PERMAINAN ANAK-ANAK DI NEGERI SAPARUA
(Penulis : Aldryn Anakotta)
A.
Pengantar
Tulisan ini merupakan “bagian
kecil” dari tulisan yang sedang dikerjakan namun belum selesai tentang sejarah
sosial di negeri saparoea pada era 1982-1997. Meski cuma “bagian kecil” tapi bisa
dikatakan lebih terperinci karena menceritakan tema yang lebih dipersempit dan
khusus menyangkut permainan anak-anak di masa kecil dulu. Tulisan ini bersumber
dari kenangan masa kecil hingga masa remaja pada tahun 1983-1994 di negeri saparoea. Berhubung
karena bersumber dari kenangan masa kecil, maka tulisan ini adalah pandangan
dari penulis, sehingga mungkin saja ada hal-hal yang terlewati atau tidak
diceritakan atau tidak “dialami” oleh orang lain. Karena itulah, tulisan ini
bisa diharapkan sebagai “pemicu” agar orang lain terkhusus anak-anak negeri
saparoea bisa menulis kenangan mereka sendiri. Dengan begitu, makin banyak kenangan
masa dulu yang bisa dihadirkan dan saling melengkapi yang lain. Tema yang
diangkat dalam tulisan ini adalah tentang permainan anak-anak. Berarti segala
hal yang menyangkut jenis-jenis permainan yang dimainkan anak-anak di negeri
saparoea di masa
yang disebutkan di atas.
B.
Jenis-jenis
permainan
Banyak permainan anak-anak
yang dialami dan dimainkan oleh penulis semasa kecil dan masih teringat sampai
sekarang. Setiap permainan selalu “ditandai” dengan waktu atau lebih dikenal
dengan nama musim/musing. Misalnya musim laying-layang, musim karet, musim gambar, musim
kelereng (mutel) dan sebagainya
§ Permainan Anak Laki-laki
Barmaeng layang-layang via : m.kaskus.co.id |
Musim
layang-layang “biasanya” terjadi pada waktu libur kenaikan kelas yaitu antara
bulan juni-juli saat liburan panjang,
dan masa itu bulan-bulan tersebut selalu ada pada musim kemarau (panas)
sehingga cocok dengan permainan ini. Permainan ini adalah salah satu permainan
favorit di masa
kecil buat anak-anak karena banyak kenangan di dalamnya. Ada sensasi,
keceriaan, keriuhan, kegaduhan, kebahagian, kekecawaan, senyum, tawa, sakit
hati dan segalanya. Semuanya berkumpul jadi satu dan terus membekas. Secara
umum layang-layang terbagi dua yaitu layang-layang “berkaki tunggal” dan
layang-layang “berkaki ganda/dua”. Pemakaian tanda kutip di atas hanyalah untuk
mempermudah agar didapatkan penyebutannya dalam bahasa Indonesia, meski dalam
pengucapan orang negeri saparoea, layang-layang jenis itu disebut layang-layang
“panta satu” dan layang-layang “panta tabalah (terbelah)”. Panta atau pantat
adalah penyebutan untuk daerah paling bawah (bagian kaki) dari layang-layang. “konstruksi”
layang-layang pada dasarnya berbentuk salib/palang bersilang (cross) dimana
tiap ke-empat ujungnya terikat benang yang mengelilinginya. Untuk membuat
layang-layang hanyalah diperlukan bahan-bahan yang sederhana berupa potongan
bambu/buluh, benang, kertas minyak dan lem. Dari potongan bambu itu, hanya
dibutuhkan 2 potong kecil yang telah diraut dan berbeda ukuran panjang. Potongan
yang lebih panjang dijadikan sebagai “tulang punggung / tiang tengah”
layang-layang, sedang yang lebih pendek dijadikan sebagai “tiang penyeimbang”
atau sebagai “rangka sayap” layang-layang. Hasil rautan yang baik akan
mempengaruhi “performa” layang-layang saat “beratraksi dan bermanuver” di
udara, selain itu juga merupakan “kreasi seni” di bagian rangka layang-layang. Saat
kedua potongan bambu itu telah siap/selesai, dibentuk rangka layang-layang dengan
bentuknya seperti salib atau palang bersilang, kemudian benang diikat pada “kepala” rangka sehingga
menutupi ke-empat ujung rangka, dan benang “sisa” diikat pada kedua ujung
“rangka sayap” yang satu menuju ujung rangka yang lain. Rangka sayap itupun
harus dibengkokkan sedikit agar mendapat “nilai kesetimbangan” pada rangka
layang-layang. Setelah semuanya selesai, rangka itu kemudian ditutupi dengan potongan-potongan
kertas minyak menggunakan lem. Lem yang “sering” digunakan pada masa itu adalah
lem yang terbuat dari papeda (bubur sagu) atau lem tackol. Potongan-potongan
kertas minyak yang kadang “satu warna” atau “beraneka warna” inilah yang
nantinya di jadikan panduan anak-anak masa itu hingga sekarang untuk
“menamakan” atau menyebut “merk” layang-layang. Berbagai nama diberikan
mengikuti “pola” kertas minyak yang ada pada layang-layang. Ada nama layang-layang
Kepala Toi, Pinggang, Baju Kaos, Dam-Dam, Ekor Ikan, dan beberapa nama lainnya
yang mulai hilang dari ingatan. Di masa itu, “ahli” pembuat layang-layang yang
terkenal adalah Om Bantji Herman (Koko Bantji). Rumahnya bersebelahan dengan
lokasi SD Negeri 1 Saparua. Sampai sekarang pun, nama almarhum seperti menjadi
“legenda” dalam pembuatan layang-layang. Tidak ada anak-anak saparua di masa itu yang tidak mengenal
diri dan namanya. Setelah meninggal, “bakat” itu diteruskan oleh anak-anaknya
seperti Om Skel Herman, Om Matheis Herman. “kelebihan” layang-layang buatannya
terletak pada, “modifikasi dan improvisasi” kertas minyak yang terlihat sangat rapih dan
“menciptakan” banyak merk pada hasil buatannya. Pada masa itu, harga
layang-layang hanyalah Rp.500,00,- dan mengalami kenaikan harga menjadi Rp.1.000,00,-
di tahun-tahun
belakangan, entah kalau sekarang harganya mungkin Rp.5.000,- sampai Rp.10.000,-. Anak-anak seringkali
membeli layang-layang buatannya, meski ada juga yang mencoba membuatnya sendiri
meski kualitasnya tak sebagus buatan beliau. Bahkan saking melegendanya buatan
beliau, kami anak-anak bisa “mendeteksi” layang-layang buatan beliau atau
bukan, betapa hebat bukan???. Jika layang-layang itu telah mengudara atau
mengangkasa, bahkan kami bisa mengetahui dengan jelas dari gerakan dan pola warna-warni
yang terlihat, siapa “master” di balik layang-layang itu. Biasanya
layang-layang yang dijual adalah “kosong” maksudnya layang-layang yang belum
ada “tali kemudinya” dan benang buat “mengadu” layang-layang, hanya
layang-layang toch!!!. Setelah dibeli,
tali kemudinya nanti di buat sendiri oleh pemilik layang-layang tersebut sesuai
selera dan “aturan umum” yang berlaku. Begitu juga dengan benang gelasan untuk
mengadu layang-layang. Tali kemudi layang-layang biasanya disebut tali tong. Cara
membuat tali tong adalah, melubangi area layang-layang, di tengah-tengah/sentral,
diantara pertemuan tulang punggung layang-layang dan sayap layang-layang, biasanya
menggunakan batang lidi agar tercipta 2 lubang kecil, 1 lubang di bagian
diagonal sebelah kanan atas, dan 1 lubang di bagian diagonal sebelah kiri bawah,
atau kiri atas dan kanan bawah tergantung selera dan kebiasan orang yang
membuatnya. Lubang ini sebagai tempat memasukan benang. Seutas benang dibuat rangkap 2, dengan panjang
yang telah ditaksir, setelah lubang di buat, kemudian memasukan benang itu
hingga menembus area belakang layang-layang dan melingkari pertemuan 2 batang
bambu atau rangka layang-layang dan “kembali’ ke area bagian depan
layang-layang kemudian diikat kencang agar tak lepas, ujung benang yang lain
diikat pada bagian bawah / bagian kaki layang-layang. Setelah kedua posisi ini terikat,
pada bagian 1/3 benang yang telah terikat itu, dipegang dan ditarik ke arah
sayap kanan dan kiri layang-layang, seperti “mengukur” keseimbangan tali kemudi
layang-layang, biasanya ukuran “pas” adalah beberapa senti di atas sayap layang-layang,
tentang ukuran pastinya tergantung selera yang membuatnya. Sering kali orang
yang membuatnya menguji coba ukuran itu untuk mendapatkan gerak layang-layang yang
diinginkan, dengan cara menerbangkan layang-layang. Jika dirasa belum pas,
mereka mengukur lagi dan mencoba lagi hingga didapatkan ukuran yang diinginkan.
Jika telah didapati ukuran yang pas, bagian benang yang pas itu diikat lagi
sebagai “jangkar” untuk nantinya diikat lagi dengan benang gelasan/aduan. Jika
semuanya telah selesai maka tentunya layang-layang telah “siap bertanding”. Selain cara membuat layang-layang, ada hal
menarik yang perlu dibahas yaitu cara membuat benang gelasan atau benang aduan
(banang goso). Hal ini perlu diceritakan karena mengandung banyak hal “sensasi”
dan pengalaman unik di dalamnya.
Pada masa itu benang yang dijual dalam ukuran klos atau “tukal”. Biasanya ada 2 ukuran klas di masa
itu berdasarkan ukuran panjang benang, yaitu 500 yard dan 1000 yard. Merk
benang yang “top” di masa itu adalah merk/cap mawar dan gadjah. Umumnya benang cap
mawar memiliki ukuran panjang benangnya 500 yard, sedangkan cap gadjah adalah
1000 yard. Anak-anak yang orang tuanya berkelebihan ekonominya pasti akan
membeli benang cap gadjah, sedangkan yang ekonominya pas-pasan akan membeli benang
cap mawar, padahal harganya cuma Rp.500 dan Rp. 1.000, hal ini disebabkan
karena mata uang pada masa itu sangat besar buat kami anak-anak. Setelah
benangnya dibeli, waktunya untuk membuat benang aduan/gelasan dimaksud. Ada hal
yang “unik” karena benang itu “dicelupkan” dalam “cairan ramuan” yang hasilnya
akan menambah “ketajaman” benang saat beradu. Resep untuk membuat ramuan
dimaksud terkadang seperti “ilmu silat” yang sering “disembunyikan” dari
anak-anak yang lain. Seringkali saat “mengakui kehebatan” pemilik layang-layang
yang sering memenangkan aduan, kami “mencari tahu” ramuan apa yang digunakan
olehnya, atau mencuri dengar “resep-resep rahasianya”… Unik dan seringkali
memorable bila diingat kembali pada usia sekarang. Begitulah kehidupan
anak-anak yang polos dan belum memikirkan hal-hal rumit tentang dunia ini,
hanyalah dunia permainan anak-anak. Sebenarnya resep ramuan itu pada umumnya
“standar” yaitu berupa bahan baku seperti batangan lem, pecahan beling dan
campuran beberapa daun yang kemudian dimasak. Hanya itu, namun ada tambahan”
campuran” lainnya yang seringkali disembunyikan atau tidak diberitahukan ke
orang lain. Semacam “rahasia” di antara kelompok anak-anak yang
mempertahankan “ilmu jurus maut”. Cara membuatnya adalah sebagai berikut : pecahan
beling yang sering kami gunakan adalah lampu neon/TL, atau “isi dalam” termos, pecahan
beling itu kemudian di tumbuk dalam lesung hingga halus, kemudian “disaring/ di
filter” menggunakan kain untuk mendapatkan serbuk “utamanya” dan ditaruh
kedalam wadah berupa kaleng kecil (bisa menggunakan bekas kaleng susu), masukan
batangan lem, sedikit air dan beberapa daun, kemudian dimasak sambil
diaduk-aduk hingga mendidih dan mendapatkan hasil ramuan yang diinginkan. Hasil
ramuan itu agak mengental dan berair serta melengket. Setelah agak dingin
kemudian masukan klos benang kedalam ramuan tersebut sambil diaduk-aduk hingga
campuran itu melumeri benang tersebut. Klos benang sebelum dimasukkan, harus memasukan sepotong
kayu di lubang bantalan benang untuk dijadikan “roda” saat proses
“mengeringkan” benang tersebut. Proses mengeringkan benang yang telah
berlumuran atau bercampur dengan ramuan itu biasa disebut “goso banang”. Proses goso banang sederhana saja. Sebelum dilakukan,
biasanya kami menanam 2 tiang yang disebut “suang”
dengan jarak tiang 5-10 M. lokasinya
bisa di kintal/halaman kosong, di belakang rumah, di samping rumah, di halaman
tetangga dan atau di tempat yang kami
anggap cocok untuk proses itu. Setelah semuanya disiapkan, maka dimulailah
proses pengeringan dimaksud. Ujung benang diikat pada bagian bawah tiang,
kemudian sambil berjalan, jari ibu dan jari telunjuk “menjepit” sisa benang dan
memutari kedua tiang tersebut dan melilit benang pada kedua tiang tersebut
dengan arah menaik dari bawah ke atas. Otomatis dengan bantuan”roda” yang
terpasang pada benang dalam wadah akan terus berputar sambil terus “bercampur”
dengan ramuan itu sampai benang habis. Jika jarak tiangnya pendek maka tentunya
akan didapatkan tingkatan lilitan yang banyak, begitu sebaliknya jika jarak
tiang cukup jauh, maka tingkatan lilin juga akan sedikit. Tujuan “menjepit”
kedua jari pada proses pengeringan itu adalah untuk menghindari munculnya “benjolan”
pada hasil benang yang di gosok. Benjolan itu biasanya kami namakan “babuku” . Benang babuku sangat dihindari
oleh setiap pemain karena itu merupakan “daerah sensitif” atau “titik terlemah”
yang selalu mengakibatkan layang-layang “kalah” dalam aduan. Selain untuk
menghindari benjolan tujuan lainnya adalah agar ramuan tersebut melumeri benang
dengan sempurna sehingga hasil yang didapatkan akan memuaskan. Jika dalam
proses pengeringan itu muncul benjolan yang tak terlihat atau terpantau maka
kami akan menelitinya dengan cermat, dan saat ditemukan, kami akan
“menghilangkannya” atau meratakannya kembali. Saat dewasa, saat menulis bagian
ini, ada makna terdalam dan filosofis dalam proses ini untuk kehidupan. Di situ diajari tentang arti kesabaran,
ketelitian, kerja keras sebagai modal untuk pribadi masing-masing. Kami sangat
menikmati proses itu pada masa anak-anak. Ada kegembiraan, keletihan dan
kebahagiaan ketika semuanya selesai. Begitulah permainan anak-anak yang
sederhana, namun menyimpan banyak ajaran tentang kehidupan.
Setelah
benang di dalam wadah itu telah habis, ujung benang yang “tertinggal” akan
diikat pada tiang. Butuh beberapa waktu untuk mengeringkan benang tersebut. Cuaca
yang panas dan ber-angin sangat cocok untuk membantu mengeringkan benang. Mungkin
1-2 jam untuk mengeringkan, meski bisa saja di butuhkan waktu dibawah itu. Setelah
dirasa cukup, kemudian ujung benang dilepas dan diikat pada kaleng berukuran
medium sebagai klos dan kemudian
dililit sambil berjalan mengikuti alur lilitan benang yang terlilit pada tiang
tadi, hingga selesai. Kaleng yang digunakan adalah kaleng bekas mentega yang
telah ditutupi oleh kertas atau koran, dengan tujuan mungkin untuk menghindari
benang bersentuhan langsung dengan dinding kaleng, meski juga ada yang tak
menutupi kaleng tersebut. Entah apa tujuan pastinya kaleng ditutupi, mungkin
juga hanyalah sebagai “hiasan” agar terlihat menarik dan rapih, entahlah…..
Tempat
favorit dalam proses gosong banang
pada masa itu adalah di pasar saparua. Tentunya bukan “arsitektur” pasar
saparua seperti sekarang. Anak-anak yang mengalami masa itu pasti akan langsung
membayangkan dan tahu tentang “arsitektur” pasar saparua masa itu. Di masa itu,
di dalam pasar, di bagian kanan dan daerah belakang ada sebuah lokasi tempat
menjual ikan. Pada tempat itu, dibangun atau dibuat 5 buah “undakan” atau “langkang” yang cukup lebar dan panjang. 2
buah langkang di sisi kiri kanan “menjepit” 3 buah langkang yang lebih pendek. Pada
sisi kedua langkang itu ada tiang-tiang penyang yang jaraknya sekitar 15-20 M.
tiang-tiang itulah yang digunakan pada proses pengeringan benang/goso banang itu. Tempat itu jadi favorit
karena seperti dijelaskan diatas, jarak tiang yang jauh memudahkan anak-anak
untuk melilit. Dengan jarak tiang yang jauh, maka lilitan tak banyak sehingga
tak membutuhkan waktu yang lama saat melilit, selain itu karena lokasi itu
berdekatan dengan pantai sehingga angin laut turut mempercepat keringnya
benang. Biasanya anak-anak melakukan proses itu pada siang hari saat aktivitas
pasar telah selesai atau hari minggu sebagai hari “libur”.
Jika
semuanya telah selesai tiba saatnya untuk memasuki “arena pertandingan” yaitu
adu layang-layang. Kegiatan adu layang-layang dinamakan baku potong layang-layang. Kegiatan ini sangat menyenangkan. Ada
semacam “aura” gengsi dan kompetisi dalam kegiatan ini. Siapa yang lebih hebat,
siapa yang memenangkan pertandingan, siapa yang nantinya akan jadi “raja udara”
pada akhir pertandingan. Betapa bangganya kami anak-anak saat diminta/dipercayakan
untuk menjadi “asisten” buat orang dewasa/pemain utama dalam permainan adu
layang-layang itu. Meskipun tugas asisten hanyalah memegang kaleng/klos benang
gelasan, mengarahkan posisi kaleng ke arah yang benar hingga benang terjulur
dengan baik saat proses aduan, serta menggulung benang kembali ketika
layang-layang putus sebagai tanda
kekalahan atau juga saat menurunkan layang-layang ketika tak ada lagi
layang-layang sebagai lawan. Betapa anehnya, tetapi ada kebanggan didalam dada
menjadi bagian dari pemain saat layang-layang menjadi pemenang atau menjadi
raja udara. Ada juga kekecewaan yang terlihat diwajah saat jadi bagian pihak
yang kalah, bahkan sebagai asisten kami sering turut “nimbrung” menyampaikan
“analisa” kenapa sampai bisa kalah dalam pertandingan aduan layang-layang. Itulah
“sensasinya” dalam permainan tersebut. Sebelum bertanding, biasanya pemain
utama mencoba layang-layangnya, meminta bantuan anak-anak untuk menerbangkan
layang-layang, anak-anak memegang kedua sayap layang-layang setinggi dada atau
mulut dan berjalan mundur sejauh yang bisa dicapai. Saat mencapai batas yang
diinginkan, dengan benang yang terentang antara layang-layang dan pemain utama,
kemudian dengan “kode” anak-anak itu melepaskan layang-layang dan berbarengan
dengan itu pemain utama pun menarik layang-layang agar mengudara. Dengan
bantuan angin yang baik, tentunya layang-layang akan cepat mengudara, benang
ditarik kemudian di ulur lagi hingga pada akhirnya sempurna mengudara pada
ketinggian yang diinginkan. Jika pada percobaan menerbangkan layang-layang
ditemukan gerakan layang-layang yang “aneh” maka akan di cari solusinya. Gerakan
aneh yang dimaksud adalah posisi naik layang tak rata/seimbang atau selalu
miring ke sisi kiri atau kanan. Gerakan aneh ini biasanya kami menyebutnya layang-layang batimbang. Jika ditemukan
hal ini, maka layang-layang diturunkan kembali, untuk menghilangkan penyebabnya.
“analisa” yang dilakukan untuk memahami gerakan yang aneh ini adalah jika
miring ke kiri, maka penyebabnya pasti daerah bagian kiri layang-layang “lebih
berat” atau tidak berimbang/tidak sama
dengan bagian kanan, begitu juga sebaliknya. Karena “kelebihan berat” itulah
maka tentunya posisi layang-layang akan selalu miring/condong mengikuti arah
pada bagian yang kelebihan berat itu. Solusinya
adalah “menyamakan” kelebihan berat kedua sisi agar bisa seimbang. Jika miring
ke kiri maka akan di buat “alat penyeimbang” yang nantinya di taruh di bagian
belakang layang-layang sebelah kanan, begitupun sebaliknya jika miring ke
kanan, maka alat penyeimbang ditaruh di bagian kiri. Alat penyeimbang ini
dibuat dari bekas bungkusan permen, atau kertas dan di letakan/disangkutkan/dicantol
pada benang yang terentang pada rangka sayap di bagian belakang layang-layang
dan digulung untuk “mengunci” benang. Ada hukum “aerodinamika” dalam solusi
ini. Hebat bukan… masih anak-anak namun telah mempraktekan teori aerodinamika sederhana.
Jika masih terus belum mendapatkan hasil yang diinginkan, akan ditambah lagi
pemberatnya, dicoba lagi hingga benar-benar seimbang. Begitu terus menerus. Ada
juga hal unik saat menerbangkan layang-layang yaitu tentang angin yang jadi faktor penting agar layang-layang
bisa mengudara. Terkadang saat proses menerbangkan, angin yang bertiup tak
“cukup kuat” untuk “mengangkat” layang-layang. Kondisi ini biasanya disebut
dengan istilah seng ada angin, angin
mati, seng dapa angin. Solusi “aneh dan tak masuk akal” pun dilakukan.
Caranya dengan membunyikan suara menggunakan mulut yang di moncongkan berbentuk
suling. Cara ini dinamakan tiop fluit
atau fluit. Hal ini dilakukan untuk “memanggil angin”. Aneh dan tak masuk
akal hal itu, tapi sering mendapatkan hasilnya. Angin tiba-tiba “datang”
seperti mengikuti arah bunyi fluit dan membantu mengangkat layang-layang hingga
mengudara. Saat menulis bagian ini, penulis terus mengingat kejadian-kejadian
seperti itu, dan tanpa sadar tersenyum dan tertawa mengingat semua itu. Betapa
aneh dan tak masuk akalnya, bagaimana bisa angin dapat “mematuhi” perintah kami
hanya lewat suara tiupan yang keluar dari mulut anak-anak??? Bagaimana bisa kami
seperti “tuhan” yang berkuasa menggerakan angin sesuka kami??? Tapi begitulah….
Angin seolah-olah “mematuhi” atau mungkin juga Tuhan “kasihan” melihat usaha
dan harapan kami untuk memanggil angin.
Umumnya
acara aduan layang-layang di mulai dengan saling mengundang atau saling
menantang secara terbuka untuk bermain. Ada juga dimana salah satu pemain yang
telah “mengudarakan” layang-layang, seperti “memamerkan kekuatan/mengundang”
dan saat calon lawan melihatnya, maka dia akan juga mengudara, memancing,
mengundang, menantang lewat gerakan layang-layang, dan jika tantangan di
terima, maka secara otomatis terjadilah aduan layang-layang. Jika tantangan
tidak diterima, maka gerakan layang-layang, akan menghindar, menjauh, atau
bahkan pihak itu akan menurunkan layang-layang. Sang penantang dengan
sendirinya akan paham, jika pihak sebelah tak mau mengadu layang-layang.
Saat
tantangan diterima itulah maka, gerakan layang-layang akan saling mendekat,
“mencoba kekuatan” pihak lain, saling mencari, saling “berciuman” dan saling
“membelit”. Saat membelit itu, yang biasa kami sebut sebagai kanal. Kata ini merujuk pada “rasa” yang dialami
oleh pemain, saat benang kedua layang-layang itu saling “bertemu”, saling bersentuhan
dan saling membelit serta “ saling menggosok”. Jika terjadi proses ini, maka
dimulailah apa yang disebut baku potong
layang-layang. Saat terjadi, kedua pemain akan saling mengulurkan benang,
yang biasa disebut lanjar banang. Ini
dimaksudkan agar kedua benang saling bergosokan, mengadu kekuatan benang,
sampai salah satu benang putus. Dalam proses bergosokan itulah, lewat gerakan
tangan yang unik dari pemain yaitu gerakan memutar, sehingga layang-layang juga
ikut “berdansa”, “memutar”, dengan lincah. Gerakan tangan pemain yang memutar
itulah yang disebut giling. Begitu
juga dengan gerakan layang-layang yang saling berputar dengan lincah dan indah,
gerakan ini sering diungkapkan lewat kata-kata layang-layang giling bagus ee.
Begitu
juga saat mencari, menantang layang-layang pihak lawan, gerakan layang-layang,
akan “berbelok”, menukik, “menikam” untuk mendapatkan layang-layang lawan.
Gerakan layang-layang ini biasa di ungkapkan dengan kata-kata tikang. Gerakan menikam dengan lincah
dan patuh pada “kemauan” pemain ini biasa diungkapkan dengan kalimat kapala layang-layang pintar tikang atau
sebaliknya jika tak mematuhi gerakan tangan pemain dan membuat jengkel, sering
diungkapkan dengan kalimat layang-layang
pung kapala paleng bodo tikang ee.
Saat
proses baku giling itulah, kedua
pemain saling mengulurkan benang, agar benang terjulur dengan lancar dan saling
menggosok terus menerus. Kegiatan ini juga membutuhkan asisten yang biasa
disebut orang pegang klos. Bantuan
dan kerjasama yang baik dari pemain dan asisten turut mempengaruhi hasil
pertandingan. Bantuan dan kerjasama yang dimaksud adalah, asisten dengan
“tepat” mengarahkan mulut kaleng/klos benang kearah yang tepat yang mempermudah
aliran benang terjulur/berjalan dengan lancar.
Saat
baku potong layang-layang inilah,
banyak yang menonton, dengan wajah-wajah ceria, menengadah menatap langit,
kearah kedua layang-layang yang saling beradu. Ada teriakan, ada semarak, ada
kebahagiaan, ada kata-kata yang keluar dari mulut, sering ada “instruksi” dari
pihak penonton… giling
dia... giling dia… giling dia… secara berulang-ulang. Semua
itu makin menambah “panas” suasana, menimbulkan kompetisi yang makin “tajam”
tapi penuh kegembiraan layaknya anak-anak yang sedang bermain. Saat baku potong layang-layang, dibutuhkan
waktu yang sangat lama atau waktu yang cepat, semuanya tergantung pada
kekuatan, ketajaman benang gelasan dan “skil” pemain dalam bermain. Jika kedua
benang sama-sama tajam atau kuat, maka dibutuhkan waktu yang lama hingga salah
satu benang bisa putus, sampai layang-layang makin kecil terlihat, makin jauh
di langit. Jika itu terjadi, tentunya dibutuhkan benang yang panjang, pemain
telah mempersiapkan benang gelasan yang sangat panjang, atau jika kehabisan,
pemain terkadang “meminjam” benang gelasan dari teman lainnya untuk disambung. Jika
salah satu benang tak kuat atau tak tajam dibandingkan dengan benang
layang-layang lain, maka waktunya sangat cepat. Tak memerlukan waktu lama,
layang-layang itu akan kalah. Layang-layang yang kalah ditandai dengan putusnya
benang, sehingga layang-layang mulai “melayang”, terbawa angin. Kejadian ini
dinamai layang-layang putus/
layang-layang peper/tapeper. Jika seperti ini, bagi pihak yang kalah, akan
muncul wajah kecewa, rasa “menyalahkan diri” dan berbagai analisa muncul
tentang kekalahan itu, sambil menarik sisa benang, sang asisten membantunya
dengan menggulung benang kembali ke kaleng/klos. Jika merasa tak puas, ia akan
kembali mengeluarkan uang untuk membeli layang-layang baru dan menantang
kembali untuk bertanding. Bagi pihak yang menang, tentunya itu sebuah
kebahagian, kebanggaan, dan tawa. Teriakan kemenangan dari pemain serta
penonton makin menyemarakan suasana disekitar. Jika pemain itu terus menerus
memenangkan pertandingan aduan layang-layang, sehingga tak ada lawan lagi, maka
seharian itu ia disebut sebagai raja
udara. Selama belum ada lawan yang mampu mengalahkan, mahkota raja udara tetap disandangnya, hingga muncul “pendatang
baru” yang mampu mengalahkan dirinya. Pendatang baru itupun secara otomatis
“ditahbiskan” menjadi raja udara yang baru. Begitulah “aturan dan hasil”
pertandingannya. Tempat-tempat yang sering dijadikan “tempat” untuk baku potong layang-layang adalah, kintal di samping gedung Gereja Sidang
Jemaat Allah Saparua (kintal antara gedung gereja dan gedung BRI- sekarang), kintal
di depan Gedung
Gereja Sidang Jemaat Allah Saparua ( bekas gedung BPDM – sekarang), jalan di depan Rumah Toko (ruko) Om Butje Liong (depan
rumah Bpk Rocky Anakotta-sekarang), di belakang Rumah Tinggi (milik Kel
Pietersz-Anakotta), dan beberapa tempat lainnya.
Ada
hal menarik juga yang perlu diceritakan, di saat proses baku potong
layang-layang, sebagian anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa lainnya yang tak
menonton, turut “menikmati” dengan cara yang penuh “sensasi”. Yaitu menunggu,
berharap, berusaha, untuk mendapatkan layang-layang yang telah kalah atau putus/peper tadi. Kegiatan ini dinamai iko layang-layang. Kegiatan ini
benar-benar penuh sensasi, karena melibatkan begitu banyak perasaan di dalamnya. Perasaan hati
gembira, kecewa, airmata, harapan, impian, nafsu, ambisi, dan semua hal turut
“bermain” di dalamnya.
Kelompok yang tadi disebutkan telah siap sedia, memantau, menunggu, saat layang-layang
putus, mereka berlari mengikuti arah layang-layang, berlari sambil melihat
kearah layang-layang, meski terkadang sangat jauh, lelah, nafas memburu,
berkeringat, menginjak duri-duri sagu, pecahan beling, belitan semak-semak,
namun semuanya tak dihiraukan, yang ada cuma satu harapan, impian dan tujuan,
mendapatkan layang-layang itu. Seringkali saat layang-layang mulai “mendarat”
terjadi perebutan di antara
anak-anak, saling berusaha dengan segala cara agar bisa meraih layang-layang
itu. Jika salah satu anak sudah mendapatkan/meraih benang yang putus bersama
layang-layang, ada nada “peringatan” yang keluar… woeee… beta sudapa… sudapa…. Terkadang ada nilai “sportifitas” dari anak-anak lain,
saat melihat itu, ada yang berhenti untuk tidak memperebutkan lagi, tidak berusaha
lagi, dan membiarkan anak yang telah mendapatkan sebagai “pemilik sah”
layang-layang-layang itu, namun juga ada yang tak “sportif”, mereka berusaha terus untuk
berebut, merampok, tarik menarik, dengan tujuan agar layang-layang itu robek
atau rangka-rangkanya patah dan tak bisa digunakan lagi. Ya mungkin mereka
berprinsip daripada hanya seorang yang dapat dari begitu banyak orang yang ikut
memperebutkan, lebih baik tidak ada yang dapat sama sekali. Seringkali, ada
kekecawaan, tangisan, makian, umpatan, kemarahan hingga terkadang muncul
perkelahian. Bagi kami yang masih kecil, kejadian “tragis” seperti itu sering
membuat kami menangis, dan pasrah. Seperti kebahagian yang tiba-tiba direnggut
dengan paksa. Bayangkan kebahagiaan, kebanggaan yang baru saja kami raih dan
dapatkan, tiba-tiba sirna, karena layang-layang itu robek dan patah... Betapa menyedihkan… betapa
mengecewakan… namun apa dikata… Jika yang melakukannya adalah anak-anak yang
lebih besar dari kami...
kami tak bisa berbuat apa-apa… tak mungkin mengajak berkelahi…hanya menangis... Namun tak selamanya dengan
tangisan, ada juga menganggap sebagai hal “normal”... Ya pasti ada yang kalah… ada
yang menang… mungkin menganggap sebagai takdir… mungkin belum diberikan
kesempatan untuk mendapatkan layang-layang itu…. Jika begitu, maka kami akan
terus menunggu, berharap ada layang-layang putus, dan kembali berlari mengejar,
memperebutkan dan mendapatkannya. Begitu terus menerus hingga sore… saat
pertandingan layang-layang berakhir, saat tak satupun layang-layang terlihat di angkasa… kami berjalan pulang,
meski lelah… namun wajah polos anak-anak yang menikmati pengalaman dahsyat
tergambar di wajah… saat berjalan pulang… selalu ada cerita
pengalaman-pengalaman unik sepanjang hari itu saat iko layang-layang. Semacam “sharing” pengalaman… bahkan saat pulang
bersama dengan anak yang “beruntung” mendapatkan layang-layang, ada
kegembiraan dan juga “pengakuan” saat
melihat mereka menyandang layang-layang hasil “pendapatan” yang disandang di bahu... ada kegembiraan, kebanggaan
dan sifat “pamer” dalam diri jika kita mendapatkan layang-layang. Sifat ingin
menunjukkan ke orang
lain bahwa “saya hebat” selalu ada dalam diri. Layang-layang putus tak selalu
“mendarat” dengan sempurna di ruang kosong. Seringkali selalu tersangkut di
ujung pohon, rumah, dan jika terjadi seperti itu, muncul hal “ekstrim” dalam
diri… kami akan mempertaruhkan “jiwa raga” untuk mendapatkannya... Ada yang dengan berani
memanjat pohon yang tinggi untuk mendapatkannya… betapa unik dan ekstrimnya…
harga layang-layang yang “tak seberapa” namun jiwa raga dipertaruhkan untuk
memilikinya… jika dipikir-pikir, aneh dan tak rasional... namun begitulah… Itulah
sensasinya!!!
Saat
iko layang-layang, anak-anak selalu
membawa “peralatan perang” meski ada juga yang datang dengan tangan kosong.
Peralatan yang dimaksud biasa dinamai bulu
iko layang-layang. Peralatan sederhana ini hanyalah berupa sepotong
bambu/buluh yang panjang, dan “mahkotanya”. Ya, cuma sesederhana itu, potongan
bambu dengan ukuran panjang dan berat yang “disesuaikan” dengan “profil”
pemiliknya. Tentunya jika pemiliknya anak-anak, maka panjang dan berat potongan
bambu, tidak sama dengan anak remaja atau orang dewasa. Selain potongan bambu, ada
“mahkota” yang dipasang di ujung potongan bambu itu. “Mahkota” ini semacam berupa
“untaian semak” dengan cabang-cabangnya yang banyak dan mengembang
kemana-kemana. Semakin banyak cabangnya maka semakin baik digunakan untuk
mendapatkan layang-layang. “semak” itu berfungsi untuk meraih benang dan
membelit benang, sehingga benang dan layang-layang “terperangkap” dalam “semak”
itu. “Mahkota” itu biasanya terbuat atau berasal dari tumbuhan/tanaman jeruk
hutan (lemong utang). Tanaman yang
banyak tumbuh di hutan, dan tidak tinggi, ukuran tinggi tanaman hanyalah
setinggi dada orang dewasa. Ranting-ranting yang rimbun, dan di setiap
rantingnya “diselimuti” duri-duri kecil/pendek, berdaun hijau tua dan
kecil-kecil. Saat mengambilnya, anak-anak akan memilih cabang yang
ranting-rantingnya banyak. Setelah “menjatuhkan” pilihan, mereka akan memotong
cabang tersebut, membersihkan daun-daun di sepanjang rantingnya (sariki daong-daong) dengan “melepaskan”
daun-daunnya satu demi satu. Ini bertujuan agar, ranting-rantingnya tidak patah
dan mendapatkan hasil yang diinginkan. Pekerjaan ini membutuhkan kesabaran
“tingkat tinggi” apalagi jika “mahkota” yang terpilih itu banyak rantingnya
sehingga daunnya juga banyak. Saat dewasa, saat kembali memikirkan semua itu,
penulis menyadari ada nilai kehidupan yang diajari dalam kegiatan itu. Itu
mengajari kita untuk melatih kesabaran, ketelitian, dan keseriusan dalam hal
pekerjaan. Ya begitulah permainan anak-anak masa itu… meski sederhana tapi
memiliki “nilai sosial” untuk kehidupan di masa depan. Saat “rimbunan” mahkota
itu telah bersih, maka siap digunakan, tinggal mengikatnya pada ujung potongan
bambu yang akan di pakai. Selain tanaman jeruk hutan itu, ada juga yang “hanya”
menggunakan ranting-ranting pohon lain yang “mutunya” tak sama dengan jeruk
hutan tersebut.
Menunggu
layang-layang putus, dimulai saat anak-anak melihat ada layang-layang yang
mulai mengudara. Itu semacam “kode” kalau tak lama lagi akan ada “bigmatch”.
Jika seperti itu, anak-anak akan mulai mencari tempat yang diperkirakan sebagai
tempat jatuhnya/mendarat layang-layang. Saat mencapai tempat tujuan, hanya
sendiri dan menjadi orang pertama di tempat itu, kami tidak akan berisik, dan
“bersyukur” dalam hati kalau tidak ada orang lain. Sambil diam dan menatap
layang-layang di udara,
ada bisikan kecil dan “doa” serta harapan agar jika layang-layang putus, tak
akan ada orang lain yang datang…. Sioo…
mudah-mudahan jang orang datang lai jua…. Sifat “egois” ala anak-anak mulai
bermain. Namun doa dan harapan itu tak selamanya terpenuhi. Seringkali saat
layang-layang mulai putus, tiba-tiba begitu banyak orang yang muncul, “massa mengambang”, “penyusup”, datang berlari,
mengejar, berburu… ada kekecewaan tapi kemudian tergantikan dengan passion, semangat, gairah untuk bersaing
mendapatkan layang-layang. Bayangkanlah…betapa bergairahnya…. Sensasinya… saat
anak-anak berlari sambil menenteng “alat perang” sambil berteriak…. Layang-layang putus ooooo…. Layang-layang
peper ooo….
Ketika
layang-layang mulai putus, dan mulai mendarat, alat-alat perang mulai “beraksi”…
potongan bambu mulai diangkat, berusaha membelit benang layang, jika
tersangkut, maka dengan otomatis kami akan memutar potongan bambu itu, agar
mahkota semakin membelit benang semakin kuat dan mengunci layang-layang. Jika
telah mendapatkan, maka tinggal menunggu “takdir” semoga tak ada orang lain
yang terus “egois” berusaha merebut. Bahkan ada juga anak-anak yang lebih besar
dengan berbekal potongan kayu, memukul patah/menghancurkan alat-alat perang
itu, dan menambah “hiruk pikuk massa”. Ada
yang bisa mengakibatkan perkelahian gara-gara ini, meski ada juga yang tidak.
Bagian
lain yang “menarik” adalah apa yang
sering disebut anak-anak dengan istilah pancuri
ujung-ujung banang. Maksudnya adalah mencuri/mengambil benang milik pemain
yang layang-layangnya kalah/putus. Saat layang-layang putus, maka dengan
sendirinya sisa benang antara bagian benang yang putus hingga benang di tangan
pemain akan “jatuh”. Hukum gravitasi berlaku, semua benda akan jatuh ke tanah…
saat benang jatuh, terkadang tersangkut di pohon dan terentang, atau jika
beruntung akan jatuh di tanah
kosong. Saat melihat seperti itu, anak-anak akan mengambilnya. Jika terentang
di antara
beberapa pohon, atau antara pohon dengan atap rumah, dengan bekal sepotong
benang yang diikat batu kecil, kemudian dilemparkan ke benang yang terentang,
kemudian menariknya turun, diputuskan dan berlari bersembunyi.. benar-benar
nakal bukan??? Tujuannya sederhana saja. Ya untuk mengambil benang gelasan itu
untuk dipakai, tapi tentunya tidak untuk dipakai dalam aduan, hanya untuk menaikan
layang-layang “seadanya” untuk kesenangan semata… having fun… alasan dibalik perbuatan
“amoral” ini adalah… betapa sulitnya memiliki benang gelasan karena biaya dan
waktu, maka di cari solusi “instan”, yaitu mengambil benang orang lain.
Bayangkan jika beruntung, saat mencuri benang milik satu orang, mendapatkan
benang dengan panjang 5-10 meter, maka mencuri benang milik 5 orang saja, sudah
mendapatkan hasil benang yang sangat panjang. Namun jika sial, siap-siap
dimarahi, bahkan “dipukuli” sang pemilik sah benang itu.
Ada
beberapa “istilah” dalam permainan layang-layang yang kiranya perlu dijelaskan
di sini, salah satunya adalah putus muka tangang…maksudnya adalah, saat
aduan layang-layang, pihak lawan mengalahkan pihak lain dengan cara
“memotong/memutuskan” benang layang-layang pada jarak yang sangat pendek dan
sangat cepat. Hal ini kadang dilakukan saat pihak lain terlena/belum siap, atau
tak tahu, tiba layang-layang pihak lawan telah mendekat, dan memotong dengan
cepat, saat pihak lain sepenuhnya sadar, semuanya telah terlambat,
layang-layangnya telah kalah...
telah putus. Selain itu istilah ini juga bisa berarti saat menaikan
layang-layang belum seberapa tinggi/jauh, kemudian ditantang dan akhirnya
kalah. Istilah ini ditujukan kepada pihak yang kalah.
Begitulah
“indahnya” permainan ini. Barmaeng
layang-layang… seperti yang dijelaskan di atas, permainan ini biasanya
dimainkan pada musim liburan panjang. Saat anak-anak mulai libur sekolah, biasanya
pada bulan juni-juli. Dulu liburan cukup lama, mendekati 1 bulan sehingga
“musim layang-layang” bisa selama itu, dan
tiap hari ada saja aduan layang-layang. Namun belakangan, “musim” itu mulai
berubah, tak seperti dulu lagi. Dan yang paling “mengecewakan”, sebuah tradisi
lama mulai hilang. Ya “tradisi goso banang” mulai hilang seiring perkembangan
jaman. Seiring gaya hidup anak-anak yang serba cepat dan instan. Sudah agak
jarang terlihat anak-anak melakukan hal itu lagi. Ini disebabkan, karena telah
tersedia benang gelasan “siap jadi”. Benang gelasan yang telah dijual di
toko-toko, sehingga tinggal membeli dan memakainya. Mungkin buat anak-anak
sekarang, hal itu yang biasa, namun bagi kami yang pernah mengalami semua
“tradisi” itu, ada sesuatu yang hilang… “roh” barmaeng layang-layang terletak
pada tradisi-tradisi itu. Jika tak ada maka permainan layang-layang telah
kehilangan “rohnya” …… sungguh disayangkan !!!!
2.
Barmaeng
Mutel
Salah satu
permainan anak-anak yang sangat disenangi. Kata mutel mungkin dari bahasa Belanda
yang telah mengalami “pelafalan” melayu ambon. Padanannya dalam bahasa inggris
adalah kata marble yang berarti kelereng atau gundu. Mutel juga berarti
kelerang atau gundu. Suatu permainan yang membutuhkan “butiran/biji-bijian” berwarna-warni
yang keras. Untuk mendapatkan kelereng ini, tentunya harus membeli di toko. Pada
musimnya, ada toko-toko yang menjualnya tinggal anak-anak membelinya. Pada masa
dulu, harga kelereng/mutel cukup murah, 5 butir hanyalah Rp.100,00- entah
sekarang… ada istilah mutel niu niu
dan pakaster. Niu niu
berarti baru, artinya “tekstur” mutel yang masih baru, belum ada tanda-tanda
“luka” pada permukaan mutel, sedang pakaster
berarti mutel yang tekstur permukaannya sudah banyak goresan/luka.
Maeng mutel via : yogyakarta.panduanwisata.id |
Permainan ini
ada banyak jenisnya… ada yang namanya maen
patok satu, banjur, kolang satu, oles, maeng ambor, maeng pot, maeng kuti-kuti,
dan lain-lain.
Maeng patok satu bisa diceritakan sebagai
berikut : kedua pemain atau lebih setelah setuju untuk bermain akan menyepakati
taruhan mereka, bisa 5, 10, 15 tergantung kesepakatan mereka. setelah
disepakati, mereka akan menarik garis lurus sebagai “pembatas”. Garis ini
dibuat oleh salahsatu pemain. Kemudian mereka menaruh/meletakan 1 buah kelerang dengan jarak
yang telah disepakati, diukur dari garis pembatas itu. Untuk menentukan siapa
yang lebih dulu memulai permainan di lakukan dengan beberapa cara, bisa dengan
cara suteng (sut sutan), dan medi…suteng (sut-sutan) adalah cara
menentukan pemenang dengan cara menunjukan jari yang sudah menjadi “aturan”
sut-sutan. Sedangkan medi dilakukan oleh pemain dengan cara membuang gacu (mutel pilihan pemain yang akan digunakan
sebagai “alat perang”) kearah garis yang telah dibuat tadi, gacu pemain yang paling dekat dengan
garislah yang jadi pemenang atau pemain pertama yang mendapat kesempatan
memulai pertandingan. Pemain yang mendapat urutan selanjutnya didasarkan pada
urutan jarak gacu dengan garis tadi. Atau bisa juga para pemain membuang gacu
kearah tempat 1 buah mutel diletakkan
tadi, gacu yang paling dekatlah yang ditetapkan jadi pemain pertama. Setelah melakukan
itu dan ditentukan siapa yang jadi orang pertama, orang pertama itulah yang
memulai berusaha memenangkan permainan itu. Ia akan berusaha “membidik” kelereng itu, jika gacu mengenal
dengan tepat kelereng itu, maka
dialah pemenang pertandingan dan mengambil kelereng yang telah dijadikan taruhan, dan
kembali menawarkan pertandingan yang baru lagi, begitu terus menerus sampai tak
ada lagi yang ingin melanjutkan. Jika tak mengenai kelereng, maka berpindah ke
pemain selanjutnya dan seterusnya hingga didapatkan pemenangnya.
Kalau
banjur, cara bermainnya adalah seperti
di atas, para
pemain setuju dengan taruhan kemudian membuat garis panjang berbentuk anak
panah. Di garis
anak panah itu diatur/disusun kelereng sesuai bentuk garis tadi, kemudian
dengan jarak tertentu dibuat garis pembatas sebagai tempat untuk melemparkan
kelereng/mutel. Cara menentukan pemain yang pertama memulainya dengan cara
medi. Setelah diketahui siapa yang harus memulai, maka pemain itulah yang
berhak memulai, dia akan melempar gacunya kearah deretan kelereng tadi, jika gacu
mengenai salah satu mutel yang ada dalam barisan itu, maka dia berhak mengambil
mutel dari mutel yang terkena tadi
sampai sisa mutel kearah belakang/bawah/kaki dan menyisakan bagian mutel kearah
atas/kepala. Orang kedua dan seterusnya akan melanjutkannya, hingga tak tersisa
lagi mutel yang ada dalam garis anak panah tersebut. Jika pada kesempatan
pertama, saat pemain melemparkan gacu dan mengenai mutel yang diletakkan “di ujung anak panah” maka
pertandingan selesai, dia berhak mengambil seluruh mutel dan taruhannya serta
menawari pertandingan yang baru kembali, begitu seterusnya, hingga tak ada lagi
lawan yang ingin melanjutkan permainan, entah karena persediaan mutelnya sudah
habis atau tak mau lagi melanjutkan permainan.
Jenis permainan mutel/kelereng kolang satu bisa dijelaskan
sebagai berikut : sebelum bermain, terlebih dahulu di buat 1 lubang (kolang)
pada area permainan atau kintal tempat bermain. Inilah yang menyebabkan
permainan ini dinamakan barmaeng kolang
satu. Biasanya permainan ini bisa dilakukan dalam bentuk taruhan dan yang
tak bersifat taruhan atau bisa di bilang hanya sebagai kesenangan saja. Keduanya
memiliki aturan yang sama. Cara memulainya adalah dengan cara medi. Cara memulai sebuah pertandingan
ini disebut ukur. Para pemain
membuang gacu kearah lubang, posisi gacu yang paling dekat
dengan lubang (kolang), dialah yang pertama kali memulai. Ia akan berusaha
membidik gacu lawan yang paling dekat
dengan dirinya. Jika mengenai gacu lawan maka otomatis lawan itu tak bisa
melanjutkan permainan. Keadaan ini disebut mati.
Jika tak mengenai lawan, maka orang kedua yang posisi gacunya menempati urutan
kedua, “berhak” memulainya, dia juga akan berusaha membidik lawannya dengan
tujuan agar lawannya tak punya kesempatan lagi bermain (mati). Begitu
seterusnya dengan pemain selanjutnya. Namun ada pilihan saat seorang pemain
memulai permainan, dia akan “berpikir dan menyusun strategi”, apa untung
ruginya jika dia harus “membunuh”, membidik lawan atau mengambil keuntungan dari
aturan permainan ini. Jika dia memutuskan mengambil keuntungan maka dia akan
berusaha memasukan gacunya kedalam lubang/kolang, jika gacunya masuk ke lubang
(kolang), ia akan mendapatkan “poin” yang benilai satu (1), dan dia akan
diberikan kesempatan langsung membidik lawan. Jika tak masuk, maka permainan di
lanjutkan oleh pemain kedua di hitung dari dekatnya posisi gacu dengan lubang. Begitu
terus menerus di lanjutkan oleh pemain selanjutnya. Bagi pemain yang tak mati, ia akan terus mengumpulkan poin
dengan cara terus menerus memasukan gacunya ke dalam lubang hingga 9x. jika
poinnya telah mencapai 9, maka dia mendapat keuntungan tambahan, yaitu saat
membidik, dia diizinkan “memindahkan” posisi gacunya dari posisi semula ke
posisi “baru”. Posisi baru ini didapatkan dari jarak sejengkal tangan, dengan
cara mengukur dari posisi lama gacu ke posisi baru yang diinginkan tergantung
keinginan dia untuk “membunuh” gacu lawan. Cara mengukurnya yaitu menempatkan
jari ibu di posisi lama gacu dan merentangkan tangan secara terbuka kearah
tanah/kintal/area permainan. Posisi baru di tentukan oleh “letak” jari manis,
tengah atau kelingking (tergantung kesenangan pemain itu). Jika dia merasa
rentangan dari jarak jari ibu ke jari manis lebih panjang dibanding jari ibu
dengan jari kelingking, maka dia akan menggunakan “ukuran” itu. Pada posisi
baru itulah, dia akan membidik lawan. Pengukuran ini disebut jingkal (jengkal). Pemain yang belum “mengoleksi” poin
hingga 9, tak diperkenankan memakai keuntungan ini. Dia akan berusaha
mengumpulkan poin itu sampai poinnya mencapai 9 baru dia diizinkan
menggunakannya. Bagi pemain yang telah mengoleksi poin dimaksud, ia bebas
menggunakan keuntungan itu dimana saja posisi gacunya, tapi jika dia tidak
menggunakannya dan berniat melakukan “strategi” lain dengan tujuan untuk
menempatkan/mendapatkan posisi gacunya lebih baik untuk membidik, ia bisa
melakukan apa yang namanya umpang. Semua
pemain bisa melakukan umpang, namun
dibedakan cara melakukan itu. Bagi pemain yang telah mendapatkan poin 9, cara umpang adalah berjalan kearah posisi
yang diinginkan dan menaruh gacu di posisi itu. Sedangkan bagi yang belum
mendapatkan point itu, ia tidak diizinkan berjalan, namun dengan cara medi. Atau membuang/melempar gacunya
dengan tangan kearah posisi yang diinginkan. Cara membidik gacu lawan dengan
posisi tangan tertentu disebut kuti. Ada
banyak posisi tangan dalam kuti, tergantung
kebiasan atau kesenangan pemain dalam melakukannya. Namun umumnya adalah menempatkan
kelereng (gacu) diantara beberapa jari pada kedua tangan, dan menggunakan salah
satu jari sebagai “pemicu” atau “penolak” agar gacu bisa terlepas dan “berlari”
menemui target yang dituju. Jari yang digunakan adalah jari telunjuk atau jari
tengah, tergantung kebiasaan pemain itu. Sedangkan jari kelingking digunakan
sebagai “penyangga” yang ditaruh/diletakkan
menyentuh tanah. Semua aturan diatas berlaku pada permainan yang bersifat
taruhan maupun yang tidak (kesenangan semata). Pemenang dihasilkan setelah
seorang pemain berhasil “membunuh” semua lawannya, dan permainannya dianggap
berakhir. Namun bisa dilanjutkan ke permainan “baru” atau selanjutnya,
tergantung para pemain untuk meneruskan atau berhenti. Jika permainannya
bersifat taruhan, dia akan mengambil semua taruhannya. Dalam permainan ini dan
beberapa jenis permainan mutel lainnya, ada istilah stand.
Kata ini
berarti berdiri dan berasal dari
bahasa inggris yang maknanya adalah berdiri. Posisi stan ini didapatkan oleh
pemain saat gacunya berdekatan atau menempel pada “batas/penghalang”.
Batas/penghalang yang dimaksud bisa berupa tembok/dinding rumah, batu atau
benda-benda lain yang dianggap sebagai “penghalang”. Saat posisi gacunya
mendekati penghalang tersebut, pihak lawan dan pemilik gacu akan mengukur untuk
“membuktikan” sah tidaknya aturan stand.
Cara mengukurnya dengan jingkal. Jika
posisi gacunya ada (termasuk) dalam rentangan/wilayah jingkal. Maka dia harus berdiri dan membidik, tidak boleh duduk
seperti biasanya (menjomplang atau duduk dengan posisi pantat menggantung,
tidak menyentuh tanah). Posisi berdiri dan kemudian membidik gacu lawan inilah
yang disebut stand. Saat stand itulah, pemain harus berdiri, mengangkat
sebelah kaki, bisa kanan atau kiri, dan menempatkan posisi jari membentuk pola kuti di area dekat paha atau lutut pada kaki yang
diangkat dan kemudian membidik. Jika gacunya di luar atau tidak termasuk dalam
rentangan/wilayah jingkal, maka
aturan ini tak berlaku. Pada jenis permainan kolang satu, aturan stand ini bisa di ”hindari” oleh pemain yang
telah mendapatkan 9 poin tadi jika gacunya ada dalam wilayah jingkal. Dia akan
“menjauhkan” gacunya dari “wilayah/area” itu dengan cara menggunakan keuntungan
yang ia punya, yaitu menggunakan keuntungan jingkal.
Ia akan menjingkal agar gacunya
“berpindah” dari posisi itu ke posisi yang baru sehingga aturan stand tidak berlaku lagi. Namun
bagi pemain yang belum mendapatkan 9 poin, tetap dikenakan aturan stand yang
berlaku.
Maeng oles bisa dijelaskan sebagai
berikut : para pemain setelah sepakat kemudian membuat lingkaran pada area
permainan (menggaris membentuk lingkaran). Ukuran lingkarannya bisa disepakati
diantara pemain, bisa besar bisa kecil, namun umumnya berukuran sedang untuk
“menampung” taruhan. Lingkaran itu dijadikan “tempat menampung” kelereng/mutel
taruhan para pemain. Setelah diundi (ukur) , pemain pertamalah yang memulai.
Ia akan melempar gacunya ke arah lingkaran yang berisikan taruhan itu, jika
gacunya mengenai/menabrak taruhan, dan beberapa mutel taruhan itu “keluar” dari
area lingkaran, mutel itu diambil sebagai miliknya namun masih bersifat
sementara. Jika gacunya saat dilempar, tak “berhasil” keluar dari lingkaran,
maka ia dianggap mati´dan tak bisa
melanjutkan permainan lagi, kemudian berpindah ke pemain kedua. Begitu seterusnya.
Saat pemain kedua berhasil melempar, ia akan berusaha “membunuh” lawannya. Ia
akan membidik gacu lawan, dan jika mengenai gacu lawan, maka taruhan yang
dimiliki(hasil permainan) akan diambil menjadi miliknya. Jika lawan yang mati tak memiliki “modal” itu, maka tak
ada modal yang diambil. Begitu juga dengan pemain selanjutnya, terus menerus
hingga tak ada lagi pemain yang ingin melanjutkan permainan. Belakangan, yang
dilihat penulis, permainan ini “melibatkan” uang yang dijadikan taruhan selain
kelereng. Pada masa kanak-kanak penulis, hal ini sangat jarang bahkan tak ada
menggunakan uang dalam taruhan.
Maeng ambor /maeng patok bisa dijelaskan sebagai berikut : aturan permainan ini
hampir sama dengan jenis maeng patok satu yang sudah dijelaskan di atas. Namun berbeda dalam cara
memainkan “taruhan”. Pada jenis ini, semua taruhan hasil kesepakatan para pemain,
digenggam/ditaruh dalam telapak tangan pemain dengan posisi tangan terbuka,
kemudian digoyang-goyang dan “dibuang/dilempar/dihamburkan” dengan ketentuan
melewati garis “pembatas”. Karena cara “menghamburkan” inilah, maka
permainannya disebut ambor. Sebuah
kata yang telah mengalami polisemi/pemendekatan kata yang biasa terjadi pada
kata-kata Melayu Ambon. Saat posisi kelereng yang “terhambur” itulah, maka
lawan akan menunjuk “sasaran” yang harus dibidik. Tentunya penunjukan posisi
sasaran oleh pihak lawan dipengaruhi alasan, tujuan dan harapan, agar pemain
yang berhak membidik tidak akan berhasil mengenai sasaran. Posisi kelereng
sasaran yang ditunjuk bisa saja jauh jaraknya, bisa saja terhalang sesuatu,
atau menurut pihak lawan posisi itu akan menyulitkan pemain untuk mengenai sasaran.
Jika pemain setuju dengan “kondisi” ini, ia akan membidiknya, jika gacunya
mengenai sasaran, maka ia yang jadi pemenang, dan seluruh taruhan menjadi
miliknya. Jika tak mengenai sasaran, maka permainan dilanjutkan ke pemain
kedua, pemain ketiga, dan seterusnya. Namun saat pemain lawan menunjukan
sasaran, pemain yang mendapat giliran bisa mengambil keuntungan dari situasi
saat melihat posisi sasaran. Namun ia harus “cepat” menyampaikan “pendapatnya”
sebelum didahului pihak lawan. Pada situasi ini muncul istilah usik dan bombong. Saat pemain yang mendapat giliran melihat posisi sasaran
yang akan menyulitkan bidikannya. Ia akan berteriak usik deng bombong . maksud kata usik
adalah membersihkan/menyingkirkan benda-benda yang menghalangi kelereng
sasaran, bisa berupa batu, pasir, kayu dan lain-lain di sekitar daerah sasaran. Tujuannya
agar sasaran “terlihat jelas”, tak terhalang dan memudahkan pemain untuk membidik. Sedangkan
kata bombong adalah usaha “meninggikan” posisi kelereng
sasaran ke tempat yang lebih tinggi dari posisi semula/awal. Biasanya cara ini
dilakukan dengan membuat “gunung/bukit” kecil dari pasir dan menempatkan
kelereng sasaran di puncaknya. Tujuannya sama seperti tujuan dari usik. Namun keuntungan ini bisa
“dipatahkan” apabila, pihak lawan secara cepat menghalangi maksud pemain. Ia
akan cepat menyampaikan pendapatnya yang berisikan kata-kata atau istilah seng ada usik, seng ada bombong. Jika
pemain mendengar kata-kata ini, sebelum ia mengajukan pendapatnya,maka ia tak
bisa “mengajukan” pendapatnya. Ia harus “pasrah” menerima situasi yang
menyulitkan dirinya. Begitu juga jika pihak lawan terlambat menyampaikan
pendapatnya dari pemain, maka ia harus “pasrah” mengikuti aturan yaitu
membersihkan dan meninggikan posisi kelereng sasaran. Ya ini semacam cara
mengadu strategi dan kecepatan dalam membaca posisi serta menyampaikan
pendapat. Cara membidik sasaran agak berbeda dengan cara kuti. Kalau kuti berarti posisi tangan untuk membidik diletakkan di dasar/tanah tempat
permainan. Sedangkan pada jenis ini namanya adalah patok. Maksudnya adalah gacu pemain dipegang oleh jari ibu dan
telunjuk dan “disandarkan” pada jari tengah, kemudian tangan yang berisi gacu
itu diangkat setinggi mata, dan setelah dirasa pas dan akan mengenai sasaran,
maka gacu itu di lepaskan atau dilemparkan menuju sasaran yang ingin dibidik. Pada
situasi ini, sebelum pemain melakukan patok,
ia akan menutup mata sebelah (mengedipkan), “berkonsentrasi” dan saat melemparkan
gacu, ia akan membuka mata dan melempar. Gerakan menutup mata dan berkonsentrasi
inilah yang disebut keker. Ya mungkin
gerakan ini mengambil inspirasi dari para “sniper wahid” saat membidik sebelum
menembak dan membunuh musuh. Hebat bukan…???? Ada juga istilah takikis, maksudnya adalah “tabrakan”
antara gacu dan kelereng sasaran yang tak full/ sempurna, tapi kejadian yang
bisa di gambarkan antara “ada dan tiada” atau antara kena dan tidak kena. Suara
yang ditimbulkan dari tabrakan jenis ini sangat pelan, sehingga terkadang sulit
untuk mendengarnya. Disini dibutuhkan ketajaman telinga saat mendengar.
Terkadang situasi ini menimbulkan perdebatan dan pertengkaran antara pemain.
Maeng pot agak sedikit berbeda dengan
jenis permainan mutel lainnya meski tetap menggunakan mutel sebagai sarana taruhan.
Para pemain akan menggambar “pola” tertentu yang “indah” di area permainan/tanah.
Pola ini berupa seperti “gambar/sketsa ruang bangun”. Sering polanya membentuk
seperti bentuk pot tanaman dengan tanaman dan ranting-rantingnya. Mungkin
karena itulah, maka permainan ini disebut maeng
pot. Pada masa itu, di masa kanak-kanak penulis, seorang “spesialis”
penggambar pola ini adalah Fence Latupeirissa. Ia benar-benar sangat jago dalam
menggambar banyak pola, dan memiliki banyak “variasi” dalam hasil gambarnya.
Saat
selesai menggambar, taruhan itu di taruh/ditempatkan pada “sudut-sudut/sisi-sisi”
dari pola tersebut. Pemain kemudian melakukan pengundian (ukur). Pemain yang gacunya paling dekat dengan kelereng di posisi
mana saja, yang berhak memulai permainan. Ia akan berusaha, membidik
kelereng-kelereng di posisi yang ia sukai sambil berusaha “membunuh” gacu
lawan. Ya agak mirip dengan maeng oles,
hanya bentuk area permainan yang berbeda. Aturan-aturan yang ada pun hampir
sebagian besar digunakan juga dalam jenis permainan ini.
Maeng kuti bisa dijelaskan sebagai berikut : jenis ini
dimainkan agak mirip dengan jenis maeng
patok/ambor, namun bentuknya agak sedikit berbeda. Para pemain melakukan
taruhan dan mengundi (ukur) untuk menentukan pemain pertama, kedua dan
seterusnya. Pemain menggaris garis panjang horizontal di tanah, dan pemain mengukur / mengundi , semua pemain melakukannya.
Hasil pengundian itu yang menentukan siapa yang lebih dulu memulainya. Gacu
pemain yang paling dekat dengan garislah yang diizinkan memulainya. Dia akan
berusaha membunuh gacu lawan. Saat gacu lawan kena “tembakan” gacu pemain, maka
pihak lawan akan mati atau tidak bisa melanjutkan permainan. Aturan-aturan yang
berlaku dalam permainan mutel juga di gunakan dalam jenis ini. Aturan usik, bombong, stand dipakai dalam jenis
ini. Permainan akan berhenti saat para pemain telah kehabisan “stok” kelereng
atau tidak ingin lagi melanjutkan permainan.
Dalam permainan mutel/kelereng, ada 2 istilah yang perlu
dijelaskan. Anak-anak akan tahu dan paham dengan istilah-istilah ini. Ada
istilah jalonto dan paricu. Kedua
istilah ini kira-kira bisa diartikan “kegiatan” dalam permainan yang “unfair”,
menyalahi aturan, “menabrak” aturan, intinya segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan aturan permainan. Meski artinya sama namun keduanya berbeda. Paricu adalah bersifat “umum” sedangkan jalonto bersifat “khusus”. Paricu adalah
semua hal dalam permainan yang dilakukan oleh pemain yang melanggar/menyalahi
aturan. Jalonto adalah “perpindahan” letak/posisi tangan pada bidang/area
permainan saat membidik (kuti) kelereng
sasaran. Jalonto biasa dilakukan oleh pemain dengan cara “sembunyi-sembunyi”,
mengambil “kesempatan dan keuntungan” saat pemain lawan tidak melihat. Namun
tak selamanya “strategi” ini berhasil, karena perbuatan pemain di ketahui oleh
lawan. Saat lawan mengetahuinya, mereka akan “berteriak” …woe… jang maeng jalonto eeee…
3.
Maeng
gambar
Maeng gambar via : gringo1988.wordpress.com |
Gambar
yang dimaksud dalam permainan ini, tidaklah sama dengan gambar yang digunakan
oleh anak-anak sekarang dalam permainan. Pada masa dulu, masa kanak-kanak
penulis, gambar yang dimaksud adalah, potongan gambar-gambar kecil yang
bernomor di pojok kanan/kiri gambar itu, biasanya dari angka 1-50 dan
“semuanya” tergabung dalam sebuah lembaran. 1 lembar terdiri dari 50 gambar
kecil-kecil. Lembaran itu berbentuk persegi panjang, pada baris pertama, arah horizontal
dari angka 1-10, dilanjutkan baris kedua angka 11-20 dan seterusnya. Jadi
lembaran itu terdiri dari 5 baris dan 10 lajur/kolom. Biasanya kami memotong
atau mengguntingnya dengan arah vertical, 1 lembar gambar, saat dipotong akan
mendapatkan 10 potongan yang masing-masing terdiri dari 5 gambar kecil-kecil.
Misalnya, potongan pertama akan mendapatkan gambar dengan angka di pojok gambar
yaitu 1,11,21,31,41. Potongan kedua akan mendapatkan gambar dengan angka 2,12,22,32,42.
Potongan ketiga akan mendapatkan angka 3,13,23,33,43 dan seterusnya…. Gambar-gambar
ini dijual di toko-toko dan anak-anak membelinya pada saat musing gambar. Jika anak-anak yang memiliki uang yang banyak akan
membeli gambar-gambar sangat banyak. Bahkan sampai berpuluh dan beratus-ratus
lembar. Dalam lembaran gambar itu, umumnya berupa cerita, seingat penulis, ada
cerita Deny si manusia ikan, cerita walisongo, dan lain-lain. Cara bermainnya
dengan menggunakan kartu, jadi gambar adalah taruhannya. Kartu yang digunakan
adalah kartu domino, dan saat bertaruh biasanya jenis permainan kartu adalah kiu-kiu. Sebuah permainan kartu yang
menghitung kombinasi angka-angka berupa bulatan-bulatan pada kartu. Bagi pemain
yang mendapatkan 2 kartu dengan jumlah kombinasi angka itu mencapai 9 maka
dialah pemenangnya. Jika tak mendapatkan angka 9 (kiu), maka angka paling
besarlah yang jadi pemenang. Angka 8 disebut poi.
Saat
bermain, para pemain bertaruh, jika misalnya bertaruh 50 maka, pemain akan
menyodorkan 10 potongan gambar yang telah dipotong, atau menyerahkan 1 lembaran
gambar yang belum di potong. Kemudian permainannya di mulai. Seperti disebutkan
diatas pihak pemenang ditentukan oleh jumlah mata kartu. Kemudian dilanjutkan lagi jika pemain ingin melanjutkan
hingga habis persediaan gambarnya atau tak berniat bermain lagi. Di masa itu
pemain yang hebat dan memiliki banyak “koleksi” gambar adalah Ernes Simatauw
dan Andy Tanny.
Betapa
bangga dan senangnya jika memiliki koleksi gambar yang banyak, seperti punya “harta
karun” layaknya. Biasanya kami menyimpannya di tas, di lemari pakaian, di
bawah kasur dan tempat-tempat “spesial” lainnya.
4.
Maeng
karet
Maeng karet via : blog-ayobaca.blogspot.com |
Karet
yang dimaksud dalam permainan ini adalah berupa “gelang-gelang” kecil. Umumnya
mendapatkan barang ini dengan membeli di toko pada musimnya. Anak-anak yang
memiliki uang lebih, akan membeli sangat banyak atau mendapatkan banyak karet
dari hasil permainan atau taruhan. Kami biasanya memasukan dalam pergelangan
tangan, semakin banyak semakin jadi “kode” bahwa kami memiliki banyak karet.
Ada juga kami “mengatur/menata” sehingga berbentuk seperti ular panjang. Proses
mengatur dan menata inilah yang disebut palateng.
Palateng bisa dilakukan dengan bantuan jari tangan atau kaki. Palateng bisa
berangkap 5, 10, 15 tergantung “kemampuan” anak dalam proses ini. Jika
terlampau banyak rangkap maka jari kaki digunakan sebagai bantuannya. Saat
selesai maka hasilnya akan sangat panjang tergantung dari banyaknya koleksi
karet yang dimiliki. Sering kami menariknya di atas tanah seperti seolah-olah
memamerkan “kekayaan” atau melilitnya di pinggang mirip ikat pinggang dan
menutupinya dengan baju kaos yang kami pakai
Cara
bermain karet ada beberapa jenis, lempar-lempar
dinding, maeng kartu,
Jenis
permainan lempar-lempar dinding bisa
diceritakan seperti berikut ini : para pemain biasa bertemu di tempat permainan
yang biasa di gunakan. Saling memamerkan kekayaan dan kemudian saling menantang
untuk bermain. Jika setuju maka permainan di mulai. Taruhan berapa banyak
tergantung kesepakatan para pemain, ada yang 5, 10, 15,20 dan seterusnya. Semakin
banyak pemain maka taruhannya akan semakin banyak. Cara menentukan pemain
pertama untuk memulainya bisa dengan sut-sutan (bagi hanya 2 pemain) dan undi
dengan cara melempar dinding. Para pemain akan mengambil 1 gelang karet,
menaruhnya di telapak tangan dan melempar ke dinding/tembok. Saat gelang
menabrak dinding/tembok, gelang akan “berbalik” atau memantul. Hasil pantulan
gelang karet yang paling jauhlah yang berhak memulai permainan diikuti urutan
paling jauh kedua, ketiga dan seterusnya. Area permainan yang digunakan adalah
dinding/tembok rumah, bisa rumah sendiri, tetangga, toko. Kami biasanya mencari
rumah dengan pondasi/vandasi yang
lebar atau ukuran yang pas.
“Ruang”
yang terbentuk dari pertemuan antara tembok/dinding rumah dengan pondasi akan
“menghasilkan” area permainan ini.
Pemain
yang berhak mendapat kesempatan pertama, akan mengumpulkan/mengatur/menata
karet taruhan kedalam tangan, meletakkan
di telapak tangan. Jika taruhan karet sangat banyak, ia akan “menjepit” karet
itu dengan ibu jari, menggerakan tangan kedepan-kebelakang beberapa kali dan
melemparkan karet ke dinding. Saat melemparkan karet, ibu jari dilepaskan, dan
karet akan “meluncur” bertabrakan dengan dinding dan memantul. Hasil pantulan
karet itu, ada yang sebagian jatuh di ruang itu, ada juga yang jatuh di luar
area. Yang memenangkan pertandingan adalah, pemain yang berhasil memantulkan
karet dan “menyisakan” hanya 1 gelang karet pada “ruang/area” permainan. Jika
ini terjadi maka, ia akan mengambil semua karet taruhan, jika tidak akan
dilanjutkan oleh pemain kedua, ketiga dan seterusnya hingga mendapatkan
pemenangnya. Untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan, maka diperlukan tenaga yang kuat, saat melempar dan sedikit
“kalkulasi”. Jika telah mendapatkan pemenang, permainan akan berlanjut dengan
urutan seperti disebutkan diatas. Permainan akan terhenti saat pemain tak ingin
melanjutkan lagi permainan atau stok karetnya telah habis.
Ada
yang “unik” dalam permainan ini, saat melempar karet taruhan ke dinding, kita
sering “menghafal” bagian-bagian tertentu pada dinding. Jika bagian-bagian itu
membawa keuntungan, dalam hal ini sering membuat kita jadi pemenang, maka
bagian-bagian itu seringkali “diklaim” menjadi “ milik kita”, bahkan kita
sering memberi tanda dengan mencoret atau menggarisnya dengan tanda silang (x),
seolah-olah itu “bukti hukum” agar
tidak “dimasuki” atau “digunakan/diserobot” oleh pemain lawan. Saat pemain lain
“mencoba” melempar karet ke “daerah sakral” itu, kita akan berteriak
memperingatkan dirinya… Weee... Seng bisa eee… jang buang di
situ… Itu beta pung tampa…. Masih ingatkan kata-kata itu? Hahahahahah… Hahahahah…
Karena
permainan ini menggunakan dinding rumah sebagai area permainan, seringkali kita
dimarahi (dapa bakalai) oleh pemilik
rumah. Jika sudah begini, kita akan berlari, mencari “daerah baru”.
Tempat-tempat yang masih teringat jelas, sebagai tempat yang ramai saat bermain
permainan ini adalah rumah milik kel Alm William (Beng) Pattinasarany, rumah
milik kel Alm Paulus (Polly) Titaley, dinding Ruko Samalagi, dinding rumah kel
Om No Louhenapessy (toko obat permata). Tempat-tempat ini berada dalam kompleks
tempat tinggal penulis, anak-anak yang berada di kompleks berbeda pasti
memiliki tempat-tempat favorit masing-masing.
Maeng kartu, mirip dengan maeng gambar yang
mempergunakan karet sebagai taruhan, jadi tak perlu dijelaskan panjang lebar
disini.
5.
Baku
prang
Permainan
ini meniru perang sebenarnya yang terjadi. Bahkan senapan yang digunakan dalam
permainan ini, dibuat semirip mungkin dengan senapan asli. Kita membuat senapan
ini dari kayu, atau papan peti kemasan (peti
kelder). Papan itu dibuat, dirancang, dibentuk (dicincang) sehingga menjadi senjata. Senjata yang telah dibuat itu pada
ujungnya dililit gelang karet, pada ujung “punggung” senjata diletakan “pemicu”
yang berfungsi untuk menaruh “peluru” dan melepaskan peluru. Pemicu ini dibuat
dari potongan papan/kayu kecil, dibuat mirip “baji” kecil, dan potongan kayu
kecil sebagai “tuas”. Pada ujung punggung senjata, diletakan “tuas”, dan diatas
“tuas” di letakan “baji”. Kedua benda ini kemudian diikat kencang dengan karet
agar tidak terlepas dari posisinya.
Lilitan
karet pada ujung senapan tidak bisa banyak, semuanya mempertimbangkan “daya
tahan” peluru. Saat tuas dan baji telah siap terpasang, kita mencobanya, yaitu
menekan daerah belakang baji, sehingga mulut baji “terbuka” ketika melepasnya,
mulut baji kembali menutup. Jika ini telah siap dibikin maka peralatan
perangnya telah selesai, betapa gagahnya…. “prototip SS1” yang telah siap
berperang.
Peluru
yang digunakan adalah buah terong dan
buah katang-katang. Buah terong yang dimaksud disini, bukanlah untuk
sayuran, dari jenis terong yang lain dan berukuran “kecil”. Kami biasa mengambilnya/memetik
dan dimasukan kedalam kantong. Sedangkan buah
katang-katang adalah buah dari
tanaman menjalar yang biasanya banyak tumbuh di tepi pantai. Kami biasa
mengambil/memetik kedua jenis buah ini dengan tangkainya. Guna tangkai adalah
sebagai bagian yang akan dimasukan ke “mulut baji” dan dijepit oleh baji.
Baku prang /perang-perangan di mulai saat
sekelompok anak setuju bermain dan dibagi
kedalam kedua kelompok. Jika telah sepakat, kedua kelompok itu mengangkat
pemimpin masing-masing, terkadang masing-masing kelompok memakai bendera
sebagai penanda kelompoknya. Kemudian mereka menyebar dan bersembunyi. Ada yang
bersembunyi dalam semak-semak, samping rumah atau benda-benda besar lainnya
yang digunakan untuk menyembunyikan diri/menghalangi agar tak terlihat oleh
pihak lawan. Kedua belah pihak saling berusaha “mencari” pihak lawan. Jika
terlihat, anggota kelompok akan menembak, saat peluru mengenai tubuh lawan,
maka pemain itu disebut mati dan
tidak bisa melanjutkan permainan. Pemain yang mati itu dibawa ke markas dan
akan “dikembalikan” saat sudah ada pihak pemenang. Cara menembak adalah,
memasukan tangkai “peluru” ke mulut baji, setelah sebelumnya menekan ujung
belakang baji hingga mulut baji terbuka, dan melepasnya hingga mulut baji
menjepit tangkai peluru. Kemudian gelang-gelang karet diujung senjata ditarik
dan di kaitkan/sangkutkan di buah yang jadi peluru itu. Saat menembak, tinggal
menekan bagian belakang baji, hingga mulutnya terbuka, dengan bantuan gelang
karet yang bersifat elastis, maka gelang karet akan menarik peluru dan
“melemparnya” kearah sasaran yang dituju. Pemenang ditentukan jika semua
anggota suatu kelompok itu telah mati atau bendera milik anggota kelompok direbut
oleh kelompok lain. Karena bendera merupakan “variabel” yang sangat penting,
maka markas akan selalu dijaga dengan ketat. Pemimpin kelompok akan menugaskan
anak buahnya untuk menjaga bendera itu seperti layaknya menjaga “nyawanya”.
6.
Maeng
pata-pata
Maeng pata-pata via : www.bonepos.com |
Maeng pata-pata adalah salah satu jenis
permainan yang sangat “menghebohkan”. Hal ini karena bunyi yang dikeluarkan
seperti “letusan senjata”. Bunyi inilah yang sangat disukai dan membuat
“tergila-gila”.
Permainan
ini membutuhkan alat yang terbuat dari potongan bambu yang berdiameter kecil,
mungkin kira-kira 5-10 cm. Alat inilah yang disebut pata-pata. Pata-pata terdiri dari 2 bagian. Bagian yang agak
panjang bisa disebut sebagai “laras” sedangkan bagian yang lebih pendek disebut
sebagai “pemicu”. Pemicu ini biasa
disebut lastok.
Kedua
bagian ini terbuat dari potongan bambu. Potongan bambu dicari yang “baik” dan
“kuat”. Sepotong bambu yang agak panjang telah bisa membuat alat ini. Potongan bambu
itu di potong menjadi 2 bagian, bagian pertama dipotong agak sedikit panjang,
sedangkan bagian kedua yang agak pendek di potong dan “harus menyisakan” bagian
“bonggol” atau tempat pertemuan ruas-ruas bambu. Jika kedua potongan itu telah
selesai, dibuatlah “tiang penolak peluru”. Tiang ini berukuran panjang yang
diukur dari panjang gabungan kedua potongan bambu tadi. Tiang ini dibuat dengan
lingkaran berdiameter mengikuti besarnya lubang pada bambu. Jika tiang itu
belum bisa dimasukkan ke bagian
“laras” kita harus merautnya terus menerus hingga bisa masuk.
Bagian
lain dari tiang itu, di “tanam/dimasukan” ke potongan yang agak pendek tadi
hingga mencapai “ dasarnya” kemudian di kencangkan dengan memasukan
potongan-potongan kayu/bambu kecil disekeliling lubang bambu tadi. Tujuannya
agar tiang tak bisa bergerak. Jika begini, maka bagian “pemicu” telah siap.
Bagian “pemicu” kemudian dimasukan ke bagian laras, dan mengukurnya. Setelah
diukur ujung tiang penolak peluru itu dipotong kira-kira sepanjang lebar 2-3
jari yang didempetkan.
Peluru
yang digunakan adalah bunga jambu dan
kertas. Bunga jambu adalah bakal buah jambu. Saat pohon jambu mulai
berbuah, muncul bunga-bunga jambu. Bunga-bunga jambu inilah yang diambil
sebagai peluru. Kami biasa menjoloknya (kuku)
atau bagi anak yang bernyali besar,
mereka akan memanjat pohon dan memetiknya. Harus punya nyali besar karena pohon
jambu yang diincar, kebanyakan milik orang. Tahu sendiri, jika ketahuan sang
pemiliknya. Jika beruntung, maka kami bisa “berpuas diri” dengan peluru yang
sangat banyak. Saat mendapatkan “peluru” itu, biasanya kami menampungnya
didalam kaos/baju yang dipakai. Dipastikan baju kaos yang digunakan akan
bernoda karena getah dan warna peluru mengenai baju. Hal inilah yang sering
menjadi alasan kami dimarahi orang tua.
Jika
peluru telah didapatkan, maka semuanya telah siap tinggal kita menggunakannya. Peluru
itu berbentuk seperti “segitiga/limas” terbalik. Bagian “runcing” dimasukkan ke lubang bagian bawah dari laras, kemudian dipukul-pukul
hingga tertancap dengan menggunakan bagian punggung “pemicu”. Kemudian peluru
di tusuk hingga masuk ke laras dengan menggunakan “tiang penolak peluru”. Kedalaman
peluru didalam laras tak perlu terlalu dalam, yang penting sesuai dengan yang
diinginkan, jika telah begini, maka kita memegang bagian belakang pemicu dan
mengerak-gerakan keluar masuk seperti orang memompa, dan kemudian dengan
kekuatan penuh menekan/mendorong pemicunya hingga “menyatu” dengan laras. Disini
berlaku hukum fisika, ada daya tolak dan daya dorong. Daya dorong dari tiang
penolak peluru akan mendorong peluru “bergerak maju” dan tertinggal di moncong
laras. Peluru kedua pun disiapakan dan mengikuti prosedur seperti biasanya.
Peluru kedua akan mendorong peluru pertama hingga keluar dari moncong laras dan
menuju sasaran yang dituju. Proses “pergantian” peluru inilah yang menimbulkan
bunyi ledakan/letusan. Begitu seterusnya jika ingin bermain alat ini.
Peluru
lain yang digunakan adalah kertas, bahan ini digunakan jika tak mendapatkan
peluru dari bunga jambu tadi. Peluru ini biasanya digunakan oleh anak-anak yang
baru mulai “belajar” permainan ini, atau belum “diijinkan” untuk menggunakan
peluru dari bunga jambu. Maksud diijinkan disini, adalah belum mampu
mendapatkan peluru dari bunga jambu. Entah karena tak diberi oleh anak-anak
yang lebih besar atau tak bisa mendapatkannya sendiri.
Kertas
digulung dan dibasahi kemudian mengikuti prosedur seperti layaknya menggunakan
bunga jambu. Namun bunyi letusannya tak “semeriah” bunyi letusan dari bunga
jambu.
Permainan
ini bisa dilakukan dalam bentuk perang atau hanya sebatas “gagah-gagahan/kesenangan”
semata. Jika dalam bentuk perang maka layaknya permainan baku prang tapi jika hanya
sebatas kesenangan, maka kami hanya memainkannya untuk mendengar bunyinya
atau hanya “sekedar” menakut-nakuti”
teman-teman bermain atau anak-anak yang lebih kecil.
7.
Maeng
poi
Maeng poi via : syafixtheworld.blogspot.com |
Permainan
ini bisa dimainkan oleh anak-anak lelaki, anak perempuan atau bisa juga
dimainkan bersama. Permainan ini membutuhkan bola dan poi. Bola yang digunakan adalah bola tenis lapangan atau gulungan
banyak kertas yang dibuat menyerupai bola berukuran kecil. Poi adalah tumpukan batu,
pecahan tegel, pecahan pot/wadah tanaman dan lain-lain, berbentuk bulatan yang
disusun menyerupai “menara”. Batu,
pecahan tegel, pecahan pot/wadah yang kami dapatkan, kami menumbuknya dan
membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil. Meski tentunya hasilnya tak akan bisa
mendapatkan bulatan sempurna, namun yang paling penting adalah pecahan-pecahan
itu bisa digunakan untuk saling menumpuk sehingga menjadi menara yang tinggi
atau yang diinginkan.
Permainan
ini biasanya dilakukan oleh 2 kelompok. Kedua kelompok itu memiliki pemimpin
masing-masing. Pemimpin-pemimpin inilah
yang sering disebut sebagai Raja. Tugas
pemimpin/Raja adalah “utusan” kelompok saat menentukan siapa yang berhak memulai
permainan. Penentuan pihak yang memulai
ditentukan dengan cara sut-sutan (suteng).
Sebelum bermain, tumpukan poi itu diatur saling “bertindihan” dan membentuk menara.
Pihak
pemenang dalam suteng itulah yang berhak memulai permainan, sedangkan pihak
yang kalah akan menjaga di sekeliling tumpukan poi. Salah satu anggota pihak pemenang akan berusaha melempar bola
untuk “merubuhkan/menghancurkan” menara. Jika menara “runtuh” maka anggota
kelompok pemenang akan berlari kesana kemari, sambil menghindari lemparan bola
dari pihak yang kalah dan terus berusaha menyusun kembali menara itu. Sedangkan
pihak yang kalah saat bola dilempar mengenai menara, akan berusaha mendapatkan
bola itu dan melempar kearah anggota kelompok pemenang tadi sambil berusaha
mati-matian agar menara yang hancur itu tak boleh tersusun lagi/terbentuk lagi.
Jika
bola mengenai salah satu anggota, maka posisinya berganti, kelompok yang kalah
tadi giliran berusaha menyusun menara sambil menghindar agar tidak terkena
lemparan. Jika bola mengenai pemimpin kelompok (Raja), secara otomatis permainan
berhenti, dan kembali memulai dari awal dengan giliran kelompok yang berhasil
melempar bola mengenai raja dari kelompok lain.
Jika
menara bisa “sukses” tersusun oleh salah satu anggota, tanpa dirinya atau
teman-teman kelompoknya berhasil dilempar. Maka ia akan berteriak...poi...
dan permainan
dihentikan. Dimulai lagi dari awal dengan pihak yang berhasil mengatur menara
tadi sebagai yang berhak memulai pertandingan.
Permainan
ini sangat ramai karena selalu ada teriakan, teriakan dari pihak lawan,
teriakan dari teman-teman kelompok, untuk memperingatkan agar menghindar dari
lemparan, atau terikan dari pihak lawan untuk memperingatkan teman-temannya
jika lawan sedang menyusun menara. Bahkan saat bola yang dilempar dan mengenai
tubuh pemain, disambut dengan teriakan para pemain.
Permainan
ini selalu teringat penulis, karena permainan ini “memberikan kado
”
seumur hidup yang tak bisa terhapus. Gara-gara berlari, tanpa melihat, penulis
menginjak pecahan beling (pica botol) dan membuat kaki terluka, mengeluarkan darah
yang sangat banyak dan seperti biasa, layaknya anak-anak berusia 5 tahun, menangislah
yang jadi “ekspresi diri”. Bekas jahitan luka yang lumayan panjang, menjadi
“saksi bisu” nakalnya masa kanak-kanak…
8.
Enggo
lari
Enggo lari adalah jenis permainan yang bisa dimainkan oleh anak
laki-laki, perempuan atau bisa dimainkan oleh keduanya/campuran. Permainan ini
“memerlukan” banyak orang/pemain dan
“stamina”. Permainan ini dimulai dengan menentukan pemain yang “berkewajiban”
menjadi “pemburu/pemangsa”. Penentuan ini dengan hompimpa/gambreng/gambret. Semua
pemain membentuk lingkaran, mengulurkan tangan kanan atau kiri (bagi yang
bertangan kidal), mengoyangkan tangan ke kiri dan ke kanan, sambil bernyanyi…..
hompimpa….alahiyun…gambret…. dan “menunjukan”
tangannya berupa telapak tangan yang terbuka keatas atau telapak tangan di
bawah (terserah keinginan para pemain).
Jika
telah didapatkan pemain yang kalah, maka ialah yang jadi sang “pemburu”. Ia
akan berlari mengejar semua pemain, yang ia pikirkan bisa ia tangkap. Jika ia
bisa menangkap salah seorang, dengan cara memegang/menyentuh bagian tubuh
pemain, ia akan berteriak… dapa… Dan
pemain yang tertangkap itu, tak bisa melanjutkan permainan. Ia disebut telah mati. Pemain ini akan berdiri di suatu
tempat seperti “tawanan”. Jika semua pemain telah tertangkap, maka permainan
selesai dan diulang dengan pemain pertama yang tertangkap itulah, yang akan
menjadi pihak “pemburu” pada permainan baru.
Permainan
ini memerlukan stamina, karena sepanjang permainan terus berlari. Jika belum mati, sang pemburu akan terus
memburu/mengejar kita.
Layaknya
permainan anak-anak, pastilah selalu ramai dengan teriakan-teriakan saat
berlari menghindar maupun memburu “mangsa”.
9.
Enggo
basambunyi
Enggo basambunyi adalah jenis permainan yang menyenangkan dan
dimainkan oleh anak laki-laki, anak perempuan atau gabungan anak laki-laki dan
perempuan. Permainan ini umumnya dimainkan oleh banyak orang dan sangat ramai.
Permainan
ini “berpusat” pada sebuah “tonggak” bisa berupa batang pohon, tiang, atau
segala sesuatu yang dijadikan “pusat” permainan.
Dari
sekian banyak pemain itu diundi atau ditentukan siapa yang “bertugas” menjaga
tiang atau tonggak. Cara pengundian/penentuan ditentukan lewat cara hompimpa/gambret/gambreng. Pihak yang
kalah adalah pihak yang “berkewajiban” menjaga tiang/tonggak dimaksud.
Pihak
yang kalah itu berdiri sambil memegang tiang/tonggak itu dan menutup mata
sambil bernyanyi…
Satu cari tampa…..
Dua basambunyi…
Tiga grak….1,2,3,4,5,6,7,8,9
dst (sesuai kesepakatan para pemain)
Saat
bernyanyi itulah, para pemain berlari, mencari tempat untuk bersembunyi… dan
berusaha agar tak terlihat dan tak bisa ditemukan oleh “penjaga”. Jika sampai hitungan terakhir, ada pemain yang
“sibuk” mencari tempat bersembunyi dan terlihat oleh penjaga, maka “resiko” ada
pada pemain. Penjaga akan menyebut nama pemain itu dan memegang tiang sambil
berteriak…. Enggo. Jika itu terjadi,
maka pemain yang “tertangkap basah” itulah yang nantinya akan mengganti “tugas”
dari sang penjaga, dengan ketentuan seluruh pemain ditemukan oleh penjaga tanpa
“markasnya” direbut oleh pemain lain.
Sang
“penjaga” bertugas mencari, menemukan para pemain sambil berusaha menjaga
“markasnya”. Ia akan “bertarung” dengan pemain agar “markasnya” tak “direbut”
oleh pemain.
Pemain
juga “bertarung” dengan “penjaga” agar tak terlihat, dan jika terlihat, ia akan
berusaha berlari memegang tiang dan berteriak… Enggo, sebelum tiang itu dipegang oleh penjaga. Jika ini terjadi,
maka “penjaga” tetap akan menjalani “masa hukumannya” dan pemain yang telah
“mati” tadi “hidup” kembali atau terbebas dan permainan diulang lagi dari
pertama. Begitu terus menerus, hingga permainan ini dihentikan atas kemauan
para pemain yang tak ingin lagi melanjutkan permainan.
Catatan
Sekian
dulu… Masih banyak jenis permainan anak-anak yang dialami penulis di masa
kanak-kanak. Ada maeng benteng, maeng
tali, gici-gici, kuti-kuti tangang, maeng rumah kacil, maeng kasti, pica-pica
kalapa, rai manggustang, dan masih banyak lagi. Namun permainan itu akan
diceritakan pada artikel berikutnya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar