Badgelegenheid/zwemmen op
Saparoea
Tempat Pemandian
Orang-orang Belanda di Negeri Saparua
(Oleh : Aldrijn Anakotta)
A. PENDAHULUAN
Mengutip
kata-kata Sejarahwan J.J. Rizal dalam artikelnya di Koran Tempo, 11 Desember
2011 yang dimuat ulang (reposting) pada blog komunitas bambu dengan judul
“Senja Kala Tuinstad Menteng” : Kalau ada yang bilang “a city
without old building is like people without remembrance,” berani
sumpah, itulah Jakarta! Ya seperti itulah juga riwayat
bangunan-bangunan tua di Saparua di masa sekarang! Sebuah kota bekas
pusat Keresidenan Saparoea, yang dulunya banyak terdapat peninggalan
bangunan-bangunan tua, tempat-tempat “sejarah” yang merupakan peninggalan dan
saksi bisu penjajahan, semakin lama semakin hilang!!!.
Benteng
Duurstede, Landraad (pengadilan) Saparua, SD Negeri 1 Saparua, SD Negeri 2
Saparua, SD Kristen Tiouw, Beesturstaad Contrelaur (Kantor Kontrolir/Camat),
Inggris Cementary (Kubur Inggris), Begraafplats op Saparua (Pekuburan
Saparua), dan beberapa yang lainnya adalah bukti peninggalan dan
saksi sejarah yang ada di negeri ini.
Tergugah
dengan tulisan sejarahwan J.J. Rizal di atas, serta “desakan’” dan usulan dari
adik tercinta, Ferdy. Lalala/Anakotta, artikel ini ditulis. Artikel ini
ditulis dengan tujuan sebagai pengingat akan kenangan kita semua. Kenangan
bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang telah hilang karena ketakpedulian.
Kenangan akan sesuatu yang pernah ada, pernah hidup bersama kita dan kenangan
akan situs sejarah. Juga sebagai “peringatan” kepada para pembesar di negeri
ini untuk “menghargai” sejarah bangsa ini. Kedepan kiranya “tuan-tuan pembesar”
bisa melestarikan semua itu, hingga generasi berikutnya bisa tahu dan belajar
sejarah kehidupan.
Tulisan
ini menceritakan tentang sebuah tempat pemandian di paruh pertama abad 20.
Tempat pemandian orang-orang Belanda (pembesar-pembesar + nonie nonie) di
Negeri Saparua. Tempat pemandian itu dikenal dengan nama SLUIS. Secara
etimologi, SLUIS berasal dari bahasa Belanda yang berarti PINTU AIR. Tradisi
pengucapan orang-orang Melayu Saparua, lama-kelamaan diucapkan sebagai SLOIS.
Daerah di kawasan ini, biasanya diketahui dan dikenal orang pada beberapa puluh
tahun lalu sebagai daerah slois. Bahkan hingga sekarangpun, jika ada orang yang
tinggal di kawasan itu, dan ditanya alamatnya, pasti akan dijawab alamatnya
adalah di SLOIS.
Tepatnya
SLUIS/SLOIS terletak di dalam petuanan negeri Saparua, di belakang Gereja
Advent Hari Ketujuh di Negeri Saparua atau di belakang bekas Kantor Agama
Kecamatan Saparua yang telah hancur semasa konflik kemanusian di tahun 1999.
Atau bisa dibilang kawasan ini di belakang rumah Keluarga Bpk. Simon Noya.
Kadang-kadang SLUIS/SLOIS juga disebut sebagai BAK PECAH/BAK PICA.
B. SEJARAH YANG PANJANG
Semuanya
bermula di tahun 1592, saat Jan Huygen van
Lincshoten seorang Belanda (dari haarlem), yang telah menghabiskan 4
tahun di Portugis dan 5 tahun di Goa (India), sebagai Sekretaris Archibisop
kembali pulang ke Belanda, dengan setumpuk pengetahuan berharga tentang
perdagangan dan pelayaran ke Samudera Hindia. Tahun 1595, ia
menerbitkan buku yang berjudul Reysgescrift van de navigatein der
Portugaloysers in Orienten. Setahun kemudian tahun 1596 bukunya yang lain
terbit dengan judul Itinerario near oost ofte Portugaels Indien
(Catatan Perjalanan ke Timur/Hindia Portugis). Dalam buku ini berisi
rincian-rincian pelayaran orang-orang Portugis ke Asia 1 abad sebelumnya yang
sengaja dirahasiakan kepada dunia luar.
Berdasarkan
kedua buku ini, serta bantuan Plancius dan Mercantor, ahli pembuat peta,
serta ahli navigasi laut, yaitu Lucas Janz Waghenaer. di tanggal 2
April 1595, Cornelis de Houtman bersama Pieter de Keyzer memimpin 4
armada menuju Nusantara. Berbekal 4 buah kapal dengan 249 awak kapal dan 64
pucuk meriam mereka berlayar. Pelayaran mereka dibiayai oleh sebuah sindikat
yang terkenal dengan nama Compagnie van verre. Ditangal 23 Juni 1596, armada
itu berlabuh di Pelabuhan Banten, pelabuhan lada yang terbesar di Jawa Barat.
Di kawasan itu mereka segera terlibat konflik dengan orang-orang Pribumi. De
Houtman kemudian meninggalkan Banten dan berlayar menuju ke timur
menyusuri pantai utara Jawa. Akhirnya di bulan agustus 1597, sisa-sisa
ekspedisi yang hanya 3 kapal dan 89 awak kapal itu kembali ke
Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah. Pada tahun 1598, tidak
kurang dari 5 ekspedisi, jumlah seluruhnya 22 kapal meninggalkan Belanda menuju
Hindia Timur. 13 Kapal melewati Tanjung Pengharapan, 9 kapal melewati Selat
Magelen. Armada besar ini dipimpin oleh Jacob van Neck, Van Warwick, dan Van
Heemskerck. Van Neck tiba di Banten setelah 6 bulan berlayar. Van Warwick dan
Van Hemskerck kemudian menuju ke Ambon, dan singgah di Pulau Banda. Van Warwick
terus menuju ke Ternate dan kembali pulang ke negerinya ditahun 1600. Saat
kembali keuntungan mereka 400%. Terjadi persaingan diantara perusahaan-perusahan
ekspedisi Belanda dimasa itu untuk berkuasa. Persaingan itu menyebabkan naiknya
harga rempah-rempah dan semakin kecilnya keuntungan yang diperoleh. Menyikapi
hal itu, ditahun 1598 atas prakarsa 2 tokoh Belanda, Pangeran Maurice van
Nassau dan Johan van Olden Barnevelt,
parlemen Belanda (statuen general) mengajukan usul agar perseroan / ekspedisi
yang saling bersaing itu, sebaiknya bergabung kedalam satu badan. Butuh 4 tahun
kemudian baru usul itu diwujudkan. Tahun 1601, berangkat lagi 14 ekspedisi yang
berbeda melakukan pelayaran. Di tahun 1600, Inggris mendirikan EIC (the East
Indian Compagnie) atau Maskapai Hindia Timur atas dasar oktroi yang
dikeluarkan oleh Ratu Elizabeth I. Belajar dari Inggris dan setelah melewati
perdebatan panas selama 4 tahun di Parlemen, atas dasar Octroi dari UU Kerajaan
Belanda tertanggal 20 Maret 1602, berdirilah VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie). VOC semula bernama de Generale Nederlandsche
Geortrovide Oost Indische Compagnie. Kepentingan yang saling bersaing dalam
VOC itu diwakili oleh sistim majelis (kaamer) untuk 6 wilayah di negeri
Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui
dan semuanya berjumlah 17 orang dan disebut Heeren XVII (tuan-tuan
tujuh belas).
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di 23 Februari 1605, Belanda dibawah
pimpinan Steven van der Haghen merebut benteng Portugis di Ambon, dan mengganti
namanya dengan “Victoria”. Tahun 1610, VOC menciptakan jabatan Gubernur
Jenderal. Pieter Both adalah orang pertama yang menduduki jabatan itu dan
bermarkas besar di kota Ambon. Gubernur Jenderal adalah utusan langsung Raja/Ratu Belanda di wilayah jajahan. Di bawah Gubernur Jenderal, ada jabatan
Gubernur setingkat provinsi, di bawah gubernur ada jabatan Residen setingkat
kabupaten/kotamadya. Residen dibantu oleh asistent residen. Dan asistent
resident dibantu oleh pengawas yang bergelar Contrelaur / kontrolir. Setelah 9
tahun sejak Pieter Both atau 3 Gubernur Jenderal, di tahun 1619, Gubernur
Jenderal Jan Pieterson Coen, memindahkan markas besarnya ke Batavia. Beberapa
puluh tahun kemudian, Belanda menjadi penguasa tunggal di seluruh wilayah
Nusantara. 71 tahun kemudian sejak Belanda merebut benteng Portugis di kota
Ambon, tepatnya 1676, Belanda mendirikan sebuah benteng di atas batu
karang/muka kota milik dati marga Titaley. Entah karena penjualan/kompensasi
lain, di atas batu karang ini, didirikan sebuah benteng yang bernama Duurstede.
Benteng ini didirikan oleh Gubernur Arnold de Vlamingh van Oudst
Hoorn kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Nicholaas Paul Schagen pada
tahun 1690 untuk memperkuat monopoli perdagangan rempah-rempah di
Kepulauan Lease pada masa itu. Benteng ini dinamai oleh Nicholas Paul Schagen
mengikuti nama kota kelahirannya yang artinya “kota mahal”. Di benteng inilah,
Residen van Saparoea berdiam dan berkantor. Salah satunya yang terkenal adalah
Residen Johanes Rudolf van den Berg bersama sang istri Johana Christhina
Umbgrove di tahun 1817 semasa perang Patimura. Di zaman itu Saparoea dikenal
dengan julukan "Saparoea is het neusje van de zalm" (Saparua
adalah hidung ikan zalem). Hidung ikan zalem adalah bagian yang paling enak.
Jadi Saparua merupakan bagian yang paling empuk, paling basah, paling enak
untuk menjadi kaya dengan cara pemerasan dan lain-lain tindakan yang tidak
halal. Karena alasan itulah mengapa penunjukan Van den Berg menjadi
Residen Saparoea didasarkan atas usulan Gubernur Jenderal Johanes Sieberg
(1801-1805) yang adalah pamannya (oom mertua) dari keluarga istrinya yang
merupakan keluarga besar Umbgrove dan Alting. Perlu ditambahkan juga, Willem Arnold.
Alting, yang menjadi Gubernur Jenderal VOC di tahun 1870-1897 adalah kakek
(opa) istrinya dari pihak ibu. Jadi Willem Arnold Alting adalah kakek mertua
dari Residen Johanes Rudolf van den Berg. Perlu dijelaskan lebih terinci
mengenai hubungan keluarga yang berbau nepotisme ini. Willem Arnold Alting
mempunyai 10 anak, 5 orang bertahan hingga dewasa dan semuanya adalah wanita.
Salah satu anaknya adalah Pieternella Gerhardina Alting yang kemudian
menikah untuk kedua kalinya dengan Gubernur jenderal Johanes Sieberg. Sedangkan
anaknya yang lain atau saudari perempuan Pieternella Gerhardina adalah
Constantia Cornelia Alting. Constantia Cornelia Alting nantinya menikah dengan
Johan Lubbert Umbgrove. Dari perkawinan ini, lahirlah Johana Christina Umbgrove
yang nantinya menikah dengan Residen Saparoea Johanes Rudolph Van Den Bergh.
Jadi bisa dikatakan Residen Van den Berg memiliki paman mertua dan kakek mertua
yang adalah bekas Gubernur jenderal VOC di Batavia.
Sejak
1690 hingga beberapa tahun kemudian, Belanda menjadi satu-satunya penguasa. Di
bulan oktober 1740, tanggal 9 oktober, atas konspirasi Gubernur Jenderal Adrian
van Valckenier (1737-1741) terjadi pembantaian besar-besar dan pengusiran orang
Tionghoa di Batavia. Sejarahwan M.C. Ricklefs menduga, karena peristiwa ini,
orang-orang Tionghoa mulai menyebar ke daerah timur nusantara. Beberapa tahun
kemudian di tahun 1780-1784, terjadi pergolakan politik di Eropa Barat. Inggris
turun ke arena pergolakan dan terjadi perang Inggris IV. Selama tahun –tahun ini
VOC di Indonesia semakin terpisah dari negeri Belanda. Pada bulan Desember
1794-Januari 1795, Perancis di bawah pimpinan Jenderal Pichegru menyerbu
Belanda dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis, yang
dinamai Republik Batavia di bawah perlindungan Perancis. Raja Belanda Willem V
melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan “transisi” di negeri
Orang. Willem V bersembunyi di kota kecil Kew dekat London. Di kota inilah,
Willem V mengeluarkan instruksi yang dikenal dengan “Warkat Kew” yang isinya
menyerahkan semua daerah jajahannya di Afrika dan Asia ke tangan Inggris agar
tak jatuh ke tangan Perancis. Berbekal dokumen itu, Inggris menduduki Padang
dan Malaka di tahun 1795 dan Ambon di tahun 1796. 17 Februari 1796 terjadi
pergantian kekuasaan di kota Ambon dari Belanda ke Inggris. Laksamana Pieter
Tarnier yang akhirnya menjadi Gubernur Inggris di kota Ambon menggantikan
gubernur Amboina, Alexander Cornabe asal Belanda. Tanggal 1 januari 1800,
secara resmi VOC dibubarkan karena bangkrut. Selama 6 tahun itu, Inggris
berkuasa di Indonesia termasuk di Saparua. Ditahun 1802, terjadi perjanjian
antara Inggris dan Belanda untuk mengembalikan semua daerah jajahan Belanda
yang dikenal dengan nama perjanjian amiens. Maret 1803, Maluku kembali ke kekuasan
Belanda. Di tahun itu juga mereka kembali berperang, dan Belanda meminta
bantuan Perancis yang sejak 1795 telah berada di kekuasan Perancis
untuk melawan Inggris. Perancis menang dalam perang eropa itu dan Napoleon
Bonaparte naik tahta. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang
semaikin besar, Napoleon menunjuk adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa
Belanda di tahun 1806. Di tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman William
Daendels ke Batavia untuk menjadi Gubernur Jenderal. Perlu ditambahkan soal
Daendels ini, ia adalah orang Belanda yang awalnya adalah seorang pengacara di
kota Hattum. Karena sokongan yang besar kepada Perancis, Maka Napoleon
menghadiahinya gelar Marshal/Marsekal. Ia tiba di Jawa pada tanggal 1 Januari
1808 setelah melewati perjalanan yang panjang melalui Lisbon dan Maroko.
Daendels mengambil kekuasaan dari tangan Gubernur Jenderal A.H.
Wiesel (1805-1816) tanggal 15 Januari 1808. Karena kekejamannya selama 3 tahun
pemerintahannya itu, orang-orang di Jawa menyebutnya “Mas Galak”. Sebutan ini
merupakan “plesetan” atau “cemoohan” terhadap gelar marshal/marsekalnya. Dia
juga dijuluki “Mas Guntur”. Di masa itu, di Ambon yang menjadi Gubernur
Amboina adalah orang yang bernama Cransen. Cransen kemudian
digantikan oleh Gubernur Ternate bernama Wieling. Karena bunuh diri di benteng
Victoria, Wieling kemudian digantikan oleh Gubernur Heukevlugt. Mei 1811,
Daendels di gantikan oleh Jan Willem Janssens. Sebelumnya pada agustus 1810,
Dewan Pengawas India Timur Inggris mengeluarkan perintah kepada Lord Minto,
Gubernur Jenderal Hindia yang bermarkas di Calcuta India agar “musuh” harus
didepak dari Jawa. Atas perintah tersebut, tanggal 4 agustus 1811, 60 kapal
Inggris menyerang Batavia, dan akhirnya Gubernur Janssens menandatangani Perjanjian
Tuntang (Kapitulasi Tuntang di tanggal 17 Desember 1811. Dengan kapitulasi ini,
kembali lagi Indonesia dijajah oleh Inggris. Thomas Stamford Raffles diangkat
menjadi Letnan Gubernur Jawa yang memerintah di Batavia dari tahun 1811-1816.
Catatan : di masa Inggris, tidak ada jabatan Gubernur Jenderal. Penunjukan
Raffles karena sejak tahun 1810, Lord Minto telah tertarik dengan pengetahuan
luas Raffles tentang nusantara. Melalui temannya Dr. Jhon Leyden yang juga
teman Lord Minto, Raffles diperkenalkan.
Di
bulan-bulan itu juga Gubernur Amboina Heukevlugt menyerahkan kekuasaan ke
Inggris. Mungkin di masa-masa inilah Thomas Matulessy, masuk dinas ketentaraan
Inggris dan mencapai pangkat Sersan Mayor saat Inggris mengakhiri kekuasaannya
di tahun 1816. 2 tahun sebelumnya muncul konvensi/perjanjian London tahun
1814 tanggal 13 Agustus, dimana Inggris berjanji akan mengembalikan nusantara
ke Belanda. Tahun 1815 tanggal 18 Juni terjadi perang Waterloo yang
mengakibatkan Napoleon Bonaparte kalah dan dibuang ke pulau Elba. Kekalahan
Napoleon ini berakibat juga pada Nusantara. Belanda kembali menjadi bangsa
merdeka, dan berdasarkan pada konvensi London itulah, Belanda meminta realisasi
dari Inggris. Agustus 1816, Raffles ditarik pulang oleh Lord Moire yang
telah menggantikan Lord Minto. Jabatan Raffles ini diganti oleh John Fendall.
Tanggal 19 Agustus terjadi peralihan kekuasaan. Inggris diwakili oleh John
Fendall sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Cornelis Theodorus Elout, Baron.
G.A.G.Ph. van der Capellen dan A.A. Buyskes. Setelah peralihan ini, Eloy dan
Buyskes kembali pulang,sedangkan Van der Capellen menjadi Gubernur Jenderal di
Batavia (1816-1826). Di Maluku khususnya di Ambon, perundingan pelaksanaan
konvensi/traktat London, menghasilkan persetujuan di tanggal 14 Maret 1817.
Baru tanggal 18 Maret 1817, armada Belanda berupa 5 Kapal yaitu Kapal perang
Maria Reygersbergen, dipimpin komandan Overste J. Groot ; Kapal Nassau dengan
komandan Sloterdijk ; Kapal Lversten dengan komandan Kapten Laut PM. Dietz dan
beberapa buah kapal pengangkut Swallow, Salambone dan Malabar tiba di Pantai
Honipopu dekat Benteng Victoria. Peralihan kekuasaan itu, baru ditandatangani
oleh komisaris Engelhard dan van Middlekoop tanggal 24 Maret 1817 di hadapan
Martin yang merupakan Gubernur Inggris di Amboina. Sebelumnya tanggal 20 Maret
telah di lantik Burfhgraaff sebagai residen di Hila dan keesokan harinya
sebagai residen Larike. Pada hari itu juga Johanes.Rudolf. van den Berg
dilantik sebagai residen Saparua. Tanggal 25 Maret berlangsung upacara serah
terima yang dilakukan di Batu Gajah, tempat Residen Inggris berkantor (sekarang
menjadi Mako Kodam XVI Pattimura). Di hari itu juga dilantik Van Middlekoop
sebagai Gubernur Amboina dan Uijtenbroek dilantik sebagai residen Haruku. Beberapa
hari kemudian, Berkhoff diangkat sebagai residen Banda dan Neijs sebagai
residen Ternate. Di akhir bulan Maret itu Van den Berg tiba di Saparua dengan
Kapal perang untuk acara serah terima dengan wakil Inggris di Benteng
Duurstede. Di Saparua, Residen Van den Berg dikenal dengan sebutan Tuan
“Fetor”. Dan Philip Latumahina adalah bekas juru tulisnya yang kemudian
digantikan oleh Scriba Ornek. Di masa pemerintahan Residen van den Berg yang
baru seumur jagung inilah, terjadi Perang Pattimura. Di masa perang Pattimura
ini, yang menjadi Gubernur Jenderal adalah Baron. G.A.G.Ph. van der Capellen
yang memerintah dari tahun 1816-1826. Setelah itu yang menggantikannya adalah
Gubernur Jenderal Du Bus Gisignies yang memerintah di tahun 1826-1829. Di tahun
1829 Johanes van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang
kelak akan disebut cultuurstelsel (sistim penanaman/sistim tanam paksa).
Januari 1830, van den Bosch tiba di Batavia dan menjadi Gubernur Jenderal yang
baru (1830-1833). Di masa inilah, berlaku sistim tanam paksa yang “legendaries”
dalam sejarah Indonesia. Sistim ini diusulkan karena kerajaan Belanda mengalami
defisit keuangan. Di nusantara, Belanda harus membiayai penumpasan akibat
perang diponegoro dan paderi, sedang di eropa, belanda terlibat dalam perang
Napoleon Bonaparte. Selama hampir 70 tahun, Indonesia benar-benar mengalami
penderitaan karena sistim tanam paksa ini.
Adalah
Baron van Hoevel, yang dulunya Presiden Batavia Society of arts and science
serta pendiri surat kabarTijdchrift van Nederlandsch Indie yang
menentang/memprotes sistim ini. Dia juga adalah anggota tweede kamer dari tahun
1849-1862. Di tahun 1860 Edward Douwes Dekker dengan nama samaran “Multatuli”
menulis novel Max Havelaar yang juga menentang sistim tanam paksa ini. Ada juga
Isaac Fransen van der Putte yang menjadi Menteri urusan koloni (1863-1866)
dalam kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Thoerbecke dari partai
liberal. Meski diprotes, sistim ini terus dilaksanakan.
Di
tahun 1880, Dr Abraham Kuyper yang nantinya di tahun 1901 menjadi Perdana
Menteri telah menerbitkan selebaran dengan judul Ons Program. Dimana ia
mendesak bahwa pemerintah Belanda harus menjalankan politik tanggung jawab
moral bagi kemakmuran orang-orang pribumi (Indonesia).
Tahun
1899, C.Th. van Deventer, seorang ahli hukum pernah tinggal di Indonesia selama
17 tahun (1880-1897) menerbitkan artikel yang berjudul “een eereschuld” (suatu
hutang kehormatan) di dalam majalah berkala Belanda de Gids. Ia
menyatakan bahwa Negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap
semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. hutang ini sebaiknya
dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan
rakyat Indonesia didalam kebijakan kolonial. Pada tahun 1901, Ratu Belanda
Willhelmina mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di
Indonesia/Jawa. 17 September 1901, Ratu menyampaikan pidato tahunan kerajaan
(troon rede) dihadapan parlemen. Dalam pidato itu, ia memperkenalkan Politik
Etis atau mencanangkan Nederlandsch zedelijke roeping (panggilan
etis Belanda) dan dengan demikian politik Etis/Etik secara resmi disahkan.
Pelaksanaan politik ini, didukung oleh situasi politik di negeri Belanda yang
ditandai oleh berkuasanya tokoh-tokoh Kristen. Di tahun itu, koalisi partai
Kristen Belanda dan kelompok kanan melibas Partai Liberal yang telah berkuasa
50 tahun. Dr. Abraham Kuyper jadi Perdana Menteri. Di tahun berikutnya, A.W.F.
Idenburg jadi Menteri Urusan Daerah jajahan, kemudian ditahun 1909-1916 jadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia . Mereka -mereka inilah, yang
membuat pelaksanaan politik etis jadi mudah dilakukan. Di tahun-tahun itu juga
mulai dilaksanakan politik etis itu di Indonesia. Ada 3 prinsip dalam politik
etik/etis tersebut yaitu : Educatie, Emigratie dan Irrigatie atau (Pendidikan,
Perpindahan penduduk dan Pengairan).
C. PEMBUATAN SLUIS/SLOIS
Pelaksanaan
politik etis terkhusus bagian pengairan atau irigasi, di Negeri Saparua tidak
diketahui secara lengkap. Hal ini disebabkan karena tak ada dokumen, arsip atau
catatan-catatan yang ditinggalkan di daerah ini. Mungkin juga telah
hilang, sengaja dihilangkan atau diselamatkan oleh orang-orang Belanda saat
pergantian kekuasaan kepada Jepang. Mungkin arsip-arsip itu masih ada di negeri
Belanda dan jadi arsip-arsip kerajaan. Yang ada hanyalah potongan-potongan
cerita, tempat yang masih diketahui dan dikenang. Salah satunya tentang
SLUIS/SLOIS ini.
Berhubung
karena keterbatasan data yang ada, maka agak sulit menyajikan pemaparan yang
mendetail tentang hal ini. Yang hanya bisa, adalah merangkai potongan-potongan
cerita tadi, serta dukungan berbagai literatur yang mungkin bisa berkaitan
dengan pokok bahasan ini.
Dari
penelusuran dan pengumpulan serta pembacaan berbagai literatur sekunder bisa
dijadikan gambaran awal atau “prakata” untuk masuk ke bahasan ini. Bahan-bahan
sekunder itu adalah laporan proses pelaksanaan kegiatan irigasi/pengairan di
Bandung, Surabaya, serta daerah daerah lain. Memang proses kegiatan
di tempat itu, tentulah tidak sama persis dengan yang terjadi di Maluku. namun
seperti dijelaskan sebelumnya, itu bisa jadi “kata pengantar” untuk masuk ke
masalah ini.
Seperti
yang digambarkan di Kota Bandung, terkhususnya di kawasan cibadak serta bandung
kota :
“Air yang
melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pipa besar ke
kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa
saluran berukuran besar yang melintang inilah yang yang kemudian
menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan tersebut, karena ledeng (leiding)
dalam bahasa Belanda memang berarti saluran. Sampai sekarang pipa-pipa ini
masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman
penduduk. Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri
dan kanan bawah adalah rekaman foto saat peresmian instalasi penyadap air
Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Bertus Coops, tahun 1921”.
“Seperti
sudah diketahui, Bandung ditetapkan sebagai Kotapraja pada tahun 1906 lewat
keputusan dari Gubernur Jendral J. B. van Heutz. Sejak itu Bandung menjadi
daerah otonomi yang berhak mengatur dan mengelola diri sendiri. Pembangunan
jalan-jalan raya, jembatan, saluran air limbah, sumur-sumur, jaringan
air bersih, sampai permakaman dilakukan dengan cepat melalui
tahapan-tahapan yang terencana dengan baik. Termasuk di sini pembukaan dan
pemeliharaan kuburan baru bagi warga Eropa (Kebon Jahe) dan Pribumi (Tamansari)
di dalam kota dan kuburan baru bagi warga Tionghoa di luar kota (Cikadut)”
Di
bawah ini gambaran yang terjadi di Kota Surabaya :
Tahun
1903 lahir undang-undang desentralisasi (Decentralisatie Wet 1903), yang
menjadi dasar pembentukan pemerintahan kota secara otonom (gemeente) di
berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun setelah lahir undang-undang itu
Kota Surabaya menjadi kota otonom yang memiliki pemerintahan sendiri.
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903
atau Decentralisatie Wet 1903, maka pada tanggal 1 April 1906
disahkan pemerintahan Kota Surabaya yang otonom yang bernama Gemeente Surabaya.
Berdirinya Gemeente Surabaya disahkan melalui Staatsblad
No. 149 Tahun 1906. Dalam staatsblad tersebut
dijelaskan bahwa dengan berdirinya Gemeente Surabaya maka
Surabaya ditetapkan sebagai kota otonom atau kota mandiri yang berkewajiban
mengelola dan mendanai sendiri kota tersebut. Lebih lanjut diterangkan bahwa
pemerintah pusat akan menyisihkan dana sebesar F 284.300 sebagai modal awal
yang akan digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan Gemeente Surabaya.
Sebagai konsekuensi atas pembentukan pemerintahan yang otonom, maka beberapa
kewajiban yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah pusat dalam rangka
mengelola Kota Surabaya, selanjutnya akan diserahkan kepada Gemeente Surabaya. Beberapa
kewajiban tersebut antara lain :
1. Perawatan,
pembetulan, pembaharuan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan,
pekarangan, taman dan tanaman-tanaman, parit, sumur, rambu-rambu jalan umum,
papan nama, jembatan, dinding dam, penguatan dinding selokan dan got,
pemandian umum, cuci dan kakus, pemotongan hewan, dan pasar.
2. Penyiraman
jalan raya, pengambilan sampah di sepanjang jalan, pengambilan sampah di
jalan-jalan kecil dan di lapangan.
3. Penerangan
jalan
4. Pemadam
kebakaran
5. Pembuatan
makam
Pada
periode 1916 ini mulai dilakukan penataan organisasi gemeente, dengan
melengkapi lembaga tersebut dengan beberapa dinas yang bersifat operasional.
Pada periode ini Gemeente Surabaya dilengkapi dengan empat dinas, yaitu :
1.
Bagian
Urusan Umum (Gemeente Secretarie)
2.
Bagian
Pekerjaan Umum (Gemeente Werken), yang meliputi pula Dinas
Pemadam Kebakaran (Brandweer)
3.
Bagian
Perusahaan-perusahaan (Gemeente Bedrijven), antara lain: perusahaan
air minum, pemotongan hewan (abattoir), dan pasar.
4.
Bagian
Urusan Kesehatan Umum.
Struktur
Organisasi Gemeente Surabaya tahun 1930
Bagian
|
Sub-bagian
|
Kelompok I
|
|
1.
Sekretariat Gemeente (Gemeente-Secretarie)
|
1.
Urusan Umum (Algemeen Zaken)
2. Pajak
dan Penduduk (Belasting
en Bevolking )
3. Bagian
Keuangan (Afdeling Financien)
4. Dinas
Pengawasan (Controledienst)
5. Pelayan
(Bedienden)
6. Kontrol
Keuangan (Financieele Controle)
|
1.
Kantor Pemungut Pajak (Ontvangerskantoor)
2.
Pusat Administrasi Perusahaan Kota (Centrale Bedrijfsadministratie)
3.
Kantor Pembelian dan Gudang (Inkoopkantoor en Magazijn)
|
|
Kelompok II
|
|
Pekerjaan Umum (Publieke Werken)
|
1.
Pekerjaan Gemeente (Gemeentewerken)
2. Pengawan
Rumah dan Bangunan (Bouw-
en Woningtoezicht)
3. Pendataan
Bangunan (Woningstelling)
4. Pemadam
Kebakaran (Brandweer)
|
Kelompok III
|
|
Perusahaan-perusahaan (Bedrijven)
|
1.
Administrasi Umum (Algemeen Beheer)
2.
Perusahaan Tanah dan Rumah (Grond- en Woningbedrijf)
3.
Pemerintahan Desa (Dessabestuur)
4.
Perusahaan Air Minum (Waterleiding)
5.
Tempat Kerja (Werkplaats)
6.
Dinas Kesehatan Hewan (Veterinair-Hygienische Dienst)
7.
Rumah Pemotongan Hewan (Slachthuis)
8.
Dinas Kebersihan, Penyiraman, dan
Pertamanan (Reinigings-Besproeing- en
Plantsoen Dienst)
9.
Urusan Makam (Begraafplaatsen)
10.
Perusahaan Pasar (Pasarbedrijf)
|
Dinas Khusus
|
|
Urusan Sosial (Sociale Aangelegenheden)
|
Statistiek dan Urusan Kemiskinan
(Statistiek en
Armenzorg
|
Dinas Lain
|
|
1.
Pendidikan (Onderwijs)
|
|
1.
Dinas Kesehatan (Gezondheiddienst)
2.
Pemeriksa Taksi (Taxikeuring)
3.
Biro Tenaga Kerja (Arbeidbureau)
4.
Urusan Musik (Muziek)
|
|
Sumber: Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaja over 1930, hlm. 46-69
Dari
beberapa gambaran di atas (perhatikan kata-kata yang digaris bawahi), kita
bisa mengetahui apa yang terjadi di awal-awal abad XX. Mungkin apa yang terjadi
di kota-kota itu, terjadi pelaksanaan irigasi mungkin lebih diprioritaskan pada
pembangunan saluran air, pembuangan limbah (riol), tempat pemandian dan
lain-lain.
Dari
beberapa cerita yang dikumpulkan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Di
tahun 1920an, orang-orang Belanda (Residen/contrelaur?) di negeri Saparua
mengetahui ada sebuah sumber air (mata air), di dati negeri Saparua. Sumber air
ini adalah mata air yang keluar dari bebatuan. Mata air ini tepatnya terletak
di tengah-tengah antara dusun tuha (dati Anakotta) dan dusun
milik dati Simatauw.
Di
tahun 1930an, mungkin tahun 1933, seorang Insinyur Belanda yang bernama Van
Naar mengeksplorasinya. Ia menggali mata air tersebut untuk mengecek debit air.
Ternyata debit air dari mata air tersebut sangat banyak atau melimpah. Karena
aliran airnya sangat deras, ia menutupnya, dan menggali di tempat lain yang
hanya beberapa meter dari mata air pertama. Di tempat yang baru inilah, van
Naar kemudian memasang pipa-pipa untuk mengalirkan air ke
dalam Kota Saparua. Di tempat itu juga dibangun semacam dam untuk
menutup atau menaungi sumber air itu. Kawasan sumber air itu, kemudian dikenal
hingga sekarang sebagai Water Leiding, atau dalam pengucapan orang
Negeri Saparua disebut Waterledeng. Dalam bahasa Belanda, water leiding
diartikan sebagai saluran air. Pipa-pipa yang dipasang itu mengalirkan air ke
beberapa bangunan publik, di antaranya Rumah Sakit (Ziekenhuis) Saparua, Rumah
Sakit Kusta Saparua (Leproseri), Beesturstaad Contrelaur (Rumah dinas camat),
Benteng Duurstede, dan pemukiman penduduk. Jarak dari kawasan ini ke dalam kota
sekitar 2 Km. Hingga sekarang masih ada bekas-bekas pipa yang dipasang itu
meski sudah berkarat dimakan zaman. Namun pekerjaan pemasangan
pipa-pipa ini tak bisa rampung seluruhnya, karena di tahun 1942
terjadi peralihan kekuasan dari Belanda ke Jepang. Menurut cerita, saat Jepang
menduduki Negeri Saparua, mereka membom kawasan waterleiding ini. Selain
membom, mereka juga menutup dam yang telah dibangun oleh van Naar dengan cara
memasukan batu-batu besar kedalam dam tersebut. Mungkin maksudnya adalah mereka
memutuskan pasokan air ke dalam kota. Penghancuran itu sering dilakukan oleh
pihak jepang jika kita melihat sejarah pendudukan jepang di berbagai kota di
tahun 1942. Selama pendudukan Jepang, kawasan ini tak terurus, hingga di masa
Orde Baru, Departemen Pekerjaan Umum, mengeksplorasi kembali kawasan ini. PU
melakukan apa yang telah dilakukan oleh van Naar. Melanjutkan pekerjaaan
tersebut. Hal ini bisa dilihat karena ada pipa-pipa yang saling tumpang tindih
serta berhimpitan dengan pipa-pipa yang sebelumnya dipasang oleh van Naar.
Kembali
ke pekerjaan van Naar, dam yang dibangun itu memiliki beberapa lubang untuk
mengalirkan air. Aliran air ini mengalir membentuk sungai kecil atau anak
sungai. Anak sungai ini mengalir hingga ke dalam kota dan berakhir di laut.
Aliran anak sungai ini melewati beberapa dati milik orang negeri dan juga
beberapa dusun masyarakat. Kira-kira 1 Km dari kawasan waterleiding ini, dibuat
semacam kanal setinggi leher orang dewasa. Kanal ini dibuat dengan memiliki 4
pintu air, yang mengalirkan air mengalir melewati tempat-tempat yang biasanya
dilewati hingga sampai ke laut. Kanal dengan 4 pintu air ini dinamakan
SLUIS/SLOIS.
Menurut
cerita juga, kanal ini biasanya digunakan oleh orang-orang belanda khususnya
para pembesar dan nonie-nonie belanda untuk mandi. Tak diketahui pasti pembesar
yang mana, tapi mungkin contrelaur atau residen saparua dan para pegawainya
serta noni-noni belanda. Biasanya saat mereka mau mandi/berenang/berendam, ke-4
pintu air itu ditutup dengan papan. Ini dimaksudkan agar, air di kanal itu
naik/meluap dan menyerupai seperti kolam renang. Saat itulah baru
pembesar-pembesar itu mandi. Jarak dari Benteng Duurstede dan Rumah Dinas
Contrelaur ke kawasan Slois ini berjarak kira-kira 1 Km atau 700-800 M dengan
arah sedikit menanjak. Tidak diketahui secara pasti kapan mereka
melakukan kegiatan itu. Namun diperkirakan acara mandi itu pada sore hari. Atau
bisa juga pagi atau siang sesuai keinginan para pembesar itu. Acara “rekreasi”
ini kemudian berhenti total saat Jepang menduduki Negeri Saparua di tahun 1942.
Jadi mungkin acara ini hanya berlangsung selama 9 tahun saja, atau mungkin
lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan, karena awal pembuatan kawasan
waterleiding di tahun 1933, itu hanya berdasarkan tuturan-tuturan orang yang
masih diingat. Menurut penulis mungkin saja acara mandi ini dilakukan lebih
awal dari tahun tersebut. Sejak tahun 1942 itu, kawasan mandi ini tak terurus
lagi. Jika kita belajar sejarah tentang pendudukan Jepang, banyak bangunan
warisan Belanda yang dihancurkan meski banyak juga yang tetap dibiarkan.
Contohnya Patung J.P. Coen bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, dan
pendiri kota Batavia itu didirikan di tahun 1869 dimasa pemerintahan Gubernur
Jenderal Pieter Mijer (1866-1872) bertepatan
dengan 250 tahun berdirinya Batavia. Patung ini digusur dan dihancurkan oleh
Jepang pada tanggal 7 Maret 1943, setelah berdiri selama 74 tahun. Yang
sederhana adalah soal nama-nama bangunan dalam bahasa belanda diganti dengan
bahasa jepang.
Mungkin
dengan pola pikir seperti inilah, kanal kawasan slois ini tak terurus hingga
lama kelamaan hancur. Dengan berakhirnya kekuasan belanda di tahun 1942 itu,
sebuah budaya “feodalisme” dalam acara mandi itu berakhir dan tinggal kenangan.
Tentunya
kita perlu bertanya lebih jauh siapa arsitek yang membangun kawasan waterleiding
dan kanal SLUIS itu? Siapa van Naar ini sesungguhnya? Sayangnya, tak ada
dokumen yang memberitahu kita lebih jauh. Namun ada sumber sekunder yang bisa
jadi gambaran tentang orang-orang seperti van Naar ini. Berikut ini ada
informasi, yang penulis dapatkan :
“D.
W. Hinse J. Hz adalah seorang arsitek yang mendapatkan tugas untuk menjadi
pimpinan pembangunan gedung Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta) di Semarang.
Seluruh rancang-bangun gedung ini memang dibuat di Amsterdam, Belanda,
sementara untuk pembangunannya perusahaan rancang-bangun ini hanya mengirimkan
para pengawas dan pemimpin pembangunan saja. Gedung yang selesai dibangun tahun
1907 ini sampai sekarang masih berdiri utuh di pusat kota Semarang dan terkenal
dengan julukan Lawang Sewu”
Ya
mungkin arstitek van Naar ini berasal dari gambaran seperti di atas.
Mungkin juga karena pelaksanaan politik etis ini, banyak arsitek Belanda yang
didatangkan langsung dari Belanda atau memang yang sudah lebih dulu menetap di
Indonesia (blijfers).
D. SENJA KALA SLUIS/SLOIS
Sebuah
era feodalisme yang pernah “berjaya” di zamannya berakhir dengan
tragis. Sebuah budaya para pembesar-pembesar Belanda itu berhenti dan tinggal
kenangan. Kita perlu “berterima kasih” kepada van Naar, yang telah ikut
melakukan “cetak biru” sejarah di Kota Saparua. Kanal SLUIS/SLOIS ini telah
hancur dan sekarang telah timbun untuk dijadikan rumah muhabeth kampung baru.
Yang ada hanyalah tinggal nama dan kenangan tentang budaya mandi serta
daerah di sekitar kawasan yang diberi nama SLUIS/SLOIS. Semoga pengalaman
ini menjadikan peringatan pada para pembesar di negeri ini untuk memperhatikan,
memelihara serta melestarikan situs-situs saksi sejarah yang ada.
Situs-situs
penting itu pernah ada dan menjadi jejak sejarah yang panjang di Kota Saparua.
Situs-situs itu juga jadi cermin dan karya peradaban manusia. Meski berbau
feodalisme dan warisan penjajah, namun sebagai bangsa yang besar, sebaiknya
kita tetap memelihara dan menjaganya. Kita perlu “belajar” dari banyak kota di
Eropa, yang tetap memelihara bangunan-bangunan tua dan kuno, meski tetap
berdampingan dengan bangunan-bangunan baru produk kapitalisme dewasa
ini. Mungkin SLUIS/SLOIS hanyalah retakan atau kepingan kecil. Namun
seperti kata-kata sastra dari surga: Bukankah saat kita setia pada
perkara-perkara kecil, maka kita juga akan setia pada perkara-perkara besar?
SEMOGA
KITA SELALU MENCINTAI WARISAN KOTA YANG PENUH SEJARAH PANJANG INI... SEMOGA!
Sumber:
1. Perbincangan
dengan Bpk Corneles Tomasoa, Bpk Jacob Huwae, Ibu Pelly Anakotta, serta
beberapa orang tua di Negeri Saparua
2.
M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
3.
D.G.
Hall, Sejarah Asia Tenggara
4.
Van
den End, Ragi Carita I dan II
5.
Dr.
J. Aritonang, Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia
6.
A.L.N.
Kramer Sr, Kamus Belanda – Indonesia
9.
Beberapa
blog lain yang menulis tentang soal irigasi di awal abad XX
10.
Beberapa
blog lain yang menulis tentang sejarah kedatangan Portugis, Spanyol, Belanda,
Inggris dan Jepang di Indonesia
11.
Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar