SEJARAH KEDATANGAN 4 KAPITAN BESAR NEGERI PISARANA
HATUSIRI AMALATU
( Penulis : Aldrijn Anakotta )
PENGANTAR
Rute Perjalanan 4 Kapitan Besar |
Sejarah adalah rekonstruksi pikiran atas catatan-catatan masa lalu.
Obyektivitas sejarah kerap menjadi polemik dari pihak-pihak yang berkepentingan
atas konstruksi tersebut. Sebab itu, sejarah punya banyak versi. Versi satu
dengan versi lain saling berseteru menganggap dirinya yang paling obyektif dan
terbenar. Masing-masing versi punya data dan fakta-fakta yang sama-sama
meyakinkan.1) Demikianlah kalimat
pembuka seorang peresensi saat meresensi sebuah buku berjudul Destiny Disrupted: A History of the World
through Islamic Eyes yang dikarang oleh Tamim Ansary dan terbit di Amerika
pada tahun 2009. Buku ini telah dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia
dengan Judul Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta : Penerbit
Zaman, 2010).
Memang benar yang dikatakan oleh peresensi diatas, sejarah memiliki
banyak versi dan juga banyak tafsiran. Hal ini disebabkan karena kepentingan
subjektif dari penulis, banyak sedikitnya sumber literatur, cara pandang dan
lain-lain. Kepentingan subjektif ini dalam prespektif historiogarfi sejarah
disebut solipsisme history. Namun seorang Ioanes Rakhmat tidak mengakui adanya
solipsisme history. Hal ini bisa di lihat dalam blognya, saat ia menulis
artikel tentang Soekarno yang bersumber dari pertikaian Sutradara Film
Soekarno, Hanung Bramantyo dengan Rachmawati Soekarno Putri.2)
Selain itu, dalam artikel tersebut, Ioanes Rakhmat juga menulis tak
ada apa yang dinamakan “sejarah murni”, mere
history, sebab setiap sejarah adalah suatu rekonstruksi masa lalu lewat
masa kini, masa lalu yang berdialektika dengan masa kini. Tak ada historiografi
yang objektif 100 persen, tanpa unsur-unsur interpretatif dari si penulis
sejarah yang hidup pada masa kini. Sejarah yang sepenuhnya objektif mustahil
didapat. Positivisme historis itu tak ada. Sebaliknya, juga tak ada sejarah
yang 100 persen subjektif : di susun dengan sama sekali tidak memperhatikan
fakta-fakta objektif di masa lalu, yang harus ditafsir dan dikembangkan, tapi
hanya menurut kemauan dan sudut pandang si penulisnya saja yang ngawur sengawur-ngawurnya. Jika ini
yang terjadi, kita tentu saja tidak menyebutnya tulisan sejarah atau
historiografi, tetapi fiksi atau dongeng.3)
Jika mengikuti alur berpikir Ioanes Rakhmat, timbul pertanyaan kritis
lainnya mengapa uraian sejarah adalah suatu interaksi atau dialektika kreatif
masa lalu dan kini??? Ioanes dalam artikel itu dengan “cerdas” menjawabnya. Ia
menulis sebagai berikut : Pertanyaannya
adalah: Mengapa sebuah uraian sejarah adalah suatu interaksi atau dialektika
kreatif masa lalu dan masa kini? Jawabnya: karena sejarah tak bisa hadir
sendiri dengan objektif dan real pada masa kini, tapi harus lewat seorang
perekonstruksi yang hidup di masa kini di dunianya, yang bekerja dengan
berpijak pada bukti-bukti sebagai suatu syarat mutlak bagi setiap kegiatan
keilmuwan, termasuk kegiatan penulisan sejarah sebagai suatu kegiatan
keilmuwan. Juga karena setiap sejarawan, setiap perekonstruksi masa lalu,
bukanlah manusia yang tak punya kepentingan dan perjuangannya sendiri. Setiap
sejarawan pasti punya agenda-agenda tertentu yang diperjuangkannya pada masa
kini lewat sejarah-sejarah yang direkonstruksinya.
Goenawan Moehamad esais terkenal Indonesia, yang “digila-gilai” oleh
penulis pernah menulis sepotong kalimat yang indah namun reflektif : Manusia
itu tak mudah selesai.4) Maksudnya
adalah manusia tak bisa sempurna, selalu berdosa. Karena itu, tak ada
kesimpulan yang dibuat oleh manusia itu bersifat final dan tunggal atau paling
benar. Semuanya penuh tafsiran. Tafsiran hari ini akan di gantikan dengan
tafsiran hari esok, begitu seterusnya dan tak akan mencapai kata akhir. Karena
hal itu menjadi “prinsip pribadinya” maka Goenawan bisa dengan “berani”
mengutip dan sedikit “merubah” dengan gayanya yang puitis terhadap ayat 1 dari
Kitab Yohanes dalam Alkitab.5) Pada mulanya adalah Firman, di rubah
menjadi pada mulanya adalah tafsir!6)
Ya semuanya
bermula dari tafsir, menjadi tafsir dan berujung pada tafsir. Tak pernah bisa
selesai. Hal ini tercermin dalam esainya Potret
Penyair Muda sebagai si Malin Kundang yang terbit tahun 1969.7) Dalam esai ini, ia
bercerita tentang dirinya, semacam “autobiografi” hidupnya dalam kerangka esai.
Hidupnya yang berasal dari pedalaman, yang di masa kecilnya terbiasa dengan
kebudayaan jawa dan juga biasa membaca hasil pemikiran tokoh-tokoh dunia. Dua
kebiasaan yang “aneh” dan saling terbentur, bergulat dan “tumpang tindih” serta
“menyegarkan”. Dari kebiasaan membaca literatur “dunia barat” kemudian di
pakainya sebagai “mikroskop” saat menganalisa, membedah, menguji, bertanya,
membantah, mengakui, mencurigai, was-was, tentang kebudayaan para leluhurnya, atau
sebaliknya kebudayaan Indonesia (Jawa) dalam urat nadinya dipakai untuk
“mengkritisi” pemikiran dan kebudayaan “orang bule”. Jadi saling bertanya dan tak mudah untuk
selesai, final dan tunggal.
Mungkin
karena “dibesarkan” dalam khasanah bacaan seperti itu, literatur, referensi
dari berbagai sisi, berbagai cara pandang, dari yang ekstrim, moderat, sakral
hingga “haram” membuat penulis juga menyadari bahwa kita tak bisa selesai. Berpijak
dari hal itulah, penulis “mencoba” menulis artikel ini. Dengan menggunakan
“kacamata baru” penulis ingin membedah, menguji, menganalisa, bertanya, membantah, mengakui
dengan seterusnya, terhadap sejarah kedatangan para leluhur. Leluhur yang
dipercaya oleh penulis sebagai generasi awal yang “melahirkan” penulis di masa
sekarang. Ini semacam intepretasi, hermeunetika hingga “berujung” pada refleksi
atau perenungan kembali terhadap sejarah itu dan pesan etis/moral yang “ingin”
diwariskan.
SEJARAH KEDATANGAN
Semuanya
bermula di tahun 14368), saat 4 Kapitan Besar dari Negeri Souhuku
(Lilipori Kalapessy) meninggalkan “pelabuhan” tanjung Pulapa di pantai selatan pulau
Seram. Kapitan Riang Titaley bersama istrinya Nyi Sihele/Sahele Simatauw,
Kapitan Hintauni/Untaune Anakotta bersama istrinya Kupasila Ririnama, Kapitan
Ririnama bersama istrinya bermarga Ruhupessy serta Kapitan Adjelis Simatauw dan
istrinya bermarga Anakotta. Mereka berdelapan memutuskan mencari daerah baru, meninggalkan “saudara” mereka yang
bermarga Ruhupessy. Menurut penuturan orang tua-tua yang diwariskan secara
lisan, mereka meninggalkan tanjung Pulapa menggunakan gosepa menuju sebuah
pulau yang nantinya dikenal sebagai pulau Saparua. Tempat pertama “di pulau
baru” itu yang mereka singgahi untuk pertama kalinya, sekarang dikenal sebagai tanjung Itawaka. Namun rupanya dalam pandangan mereka, tempat itu “tidak cocok”
untuk dijadikan hunian baru. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
mencari tempat yang cocok. Dengan arah memutar atau mengambil arah utara “pulau
saparua” mereka mengelilingi pulau itu. Tempat kedua yang mereka singgahi
sekarang dikenal sebagai tanjung Ouw. Dengan alasan yang sama juga, mereka
tidak menjadikan daerah itu sebagai hunian mereka. perjalanan terus dilanjutkan, hingga sampai di daerah yang dikenal sebagai daerah Waihenahia
(petuanan negeri saparua – sekarang). Namun kembali lagi, mereka merasa tidak
cocok dengan daerah itu, ditambah dari kejauhan mereka melihat sebuah teluk
yang sangat indah serta pantai yang bertabur pasir putih. Akhirnya mereka
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi, memasuki “teluk saparua”. Menurut
penuturan, saat pertama kali mereka melihat “kawasan” itu, mereka “jatuh hati” karena
sebuah daerah yang luas, tidak berbatu serta memiliki pantai berpasir putih
yang sangat indah. Mungkin dengan “pertimbangan rasional” serta “emosional” mereka
“memutuskan” untuk menjadikan daerah baru itu sebagai hunian mereka. Daerah hunian yang baru inilah yang
sekarang dikenal sebagai Negeri Saparoea atau dalam bahasa tanah disebut negeri
PISARANA HATUSIRI AMALATU. Hal ini ditandai dengan hunian mula-mula atau daerah
awal tempat mereka tinggal. Daerah awal ini dalam kebudayaan Maluku, khususnya di daerah Ambon-Lease sering disebut Negeri
Lama. Negeri Lama Pisarana Hatusiri Amalatu atau Negeri Saparoea adalah Hutan
Rila. Lebih jelasnya tentang sejarah kedatangan ke-4 kapitan yang menjadi
leluhur negeri Saparoea bisa dilihat pada artikel lain di blog ini. Memang
penceritaan sejarah kedatangan ini hanyalah bersifat “umum” yang disengaja oleh
penulis. Karena tujuan artikel ini bukanlah menceritakan sejarah kedatangan
mereka secara terperinci.
DIALEKTIKA DAN REFLEKSI
Pengertian
dialektika dalam kamus Bahasa Indonesia9) adalah cara berpikir sesuai dengan kenyataan yang ada (disuatu daerah/tempat),
analisa kritik tentang konsepsi-konsepsi untuk menentukan arti, implikasi dan
preposisi. Refleksi adalah praduga, perenungan, pertimbangan atau
pemikiran. Kedua hal ini berhubungan erat, mungkin bisa “dikatakan” dialektika
adalah “rencana” sedangkan refleksi adalah “pelaksanaan dan evaluasi”.
Dalam
kehidupan, kita selalu berdialektika dan pada akhirnya berefleksi. Kita
berencana, melakukan kegiatan untuk mewujudkan rencana tersebut dan ujungnya
melakukan evaluasi kembali. Proses dialektika selalu ada terhadap sebuah konsep
yang nantinya akan melahirkan sebuah “pemaknaan baru”. Pemaknaan baru itu
merupakan “hasil” dari apa yang disebut penafsiran ulang atau reintepretasi. Tentunya
intepretasi dan reintepretasi terhadap sebuah konteks perlu dilakukan karena
dunia semakin berubah dan terus berkembang, tak sama saat konteks itu
diciptakan. Berpijak dari hal itu, maka artikel ini dibuat untuk memaknai
kembali, berdialektika, intepretasi, reintepretasi serta berefleksi terhadap
sejarah kedatangan para leluhur.
Ada hal yang
menarik, jika kita belajar tentang sejarah kedatangan para leluhur yang
“dianggap” sebagai generasi awal orang Ambon – Lease. Dalam sejarah asal usul
setiap negeri yang ada dalam kawasan ini, selalu saja ada “cerita” tentang
kedatangan leluhur dari negeri yang menggunakan gosepa sebagai alat
transportasi serta melalui lautan. Toehaha, Porto, Haria, Paperu, Booi dan
seterusnya bisa dijadikan pembandingnya. Tentunya hal ini selalu dianggap dan
diterima sebagai kebenaran mutlak. Terkadang, kita tak berani untuk
“menggugatnya” atau memaknai ulang terhadap sejarah kedatangan para leluhur
itu. Dalam kebudayaan kuno, biasanya masyarakat selalu menggunakan tamsil, perumpamaan, simbol, lambang, kode untuk menyampaikan sesuatu maksud. Tentunya
kita masih ingat, dalam tradisi Kristen, Yesus Kristus atau Nabi Isa selalu
menggunakan perumpamaan saat menyampaikan Firman.10) Pertanyaan kritis akan
muncul jika kita “meneliti” secara baik-baik soal sejarah kedatangan para
leluhur. Mengapa selalu berhubungan dengan lautan? Mengapa selalu menggunakan
gosepa? Apa ini bukan sejarah “copi paste”? Apa maknanya? Kenapa cerita kedatangan
leluhur hampir semua sama? Apa jangan-jangan ini adalah cerita tuturan yang
menggunakan simbol, lambang dan memiliki tujuan dan pesan yang ingin
diwariskan? Kita selalu percaya bahwa para leluhur memiliki kekuataan
“super”, jika ini benar, kenapa harus melewati lautan? Kenapa tidak mengunakan
cara yang lebih gampang? Misalnya dengan “terbang” atau “meloncat” dan masih
banyak pertanyaan kritis lainnya.
Banyak dari
kita akan menjawab dengan sederhana, ya pasti harus melewati lautan karena
antara negeri asal dan negeri hunian baru terpisah oleh lautan dan saat itu
belum ada jalan aspal. Mengapa menggunakan gosepa, karena saat itu hanya ada
alat transportasi berupa itu, belum ada kapal laut dan jawaban-jawaban “mudah”
lainnya. Namun, tidakkah kita berpikir ada yang “sedikit” aneh dengan cerita
tuturan itu? Tidakah ada makna lain dari penuturan seperti itu? Jangan-jangan
ada pesan moral yang ingin diwariskan, disampaikan dari leluhur kepada generasi
berikutnya tentang kehidupan?
Berpikir kritis itulah, penulis ingin
berdialektika, melakukan intepretasi, berefleksi terhadap cerita tuturan
tentang kedatangan para leluhur negeri Saparoea.
1.
Mungkinkah lautan adalah “lambang/simbol” dari kehidupan yang tak
bisa diprediksi? lautan yang bisa tenang tapi juga bisa tiba berubah
bergelombang dan menghancurkan, bisa disamakan dengan kehidupan. Kehidupan yang
tak bisa diramal karena selalu penuh misteri, ada suka, duka, bahagia, airmata,
susah, senang yang datang silih berganti mewarnai kehidupan manusia. Hal
menarik, jika kita mencermati salah satu cerita dalam Alkitab, khususnya Injil
tentang Yesus menenangkan gelombang.11) Apakah mungkin “konteks
besar” cerita ini dijadikan “latar belakang” terhadap hampir semua cerita
tuturan sejarah kedatangan para leluhur? Mungkin saja, jika gelombang
“dipahami” sebagai kehidupan itu sendiri. Jika seperti ini, apa maknanya? Apa
tujuan pesan yang ingin disampaikan? Menurut penulis, para leluhur ingin
mewariskan pesan kehidupan. Pesan yang harusnya dilakukan oleh generasi
berikutnya, oleh anak cucu mereka. Kehidupan seperti gelombang lautan, maka
seharusnya harus dijalani, dilewati dengan kesabaran, ketekunan, pengorbanan,
dedikasi, kerja keras, tak gampang menyerah, dan seterusnya. Suka, duka,
tertawa, menangis, bahagia, masalah, adalah mozaik hidup seperti lautan yang
tak bisa diramal. Dalam cerita tuturan sejarah kedatangan, kita tak mengetahui berapa
lamanya waktu yang ditempuh dari negeri asal hingga tiba di pantai negeri Saparua. Apa 1 jam, 2 jam? 1 hari, 2 hari? Atau bahkan 1 minggu? 1 bulan? Apa selama perjalanan itu, tak ada rintangan berupa gelombang? Kehabisan
persediaan makanan dan air? dan seterusnya. Bayangkan jika mereka menyerah dan kembali ke negeri asal, mungkin
saja “tak ada” negeri Saparoea, jikapun ada karena di temukan/dihuni orang
lain, bukan kitalah yang sekarang menjadi anak cucu dari leluhur itu.
Penulis memahami dan menafsirkan bahwa para
leluhur “menciptakan” cerita ini meskipun tetap “meyakini” kebenaran cerita ini, atau mungkin saja mereka pernah
melakukan perjalanan itu, agar kita bisa belajar bagaimana perjuangan mereka
dari negeri asal ke sebuah dunia baru, dunia asing, dunia antah berantah yang
akhirnya menjadi “homeland” bagi anak cucu mereka.
Ataukah “kebiasaan” nenek moyang nusantara
melayari lautan dalam jalur perdagangan11 menjadi “background” dari
terciptanya cerita tuturan ini? Jika ia, tetap saja masih meninggalkan pesan
moral atau pesan kehidupan buat generasi selanjutnya. Kebiasaan berlayar bisa
jadi simbol tentang usaha menafkahi kebutuhan hidup. Untung rugi, kesulitan,
kebangkrutan, kebangkitan kembali, tak menyerah adalah bagian dari kerja,
mungkin dari situ pesan ini ingin diwariskan kepada kita.
2 Apa mungkin “gosepa” adalah simbol/lambang dari tubuh kita?
Tubuh jasmani maupun rohani kita? Wadah atau tempat yang terdiri dari daging,
tulang, air, yang berisikan “jiwa/roh’’? jika itu simbolnya, maka pesannya adalah dalam menjalani hidup
(lautan), harus ada keseimbangan antara tubuh jasmani dan rohani, ada
keseriusan tapi juga canda. Ada juga keharusan untuk “merawat” tubuh (gosepa)
selama melayari/menjalani hidup (lautan). “perawatan” tubuh yang bersifat
jasmani maupun rohani mungkin bisa disamakan dengan perawatan gosepa sebelum
berlayar, di tengah pelayaran hingga tiba di tempat tujuan.
3 Ada hal menarik dari cerita tuturan sejarah kedatangan leluhur,
mereka singgah di beberapa tempat hingga akhirnya mencapai tempat yang mereka
inginkan. Apa ini juga sebuah simbol atau lambang dari kehidupan sebenarnya? Jika
benar, maka mungkin saja mereka ingin mengajari kita, jangan menjalani hidup
yang tidak diinginkan. Jangan menjalani kerja yang bukan keahliannya, jangan
menjalani profesi yang tidak kita inginkan atau tidak kita sukai. Jika tetap
dipaksakan, kekecewaan yang akan menimpa.
Ataukah saat mereka tiba di beberapa
tempat itu, telah ada orang di daerah itu? Jika itu adalah alasannya. Coba pikirkan
pesan ini, bukankah itu sikap toleransi? Sikap menghargai “penduduk awal”
dimana orang baru tak harus memaksakan diri untuk “bertempur” dan menjadi
“penguasa”? Mungkin pesan moralnya adalah, agar kita memiliki sifat
toleransi, apresiasi terhadap keberadaan orang lain, menghargai orang lain
sebagai pengakuan dari “keberagaman”manusia. Bukankah “warisan genetika” para
leluhur itu yang pada akhirnya menjadikan negeri Saparoea sebagai negeri homogen? Negeri yang bertoleransi terhadap keberagaman
masyarakat pendatang?
4 Pada ujung cerita tuturan sejarah kedatangan para leluhur,
akhirnya mereka “membangun” sebuah negeri baru, negeri awal yang dikenal
sebagai “negeri lama”. Apakah ini juga sebuah simbol? Kenapa harus di
hutan? Di gunung? Banyak yang berpendapat/menganggap bahwa itu merupakan
“strategi militer”. Tempat tinggi dan tersembunyi merupakan benteng terbaik
dalam pertempuran. Jika yang jadi wacana adalah pertempuran, alasan itu bisa
diterima. Yang jadi pertanyaan adalah apa pada saat itu telah terjadi
peperangan? Kalaupun yang menyerang adalah bangsa Eropa, catatan sejarah
menunjukan Portugis diperkirakan datang
di tahun 1500an, itupun telah 70an tahun setelah kedatangan para leluhur
tiba pertama kalinya di tahun 1436. Ada hal yang ganjil dan bersifat “anakronis”
dalam kronologi waktu. Satu-satunya adalah bahwa “pembentukan” negeri baru di
daerah pegunungan adalah simbol kudus. Dalam
Wastu Citra, YB Mangunwijaya12) mencatat bahwa gunung
dalam banyak kebudayaan selalu dihayati sebagai Tanah Tinggi, tempat yang
paling dekat dengan Dunia Atas. Para dewata selalu dibayangkan hidup dalam
wilayah puncak-puncak gunung: Olympia (Yunani), Haraberezaiti
(Iran), Gerizim (Palestina), dan Meru (India, Jawa, Bali); bahkan
sampai membuat gunung buatan seperti bangunan zigurat (Mesopotamia), pagoda
(Birma, Thailand), atau stupa (India, Jawa) dan piramida (Mesir).
Di
Jawa, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 313), pemujaan asli yang lebih
kuno ditujukan kepada gunung-gunung dan dikaitkan pada diri sang raja. “Pada
pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, lalu
gagasan bahwa maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai
Penguasa Gunung,” tulis Lombard.
“Tema
gunung kosmis sebagian diambil-alih karena para wali (penyebar agama Islam, red)
juga berusaha menetap (dan dikuburkan) di ketinggian: Di Gunung Giri, Gunung Jati
(di dekat Cirebon), Bayat (dekat Klaten),” tulis Lombard dalam Nusa Jawa:
Silang Jawa Jilid 2.14)
Dari uraian analisis sejarah dan catatan sejarah
inilah, pemilihan gunung sebagai tempat “negeri lama” bukan berdasarkan alasan
pertahanan atau militer, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang bersifat kudus
atau pengkultusan terhadap gunung. Gunung
dimaknai sebagai poros dunia, dimana para dewata berdiam. Bukankah ini bisa
disamakan dengan wilayah bernaungnya sang penguasa dunia yaitu Tuhan. Jika itu
maksudnya, maka itu berarti ada ibadah, ada pengucapan syukur, ada doa, kepada
Tuhan yang mereka imani dan percaya? Pesan moralnya adalah, saat mencapai
kesuksesan hidup, tiba di tempat tujuan, melewati segala masalah, rintangan, halangan,
haruslah ada penyembahan, pengucapan syukur, ibadah, doa dan apapun namanya
kepada Allah, Tuhan yang kita imani yang telah mengijinkan, melindungi, menjaga
dan memberkati kehidupan.
PENUTUP
Seperti yang
tertulis pada judul
dalam artikel ini, adalah bersifat pribadi. Bersifat pribadi berarti pemikiran
pribadi yang bersifat tafsiran. Berpijak dari pemahaman bahwa manusia tidaklah
bisa selesai, maka intepretasi ini tidaklah mutlak atau dianggap sebagai
kebenaran tunggal. Tiap pribadi atau orang pastilah memiliki tafsiran atau cara
pandang sendiri-sendiri dan adalah lumrah. Tafsiran ini hanyalah “sementara”
yang mungkin saja akan di “perbaharui” oleh orang lain atau oleh penulis
sendiri. Jika ada yang tak menyetujui dengan tafsiran, itu adalah baik dan
diperlukan agar kita bisa sama-sama belajar untuk memahami semuanya.
Mungkin
tulisan ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap cerita tuturan itu sendiri
atau penyangkalan terhadap sejarah leluhur. Itu berpulang kembali ke
masing-masing. Namun yang pasti penulis hanya ingin memberi perspektif baru
meski penulis tetap meyakini “kebenaran” sejarah kedatangan leluhur negeri Saparoea Pisarana Hatusiri Amalatu.
Catatan kaki :
1. Seta Basry dalam sebuah blog, diunduh
pada tanggal 03 Mei 2015
4. Goenawan
Moehamad dalam catatan pinggirnya berjudul Maridjan
5.
Yohanes Pasal 1 ayat 1
6.
Goenawan Moehamad dalam catatan pinggirnya
7.
Goenawan Moehamad : Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang, 1969
8. Tahun 1436 M, adalah tahun yang
paling benar yang mencatat kepergian 4 kapitan besar ke Negeri Saparoea (pisarana
hatusiri amalatu). Ini juga sekaligus sebagai ralat terhadap berbagai artikel
sebelumnya yang mencantumkan kedatangan para leluhur pada tahun 1463 M. Tahun kedatangan
yang paling benar ini didapatkan penulis saat “mengunjungi” Negeri Souhuku pada
tanggal 20 April 2015, saat persiapan dalam rangka peresmian Baileu Negeri Souhuku ditanggal
28 April 2015. Penulis mengakui ada “kekeliruan” yang dilakukan penulis yang
turut mencantumkan tahun 1463 sebagai tahun kedatangan pada beberapa artikel
sebelumnya. Namun tanpa bermaksud membela diri, kekeliruan itu bisa “dimaklumi”
dengan melihat perbedaan tahunnya, yaitu antara 1436 dan 1463, ya secara
sederhana bisa dibilang “tak ada” yang salah karena tahunnya (angka puluhan)
yang terbalik, meski kenyataannya keliru dan akibatnya adalah rentang yang
cukup panjang selama 27 tahun.
9. M.
Dahlan Al Barry Kamus Modern Bahasa Indonesia, Penerbit Arkola, Jogjakarta 1994
10.
Lihat ke-4 injil dalam
Alkitab, Injil Matius, Markus, Lukas dan Johanes
11.
Idem
12.
YB Mangunwijaya, Wastu Citra
13.
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid 3
14. Denys Lombard, Nusa Jawa
Silang Budaya, jilid 2
-
Hendri Isnaeni, Pertanda
dari Gunung, artikel historia online, di unggah tanggal 09 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar