ASAL MULA TERJADINYA HUBUNGAN SALING MEMBANTU NEGERI TOEHAHA (BEINUSA AMALATU) DAN NEGERI SAPAROEA (PISARANA HATUSIRI AMALATU) DALAM PROSES RENOVASI RUMAH ADAT (TUTU BAILEU)
(Catatan dalam versi Negeri Saparoea)
Pengantar
Artikel ini ditulis sebagai upaya untuk “melestarikan”
adat/kebiasaan yang berusia tua. Upaya pelestarian ini dilakukan untuk melawan
lupa. Benak manusia sangatlah terbatas, dan selama ini hanyalah “mengandalkan”
ingatan dan tradisi oral (tutur). Tak ada yang salah dengan perspektif itu,
namun hal itu tidaklah cukup. Perlu ada usaha pendokumentasian. Dalam
kontemplasi cara berpikir itulah maka tulisan ini dibuat. Lagipula, selama ini
kebiasaan “membantu” yang dilakukan oleh Negeri Toehaha (Beinusa Amalatu), dalam prosesi renovasi Baileu (tutu baileu) Negeri Saparoea (Pisarana
Hatusiri Amalatu), terus dipelihara oleh kedua negeri, meskipun generasi
sekarang “tidak semua” tahu sejarah asal mulanya. Memang ada beberapa generasi
tua yang tahu. Namun seperti yang disebutkan di atas, generasi tua, terus
mengandalkan ingatan dan tradisi bertutur. Upaya pendokumentasian dan
pengarsipan dalam bentuk tulisan ini, sebagai cara mengantisipasi jika generasi
tua tak ada lagi. Jika itu terjadi, maka upaya ini bisa dijadikan “pegangan”
dan “referensi” bagi kami generasi sekarang. Tulisan ini juga dibuat sebagai
bentuk “apresiasi” dan penghormatan tulus kami, anak-anak negeri Pisarana
Hatusiri Amalatu kepada anak-anak negeri
Beinusa Amalatu. Tulisan sejarah ini adalah catatan-catatan serpihan yang
dikumpulkan dan “direkonstruksi” ulang. Tulisan ini juga adalah sebuah versi sejarah
dari negeri Pisarana Hatusiri Amalatu. Berpijak pada “kode etik” penulisan sejarah
yang berimbang, maka diharapkan ada “tanggapan” dan penulisan sejarah dari
versi negeri Beinusa Amalatu tentang narasi ini. Dengan begitu, maka dapat dicapai sebuah
sejarah yang berimbang, dan saling melengkapi.
Selintas tentang Negeri Saparoea, Toehaha dan Sirisori Amalatu
Negeri Saparoea (Pisarana
Hatusiri Amalatu), adalah salah satu negeri dari 17 negeri/desa dan 1 dusun
yang ada di Pulau Saparua. Ke-17 negeri/desa dan 1 dusun itu menjadi sebuah
kecamatan Saparua yang beribukota di Saparua (petuanan negeri saparoea). Pulau/Kecamatan
Saparua ini berbentuk seperti huruf H jika dilihat dari udara dan memiliki 4
jazirah (4 kaki mengikuti kontur huruf H) yaitu Jazirah Haria – Porto – Pia – Kulur, Jazirah Booi – Paperu, Jazirah Hatawano dan Jazirah Tenggara (di zaman Belanda
namanya honimoa1).
Ke-4 jazirah itu memiliki negeri-negeri di dalamnya yang bisa diperinci
sebagai berikut :
2. Jazirah Booi – Paperu memiliki 2 negeri yaitu : Booi dan Paperu.
3. Jazirah Hatawano memiliki 6 negeri yaitu : Tuhaha, Mahu, Ihamahu, Iha, Nolloth dan Itawaka.
4. Jazirah Tenggara memiliki 4 negeri yaitu : Sirisori Serani, Sirisori Islam, Ullath dan Ouw.
Sedangkan negeri Saparua dan negeri Tiouw
terletak di titik tengah/pusat (sentral) dari pulau saparua, yang juga merupakan
titik sentral perlintasan antar negeri-negeri tersebut. Pada awalnya kecamatan saparua hanya
memiliki 16 desa dan 1 dusun, karena Desa Mahu berupa dusun. Dusun Mahu merupakan
bagian wilayah dari Negeri Paperu sedangkan Dusun Pia merupakan bagian wilayah Negeri
Sirisori Amalatu.
Namun sekarang Dusun Mahu telah dimekarkan dan memiliki pemerintahan
administratif sendiri, meski dalam urusan adat masih di bawah Negeri/Desa Paperu.
Sedangkan dusun Pia sampai sekarang masih tetap merupakan bagian wilayah Negeri
Sirisori Amalatu.
Secara geografis Negeri Saparua
memiliki batas negeri sebagi berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Negeri Tuhaha dan Dusun Pia
Sebelah Timur berbatasan dengan Negeri Sirisori Amalatu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut (teluk saparua) ---- > (lihat peta)
Sejarah Asal Mula (versi negeri saparoea)
Sejarah ini bermula di sekitar tahun 1940an, dari sumber-sumber yang
didapatkan, tidak mengetahui pasti tahun berapa kejadian ini terjadi. Namun
penentuan tahun 1940an itu, didasarkan pada tahun pemerintahan Raja Saparua
Lamberth Alberth Titaley (1938-1968) yang merupakan “aktor” penting dalam kasus
ini. Di tahun itu, Negeri Tuhaha dan Sirisori Amalatu terlibat konflik soal
perbatasan (batas wilayah) mereka. Sebenarnya, konflik batas wilayah ini bukan
persoalan tentang “tanah negeri” dari kedua negeri, namun lebih kepada tanah
pribadi, yang “kebetulan” dihuni oleh keluarga dari kedua negeri, yang “kebetulan”
juga berdiam di kedua batas wilayah dua negeri ini. Batas wilayah konflik dimaksud
adalah batas wilayah yang dulunya disebut kampung (kampong) THIA, sekarang
lebih dikenal sebagai daerah sekitar WANNO. Di Kampung Thia itu berdiam
keluarga yang juga adalah masyarakat dari kedua negeri itu. Di sisi sebelah
berdiam “Keluarga Siahaya” yang adalah warga masyarakat Tuhaha, sedang sisi
yang lain berdiam “Keluarga Sapulette” dan beberapa keluarga lain yang merupakan
warga Sirisori Amalatu. Kedua batas wilayah ini sangat “panas” atau “hot zone”
yang sering menimbulkan konflik. Karena menyangkut batas wilayah kedua negeri,
konflik ini merembet pada konflik dua negeri yang berlarut-larut. Tak ada yang
mau mengalah. Masing-masing mempertahankan klaim masing-masing. Negeri Sirisori Amalatu mengklaim
tanah yang didiami keluarga Siahaya adalah milik petuanan (wilayah) mereka.
Negeri Tuhaha bersikeras menganggap tanah yang didiami keluarga Siahaya adalah wilayah
petuanan mereka. Konflik yang berlarut-larut itu kemudian dibawa ke Pengadilan Saparua (landraad op saparoea) untuk diselesaikan. Gedung Landraad Saparoea di
masa itu berlokasi di samping Rumah Dinas Contrelaur Saparua (sekarang rumah
camat). Lokasi bekas gedung landraad saparua, sekitar 10 - 20 tahun lalu dijadikan
Gedung Gereja GKPI Saparua, namun sekarang telah hancur.
Dalam proses persidangan konflik batas wilayah itulah, Raja Saparua
di masa itu, Lamberth Alberth Titaley (1938-1968) tampil sebagai aktor penting
dalam penyelesaian masalah ini. Raja Saparua dijadikan “saksi kunci” oleh
Pemerintah Negeri Tuhaha untuk bersaksi. Negeri Saparua dijadikan saksi kunci,
karena kedua negeri tersebut berbatasan langsung dengan Negeri Saparua. Dari
kesaksian penting Raja Saparua inilah, masalah ini diselesaikan dimana dalam
“amar putusannya” tanah yang didiami oleh keluarga Siahaya benar-benar
merupakan wilayah petuanan Negeri Tuhaha.
Atas kesaksian ini dan sebagai tanda hormat serta ucapan terima
kasih, Raja Tuhaha, Raja Tanalepy Tua (ayah dari alm Raja Tuhaha Inyo Tanalepy)
berjanji dan mengangkat sumpah :
“.....SEBAGAI UCAPAN TERIMA KASIH, MAKA NEGERI TOEHAHA AKAN MEMBANTU
PEKERJAAN NEGERI DARI NEGERI SAPAROEA.....”
Janji/Sumpah ini disampaikan kepada Raja Saparua, Lamberth Alberth
Titaley bersama perangkat Negeri Saparua dan perangkat Negeri (saniri) Tuhaha. Perlu dijelaskan pula, di masa itu yang disebut sebagai
pekerjaan/kerja negeri hanyalah 3, yaitu pembangunan sekolah, pembangunan gereja
dan renovasi rumah adat (baileu). Dikarenakan di zaman itu, di Negeri Saparua telah didirikan
sekolah-sekolah oleh pemerintah belanda maka pekerjaan negeri hanya 2 seperti
dijelaskan di atas. Maka sejak saat itu hingga sekarang, tepatnya yang terakhir di Oktober
tahun 2008, Negeri Beinusa Amalatu (Tuhaha) selalu membantu dalam prosesi
renovasi rumah adat (baileu) Negeri Pisarana Hatusiri Amalatu (Saparua). Selain baileu, Negeri Beinusa Amalatu juga turut membantu dalam pembangunan
gereja di Negeri Saparua. Bantuan pembangunan gereja di saparua ini yang nantinya
akan menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Hok Im Thong (Bethlehem) di Negeri Saparua. Di tahun 1985, Gereja Hok Im Thong ini
dipermanenkan (dibetonisasi) dan diambil alih oleh pihak jemaat (gereja) sehingga
pekerjaan negeri hanyalah cuma pada renovasi rumah adat hingga sekarang. Tentang cara prosesi renovasi dan bentuk bantuan, tak perlu lagi diurai
disini. Semuanya bisa dilihat pada artikel tentang prosesi renovasi baileu negeri saparua yang juga ada dalam artikel di
blog ini.
Catatan Tambahan
Serpihan-serpihan data sejarah asal mula seperti diurai di atas,
disampaikan kepada penulis oleh Bpk Jacob Huwae berdasarkan, ingatan pengalaman
di tahun 1960 atau 1961. Ingatan pengalaman inilah yang diungkapkan kembali, saat
perencanaan renovasi rumah adat (baileu negeri saparua) yang nantinya dilaksanakan pada bulan Oktober
tahun 2008 yang lalu. Pengungkapan kembali asal mula sejarah ini dikarenakan
pada waktu itu beberapa pemangku adat “telah lupa” tentang “keterlibatan”
negeri Beinusa Amalatu dalam prosesi renovasi rumah adat. Hal ini perlu dimaklumi
karena generasi tua telah banyak yang meninggal dunia dan rentang “renovasi” baileu yang sangat lama
(1985 ----> 2008 = 23 tahun) sehingga generasi yang ada “lupa” tentang hal itu.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa data sejarah asal mula seperti
diurai di atas, didasarkan pada ingatan pengalaman beliau, tentang peristiwa
“pendirian/pembangunan kembali” rumah adat/baileu negeri saparua di tahun 1960/1961. Apakah kejadian
pastinya di tahun 1960 atau 1961 tepatnya beliau tidak bisa lagi memastikan
karena rentang waktu yang sangat lama yaitu 54 - 55 tahun yang lalu. Di tahun 1960/1961, Negeri Saparua di masa pemerintahan Raja
Lamberth Alberth Titaley (1938-1968) “memutuskan” membongkar/mengganti total
rumah adat yang lama dengan bahan-bahan yang baru sehingga bisa disebut sebagai
“pembangunan baru/kembali”. Dalam prosesi pembangunan baileu ini terjadi hal mistis yang berujung pada
kematian. Tentang hal mistis dan duka ini, tak perlu diceritakan karena pertimbangan
“etis” dan asal musababnya adalah hal “sensitif” untuk disampaikan.
Di tahun 1960/1961 itu, Bpk Jacob Huwae berusia sekitar 10-11 tahun.
tentunya dalam usia anak-anak itu, prosesi pembangunan itu merupakan acara yang
“ramai” di masa itu dalam pandangan anak-anak. Lagipula jiwa anak-anak ingin “terlibat”
dalam segala hal dalam acara itu. “Terlibat” yang dimaksud adalah baik menonton
acara, maupun ikut membantu meski bantuan yang diberikan, adalah hal remeh temeh (kecil) sebagaimana
layaknya anak-anak. Salah satunya adalah turut “membantu” membawa/mengangkat atap-atap dari rumah raja ke areal pembangunan
baileu. Atap-atap
yang dibawa dari rumah raja adalah atap-atap sumbangan dari negeri Beinusa
Amalatu. Selayaknya anak-anak maka “kerja kecil” ini disampaikan ke ibunya Henderika
Anakotta/Huwae dengan “semangat” saat kembali ke rumah. Informasi tentang
asal atap-atap yang dibawanya pun disampaikan. Saat itulah sang ibu kemudian
menceritakan tentang sejarah asal mula kenapa negeri Beinusa Amalatu bisa
membantu negeri Saparua dalam hal renovasi rumah adat. Informasi dari sang ibu
ini didengar langsung dari ibunya pula (sang nenek dari Jacob Huwae) yaitu
Mitji Matulessy/Anakotta. Sang nenek adalah anak adat negeri Tuhaha dan
memiliki hubungan keluarga dengan Raja Tuhaha Raja Tanalepy Tua.
Catatan lain
Ini merupakan catatan-catatan dimana sejak tahun 1940an hingga
sekarang di tahun 2015, diketahui “hanya” baru 4x prosesi renovasi rumah adat
(baileu) negeri Pisarana Hatusiri
Amalatu. Rumah adat (baileu) negeri Pisarana Hatusiri Amalatu diketahui didirikan pada tahun
1514 di masa pemerintahan Raja Melyanus Titaley. Sejak tahun itu (1514) hingga
tahun 1940an itu, saat negeri Beinusa Amalatu mulai turut terlibat dalam prosesi
renovasi, pastilah ada prosesi-prosesi renovasi rumah adat. Namun berapa kali
dan tahun-tahun berapa dilakukan, tak diketahui karena tak ada arsip yang
tersedia. Bahkan dari tahun 1940an itu hingga di tahun 1960/1961, tak diingat
lagi, apakah dalam rentang itu, pernah ada prosesi renovasi ataukah tidak. Jadi
yang masih bisa diketahui oleh generasi yang ada sekarang, “hanyalah” 4x
terhitung sejak tahun 1960/1961.
[1]. Prosesi Pembangunan Baileu (renovasi total) di
tahun 1960/1961
Raja : Lambert Alberth Titaley (1938-1968) (alm)
Kapitan : Dominggus (Ago) Anakotta (alm)
Malessy : Amos
Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin : Ny. Ester Ririnama/Pattiasina (mami Booi) (alm)
Soa Anakotta : (a) Josephina Anakotta (alm) (b)
Salomina Anakotta
Soa Ririnama : (a) Dientje Ririnama (b) Yohana Ririnama
Soa Titaley : (a) Sofia Titaley (popy) (alm) (b)
Nety Titaley
Soa Simatauw : (a) Fransina Simatauw (sien) (alm) (b) Anna Simatauw
[2]. Prosesi renovasi Baileu (tutu baileu/ganti atap) di tahun
1972
Raja :
Anthoneta Benjamina Anakotta (1969-1996)
(alm)
Kapitan : Izack (cak) Anakotta (alm)
Malessy : Amos Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin : Ny. Ester Ririnama/Pattiasina (mami Booi)
Soa Anakotta : (a) Lina Anakotta (b) Marjorie Anakotta
Soa Ririnama : (a) Elsina Ririnama (b)
Rikha Ririnama
Soa Titaley : (a) Mery Titaley (b)
Heidy Titaley
Soa Simatauw : (a) Yos Simatauw (b)
Hanna Simatauw (natje)
[3]. Prosesi Renovasi Baileu (tutu baileu/ganti atap) di tahun
1985
Raja :
Anthoneta Benjamina Anakotta (1969-1996)
(alm)
Kapitan : Izack (cak) Anakotta (alm)
Malessy : Amos Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin : Ny. Ester Ririnama / Pattiasina (mami Booi)
Soa Anakotta : (a) Martha Anakotta (b)
Elna Anakotta
Soa Ririnama : (a) Elsina Ririnama (b)
Yetty Ririnama
Soa Titaley : (a) Christina (ince) Titaley (b) Kosye Titaley
Soa Simatauw : (a) Sherly Simatauw (b)
Maria Simatauw
Pemangku adat :
Benjamin Anakotta, Henning Anakotta, Elisa “Pai” Anakotta
Pieter Simatauw
Polly Titaley
[4]. Prosesi Renovasi Baileu (tutu baileu/ganti atap dan papan)
di tahun 2008 (bulan oktober)
Raja : Jacob (jopie) Titaley (1997-2008) (alm)
Kapitan : Dedy Anakotta
Malessy : Amos
Obaja Ririnama (alm)
Pasukan Penari :
Pemimpin : Ny. Elsina. Ririnama, S.Pd
Soa Anakotta : (a) Angel Leony Anakotta (b)
Consepta Anakotta
Soa Ririnama : (a) Yetty Ririnama (b)
Uyan Ririnama
Soa Titaley : (a) Diana Titaley (b) Feby Titaley
Soa Simatauw : (a) Melga Simatauw (b)
Marlen Simatauw
Dari catatan sekilas di atas terlihat
bahwa ada rentang waktu yang panjang dan “tak bakunya” batasan waktu dari satu
prosesi ke prosesi berikutnya. Dari yang
“pertama” ke yang “kedua” ada rentang waktu 11 - 12 tahun. Yang “kedua” ke yang
“ketiga” ada rentang waktu 13 tahun. Yang “ketiga” ke yang “keempat” ada
rentang waktu 23 tahun. Mengingat pengalaman dalam soal
rentang waktu yang panjang itu, pastilah tentunya ada masalah-masalah yang
dihadapi. Soal “tak terurusnya” rumah adat karena “seolah-olah” dibiarkan
terlalu lama, juga soal batasan ingatan manusia sebagai aktor penting dalam
prosesi renovasi rumah adat. Dengan rentang waktu yang panjang itu, mengakibatkan
ingatan manusia memudar, bahkan lupa terhadap “standar operasional” (SOP) dalam
prosesi renovasi, bahkan sejarah yang melingkupinya. Apalagi jika hal ini tak
diantisipasi dengan pendokumentasian dan pengarsipan secara baik.
Berpijak dari hal tersebut, kiranya
Saniri Negeri Saparua sebagai representasi kekuasaan tertinggi masyarakat adat,
bisa melihat hal ini dan perlu memikirkan lebih lanjut. Perlu dipikirkan tentang batasan
waktu prosesi renovasi rumah adat dari prosesi yang terakhir ke prosesi berikutnya.
Mungkin batas waktu yang bisa ditetapkan, adalah 5 - 6 tahun dengan melihat
kondisi keseluruhan layak tidaknya bangunan rumah adat. Jika ini dilakukan,
maka perlu ada penetapan “agenda 5 - 6 tahunan” tentang prosesi renovasi rumah adat
yang harus dilakukan setiap 5 - 6 tahun, dan itu harus dilakukan, tidak boleh tidak!. Dengan begitu, maka prosesi renovasi itu akan menjadi “kebiasaan” dan
terus dipertahankan serta dilestarikan di dalam masyarakat negeri Pisarana
Hatusiri Amalatu.
Penutup
Manusia adalah makhluk sosial dimana manusia tak bisa hidup sendiri
dan memerlukan bantuan orang lain dalam kehidupannya. Masyarakat komunal yang
di dalamnya terdiri dari manusia tak terlepas dari urusan bantu
membantu tersebut. Cerita sejarah di atas merupakan bukti dari kehidupan sosial yang
saling membantu. Kedua negeri, Pisarana Hatusiri Amalatu dan Beinusa Amalatu
telah membantu sejak di tahun 1940an itu. Jika dihitung “Aliansi” ini telah
berumur 75 tahun. Suatu waktu yang tua dan panjang. Sejarah tidak hanya narasi
tentang, tanggal, bulan dan tahun dalam babakan waktu, tapi juga cerita tentang
kehidupan masyarakat di dalamnya. Persekutuan 2 negeri dan 2 budaya yang seharusnya tetap
diingat, dipelihara dan dilestarikan sepanjang hidup. Apa yang telah “ditanamkan”
dan “diwariskan” oleh para leluhur kita, seharusnya tetap dilanjutkan dan tidak
dihilangkan demi alasan apapun juga!. Ada pesan moral dan pemikiran positif
dari tradisi “sederhana” ini. Saling membantu, menghargai, hidup bertoleransi,
saling menjaga, saling menghormati adalah sikap yang lebih bijak daripada
bertikai dan bermusuhan. Nilai-nilai “estetika” ini perlu terus ada sebagai
bagian dari kearifan lokal yang memperkaya khazanah kebudayaan nasional.
SEMOGA TRADISI INI TETAP ADA DAN TERUS DILESTARIKAN!
Sumber:
1. Sketsa peta (kaart der
Oeliasers) yang digambar oleh G.W.W.C. Baron van Houvell, Dordrecht 1875
2.
Informasi dari Bpk. Jacob Huwae
3.
Informasi dari Ny. Martha Marlen Anakotta/Hasan
4.
Informasi dari Ny. Elsina.
Ririnama, S.Pd
5.
Informasi dari Bpk. Fransiscus
Anakotta
6.
Informasi dari Nn. Isolla
Titaley, S.Pd. K
7.
Informasi dari Ny. Mega
Simatauw/Layan
8.
Informasi dari Ny. Maria (merry) Simatauw
9.
Informasi dari Bpk. Polly
Anakotta
10. Informasi dari Ferdy Lalala/Anakotta
11. Informasi dari Algiers Anakotta
Terima Kasih Fikri, sudah berkunjung dan memberikan atensi di blog negeri saparua. Mengenai arsip-arsip sejarah tertulis saparua, seperti yang dijelaskan sangat sulit mendapatkannya karena tidak tersedia. Artikel ini dan lainnya ditulis berdasarkan hasil wawancara langsung dengan tokoh-tokoh masyarakat tertua kemudian dicocokkan dengan sumber-sumber sekunder untuk menunjang keakuratannya. Jika ingin mendapat penjelasan lebih lanjut terkait arsip, bisa menghubungi pemerintah negeri setempat.
BalasHapussaya frans Wardy , saya pernah tinggal di tuhaha selama 3 tahun dari th 1982 s/d th 1985 dan waktu itu bapak raja tuhaha adalah bpk Frans Sahusilawane ,kalau tidak salah,
HapusSaya lupa gan nya putranya yossua ,sammi dan Onci ,apakah ini betul.
Betul om...anak dari alm bpk raja sahusilawane itu alm om sami, om Yos, dan om Onci
BalasHapus