“Barangsiapa haus,
baiklah ia datang
kepada-Ku dan minum!.
Barangsiapa percaya
kepada-Ku,
seperti yang
dikatakan oleh Kitab Suci:
dari dalam
hatinya
akan mengalir
aliran-aliran air hidup”
(Yoh
7:37b – 38)1
A. PENDAHULUAN
Parigi Negeri Saparoea |
Tulisan ini dibuat untuk mengisahkan kembali keberadaan sumur negeri ini. Kisah tentang kehidupan sosial orang-orang Negeri Saparoea, dimana adat, mistis dan kehidupan sehari-hari terus bergulat dan bergumul. Catatan-catatan kecil yang perlu dikisahkan kembali kepada generasi sekarang, meski eksistensi Parigi Negeri tidak lagi menjadi perhatian utama kita dewasa ini. Ya, hal ini mungkin disebabkan karena tiap rumah telah memiliki sumur pribadi, hingga sumur “khusus” ini tak lagi memiliki makna penting. Bertolak dari hal itu, kisah ini perlu ada untuk mengingat kembali, atau sebagai bagian dari usaha pelestarian akan warisan para datuk-datuk, para leluhur, dan orang-orang yang telah “menanamkan” pesan moral dan nilai estetika dalam kehidupan buat generasi sekarang dan yang akan datang.
B. SELINTAS SEJARAH TENTANG PARIGI NEGERI
Parigi Negeri berlokasi di wilayah dalam Negeri Saparoea
yang biasa dikenal dengan nama TIANG BELAKANG. Dulunya wilayah ini disebut
SOA BARU3. Sekarang lebih
dikenal dengan nama tiang belakang. Parigi Negeri ini, kira-kira ±100 M
dari areal Baileo Negeri Saparoea. Ada yang menarik, kenapa kawasan di sekitar
ini disebut SOA BARU dan kemudian menjadi TIANG BELAKANG. Tak ada arsip/dokumen
atau catatan untuk menelusuri asal mula dan alasan dari pelabelan/pemakaian
nama buat kawasan ini. Namun dari beberapa cerita dan analisis, penulis menduga
kawasan ini disebut demikian karena mungkin kawasan ini adalah sebuah
“perkampungan” baru. Perkampungan baru yang diciptakan/dibuat belakangan untuk
“menampung” atau sebagai tempat hunian bagi para pendatang. Hal ini “terlihat”
masuk akal, karena kawasan ini bukanlah hunian orang-orang negeri asli saparoea
(4 soa/marga asli) serta keturunan mereka. penggunaan kata SOA juga adalah
penamaan yang bersifat “adat” karena Negeri Saparoea adalah negeri adat.
Soa sebagai bagian dari struktur adat dan entitas masyarakat adat yang menjadi dasar dalam pembentukan sebuah negeri/kampung4. Sedangkan penggunaan nama TIANG BELAKANG, tidaklah diketahui secara pasti, kapan nama ini mulai digunakan. Namun seperti SOA BARU, nama TIANG BELAKANG, pasti memiliki alasan filosofisnya. Menurut dugaan penulis, kata ini digunakan berkaitan dengan kata SOA BARU. Kata tiang belakang mengacu pada arsitektur rumah, dimana tiang-tiang rumah dalam proses pembangunan (orang bikin/kasi badiri rumah) adalah kegiatan terakhir, atau tiang yang didirikan belakangan/kemudian setelah tiang utama atau tiang depan/muka. Penggunaan kata ini dikaitkan dengan konsep Negeri Saparoea sebagai sebuah rumah besar bagi masyarakatnya. Karena kawasan ini diciptakan terakhir/belakangan maka “logis” disebut TIANG BELAKANG atau kawasan/paling belakang. Saat memikirkan hal ini secara mendalam, tak bisa dibantah, penulis merasa kagum pada para leluhur atas kearifan dan kejeniusan mereka. mereka tak menggunakan istilah yang rumit untuk menamai sesuatu. Mereka mungkin “menyukai” menggunakan hal-hal sederhana dan “bahasa hari-hari” untuk melabelkan semua itu. Mungkin dengan istilah sederhana itulah yang digunakan agar bisa dimengerti dan jadi bahasa percakapan kehidupan.
Soa sebagai bagian dari struktur adat dan entitas masyarakat adat yang menjadi dasar dalam pembentukan sebuah negeri/kampung4. Sedangkan penggunaan nama TIANG BELAKANG, tidaklah diketahui secara pasti, kapan nama ini mulai digunakan. Namun seperti SOA BARU, nama TIANG BELAKANG, pasti memiliki alasan filosofisnya. Menurut dugaan penulis, kata ini digunakan berkaitan dengan kata SOA BARU. Kata tiang belakang mengacu pada arsitektur rumah, dimana tiang-tiang rumah dalam proses pembangunan (orang bikin/kasi badiri rumah) adalah kegiatan terakhir, atau tiang yang didirikan belakangan/kemudian setelah tiang utama atau tiang depan/muka. Penggunaan kata ini dikaitkan dengan konsep Negeri Saparoea sebagai sebuah rumah besar bagi masyarakatnya. Karena kawasan ini diciptakan terakhir/belakangan maka “logis” disebut TIANG BELAKANG atau kawasan/paling belakang. Saat memikirkan hal ini secara mendalam, tak bisa dibantah, penulis merasa kagum pada para leluhur atas kearifan dan kejeniusan mereka. mereka tak menggunakan istilah yang rumit untuk menamai sesuatu. Mereka mungkin “menyukai” menggunakan hal-hal sederhana dan “bahasa hari-hari” untuk melabelkan semua itu. Mungkin dengan istilah sederhana itulah yang digunakan agar bisa dimengerti dan jadi bahasa percakapan kehidupan.
Kawasan Parigi Negeri Saparoea |
Sejarah asal
mula munculnya Parigi Negeri, tak diketahui secara pasti. Hal ini dikarenakan
tak ada arsip/dokumen yang ditinggalkan. Sungguh sangat disayangkan!!!, yang ada
hanyalah cerita atau tradisi oral/lisan dari orang tua, itupun banyak yang
telah tiada/meninggal. Kapan tepatnya sumur ini dibuat, atas ide/perintah
siapa, dan siapa-siapa saja yang mengerjakannya, butuh berapa lama hingga
selesai dan pertanyaan-pertanyaan lainnya tak bisa terjawab dengan pasti. Seperti yang
disebutkan di atas, yang ada hanyalah cerita dari orang-orang tua, itupun yang
masih hidup sekarang. Yang bisa dilakukan penulis adalah hanya bertanya pada
orang-orang itu. Menurut sumber tertua5 (82 thn) yang ditemui oleh
penulis, ia mengaku bahwa ia lahir pada
tahun 1933, dan masih mengingat sejak berusia anak-anak (mungkin 6-7 tahun), ia
telah “terbiasa” mengambil air (timba air) di sumur ini. Ada juga informan yang
lain6 (71 thn), ia mengaku lahir di tahun 1944, ia juga menceritakan
hal yang sama. Informan yang lain7 (62 thn), ia mengaku lahir di
tahun 1953, ia menceritakan di usia anak-anak, sekitar 6-7 tahun, ia sering
melihat tetangga-tetangganya, sering mengambil air di sumur khusus ini. Mereka
bertiga dengan yakin mengatakan sesuai apa yang mereka ingat bahwa bentuk
sumur/parigi negeri sekarang tidaklah berubah seperti apa yang mereka ingat
semasa anak-anak. Perlu ditambahkan, bahwa sumber-sumber yang ditemui penulis
adalah orang-orang berusia tua, yang berdiam di kawasan sumur negeri ini serta
daerah sekelilingnya sejak mereka lahir/kecil. Dari sumber-sumber ini, dengan
pasti bisa dikatakan bahwa di awal tahun 1933, sumur negeri ini telah ada dan
bentuknya tak berubah hingga sekarang.
Jika seperti
itu, lalu kapan pastinya sumur ini dibuat??? Atau lebih tepatnya digali??? Ada
analisis menarik yang patut direnungkan. Analisis ini disampaikan oleh Bpk.
Jacob Huwae8, menurut beliau, biasanya apa yang disebut sumur
negeri/parigi negeri selalu berhubungan erat dengan masalah-masalah adat
di daerah tersebut. Dalam kaitan ini, maksudnya adalah Baileo Negeri sebagai
rumah adat/rumah suci dimana hal-hal adat dibicarakan dan tradisi dilakukan selalu
memiliki kaitan atau saling mendukung dengan sumur/parigi negeri. Dalam konteks Negeri Saparoea berarti baileo berhubungan erat dengan sumur/parigi negeri. Beliau
memberikan contoh, tradisi bayar harta negeri yang biasanya dilakukan, oleh
keluarga lelaki kaum pendatang yang menikahi gadis-gadis keturunan orang negeri
asli (4 soa/fam), di baileo selalu membawa pulang air yang diberikan oleh
negeri. Air yang diberikan oleh negeri ini, selalu dan harus diambil dari sumur/parigi
negeri. Dengan contoh ini, beliau menduga bahwa sumur ini mungkin dibuat sama
waktu atau beberapa tahun setelah baileo dibangun/didirikan. Yang pasti adalah
pembangunan Baileo Negeri Saparoea dibangun pada tahun 1514 pada masa pemerintahan
Raja Melyanus Titaley. Jadi mungkin di tahun itu atau beberapa tahun kemudian
sumur/parigi negeri ini dibuat atau digali. Hal ini logis apabila alasan
darimana air itu diambil dengan kaitannya pada prosesi bayar harta negeri serta
tempat (baileo) dimana prosesi itu dilakukan. Selain itu, menurut penulis, jika
mengikuti alur berpikir seperti ini, malah bisa dikatakan pembuatan
sumur/parigi negeri bisa lebih tua dari pembangunan baileu. Hal ini didasari
dengan alasan dan pertimbangan, bahwa air begitulah penting. Sehingga pembuatan
sumur/parigi sebagai sarana kebutuhan vital pastilah dilakukan lebih dulu dari
pembangunan rumah adat. Hal ini juga bisa dihubungkan dengan “terbentuknya”
masyarakat komunal Negeri Saparoea mula-mula. Dengan terbentuknya masyarakat
komunal maka pemikiran kebutuhan akan air juga muncul dengan sendirinya. Jika
di tahun 1514 atau beberapa tahun sesudahnya, sumur ini dibuat, maka tentunya
bentuk sumur sekarang yang telah dibeton, bukan awalnya seperti itu. Mungkin
dulunya hanya lubang digali, sehingga mendapatkan sumber air dan kemudian diletakan/diatur
batu-batu besar dari dasar sumur membentuk lingkaran ke atas sampai ke permukaan tanah setinggi kedalaman
lubang. Sumur/parigi negeri itu berkedalaman 3 Meter dari dasar sumur ke permukaan
tanah. Jika ditambah dengan dinding/cincin sumur, semuanya mencapai 4 Meter. Awalnya
jalur menuju kawasan ini berbatu atau hanya berupa tanah kasar, namun di tahun
1991 dibuat jalan setapak di kawasan ini, sehingga jalur jalan menuju lokasi
sumur juga akhirnya berupa jalan setapak. Proyek di tahun 1991 ini adalah
proyek P3LD dari pemerintah provinsi Maluku. Di awal 2006 dari dana subsidi desa
tahun 2005, dibuat rumah/penutup/cungkup untuk melindungi sumur. (lihat gambar)
C. SUMBER AIR “Hidup”
Penggalan
kalimat pembuka pada artikel ini, penulis mengutipnya dari alkitab. Lalu apa
makna atau hubungannya ayat-ayat itu dengan sumur/parigi negeri??? Pada
ayat-ayat itu ada konsep theologia, dimana Yesus Kristus atau nabi Isa
mempersonafikasikan diri-Nya dengan sumber air hidup. Itu berhubungan dengan
soal iman atau kepercayaan paling privat umat kristiani kepada pribadi yang Esa
atau Maha Kuasa. Penulis hanya “menghubungkan” konsep itu pada kegunaan
sumur/parigi negeri terhadap kebutuhan jasmaniah manusia. Dari keterkaitan
konsep itu, penulis ingin mengilustrasikan bahwa sumur/parigi negeri adalah
sumber vital buat kebutuhan manusia akan air. Dari sumur/parigi negerilah, masyarakat bisa
memenuhi kebutuhan air dalam hidup. Bukankah tubuh kita sebagian besar adalah
air??? Airlah yang “menghidupkan” kita???. Seperti yang
sebelumnya dijelaskan, bahwa biasanya sumur negeri selalu
berhubungan dengan masalah-masalah adat di daerah itu. Begitu juga dengan
kegunaan air pada sumur/parigi negeri saparoea. Ada 3 kegunaan/fungsi air yang
diambil dari sumur/parigi negeri yaitu :
a)
Dalam Prosesi Bayar Harta Negeri
b)
Dalam Prosesi Melamar Wanita
(Masu Minta Bini)
c)
Dalam Proses Wanita Melahirkan
Ø Prosesi Bayar Harta Negeri
Pada prosesi ini, air yang diambil kemudian diberikan kepada
keluarga lelaki kaum pendatang/orang luar yang mengawini gadis-gadis orang
negeri asli (4 soa/fam) saat mereka membayar harta di Baileu Negeri Saparoea. Gadis-gadis
yang dimaksud adalah gadis-gadis bermarga Anakotta, Ririnama, Titaley dan
Simatauw. Ada semacam “prosedur” yang dilakukan oleh orang yang ditugaskan
untuk mengambil air di sumur negeri untuk prosesi ini. Saat berjalan menuju
lokasi, mengambil air, hingga kembali ke areal baileu, orang ini haruslah
membisu alias tak berbicara. Bahkan saat disapa oleh orang lain selama ia
melaksanakan tugasnya, ia tak boleh membalas sapaan/teguran orang. ( Baca : http://negerisaparua.blogspot.co.id/2014/01/prosesi-bayar-harta-negeri-pendahuluan.html#more )
Ø Prosesi Melamar Wanita
Pada prosesi ini, biasanya air “dipesan” atau diminta oleh keluarga
wanita yang akan dilamar. Pesanan atau permintaan ini disampaikan kepada raja,
kemudian raja memerintahkan orang yang bisanya bertugas mengambil air tersebut
dan kemudian memberikan kepada keluarga wanita/yang memintanya. Air inilah yang
akan diberikan kepada calon/keluarga mempelai lelaki, saat proses pelamaran itu.
Dulunya prosesi permintaan air ini hanya boleh dilakukan oleh keluarga gadis-gadis negeri saparoea
asli, namun berkembang lebih luas juga buat kaum pendatang, meski sekarang
sudah mulai hilang.
Ø Proses Wanita Melahirkan
Pada proses ini, air dari sumur/parigi negeri diambil atau digunakan saat wanita mengalami kesulitan melahirkan. Air yang diambil kemudian
diminum atau diusapkan ke perut. Ini dipercaya akan melancarkan/memuluskan
proses melahirkan itu.
Selain 3
fungsi/kegunaan di atas, sumur/parigi negeri digunakan oleh masyarakat
setempat/kawasan itu untuk kebutuhan air minum. Dulunya sebelum munculnya
sumur-sumur pribadi di tiap keluarga. Banyak orang/masyarakat dari beberapa
kawasan datang mengambil air di sumur ini. Selain kawasan Tiang Belakang, Soalanda, Kampung Abubu, Kampung Baru, adalah wilayah-wilayah dimana masyarakat
dari wilayah itu sering mengambil air minum dari sumur/parigi negeri. Ada juga
permintaan kebutuhan air minum dari kaum pendatang seperti kaum China, Bugis, Jawa, Makassar, Arab, yang sebelum masa konflik Maluku di tahun 1999, pernah
jadi bagian integral negeri saparoea. Perlu dijelaskan, bahwa selain sumur/parigi
negeri, ada juga sumur “tua” lainnya, yang dikenal dengan nama WAIMOELA. Dari
kedua sumur inilah kebutuhan air minum kaum-kaum pendatang ini dipasok sesuai
“selera” mereka. Maksud selera di sini adalah, kebiasaan mereka dalam hal
“merasai/menikmati” ciri khas air yang mereka minum, sehingga terkadang menuju
ke arah “kesetiaan dan fanatik”. Jika mereka merasa cocok dengan air yang
berasal/diambil dari sumur/parigi negeri, maka air yang dipesan haruslah
diambil dari sumur itu, tak boleh di tempat lain, begitu juga dengan orang-orang
yang merasa cocok dengan air yang berasal dari sumur waimoela. Hal ini sudah
menjadi ciri khas dan tak bisa dipertukarkan atau diganti. Jika ada usaha
“menipu” maka mereka bisa mengetahuinya. Hal ini mungkin disebabkan karena
kebiasaan dan lamanya mereka telah menjadi bagian dari negeri saparoea. Pesanan
atau permintaan air minum dari kaum pendatang ini, biasanya dipenuhi oleh para
pemikul air (orang pikol air) yang banyak berasal dari orang-orang suku Buton yang
dulunya menghuni kawasan SARU dan GUNUNG PANJANG dalam petuanan Negeri Saparoea.
LA PAIDI, LA MAIBU, LA MANI, LA SAIDI, adalah nama-nama yang bisa disebut sebagai pemikul air yang pernah dikenal di masa itu. Sejak konflik kemanusian di tahun 1999 itu, orang-orang suku Buton mengungsi, sehingga tugas-tugas itu “dilanjutkan” oleh penduduk “lokal” . Dulunya 1 pikulan yang berisi air 2 jirigen dihargai Rp.500,00- kemudian meningkat menjadi Rp.1.000,00- hingga menjadi Rp.6.000,00- sekarang. Di masa dulu, biasanya para pemikul air itu biasanya mengambil air dan membawanya ke tempat-tempat pesanan dengan cara memikul sambil berjalan kaki. Jauh maupun dekat tetaplah dihargai sama bukan pada jauh dekatnya tetapi pada harga 1 pikulan, namun generasi sekarang lebih mudah melakukannya karena menggunakan gerobak dorong. Begitulah kehidupan sosial yang terjadi di negeri saparoea di masa itu disaat masih ada kaum-kaum dari suku Bugis, Jawa, Makasar, Arab, Buton. Sebuah “golden age” pada zamannya, kehidupan masyarakat kecil yang bergulat bergumul dalam kerasnya hidup tiap hari.
LA PAIDI, LA MAIBU, LA MANI, LA SAIDI, adalah nama-nama yang bisa disebut sebagai pemikul air yang pernah dikenal di masa itu. Sejak konflik kemanusian di tahun 1999 itu, orang-orang suku Buton mengungsi, sehingga tugas-tugas itu “dilanjutkan” oleh penduduk “lokal” . Dulunya 1 pikulan yang berisi air 2 jirigen dihargai Rp.500,00- kemudian meningkat menjadi Rp.1.000,00- hingga menjadi Rp.6.000,00- sekarang. Di masa dulu, biasanya para pemikul air itu biasanya mengambil air dan membawanya ke tempat-tempat pesanan dengan cara memikul sambil berjalan kaki. Jauh maupun dekat tetaplah dihargai sama bukan pada jauh dekatnya tetapi pada harga 1 pikulan, namun generasi sekarang lebih mudah melakukannya karena menggunakan gerobak dorong. Begitulah kehidupan sosial yang terjadi di negeri saparoea di masa itu disaat masih ada kaum-kaum dari suku Bugis, Jawa, Makasar, Arab, Buton. Sebuah “golden age” pada zamannya, kehidupan masyarakat kecil yang bergulat bergumul dalam kerasnya hidup tiap hari.
Parigi Waimoela |
Kawasan Parigi Waimoela |
D. PENUTUP
Sumur/parigi negeri
sebagai sumber air “hidup” seperti judul artikel, telah diurai pada tulisan
ini. Sejarah tentang sumur/parigi negeri bukan hanya tentang pembuatan fisik
tapi juga “romansa” kehidupan yang bergelayut di sekelilingnya. Cerita kehidupan
sehari-hari dimana sumur/parigi negeri sebagai sumbernya. Sumber yang memberi
“hidup” buat masyarakat di Negeri Saparoea. Air yang diminum sebagai kebutuhan
tapi juga “menghidupkan” orang lain dalam hal ini kepada kehidupan para pemikul
air. Dengan membayar harga air minum yang mereka bawa, juga digunakan untuk
kebutuhan hari-hari mereka. Ada simbiosis mutualisme dalam hidup model ini. Mungkin
inilah yang dipikirkan oleh para datuk-datuk leluhur yang mempunyai ide dan
mengimplementasikan dalam pembuatan sumur “khusus” ini. Pemikiran yang melewati
zaman, pemikiran yang tidak bersifat “eksklusif” namun yang membumi dan
bersifat “toleransi” serta mendidik.
Meskipun telah
banyak sumur-sumur pribadi di tiap rumah, sumur/parigi negeri “haruslah”
menjadi perhatian khusus dari pemerintah negeri. Upaya perawatan dan
pelestarian perlu terus dilakukan dan menjadi “prioritas”. Hal ini dilakukan untuk “mempertahankan” ciri
khas sebagai sebuah negeri adat yang harus memiliki parigi negeri. Bukan hanya
nama yang disebut orang dan akhirnya hilang ditelan waktu tapi upaya fisik,
agar nama maupun contohnya bisa ada dan terlihat nyata. Semoga
sumur/parigi ini tetap dirawat dan dilestarikan oleh kita semua.....SEMOGA!!!
Sumber :
1.
Injil Yohanes Pasal 7 : 37b-38
2.
Kejadian 16:7, 18:4, 21:19, 24:1-67,
26 :20-22, 32-33, 29:1-3, Keluaran 7:18, 15:22-27 dst
3.
Percakapan dengan Bpk. Corneles
Tomasoa (Om Eles)
4.
R.Z. Leirissa dan J.A.
Pattykaihatu : Sejarah sosial di Maluku Tengah
5.
Percakapan dengan Ibu. Henderika
Noya (Tante Dika Uyu) tertanggal 08 April 2015 di rumahnya
6.
Percakapan dengan Ibu. Christhina Noya (Tante Inne Noya) tertanggal 08 April 2015 di rumahnya
7.
Percakapan dengan Bpk. Jacob
Huwae tertanggal 06 April 2015
8.
Percakapan dengan Bpk. Jacob
Huwae tertanggal 06 April 2015 di rumahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar