengan menggunakan ukuran 1 generasi 25 tahun atau bahkan 40 tahun.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan silsilah Keluarga tersebut, Melianus
Jacob ini “ditempatkan” sebagai “Raja“ ketiga atau bisa jadi keempat. Dikatakan
seperti ini, karena saudara sepupunya yang bernama Melkianus Titaley juga
tercatat sebagai “Raja”. Mereka berdua memerintah tanpa tahun yang mendetil,
sehingga kita tak tahu, siapa yang memerintah lebih dulu dari siapa. Mungkin
lebih jelasnya kita menggunakan cara, jika Melianus Jacob jadi raja ketiga,
maka Melkianus adalah Raja keempat, begitu juga sebaliknya. Kita gunakan saja
jika Melianus Jacob adalah “raja ketiga”. Dari silsilah keluarga yang
ada, diketahui bahwa sampai sekarang (2015), hanya baru 14 “raja” yang
memerintah. Andaikan 1 raja memerintah selama 25 tahun, maka 25 x 14 = 350
tahun, berarti Raja pertama memerintah pada tahun 1665. Jika kita menggunakan
angka 25 tahun maka tak “sinkron” dengan penjelasan Dinas kebudayaan dan
pariwisata tadi. Jika 1 raja memerintah 40 tahun, maka 40x14 = 560 tahun,
berarti Raja pertama memerintah pada tahun 1455, jika menggunakan angka 40
tahun, malah lebih “kacau” lagi, karena Raja pertama memerintah di saat 4
kapitan belum datang, padahal 1463 baru dicatat sebagai tahun kedatangan 4
kapitan yang jadi cikal bakal negeri Saparua ini. Perhitungan di atas dilakukan
dengan menggunakan angka-angka rata-rata tersebut karena tak ada silsilah yang
detil seperti yang dijelaskan sebelumnya,lagipula diketahui, bahwa raja ketiga
belas dan ke-14 hanya memerintah tak sampai 10 tahun. Tepatnya keduanya hanya
memerintah selama 8 tahun. Apa mungkin ada “melianus-melianus” lain yang
menjadi “raja” sebelumnya yang tak dicatat dalam silsilah keluarga Titaley
itu? Mungkin saja… tapi kembali tak ada data, yang ada hanya data silsilah
keluarga tersebut. Lalu darimana sumber yang digunakan oleh Dinas Pariwisata
itu? Entah darimana!.
Jika informasi ini “dipaksakan” sebagai tanda dimulainya Raja Melyanus
Titaley di tahun 1514 itu, maka akan “sedikit bertabrakan” dengan klaim mata
rumah Simatauw pada penjelasan (c.1)
dengan seluruh permasalahannya, serta tak tersedianya informasi jelas bagaimana
model peralihan kekuasaan terjadi, jika klaim matarumah Simatauw dianggap
paling benar! Padahal, klaim mata rumah itupun juga lemah. Dari pemaparan
ini, bisa dikatakan bahwa klaim matarumah ini yang “katanya”
diangkat/ditetapkan oleh Pemerintah dengan sendirinya “gugur” di hadapan
fakta-fakta sejarah yang ada. Yang lebih tepatnya, bisa dikatakan, Pemerintah
Belanda “hanya” memperkuat legitimasi Raja yang sudah ada, bukan membuat
sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Bukan mengangkat seseorang biasa
menjadi luar biasa. Bukan menetapkan orang biasa menjadi Raja!.
Asumsi ini diperkuat dengan catatan sejarah yang ada, meskipun hanyalah
bersumber dari data-data sekunder. Van den End menulis, “setelah merebut kota
Malaka, orang-orang Portugis menuju ke Maluku. Di sana, mereka disambut baik
oleh Sultan Ternate”36), “dan persaingan antara Raja/Sultan
Ternate dengan Raja-Raja Maluku lainnya sama seperti persaingan antara
Portugis dan Spanyol. Portugis membantu Ternate, sedang Spanyol menjadi sekutu Sultan
Jailolo”37).
Aritonang
menulis : Sultan Ternate Abu Lais/Bayan Sirullah pada tahun 1512
mengundang Portugis untuk mendirikan benteng di Ternate38), “pada
masa pemerintahan Sultan Tabarija (1523-1535), terjadilah baptisan
pertama di Ternate”39)
Ricklefs
mencatat “Pada tahun 1535, orang Portugis di Ternate menurunkan RajaTabarija
dari singgasananya dan mengirimnya ke Goa (India)”40), “Ternate
menjadi sebuah Negara berkembang yang gigih menganut Islam dan anti Portugis
dibawah pemerintahan Sultan Baab Ullah (1570-1583) dan putranya, Sultan
Said”41)
Hall juga
mencatat “ Sultan-sultan Ternate dan Tidore memberi sejumlah besar
muatan cengkeh dan masing-masing mengijinkan pendirian sebuah kantor dagang di
pulaunya kepada Portugis”42)
Jadi,
penggunaan istilah “raja atau sultan” sudah dikenal jauh sebelum Belanda
menginjak kakinya di bumi Maluku. Bahkan saat Portugis dan Spanyol datang pun,
sudah ada Raja atau Sultan seperti penjelasan di atas (perhatikan kata-kata
bergaris bawah/underline). Memang benar, bahwa itu yang terjadi di Ternate
dan Tidore bahkan Jailolo yang merupakan kerajaan berwilayah besar. Bagaimana
dengan wilayah-wilayah kecil yang jauh, seperti gugusan uliaser/lease yang di
dalamnya ada negeri Saparua? Apakah pemimpin negeri/wilayah kecil itu disebut
Raja juga seperti Ternate dan Tidore atau Jailolo?.
Ricklefs
menulis : “akan tetapi di dalam perjalanan ke Goa, Sultan Tabarija wafat di
Malaka pada tahun 1545, sebelum meninggal, ia menyerahkan Pulau Ambon
kepada orang Portugis yaitu Jordao de Freitas yang adalah ayah baptisnya”43),
“di tahun 1512 armada portugis di bawah pimpinan Fransisco Serao terdampar di
Hitu (ambon sebelah utara/jazirah leihitu), di sana dia menunjukan ketrampilan
berperang, sehingga ia disukai oleh penguasa setempat”44)
Hall juga
mencatat “Dalam tahun 1600, Steven van der Hagen menandatangani perjanjian
penting pertama dengan seorang Raja Pribumi. Dengan Raja Ambon
itulah, Belanda diizinkan mendirikan “kastel van vere” dan mendapatkan hak
mengambil seluruh cengkeh yang dihasilkan di daerah itu”45)
Dari penjelasan
Ricklefs dan Hall dapat diketahui bahwa wilayah kekuasaan kerajaan Ternate
sampai ke Pulau Ambon. Jika seperti itu, maka istilah Raja/Sultan adalah hal
yang umum diketahui dan telah berlaku lama sebelum Portugis datang di wilayah
kekuasaan Ternate. Mungkin saja penguasa-penguasa wilayah kecil ini tidak
menggunakan istilah raja secara eksplisit, namun menggunakan gelar-gelar lain
yang sederajat seperti latu, patih, orang kaya.
Jadi intinya
adalah klaim yang mengatakan proses pengangkatan atau penetapan matarumah
ini menjadi Raja oleh Pemerintah Belanda adalah : tak bisa diterima!.
c. Jika bukan dari Pemerintah Belanda, lalu apakah dari
Pemerintah Portugis? Kita lihat lagi data-data sejarah sekunder untuk menguji
klaim ini. Portugis pertama kali tiba di Maluku tepatnya di Kepulauan Banda
pada tahun 1512, di bawah armada pimpinan Fransisco Serrao.46)
Awalnya mereka berencana ke Ternate dan Tidore, namun singgah di Banda, setelah
mendapatkan hasil rempah yang mereka inginkan, mereka kembali pulang dan
terdampar di Hitu (ambon sebelah utara). Di tahun yang sama mereka menginjakan
kakinya juga di Ternate, atas persetujuan Sultan Ternate, mereka diizinkan
mendirikan Pos dagang di Ternate47), di tahun 1522 akhirnya mereka
bisa mendirikan Benteng disana yang dinamakan Sao Paulo.48) Di
tahun 1516, mereka sudah bisa menguasai jazirah Leihitu (ambon utara)49),
setelah sebelumnya pertama kali mendarat di Ambon pada tahun 1513.50)
Baru pada tahun 1575-lah mereka bisa membangun sebuah benteng di kota ambon
yang biasa disebut kota laha, menurut Rumphius, Rijali dan Valentijn.51)
Di tahun 1571 terjadi perang Alaka, sebuah perang antara Hatuhaha dan Portugis52),
tahun 1590 terjadi pembabtisan pertama di Negeri Hulaliu terhadap Patih Pikai
Laisina yang kemudian menjadi “raja” Hulaliu pertama.53)
Dari catatan-catatan sejarah ini, kita tak mengetahui secara pasti kapan
Portugis untuk pertama kalinya singgah di negeri Saparua. Kita hanya bisa
menduga-duga, mungkin di antara tahun 1520-1590, mereka menginjakkan kaki dan berinteraksi
dengan masyarakat negeri Saparua. Dugaan tahun ini diambil dengan perhitungan jarak pulau Ambon, saat Portugis mulai berkuasa di Ambon dengan gugusan Uliaser/Lease
yang dekat serta perbandingannya dengan catatan sejarah yang disampaikan di
atas.
Berdasarkan catatan-catatan sejarah itu, kita menguji klaim matarumah ini
secara jernih tanpa prasangka. Jika di antara tahun 1520-1590, untuk pertama
kalinya Portugis mendarat di negeri Saparua, berinteraksi dan akhirnya
“menetapkan/mengangkat” orang bermarga Titaley sebagai “Raja”, bagaimana dengan
informasi soal Raja Melyanus yang memerintah di tahun 1514 itu? Andaikan pula
secara “ekstrim” kita memajukan lagi hingga tahun 1514, setelah di tahun 1513,
portugis pertama kali tiba di ambon, tetaplah “bermasalah” karena di tahun itu,
telah ada raja Melyanus itu. Lagi pula dalam ulasan panjang lebar di bagian (c) di atas, kronologis raja Melyanus
ini “bermasalah” dengan seluruh aspeknya dan menimbulkan anakronik.
Satu-satunya yang bisa diterima dan “logis” dari kronologis sejarah adalah
Portugis tidak “mengangkat/menetapkan” sebuah jabatan raja. Seperti Belanda,
Portugis mungkin hanya memperkuat legitamasi jabatan raja yang telah ada dan
sudah menjadi hal umum.
Jadi
kesimpulannya adalah : klaim mata rumah Titaley yang mengatakan bahwa jabatan
Raja adalah karena diberikan oleh Penjajah (Portugis atau Belanda) : tak bisa
diterima!!!.
d. Ada yang “unik” dengan klaim seperti ini. Klaim ini
hampir sebagian besar ditemui di negeri-negeri lease saat proses pencalonan
Raja di masing-masing negeri. Yang menjadi pertanyaan kritisnya apakah terjadi
pola “copy paste” atau pola “pengulangan” dari cerita ini hingga sebagian besar
digunakan? Menurut seorang teman54), pola ini bisa terjadi mungkin
dikarenakan pada zaman itu sudah ada semacam “aliansi” di antara para
pemuka-pemuka negeri-negeri tetangga, sehingga kejadian yang mungkin pernah
terjadi di sebuah negeri kemudian dijadikan “referensi dan panduan” yang akan dilakukan
oleh negeri-negeri dalam aliansi tersebut jika mengalami hal yang sama. Namun
menurut penulis, mungkin kejadian semacam ini pernah terjadi, namun cerita
kejadian itu diambil, diadaptasi dan disusun ulang dengan dengan alasan dan
tujuan yang disesuaikan dengan sistim adat di masing-masing negeri.
Hipotesis atas 2 klaim Matarumah
Berdasarkan hasil analisa, membedah serta menguji kedua klaim ini dengan
menggunakan sumber-sumber sekunder, maka penulis mengajukan hipotesis yang
kompromistis :
1. Terhadap klaim matarumah Simatauw yang lemah dan tak
memiliki bukti valid, satu-satunya solusi yang bisa diambil, jika klaim ini
masih terus “dipaksakan” dan harus “diakomodir” adalah kita harus menggeser
mundur tahun kedatangan 4 kapitan besar itu di negeri Saparua. Jika ini tak
dilakukan, maka akan tetap mengalami masalah terus menerus saat berhadapan
dengan pertanyaan-pertanyan kritis di atas.
2. Jika solusinya adalah tahun yang harus dimundurkan,
maka kita harus memundurkan tahun kedatangan yang dicatat pada tahun 1463
menjadi paling kurang 100-150 tahun lebih awal. Maksudnya adalah 100-150
sebelum tahun 1463 yang kira-kira antara 1363 hingga 1313. Hal ini diperlukan
agar kita bisa “menempatkan” Raja Mayasang dalam generasi berapapun. Mengingat
rentang waktu yang panjang itu, dan berdasarkan pada sistim reproduksi manusia
serta perhitungan 1 generasi (25 dan 40 tahun) itu bisa dicapai. Dengan begitu,
kembali lagi kita bisa “menaruh” Raja Mayasang pada raja yang ke berapa dan
sisa waktu kemudian terjadi peralihan kekuasan kepada marga Titaley. Jika ini
dilakukan maka klaim matarumah Titaley juga bisa kuat dalam hal bukan karena
legitamasi dari penjajah, namun lebih kepada pola pergantian dan pewarisan
serta peralihan yang lebih bersifat “adat”. Apakah ini bisa dilakukan? Bisa
saja, dengan cara kita melakukan pengujian yang berbasis ilmiah. Salah satunya
dengan penyelidikan arkeologi serta pengujian karbon terhadap situs-situs
sejarah dimaksud. Kita “harus” berani melakukan itu, sehingga hasilnya bisa
dijadikan untuk merekonstruksi sejarah negeri ini.
3. Terhadap klaim matarumah Titaley, cerita yang disampaikan
adalah “legenda dan mitos”. Cerita ini kemungkinan besar disusun oleh generasi
berikutnya dengan 2 versi alasan dan tujuan :
a.
Cerita ini
disusun/dibuat oleh “pihak-pihak” yang merasa “kalah” yang menganggap merekalah
yang seharusnya berhak memperoleh jabatan itu, namun karena “ketidak
beruntungan” dan “ketakutan” tak berdasar akhirnya pihak lain yang mendapatkan
anugerah. Cerita ini juga kemungkinan disusun untuk memberikan pesan moral
kepada generasi berikutnya bahwa kehidupan seharusnya dijalani dengan
keberanian untuk mengambil resiko. Ketakutan tak akan menghasilkan apa-apa,
namun keberanian akan menghasilkan pengalaman yang bisa dijadikan bekal untuk
menjalani hidup selanjutnya.
b.
Cerita ini
mungkin disusun oleh “pihak pemenang” dengan tujuan untuk mendapat legitimasi
lebih kuat lagi. Sebuah pengakuan dari penjajah dianggap lebih “eksklusif” pada
zaman itu, sehingga pengakuan seperti ini “diperlukan” untuk “menghadapi
gugatan” pihak-pihak lain.
D.
PENYAJIAN DATA
( Di antara 2 klaim )
Meskipun kedua klaim ini “lemah” saat berhadapan dengan sumber-sumber
sekunder serta semua pertanyaan kritisnya, namun ada data-data serta bukti yang
perlu disajikan. Penyajian data ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
bukti-bukti itu “berbicara” dan bisa jadi “bukti permulaan” untuk “menetapkan”
siapa yang lebih berhak menjadi “Raja”.
1. Dari Mata Rumah Simatauw
1.1.
Sebuah buku
yang dikarang oleh Buang Josef Maelissa di tahun 1972. Dari buku ini klaim ini
bermula, karena dalam buku ada penjelasan tentang Adjelis dan Mayasang.
Diketahui juga, bahwa ternyata buang Josef Maelissa adalah “anak piara” dari
keluarga Simatauw, sehingga tentunya isi buku itu mengandung bias dan penuh
dengan “conflict interest”.
1.2.
Pengakuan
sepihak tentang Adjelis dan Mayasang tanpa didukung oleh silsilah keluarga yang
bisa ditemui. maksudnya tak ada silsilah keluarga yang tertinggal yang bisa
diverifikasi.
1.3.
Tak ada
silsilah raja yang berisikan hubungan antara Adjelis, Mayasang dan generasi
berikutnya.
2. Dari Mata Rumah Titaley
2.1. Silsilah keluarga besar Titaley. Silsilah ini
berisikan nama-nama generasi yang menjadi raja tanpa informasi detil tahun memerintah
(lihat gambar).
2.2. Lembaran
yang memuat Bendera-bendera atau panji-panji negeri yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Biasanya lembaran ini hanya diberikan kepada keluarga “yang
diakui” sebagai keturunan raja. (penulis mendapatkan lembaran ini juga dari
matarumah Kesaulija yang dipercaya sebagai matarumah parentah di negeri
Sirisori Serani). Dalam lembaran yang berbahasa belanda tersebut dituliskan dan
diterjemahkan kira-kira sebagai berikut : “berbagai bendera-bendera yang
digunakan oleh kerajaan-kerajaan dan negeri di Hindia Timur/Nusantara sejak
tahun 1600-1942, dan biasanya ditemui pada kantor-kantor pemerintah.” Dalam
lembaran itu, selain negeri Saparoea, ada Negeri Toehaha, Paperoe, Iha, Porto,
Haria, Siri sori Sarane, Siri sori Salam, Koelor, Nolloth, Wassoe, Oma, Ouw,
Haroekoe, Karioe,Oedjir, Key Doelah, Gebe, Celebes, Ternate, Tidore, dan
lain-lain. Lembaran bendera-bendera ini dibuat oleh Dirk Ruhl atas perintah
Kaisar Belanda Oranye van Nassau dan direproduksi ulang di Bandoeng tahun 1948.
2.3. Susunan Raja-raja Negeri Saparua berdasarkan
silsilah Keluarga besar Titaley dan beberapa sumber lainnya (penulis menyusun
ulang)
1. ............ Titaley (sebagian huruf telah terhapus,
sehingga sulit menentukan namanya)
2. Pieter Uoen Titaley
3. Melianus Jacob Titaley (4?)
4. Melkianus Titaley (3?)
5. Jacob Izaac Melianus Titaley (6?)
6. Paulus Titaley (5?)
7. Opa Buang Titaley
8. Lamberth Titaley/Nitalessy
9. Johan Roberth Titaley
10. Matheos Alveros Kesaulija (Assistant Besstur di Kantor
Contrelaur Saparua) 1925-1938
11. Lamberth Alberth Titaley 1938-1968
12. Anthoneta Benjamina Anakotta 1969-1996
13. E.W. Hengszt 1996-1997 (penjabat)
14. Jacob Titaley 1997-2006
15. Lamberth Leonard Titaley 2008-2013
16. Jacob Rikumahu 2013-2014 (Kaur Pemerintahan yang
merangkap)
17. Hanoch Ririhena 2014-hingga sekarang (penjabat)
3. Kesimpulan
Dari penyajian data-data di atas, maka mau tidak mau, kita harus menerima
bahwa marga Titaley dalam penyajian bukti “lebih kuat” dibanding marga
Simatauw. Meskipun secara klaim sangat lemah seperti telah diulas, namun bukti-bukti
yang masih tersisa tetap bisa dianggap sebagai bukti yang cukup. Jika terus
berdebat, maka tak akan bisa menemui kata sepakat karena tak ada bukti yang
resmi. Yang ada hanya bukti-bukti seperti ini. Berangkat dari itu, maka
“aturan, norma, kebiasaan” yang telah berlangsung lama lebih baik tetap diikuti
meskipun banyak kelemahannya. Bukankah norma yang tak tertulis yang telah
hidup lama juga merupakan norma yang diakui masyarakat???. Dari perspektif
inilah, maka kita harus berlapang dada menerima dan mengakui bahwa matarumah
Titaley berhak untuk itu. Matarumah Titaley telah mendapat legitimasi lewat
bukti-bukti ini dan menjadi kebiasaan dan norma yang berlaku. Mungkin sebaiknya
kita menghargai dan menghormati hal itu.
E.
RENUNGAN ( Buat
anak-anak negeri )
Saat menulis artikel ini, penulis terus menerus memikirkan kebesaran,
keberanian, perjuangan, serta perjalanan 4 kapitan besar itu hingga mencapai
negeri yang indah ini. Lebih dari 5 abad telah berlalu, lebih dari 500 tahun
saat pertama kali kaki kapitan-kapitan besar itu menyentuh pasir putih di bibir
pantai muka kota Negeri Saparua. Lebih dari 500 tahun, saat mereka mencium
tanah di pantai itu, menyembah dan mengucap syukur kepada penguasa tertinggi di
langit sana. Telah banyak waktu berlalu saat untuk pertama kalinya mereka
berdelapan memandang sebuah negeri asing yang dipenuhi batang-batang bintanggor
dan kanjoli dan burung-burung. Ada keresahan, kecemasan, kegelisahan
bahkan mungkin ketakutan yang menggigit dalam hati namun sebuah resiko
keberanian telah diambil.
Sebuah keberanian ketika “memutuskan” diri dari negeri asal yang nyaman dan
memasuki sebuah negeri yang “antah berantah”. 5 abad lebih telah pergi jauh,
saat mereka hidup sendiri, bergumul, bergulat, berjuang dalam kehidupan
sehari-hari yang keras. Kehidupan yang keras, kesedihan, kekecewaan,
kebahagiaan terus ada dalam helaan nafas mereka. Ada kekaguman yang penulis
rasakan, saat para bapa leluhur kita itu memutuskan untuk menerima orang lain.
Belajar hidup bertoleransi dengan kaum pendatang. Belajar menghargai hidup yang
beragam. Mungkin mereka telah berpikir jauh melampaui zamannya, mereka ingin
mewarisi sebuah negeri yang bukan negeri homogen. Mungkin saat mulai
membentuk negeri ini, para kapitan itu ingin mewariskan sebuah negeri kepada
anak cucunya, sebuah negeri yang tak tunggal. Sebuah negeri yang dipenuhi
banyak orang dari berbagai latar belakang perbedaan. Ada sebuah dialektika yang
berkembang dalam kehidupan mereka, bahwa sangat bernilai ketika negeri ini
sebaiknya dihuni, digulati, dibangun lewat cara pandang yang tak seragam.
Dan sejarah 5 abad lebih itu telah memberikan buktinya buat kita semua.
Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu adalah negeri heterogen, negeri yang dihuni
oleh banyak golongan, ada kaum tionghoa, jawa, bugis, buton, makassar,
tenggara, sumatera, arab, pulau haruku, dan negeri-negeri tetangga di pulau
saparua, serta banyak lagi yang pernah jadi bagian dari negeri ini. Mungkin
juga bukan sebuah kebetulan, saat para kapitan itu akhirnya memilih sebuah
negeri di “pusat” pulau saparua. Negeri yang berada ditengah-tengah dan
dikelilingi oleh negeri-negeri lain. Negeri yang pernah dijuluki sebagai kota
pelajar pada zamannya. Mungkin seperti itulah sebuah negeri yang ingin
diberikan kepada anak cucu mereka. Negeri yang “diizinkan” oleh mereka
untuk didatangi, dihuni oleh orang lain namun tetap memberikan “penghargaan dan
penghormatan” kepada anak cucu mereka. 5 abad lebih telah beranjak dari mereka.
500 tahun lebih mereka telah menghasilkan puluhan generasi hingga saat ini.
Tugas anak cuculah yang harus tetap menjaga, membangun negeri warisan ini.
Meski masih terseok-seok, namun hidup dan perjuangan tetap harus berjalan.
Saniri Negeri, sebuah representasi masyarakat adat, perlu memikirkan semua ini.
Salah satunya adalah persoalan yang diurai dalam tulisan ini. Saniri Negeri
harus dan sangat urgensi untuk menetapkan sebuah matarumah parentah yang
nantinya tak akan menimbulkan berbagai perdebatan. Hal ini bertujuan dengan
ketetapan seperti itu, semua pihak bisa menghormati dan menghargai serta
menjadi hukum tertinggi untuk dijalani selama negeri ini tetap ada.
F.
PENUTUP
Tulisan ini dibuat bukan untuk memecah belah. Tulisan ini juga tak memiliki
kepentingan apa-apa. Tulisan ini dibuat sebagai rasa cinta yang mendalam buat
negeri ini. Tulisan ini dibuat sebagai cara belajar kita berbeda pemahaman
namun tetap saling menghargai. Berpikir kritis, berbeda pendapat, tafsir, cara
pandang adalah hal penting dalam kehidupan. Penulis juga menyadari bahwa
tulisan ini tak sempurna dan mengandung berbagai macam intepretasi. Dalam
kerangka itu, penulis berlapang dada, menerima jika ada tulisan “antitesa”
menanggapi artikel ini. Dari situ kita bisa mendapatkan perpektif baru yang
terus tumbuh dan berkembang dalam bingkai yang jernih dan bermanfaat.
Semoga para
bapa leluhur kita, 4 kapitan besar itu tetap bangga memiliki anak cucu yang
mencintai negeri ini dalam suka dan duka… semoga!.
Referensi:
1.
I Samuel 9:17
2. Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
3. R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu : Sejarah sosial
di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 13
4. Peraturan Daerah Tkt II Kabupaten Maluku Tengah No 1
Tahun 2006 Tentang Negeri
5. Drs. J. Patty : Sistim Pemerintahan adat di Maluku
(sebuah makalah) yang disampaikan di hadapan para Latupati se-Maluku pada hari
senin tanggal 29 Oktober 2007
6. Ibid
7. UUD 1945 Hasil Amandemen IV pasal 18 b ayat 2
8. R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu : Sejarah sosial
di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 13
9. B.N. Marbun, SH : Kamus Politik Pustaka Sinar Harapan,
2003 bag abjad T hal 528
- H.
Sihombing dan K. Dwiyana : Buku Pintar Pengetahuan Umum, Pustaka Delaprtasa,
2000 hal 218
- M.D.J.
Al-Barry dan Sofyan Hadi AT : Kamus Ilmiah Kontemporer, Pustaka Setia, 2000 hal
301
10. Puji Astuti dkk : Hukum Tata Pemerintahan,
Penerbit Universitas terbuka, 2003
11. Darmanto dkk : Sistim Administrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Penerbit Universitas terbuka, 2007
12. David. F. Hinson : Sejarah Israel pada zaman
Alkitab, PT BPK Gunung Mulia, 2000 hal 8-9 (edisi terjemahan)
13. Penjelasan Bpk Jacob Huwae, beberapa tua-tua adat
dan beberapa orang bermarga Titaley
-
Blog Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
14. Penjelasan Bpk Jacob Huwae, beberapa tua-tua
adat dan beberapa orang bermarga Simatauw
- Sebuah
buku yang dikarang oleh Buang Josef Maelissa di tahun 1922
15. R.Z. Leirissa dan J.A. Pattikayhatu :
Sejarah sosial di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983 hal 11
16. Efendi
Ziwar : Hukum Adat Ambon Lease, PT Pradya Paramita,1987
17. Tulisan Ivan Titawanno : Sejarah adat di
Maluku yang diposting kembali oleh Alvin Talabessy Deswert di blognya
18. Blog
Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
- Fredrik. L. Anakotta :
Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
19. ibid
20. Cerita yang disampaikan oleh tua-tua adat
negeri Souhuku yang datang pada pelantikan Raja Negeri Saparua pada November
2008 . Cerita ini terus “dipelihara” dan diturunkan dari generasi ke generasi
dan dipercaya oleh mereka
- Cerita yang sama
disampaikan saat Masyarakat Negeri Saparua menghadiri pelantikan Raja Negeri
Soahuku pada Juni 2011
21. Blog
Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
-
Fredrik. L. Anakotta : Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi
S1), 1993
22.
Kejadian pasal 25: 9-10
23. David. F. Hinson : Sejarah Israel pada zaman
Alkitab, PT BPK Gunung Mulia, 2000 hal 30 (edisi terjemahan)
24. David. F. Hinson : Sejarah Israel pada zaman
Alkitab, PT BPK Gunung Mulia, 2000 hal 64 (edisi terjemahan)
25. Fredrik. L. Anakotta : Tinjauan tentang
Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
- Efendi Ziwar : Hukum Adat
Ambon Lease, PT Pradya Paramita,1987
- R.Z. Leirissa dan J.A.
Pattikayhatu : Sejarah sosial di Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1983 hal 13
26.
Analisa Bpk Jacob Huwae
27. Blog
Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
- Fredrik. L. Anakotta :
Tinjauan tentang Lelepelo di Negeri Saparua (Skripsi S1), 1993
28. Artikel tentang sejarah Maluku yang ditulis
oleh seorang blogger, diunduh pada tanggal 12 Februari 2015
- M.
C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal 40
– 41 (edisi terjemahan)
- Dr.
Th. van den End : Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK
Gunung Mulia, 1980 hal 65
- D.G.
E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 253
(edisi terjemahan)
32. Artikel tentang sejarah Maluku yang ditulis
oleh seorang blogger, diunduh pada tanggal 12 Februari 2015
33. Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 53
- D.G.
E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 249 -253
(edisi terjemahan)
34. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada University Press, 1991 hal 41 (edisi terjemahan)
35. Blog
Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu)
-
http://bagaswisnupratama7.blogspot.co.uk
36. Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah
Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 36
37. Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah
Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 41
38. Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 25
39. Pdt. Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT BPK Gunung Mulia, 2004 hal 26
40. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada University Press, 1991 hal 35 (edisi terjemahan)
41. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada University Press, 1991 hal 36 (edisi terjemahan)
42. D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara,
Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 212 (edisi terjemahan)
43. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada University Press, 1991 hal 36 (edisi terjemahan)
44. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada University Press, 1991 hal 35 (edisi terjemahan)
45. D.G. E. Hall : Sejarah Asia Tenggara,
Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 251 (edisi terjemahan)
46. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern,
Gadjah Mada University Press, 1991 hal 35 (edisi terjemahan)
- D.G.
E. Hall : Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 212
(edisi terjemahan)
- Pdt.
Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT
BPK Gunung Mulia, 2004 hal 24
48. Dr. Th. van den End : Ragi Carita Sejarah
Gereja di Indonesia 1500 – 1860, PT BPK Gunung Mulia, 1980 hal 30
- Pdt.
Dr. Jan. S. Aritonang : Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, PT
BPK Gunung Mulia, 2004 hal 26
49. Sebuah blog yang menulis tentang : Sejarah
terbentuknya Negeri Hulaliu di Pulau Haruku
52. Gusmon Sahureka saat menyalin buku berjudul
Sejarah Perang Allaka yang ditulis oleh Bpk Max Aipassa, Bpk Hermanus
Louhenapessy, Bpk Frans Pattipeiluhu, Bpk Josias Sahusilawane, Bpk Sammy
Siahaya dan mempostingnya di sebuah blog
53.
Sebuah blog yang menulis tentang : Injil masuk di Hulaliu
54. Perbincangan dengan E.P. Aipassa, S.Pd yang
juga merupakan anak adat negeri Beinusa Amalatu/ Tuhaha tanggal 02 Februari
2015
Kritis paskali e.. baca jua tegang lai. Hehe.
BalasHapusIya sih Portugis seng mungkin angka raja.. kebiasaan angka nih biasa sih Belanda. Tapi kalau lia periode abad 16 untuk Negeri Saparua kan Belanda balom muncul.. Portugis su ada. Cuma Portugis su ada lai memang su ada kekuasaan disitu seperti halnya di negeri lain di Maluku. Maluku Utara dengan Gelar Sultan jua itu belakangan setelah sultan ke berapa tuh yang memeluk Islam baru start pake gelar Sultan. Sebelum Islam masuk di Maluku Utara, sebutan "raja" bagi pemimpin mereka adalah 'Kolano'. Nanti pada masa Zainal Abidin baru gelar kolano diganti menjadi Sultan (Zainal Abidin merupakan penguasa Ternate pertama yang memakai gelar Sultan). Jadi "kemungkinan" Negeri Saparua dipimpin oleh seorang 'Latu' yang nanti gelar ini "bergeser" menjadi sebutan "raja" pas penjajah datang.
Jadi kesimpulannya menurut beta klaim mata rumah Titaley yang mengatakan bahwa jabatan Raja adalah karena diberikan oleh Penjajah (Portugis atau Belanda) memang tak bisa diterima. Kalau sekedar kas dukungan tambahan pasti boleh dan biasa Portugis memang bagitu tuh.. dia kasih keris lah helm/capacete lah, tombak lah dll.
Mantap Bos....Senang Bisa Mengetahui Banyak Hal Tentang Negri Saparua...Beta Titaley Bos dari Abubu Nusalaut, Namun Sering pulang ke Saparua kota tinggal di rumah Keluarga Herman ( Theis Herman )...Mungkin Bos Bisa paparkan sejarah mengenai Beta pung marga?karna Katong Titaley ada di Saparua, ouw, hulaliu deng Nusalaut...namun Beta sandiri yakin kalo berasal dari moyang yg sama yg kaluar dari seram bos...namun akan sangat menguatkan kalo bos bisa menyajikan sejarah sesuai dengan bos pung cara memaparkan ini, akang bagus karna ada banyak bukti dan sumber yang kuat deng jelas...mohon bantuannya bos biar Beta sebagai keturunan Titaley jua bisa tau identitas bos๐๐๐๐๐Hormate Kapitan๐๐๐
BalasHapus