“Bebatuan
Melingkar” itu bercerita
Bagian III
“...Generasi
pertama VOC yang datang ke Hindia Timur adalah para pengecut, “sang anak
mama/mami (The
moma’s boys)...”
Mereka datang dengan banyak kenangan tentang perang 80 tahun di negaranya, dan ingin “menghadirkan” semua kenangan tentang tempat kelahiran mereka itu dalam bentuk bangunan-bangunan di tanah jajahan yang baru (Indonesia). Dari bentuk bangunan (benteng), rumah, arsitektur penataan sebuah kota hingga penamaan semuanya didasari oleh kenangan emosional itu... kira-kira begitulah maksud dari J.J. Rizal tadi.
Mereka datang dengan banyak kenangan tentang perang 80 tahun di negaranya, dan ingin “menghadirkan” semua kenangan tentang tempat kelahiran mereka itu dalam bentuk bangunan-bangunan di tanah jajahan yang baru (Indonesia). Dari bentuk bangunan (benteng), rumah, arsitektur penataan sebuah kota hingga penamaan semuanya didasari oleh kenangan emosional itu... kira-kira begitulah maksud dari J.J. Rizal tadi.
Het Fort Duurstede (Photo by : Ambonesia Foundation) |
Pendapat J.J. Rizal sepertinya mendapat
“validitas tambahan” lewat artikel ini. Kembali ke bagian pengantar dari
artikel ini. Ada banyak pertanyaan menyangkut benteng Duurstede. Bagaimana
“sejarah” pembangunannya, siapa-siapa saja “kontraktornya” dalam mega project
ini, bagaimana sketsa gambarnya, siapa yang menggambar sketsa bangunan benteng
itu dan seterusnya… semuanya
seperti misteri. Yang ada pada kita hanyalah figur yang membangun dan tahun
pembangunannya. Benteng ini didirikan oleh Gubernur Amboina Arnold/Arnout de Vlaming
van Oudshoorn pada 1676 dan dilanjutkan oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen pada
1690/1691. Informasi ini bisa dibaca pada plakat yang ditempelkan pada dinding benteng
sebelah kanan saat memasuki gerbang benteng. Plakat ini ditempelkan
pada saat “perbaikan/pemugaran” yang dilakukan pada Juli 1977-Maret 1982 oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Maluku. Namun, ada sedikit
“masalah” dengan “data” pada plakat tersebut. Jika “bermasalah” dengan nama
orang maka “bermasalah” juga tahunnya, jika “bermasalah” dengan tahunnya maka
“bermasalah” juga nama orang yang menyertainya. Kedua anasir itu penting karena
saling mendukung dan saling “merestui” satu dengan yang lain, apalagi ini
menyangkut data historis.
Karena itu, mari kita “kulik” secara perlahan, satu demi satu tentang “masalah”
dan “keanehan” ini.
Dalam seluruh arsip, data, buku,
artikel yang dibaca, ditelusuri dan dipahami, Arnold/Arnout de Vlaming van Oudshoorn
adalah Gubernur Amboina pada masa VOC. Ia memerintah dalam 2 periode secara
berselang-seling bukan berturut-turut atau “sang incumbent” Gubernur Petahana
dalam terminologi politik dewasa ini yang mencalonkan diri dan terpilih lagi
untuk periode kedua. Pada periode pertama, ia memerintah sejak 1647-1651. Ia
menggantikan gubernur sebelumnya, Gerard Demmer yang memerintah pada tahun
1642-1647. Ia kemudian digantikan oleh Willem Verbeek yang memerintah pada
tahun 1651-1654. Ia menggantikan lagi Willem Verbeek untuk periode jabatan
kedua sejak 1654-1656. Pola kepimpinan model seperti ini bukan hal baru atau
hal aneh di masa itu. Banyak perjabat yang telah mengalaminya jauh sebelum van
Oudshoorn. Contohnya. JP Coen menduduki kursi Gubernur Jenderal VOC dua kali, yaitu 1618-1623 dan 1627-1629 diselingi oleh
Pieter de Carpentier pada 1623-1627. Atau Kepala Gudang (Opperhofden) VOC di
Hirado (Jepang) yang dipegang
oleh Jaqcues Speck, Jan van Elserack dan Pieter Anthoniszoon Overwater
(keduanya di Deshima).
Mereka bertiga pernah menjabat 2 kali secara berselang-seling. Jaqcues Speck
menjabat pada 1609-1612, kemudian digantikan Hendrik Brouwer (1612-1614) dan
menggantikan Hendrik Brouwer lagi (1614-1621). Begitu juga yang dialami Jan van
Elserack, periode pertama (1641-1642) kemudian digantikan Pieter Antoniszoon
Overwater (1642-1643) dan mengganti Overwater lagi (1643-1644) dan digantikan
lagi oleh Overwater (1644-1645). Atau Gubernur VOC di Pantai Coromandel (India),
yaitu Hans de Haze (1616-1616 dan 1619-1620) dan Andre Soury (1620-1622 dan
1624-1626), dan masih banyak contoh lainnya. Kebiasaan itu terjadi karena
banyak faktor, bisa karena faktor koneksi (keluarga, teman), kemampuan, atau dibutuhkan
lagi pengalamannya dalam menangani masalah yang terjadi di sebuah pos dagang. Itu
juga yang dialami oleh Arnout/Arnold
de Vlaming van Oudshoorn. Ia diketahui lahir pada tahun 1603 tanpa diketahui
tempat lahirnya. Jika dilihat tahun lahirnya, ia bisa di “golongkan” sebagai
generasi kedua di bawah
Pieter Both, JP Coen, Laurens Real, Pieter de Carpentier, Jaqcues Speck,
Anthoni van Diemen, Hendrik Brouwer yang pernah menjadi Gubernur Jenderal VOC. Ia seangkatan
dengan Cornelis van de Lijn, Carel Reynier, Joan Maetsuycker yang juga pernah
menduduki jabatan Gubernur
Jenderal VOC. Generasi
pertama lahir pada paruh kedua tahun 1500an (1560an-1600), sedangkan angkatan kedua
pada 1600an awal. Riwayat masa muda orang ini tak banyak diketahui, namun pada umumnya
yang terjadi pada generasi pertama yang semuanya berasal dari pedagang, maka
kemungkinan besar Arnold/Arnout
juga seorang pedagang. Namanya “tiba-tiba” muncul sebagai Gubernur Pantai Barat
Sumatera yang menjabat pada 1643-1644. Pada akhir masa jabatannya (1644), ia
ditugaskan oleh Gubernur
Jenderal VOC untuk menagih
utang Sultana Kerajaan Atjeh yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin atau Putri
Safiah yang memerintah 1641-1675. Ia ditugaskan karena utusan pertama gagal
menagih utang pembelian permata. Ia tiba di Atjeh pada 13 Juli 1644, butuh 2
bulan lebih barulah ia berhasil menjalankan misi yang ditugaskan. Atas
keberhasilan ini, ia ditugaskan mengisi pos dagang di Malaka. Ia memerintah
dari 06 November 1645-24 November 1646 saat
kepimpinan Gubernur
Jenderal VOC Cornelis van de
Lijn. Di sana
ia mengganti gubernur sebelumnya Jeremias van Vliet (1642-1645). Dari pos di
Malaka ia ditarik pulang oleh Gubernur Jenderal VOC Cornelis van de Lijn untuk menjadi
Gubernur Amboina pada periode pertama (1647-1651). Masa 4 tahun kekuasaan pada
periode pertama ini, tak banyak kita ketahui sepak terjangnya. Secara resmi,
data-data yang tersedia tak banyak mendeskripsikan “program kerjanya”
pada periode ini. Walaupun begitu, ada beberapa sumber yang menyebut-nyebut
namanya. Sumber-sumber ini berasal dari “legenda-legenda” terbentuknya
negeri-negeri di pulau Saparua, pantai selatan Seram dan beberapa tempat lain. Legenda-legenda
itupun seringkali “kacau” dalam penulisan nama, tahun, dan “campur aduk” antara
urutan waktu atau secara kronologis pembabakan sejarah. Semuanya ini
diakibatkan karena berasal dari tuturan atau tradisi oral, bukan karena
penulisan yang ketat. Maka untuk merekonstruksinya, kita harus membandingkan
dengan catatan resmi untuk mengira-ngira, bukan sebaliknya catatan resmi harus
mengikuti tradisi oral.
Salah satu contoh kasus yang bisa kita kupas adalah,
catatan tentang perang kerajaan Iha (Amaihal) di pulau Saparua. Catatan ini
disusun oleh Stenly Loupatty, S.Pd yang bersumber dari tuturan (wawancara) yang
dikombinasikan dengan kepustakaan, meski begitu tetap saja meninggalkan
“lubang-lubang”. Dalam beberapa alinea, tertulis nama orang yang tak sesuai
dengan sebenarnya meski “mirip”. Contohnya tertulis: pada 16 Mei 1632, Gubernur
Gitzel, padahal yang benar adalah Artus Gysels, dalam kurun waktu 10 tahun
gubernur Gitzel berkuasa, padahal Artus Gysels tak berkuasa selama itu, ia
“hanya” berkuasa pada 1631-1634 kemudian digantikan oleh Antonie van de Heuvel
(1634-1635), ada lagi kalimat : tanggal 02 Februari 1642 ia digantikan oleh Gubernur
Deimmar, padahal yang benar adalah Gerard Demmer, lagipula Demmer bukan
menggantikan Gysels tapi menggantikan Anthoni Caan (1641-1642). Ada lagi
kalimat : pada tahun 1850, Gubernur Deimmer digantikan oleh Gubernur Arnold de
Vlaming van Oudshen, yang benar adalah bukan pada tahun 1850 tapi 1647, yang
benar adalah Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Hal ini bisa dimengerti dan
ditoleransi akibat keterbatasan manusia meski tetap mengandung “cacat”. Lain
lagi dengan sejarah munculnya negeri Amahai serta Nolloth, setelah menceritakan
asal usul para leluhur, kemudian “meloncat” ke nama Arnold de Vlaming van
Oudshoorn tanpa menyebut tahun. Jadi kita tak tahu secara pasti dan benar,
peristiwa itu terjadi pada periode keberapa dalam masa pemerintahan Gubernur
Amboina itu. Hal ini bisa dipahami karena hanya “bersandar” pada tradisi lisan
yang diturunkan secara berantai. Dengan mengandalkan keterbatasan ingatan maka
tentunya hal-hal “cacat” tadi muncul.
Pada periode pertama, dalam catatan
arsip belanda ia pernah, memberikan laporan kepada Gubernur Banda C.W Outhoorn
(ayah Gubernur
Jenderal VOC, Willem van
Outhoorn) pada 16 September
1651. Selain itu ada informasi pada
tahun 1649, ia membangun kembali (memugar) benteng “Verre” di sekitar Kaitetu. Benteng
itu oleh penduduk setempat dinamakan “Kota Warwek” mengikuti nama panglima
armada dagang Belanda, bernama Admiral Warwijk yang memimpin pembangunan
benteng tersebut. Pada awalnya bangunan tersebut berfungsi sebagai loji yang
dibangun Portugis pada tahun 1599 untuk menampung bahan rempah-rempah yang dibeli
dari penduduk di sekitar daerah itu untuk dibawa ke Ternate dan seterusnya ke
Malaka. Setelah Portugis meninggalkan Ambon loji tersebut diambil alih oleh VOC
dan akhirnya dijadikan sebagai benteng oleh VOC, semasa pemerintahan Gubernur
Gerrad Demmer. Bangunan benteng tersebut terdiri dari dua lantai dan dilengkapi
dengan satu menara pengintai. Lantai atas dipakai sebagai tempat tinggal
tentara Belanda, sedangkan di lantai bawah terdapat satu ruang penjara dan
dilengkapi dengan gudang mesiu. Benteng tersebut pernah diserang dan dibakar
oleh masyarakat Kerajaan Hitu di bawah pimpinan Kakiali pada Perang Hitu tahun
1634. Kemudian benteng tersebut dibangun kembali oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn
dalam bentuk yang lebih kuat dan besar pada tahun 1649. Benteng tersebut kemudian
berganti nama menjadi “Amsterdam”. Ia juga membangun bangunan yang dijadikan
rumah sakit, bangunan ini diperbaiki oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen. Bangunan ini
nantinya dijadikan sebagai Rumah Residen Inggris dan digunakan sebagai tempat
penyerahan kekuasaan pada 1817 itu.
Setelah
menunaikan periode pemerintahannya yang pertama, ia digantikan oleh Willem
Verbeek (1651-1654), ia seperti “menghilang”, tak ada jejaknya, bahkan catatan-catatan yang ada tak
menyebut namanya selama 3 tahun itu. Barulah pada periode kedua, lumayan banyak
catatan tentang dirinya.
J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en
Nederlanders,” pada majalah Indonesie,
IX, 1956), menulis tentang
Arnold de Vlaming van Oudshoorn melakukan pemindahan pendudukan dengan
mengosongkan pulau Hoamoal. Dalam tulisannya, Keuning mengungkapkan mengenai
proses pemindahan oleh de
Vlaming van Oudshoorn:
“...Seluruh penduduk di
Hoamoal harus dikosongkan, kendati pulau yang subur ini padat penduduk yang
berjumlah sekitar 12.000 jiwa. Masyarakat Islam diangkut dan dipindahkan ke
pulau Hitu, dan mereka kehilangan Orang kaya-kaya (pemuka) yang dibawa ke
benteng untuk dijadikan sandera. Orang-orang biasa dibagi-bagi dan menghuni
kampung-kampung yang terdapat di Hitu, dan keluarga-keluarga dipisahkan.
Misalnya ayah dan anak, atau adik kakak, tidak boleh hidup bersama dan saling
hidup terpisah. Sementara raja-raja dari Hitu, yang berusaha membendung invasi
pendatang secara terpaksa dari Hoamoal, karena merasa terancam, tak dapat
berbuat apa-apa karena ancaman dari Belanda. Para wanita merasa lebih baik ditinggalkan suami-suami mereka daripada berpisah dengan anak-anak. Gubernur de Vlaming
benar-benar kejam, karena siapapun yang melanggar aturan menurut kehendaknya
langsung dibunuh. Apa lagi ia didukung baik oleh pemerintah VOC di Batavia
maupun oleh Dewan Kota di Ambon. Belanda dengan semaunya menyiksa dan membunuh
penduduk yang menjadi budak, rumah-rumah mereka dijarah…
Penduduk pemeluk Kristen dan
pemeluk berhala di Hoamoal juga menerima nasib yang sama: mereka dipaksa harus
pindah ke Leitimor. Pemindahan ini terjadi pada 6 Maret 1656. Yang tragis, 5
perahu yang membawa mereka tenggelam akibat cuaca buruk. Nasib serupa harus pula
dialami penduduk pulau-pulau Boano, Kelang dan Amblau yang juga harus dipindahkan. Penduduk-penduduk ini dikonsentrasikan di pulau Manipa, sementara
suami-suami mereka dan laki-laki lajang diangkut ke Ambon. Ribuan penduduk
pemeluk Islam di Ihamau, Saparua bersama penduduk Madjira ramai-ramai dipindahkan
ke Seram. Mereka sama sekali tidak diperkenankan kembali.
Pada 1657 banyak orang
kaya-kaya yang oleh gubernur de Vlaming yang mulanya berada di benteng —berjumlah
282 orang- diangkut ke Batavia. Sejak itupun pulau Hoamoal benar-benar dikosongkan.
Perkampungan- perkampungan di sana dibumihanguskan,
pohon-pohon cengkih dikuliti dan dibakar. Perkebunan pohon-pohon sagu
dihancurkan. Pokoknya pulau itu dijadikan rata tanah. Dari kesemuanya itu hanya
daerah-daerah Ambon dan Uliaser yang menjadi pusat produksi penanaman cengkih.
Begitu pula pertanian cengkih di Ternate, Halmahera dan Bacan dan pulau-pulau
lainnya di sekitar Maluku Utara dibatasi tetapi diawasi
ketat. Sultan Mandarsjah khusus datang ke Batavia dengan biaya sendiri dibawa
oleh VOC.
Ia hanya
memperoleh 12.000 Florin setahun sebagai imbalan, tetapi semua pohon-pohon
cengkih di wilayah kesultanan dihancurkan. Operasi Hongi-tochten berlangsung
tahunan di luar
Ambon dan Uliaser. Walau
begitu di beberapa pulau yang diijinkan menanam ribuan pohon-pohon cengkih
tetapi langsung untuk pihak VOC...”
Melihat
apa yang diuraikan oleh J. Keuning di atas, maka cerita-cerita terbentuknya
negeri-negeri di pulau Saparua yang menyebut namanya, itu kemungkinan besar
terjadi pada periode kedua kepimpinannya (1654-1656).
Begitu juga dalam arsip Belanda, tertulis: Arnold de vlaming van Oudshoorn : relaas van
zijne verrigtingen in ambon, 1654. Jadi bisa
disimpulkan bahwa catatan-catatan ini tentang periode kedua masa kekuasaannya. Menjelang
akhir jabatannya ini (1656), informasi tentang dirinya, sekali lagi muncul,
tapi bukan dari pusat kekuasaannya, melainkan bagian selatan dari daerah
kekuasaannya yaitu Solor di Pulau Timor. Ekspedisi balas dendam terhadap
dominasi Portugis di Timor dikirim dan dipimpin oleh Jendral paling bersinar disaat itu, Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Ia paling populer
karena baru saja “membantai” rakyat Maluku dan menumpas habis pemberontakan
yang dalam sejarah dikenal sebagai perang Hoamoal. Namun bintang yang lagi
bersinar itu malah meredup di pulau Timor. 2 kali ia berperang, namun
kedua-duanya kalah telak dengan meninggalkan banyak korban jiwa anak buahnya. Dengan
menanggung rasa malu, ia kembali ke Batavia karena dipanggil pulang oleh
Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker
(Maetsuijcker). Bahkan dalam “pelariannya” itu, ia menyalahkan rakyat Timor,
khususnya para pribumi penunjuk jalan karena melarikan diri dan membelot serta
memerintahkan evakuasi besar-besaran dari benteng Henricus. Namun versinya
dibantah oleh Ratu Solor dengan mengajukan keberatan kepada Gubernur Jenderal VOC
Joan Maetsuycker.
Sejak saat itu, namanya tak terdengar lagi dalam catatan sejarah di masa itu… hingga akhirnya diketahui ia meninggal pada 1662 tanpa diketahui dimana ia meninggal. Setelah menelusuri seluruh data-data ini, timbul pertanyaan paling mendasar, apa benar benteng Duurstede didirikan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1676??? Jika ia memang membangunnya, tepatnya tahun berapa??? Dan jika bukan ia, lalu siapa yang membangunnya???
Sejak saat itu, namanya tak terdengar lagi dalam catatan sejarah di masa itu… hingga akhirnya diketahui ia meninggal pada 1662 tanpa diketahui dimana ia meninggal. Setelah menelusuri seluruh data-data ini, timbul pertanyaan paling mendasar, apa benar benteng Duurstede didirikan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1676??? Jika ia memang membangunnya, tepatnya tahun berapa??? Dan jika bukan ia, lalu siapa yang membangunnya???
Mari
kita kritisi satu demi satu dengan cara membandingkan setiap data yang ada
serta menggunakan berbagai dugaan dan analisis. Yang pasti dan tak bisa
dibantah adalah Arnold de Vlaming van Oudshoorn adalah Gubernur Amboina selama
2 periode. Dengan pengecekan referensi silang semuanya memastikan hal itu.
Lagipula secara sederhana bisa dilihat dalam daftar gubernur Amboina yang
pernah memerintah, tak ada nama orang lain yang “mirip” dengannya. Yang paling
mendekati hanyalah Outhoorn, itupun orangnya berbeda. Yang bernama Outhoorn
adalah C.W Outhoorn. Orang ini adalah ayah dari Gubernur Jenderal VOC Willem van Outhoorn
itu. Sang Gubernur
Jenderal VOC adalah kelahiran
Larike pada tahun 1635, saat sang ayah bertugas di Larike. Dalam tahun 1651,
sang ayah diketahui menjadi Gubernur
Banda yang berkorespondensi dengan Arnold di tahun 1651 itu.
Dari
data-data ini, maka tidak bisa tidak, benteng Duurstede benar-benar dibangun
oleh Gubernur Amboina Arnold de
Vlaming van Oudshoorn. Pengertian dibangun bukan dia arsiteknya yang di lapangan, tapi lebih
kepada atas perintahnya benteng itu dibangun.
Lalu tepatnya tahun berapa??? Apa benar ditahun 1676 seperti selama ini diketahui??? Dengan berat hati, tahun ini agak meragukan dari sisi ketepatan data dan alur berpikir. Sang gubernur Amboina itu mengakhiri masa jabatannya pada tahun 1656 dan digantikan oleh Jacob Hustaart yang memerintah antara 1656-1662. Hal ini diperkuat dalam plakatboeke yang disusun oleh Mr. J. A. Van Der Chijs pada tahun 1882. Plakatboeke ini disusun ulang olehnya berdasarkan inventaris yang pernah dilakukan pada tahun 1770. Dalam sub judul gubernemen Ambon, terdapat berbagai data berupa daagh register (catatan harian), raporten (laporan), realia, surat menyurat, instructien (instruksi), brieven (penyampaian laporan), resolution (keputusan), dan lain-lain. Dalam sub judul itu, terdapat anak judul memorien van overgave van het bestuur. Di situ terdapat beberapa nama gubernur Amboina yang menyampaikan memorien van overgave saat mengakhiri masa jabatannya. Perlu dijelaskan tentang memorien overgave ini agar dimengerti, kata ini berarti memori serah terima jabatan. Suatu catatan yang berisikan deskripsi pekerjaan, pencapaian, masalah, tantangan, serta program kerja yang belum direalisasikan pada masa ia berkuasa. Catatan ini akan diberikan oleh pejabat lama saat pelantikan pejabat baru yang menggantikannya. Catatan ini penting, sebagai bahan pertimbangan pejabat baru dalam kebijakan saat ia memerintah nantinya. Dalam catatan kaki, Chijs menulis kalau memorien van overgave dari Arnold de Vlamingh van Oudshoorn ke gubernur selanjutnya Jacob Hustaart pada tahun 1656 itu tak ditemukan. Bahkan berdasarkan inventaris tahun 1770, memorien itu tak ada.
Selain itu, seperti yang dituturkan di atas, di akhir masa jabatannya ia memimpin ekspedisi balas dendam ke Solor dan dipanggil pulang ke Batavia, setelah itu namanya “menghilang”. Dari sini, kita bisa bertanya bagaimana mungkin sebuah benteng didirikan oleh seseorang disaat orang itu tak ada lagi??? Benteng didirikan pada tahun 1676, sedangkan sang gubernur itu sudah menjadi mantan gubernur, bahkan telah meninggal di tahun 1662. Andaikan ini bisa dibantah dengan mengatakan ia masih hidup sampai saat benteng itu didirikan, ini juga menimbulkan “masalah” dengan seluruh kebiasaan di masa itu. Dalam seluruh sejarah dan catatan VOC di Hindia Timur sejak 1602-1799 dilanjutkan dengan kekuasaan kolonial belanda sampai 1942, tak ada bangunan yang didirikan oleh orang yang sudah meninggal atau orang yang tidak lagi memegang jabatan (berada) di wilayah itu. Banyak contoh yang bisa disajikan, benteng Victoria di Ambon didirikan oleh Sancho de Vasconcelos yang memerintah Ambon sejak 1572-1591. Benteng ini didirikan pada 23 Maret 1575. Benteng Belgica di Banda, awalnya adalah benteng milik Portugis yang direbut oleh VOC, dan dihancurkan, di lokasi itu dibangun benteng baru pada 04 September 1611 atas perintah Gubernur Jenderal VOC Pieter Both (1610-1614) dan diberi nama Fort Belgica. Begitu juga dengan benteng Nassau di Banda, di tahun 1662 benteng ini telah selesai dibangun, kemudian diperbaiki atas perintah Cornelis Speelman di tahun 1669 dan dikerjakan oleh arsitek yang bernama Adriaan Leeuw. Pembangunan benteng ini memakan waktu 19 bulan dan selesai pada tahun 1672. Kita tahu, bahwa di tahun 1669 itu Cornelis Speelman masih hidup karena masih terlibat dalam perang Gowa Tallo melawan Sultan Hasanudin dan ia menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681-1684. Kemudian Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholtz—Gubernur Banda yang terakhir.
Lalu tepatnya tahun berapa??? Apa benar ditahun 1676 seperti selama ini diketahui??? Dengan berat hati, tahun ini agak meragukan dari sisi ketepatan data dan alur berpikir. Sang gubernur Amboina itu mengakhiri masa jabatannya pada tahun 1656 dan digantikan oleh Jacob Hustaart yang memerintah antara 1656-1662. Hal ini diperkuat dalam plakatboeke yang disusun oleh Mr. J. A. Van Der Chijs pada tahun 1882. Plakatboeke ini disusun ulang olehnya berdasarkan inventaris yang pernah dilakukan pada tahun 1770. Dalam sub judul gubernemen Ambon, terdapat berbagai data berupa daagh register (catatan harian), raporten (laporan), realia, surat menyurat, instructien (instruksi), brieven (penyampaian laporan), resolution (keputusan), dan lain-lain. Dalam sub judul itu, terdapat anak judul memorien van overgave van het bestuur. Di situ terdapat beberapa nama gubernur Amboina yang menyampaikan memorien van overgave saat mengakhiri masa jabatannya. Perlu dijelaskan tentang memorien overgave ini agar dimengerti, kata ini berarti memori serah terima jabatan. Suatu catatan yang berisikan deskripsi pekerjaan, pencapaian, masalah, tantangan, serta program kerja yang belum direalisasikan pada masa ia berkuasa. Catatan ini akan diberikan oleh pejabat lama saat pelantikan pejabat baru yang menggantikannya. Catatan ini penting, sebagai bahan pertimbangan pejabat baru dalam kebijakan saat ia memerintah nantinya. Dalam catatan kaki, Chijs menulis kalau memorien van overgave dari Arnold de Vlamingh van Oudshoorn ke gubernur selanjutnya Jacob Hustaart pada tahun 1656 itu tak ditemukan. Bahkan berdasarkan inventaris tahun 1770, memorien itu tak ada.
Selain itu, seperti yang dituturkan di atas, di akhir masa jabatannya ia memimpin ekspedisi balas dendam ke Solor dan dipanggil pulang ke Batavia, setelah itu namanya “menghilang”. Dari sini, kita bisa bertanya bagaimana mungkin sebuah benteng didirikan oleh seseorang disaat orang itu tak ada lagi??? Benteng didirikan pada tahun 1676, sedangkan sang gubernur itu sudah menjadi mantan gubernur, bahkan telah meninggal di tahun 1662. Andaikan ini bisa dibantah dengan mengatakan ia masih hidup sampai saat benteng itu didirikan, ini juga menimbulkan “masalah” dengan seluruh kebiasaan di masa itu. Dalam seluruh sejarah dan catatan VOC di Hindia Timur sejak 1602-1799 dilanjutkan dengan kekuasaan kolonial belanda sampai 1942, tak ada bangunan yang didirikan oleh orang yang sudah meninggal atau orang yang tidak lagi memegang jabatan (berada) di wilayah itu. Banyak contoh yang bisa disajikan, benteng Victoria di Ambon didirikan oleh Sancho de Vasconcelos yang memerintah Ambon sejak 1572-1591. Benteng ini didirikan pada 23 Maret 1575. Benteng Belgica di Banda, awalnya adalah benteng milik Portugis yang direbut oleh VOC, dan dihancurkan, di lokasi itu dibangun benteng baru pada 04 September 1611 atas perintah Gubernur Jenderal VOC Pieter Both (1610-1614) dan diberi nama Fort Belgica. Begitu juga dengan benteng Nassau di Banda, di tahun 1662 benteng ini telah selesai dibangun, kemudian diperbaiki atas perintah Cornelis Speelman di tahun 1669 dan dikerjakan oleh arsitek yang bernama Adriaan Leeuw. Pembangunan benteng ini memakan waktu 19 bulan dan selesai pada tahun 1672. Kita tahu, bahwa di tahun 1669 itu Cornelis Speelman masih hidup karena masih terlibat dalam perang Gowa Tallo melawan Sultan Hasanudin dan ia menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681-1684. Kemudian Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholtz—Gubernur Banda yang terakhir.
Dan
masih banyak contoh lain yang bisa disajikan. Dari sini bisa disimpulkan kalau
sebuah bangunan dalam hal ini benteng didirikan oleh seseorang dengan “syarat”
:
1. Orang itu harus masih
hidup.
2. Orang itu masih
memegang jabatan di wilayah
itu, atau paling tidak memiliki posisi penting (jabatan).
3. Orang itu memberikan
perintah.
4. Meski setelah benteng
selesai dibangun, orang itu tak ada lagi karena meninggal atau berpindah tempat
tugas dan diselesaikan oleh orang lain, tetaplah dia yang disebut-sebut
(namanya tercantum) dalam pembangunan bangunan itu bukan orang lain yang sama
sekali tak ada hubungannya.
Dengan
mempertimbangkan seluruh “syarat” itu, maka agak meragukan jika Benteng Duurstede dibangun pada tahun 1676. Lagipula di tahun itu, yang
menjadi Gubernur Amboina adalah Anthoni Hurdt (1672-1678), seorang yang nantinya
menjadi Direktur Jenderal Perdagangan di masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (1681-1691). Ia juga
pernah menjadi Gubernur
Banda dalam tahun 1669, saat benteng Nassau dipugar oleh Speelman. Mereka
berteman baik dan nama mereka berdua muncul lagi di akhir masa jabatan
Speelman menjadi Gubernur
Jenderal VOC seperti
diceritakan di bagian
atas.
Yang menjadi Gubernur Maluku di tahun 1676 adalah Willem
Corput, Willem Harthouwer dan Jacob de Ghein. Jadi jika benteng itu didirikan
di tahun 1676, maka “dipastikan” nama Arnold de Vlaming Oudshoorn tidak disebut.
Lagipula di masa
itu, sikap “narsis pribadi” serta rasa cinta kampung halaman sangat kuat,
sehingga sebuah bangunan yang didirikan pasti dinamai dengan namanya, nama
kampung halamannya, nama anggota kerajaan di belanda, atau minimal namanya
disebut atau dicantumkan sebagai pendiri. Banyak contoh bisa ditampilkan. Saat
JP Coen menghancurkan Jayakarta dan menata ulang kota itu, ia ingin menamai
kota itu “nieuw hoorn” mengikuti nama kota kelahirannya Hoorn, namun tak
disetujui oleh Heeren 17 yang ingin agar nama kota itu Batavia sebagai
pengingat suku batavir yang dianggap sebagai leluhur orang-orang belanda dan
jerman. Contoh lain lagi, pada masa Gubernur Jenderal VOC Anthoni van Diemen (1639-1645), ia
menginstruksikan pelaut VOC Abel Tasman untuk mengeksplorasi Benua Australia.
Tasman menemukan sebuah pulau dan diberi nama Diemendlandst atau pulau diemen
sebagai penghargaan kepada “bosnya”. Pulau itu sekarang kita kenal sebagai
Pulau Tasmania. Pemberian nama Tasmania diputuskan oleh “DPR” di tahun 1805 untuk
mengenang sang penemu pulau itu. Begitu juga benteng Culemborg di Batavia,
didirikan pada masa van Diemen dan diberi nama mengikuti nama kota kelahirannya
yaitu Culemborg di Belanda.
Tapi bisa juga ada
analogi yang lain, benteng Duurstede didirikan tahun 1676 atas perintah Arnold
de Vlaming Oudshoorn, meski ia tak lagi menjabat. Hal ini pun bermasalah,
karena ternyata ia telah meninggal di tahun 1662, ditambah lagi tak ada
“preseden” semacam itu dalam catatan sejarah VOC. Seorang yang tak berkuasa
lagi, tak bisa memerintah pembangunan sebuah bangunan apalagi sebuah benteng
yang dikhususkan sebagai sistim pertahanan. Lagipula jika tetap
“dipertahankan” didirikan tahun 1676, berarti 2 tahun setelah tsunami Ambon
yang dicatat seorang naturalis, Georg Everhard
Rumphius (1627-1702), pada 1765 dalam catatan hariannya. Tsunami Ambon
terjadi pada 17 Februari 1674 bertepatan dengan hari raya Imlek. Ini isi
catatan harian Rumphius :
“...Tanggal 17 Februari 1674,
Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh
provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau,
Kelang, Boano, Honimoa, Nusalaut,
Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan–
menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari
Penghakiman telah datang, semua orang berlari ke
tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan
Gubernur. Dia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi
ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat
laut...”
Rumphuis juga
mencatat akibat gempa korban yang jatuh sebanyak 2243 orang termasuk 31 orang
Eropa. Meski pulau Saparua tidak disebut dalam catatan hariannya secara
eksplisit namun pulau Saparua berdekatan dengan Nusalaut, berdekatan dengan Oma
di pulau Haruku, maka pastilah juga mengalami efek yang mengerikan. Apakah
mungkin dalam tahun-tahun “rehabilitasi” akibat gempa yang memerlukan uang,
diluncurkan sebuah “mega project” di Saparua??? Dari sisi “kebijakan public” rasanya tak
mungkin. Ditambah lagi, tahun-tahun itu, Uliaser relatif “aman” tak terdengar
atau tercatat ada huruhara atau pemberontakan, sehingga tak “dibutuhkan”
benteng yang berfungsi sebagai pusat pertahanan dalam kerangka berpikir
militeristik.
Dari seluruh analisa
itu, maka bisa diragukan benteng Duurstede dibangun dalam tahun 1676. Jika
begitu, berarti tahun berapa??? Kesimpulan
awal adalah bangunan (benteng) ini dibangun oleh Gubernur Amboina Arnold de
Vlaming van Oudshoorn. Berarti bangunan ini dibangun dalam masa
pemerintahannya, entah itu periode pertama atau kedua. Hipotesis yang lebih
“kuat” adalah pada periode kedua masa jabatannya (1654-1656).
Penentuan hipotesis
ini tentunya memiliki dasar sebagai “backgroundnya”. Seperti yang dijelaskan
oleh J Keuning di atas,
van Oudshoorn mengevakuasi seluruh penduduk Hoamoal pada tahun 1656. Kondisi
“kamtibmas” di Maluku, khususnya Seram, Ambon, dan Lease kacau. Sehingga
diperlukan tindakan keras untuk mengatasinya. Di pulau Saparua, baru saja
selesai perang Iha pada 1652. Saat ia dikirim ke Solor ia disebut sebagai
jenderal paling bersinar saat itu karena berhasil menumpas perang Hoamoal.
Berarti bisa dibilang orang ini berhasil mengatasi kekacauan dan “menata” agar
penduduk Seram, Lease, Nusalaut dan Ambon “tutup mulut”. Tentunya cara yang
dilakukan adalah dengan berbagai macam strategi. Salah satunya dengan pendirian
sebuah benteng sebagai “pos pemantau” atau simbol takluknya sebuah daerah
terhadap orang baru. Preseden seperti ini banyak dilakukan oleh para
pendahulunya, maka tentunya warisan ini juga diikuti. Strategi militer ini
harus dijalankan.
Dari sisi geografis,
pulau Saparua adalah “moncong” paling
vital dalam rencana eksekusi strategi yang dimaksud. Maka disitu harus dibangun
sebuah benteng. Ada informasi menarik
tentang sejarah perang Iha yang berakhir pada tahun 1652 itu. Di situ dibilang setelah
perang Iha selesai, Arnold de Vlaming van Oudshoorn memerintahkan seluruh negeri-negeri
di gunung
untuk turun dan membentuk pola pemukiman baru di sepanjang pantai. Dengan
pola seperti itu, maka rakyat “dibungkam” ala orde baru. Jika itu yang terjadi
pada negeri Iha, maka itu juga terjadi pada seluruh negeri di pulau Saparua.
Pernyataan ini seperti dikuatkan dengan cerita-cerita munculnya negeri-negeri
di pulau Saparua yang menyebut-nyebut nama orang ini. Jika rakyat telah turun
ke daerah pesisir dan ditata, maka langkah selanjutnya adalah pendirian
“lembaga” yang bertugas menata dan juga menekan/menebar teror sisi psikologis
rakyat yaitu pendirian sebuah benteng dengan seluruh aparat keamanan di dalamnya.
Setelah selesai perang
itu, beberapa wilayah kekuasaan kerajaan Iha dibagi/diberikan kepada sekutu/membantu
VOC dalam perang itu. Salah satunya adalah Tanah Hatala yang diberikan
(dihibahkan) kepada negeri Saparua, namun ditolak, dan akhirnya diberikan
kepada negeri Tuhaha. Perlu diperhatikan, bahwa
sejarah perang Iha yang disusun ini adalah versi dari orang-orang iha,
maka tentunya tradisi oral ini diturunkan dari generasi ke generasi untuk
diingat kepada generasi selanjutnya. Berarti setiap detail, deskripsi jalannya
pertempuran, siapa lawan, siapa kawan, siapa pengkhianat akan diceritakan
sebagai pengingat kepada generasi berikutnya. Yang “anehnya” dalam cerita
perang itu, negeri Saparua tak disebut-sebut sekalipun, bahkan orang-orang yang
terlibat pun tidak satupun berasal dari negeri Saparua. Berarti negeri Saparua
bukan lawan juga bukan kawan alias netral dalam kasus perang itu. Jika dikategorikan
lawan atau pengkhianat, maka tentunya harus ada disebut, jika bukan sekutu VOC
atau sang pengkhianat/lawan, mengapa tanah milik kerajaan Iha itu dihibahkan ke
negeri Saparua meski ditolak??? Jika negeri Saparua adalah pengkhianat dan Iha “segan”
menyebut Saparua, alasannya apa???
Ternyata dalam sejarah itu secara eksplisit disebut nama-nama orang yang
menjadi sekutu dan lawan. Maka tentunya bukan karena alasan “segan” tadi. Kita
memerlukan analisis sedikit “mendalam” dan “loncatan berpikir” untuk memahami
kasus yang aneh ini.
Dalam tradisi lisan
yang dipercayai oleh orang-orang negeri saparua, benteng Duurstede didirikan di atas dati milik
keluarga Titaley. Titaley merupakan salah satu marga (faam) yang dianggap
sebagai penduduk asli (orang negeri asli) negeri Saparua, bersama marga Anakotta,
Simatauw dan Ririnama. Saat kedatangan para leluhur negeri Saparua dan kemudian
pembagian wilayah (tanah), keluarga Titaley menempati wilayah yang disebut muka
negeri, yaitu lokasi seputar benteng Duurstede sekarang. Memahami kasus ini,
perlu ditanyakan lebih lanjut, untuk apa VOC (Belanda) menghibahkan sepotong
tanah pada sebuah negeri, jika negeri itu nyata-nyatanya “netral” dalam konteks
perang Iha??? Ada apa??? Alasannya apa??? Kita tahu, VOC memiliki persepektif
dagang yang orientasinya adalah keuntungan semata, tentunya ia tak mungkin
memberikan sesuatu dengan gratis, alias tidak
ada makan siang yang gratis. Bertolak dari pola pikir seperti ini, maka
pemberian dari VOC pasti memiliki alasan dan tujuan. Apa mungkin tanah Hatala
adalah kompensasi dari lokasi pendirian benteng??? Apakah ini semacam “tukar
guling” antara VOC dan negeri Saparua??? Meski dalam
catatan sejarahnya akhirnya itu ditolak??? Ya ini semacam “jembatan penghubung”
untuk merangkai mata rantai yang hilang (missing link) tadi. Memang hipotesis
ini “agak berani” dan lemah karena tak ada validitas data yang menyertainya,
namun tak salahnya juga kita berhipotesis dengan berdasar pada pembacaan background
sejarahnya. Lagipula jika “penguasa” lokasi benteng Duurstede adalah
Titaley kenapa proses hibah tanah Hatala dikatakan kepada Saparua??? Mengapa tidak
dikatakan kepada individu??? Apakah keluarga Titaley adalah “raja” saat itu,
penguasa dan pejabat yang berkuasa memimpin Saparua??? Bisa saja… karena bertindak
sebagai raja maka wajar jika sebuah tanah yang diberikan bisa disebut sebagai
pemberian kepada sebuah negeri. Terus kenapa ditolak??? Banyak faktor bisa disebut
disini, lokasi tanah baru itu tidak strategis dalam pandangan orang Saparua
(raja/penguasa), atau bisa juga tanah baru itu tidak terlalu “dibutuhkan”
karena wilayah kekuasaan (petuanan) negeri yang luas, maka tidak diperlukan
lagi tambahan wilayah baru. Atau bisa juga negeri Saparua tidak mau menerima sesuatu
pemberian yang bukan karena hasil yang “halal”, atau mungkin juga tawaran
pemberian itu tidak “menarik”. Dan masih banyak faktor yang bisa disebut. Terus kenapa tanah
itu diberikan??? Apa tujuannya, jika kita memperhatikan lokasi tanah yang akan
diberikan itu, mungkin kita bisa memahami tujuan dari penawaran yang diberikan
oleh VOC. Tanah itu sekarang berdekatan dengan lokasi hutan/gunung Saniri,
berarti tanah itu terletak di sebuah perbatasan. Jika begini, maka
kita bisa memahami tujuannya. Tanah itu diberikan dengan tujuan, agar negeri Saparua bisa jadi benteng pertama bagi VOC jika diserang oleh Iha. Tanah itu
sebagai penyekat pertama, jika ada niat kerajaan Iha atau orang-orang yang
kalah dalam perang Iha berniat membalas kekalahan. Mungkin saja, negeri Saparua
tahu tujuan ini, maka tanah itu ditolak dan akhirnya diberikan kepada Tuhaha
yang secara eksplisit disebut dalam perang Iha itu.
Apakah mungkin karena
tanah yang diberikan kemudian ditolak itu bisa dikaitkan dengan klaim mata rumah
parentah??? Semuanya bisa saja dengan memahami hubungan kausalitas pada kasus
tanah Hatala, lokasi pendirian benteng dan perang Iha tadi. Dalam sejarahnya, setiap
berhubungan dengan sebuah wilayah, VOC selalu berhubungan dengan penguasa
wilayah itu atau minimal dengan pemilik dari lokasi itu. Maka wajar jika Belanda berhubungan dengan Titaley yang notabene adalah pemilik lokasi yang
diinginkan. Maka wajar juga mereka melakukan negosiasi dengan berbagai tawaran.
Mungkin dari sini, sekali lagi mungkin, dari sini muncul klaim keluarga Titaley
yang menyatakan bahwa pemberian gelar “raja” adalah pemberian Belanda. Meski
kenyataannya gelar raja sudah ada jauh sebelum Belanda ada di negeri Saparua. Mungkin karena proses
negosiasi “tukar guling” tanah itu ditolak, maka VOC memberikan “hadiah
prestise” berupa “pengesahan/penguatan” mata rumah parentah yang dimiliki oleh
Titaley sejak awal. Sekali lagi ini mungkin dan berupa hipotesis, perlu kajian
lebih jauh tentang hal ini.
Dengan berdirinya
sebuah benteng di negeri Saparua, maka segala
strategi militer VOC telah berhasil. Mereka bisa mengawasi setiap negeri di
pulau Saparua, muka seram dan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya telah
“dibungkam” oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Dengan mengerti seluruh
uraian ini, maka benteng Duurstede
kemungkinan besar didirikan pada tahun 1656. Lagipula penentuan tahun 1656 ini
bisa dihubungkan dengan tahun 1676, bukannya kedua tahun ini “sama” yang
berbeda hanyalah antara 5 dan 7, yang bisa juga “ditoleransi” sebagai
“kekeliruan” dalam penulisan ulang. Apalagi tahun ini berasal dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Maluku yang mungkin saja melakukan
“kekeliruan” dalam hal penulisan tahun. Jadi kita telah tahu,
benteng ini didirikan oleh Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn,
pada sekitar tahun 1656 dengan motivasi dan latar belakang pendiriannya.
Lalu bagaimana
benteng ini didirikan, siapa arsiteknya, siapa saja pekerjanya, berapa biaya
yang dikeluarkan untuk membangun benteng, bagaimana maketnya, bahan bakunya
darimana, apa melibatkan para budak untuk mengerjakannya, dan pertanyaan
lainnya. Dengan jujur, kita tak bisa mengetahuinya, seluruh deskripsi
pembangunan benteng Duurstede
tak ada. Jadi pertanyaan-pertanyaan di atas tak bisa dijawab untuk memenuhi
ekspestasi keinginan tahuan kita. Hal ini diakibatkan karena, memorien van
overgave dari Gubernur
Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn saat serah terima pejabat baru, Jacob
Hustaart tak ditemukan. Itu yang dikatakan oleh Mr. J.A. van der Chijs dalam
plakatboeke tahun 1882 itu. Setiap pejabat lama yang akan diganti harus
menyusun memorien van overgave untuk diberikan kepada pejabat yang
menggantinya. Dan “sialnya” catatan ini tak ditemukan dalam seluruh arsip-arsip
VOC. Pastilah dalam catatan itu, Arnold akan menulis tentang pembangunan
benteng dengan seluruh deskripsinya.
Jadi kita selamanya
tak akan bisa mengetahui soal ini. Yang lebih “aneh” lagi, seluruh memorien van
overgave dari Arnold de Vlaming van Oudshoorn dan Nicholaas Schagen tidak
ditemukan. Kedua orang ini, sebelum menjadi Gubernur Amboina, adalah Gubernur
VOC di pos dagang VOC. Mereka berdua pernah menjadi Gubernur Malaka, dan
memorien van overgave kedua orang ini selama bertugas di Malaka tak ditemukan.
Hal yang sama terjadi lagi saat mereka berdua bertugas menjadi Gubernur Amboina. Keanehan
ini bisa memunculkan “kecurigaan” lebih jauh. Apakah ketiadaan catatan ini
karena “disengaja” atau memang hilang. Kalau dibilang dihilangkan secara
sengaja, rasanya tak adil karena banyak memorien van overgave dari pejabat lain
juga ada. Bahkan memorien van overgave yang berisikan “kekejaman” pejabat
itupun ada. Jadi kita harus menerimanya sebagai “kesialan” saja. Perlu dipahami
jika arsip-arsip VOC itu sangat banyak, seluruh arsip yang berhasil dikumpulkan
dan “diselamatkan” kalau diatur bisa sepanjang 10 KM, bayangkan betapa
banyaknya. Jadi mungkin saja memorien van overgave itu hilang karena
keterbatasan kerja manusia, atau telah dimakan rayap dan tak bisa lagi diselamatkan
dan dikumpulkan.
Meski kita tidak
tahu, deskripsi pembangunan benteng Duurstede, kita bisa “mengcopi paste” “deskripsi
pendirian” benteng lain yang sezaman atau lebih tua untuk memahami proses
pendirian sebuah benteng. Contoh yang
bisa ditunjukkan
adalah pembangunan benteng Belgica di Banda dan benteng Nassau di Banda.
Benteng Belgica
pada awalnya adalah sebuah benteng yang
dibangun oleh bangsa Portugis pada abad
16 di Pulau
Neira, Maluku.
Lama setelah itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali
sebuah benteng oleh VOC
atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both
pada tanggal 4 September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort
Belgica, sehingga pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira
yaitu; Benteng Belgica dan Benteng
Nassau. Benteng ini dibangun dengan
tujuan untuk menghadapi perlawanan masyarakat Banda yang menentang monopoli
perdagangan pala oleh VOC. Pada tanggal 09 Agustus 1662,
benteng ini selesai diperbaiki dan diperbesar sehingga mampu menampung 30 – 40
serdadu yang bertugas untuk menjaga benteng tersebut. Kemudian pada tahun
1669, benteng yang telah diperbaiki tersebut dirobohkan, dan sebagian bahan
bangunannya digunakan untuk membangun kembali sebuah benteng di lokasi yang
sama. Pembangunan kali ini dilaksanakan atas perintah Cornelis Speelman.
Seorang insinyur bernama Adriaan
Leeuw ditugaskan untuk merancang dan
mengawasi pembangunan benteng yang menelan biaya sangat besar ini. Selain
menelan biaya yang sangat besar (309.802,15 Gulden), perbaikan kali ini juga
memakan waktu yang lama untuk meratakan bukit guna membuat pondasi benteng
yaitu sekitar 19 bulan. Biaya yang besar tersebut juga disebabkan karena banyak
yang dikorupsi oleh mereka yang terlibat dalam perbaikan benteng ini. Akhirnya
benteng ini selesai pada tahun 1672.
Sepuluh tahun
kemudian komisaris Robertus
Padbrugge (Gubernur Amboina) ditugaskan
untuk memeriksa pembukuan pekerjaan tersebut, tetapi ia tidak berhasil dalam
tugasnya tersebut. Hal ini dikarenakan banyak tuan tanah yang beranggapan bahwa
biaya tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hasilnya, sebuah
benteng yang hebat dan mengagumkan. Karena hal tersebut, Padbrugge menghentikan
penyelidikannya. Walaupun benteng
tersebut dikatakan sangat hebat dan mengagumkan, tetapi masalah bagaimana untuk
mencukupi kebutuhan air dalam benteng masih juga belum terpecahkan. Setelah
menimbang-nimbang apakah akan menggali sebuah sumur atau membuat sebuah bak
penampungan air yang besar atau membuat empat buah bak penampungan air yang lebih
kecil, akhirnya diputuskan untuk menggali sebuah sumur di dekat benteng dan
menghubungkannya dengan sebuah bak penampung air berbentuk oval yang dibuat di tengah
halaman dalam benteng.
Atau “deskripsi”
pembangunan benteng Victoria di Ambon :
Benteng Nieuw
Victoria di Kota Ambon, adalah berawal dari dibangunnya benteng Portugis di
pantai Honipopo pada abad ke-16. Batu pertama dari benteng tersebut diletakkan
oleh seorang panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de Vasconcelos, pada
tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan
menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya.
Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada”.
Pemberian nama tersebut berkaitan dengan hari Kenaikan (“Anunciada”) yang
bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut. Tetapi,
menurut para saksi mata dari abad ke-17 dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan
Rijali, di kalangan penduduk Pulau Ambon, benteng tersebut lebih dikenal dengan
sebutan “Kota Laha”, yang berarti benteng (“Kota”) di teluk (“Laha”). Benteng
Kota Laha berbentuk segi empat mengikuti bentuk benteng batu yang umumnya
dibangun di Eropa dalam abad pertengahan. Pada keempat sudutnya dibangun empat
buah menara bersegi tiga untuk menempatkan meriam. Karena ancaman terbesar akan
datang dari laut, maka kedua menara meriam yang mengarah ke laut dibuat lebih
kokoh dari yang mengarah ke darat. Dua gerbang utama menjadi pintu masuk ke
benteng tersebut, sebuah terletak pada tembok ke arah laut (untuk muatan
kapal-kapal) dan sebuah lagi pada tembok ke arah darat. Benteng Kota Laha jatuh
dari tangan Portugis ke pihak VOC pada tanggal 23 Maret 1605 di bawah pimpinan
Admiral Steven van der Haghen, sehingga benteng tersebut hanya berhasil
dipertahankan oleh Portugis selama 30 tahun (1575-1605). Kemudian benteng
tersebut berganti nama menjadi “Victoria” (kemenangan) pada tahun 1614, sebagai
peringatan atas kemenangan Belanda dari Portugis. Kota Laha menjadi satu dari
dua benteng di Asia yang berhasil direbut VOC dari Portugis, selain benteng
Malaka yang direbut tahun 1648. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 17
Februari 1674 terjadi gempa yang dasyat di Pulau Ambon dan pulau-pulau
sekitarnya. Akibatnya, benteng Victoria mengalami kerusakan berat, bahkan
beberapa bangunan tidak dapat digunakan lagi. Kerusakan dalam benteng Victoria
yang diakibatkan oleh gempa segera dapat diatasi. Rumah-rumah kayu yang
terdapat dalam benteng tersebut berangsur-angsur diganti dengan bangunan yang
lebih baik dan kokoh. Namun pada tahun 1754 terjadi kembali gempa dahsyat yang
menimbulkan kerusakan yang sangat parah pada benteng Victoria. Karena kesulitan
keuangan, renovasi benteng itu baru selesai akhir tahun 1780-an. Karena
perbaikan dan perubahannya sangat banyak, maka sejak saat itu benteng tersebut
dinamakan “Nieuw Victoria” (Victoria Baru).
Meskipun tidak secara
mendetail, tapi minimal kita bisa mengetahui tentang pendirian benteng. Ya
mungkin seperti kedua contoh di atas, benteng duurstede didirikan. Terus
siapa yang menjadi “kontraktornya”, pemenang “tender” dari mega project ini,
siapa-siapa pekerjanya, dan darimana biaya pembangunannya???
Leonard Blusse dalam
bukunya Strange Company : Chinese settlers, mestiso woman and the dutch in VOC Batavia
(Persekutuan aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC –
edisi terjemahan), menulis panjang lebar tentang pembangunan kota Batavia yang
dilakukan oleh JP Coen dan beberapa Gubernur Jenderal VOC berikutnya. Ia mendasari deskripsi
pembangunan kota Batavia berdasarkan buku karangan F. de Haan, Oud Batavia dan
pembacaan seluruh arsip-arsip Hoge Regering, berupa daagh register, realia, resolusi dan berbagai
istilah lain. Pada lembar-lembar tulisannya, ada sebuah paragraph yang menulis
: pekerjaan bangunan-bangunan penting seperti penggalian dan benteng kota dan
semua gedung dikontrakkan dan dilaksanakan oleh kontraktor-kontraktor china
(hlm 148). Selain itu, ada juga tertulis : Gubernur Jenderal VOC Hendrik Brouwer dalam general
missive tertanggal 27 desember 1635 menulis : tidak ada seorang burgher belanda yang mau melakukan kontrak untuk
pembangunan proyek-proyek seperti menggali saluran atau memasok kayu, gamping
dan batu. Hanya orang-orang cina yang giat di sector ini. Tanpa bantuan mereka,
pembangunan benteng dan tata letak kota seperti sekarang ini akan membutuhkan
waktu bertahun-tahun dan lebih lama lagi untuk perampungannya (hlm 116).
Ada lagi : pada akhir musim penghujan
tahun 1638, hoge regering memutuskan untuk mengganti pagar kayu sepanjang batas
kota dibarat utara dan selatan dengan tembok batu biaya seluruhnya 11.000 real.
VOC akan menanggung para budak sebagai pekerjanya, sedangkan biaya pembangunan
berasal dari tanggungan burgher belanda 3.000 real dan 8.000 real dari
orang-orang cina (hlm 120). Selain itu tertulis juga: pada 6 september 1638, Jan Con (kontraktor Cina) mempersilahkan
pemerintah memeriksa perkembangan pekerjaan dibagian selatan dan barat kota.
Benteng diperiksa dan dinyatakan telah dibangun sesuai petunjuk. 3 hari
kemudian, sisi pekerjaan disisi utara kota dicantumkan juga dalam kontrak (hlm 122).
Tentang sumber dana
pembangunan dan upah para pekerja, di situ tertulis :
"...Semua
orang china dibatavia, termasuk para awak kapal dikenakan pajak tambahan
sebesar 3 real. Maka terkumpullah 9000 real yang akan digunakan untuk upah para
pekerja. Pajak ini ditagih hampir setiap tahun sejak 1625, hingga selesai
pembangunan benteng pada 1640..." (hlm 110)
Dari uraian Blusse di atas, kita mengetahui
bahwa seluruh pembangunan benteng, dan penataan kota Batavia, dilakukan oleh
para kontraktor Cina, dengan para pekerja, dari budak-budak yang dari cina,
bali, Sulawesi, Maluku (Banda), jawa dan sisa budak-budak saat portugis
“menjajah” Hindia Belanda, serta di pos-pos Portugis macam Malaka, Goa,
Koromandel, dan lain-lain. Jejaring kerjasama
antara VOC dan “para taipan” cina itu sangat kuat, dan dinamis. Mereka
benar-benar “menguasai” seluruh pelaksanaan pembangunan infrastuktur di saat
itu. Maka tidak mengherankan, jika mereka juga ikut “terlibat” dalam
pelaksanaan pembangunan benteng duurstede. Meski data validnya tak ada, tapi
mengingat rentang waktu yang tidak terlalu jauh (40-20 thn) kemudian, maka “masuk
akal” jika mereka juga punya “keterkaitan” dengan pembangunan benteng Duurstede. Begitu juga para pekerja, para pekerja dari Cina, dan para budak,
sumber dananya mungkin seperti yang diulas Blusse, dari pajak tambahan, yang
berasal dari pribumi setempat dalam hal ini orang-orang pulau Saparua.
Lalu, bagaimana bentuk
asli benteng Duurstede???
Apakah bentuk yang ada sekarang, itu adalah bentuk awal yang dibangun oleh
Arnold de Vlaming van Oudshoorn??? Agak sulit menjawabnya, tapi kemungkinan
adalah sama. Ada beberapa “dasar” yang mendasari pernyataan seperti itu. Pada
masa itu, bangunan benteng didirikan dalam pola bujursangkar atau lingkaran,
atau lingkaran di dalam
segiempat. Pola ini sangat “trend” di masa abad pertengahan di eropa. Jadi pola
yang lagi ngetrend itu, diaplikasikan juga di lokasi yang baru. Bentuk benteng
yang menyerupai puri/kastil sebagai tempat pertahanan dan juga tempat tinggal
dibangun dan dikelilingi oleh tembok-tembok tebal dan tinggi. Itu merupakan
“gaya” di abad
pertengahan dan masih terpengaruh pada sifat feodalisme kaum bangsawan Eropa. Banyak benteng di masa
itu yang berbentuk segi empat dan lingkaran yang bisa ditampilkan sebagai
contoh atau pembanding.
Benteng Nassau dalam lukisan tahun 1646 |
Keempat benteng di atas, adalah
bentuk-bentuk benteng yang dibangun seperti yang diulas oleh Blusse dalam buku
itu. Semua benteng itu berlokasi di jakarta, meski sekarang semuanya telah
dibongkar.
Selain bentuk
bujursangkar (segi empat) dan lingkaran yang merupakan pola top di masa itu.
Pola bujursangkar dan lingkaran adalah bentuk geometri “suci” atau sakral, yang dipercayai
oleh orang-orang di masa
itu. Mereka mempercayai jika bujursangkar atau lingkaran atau lingkaran dalam
segiempat adalah bangun ruang dari “nirwana/surgawi/suargaloka” yang
ditafsirkan dari pembacaan kitab suci. Jadi bangunan-bangunan suci yang
didirikan adalah “manifestasi” atau “dihadirkan” kembali ke bumi.
Karen Amstrong dalam beberapa
bukunya mengulas tentang hal ini. Jerusalem: 1 kota 3 iman, Berperang demi
Tuhan, Sejarah Alkitab : telaah historis atas buku yang paling banyak dibaca di dunia (semuanya edisi
terjemahan) adalah beberapa buku yang dimaksud. Ia mengatakan bahwa, di awal abad XV, Eropa
mengalami pencerahan dalam bidang apa saja. Dimana abad-abad sebelumnya begitu
dirasuki oleh dogmatika Katholik yang sangat ketat dan saat abad pencerahan,
eropa mulai bergerak kearah rasionalitas dan pragmatis, semua hal dirasionalisasi,
termasuk penafsiran iman. Namun di sisi lain, perasionalisasian itu tetap
masih “diwarisi” pola pikir mistis yang masih kuat. Jadi disatu sisi bergerak
ke akal tapi alam bawah sadar mereka masih memegang pola-pola lama. Termasuk
soal bangun geometri suci tadi. Jadi pembangunan
benteng yang dilakukan adalah “kombinasi” antara sisi rasionalitas dan mistis
yang ada dalam kepala. Benteng yang didirikan dengan tembok-tembok tebal,
tinggi adalah sisi rasionalitas dengan tujuan strategi militer untuk bertahan
terhadap serangan musuh, dan di sisi lain memiliki pola-pola “suci” bentuk
geometri suci. Jadi generasi pertama VOC, yang membangun benteng-benteng
memiliki “filosofi” seperti ini.
Kembali ke benteng Duurstede, benteng ini
merupakan bentuk lingkaran dan segi empat. Setengah lingkaran yang
“dikunci/dijepit” oleh segiempat pada gerbangnya. Berdiri di atas batu karang
setinggi 20 kaki atau sekitar 6 meter dan “dihiasi” oleh anak tangga sebanyak
24 buah anak tangga untuk tiba di pintu masuk atau gerbang. Dilihat dari
posisinya, benteng ini dikatakan sangat strategis, karena berada di ketinggian,
di pinggir laut. Posisi yang tinggi berarti bisa melihat kemana saja, bisa
memantau ke segala arah, bisa mengawasi siapa saja, dan mengetahui segala gerak
gerik. Di pinggir laut, berarti dekat dengan lalu lintas perdagangan yang
menjadi tujuan VOC. Dari sisi filosofis pun seperti memiliki makna “tuan besar”
yang bertahta di atas yang lain, sebuah simbol kekuatan, penguasa yang
menaklukan musuh di bawah “kaki-kakinya” karena sang musuh (rakyat) menghuni di bawah “kakinya”.
Mungkin itulah yang
dipikirkan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn saat membangun benteng Duurstede. Bentuk dan
polanya memang mirip dengan benteng Henricus dan Concordia di Solor Pulau Timor.
Kedua benteng ini khususnya Benteng Henricus memiliki “kaitan” dengan Arnold. Selain
karena benteng inilah yang membuat ia “turun tangan” dalam ekspedisi balas
dendam, gambar benteng ini juga terdapat dalam deskripsi tentang Solor yang
dibuat oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1656. Jadi mungkin saat menyerang
solor itulah, Arnold menulis atau “menggambarkan” situasi Solor dan Timor
beserta benteng Henricus itu. Di bawah ini adalah gambar kedua benteng.
Benteng Concordia |
Memang kedua
benteng ini bukan didirikan oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn (belanda) tapi
oleh Portugis, namun seperti yang dijelaskan di atas, kedua bangsa
ini tidak berbeda dalam dasar pembangunan sebuah benteng. Mereka memiliki pola
pikir yang sama karena berasal dari daratan dan kawasan yang berdekatan
(bertetangga) yaitu Eropa Barat. Lagipula bentuk-bentuk benteng seperti ini
merupakan hal “lumrah”. Dan posisi hampir semua benteng berdekatan dengan laut.
Maka benteng Duurstede pun juga sama. Yang lebih dekat sebagai pembanding
adalah benteng Victoria yang berhadapan dengan laut.
Jadi benteng Duurstede dibangun
dengan “kebiasaan lumrah” pada masa itu. Namun “anehnya” hampir 40 tahun
kemudian tepatnya di tahun
1690/1691, barulah benteng ini diselesaikan oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen yang
berkuasa pada 1691-1696. Atau jika kita mau tetap ‘setia” pada tahun 1676, maka
15 tahun kemudian barulah benteng ini diselesaikan. Suatu waktu yang lumayan
lama. Pertanyaannya kenapa harus begitu lama??? Banyak faktor yang bisa di
munculkan di sini,
meski hanya berupa dugaan-dugaan saja. Namun sebelumnya kita “berkenalan” dulu
dengan sang aktor di balik penyelesaian pembangunan benteng Duurstede ini.
Nicholas Paul Schagen
adalah Gubernur Amboina yang menggantikan Dirk Haas (1687-1691), dan akhirnya ia
digantikan oleh Cornelis van Stull (1696-1697). Sebelum
menjadi Gubernur Amboina, ia adalah Gubernur Malaka seperti Arnold de Vlaming
van Oudshoorn. Ia memerintah di Malaka pada tahun 1684-1685, tepatnya sejak 1 Desember
1684 – 1685. Kemudian menjadi Gubernur Bengal (India) pada 1685-1687. Masa
mudanya tak banyak diketahui, namanya “baru” muncul 3 tahun setelah kematian Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman pada 11 Januari 1684. Ia bersama Marten Pitt menjadi kuasa hukum (kurator) untuk mengurus
harta peninggalan Speelman, dalam tahun 1687. Jadi saat selesai menjadi
Gubernur Malaka, dan Direktur pos VOC di Bengal (India), ia kembali ke Batavia
dan menjadi seorang kurator yang menangani harta peninggalan. Ditahun-tahun
ini, ia “bermasalah” dengan Jhon Bitter, seorang bekas anggota Raad van
Justicie yang menikah dengan Cornelia van Nijenroode, putri Cornelis van
Nijenroode van Delf, bekas kepala gudang (opperhofd) pos VOC di Hirado (Jepang)
dengan gundik orang Jepang. Sang ayah adalah generasi pertama seangkatan J.P
Coen. Ia berkuasa disana sejak 1623-1633. Masalah hukum ini awalnya masalah
rumah tangga biasa, yang berujung pada pertikaian perceraian dibumbuhi oleh
perebutan harta gono-gini. Kasus hukum ini sangat menggemparkan Batavia di masa itu, karena
melibatkan banyak kaum elit, diantaranya Speelman, anggota Raad van Justicie,
Raad van Indie, Willem van Outhoorn, dewan gereja hingga Heeren 17 di Belanda.
Cornelia van Nijenroode adalah teman baik Cornelis Speelman, yang pernah
bekerja sebagai akuntan pembukuan di kantor Pieter Cnoll, suami pertama
Cornelia. Selain itu Cornelia van Nijenroode bersahabat baik dengan Petronella
Wondaraer yang adalah istri Cornelis Speelman. Bahkan Cornelis Speelman adalah
“bapa ani” orang tua rohani dari anak laki-laki Cornelia, Pieter Cnoll van
Nijenroode.
Maka tentunya dengan
“jaringan” persahabatan yang saling “membelit” model ini, maka Nicholaas Schagen pun “bertemu”
dengan Jhon Bitter. Pertikaian ini berlarut-larut, sejak 1678 hingga berakhir
pada 1692an, saat Jhon Bitter kembali ke Belanda dan berdiam di suatu tempat. Tepatnya
di wijk Duurstde Negara bagian Utrecht bagian Utara belanda. Informasi ini
berasal dari arsip gereja protestan belanda di wijk duurstede tanggal 27 Juni
1692 yang mencatat 3 orang baru yaitu Jhon Bitter dan kedua anaknya. Di wijk
Duurstede itu, ia bahkan membeli rumah dan menghabiskan masa tuanya, masa
tuanya ia pernah menjadi anggota dewan kota dan walikota wijk duurstede
sebanyak 2 kali. Uniknya, Jhon Bitter bukan “asli” daerah itu, ia adalah asli
Arnhem, namun ia pindah kesitu, karena koneksi Nicholaas Schagen. Nicholas
Schagen adalah keturunan dari keluarga terpandang Utrecht yang berasal dari
Wijk Duurstede. Jadi mungkin, Jhon Bitter memilih tempat hari tuanya, karena
“usulan” Nicholas Schagen. Setelah selesai mengurus
harta Speelman, ia kemudian menjadi wakil ketua Raad van Justicie, dan beberapa
tahun kemudian ia menjadi Gubernur Amboina dimasa Gub Jend VOC Joannes Camphuys.
Di ambon itulah, ia menyelesaikan pembangunan benteng duurstede yang
“mangkrak”. Nicholas Schagen sepertinya “ditakdirkan” untuk menyelesaikan apa
yang dibangun oleh Arnold de Vlaming van Oudshoorn. Salah satu contohnya, ia
menyelesaikan rumah Residen Inggris yang jadi tempat serah terima kekuasaan di tahun 1817 itu, rumah
itu semula berfungsi sebagai rumah sakit, dibangun oleh Gubernur Amboina Arnold
de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650), tetapi kemudian direnovasi kembali oleh
Gubernur Amboina Nicholaas
Schaghen (1691-1696) karena telah mengalami kerusakan akibat gempa yang terjadi
pada tahun 1674 (Tsunami Ambon). Dimasa pemerintahannya yaitu di tahun 1695, gereja Melayu dibongkar dan dibangun gedung baru yang selesai pengerjaannya pada masa
pejabat gubernur Cornelis Stull (1696-1697) di tahun 1696. Bagian bawah dari
tembok gedung gereja terbuat dari batu dan sisanya dari kayu yang merupakan
sumbangan penduduk negeri-negeri di Leitimor. Dalam gereja baru tersebut
terdapat sebuah mimbar yang terbuat dari kayu pilihan (kayu langoa dan eboni).
Di hadapannya terdapat kursi-kursi khusus untuk para pejabat seperti gubernur,
oppercoopman (kepala urusan administrasi), capitein dan anggota-anggota dewan
pemerintahan (politike raad)dan untuk anggota-anggota jemaat disediakan
bangku-bangku yang juga terbuat dari kayu langoa. Terdapat di jalan
Chinesestraat (kini bernama jalan A.J. Patty), letak gereja Melayu berada tepat
di gedung PUSKUD. Tetapi akibat Perang Dunia kedua yang pecah pada pertengahan
abad ke-20 (1942-1945)
mengakibatkan gereja tersebut di bom oleh pesawat tempur Jepang.
Jadi, dalam catatan
sejarah, Nicholaas
Schaghen menyelesaikan pembangunan benteng Duurstede yang awalnya dibangun oleh
de Vlaming van Oudshoorn. Tapi mengapa butuh waktu begitu lama baru
diselesaikan??? Memang sejak de Vlaming van Oudshoorn “menghilang” tak ada
kabar selanjutnya tentang pembangunan benteng ini. Ataukah mungkin pembangunan
benteng itu sebenarnya telah rampung di masa de vlamingh di tahun 1656 dan
penyelesaian yang dilakukan oleh Schagen adalah renovasi akibatnya tsunami Ambon tahun 1674 itu. Atau mungkin, meski telah dibangun 1656 tapi tahun-tahun
selanjutnya tidak mendapat “prioritas” dari para penggantinya. Sejak de vlaming
van Oudshoorn sampai ke Nicholas Schaghen itu, ada 9 gubernur Amboina yang
memerintah, mulai dari Jacob Hustaart (1656-1662), Simon
Cos (1662
– 1664), Johan
van Dam (1664 – 1665), Pieter Marville (1666 – 1667), Jacob Cos (1669-1672),
Antonie Hurdt(1672 – 1678) Robert
de Vicq (1678 – 1682), Robert Padtbrugge (1682 – 1687), Dirk de Haas (1687 -
1691). Tak diketahui dengan pasti kenapa begitu lama baru diselesaikan. Tapi
melihat tahun akhir pembangunan benteng itu, mungkin beberapa tahun sebelum
itu, “prioritas” pemerintah diarahkan pada pemulihan akibat tsunami Ambon
di tahun 1674. Barulah pada masa pemerintahan Schagen itulah, keadaan sudah
mulai stabil dalam hal ini keuangan, maka diputuskan untuk menyelesaikannya.
Benteng
ini kemudian dinamakan oleh Nicholaas
Schaghen dengan nama DUURSTEDE. Perlu dipahami saat dibangun oleh Arnold,
benteng itu belum dinamai. Jadi barulah pada masa Nicholaas Schaghen baru
benteng itu bernama DUURSTEDE. Ia memberi nama benteng ini dengan nama kampung
halamannya alias “tampa putus pusa” yaitu wijk Duurstede di Utrecht Belanda. Seperti
yang dijelaskan di atas
bahwa Nicholaas
Schaghen adalah keturunan keluarga terpandang di Wijk Duurstede. Jadi wajar
jika ia menamakan suatu bangunan mengikuti nama yang membawa kenangan indah
dalam hidupnya dalam hal ini adalah kampung halamannya. Contoh lain Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel
(1750-1762) menamakan benteng Philippinerburg dari Grietenburg sesuai dengan
nama kedua puterinya. Puteri Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709),
Petronella, meletakkan batu pondasi pertama di alun-alun kota yang baru di
Batavia pada 1707. Ada juga contoh lain dengan Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem
baron van Imhoff (1743-1750), setelah melakukan inspeksi, akhirnya anak buah
Gustaaf menemukan tempat yang strategis di daerah Cianjur, Jawa Barat. Tempat
inilah bernama Bogor yang akhirnya dipilih Gustaaf untuk membangun tempat
peristirahatan. Tepatnya pada bulan Agustus tahun 1744, Gustaaf membangun
sebuah pesanggrahan yang modelnya ia tiru dari bangunan Blainheim Palace di
Oxford, Inggris. Dalam sejarahnya Blainheim Palace ini merupakan tempat
kediaman Duke of Malborough, nenek moyang Princes Wale Lady Diana.
Di wijk Duurstede sendiri, 300
ratus tahun sebelumnya telah berdiri puri/kasteel Katholik yang bernama puri
Duurstede yang juga rumah tinggal para rahib/imam/uskup katholik David dan
Philip dari Burgundy (Perancis). Puri atau kasteel ini berdiri dipinggir sungai
Lek, dengan suasana pemandangan yang indah dan tenang. Di masa Nicholaas Schaghen ini, puri
ini telah runtuh dan tersisa puing-puing. Meski ia tak mengalami
“masa keemasan” puri Duurstede,
namun tentunya kenangan-kenangan itu tetap diwariskan oleh keluarga kepada
keturunan keluarga besar Schaghen. Dengan memori yang “tertanam” itulah saat ia
menyelesaikan sebuah benteng yang mirip dengan apa yang pernah ada di kampung
halamanya, maka ia menamai seperti itu. Ia ingin “menghadirkan” suasana kampung
halamannya ke Saparua, meski hanya berupa nama dan pemandangan yang mirip. Ia
“mengcopy
paste” puri Duurstede yang adalah “Rumah Tuhan” di kampung halamannya ke “hasil
ciptaannya” di Saparua, di jantung Uliaser. Semuanya saling kait mengkait, antara lokasi puri Duurstede di wijk Duurstede dengan benteng duurstede di pinggir laut, puri Duurstede yang
merupakan “Rumah Tuhan” karena merupakan rumah tinggal para uskup Katholik
dengan benteng Duurstede yang berbentuk setengah melingkar dan segiempat yang
adalah bentuk bangun ruang geometri suci. Ia pasti memahami semua itu Ia
membawa masa lalu ke masa saat ia menyelesaikan pembangunan benteng itu dengan
seluruh alasan, latar belakang, tujuan dan makna-makna simbolis di dalamnya, baik
filosofis, mistis, rasionalistis dan emosi kedalam sebuah bangunan, berupa nama
dan suasana di sekitarnya. Kita tak mengetahui secara pasti, kapan ia memulai
proses lanjutan pengerjaan benteng Duurstede. Lalu bagian-bagian apa saja yang
“dirubah” atau dilanjutkan. Hal ini diakibatkan karena seperti dijelaskan pada
kasus yang menimpa Arnold de Vlaming van Oudshoorn, memorien van overgave milik
Nicholas Schaghen kepada pejabat berikutnya, tak ditemukan. Dengan tak adanya
catatan itu, maka kita tak bisa mengetahuinya.
Di masa pemerintahan
Nicholaas Schagen inilah,
diketahui masyarakat negeri Hunut menulis surat “curhat” kepada Gubernur Jenderal. Surat itu
berisikan keluhan dari masyarakat karena orang-orang Souwa (Soya), Marduka (Mardika), Haloen
(Halong), Noesa Nywa (Nusaniwe), Alan (Alang) “merampas” tanah mereka. Surat
ini bertanggal 24 Juni 1695 dan diterima di Batavia tanggal 14 Juli 1695.
Di tahun 1696, ia
mengakhiri masa jabatannya dan “menghilang” dalam catatan sejarah. Dimana ia
meninggal, dan dimakamkan dimana, tak diketahui. Hanya dalam sebuah data, ia
dikatakan meninggal pada tahun 1696, mungkin saat ia mengakhiri masa
jabatannya, tak lama kemudian ia meninggal dalam tahun itu. Beberapa puluh
tahun kemudian, anaknya Jan Paul Schaghen menjadi Gubernur VOC di Pos VOC Ceylon
(Srilangka) yang memerintah 19 Oktober 1725-16 September 1726.
Mungkinkah disaat ia
menyelesaikan “hasil ciptaannya” ia berpikir, jika suatu saat nanti “rumah
tuhan” ciptaannya akan bermandikan darah??? Akan menjadi tumbal dan terus
menerus mengucurkan darah dan “mati” hingga ratusan tahun kemudian??? Mungkin pernah,
tapi mungkin juga tidak… namun ada yang menarik, kampung
halamannya, Utrecth itu, memiliki “nama besar” dalam “darah” VOC. Gubernur Jenderal VOC JP Coen adalah kelahiran
Hoorn, sebuah daerah di Utrecht, Gubernur Hindia Belanda Carel Sirardus graaf
van Hogendorf (1840-1841) adalah keturunan keluarga terpandang dari Utrecht,
Gubernur Hindia Belanda Dirk
Fock (1921-1926) kelahiran Wijk Duurstede Utrecht, adik Gub Jend Hindia Belanda
Frederik Jacob (1881-1884), yaitu Eduard Herman Jacob adalah Gubernur Utrceht
(1882-1888), bahkan Fredrick Jacob sebelum Gubernur Jenderal VOC itu menikah dengan Leonie Susanne
Charlotte van Hogendorp (1831-1852, puteri C.S.W. van Hogendorp yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gubernur VOC Jeremias van
Riemsdijk (1775-1777) adalah kelahiran Utrecht, Gubernur Hindia Belanda Godert
Alexander Gerard Philip baron van der Capellen adalah kelahiran Utrecht tahun
1778, yang memerintah sejak 1816-1826, keluarga
van den Berg adalah keluarga terpandang dari Utrecht.
Jadi “koneksi’
jejaring Utrecht dikombinasikan dengan ikatan perkawinan yang saling “membelit”
itulah yang membuat kita paham mengapa Johannes Rudolph van den Berg ditunjuk
sebagai Residen Saparoea. Dan mungkin juga bisa, kalau kita paham, saat benteng Duurstede “jatuh”,
J.A. Middelkoop dan Nicholas Engelhaard “berteriak” kepada Van der Cappelen,
yang langsung bereaksi begitu cepat, dengan mengirim A.A. Buyskess demi “nama
baik” kampung halamannya wijk Duurstede. Ada rasa cinta yang
mendalam, cinta berlebihan pada kampung halaman serta usaha “menyelamatkan
muka” keluarga-keluarga terpandang di Utrecht, membuat Van der Cappelen
bereaksi untuk merebut benteng Duurstede kembali dari tangan Thomas Matulessy
dan kawan-kawan.
Yang diketahui sejak
Thomas Matulessy tertangkap, Residen Saparoea adalah Johan
Alexander NEIJS
(NEYS), kelahiran Sumenap 21 Februari 1775 dan meninggal di Ternate 27
Juli 1835. Ia adalah President van raad van Justitie, boekhouder di Ambon.
Masuk dinas VOC 1784. Tahun 1791 Asisten, lalu
onderkoopman 1802. Tahun 1809 (catatan lain 1806) hoofd
administrateur Ambon. Tahun 1810 disebut memangku posisi Residen Manado. September
1817 Residen Saparoea. Lalu Vice President Raad van Justitie Ambon 1817, Residen
Ternate 5 April 1817 hingga 1830 saat jadi President van de Raad van Justitie
dan lid van de Wees-en Boedelkamer aldaar. Putrinya Wilhelmina Neijs (1810-1887
menikah dengan Joan Pieter Cornelis CAMBIER yang menjadi Residen Manado pada 1831-1842.
Residen Manado ini pernah ditempeleng (ditampar) oleh Pangeran Diponegoro saat
diasingkan ke Manado. Selain itu ada, Johannis
Benedictus Lodewijk ENGELHARD. Tahun 1826 Gecommitterde untuk Seram dan Buru,
lalu penasehat Sultan Jailolo, Hoofd van het Rijk Seram. Tahun 1830-1837
Asisten-Residen Saparua dan Haruku lalu Residen Banda dan Juni 1842 disebut
diangkat Residen Manado. Tahun 1843 ia menjabat Residen Rembang (hingga 1844),
lalu Residen Jepara 1847-1848 dan Residen Besuki 1848-1852.
Ada juga Reinier SCHERIUS (Probolinggo 1810-Probolinggo
1869). Residen Manado 1848-1851. Sebelumnya sebagai Asisten-Residen Saparua dan
Haruku Maluku 1844-1848, juga president van de Gewone Landraad, ambtenaar, van de burgerlijke
stands, juga berfungsi notaris dan vendumeester. Sebagai residen merangkap
President Land of Minahassa-Raad. Tahun 1852 menjabat Residen Probolinggo.
Kawin di Probolinggo 17 Desember 1855 dengan Carolina Charlotta Nagell.
Selain itu, dalam
plakatboeke yang disusun oleh Mr J.A. van Der Chijs itu, kita bisa lihat pada
anak judul Saparoea, tertulis ada laporan-laporan dari Saparua ke Ambon.
Tahun-tahun yang tertulis adalah, 1761-1770, 1774-1789, 1791 (28 Maret),
1789-1792, 1793-1795, 1803-1805, 1807-1809, 1810, 1812, 1813, 1814-1816. Ada juga
laporan tentang kelahiran dan kematian pada desember 1815. Kita hanya bisa
menduga bahwa laporan-laporan ini ditulis oleh Residen Saparoea yang
berkedudukan di benteng Duurstede.
Jika kita bisa membaca laporan-laporan ini, setidaknya kita bisa mengetahui
kondisi benteng, dan kondisi masyarakat saparua dan pulau saparua secara umum.
Ada juga informasi,
dari seorang teman Johan Titaley. Ia menceritakan jika seorang opanya pernah
mengebom benteng Duurstede
di perang dunia kedua, sekitar tahun 1945, saat Jepang menjajah Indonesia.
Opanya itu tergabung dengan pasukan sekutu. Ia menjadi bomber dan mengebom
benteng Duurstede. Menurut
cerita, bagian yang terkena bom adalah bagian pintu. Mungkin bagian-bagian
inilah yang nantinya direhab pada tahun 1977-1982 oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan kantor wilayah Maluku.
Begitulah nasib
benteng Duurstede… benteng
yang tumbuh bersama masa-masa kanak kita hingga sekarang… benteng yang pernah
jadi tempat bermain, menghabiskan masa anak-anak, remaja, hingga merantau ke
tanah orang tapi benteng itu masih tetap “hidup” dalam hati kita... telah 3 abad lebih,
benteng itu berdiri hingga saat ini, banyak kisah yang melingkupi, banyak cerita
yang lahir bersama dirinya…
Di bawah ini adalah
sebagian gambar benteng Duurstede yang pernah ada... gambar 1 adalah hasil
lukisan dari Mr Gerrit Willem Carel Baron van
Hoevell di tahun 1875an, saat ia menjadi
kontrilaur di karesidenan Amboina pada 1870-1875. Hasil lukisan ini ada dalam
buku tentang masa remaja Jean Luberth van den Berg van Saparoea. Ia juga pernah
menjadi Residen ambon pada 1891-1896. Sedangkan gambar 2, 3 dan 4
tidak diketahui tepatnya. Namun melihat ‘hasil” kemungkinan itu adalah hasil
“fotografi” yang diambil pada awal abad XX, awal tahun 1900an hingga menjelang
tahun 1945an
D.
Penutup
Sejarah
panjang tumbuh dan hidup dalam detak-detak nyawanya, 3 abad lebih sejak
didirikan, melewati zaman demi dengan cerita sendiri-sendiri. Ia pernah
menemani masa kecil kita dan jadi kenangan kita. Artikel ini ditulis sebagai
kado cinta kepadanya dan dipersembahkan untuk memperingati Hari Pattimura yang
selalu berkaitan dengan dirinya. Kado ini tidak sempurna, dan tidak akan pernah
sempurna karena banyak terbatas. Namun itulah yang bisa diberikan sebagai rasa
sayang pada sebuah kenangan yang banyak sejarahnya.
Yang
perlu dipahami adalah seluruh data dan tahun pada artikel ini, bersumber pada
seluruh arsip yang dibaca dan bisa diperiksa ulang. Namun hipotesis dan analisa
adalah pendapat pribadi dan merupakan tanggung jawab penulis semata.
Mungkin
lewat artikel ini, kita diajak bukan hanya mengenal saja, tapi juga menjaga dan
merawatnya. Semoga ia terus diperhatikan oleh pejabat berwenang, oleh kita, masyarakat
kecil. Semoga ia juga menjadi pusat perhatian pada peringatan hari pattimura,
bukan hanya hutan Saniri, baileu negeri Saparua… semoga!!!
Daftar Bacaan:
1. Mr. J. A. van Der
Chijs, Inventaris Islands Archief 1882
2. F.S. Gaastra,
Organisasi VOC
3. G.L. Balk, F. van
Dijk dan D.J. Kortlang, Sejarah Arsip-arsip VOC dan Kolonial Belanda
4. Hendrik E. Niemeijer,
Pengurus pusat VOC dan lembaga-lembaga pemerintahan kota Batavia (1619-1811)
5. ANRI, The Diplomatic
Correspondence between asian rulers and Batavia castle during the 17th
and 18th centuries
6. ANRI, Inventaris van
de collective Engelhard
7. Leonard Blusse, Persekutuan
Aneh : Pemukim Cina, Wanita Mestizo, dan Belanda di Batavia VOC
8. Susan Blackburn, Jakarta
sejarah 400 tahun
9. Mona Lohanda, Sejarah
para pembesar mengatur Batavia
10. Jean
German Taylor, kehidupan sosial di
Batavia, Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur
11. M. C. Ricklefs
Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 1991 hal 35 (edisi terjemahan)
12. D.G. E. Hall :
Sejarah Asia Tenggara, Penerbit Usaha Nasional Surabaya, hal 212 (edisi
terjemahan)
13. Karen Amstrong,
Jerusalem : 1 kota, 3 iman
14. R.Z. Leirissa dan J.
A. Pattykaihattu : Sejarah Sosial di Daerah Maluku
15. Karen Amstrong : Sejarah
Alkitab, telaah historis atas buku yang paling banyak dibaca
16. Karen Amstrong : Berperang
demi Tuhan
17. Denys Lombard : Nusa
Jawa Silang Budaya
18. Tionghoa dalam
pusaran politik Indonesia, Benny Sutrisno
19. Leonard Andaya : The
world of Maluku, Eastern Indonesia in the early modern periode
20. Jan
S. Aritonang dan Karel Steenbrink : A History of Christianity in Indonesia
21. Berbagai artikel dan
blog yang berkaitan dengan isi artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar