SEBUAH CATATAN RINGAN
(Oleh : Aldryn
Anakotta)
PENGANTAR
Kebudayaan adalah proses akal
budi tertinggi manusia1. Tradisi/kebiasaan/adat adalah bagian
dari kebudayaan itu. “kebudayaan baru” juga bisa lahir dari pertemuan,
perbenturan dan persilangan 2 budaya yang berbeda. Banyak contoh yang bisa
dimunculkan dalam hal ini. Wayang adalah hasil persilangan budaya hindu dan
tradisi islam2. Dan masih banyak lagi contohnya. China dikenal dalam
peradaban memiliki kebudayaan yang tinggi3. Bersama kebudayaan
india/mohenjodaro, mesir kuno, china telah mencapai level itu. Chinalah yang
menemukan kertas, petasan, dan sistim navigasi lebih awal dibandingkan orang
eropa4. Dengan navigasi yang hebat itulah, china telah mengelilingi
dunia, menaklukan samudera dan menciptakan jalur perdagangan “jalan sutra”5.
Dari pelayaran inilah, budaya china dibawa, disebar, disemai dan bahkan
mengalami “modifikasi” di tempat-tempat yang disinggahi.
Maluku adalah surga dunia
rempah-rempah6. Kesanalah bangsa china berlayar, mencari, menemukan,
berdagang dan “menyembunyikan” surga dunia dari bangsa eropa. Lewat perdagangan
dan kontak ekonomi sosial itulah, kebudayaan china turut serta dibawa.
Artikel ini ditulis, untuk
menelisik lebih jauh jejak-jejak yang mereka tinggalkan di bumi Maluku,
khususnya di negeri saparua. Jejak-jejak yang telah jadi kebiasan. Jadi budaya
baru yang mungkin kita tak tahu sejarah asal usulnya.
JEJAK-JEJAK YANG TELAH MEMBAUR
Mungkin banyak yang tak
menduga, namun sejarah telah mencatat dan pada akhirnya kita tak bisa
menyangkalnya. Kebiasaan atau kebudayaan orang-orang china/tionghoa yang
awalnya dari China daratan berkembang bahkan berasimilasi dengan kebudayaan lokal,
“menciptakan” kebiasaan yang direproduksi bahkan dimodifikasi dengan konteks
budaya yang jadi tempat tinggal mereka. begitu juga yang terjadi di negeri
saparua. Berikut ini adalah sebagian, yang perlu kita ketahui bersama-sama.
1. Hari Pasar
Bagi orang negeri Saparua,
“hari pasar” adalah hari rabu dan sabtu. Hari pasar ini dalam kebudayaan sosial
orang-orang lease disebut pasar pulu7. Pengertian hari pasar yang
dimaksud adalah hari-hari dalam satu minggu, dimana aktivitas jual beli di
pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat berlangsung ramai, penuh banyak orang,
proses interaksi dan sosialisasi yang masif serta berbeda dibandingkan hari
lainnya dalam minggu itu. Memang dalam enam hari itu, tiap harinya ada
aktivitas jual beli dipasar, namun tidaklah seramai di hari-hari yang sudah
jadi “ketetapan” dan kebiasaan itu. Darimana tradisi ini berasal??? bagaimana
awal mulanya??? dan bagaimana proses terjadinya, dalam enam hari itu hanya
2 hari saja yaitu hari rabu dan sabtu yang “ditetapkan” sebagai hari pasar dan
dikenal dalam kebiasaan orang negeri saparua???.
Kita perlu menarik asal
mulanya sampai jauh kebelakang. Sejarah ini bermula saat Gubernur Jenderal VOC
yang ke 4 dan ke 6, Jan Pieterzoon Coen (1619-1923/1627-1629) menduduki
jabatannya di Batavia. Di masa J.P. Coen inilah, komunitas china mendapat
tempat prestisius di mata VOC. Bahkan Kapitan China Souw Beng Kong menjadi
sahabat dekat Gubernur Jenderal itu. Dari pertemanan ini, orang-orang china
diberikan kesempatan luas untuk mengembangkan usaha dagangnya. Populasi china
juga meningkat dari tahun ke tahun. Di satu sisi, para pembesar VOC juga mulai
menata Batavia sebagai kota mengikuti kota-kota di Eropa. Lambat laun Batavia
dikenal sebagai Ratu Dari Timur" (Koningen van Oosten). Berganti Gubernur Jenderal
VOC, komunitas china masih tetap dipercaya dan mulai membentuk kawasan-kawasan
china yang dikenal dengan nama pecinan (china town). Glodok, Asemka, Pancoran
dan Petak Sembilan, selain itu ada juga Passer Baroe, Meester Cornelis Senen
(Jatinegara), Pasar Senen; Pasar Tanah Abang dan sebagainya. Kawasan-kawasan
ini dikenal sebagai pecinan. Di tahun 1735, 4 tahun sebelum pembantaian orang
China, Justinus Vinck mendirikan pasar (passer) Senen dan Pasar Tanah Abang di
atas tanah miliknya, di daerah Weltevreden (sekitar Monas dan Lapangan
Banteng). Pasar senen awalnya bernama Vinck-passer mengikuti nama pendirinya.
Akhirnya menjadi pasar senen (senin) karena pasar ini dulunya hanya buka
(beraktivitas) pada hari senin. Kata senen karena pengucapan orang betawi untuk
senin adalah senen. Sedangkan pasar tanah abang hanya buka pada hari sabtu.
Bahkan pemerintah kolonial sampai menetapkan hari senin dan sabtu sebagai hari
pasar. Di tahun 1751, pasar tanah abang juga buka pada hari rabu. Sehingga
hanya hari senin, rabu dan sabtu yang dikenal sebagai hari pasar dalam
aktivitas jual beli8. Karena kawasan ini merupakan pecinan, maka
tradisi ini “dibawa” oleh orang-orang china yang “mengungsi” ke Indonesia timur
setelah pembantaian 1740. Menurut M.C. Ricklefs, ia menduga setelah pembantaian
ini, banyak kaum china yang melarikan diri ke Indonesia timur9.
Selain itu, ada pendapat lain
yang menyatakan bahwa “penetapan” hari pasar adalah karena Belanda. Salah
satunya adalah Stenli Reigen Loupatty, dalam jurnalnya : Papalele, Potret
Perempuan Saparua dalam pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan gender,
mengungkapkan bahwa proses pengaturan dan waktu pasar (hari pasar) untuk
melaksanakan perdagangan diatur oleh Belanda, dan mendapat pengawasan langsung
oleh pegawai yang diangkat oleh Belanda dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya bagi VOC. Dalam melaksanakan seluruh kegiatan ini,
maka rakyat diwajibkan untuk melakukan transaksi jual beli rempah-rempah 2x
dalam 1 minggu yaitu hari rabu dan sabtu. Kebijakan ini bertujuan untuk
menghindari penampungan hasil perdagangan rempah-rempah oleh rakyat dan dijual
kepada pedagang nusantara dan timur asia lainnya10.
Menurut penulis, benar
pendapat itu, seperti yang dijelaskan dalam pembangunan pasar senen oleh Justinus
Vinck. Memang Belanda (VOC) yang menetapkan hari pasar secara institusi. Namun
meski ditetapkan/diatur secara institusi, tetapi tidak ada aktivitas maka sama
saja. “hari-hari” aktivitas inilah yang sebenarnya dilakukan oleh orang china
pada awalnya. Dari kebiasaan itulah, maka belanda (VOC) kemudian mengaturnya
menjadi aturan tertulis atau dilembagakan.
Mungkin dari sini, tradisi
penetapan “hari pasar” berasimilasi, berbentur dengan budaya lokal dan jadi
kebiasaan di Indonesia timur khususnya kepulauan Lease.
2. Papalele
Definisi dan sejarah awal
papalele, tidak diketahui dengan pasti. Entah darimana kata ini berasal dan
artinya apa. Namun kata ini bukan kata “asing” dalam kehidupan sosial
orang-orang Maluku khususnya orang negeri saparua. Istilah papalele merujuk
pada bentuk perdagangan dan perekonomian masyarakat kecil. “Profil” papalele
bisa digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang membeli suatu produk dari
produsen/penjual, kemudian menjual kembali produk itu dengan harga sedikit
tinggi demi keuntungan. Contoh sederhana, seorang ibu membeli ikan dari nelayan
kemudian menjual kembali ikan itu kepada pembeli lain dengan harga di atas
harga beli awal. Kelompok wanita papalele produk ikan ini dikenal dengan
istilah jibu jibu11. Kebanyakan wanitalah yang terlibat
dalam aktivitas ekonomi ini. Dari aktivitas inilah, muncul istilah mama-mama
papalele atau parampuang-parampuang papalele (wanita pedagang). Bahkan
istilah papalele pun telah mengalami perluasan makna. Kata ini di tujukan
kepada orang yang cerewet mulutnya/tak bisa diam.
Mungkin kita masih teringat
dengan kalimat seperti ini : ose pung dalang mulu su macang
parampuang papalele saja (mulutmu seperti mulut wanita-wanita
pedagang). Istilah ini berasal dari aktivitas mama/perempuan papalele yang
tawar menawar harga dengan pembeli. Sebuah negosiasi barang yang penuh riuh dan
ramai.
Ada ulasan menarik oleh
Elifax Thomix Maspaitella dalam blognya kuti kata. Dalam artikelnya,
jejak China di Maluku, Kapitalisme di pedesaan, Pendatang dan Ambtenaar,
Artefak-artefak China, ia menduga bahwa bahwa “sistem papalele juga adalah
suatu model kerja baru yang turut dipengaruhi oleh gaya berdagang orang China. China juga
memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga,
dan manajemen pascapanen dalam bentuk simpan uang (simpang kepeng)”12.
Alimudin Ridwan (2005)13 dalam
penelitiannya tentang Papalele, di Mandar Sulsel menyimpulkan bahwa kata
papalele dalam konteks orang Mandar disebut pappalele.
Menurutnya pappalele berasal
dari kata lele dan mappalele. Secara harfiah berarti orang yang memindahkan.
Definisi ini pun “mirip”
dengan penjelasan Simon Pieter Soegijono14. Dalam paper : Papalele,
Budaya Ekonomi Lokal, ia mengutip Souissa (1993:38) dan Mailoa (2006:75) yang
menyatakan kata papalele berasal dari kata papa dan lele. Papa berarti
memikul atau membawa sedangkan lele berarti keliling. Jadi
papalele berarti berkeliling membawa atau memikul.
Ia juga menyatakan bahwa
sistim papalele ini diduga mulai ada dan berkembang di zaman VOC yang
menekankan pola hongi.
Pendapat ini “sebaiknya”
dikritisi lebih jauh. Dalam catatan-catatan sejarah, J.P. Coen mengakui dan
terpesona dengan cara berdagang orang-orang china di Batavia. Orang-orang china
telah jauh “menghuni” Batavia sebelum Belanda datang dan mulai menata sistim
kolonisasi di tanah jajahan. Edmund Scott pemimpin loji Inggris di Banten
(1603-1604) melukiskan kesannya tentang pecinan di pesisir Jawa sbb (Lombard,
1996 jilid 2:275)15 : “sejak tiba di pelabuhan-pelabuhan
pesisir, kita dengan mudah melihat ciri khas daerah pecinan. Daerah pecinan
seolah-olah merupakan sebuah kota dalam kota. Letaknya disebelah barat kota dan
dipisahkan oleh sungai. Rumah-rumahnya dibangun dengan pola bujur sangkar dan
terbuat dari bata. Wilayah ini mempunyai pasar sendiri yang dicapai melalui
sungai”.
Berdasarkan catatan-catatan
ini, tak bisa dibantah bahwa memang “stuktur” pasar telah ada jauh sebelum VOC
menginstitusionalisasi pasar mengikuti model pasar-pasar “ciptaan” orang-orang
china.
Menurut penulis, “struktur”
perdagangan orang-orang china inilah yang kemudian di “adopsi” dan dijadikan
“baku” dalam institusi VOC yang ketat.
Mungkin ada benarnya bahwa
sistim ini awalnya berasal dari orang-orang china, meski tak tersedia arsip
lengkap tentang hal dimaksud.. Dari arsip-arsip dan catatan sejarah, orang
china awalnya membeli rempah-rempah dan membayarnya dengan porselin, sutra,
perunggu dan barang-barang berharga lainnya. Ini adalah sistim barter. Kemudian
hasil pembelian rempah-rempah itu, dijual lagi di Arab, India sampai ke Eropa.
Cara berdagang inilah yang mungkin “diwariskan” dan di “rekonstruksi” ulang
oleh masyarakat lokal, dengan pengaturan VOC secara ketat dan memaksa. Hal ini
“diamini” oleh Sihasale dalam penelitiannya (2003:48)16 yang
menyimpulkan jaringan perdagangan papalele bertumpu pada aspek ekonomi dan
kultural. Aspek ekonomi tentang jaringan yang terbentuk merupakan sistim mata
rantai perdagangan yang sederhana dan dan tidak panjang. Sedang aspek kultural
adalah soal jaringan dan hubungan yang terjalin bersifat internal karena faktor
kekerabatan dan pola “pewarisan” ke generasi berikutnya.
Mungkin pola-pola
inilah yang awalnya dilakukan oleh orang-orang china dan kemudian di
“modifikasi ulang” dalam konteks lokal.
3. Pantangan/Larangan (Tabu)
membersihkan (Menyapu) kotoran dalam rumah di malam hari
Pantangan/larangan tentang
hal ini sampai sekarang masih berlaku di negeri saparua. Anak-anak di zaman ini
mungkin sudah jarang mendengar hal ini. Kalaupun mendengar, pantangan tersebut
dianggap telah kuno. Namun bagi anak-anak yang pernah mengalami dekade tahun
80an, pantangan ini sangat kuat tertanam. Penulis berkali-kali ditegur oleh
orang tua, jika membersihkan/menyapu kotoran di dalam rumah pada malam hari.
Selalu saja ada kata-kata sakti : jang manyapu dalang rumah
malang-malang nanti berkat seng masu dalang rumah (jangan
membersihkan/menyapu rumah di malam hari, nanti rejeki sulit didapatkan).
Darimana tradisi pantangan bersifat “mistik” ini berasal???
Rupanya tradisi ini berasal
dari tradisi/kebiasaan orang china saat merayakan imlek/tahun baru china.
Menurut Ridwan Saidi, sejarahwan Betawi, ada kebiasaan di malam menjelang
imlek, yang melarang orang china membersihkan rumah. Tak boleh membersihkan
rumah di malam itu, jika membersihkan, rejeki yang diharapkan akan sulit
didapatkan. “Jika nyapu rumah, ntar rejekinya ikut kesapu”, demikian kata
Ridwan Saidi17.
Kita tahu bahwa Maluku adalah
pusat rempah-rempah, dan mulai dicari oleh bangsa China jauh sebelum bangsa
Eropa datang. Melalui jalur perdagangan yang rumit itu, orang–orang china
datang membeli rempah-rempah bahkan pada akhirnya berdiam dan menjadi bagian
masyarakat. Dari sinilah tradisi mereka ikut dibawa, dirayakan bahkan
dilestarikan. Budaya atau kebiasaan ini mengalami kontekstualisasi dengan
budaya lokal dan dogma kristen. Salah satunya penggunaan kata berkat dalam
pantangan ini. Mungkin budaya lokal dalam hal ini iman Kristen turut “merubah”
pemaknaan ulang terhadap kata dan makna rejeki.
4. Lemong China (Jeruk)
Lemong china (lemun/jeruk)
adalah salah satu jenis jeruk yang digunakan dalam kuliner. Orang-orang Maluku
khususnya negeri saparua sering menggunakan jeruk ini dalam pembuatan colo-colo (makanan
khas Maluku). Tingkat keasaman dari jeruk ini lebih di rasa “tepat”
dibandingkan dengan asam dari cuka.
Entah darimana, jenis jeruk
ini dinamai seperti itu. Namun ada dugaan kuat, dalam bukunya, 1421 saat China
menaklukan dunia, Gavin Menzies memperkirakan jenis tanaman “baru”18,
dibawa oleh armada china yang mengelilingi dunia dan dibudidayakan di
tempat-tempat yang disinggahi. Mungkin jenis tanaman baru yang dimaksud adalah
jenis jeruk ini meski tak disebutkan secara eksplisit namanya. Atau mungkin
juga jenis jeruk ini adalah termasuk rempah-rempah yang jadi incaran selain
lada, pala, cengkih. Jika dugaan ini yang benar, mungkin jenis jeruk dinamakan
oleh masyarakat lokal dengan melihat tekstur fisiknya. Jeruk ini memiliki kulit
yang berwarna kuning dan bertekstur halus serta licin. Mungkin dari anatomi
inilah, jeruk ini dinamakan seperti itu, mengikuti orang china yang berkulit
halus dan berwarna kuning (ras kuning)
5. China Saparua
Sebuah identitas diri yang
telah berbaur. Selain istilah china saparua, ada china dobo, china geser, china
ambon dan lain-lain. Mungkin lebih jelasnya, bisa dibaca dalam http://kutikata.blogspot.com tentang masalah ini
dalam artikel yang ditulis Elifax Tomix Maspaitella19.
Pecinan di berbagai tempat
yang melahirkan istilah ini. China saparua merujuk pada orang-orang china yang
telah lama jadi bagian dari negeri saparua. Ada sikap “adopsi” dan “toleransi”
saat orang-orang china mengunakan identitas ini. Sikap menggabungkan asal
leluhur mereka dan “tempat baru” hunian mereka. Tempat hunian yang juga
tempat berusaha, mencari nafkah bahkan tempat generasi baru dilahirkan.
6. Patekoan (8 poci/teko
air)
Istilah ini tentunya “asing”
di telinga orang-orang negeri saparua. Namun maknanya ternyata bisa ditemui
dalam kehidupan sosial tiap hari. Buat orang-orang Maluku yang pernah mengalami
masa konflik kemanusian (1999-2004), sedikit banyak “tahu” hal ini.
Masih ingatkah kita saat arus
lalu lintas diblokade, hingga masyarakat dari jazirah nusaniwe yang bekerja di
kota ambon harus melewati gunung –gunung untuk mencapai rumah??? Saat melewati
gunung, lembah di sepanjang daerah batu gajah, pandan-pandan hingga mangga dua,
ada banyak penduduk yang berbaik hati menyediakan minuman buat para pelewat.
Mereka menyediakan air dalam ceret dan gelas yang ditaruh di meja di depan
rumah, hingga orang-orang bisa minum jika haus. Penulis pernah mengalami dan
melihatnya berulang kali di masa kelam itu. Pengalaman masa sekolah di negeri
saparua saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler juga seperti ini. Darimana
kebiasaan ini berasal??? Apakah ini “asli” kearifan lokal yang bersumber dari
jiwa sosial masyarakat??? Ada catatan sejarah menarik yang bisa
“menghubungkan” kebiasaan ini.
Di Batavia pada zaman VOC,
hidup seorang china yang sangat kaya dan berpengaruh. Karena posisi inilah, VOC
mengangkat menjadi kapitan china yang merupakan penghubung masyarakat china
dengan VOC. Namanya Gan Djie yang menjadi kapitan china dari tahun 1663 – 1675.
Istrinya sangat berjiwa sosial, tiap hari istrinya menyediakan teh/air bagi
masyarakat sekitar yang lewat, jika haus bisa meminumnya tanpa membayar.
Teh/air minuman itu diletakan dalam 8 poci/teko. Dalam bahasa china 8 poci/teko
disebut pat te–koan. Kawasan tempat tinggal kapitan china dan istrinya itu,
kemudian dikenal sebagai jalan patekoan di Jakarta sekarang ini20.
Mungkinkah kebiasaan ini
“diwariskan” dan akhirnya jadi kearifan lokal???. Perlu diselidiki lebih jauh.
Namun menurut penulis, kebiasaan ini bisa “berpengaruh” kepada masyarakat
lokal, berbaur dan jadi “kearifan lokal” baru.
REFLEKSI
Haruslah diakui bahwa
jejak-jejak kebudayaan china telah tertanam jauh dan berusia tua. Kebudayaan yang
awalnya “asing” telah menjadi kehidupan sosial hari-hari di masa sekarang.
Orang-orang china telah
“mewariskan” banyak “kekayaan” tradisi dan kita patut menghargainya. Ada
nilai-nilai positif dalam tradisi yang perlu direnungi secara mendalam dan
terbuka. Mereka bukan lagi orang asing. Mereka telah menjadi “orang negeri” dan
berbaur dengan golongan lain. Mungkin saatnya, kita bertoleransi, menerima dan
ikut berbudaya dalam kehidupan. Keaneka ragaman itu perlu. Pruralitas itu
sangat berharga. China Saparua telah berdiam lama, ikut dalam sejarah negeri
penuh sejarah ini. Kita patut mengapresiasinya. Dan penerimaan yang terbuka,
melibatkan mereka dalam kehidupan sosial adalah bagian “toleransi” itu.
Semoga!!!
Sumber :
1. Pendapat beberapa ahli tentang pengertian
kebudayaan
2. M. C. Ricklefs : Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University
Press, 1991 (edisi terjemahan)
3. Wikipedia : kebudayaan china
4. Wikipedia : penemuan penemuan oleh bangsa china
5. Wikipedia : sejarah jalan sutra
6. Wikipedia : sejarah maluku
7. Stenli Reigen Loupatty : Papalele, Potret perempuan saparua dalam
pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan gender, sebuah jurnal, BPNB
Ambon, 2012 hal 4
9. M. C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern, Gadjah
Mada University Press, 1991 (edisi terjemahan)
10. Stenli Reigen Loupatty : Papalele, Potret perempuan saparua dalam
pemberdayaan ekonomi keluarga dan kesetaraan gender, sebuah jurnal, BPNB Ambon,
2012 hal 4-5
11. Juanita F. Sopamena, Sari Rahayu Ura : Hubungan faktor –faktor
sosial ekonomi dan tingkat pendapatan perempuan papalele di desa hitumessing,
kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, jurnal Agrinimal Vol 2, April 2012
hal 33
13. Alimudin Ridwan (2005) dalam referensi sebuah
artikel/jurnal/skripsi : PAPALELE, Potret aktivitas komunitas pedagang
kecil di Ambon, (tak di ketahui penyusunnya)
14. Simon Pieter Soegijono : Papalele, Potret Ekonomi Lokal, paper,
UKSW 2008, hal 2
15. Denys Lombard : Nusa Jawa, Silang Budaya, Gramedia Pustaka Utama,
1996
16. Sihasale (2003) dalam referensi sebuah artikel/jurnal/skripsi
: PAPALELE, Potret aktivitas komunitas pedagang kecil di Ambon, (tak diketahui penyusunnya)
17. Ridwan Saidi : Kenangan imlek di masa lalu, http ://betawi.go.id
18. Gavin Menzies : 142, Saat China menaklukan dunia
19. http://kutikata.blogspot.com : Jejak China di Maluku, Artefak-artefak
China, Kapitalisme di pedesaan, Ambtenaar dan pendatang
20. http://pemprovdki.go.id : asal usul nama tempat
di jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar