“Bebatuan
Melingkar” itu bercerita
Bagian II
Akhir Februari 1796, Residen Saparua yang
bermarkas di benteng Duurstede dipanggil secara mendadak oleh Gubernur Amboina,
Alexander Cornabe yang memerintah sejak 1794 - 1796 untuk
menghadap di benteng Victoria Ambon. Cornabe ingin menyampaikan kabar, bahwa kekuasan
Belanda di Hindia timur, diserahkan kepada Inggris dengan “dasar hukum” instruksi
Raja Belanda Willem V yang dikenal dengan nama Warkat Kew. Munculnya instruksi
inipun tak secara tiba-tiba, tapi memiliki cerita panjang sebagai behind the
storynya. Di tahun 1780 - 1784, terjadi pergolakan politik
di Eropa Barat. Inggris turun ke arena pergolakan berhadapan dengan Perancis sehingga
terjadi perang Inggris IV. Di tahun 1792, saat masa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Joan
Maetsuycker, Perancis di bawah Louis XIV telah menginvasi Belanda
dengan 100.000 pasukannya. Selama tahun-tahun ini VOC di Indonesia
semakin terpisah dari negeri Belanda. Pada bulan Desember 1794 - Januari 1795, Perancis di bawah pimpinan Jenderal Pichegru
menyerbu Belanda dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis, yang
dinamai Republik Batavia di bawah
perlindungan Perancis. Raja Belanda Willem V melarikan diri ke Inggris dan
membentuk pemerintahan “transisi” di negeri Orang. Willem V bersembunyi di kota
kecil Kew dekat London. Di kota inilah, Willem V mengeluarkan instruksi yang
dikenal dengan “Warkat Kew” yang isinya menyerahkan semua daerah jajahannya di
Afrika dan Asia ke tangan Inggris agar tak jatuh ke tangan Perancis. Berbekal
dokumen itu, Inggris menduduki Padang dan Malaka di tahun 1795 dan Ambon di
tahun 1796. 17 Februari 1796 terjadi pergantian kekuasaan di kota Ambon dari
Belanda ke Inggris. Laksamana Pieter Rainier akhirnya menjadi Gubernur Inggris di kota
Ambon (17 februari 1796-desember 1796) menggantikan gubernur Amboina, Alexander
Cornabe asal Belanda. Meski, Ambon telah “dikuasai” Inggris, namun di pusat
kekuasaan VOC Batavia, tetaplah dipegang
oleh VOC. Gubernur Jenderal disaat
itu adalah Willem Arnold Alting yang memerintah sejak 02 September
1780 – 16 Agustus
1796. Orang ini kelahiran Groningen 11 November
1724, dan meninggal di Kampung Melayu (Batavia) pada 7 Juni 1800. Pertama kali
datang ke Hindia Timur, pada tahun 1750 sebagai pedagang yunior (onderkopman) dan karirnya
terus berkembang. Tahun 1759, ia menjadi anggota luar biasa Raad van Indie,
tahun 1672 menjadi anggota penuh. Saat pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Reynier de Klerk (04 oktober 1777-02 september 1780) ia adalah
anggota senior di Raad van Indie dalam pemerintahan de Klerk. Ia pun
menggantikan Reynier de Klerk menjadi Gubernur Jenderal VOC. Pada masa pemerintahannya,
menantu serta keluarganya banyak yang menempati pos-pos penting VOC yaitu
menjadi residen di Pulau Jawa. Salah satu menantunya Johanes Sieberg, malah
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan salah satu suami
cucunya menjadi Residen Saparua yaitu Johanes Rudolph van Den Berg. Selain itu,
Nicholas Engelhaard yang juga
keponakannya, menjadi Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (1801-1808) di masa Johanes Sieberg menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (22 agustus 1801-19 oktober 1804). Johanes Sieberg
menikah dengan salah satu putri Alting hasil pernikahannya yang pertama dengan Susana
Knabe yang bernama Pieternela Gerhardina Alting, sedangkan putrinya yang lain Constantia
Cornelia Alting menikah dengan Johan Luberth Umbgrove. Anak mereka adalah Johana
Christhina Umbgrove adalah istri dari
Residen Saparua Johanes Rudolph van Den Berg. Alting menikah untuk kedua kalinya dengan
Maria Susana Grebel. Sebelum menikah dengan Alting, Maria Susana Grebel menikah
dengan Huyben Senn van Bassel. Anak mereka Maria Wilhelmina Senn van Bassel
nantinya menikah dengan Nicholas Enggelhard. Jadi sang keponakan Willem Arnold
Alting menikah dengan anak tirinya. Sebuah jejaring keluarga yang saling
terikat dengan kuat karena perkawinan “keluar masuk”.
Uniknya lagi, Alting pernah menolak Johanes Sieberg
untuk menjadi Direktur Jenderal Perdagangan saat ia menjadi Gubernur Jenderal VOC. Seperti “dejavu”, kasus
pada masa Joan van Hoorn “terulang” pada masa Alting dan Sieberg, namun secara
“terbalik”. Jika Van Hoorn (menantu) digantikan oleh Riebeek (mertua), maka
Alting (mertua) nanti akan diganti oleh Sieberg (menantu). Alexander Cornabe yang digantikan
oleh Pieter Ranier, sebelum menjadi Gubernur Amboina, ia adalah Gubernur Maluku yang memerintah sejak 1780-1793.
Meski Amboina telah diserahkan kepada Inggris namun Gubernur Maluku tetaplah diduduki
oleh orang-orang VOC. Gubernur Maluku pada masa itu adalah J Ekenholm
(1793-1796) dan Johan Godfried Burdach (1796-1799). Selain Residen Saparua, turut
juga dipanggil Residen Haruku untuk menghadap Alexander Cornabe di akhir
Februari 1796 itu. Setelah kembali pulang, di awal
bulan Maret, residen Haruku mengundang Raja-raja, Patih dan orang kaya pulau Haruku
untuk datang di benteng Zeelandia di negeri Haruku. Di pulau Saparua, Residen
Saparua mengundang Raja-raja, Patih dan orang kaya pulau saparua dan nusalaut
untuk datang di benteng Duurstede. Saat para raja, patih, orang kaya dari pulau
saparua dan nusalaut berkumpul, terlihat bendera Union Jack telah berkibar di
benteng dan beberapa kapal inggris berlabuh di perairan teluk saparua, dekat
benteng Duurstede. Mulai saat itu, residen
saparua dan haruku diduduki oleh residen inggris. Bulan berganti-bulan, tahun
berganti tahun, Gubernur Amboina (Residen Inggris) terus berganti dari Pieter
Ranier ke William Jones (desember 1796-01 februari 1799), ke Roberth T Farquhar (01 februari 1799-16 januari 1802) dan ke James Oliver (16 januari 1802-04 maret 1803). Gubernemen Maluku
baru bisa dikuasai oleh
Inggris sejak Roberth T Farquhar menjadi Residen Maluku (21 juni 1801-1801) dan menggantikan Gubernur
Maluku terakhir asal belanda Willem Jacob Cransen (13 september 1799-21 juni 1801). Farquhar kemudian
digantikan oleh H Webber (juni 1801-1803).
Sementara itu di pusat kekuasaan VOC Batavia, terjadi
juga perubahan di tubuh Gubernur Jenderal VOC, William Arnold Alting digantikan
oleh Peter Gerhardus van Overstraten yang secara resmi menduduki jabatannya
sejak 16 Agustus 1796 hingga 22 Agustus 1801. Dia kelahiran Bergen op Zoom
Belanda pada 17 Februari 1755 dan
meninggal di Batavia pada 22 Agustus 1801 pada usia 46 tahun. Ia adalah Gubernur Jenderal VOC terakhir, dan
sekaligus Gubernur Hindia Belanda pertama. Pada 31 Desember 1799, nun jauh di kampung halamannya VOC telah
runtuh alias bubar karena bangkrut. Sejak 01 Januari 1800, kekuasaan
VOC (heeren 17) diambil alih oleh pihak kerajaan dalam hal ini adalah Raja
Belanda. Perlu dipahami saat VOC berkuasa (1602-1799), Indonesia disebut
sebagai Hindia Timur, dan penguasa VOC di Hindia Timur disebut Gubernur Jenderal VOC, namun sejak bangkrut,
Indonesia disebut Hindia Belanda dan penguasanya disebut Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penunjukan Gubernur Jenderal yang selama ini dilakukan oleh
Heeren 17, sekarang harus direstui oleh Raja Belanda. Saat Peter Gerahardus van
Overstraten meninggal secara tiba-tiba pada 22 Agustus
1801, yang menggantikannya adalah Johannes Sieberg, meski kenyataannya Sieberg
baru tiba di Batavia pada april 1802. Secara resmi ia menjadi Gubernur Jenderal VOC Hindia Belanda pada 22 Agustus 1801 – 19 Oktober 1804. Ia kelahiran
Rotterdam pada 14 Oktober
1740 dan meninggal di Batavia 18 Juni 1817.
Sementara itu, di tahun 1802, terjadi perjanjian
antara Inggris dan Belanda untuk mengembalikan semua daerah jajahan Belanda
yang dikenal dengan nama perjanjian Amiens. Maret 1803, Maluku kembali ke
kekuasan Belanda. Inggris tak terima dan berperang dengan belanda, Di tahun itu juga mereka kembali
berperang, dan Belanda meminta bantuan Perancis
yang sejak 1795 telah berada di kekuasan Perancis untuk melawan Inggris.
Perancis menang dalam perang eropa itu dan Napoleon Bonaparte naik tahta .
Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, Napoleon menunjuk
adiknya Louis Napoleon menjadi penguasa Belanda (atas nama Raja Perancis) di tahun 1806. Dipusat
kekuasaan Hindia Belanda di Batavia terjadi perubahan Gubernur Jenderal VOCeral dari Johannes Sieberg ke
Albertus Henricus Wiesse (19 oktober
1804 – 14 januari 1808). Di
tahun 1808, Louis Napoleon mengirim Marsekal Herman William Daendels ke Batavia
untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (atas nama Raja Perancis) untuk
menggantikan Albertus Henricus Wiesse. Sementara
itu di Maluku dan Ambon pun mengalami perubahan, sejak Maret 1803, Maluku dan
Ambon termasuk Saparua, Haruku dikembalikan lagi ke belanda yang sebelumnya
dikuasai oleh Inggris. Di Maluku, gubernurnya Pieter Adrianus Goldbach (1803-1804)
menggantikan H. Webber (Inggris),
sedangkan diambon Carel Lodwijk Wieling (1803-1804) menggantikan James Oliver (Inggris). Carel Lodwijk Wieling
kemudian menyerahkan kekuasaan kepada William Cransen (1804-1808) dan kembali
menjadi Gubernur Maluku (1804-1809) yang berkedudukan di Ternate. Begitu juga
yang terjadi di Saparua dan Haruku, Residen Inggris yang berkuasa sejak 1796
diganti oleh Residen Belanda. Di saparua, residennya adalah Kruipenning.
Kruipening menginstruksikan kepada rakyat pulau saparua kalau segala peraturan
inggris selama ini dihapus, dan diberlakukan lagi aturan belanda.
Seperti yang diceritakan di atas, 28 Januari 1807, Louis
Napoleon mengirim William Daendels ke Batavia atas usul Napoleon Bonaparte.
Melalui perjalanan panjang, lewat kepulauan Canary, ia tiba di Batavia pada 5 Januari 1808 dan berkantor di
Buitenzorg (Bogor). 4 bulan kemudian ia memulai “mega Project” jalan dari anyer
ke Panarukan pada Mei 1808. Sebenarnya jalan ini bukan dimulai dari anyer,
karena jalan dari anyer ke Batavia telah ada sebelum Daendels tiba. Jadi ia
hanya memulainya dari Cisarua ke Panarukan. Kontraversi terjadi dalam
pembangunan jalan ini disebabkan karena banyak pejabat tidak menyukai Perancis
tetapi setia kepada dinasti oranye yang masih mengungsi di Inggris sejak 1795. Banyak
pejabat yang dipecat oleh Daendels, diantaranya Nicholas Engelhard, sang
keponakan Willem Arnold Alting yang menjabat sebagai Gubernur Pantai Timur laut
jawa (1801-1809) sejak masa Gub Jend VOC Johanes Sieberg. Selain itu, Residen
Manado, Carel Christofel Prediger (26 november 1803-1809) yang sebelumnya
pernah menjadi fiscal (jaksa penuntut) di Ternate dipecat juga. Nicholas
Engelhard kembali dipulangkan ke Belanda. Sang adiknya, Peter Engelhard yang
menjadi Residen (minister) Jogja tidak dipecat namun terus mengirim informasi
tentang kekejaman Daendels. Tahun 1808,
terjadi perselisihan diambon, gubernur Amboina William Cransen (1804-1808)
dengan komandan militer yang datang ingin melaksanakan instruksi Daendels. Cransen
dipecat dan diperintahkan kembali ke Batavia. Daendels menarik Gubernur Maluku
yang selama itu berkedudukan di Ternate untuk menggantikan Cransen. Ia
adalah Carel Lodwijk Wieling yang
sebelumnya adalah Gubernur Amboina sebelum digantikan William Cransen. Dengan
pemindahan ini, maka gubernemen Maluku di hapus dan kekuasaannya diletakan
langsung di bawah
Gubernemen Amboina. Namun Wieling melakukan bunuh diri di Benteng Victoria
karena tak mampu mengatasi tekanan jiwa. Posisinya diganti oleh J. E. Von Jett sejak
1808 – Maret 1809, kemudian diganti oleh
L. Heukevlugt yang menjadi Prefektur kepulauan Maluku (1809-1810).
Kekurangan uang kontan dalam menghadapi
serangan Inggris, menyebabkan Daendels memerintahkan supaya diadakan
penghematan di segala bidang, kecuali untuk pertahanan. Gubernur mengeluarkan
instruksi supaya rakyat di tiap-tiap negeri membayar sendiri guru-gurunya.
Sampai saat itu Kompenilah yang membayar guru-guru. Bayaran itu tidak seberapa,
tetapi berarti besar bagi guru-guru. Belum lagi diambil langkah selanjutnya,
gaji guru telah dihentikan. Guru-guru tidak sudi hidup dari belas kasihan
rakyat. Rasa angkuh mereka untuk menerima sedekah dari rakyat, menyebabkan
dalam waktu singkat mereka hidup merana. Dapat dimengerti bila kegelisahan
timbul di semua negeri Kristen. Timbullah kebencian yang mendalam dalam kalbu
guru-guru itu terhadap Belanda. Karena besar pengaruh mereka di kalangan rakyat
dan kebencian itu tidak disembunyikan, maka bertambah membara kebencian rakyat
terhadap Pemerintah Belanda.
William
Daendels memerintah sejak 14 Januari 1808 – 16 Mei 1811, dan dipanggil
pulang oleh Napoleon Bonaparte untuk menghadapi Prusia dalam perang Eropa. Ia
digantikan oleh Jan William Jansens, sang lelaki kelahiran Nijmegen 12 Oktober 1762 dan
meninggal di Den Haag pada 23 Mei 1823. Ia memerintah sangat singkat sejak 16
Mei 1811 – 18 September 1811. Inggris mulai menyerang Hindia Belanda sejak
Daendels di panggil pulang. 1 tahun sebelumnya 16 Februari 1810, inggris berhasil
menaklukan Ambon. Gubernur Amboina, Jean Philipe Francois Filz (maret 1809-19 februari 1810) yang menjadi
komandan militer ambon, menyerah pada Kapten Edward
Tucker. Ambon diambil alih, Banda juga jatuh dan akhirnya Ternate juga dikuasai
oleh Inggris pada 31 Agustus 1810. 1 tahun kemudian pusat kekuasan belanda di
Batavia, menyerah pada inggris. Thomas Stamford Bingley menyerang dan memaksa
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan
William Jansens menandatangani penyerahan kekuasaan kepada inggris lewat
Kapitulasi Tuntang. Sejak itu hindia belanda di kuasai Inggris. Thomas Stamford
Raffles memerintah sejak September 1811 - Maret 1816, dan kemudian menyerahkan
kekuasan kepada Jhon Fendal Jr (maret 1816-19 agustus 1816). Saat
inggris memerintah, Raffles dan Fendal bergelar Gubernur Letnan Jenderal Hindia
Belanda.
Untuk
kedua kali Maluku jatuh ke tangan Inggris. Untuk kedua kali timbul harapan bagi
rakyat Ambon, Lease dan Seram akan perbaikan hidup. Menarik pelajaran dari masa
pendudukan yang pertama, segera Pemerintah Inggris mengeluarkan pengumuman dan
peraturan yang disiarkan kepada raja-raja, patih dan rakyat. Maksudnya untuk mendapat
dukungan dan simpati rakyat, sehingga tercegah timbulnya perlawanan bersenjata.
Diberitakan
kepada-segenap rakyat Maluku, bahwa Belanda sebagai suatu bangsa sudah lenyap
dan tidak akan bangkit lagi. Negara Belanda sudah dimasukkan ke dalam Kekaisaran
Perancis. Jadi untuk selanjutnya rakyat Maluku akan diperintah oleh bangsa
Inggris. Pertama-tama tunggakan gaji guru-guru segera dibayar dan keadaan yang
sudah-sudah dipulihkan. Kedua,verplichte leverantien dihapus, rempah-rempah
dibayar kontan dan harga bahan pakaian diturunkan. Ketiga, kerja rodi
diperingan, sedangkan upah para pekerja kuarto dari satu menjadi tiga
"Ropijn".
Selama
pemerintahan Inggris berjalan banyak uang beredar dalam masyarakat. Di samping
"ropijn" beredar juga mata uang "matten", sedangkan uang
kertas ditiadakan. Karena pegawai-pegawai dan kaum militer Inggris bergaji
cukup tinggi dan banyak mengeluarkan uang, bertambah banyak pula uang dalam
sirkulasi. Hasil produksi rakyat dibayar cukup wajar. Kesejahteraan dipertinggi
lagi dengan pembentukan satu korps militer Ambon, sebesar lima ratus orang,
yang bergaji cukup tinggi dan berseragam baik. Gaji mereka dapat membantu
keluarga dan sanak-saudara mereka di negeri-negeri. Pemerintahan negeri
diperlunak. Raja-raja dan patih tidak diperbolehkan menghukum rakyat. Yang
bersalah harus diajukan kepada pemerintah. Jika rakyat mengadukan rajanya
kepada Pemerintah Inggris, karena sesuatu tindakan yang tidak benar atau tidak
adil, kerapkali kepala itu dipecat tanpa didengar lagi, seperti terjadi dengan
raja-raja Pelauw,
Kailolo dan Aboru. Kebebasan ini, terutama kebebasan kaum muda di
negeri-negeri, mempunyai akibat buruk bagi Belanda bila nanti mereka kembali
lagi sesudah Pemerintah Inggris berakhir.
Pada
masa pemerintahan Inggris yang kedua inilah, mungkin Thomas Matulessy dan
Anthone Rhebok menjadi Anggota Korps Lima Ratus antara 1810 atau 1811, sebuah
korps rancangan Raffles di Ambon. Tahun perkiraan ini dikarenakan saat menjadi
anggota korps 500 itulah, Thomas Matulessy mendengar dari komandannya jika
Daendels telah meninggalkan Hindia Belanda. Daendels meninggalkan Hindia
Belanda pada 16 Mei 1811 seperti dituturkan di atas.
Saat
menjadi anggota korps 500 itulah ia berkenalan dengan seorang wanita bernama
Elizabeth Gassier. Saat berkenalan, Elizabeth Gassier bekerja di keluarga White,
seorang syahbandar pelabuhan ambon. Ia juga adalah istri dari Eliza Titaley,
lelaki negeri saparua yang telah “berpisah” karena Eliza Titaley telah dibawa
ke Jawa sebagai Tentara Belanda. Pemerintahan Inggris di Maluku terus berlangsung, di
Amboina residen terus berganti, dari Edward Tucker (19 februari 1810-juni 1810), ke M.H.
Court (juni 1810-februari 1811) serta William
Byam Martin (februari 1811-25 maret 1817). Sementara
itu, sejak Maluku jatuh ke tangan Inggris, Maluku “diperintah” oleh Komandan
Militer, tercatat : S. Kelly (military
commander) (1809-desember 1811)
digantikan oleh Forbes (1811), kemudian W. Ewer (1811-1813) dilanjutkan oleh W.G.
Mackenzie (1st time) (1813-1815), diganti oleh R.
Stuart (1815-1816)
dan terakhir kepada W.G. Mackenzie (1816-20
april 1817).
Mungkin
antara 1810 hingga 1816an itulah, terdengar kabar dari karesidenan Saparua,
terjadi pembunuhan Residen Inggris di Saparua. Menurut orang Inggris
residen itu bertindak terlalu keras terhadap penyelundupan. Tetapi orang
Belanda mengatakan bahwa tindak-tanduknya yang tidak senonoh terhadap seorang
gadis cantik di Saparua menyebabkan ia menjadi korban pembunuhan. Pemerintah
Inggris menuduh Raja Ullath, Jeremias Latuihamallo alias Salemba, sebagai biang keladi.
Ia ditangkap, diadili lalu dibuang ke Madras. Setelah masa pembuangannya, ia
kembali ke Saparua dan berdiam di Porto, negeri asalnya.
Sementara
itu, di Eropa terjadi lagi pergolakan, Perang Eropa berkecamuk di medan pertempuran
Waterloo di Belgia pada tanggal 18 Juni 1815. Pertempuran itu menentukan nasib
Napoleon Bonaparte dengan kekaisaran Perancisnya. Pertempuran itu menentukan
pula masa depan negara-negara Eropa yang sedang saling menghancurkan. Perancis
kalah. Napoleon pun dibuang ke Saint Helena di Pulau Elba. Sebab itu
lawan-lawannya berkumpul di Wiena pada tahun itu juga untuk mengatur kembali
tata kehidupan bernegara dari bangsa-bangsa Eropa yang telah diobrak-abrik oleh
Napoleon, dan di situ pula diatur kembali milik dan status jajahan di Asia. Saat
mendengar kekalahan Napoleon Bonaparte di pertempuran Waterloo, dan Inggris
yang keluar sebagai pemenang harus melaksanakan Traktat London, yang dibuatnya
dengan Belanda dalam tahun 1814. Traktat London! Itulah sumber penyerahan
kembali Indonesia kepada Belanda. Sumber yang dikukuhkan dalam musyawarah
bangsa-bangsa Eropa di Wiena (Konggres Wina), Raffles pun kembali ke Inggris
dan menyerahkan kekuasaan kepada Jhon Fendall Jr sebagai masa transisi
peralihan kembali kekuasan dari Inggris ke Belanda sebagai akibat Traktat
London. Belanda kembali merdeka karena Perancis telah kalah dan mengangkat kaki
dari Belanda. Raja baru belanda Willem VI berkuasa, ia segera bergerak untuk
melaksanakan Traktat/Konvensi London itu. Ia kemudian membentuk Komisioner
Pengambilalihan Hindia Belanda dari Inggris. Komisi ini terdiri dari 3 orang
yaitu Cornelis Theodorus Elout, Godert Alexander Gerard Philip van der Capellen, Arnold
Adrian Buyskess. Mereka segera menuju Batavia, dan pada 19 Agustus 1816, mengambil
alih kekuasaan dari Jhon Fendall Jr. Beberapa bulan kemudian, mereka mengirim komisioner
pengambilalihan kepulauan Maluku dari tangan inggris. Komisi ini dipimpin oleh
Nicholas Engelhard dan J.A. van Middelkoop. Mereka berdua tiba diambon pada 18
Maret 1817. Komisioner ini “diiringi” oleh 7 kapal, terdiri atas kapal perang
dan kapal pengangkut. Kapal Maria Reygerbergen dikomandani oleh Overste Hugo
Cornets de Groot, Kapal Perang Nassau dikomandani oleh Sloterdijk, Kapal Perang
Lversten dipegang P.M. Dietz. Kapal-kapal pengangkut diketahui bernama Swallow,
Salambone dan Malabar.
Dalam
iring-iringan itu juga terdapat “calon” Residen Saparua yang baru, Johanes
Rudolph van den
Berg, dan keluarganya. Perundingan pelaksanaan Traktat London menghasilkan
persetujuan pada tanggal 14 Maret dan baru ditandatangani pada tanggal 24
Maret, oleh Martin, Engelhard dan van Middelkoop. Tanggal 20 Maret Burfhgraaff
dilantik sebagai residen di Hila dan keesokan harinya sebagai residen Larike.
Pada hari itu juga Johannes Rudolph van den Berg dilantik sebagai residen
Saparua. 25 Maret 1817 bertempat di Rumah Gubernur Maluku (Residen Inggris) yang
berkawasan di Batu Gajah
Ambon, terjadi serah terima kekuasaan. Rakyat Ambon menyaksikan upacara
penurunan bendera Inggris dan penaikan bendera Belanda. Penurunan Union Jack
disambut oleh kapal perang Nassau dengan tiga puluh tiga tembakan meriam,
sedangkan sebuah kapal Inggris membunyikan dua puluh satu tembakan. Dari benteng Victoria
berdentum tembakan yang sama jumlahnya sebagai tanda penghormatan dan terima
kasih. Kemudian tri warna merah-putih-biru dinaikkan dengan sambutan tembakan
meriam yang sama pula jumlahnya dari kedua kapal perang tadi dan Benteng
Victoria. Sesudah
itu van Mideelkoop dilantik sebagai gubernur Maluku. Lalu disusul dengan
penyerahan kekuasaan dari Residen Martin kepada Van Middelkoop dan Engelhard.
Dalam menyusun dan menjalankan pemerintahan gubernur itu didampingi oleh
Engelhard. Pada hari itu juga Uijtenbroek dilantik sebagai residen Haruku. Tentang rumah Residen Inggris yang jadi tempat
serah terima kekuasaan, rumah itu semula berfungsi sebagai rumah sakit,
dibangun oleh Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van Oudshoorn (1647-1650),
tetapi kemudian direnovasi kembali oleh Gubernur Amboina Nicholaas Schagen
(1691-1696) karena telah mengalami kerusakan akibat gempa yang terjadi pada
tahun 1674 (tsunami ambon). Sejak saat itu, rumah sakit tersebut beralih fungsi
menjadi kantor peradilan. Pada lantai kedua bangunan itu, ditempatkan “Raad van
Justitia” (pengadilan untuk pegawai VOC dan warga kota). Di lantai dua itu pula
terdapat kantor dari “Weeskamer” (balai peninggalan harta) dan “Commissarissen
der Huwelijkzaken” (kantor urusan pernikahan). Perubahan rumah itu menjadi Rumah
Residen Amboina dilakukan oleh Gubernur Amboina Simon Adriaan Van der Stel
(1706-1720). Kompleks itulah yang pada abad ke-19 berubah menjadi kediaman
resmi gubernur maluku dan kini menjadi Markas KODAM XVI Pattimura yang
berlokasi di Batu Gajah.
Beberapa
hari kemudian dilantik juga Berkhof sebagai Residen Banda Naira. Akhir bulan Maret 1817, armada
kapal perang memasuki perairan teluk saparua, di muka benteng Duurstede. Kapal
perang itu membawa Residen Saparua yang baru, Johan Rudolph van den Berg, sang istri
Johana Christhina Umbgrove dan ketiga anak mereka yang masih kecil, Jean
Luberth van den
Berg (5 thn), Johanes Gerardus van den Berg (3 thn) dan Johanes Rudolph
van den Berg (8 bln). Sang
Residen yang baru ini adalah anak dari Johanes Gerardus van den Berg dan Maria
Elizabeth Coest. Sang istri berayahkan Johan Luberth Umbgrove dan beribukan Constantia
Cornelia Alting. Sang ayah mertua adalah bekas Residen Cirebon yang berkuasa
pada 1792 - 1797. Ibu mertuanya
adalah putri dari Willem Arnold Alting yang pernah menjadi Gubernur Jenderal VOC. Nicholas
Engelhard yang melantiknya adalah “bapa mantu” karena merupakan saudara sepupu ibu
mertuanya, yang juga menikah dengan putri tiri Willem Arnold Alting karena
pernikahan keduanya dengan MS Grebel. Penunjukan dirinya menjadi residen
saparua merupakan “rekomendasi wanjakti” Johanes Sieberg yang pernah
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan juga “bapa mantu” karena menikah dengan tante
kandung istrinya. Ayahnya, Johanes Gerardus van den Berg juga bukan orang
“sembarangan”. Ayahnya pernah menjadi notaris
di pusat kekuasaan VOC Batavia pada 1770 - 1775 dan Residen
Jogjakarta pada 1798 - 1803 saat ia
berumur 10 tahun. jadi saat ia menjadi residen saparua, ia baru berumur 29
tahun. Keluarga besarnya
merupakan keluarga berpengaruh yang memiliki “jejak panjang” dalam tubuh VOC. Ia
merupakan anggota “ring 1” dan
penunjukan dirinya tentulah memiliki tujuan serta akibat jejaring keluarganya
itu.
Setelah
tiba di saparua, 1-2 hari kemudian residen inggris di saparua kembali mengundang
para raja, patih dan orang kaya pulau saparua dan nusalaut untuk datang ke
benteng Duurstede. Tujuannya
untuk menyaksikan upacara serah terima residen baru. Sejak saat itulah, Van den Berg mulai melakukan
“aksinya”. Dari kantor gubernur dikeluarkan
bermacam-macam putusan yang merehabilitasi peraturan-peraturan di zaman
Kompeni. Monopoli berlaku lagi. Perdagangan bebas dilarang dan tindakan diambil
terhadap pedagang-pedagang yang melanggarnya. Kembali mereka dicap
"penyelundup", Tindakan Gubernur Middelkoop dalam bidang keuangan
sangat menggelisahkan, baik pegawai-pegawainya sendiri dan kaum militer maupun
rakyat. Karena tidak ada uang, maka diedarkan kembali uang kertas yang sangat
dibenci itu. Tindakan itu tidak terpuji dan tidak disetujui oleh Engelhard oleh
karena kantor penukaran belum diorganisasi dan dibuka. Walaupun demikian
dilaksanakan juga. Tindakan ini menjadi permulaan pertengkaran antara kedua
pembesar itu. Uang kertas dalam kenyataannya tidak bisa ditukar. Di seluruh
Indonesia Timur hanya ada tiga buah kantor penukaran.
Rakyat
menjadi makin gelisah. Mereka menolak menerima uang kertas itu. Mereka teringat
kembali akan pengalaman di zaman Daendels. Di dalam peredaran dan simpanan
mereka masih ada uang ropijn Inggris dan uang matten Spanyol, perak dan emas.
Tetapi celakanya bagi rakyat di Saparua, jika uang kertas itu ditolak, si
penolak ditangkap oleh residen lalu dihukum cambuk dengan rotan. Sebaliknya
jika rakyat membeli sesuatu di gudang atau toko gubernemen dan membayar dengan
uang kertas, pegawai residen tidak bersedia menerimanya. Mereka diharuskan
membayar dengan uang perak.
Lain
lagi pendirian Residen Berkhoff di Banda tanggal 9 April dia menulis surat
kepada gubernur Maluku seperti berikut : "...Saat ini saya merasa
tidak berwewenang untuk mengesahkan pembayaran dengan uang kertas, tanpa ada
sesuatu pengumuman yang mendesak atau tanpa ada sesuatu jaminan. Tanpa itu
dikhawatirkan akan timbul ketidak percayaan dan mungkin agitasi. Apa lagi
pengalaman di masa lampau di wilayah ini meninggalkan bekas yang mendalam...".
Jujurkah
? Beranikah ? Mungkin ! Mungkin pula ada motif yang lain, yaitu membela rakyat
Belanda dan turunannya yang menghuni Kepulauan Banda. Maklumlah, masyarakat
Banda bukan masyarakat kulit hitam, jadi untuk apa mereka harus disusahkan ?
Lagi-lagi
keluar perintah untuk kerja rodi. Rakyat diharuskan membuka kebun cengkeh dan
pala untuk kepentingan gubernemen. Saparua telah mulai dengan penanaman pala
sebanyak tujuh ratus lima puluh pohon, yang dibebankan kepada rakyat. Penanaman
pala ini dilakukan sebagai percobaan, karena sampai saat ini hanya Banda yang
diizinkan menanam pala. Belum lagi selesai pekerjaan ini datang lagi perintah
untuk membuka kebun kopi. Kayu diperlukan oleh gubernemen dalam jumlah yang
banyak untuk tonggak-tonggak pangkalan angkatan laut, untuk memperbaiki
kerusakan berat pada benteng, rumah sakit tentara, gedung-gedung di Banda dan
pos-pos di Leitimor. Kapal perang "Nassau" memerlukan kayu bakar dua
ratus vadem dan Reybersbergen tiga puluh enam vadem (per vadem enam kaki kubik,
berharga empat ropijn). Sekalipun harga telah ditentukan, tetapi pembayarannya
sangat seret. Rakyat negeri-negeri yang langsung diperintah dari benteng Nieuw
Victoria mengalami keseretan yang menjengkelkan. Tanda penyerahan kayu diterima
dari opsir zeni. Dari orang ini ke superintendent atau pengawas umum
pemerintahan negeri untuk disetujui, kemudian ke pemegang buku untuk diberi
fiat, baru dapat diambil uangnya di kantor keuangan. Urusan yang berbelit-belit
dan birokratis ini memakan waktu berhari-hari, kadang-kadang berminggu-minggu.
Kesempatan terbuka bagi pegawai-pegawai untuk memotong disini, mengurangi di sana dan memeras
lagi. Maklumlah pegawai-pegawai itu masih banyak dari rezim lama, yaitu rezim
Kompania Walanda,
yang terkenal dengan korupsi dan pemerasan. Di daerah-daerah residen baru boleh
membayar, sesudah mendapat izin dari gubernur untuk mengeluarkan sejumlah uang
yang disetujuinya, lebih mendongkolkan lagi, dibayar dengan uang kertas. Dalam
rangka kerja paksa komandan militer memerintahkan tiap negeri supaya
menyediakan dua buah arombai dengan masnaitnya untuk pelayaran secara teratur
ke pos Baguala, kewajiban ini melanjutkan ketentuan lama semasa Kompania yang
sudah dihapus oleh Inggris.
Tidak
ada tanda-tanda sama sekali bahwa gubernur pernah membela nasib rakyat terhadap
begitu banyak tuntutan dari fihak militer. Jika gubernur berhasil mendapatkan
serdadu untuk berdinas di Maluku saja, maka komandan militer tidak
menyetujuinya. la berpendapat bahwa seorang serdadu dapat dikirim kemana saja
diperlukan oleh gubernemen. Ini yang ditentang oleh rakyat. Pemuda-pemuda tidak
mau masuk dinas militer untuk diangkut ke Jawa. Tantangan ini yang memusingkan
Residen van den
Berg. Apalagi menghadapi rakyat Saparua dan Nusalaut yang sudah dipengaruhi
oleh Thomas dan kawan-kawannya, bekas prajurit-prajurit Inggris, yang banyak
terdapat di negeri- negeri.
Inilah
kegagalan Engelhard yang mengeluarkan instruksi untuk merekrut serdadu Ambon
bagi Jawa. Belanda memerlukan empat ratus orang. Hanya tiga puluh tiga orang memasuki
dinas militer, memenuhi panggilan itu. Itu pun sebagian besar orang-orang Jawa
yang berdiam di Ambon. Kewajiban rakyat seolah-olah tidak habis-habis. Dendeng,
ikan kering dan garam harus pula diserahkan kepada gubernemen. Bertambah berat
tugas rakyat. Bertambah gelisah seluruh rakyat Ambon, Lease dan Seram.
Di
negeri-negeri tersiar kabar bahwa sekolah-sekolah akan ditutup. Terutama di
Saparua isyu ini menambah kegelisahan masyarakat. Disini tersiar kabar bahwa
guru-guru akan diberhentikan dan anak-anak akan disekolahkan di kota Saparua.
Benarkah hal ini ? Dalam suratnya kepada para komisaris di Ambon tertanggal 15
April, Residen van den
Berg menulis bahwa persekolahan akan hancur sama sekali jika Pemerintah Belanda
tidak membayar para guru seperti di zaman Kompeni. Pemerintah Perancis
(Daendels) dalam tahun 1810 telah menghentikan pembayaran gaji guru-guru dan
memerintahkan rakyat tiap-tiap negeri untuk membayar guru-guru mereka. Tindakan
itu sangat merugikan. Oleh karena itu residen tidak akan mengadakan perubahan
apapun.
Inilah
nasihat residen kepada para komisaris sebagai jawaban atas surat mereka
mengenai rencana untuk mempersatukan sekolah-sekolah di ibukota Keresidenan
Saparua. Mereka hendak mengikuti contoh pemerintah Inggris yang mempersatukan sekolah-sekolah
kecil di sekitar kota dalam satu sekolah besar di Kota Ambon. Bukan maksud para
komisaris untuk memperbaiki pendidikan, tetapi untuk menghemat uang negara,
sehingga beban sekolah-sekolah yang tidak digabungkan dapat ditanggung oleh
negeri masing-masing. Advis residen ini adalah pendapat yang bijaksana. Ini
berarti guru-guru akan tetap menerima gaji mereka. Tetapi hal ini tidak
diketahui oleh rakyat. Residen tidak dapat mengatasi isyu-isyu yang telah
tersiar di dalam masyarakat Saparua dan Nusalaut. Jadi akhirnya tuduhan rakyat
terhadap pemerintah Belanda, bahwa gubernemen akan menutup sekolah-sekolah dan
akan memecat guru-guru, harus dipikul oleh Van den Berg
Saparua
adalah pulau yang terpadat penduduknya, kira-kira dua belas ribu orang, dan
tanahnya tersubur. Oleh karena itu hasil produksi cengkih juga sangat besar.
Kata orang Belanda "Saparua is het neusje van de zalm" (Saparua
adalah hidung ikan zalem). Hidung ikan zalem adalah bahagian yang paling enak.
Jadi Saparua merupakan bagian yang paling empuk, paling basah, paling enak
untuk menjadi kaya dengan cara pemerasan dan lain-lain tindakan yang tidak
halal. Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa Sieberg mengusulkan
“anak mantunya” kepada Komisioner Pengambilalihan kepulauan Maluku agar menjadi
Residen Saparua.
Kebencian
rakyat Saparua dan Nusalaut makin meningkat karena residen dan
pegawai-pegawainya menjalankan instruksi dari gubernur dengan keras. Tanpa
kebijaksanaan, dengan sikap seorang ambtenar penjajahan yang otoriter, tanpa
pengertian terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan terhadap manusia Lease.
Tindakan-tindakannya sangat menyakitkan hati, misalnya, residen memaksa rakyat
membuat garam untuk gubernemen, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Residen
mengadakan perjalanan keliling untuk cacah jiwa yang ada hubungan dengan kerja
rodi dan pajak. Siapa tidak muncul atau terlambat datang dicambuk dengan rotan.
Dalam kesempatan berkeliling itu ia memerintahkan kaum borgor untuk kerja
paksa. Siapa yang hendak bebas harus memberi uang sogok kepada residen. Tetapi
residen mempunyai alasan. Dalam masa berakhir pemerintahan Inggris terjadi
manipulasi dengan surat bebas. Surat itu dapat dibeli dari pegawai-pegawai
Inggris. Maklumlah para pemuda dan kaum lelaki sudah jemu dengan kerja rodi,
kerja kuarto dan berjenis-jenis kewajiban. Jadi mereka cari jalan apa saja
untuk mendapatkan surat bebas itu. Pencatatan jiwa penduduk itu menimbulkan
pula kecurigaan di antara
kaum lelaki. Mereka khawatir dipaksa memasuki tentara Belanda lalu diangkut ke
Jawa. Yang selalu menggelisahkan mereka ialah apabila mereka dibawa ke Jawa,
Siapa yang akan memberi makan dan memelihara anak-isteri dan orang tua mereka?
Itulah sebabnya, setiap kali residen datang, banyak laki-laki yang meninggalkan
negeri pergi ke hutan.
Sering
residen menuntut, mengadili, menjatuhkan vonis dan menghukum sendiri
orang-orang yang bersalah. Tanpa pemeriksaan yang teliti dan adil, orang yang bersalah
dihukum berat, dipukul dengan rotan atau dihukum kurungan dalam kamar gelap di
benteng. Kaum borgor yang bersalah sering dicambuk dengan rotan dengan cara
seperti mencambuk anak negeri. Mereka diikat pada tiang atau pohon kemudian
dicambuk. Menurut peraturan seorang borgor harus ditiarapkan di alas bangku
baru dipukul dengan tali pengganti rotan. Dua orang kawan Thomas Matulessy,
yaitu Anthonie Rhebok dan Philip Latumahina, keduanya borgor dan berusia
sekitar tiga puluh
lima dan empat puluh tahun dicambuk seperti orang biasa. Dalam versi Belanda,
mereka dituduh memicu keributan dan mengganggu “kamtibmas” karena mabuk sageru
(saguwer) dan berkelahi.
Dalam
waktu yang begitu pendek, belum sampai sebulan setengah, van den Berg telah
menyulut sumbu dinamit bagi meledaknya suatu revolusi rakyat yang paling
berdarah. Dinamit kebencian berpuluh-puluh tahun terhadap penjajah Belanda
tidak dapat lagi ditahan lagi dan meledaklah.
05 April 1817 Johan
Alexander Neijs sebagai Residen Ternate dilantik. Awal april mulai terdengar
isu pemberontakan di karesiden Pulau Haruku. Selama april itulah, suasana
memanas di pulau haruku. Pada akhir April
1817, suasana di negeri-negeri di Pulau Saparua dan Nusalaut makin menjadi
tegang dan panas. Bermacam berita menggelisahkan rakyat, antara lain bahwa kaum
lelaki akan dipaksakan untuk memasuki tentara Belanda dan akan dikirim ke
Batavia. Berita ini bersumber pada pengumuman J. van Middelkoop, yang seperti
disebut di atas menyebabkan bekas prajurit Inggris dan orang-orang borgor yang
menganggur meninggalkan Ambon dan berpindah ke Saparua.
Philip
Latumahina, seorang bekas juru tulis Residen van den Berg, menyiarkan berita itu ke mana-mana.
Sebagai seorang borgor ia pernah dicambuk dengan rotan oleh residen bersama
dengan Anthonie Rhebok dengan alasan berkelahi. Kemudian ia diberhentikan.
Philip tidak pernah lupa akan penghinaan itu.
Akhir
dan awal mei tahun itu, beredar gosip pemberontakan yang terus bergaung di lingkungan
benteng Duurstede. Residen
mendapat laporan-laporan yang saling bertentangan, ada yang membenarkan, ada
juga yang membantahnya. Hal ini diperparah dengan kemampuan bahasa melayu ambon
Residen yang sangat lemah. Ia tidak “nyambung”. Sang juru tulisnya sang
(Scriba) Ornek yang beberapa waktu sebelumnya menggantikan Philiph Latumahina
lebih menguasai kondisi psikologis masyarakat saparua-nusalaut.
Minggu
pertama Mei itu, seorang Haria Pieter Matheos Souhoka, datang melapor tentang
isu pemberontakan yang semakin menguat. Untuk mengkonfirmasi laporan ini,
Residen memanggil raja Booi dan Nolloth ke benteng Duurstede, namun mereka berdua
membantah laporan orang Haria
itu. Akibatnya Pieter matheos Souhoka dicambuk karena dianggap berbohong !!!
2
hari kemudian, sang istri Raja Nolloth, yang biasa dipanggil Nyora Nolloth
datang bertamu ke benteng dan “ngopi” dengan sang istri Residen. Sambil ngopi
itulah, sang Nyora “membenarkan laporan Souhoka alias informasi yang diberikan
itu “A1”. Pemberontakan telah “hamil tua” dan tinggal menunggu hari untuk “meledak”.
Raja Sirisori Serani
dan Ameth sebenarnya ingin melapor juga kepada Residen, namun takut diketahui
karena itulah, mereka ke ambon secara diam-diam dan melapor langsung kepada J.
Middelkoop. Namun “anehnya” laporan inipun tak dipercayai oleh para pembesar di
Ambon. Raja Ameth disuruh pulang, Raja Sirisori Serani ditahan.
14
Mei 1817 pagi, di hutan Saniri diperbatasan Negeri Sirisori Serani dan Tuhaha,
berlangsung musyawarah. Yang hadir adalah para pemimpin “pemberontak” Johannis
Matulessia dan Anthone Rhebok dari Saparua, Philip Latumahina dengan adiknya
Lukas dari Paperu, Said Perintah dari Sirisori Islam, kakak beradik Pattiwael dari
Tiouw. Lukas Selano kapitan dari Nolloth, Lukas Lisapialia alias Aron kapitan
dari Ihamahu, pemuda Titaley dari Saparua, kapitan Aipassa dari Tuhaha,
kapitan Nanulaitta
dan Hehanussa dari Booi dan
kapitan Watimury alias Kakirussi dari Porto. Di pertemuan itulah Thomas
Matulessy diangkat sebagai pemimpin perlawanan dan waktu penyerangan
diputuskan, hari “H” adalah 16 Mei 1817.
15
Mei 1817, van den Berg “meluncur” ke
Porto karena menerima laporan malam sebelumnya jika rakyat porto mulai
“bergerak”. Sebelum ke porto, ia singgah di rumah Raja haria untuk meminta
laporan kejadian sebenarnya. Di haria, ia “terperangkap” karena rakyat yang
mengetahui kedatangannya, mencari dan berniat membunuhnya. Dalam keadaan gawat
dan terjebak ia menulis surat kepada komandan benteng Duurstede. "Sersan
datanglah segera dengan dua belas orang bersenjata lengkap untuk membebaskan
saya. Seluruh rakyat berontak. Datanglah segera." Surat itu dibawa oleh
dua orang laki-laki Haria. Seterima surat itu juru tulisnya, Ornek, disertai
beberapa orang, segera menuju ke Haria. Tetapi di Haria pun mereka disambut
oleh tembakan pasukan rakyat. Tangan Ornek kena peluru. Melihat begitu banyak
orang bersenjata, ia tergesa-gesa kembali. Dengan dikawal dua puluh orang
borgor, seorang kopral dan dua belas prajurit, untuk kedua kalinya, Ornek
menuju Haria. Turut pula raja Ameth. Tetapi setiba di tempat yang sama,
terjadi tembak menembak yang ramai. Tangan seorang prajurit Belanda hancur kena
tembakan. Pasukan Belanda diserang pasukan rakyat yang besar jumlahnya. Sebab
itu Ornek memerintahkan pasukan mundur kembali lagi ke Saparua.
Di pagi itu juga, Ornek sang juru tulisnya
menulis surat ke Ambon, ditujukan langsung ke Gubernur Amboina J Middelkoop.
Sang istri Residen, Johana Christina Umbrgrove-van den Berg juga menulis surat
kepada pamannya, Nicholas Engelhard. Sang residen berhasil kembali ke benteng
karena Thomas Matulessy melepaskannya. Saat tiba di benteng, ia berusaha
mengirim surat ke ambon untuk meminta bantuan, namun gagal karena orang yang
disuruhnya ditembak di tengah jalan.
Malamnya,
sang residen “dikagetkan” dengan kedatangan Phillip Latumahina dan Anthone
Rhebok. Mereka bertamu sekaligus “memantau” sistim pertahanan lawan. Meski
benci kepada sang Residen yang pernah menghukum mereka berdua beberapa waktu
lalu, namun rencana “memata-matai” kekuatan lawan harus diteruskan. Sang
residen akhirnya membuka pintu dan menerima mereka, dan dijamu dengan minum
anggur. Sambil minum, ia meminta maaf karena pernah menghukum mereka (hukuman
cambuk dihapuskan pada 1860). Philip Latumahina bahkan diizinkan tidur malam
itu dalam benteng, sedangkan Anthone Rhebok diminta untuk mengantar surat
residen ke Sirisori Serani.
Surat itupun tak pernah sampai ke alamatnya !!! Surat itu ditempelkan Anthone Rhebok
pada tiang di pasar saparua.
Melihat
kondisi yang mengkhawatirkan, sersan Bombardier Verhagen, malam itu menyelamatkan
anak perempuannya yang bernama Maria. Maria adalah anak hasil “kumpul kebonya”
dengan seorang perempuan pribumi Saparua. Anak perempuan berusia 13 tahun itu
dihitamkan mukanya dan diturunkan dengan menggunakan tali di belakang benteng
sebelah selatan. Maria pun menghilang
menemui keluarga ibunya di malam itu…
Pagi-pagi
16 Mei 1817, Philip Latumahina meninggalkan benteng dengan setumpuk informasi
berharga tentang keadaan benteng Duurstede. Siangnya pasukan perlawanan
telah siap menyerang benteng Duurstede.
Sebelum menyerang, diadakan ibadah yang dipimpin oleh Guru Kepala J. Sahetapy. J. Sahetapy menggunakan “ayat emas” yaitu
Mazmur 17 yang adalah Litani Raja Daud sebagai “dasar” penyerangan. Di masa itu (1817), ada
3 schoolmester (guru jemaat/Guru Kepala) yang bertugas di Pulau Saparua, H. Risakotta
yang bertugas di Porto, Strudick yang
bertugas di Haria dan J. Sahetapy yang
bertugas di Saparua. Catatan harian dari Rissakota tentang perlawanan rakyat
saparua di bawah komando Thomas Matulessy inilah yang disebut sebagai Porto
Report atau laporan Porto. Catatan ini banyak dipakai sebagai sumber penulisan
sejarah Perang Pattimura. Salah satunya digunakan oleh keturunan Jean Luberth
van den Berg van Saparoea untuk
menulis tentang kehidupan leluhur mereka. Buku ini terbit pada tahun 1942 dalam
Bahasa Belanda “1942
Berg J. v.d. "Herinneringen mijner jeugd/Jean Luberth van den Berg van
Saparoea” dan diindonesiakan
dengan judul “Kenang-kenangan masa
remaja Jean Luberth van den
Berg van Saparoea”.
Benteng
Duurstede akhirnya diserang pada siang itu, korban pertama yang jatuh adalah
Sersan Bombardier Verhagen. Ia berusaha menahan serangan dari pintu benteng Duurstede. Sang Juru
Tulis Ornek juga menjemput maut, meski sempat meloncat dinding benteng. Sang
Residen yang terkena pelor jatuh dan diseret kemudian diikat dan ditembak. Sang
istri dan kedua anaknya pun diseret dari tempat persembunyian mereka di gudang
cengkih dalam benteng, kemudian dibunuh. Sang anak tertua Jean Luberth van den Berg, bersembunyi
di tumpukan beras, namun ditemukan karena terdengar suara tangisan. Sang budak
asal paperu yang jadi pelayan membawanya ke Thomas Matulessy dan pasukan
penyerangan. Pasukan mendesak agar ia juga dibunuh, tetapi Salomon Pattiwael
memohon agar anak ini tak dibunuh, dan ia menjamin akan memelihara anak ini. Permintaan
ini disetujui Thomas Matulessy. Anak ini pun selamat dari tragedi yang menimpa keluarganya.
Ayah, ibu dan kedua adiknya telah tewas… darah berlumuran di dalam benteng… benteng
bermandikan darah ayah, ibu, adik-adik, serta pegawai-pegawai ayahnya. Pos
komando belanda yang menjadi pusat pemerintahan dan rumah tinggal residen hari
itu jatuh ke tangan Thomas Matulessy dan kawan-kawan.
Siang
itu juga, di ambon
di markas
Gubernur, geger… Mereka
baru saja menerima surat dari Scriba (juru tulis) Ornek dan Istri Residen yang
dikirim satu hari sebelumnya. Rapat kilat segera diadakan, Jacobus Albertus van
Middelkoop, Nicholas Engelhard, Letkol. Krayenhoff dan Laksamana Q.M.R.
Verhuell berdebat panas. Verhuell mengusulkan agar segera dikirim kapal perang
ke saparua dan menawarkan dirinya sendiri untuk memimpin eksepedisi ini. Usul
ini diterima !!!
Saat
pasukan sedang disiapkan oleh Verhuell, datang perintah dari Gubernur dan Ketua
Komisi, agar pengiriman pasukan dibatalkan !!!
Sore
menjelang malam…
Rapat
dilakukan lagi, Letkol Krayenhoff ditunjuk untuk menyusun suatu pasukan
ekspedisi. Krayenhoff menugaskan Mayor
Beetjes untuk memimpin pasukan ini.
Ekspedisi
ini terdiri atas 3 pasukan : Pasukan infantri Belanda di bawah komando Kapten
Staalman dan Letnan Verbruggen, Pasukan infantri Jawa di bawah komando Letnan
Abdulamana, Pasukan Marinir dari kapal perang Evertsen dan Nassau di bawah komando Letnan
Laut, Munter de Jong, Scheidius, Musquetier, Rijk Ian de Jeude. Turut juga Raja
Sirisori Serani Johanes Salomon
Kesaulija, yang beberapa minggu sebelumnya menghadap Gubernur Amboina untuk
melaporkan rencana pemberontakan Thomas Matulessy dkk.
17
Mei 1817, pasukan penumpas meluncur ke Saparua. Mereka melewati Passo, pasukan kecil
dikirim ke Haruku
untuk mempersiapkan transportasi dan mengambil pasukan sisa di Passo. Mayor Beetjes
melanjutkan ke Suli.
Namun tak ada angkutan ke saparua. Beetjes menyita arombai di negeri itu dan memaksa
rakyat mengantarnya ke Haruku.
Ia bersama pasukannya baru tiba di Haruku pada 19 Mei
1817.
20 Mei 1817, di pagi buta…
Terlihat ekspedisi Beetjes menyeberang
dari Hulaliu menuju teluk Haria.
20 Mei 1817, jam 08.00 pagi
Ekspedisi
ini memutar haluan dan menuju ke Saparoea melewati tanjung Booi. Pukul 10 pagi, armada ini terlihat muncul di Teluk Saparoea. Memutar ke
timur menuju Waihenahia
namun tak bisa mendarat karena ombak besar, Mayor Beetjes memerintahkan memutar
balik menuju pantai Waisisil
!!!
Beetjes
menyiapkan pasukannya untuk mendarat. Pasukannya dibagi dalam tiga divisi.
Ketiga-tiganya akan bergerak menyusur pantai menuju ke benteng Duurstede.
Divisi pertama dipimpin oleh Letnan Verbruggen, disertai Kadet 't Hooft yang membawa
bendera tri warna untuk dikibarkan di benteng. Divisi kedua dipimpin Staalman
dan akan menyusul pasukan di bawah komando Beetjes.
Di
pantai Waisisil ini, menjadi ladang pembantaian bagi pasukan Belanda. Air laut di
perairan waisisil merah darah… Sekali lagi “tumbal” benteng Duurstede memakan
korbannya… Dari ratusan pasukan belanda itu, hanya kira-kira 30 orang yang
berhasil melarikan diri kembali ke ambon. Ada juga yang tertawan, Van Hamer dan
Leidemeyer, demikian nama kedua orang tawanan itu, sangat beruntung, karena
mendapat pengampunan dari Thomas
Matulessy. Yang satu karena memperlihatkan tanda rajah di tangannya dan mengaku
orang Inggris. sedangkan yang lain adalah pemukul genderang dan penjahit.
20
mei 1817, saat pasukannya dibantai, Gubernur Maluku J.A. Middelkoop
mengeluarkan maklumat. Besoknya, ia menerima laporan tentang pembantaian
pasukannya di Waisisil.
9
hari kemudian di Haria, lahirlah
Proklamasi Haria (29 Mei 1817) yang ditandatangani oleh Raja, Patih, Orang kaya
Pulau Saparua, Nusalaut dan beberapa utusan dari Seram.
Setelah Ekpedisi
Mayor Beetjes gagal total di pantai waisisil, Gubernur Amboina Jacobus Albertus
van Middelkoop dan Komisaris Pengambil
alihan Kepulauan Maluku, Nicholas Engelhard memutuskan mengirim ekspedisi
penumpasan kedua di bawah komando Overste Hugo Cornets de Groot. Dalam
ekspedisi ini terdapat 3 kapal perang : Maria Reygersbergen, Iris dan The
Dispatch. The dispatch adalah kapal perang Inggris yang turut membantu. Kapal
Perang Maria Regersbergen dipimpin oleh Overste Hugo Cornets de Groot sekaligus
panglima tertinggi ekspedisi kedua ini. Iris dipimpin oleh kapten kapal Overste
Pool, sedangkan The Dispatch dipimpin oleh kapten kapal Overste Grozier.
04 Juli 1817 :
Ekspedisi ini meninggalkan pelabuhan Ambon menuju pulau Saparua.
09 Juli 1817 :
Ekspedisi ini muncul di perairan utara Hatawano, menyusuri pantai Itawaka dan
Nolloth
Hampir
1 bulan lamanya mereka bernegosiasi dengan pasukan Thomas Matulessy, namun
negosiasi buntu. 03 agustus 1817, ekspedisi
ini berhasil untuk merebut benteng Duustede dari pasukan Thomas Matulessy yang
menguasainya sejak 16 Mei 1817. Letnan Ellinghuyzen komandan pasukan pendaratan
diangkat oleh Cornets de Groot menjadi
komandan benteng
Duurstede pada hari itu juga, 1 bulan kemudian, 03 September 1817 Letnan Ellinghuyzen diganti dengan Kapten
Lisnet.
Meski
belanda telah menguasai benteng
Duurstede, namun belum bisa memadamkan pemberontakan di kalangan rakyat.
Operasi penumpasan kedua inipun tidak mengalami kemajuan dalam operasi mereka. kondisi
ini terus dilaporkan oleh van Middelkoop dan Engelhard ke Batavia. Mereka
meminta bantuan langsung dari Batavia. Permintaan ini disetujui oleh Gubernur
Hindia Belanda Godert Alexander Gerard Philiph van der
Capellen. Sang Gubernur
Jenderal
memutuskan mengirim rekannya sang ahli pertempuran laut yang berpengalaman di
medan pertempuran perang Eropa semasa Perang Napoleon Bonaparte beberapa tahun
lalu.
Tanggal
26 Juni 1817 Buyskes berangkat ke Surakarta melalui darat. Tanggal 27 Juli ia
meninggalkan Surabaya menuju Ambon dengan kapal perang Prins Frederik, disertai
oleh dua buah kapal pengangkut penuh dengan serdadu, mesiu, peluru, senjata dan
lain-lain keperluan. Tentara yang dibawanya terdiri dari dua ratus lima puluh
empat orang dibawah pimpinan Kapten Gezelschap dan duaratus limapuluh orang
dipimpin oleh Mayor Meyer dan Vermeulen Krieger serta turut pula Pendeta
Lenting.
01 September 1817,
Laksamana Madya Arnold Adrian Buyskess tiba di Ternate dari Batavia –
Surakarta-Surabaya, 12 September 1817 Buyskes bersama Residen Ternate J.A.
Neijs bertolak ke Ambon, 18 hari kemudian mereka menginjak kakinya di Ambon,
tanggal 30 September 1817.
Buyskess
segera mengadakan perombakan di tubuh pemerintahan. Gubernur Amboina, Jacobus
Albertus van Middelkoop dipecat dan dikirim pulang ke Batavia, Engelhard
diperintahkan bertugas menyelesaikan masalah di Banda namun ia menolak dengan
alasan sakit, dan dikirim pulang ke Batavia. Hari itu juga 30 September 1817, J.A. Neijs (Residen Ternate) kemudian
menjadi Residen Ambon, dan juga Residen Saparoea menggantikan Johanes Rudolph
van den Berg yang telah tewas 4 bulan yang lalu…
Sang
ahli pertempuran laut itu pun menggelar strategi perang untuk menghadapi strategi
perang Thomas Matulessy. Ia mempertaruhkan nama baiknya. Operasi penumpasan
jilid ketiga pun siap diluncurkan. 11 oktober 1817, pasukan bantuan dari Ternate
tiba di Ambon. Pasukan dari ternate itu terdiri dari Alifuru Tidore dan
Ternate. Pasukan Ternate dipimpin oleh Pangeran Tusan dan pasukan Tidore oleh
Kimelaha Dukimi. Jumlah mereka sekitar seribu lima ratus orang. Dalam
hari-hari berikutnya menyusul kora-kora lainnya, sehingga menjadi empat puluh buah. Dengan
bantuan beberapa ribu Alifuru Ternate dan Tidore ini, berhasillah Buyskes
menjalankan politik memecah-belahnya. Buyskes mengorganisasi angkatan lautnya.
Pada waktu itu kapal perang Maria Reygersbergen berada di Saparua. Iris dan The
Dispatch sedang berpatroli di perairan Lease. Di Ambon ada Evertsen, Nassau dan
Anna Maria. Armada itu diperkuat dengan kedatangan Prins Frederik. Swallow
dibeli dari Inggris dan diganti namanya menjadi Zwaluw. Kemudian datang pula
Venus. Di samping
itu tersedia empat puluh
kora-kora, sejumlah kapal angkutan dan barkas.
23
Oktober 1817, kapal
perang Evertsen dibawah komando Q.M.R.
Verhuell diluncurkan ke Saparua di benteng Duurstede, 24 Oktober Kapal Perang
maria Reysbergen juga merapat. Selama 1 minggu itu terjadi pertempuran, dan pasukan
belanda pun belum mengalami kemajuan.
02 November 1817, saat
Eversten berlabuh di perairan teluk saparua, pelayan dari Salomon Pattiwael
secara diam-diam naik ke kapal perang itu dan melaporkan jika anak sang residen
yaitu Jean Luberth van den
Berg masih hidup. Selama 8 hari sejak hari itu terjadi pertarungan strategi
perang yang lihai… Thomas Matulessy seorang sersan Mayor Korps 500 melawan ahli
strategi pertempuran laut Laksamana
Arnold Adrian Buyskess. Kepulauan Uliaser dikepung dari laut. Blokade laut
dijalankan. Pasukan perlawanan terjepit di kiri dan kanan.
11
November 1817, Thomas Matulessy tertangkap di hutan perbatasan Booi-Haria
karena pengkhianatan Raja Booi. Thomas Matulessy menyerah pada Kapten
Pieterszeen. Malam itu juga Philip Latumahina tertangkap oleh Letnan Veerman. 2
hari kemudian 13 November 1817, Anthone Rhebok juga tertangkap. Di hari yang sama Guru
Kepala H. Risakotta
menyerah pada overste Groot di Haria.
Ia kemudian menyerahkan catatan hariannya itu. Pasukan alifuru Ternate dan
Tidore menyusuri hutan-hutan untuk menemukan Jean Luberth van den Berg namun tak
berhasil. 12 November
1817, A.A. Buyskess tiba di saparua setelah mendengar Thomas
Matulessy tertangkap. 1 hari kemudian,
tepatnya 13 November 1817, Salomon Pattiwael mengantar Jean Luberth van den
Berg dan Maria Verhagen ke kapal Evertsen. Rupanya selama itu (5 bulan 27 hari)
sejak 16 Mei 1817, Jean Luberth van den Berg, Maria Verhagen, saudari
perempuan Maria dan bersembunyi di Hutan Rila, Negeri “Lama” dalam petuanan Negeri
Saparua. Beberapa
hari di pertengahan
November kelabu itu alias November Rain, banyak pemimpin perlawanan
tertangkap, termasuk guru kepala Jacob. Sahetapy. Semuanya dibawa ke kapal
perang Evertsen. Termasuk juga pemimpin perlawanan dari Pulau Nusalaut, Paulus
Tiahahu dan anak gadisnya, wanita kabaresi Christina Martha Tiahahu yang baru
berusia 17 tahun.
Beberapa
hari kemudian kapal itu menuju Nusalaut untuk mengeksekusi Paulus Tiahahu di
Benteng Beverwijk. 17 November di benteng itu dieksekusi Paulus Tiahahu yang
dilakukan oleh pasukan alifuru. Guru Soselisa diminta berdoa untuk melepaskan
kepergian sang pahlawan dari Nusalaut itu. Ia diikat dan ditembak oleh pasukan
alifuru ternate dan tidore. Pembunuhan tragis itu disaksikan oleh putri semata
wayangnya…
Di hari itu juga A.A.
Buyskess memerintahkan untuk mendirikan benteng di Porto yang benama Delft,
Nolloth yang bernama Velsen dan Ouw yang bernama Hollandia.
18
November 1817, kapal perang evertsen menuju ambon. Setiba di ambon mereka
dikurung di benteng Victoria. Buyskes membentuk satu tim untuk
menginterogasi para tawanan. Diawal desember para pemimpin perang dihadapkan
pada Ambonsche Raad van Justiti (Dewan Pengadilan di Ambon). Dewan ini diketuai
oleh JHJ Moorrees dan beranggota JJ Bruins, JH Martens, J. de Keyzer, JH van
Schuler, LH. Smits dan G. Reis. Bertindak sebagai fiskal adalah penuntut umum
RH. Cateau van Rosevelt dan Sekretaris JB. Timmerman. Vonis hukuman diputuskan :
Eksekusi Mati dengan cara di gantung terhadap pemimpin-pemimpin
Pemberontakan yaitu Thomas Matulessy, Kapitang Said/Sayat Parentah, Anthone
Rhebok dan Philiph Latumahina. Hukuman tambahan dikenakan pada Thomas Matulessy
yaitu mayatnya akan dimasukan dalam kurungan besi dan dipertontonkan kepada
rakyat.
16
Desember 1817
Tempat : Depan Benteng Niew
Victoria yaitu Alun-alun kota Ambon (Lapangan
Merdeka Ambon Sekarang)
Jam : 07.00 WIT
Terpidana Mati : Thomas Matulessy,
Kapitang Said/Sayat Parentah, Anthone Rhebok dan Philiph Latumahina, Melchior
Kesaulija
Urutan Eksekusi : 1. Philiph
Latumahina, 2. Anthone Rhebok, 3. Melchior Kesaulija. Said/Sayat Parentah, 4.
Thomas Matulessy
Surat
Keputusan Eksekusi Anthony Rhebok ditandatangani oleh A.A. Buyskess pada 13
Desember 1817 dengan nomor
131. Sedangkan untuk Philip Latumahina bernomor 129, Melchior Kesaulija
bernomor 132.
Saat
eksekusi inilah, Jean Luberth van den Berg dihadirkan untuk melihat para
pembunuh ayahnya… dengan
maksud untuk membalas sakit hati karena kematian keluarganya. Beberapa bulan
kemudian, Jean Luberth di kirim ke Soerabaia (Surabaya) ke rumah Kakek dan
neneknya. Sebagai ucapan terima kasih dan kebahagiaan karena salah satu cucunya bisa
hidup, di tahun 1821, sang kakek Johanes Gerardus van den Berg
memberikan/menghadiahkan sebuah orgen
kepada Gereja Nicholas di Wijhe Belanda.
Di masa dewasa, Jean
Luberth van den
Berg, memohon kepada Statuten General (Parlemen Belanda) agar namanya di tambahkan
menjadi Jean Luberth van den
Berg van Saparoea… hingga sekarang seluruh keturunannya menyandang nama van den Berg van Saparoea!!!
Saat
tali akan menjerat lehernya Thomas Matulessy hanya mengucapkan kata-kata : SALAMAT
TINGGAL TUAN-TUAN !!! atau Vaarweel
Heeren.
Akhir Desember 1817, kapal
perang everstsen berangkat ke Pulau Jawa tigapuluh sembilan orang tawanan
dibawa pula ; antara lain Christina Martha. Gadis ini sangat tertekan jiwanya
sehingga menolak makan dan diobati ketika berada dalam sel. Verheull mencoba
membujuk dan menghiburnya, tetapi sia-sia. Tubuhnya makin lemah dan ketika
Evertsen baru meninggalkan Tanjung Alang, Christina menghembuskan nafasnya yang
penghabisan pada tanggal 02
Januari 1818. Jenazahnya diturunkan dan diserahkan kepada Laut Banda. 01 Januari 1818
kala malam menjelang, kapal Eversten berada di antara pulau Buru dan Manipa;
Martha Christina Tiahahu, pamit untuk selama-lamanya. Verhuel dan ABK kapal
sempat menangis saat mengiringi kepergiannya, jelang pergantian
hari jasadnya dilarung ke laut Banda dalam satu upacara militer di atas
kapal.
Pada upacara pemakamannya Q.M.R Ver Huell menulis catatan harian:
Pada upacara pemakamannya Q.M.R Ver Huell menulis catatan harian:
“...Saya turunkan mayatnya
pada malam hari dengan teduh dalam laut; tentu dengan hati yang terharu,
sedikit banyak dengan air mata. Selaku seorang anak perempuan yang mencurahkan
cinta kasih kepada ayahnya, tidak pernah ia tinggalkan dalam hari ketuahannya,
sekalipun di medan tempur yang berbahaya, tetap berada pada sisinya. Sifat
pendekar, berani, kesatria baik di medan tempur maupun sampai pada detik-detik
terakhir dimana ayahnya akan dihabiskan. Ia masih berusaha sekuat tenaganya
untuk dapat menyelamatkan ayahnya...”
Tanggal
16 Januari 1818 rakyat Ambon menyaksikan hukuman gantung atas Kapitan Lukas
Lisapaly alias Aron dari Ihamahu. la
dipersalahkan mengangkat senjata menyerang Benteng Duurstede, berkomplotan
membunuh guru dari Amahai serta kakak dan anak-anaknya dan berkomplotan membunuh
Julianus Tuwankotta, kakak Patih Akoon. Tanggal 26 Januari Lukas Selano,
kapitan dari Nolloth menjalani hukuman
gantung. Tanggal 02
Februari sekali lagi
rakyat Ambon menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung atas Jakobus Pattiwael,
patih Tiouw.
Tanggal
25 Februari Buyskes
meninggalkan Ambon. Ia kembali pulang dengan senyum lebar, ia telah berhasil
memenangkan pertempuran. Ia berhasil dalam strategi perangnya. Ia pulang untuk
melaporkan keberhasilan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Tumbal
benteng Duurstede telah
memakan banyak korban dalam 7 bulan itu. Banyak darah yang mengalir di
sepanjang tanah Uliaser. Seperti layaknya jantung yang jadi pusat kehidupan,
benteng Duurstede yang
terletak tepat di jantung
uliaser itu bisa sebagai pusat kehidupan dan juga bisa jadi maut jika jantung
ditikam dan mengeluarkan darah. Jantung itu mulai mengeluarkan darah di awal
1812an saat residen inggris dibunuh, dan terus mengucurkan darah, hingga 5-6
tahun kemudian saat para pemimpin perang Pattimura mengucapkan selamat tinggal
kepada tanah tumpah darah… saat
jantung ditikam dan mengeluarkan darah, maka tak menunggu waktu yang lama, pusat
pendistribusian oksigen ke seluruh tubuh akan perlahan mulai keteteran. Otak
sebagai markas besar tubuh akan mengalami kekurangan oksigen. Ia terus menuntut
pasokan oksigen dari jantung namun tak dilayani lagi. Perlahan-lahan otak akan
mengalami maldisfungsi dan gagal. Itu mengakibatkan efek berantai… anggota
tubuh tak berfungsi dan akhirnya mati…
Seperti
itu jugalah yang dialami oleh benteng Duurstede… sejak saat itu… benteng Duurstede seperti
mati… tak pernah lagi bersuara… diam dan catatan sejarah tak pernah lagi
menceritakannya… bahkan saat 128 tahun berlalu sejak perang itu membakar
saparua dan Indonesia Merdeka, Duurstede
tetap bersembunyi dalam bisu… menutup mulut rapat-rapat… yang ada hanyalah
bangunan tua setengah melingkar yang cuma berdiri siang malam di atas batu karang,
melihat kehidupan yang terus berjalan.
199
tahun terus merayap dalam deraian waktu hingga hari ini… hampir 2 abad… benteng
itu jadi saksi dan juga tumbal... saat
malam, batu-batu melingkar itu seperti monumen yang menyeramkan… gelap… bahkan saat tiap
tahun, saat peringatan hari pattimura, batu-batu melingkar itu terpinggirkan
dalam riuh rendah peringatan…
Bersambung ..........( Lihat Edisi Ketiga )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar