Penulis : Aldrijn Anakotta
Kenangan Masa
Kecil
Bebatuan
melingkar itu terasa aneh, misterius dan selalu sunyi, namun seperti yang
sering terjadi, jika sebuah bangunan bertumbuh, bersahabat dengan hidup
manusia, maka itu dianggap biasa. Tak ada yang spesial di situ. Begitu juga yang
terjadi pada bebatuan melingkar itu. Bebatuan yang seperti
ditumpuk di atas
batu karang itu, layaknya mercusuar yang menjaga “mulut” perairan teluk saparua.
Memelototi pulau
nusalaut yang mengambang
di atas
lautan di depan
matanya. Menatap pada kesunyian deburan ombak, belitan gelombang, hilir
mudiknya para nelayan bertaruh nyawa mencari sesuap nasi dan kehidupan
sederhana yang terus berjalan mengalahkan zaman. Ya, batu-batu yang
melingkar di atas
karang itu, yang kita kenal sebagai benteng Duurstede!!! Sebuah benteng
peninggalan bangsa belanda di jantung uliaser, di negeri saparua (Pisarana
Hatusiri Amalatu). Seperti
sebuah misteri pada masa kanak-kanak, tempat itu hanya cukup dikenal sebagai
benteng duurstede, tempat bermain, tempat menonton pertandingan sepak bola,
tempat duduk berleha-leha karena angin pantai yang bertiup mengusap rambut dan
pipi. Di masa
kanak-kanak yang teringat, saat ada pertandingan sepak bola, tempat itu
dijadikan “tribun VIP” karena tinggi dibandingkan nonton di pinggiran lapangan.
Atau bisa juga tempat itu dijadikan sebagai “solusi terakhir” saat anak-anak
tak punya uang membeli tiket masuk untuk menyaksikan pertandingan bola. Jika
itu yang terjadi, anak-anak akan berjalan menyusuri tepian pantai, bersembunyi
dari tatapan mata para “intel” penjual tiket, memanjat tebing-tebing batu di kaki benteng dengan
nafas satu dua, memanjat dinding yang tebal itu, dengan berbekal potongan kayu yang bersandar, dan
akhirnya “free… merdeka” duduk nangkring di “pundak batu” selayaknya para
“hooligans” para ultras, penggemar fanatik sepakbola sambil berteriak-teriak. Ada
juga tempat lain, di masa
kanak-kanak yang dikenal sebagai lubang tikus. Terowongan berbentuk setengah
lingkaran yang sempit, dan dipergunakan anak-anak untuk masuk kedalam benteng. Hal
itu dilakukan jika anak-anak tak mampu atau tak mau susah-susah memanjat
dinding benteng. Lubang terowongan itu kira-kira panjangnya 6 meter dari luar
hingga menembus perut benteng. Dan akhirnya tiba di dalam sebagai “the winner” dalam petualangan
menaklukan rasa takut untuk tujuan final yaitu menonton sepak bola. Atau tempat
itu akan ramai saat peringatan Pattimura Day, setiap tanggal 14 Mei, meski
tetap saja “tersingkir” karena TKP-nya lebih banyak berpusat di hutan saniri,
lapangan pattimura atau baileu negeri saparua.
Ya, begitulah yang
masih teringat tentang tempat itu. Yang kami tahu hanya itu. Bangunan melingkar
dari batu-batu yang menjadi sahabat kehidupan tiap hari sampai sekarang. Hanya sebatas
itu yang kami tahu, sebatas tempat itu adalah “korban” dari perang pattimura di bawah komando
Thomas Matulessy alias kapitan Pattimura. Hanya itu, sejarah “kelahirannya” diliputi
banyak tanda tanya, banyak misteri, paling-paling yang diketahui, benteng itu
didirikan oleh Arnold/Arnout de Vlaming van Oudshoorn pada tahun 1676 dan di
“selesaikan” oleh Nicholaas Schagen di tahun
1691. Itupun diketahui dengan “bantuan” plakat yang ditempelkan di dinding
pintu masuk. Itu bukan hal istimewa untuk dibanggakan, setiap anak-anak yang
sering bermain di daerah benteng pun tahu hal itu, karena seperti papan nama
yang bisa dibaca kapan saja. Soal lain, anak-anak pun tak tahu, apa
gunanya sejarah buat dunia anak-anak??? Dunia mereka adalah dunia bermain,
bermain dan
hanya bermain. Itu saja… pastilah
hal-hal rumit itu dikesampingkan, atau memang tidak mau tahu. Ditambah lagi,
tempat itu seperti “menutup mulutnya” tak mau bercerita banyak tentang
kelahirannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga masa tuanya buat
anak-anak. Ya, memang benteng duurstede seperti “malu” bercerita tentang
sejarah hidupnya. Yang ada hanyalah fragmentasi sejarah hidup yang bercampur
antara fiksi, legenda, tuturan, dan arsip-arsip terbatas yang melingkupinya. Bagaimana
rancang bangunnya, siapa arsiteknya, siapa para pekerjanya, siapa mandornya, bagaimana
upah para pekerja dibayar, kapan tepatnya, tanggal bulan peletakan batu
pertama, kapan peresmiannya,
bagaimana suasana peresmiannya, bagaimana suasana sosial atau kehidupan tiap hari
saat benteng itu mulai dibangun, bagaimana perasaan para pekerja, apakah dalam
pembangunan itu ada kerja paksa di luar kemanusiaan atau bagaimana??? Bagaimana sketsa asli benteng itu,
maketnya, berapa skalanya dalam lembar-lembar arsitektur di tangan para
insinyur yang mengepalai “mega project” itu, dan masih banyak soal yang tak
diketahui dengan pasti. Sampai saat ini, semuanya seperti tertutup. Tak ada
arsip yang bisa dibaca, dipahami agar bisa diketahui, dimengerti. Entahlah, mengapa
bisa begitu. Mungkin arsip-arsip tentang pembangunan itu, telah terbakar saat
perang pattimura, atau mungkin saja telah diselamatkan oleh para kompeni, atau
mungkin juga telah terkubur dan menjadi unsur hara dalam proses penghumusan
tanah. Entahlah… semuanya seperti gelap… seperti benteng duurstede yang tetap
gelap di saat
malam. Jadi patung bisu di atas batu karang, jadi monumen masa
lalu yang mencoba bertahan hidup menantang zaman yang terus berubah.
Tulisan tersaji ini ibarat potongan, sobekan, percah kain yang coba
dijahit dan dianyam
kembali menggunakan benang-benang masa kini, menggunakan mesin jahit yang
bersandar pada basis data,
cerita, legenda, fiksi, tuturan serta
beberapa buku yang berkaitan dengan benteng duurstede sebagai referensi sejarah.
Tentulah hasil jahitan itu akan berwarna-warni, tak akan bisa sempurna, dan
memang tak sempurna, akan berwarna-warni seperti mozaik dalam pandangan tiap
orang saat membaca, merenungi serta meresponinya. Yang penting adalah tulisan
ini dibuat sebagai bentuk kecintaan, bentuk kenangan pikiran anak-anak yang menjelajahi
dunia sejarah kolonial dalam kecintaan dan ketagihan membaca. Semoga tulisan
ini bisa dibaca, dinikmati dan bisa menggugah para sejarahwan berkompeten untuk
menelisik lebih jauh, lebih banyak menampilkan banyak data, serta menulis ulang
tentang saksi sejarah di jantung uliaser itu.
“Bebatuan melingkar” itu bercerita
Bagian I
Semuanya bermula di tahun 1580, saat Raja Phillip dari
Spanyol naik tahta, dan menganeksasi Portugis
dalam kekuasaannya, dua raksasa Katholik di Eropa Barat itu, memblokade portal
distribusi pembelian rempah-rempah di pelabuhan-pelabuhan mereka, Belanda pun
megap-megap karena kebutuhan wangi-wangi rempah dicekik, mereka memutar otak,
berusaha mencari akal untuk menabrak dan menelusuri sumber rempah-rempah itu. Tak
kuat menghadapi “strategi ekonomi ala mafia”, Belanda pun mengajak Spanyol “berkelahi”
dalam arena perang 80 tahun yang melelahkan (1568-1648). Tahun 1592, saat Jan
Huygen van Lincshoten seorang Belanda (dari haarlem), yang telah
menghabiskan 4 tahun di Portugis dan 5 tahun di Goa (India), sebagai Sekretaris
Archibisop kembali pulang ke Belanda, dengan setumpuk pengetahuan berharga
tentang perdagangan dan pelayaran ke Samudera Hindia. Tahun 1595, ia menerbitkan buku yang
berjudul Reysgescrift van de navigatein
der Portugaloysers in Orienten. Setahun kemudian tahun 1596 bukunya yang
lain terbit dengan judul Itinerario near
oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timur/Hindia Portugis).
Dalam buku ini berisi rincian–rincian pelayaran orang-orang Portugis ke Asia 1
abad sebelumnya yang sengaja dirahasiakan kepada dunia luar. Berdasarkan kedua
buku ini, serta bantuan Plancius dan
Mercantor, ahli pembuat peta, serta ahli
navigasi laut, yaitu Lucas Janz Waghenaer. Di tanggal 2 April 1595, Cornelis
de Houtman, seorang pemabuk bersama Pieter de Keyzer memimpin 4 armada
menuju Nusantara dari pelabuhan Texel. Berbekal 4 buah kapal dengan 249 awak
kapal dan 64 pucuk meriam mereka berlayar. Pelayaran mereka dibiayai oleh
sebuah sindikat yang terkenal dengan nama Compagnie
van verre yang bermarkas di Amsterdam. Di tanggal 23 Juni 1596, armada itu berlabuh di Pelabuhan Banten,
pelabuhan lada yang terbesar di Jawa Barat. Di kawasan itu mereka segera
terlibat konflik dengan orang-orang Pribumi. De Houtman kemudian meninggalkan Banten dan berlayar menuju ke
Timur menyusuri pantai utara Jawa. Akhirnya di bulan Agustus 1597, sisa-sisa ekspedisi yang hanya
3 kapal dan 89 awak kapal itu kembali ke
Belanda dengan membawa cukup banyak rempah-rempah. Pada tahun 1598, tidak
kurang dari 5 ekspedisi, jumlah seluruhnya 22 kapal meninggalkan Belanda menuju
Hindia Timur. 13 Kapal melewati Tanjung Pengharapan, 9 kapal melewati Selat
Magelen. Armada besar ini dipimpin oleh Jacob
van Neck, Van Warwick, dan Van Heemskerck. Van Neck tiba di Banten setelah 6 bulan berlayar.
Van Warwick dan Van Hemskerck kemudian menuju ke Ambon, dan singgah di Pulau
Banda. Van Warwick terus menuju ke Ternate dan kembali pulang ke negerinya di tahun 1600. Saat kembali keuntungan mereka
400%. Terjadi persaingan di antara 6 perusahan ekspedisi Belanda di masa itu untuk berkuasa. Persaingan itu
menyebabkan naiknya harga rempah-rempah dan semakin kecilnya keuntungan yang
diperoleh. Menyikapi hal itu, di tahun 1598 atas prakarsa 2 tokoh Belanda, Pangeran Maurice van
Nassau dan Johan van Olden
Barnevelt, parlemen Belanda (staten general) mengajukan usul agar perseroan/ekspedisi
yang saling bersaing itu, sebaiknya dilebur
kedalam satu badan. Butuh 4 tahun kemudian baru usul itu diwujudkan. Tahun
1601, berangkat lagi 14 ekspedisi yang berbeda melakukan pelayaran. Di tahun
1600, Inggris mendirikan EIC (the East Indian
Compagnie) atau Maskapai Hindia Timur atas dasar oktroi yang dikeluarkan
oleh Ratu Elizabeth I. Belajar dari Inggris dan setelah melewati perdebatan
panas selama 4 tahun di Parlemen, atas dasar Octroi dari UU Kerajaan Belanda
tertanggal 20 Maret 1602, berdirilah VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie). VOC semula
bernama de
Generale Nederlandsche Geortrovide Oost Indische Compagnie. Kepentingan yang saling bersaing dalam VOC itu diwakili
oleh sistim majelis (kaamer) untuk 6
wilayah di negeri Belanda. Ke-6 wilayah (sekarang adalah negara bagian/provinsi-red) adalah Amsterdam, Zeeland
(bermarkas di Middelburg), Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Setiap
majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui dan semuanya berjumlah 17 orang dan disebut Heeren XVII (tuan-tuan tujuh belas). Pendirian
VOC ini berdasar pada octroi yang dinyatakan berlaku selama 21 tahun dan bisa
diperpanjang lagi, di tahun
1622/1623 octroi ini diperpanjang lagi untuk 21 tahun kedepan. Mulai saat itu
VOC mengirim armada ke Hindia Timur dengan
kekuatan yang lebih dashyat. Selama
7 tahun, VOC dikendalikan oleh Heeren 17, di belanda. Di tahun 1609, mereka memutuskan menyerahkan kekuasaan sentral
di Asia kepada seorang Gubernur Jenderal VOC dan dewan penasehat serta menunjuk Pieter Both sebagai
Gouvernur General VOC pertama berdasarkan Resolusi Staten General bertanggal 27
November 1609 yang berkedudukan di Hindia Timur. Atas instruksi Pieter Both,
dibentuklah dewan penasehat yang disebut Raad van Indie. Kedua lembaga ini
kemudian dikenal sebagai Hogere Regering atau Pemerintahan Agung. Di masa itu (1611-1619) Hogere Regering tak punya markas tetap
di darat, mereka biasanya berkantor di atas kapal yang berlabuh di lautan antara Ternate, Ambon dan
Banten. Pieter Both mulai berkuasa sejak 19 Desember
1610 hingga 6 November 1614. Sebelum menjadi seorang Gubernur Jenderal, ia berkarir
sebagai perwira laut utama belanda antara tahun 1599 - 1601. Laki-laki
kelahiran Amersfoot di tahun
1568 itu mulanya ragu, karena merasa kurang mengenal tentang Hindia Timur,
namun akhirnya meluncur pada Januari 1610 dengan
armada 8 kapal, ia sendiri berada di kapal yang bernama Wapen van Amsterdam. 10
bulan kemudian baru ia mendarat di pelabuhan Banten, di tanggal 19 Desember 1610 dan memulai tugasnya. Di bawah komando Both, pulau Banda Naira (Maluku) akhirnya
takluk. 5 tahun sebelumnya, tepatnya 23 Februari 1605, Portugis tersingkir dari
Pulau Ambon dengan jatuhnya benteng mereka ke tangan sang petualang Steven van Der
Haghen yang kelahiran Amersfoot tahun 1563 seperti Pieter Both. Portugis
tersingkir dari ambon yang dikuasai sejak 23 Maret
1575. Tanggal ini adalah tanggal pembangunan benteng Portugis di Ambon. Awalnya
Benteng ini dibangun oleh Portugis di bawah pemerintahan Nuno
Pareira de Lacerda kapten Portugis yang berkuasa sejak Desember 1574 - 28 Desember 1575 dan
berkedudukan di ternate, batu pertama dari benteng tersebut diletakkan oleh seorang
panglima armada Portugis di Ambon, Sancho de Vasconcelos, pada
tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan
menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya.
Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada”, artinya sampai di
sini Bunda Maria dibangun. Pemberian nama tersebut
berkaitan dengan hari Kenaikan (“Anunciada”) yang bertepatan dengan peletakan
batu pertama pembangunan benteng tersebut. Setelah direbut, benteng ini
kemudian dinamakan Victoria. Van der Haghen adalah seorang petualang yang
malang melintang dalam pelayaran menaklukan daerah-daerah timur, jauh sebelum
ia bekerja di VOC, ia pernah bekerja di Spanyol dan Italia. Pengalaman
“berkeliaran” ini dijadikan “curriculum vitae” saat ia menjadi partner para
pedagang dari Hoorn (Belanda) untuk mereka bereksplorasi dalam kemungkinan
perdagangan dengan Spanyol bagian timur serta pantai barat Italia. Kawasan
Hoorn inilah yang nantinya “melahirkan” seorang bajingan Jan Pieterzoon Coen
itu. Ia juga pernah berkonflik panjang dengan VOC soal gajinya, dan atas
permintaannya kepada staten general, staten general menekan VOC agar mengakhiri
konflik ini. Di tahun
1613, dalam pelayaran terakhirnya, ia membawa Gerard Reynst, calon Gubernur Jenderal VOC
kedua yang akan menggantikan Pieter Both. Pada periode terakhir hidupnya ia
menjadi Gubernur Amboina ke-4 yang memerintah dari 1616 - 1618 menggantikan Adriaen Maartenzoon Blok (1615-1616)
dan kemudian, ia sendiri digantikan oleh Herman van Speult (1618-1625). 3 tahun
kemudian 1621, van Der Haghen meninggal dunia di Utrecht. Setelah Ambon jatuh
ketangan Belanda, Fredrik de Houtman, saudara Cornelis de Houtman ditunjuk
menjadi Gubernur Amboina (1605-1611) yang pertama, sedangkan Gubernur Malukunya
adalah Anthoni van Suylen van Nyevelt (1604-april 1605).
Juni 1607, Belanda membangun benteng pertamanya di
Ternate yang bernama benteng Malayu dan diganti namanya menjadi
benteng Oranye di tahun
1609. Saat Belanda membangun benteng pertamanya di Ternate itu, nun jauh di
negeri Belanda, tepatnya di Hoorn, JP Coen kembali dari “magangnya” di Roma
Italia. Di sana ia
magang selama 6-7 tahun dan belajar pada pedagang Flandria Belgia bernama Joost
de Visscher (Justus Pescatore). JP Coen lahir di Hoorn pada tahun 1586/1587. Ia dibaptis pada 05 Januari 1587 sebagai Putra Pieter
Janszoon. Pada umur 13 (1601), ia dikirim ke Roma seperti yang dijelaskan di atas. Tahun
1607 dia menjadi pegawai VOC dengan pangkat asisten saudagar (onderkoopman), pada 22 Desember 1607 ia berangkat ke Hindia
Timur dengan menumpang kapal “Hoorn” dan tiba
pada 08 April 1608 di pulau Banda, ia menjadi Scriba (juru tulis) dari bosnya
Pieter Willemszoon Verhoeff/Verhofen. Pengalaman buruk terjadi pada
perjalanannya yang pertama ini, saat “bos besarnya” Pieter Willemszon Verhoeff,
saudagar Jacob van Groenwegen bersama 26 orang lainnya tewas dibunuh orang
Banda saat negosiasi pembelian rempah-rempah. Rasa dendam inilah yang jadi bara
api dalam kekejian JP Coen pada orang Banda di masa depan. Ia kemudian kembali lagi pada tahun 1610. Di tahun
ini, (1608-1609) benteng Belanda di pulau Banda bernama benteng Nassau dibangun
di atas
rerentuhan benteng Portugis, benteng ini didirikan oleh admiral Pieter
Willemszoon Verhoeff/Verhofen yang merupakan “bos” JP Coen itu. Tahun 1612 dia naik
pangkat menjadi saudagar tinggi (operkoopman) dan komandan dari kapal Galiasse
saat pelayaran kedua. Pada bulan Oktober 1613 dia ditunjuk sebagai akuntan –
jenderal (boekhouder-general) yang membawahi seluruh kantor cabang VOC hingga
kantor pusat di Hindia yang berpusat di Banten dan Jayakarta, yang nantinya
bernama Batavia. Banten adalah pusat kegiatan administrasi dan pelayanan VOC di
Hindia. Antara penguasa Banten dengan VOC sebetulnya kurang baik karena pihak
keraton Banten melihat VOC sangat dominan dalam mengurus perdagangan dengan
pihak asing yang juga merupakan pelanggan dari Kerajaan Banten. Tahun 1614 JP
Coen menjabat sebagai Direktur Jenderal, jabatan tertinggi kedua setelah
Gubernur Jenderal pada masa Pieter Both yang juga teman dekatnya.
Tentang pusat
kekuatan, kala itu, Bantenlah yang menjadi pusat. Hanya saja, kondisi Banten
kemudian mengalami kekacauan sejak 1602 dan mencapai puncaknya pada 1608. Dan
karena itu, Belanda maupun Inggris mulai mendekati pangeran Jayakarta supaya
mereka diperbolehkan memindahkan kantor, gudang dan markas mereka ke negeri
Jayakarta yang lebih teratur. Negosiator Belanda itu adalah Kapten Jacques
L'Hermite, wakil perusahaan di Banten yang bertindak atas instruksi Pieter
Both, Gubernur Jenderal VOC pertama. Adapun perjanjian itu ditandatangani
secara resmi pada 18/28 Januari 1611 di Jayakarta. Perjanjian ini kemudian
diperbaharui pada 21 Oktober 1614 yang ditandatangi Gubernur Jenderal Gerard Rijnst
(Reynst), yang memasukan tambahan izin untuk membongkar rumah-rumah Tionghoa
yang terlalu dekat dengan gudang Belanda. Adapun hasil perundingan L'Hermite
dengan Pangeran Jayawikarta, putera Pangeran Tubagus Angke, adipati Jayakarta
II (1600-1620), adalah
persetujuan untuk membangun sebuah rumah kayu dan batu untuk pangkalan niaga.
Dengan membayar 1.200 ringgit (real?) orang Belanda mendapatkan tanah seluas 50
x 50 depa dekat muara di pinggir timur Ciliwung. Di tempat ini, di pinggir
kampung Cina, mereka boleh membangun apa yang dengan berbagai istilah disebut
rumah (huis), tempat berkumpul (loge) atau kantor dagang (factorij). Bangunan
yang kemudian disebut Nassau Huis (Rumah Nassau) itu dilengkapi dengan sebuah
bangunan yang lebih kecil, tak jauh dari sana, yang kemudian dikenal sebagai
Rumah Kapten Watting, saudagar yang menetap pertama. Bangunan ini berukuran
31,5 M x 11,44 M didirikan tahun 1611 oleh Abraham Theunemans. dari bahan gedek
dan batu serta selesai tahun 1613. Selain menjadi Gubernur Jenderal VOC Pieter
Both (1610-1614), ia juga menjadi Gubernur Maluku (1612-1616), jadi saat ia
meletakan jabatannya di tahun
1614, ia tetap menjadi Gubernur Maluku. Belum selesai mengakhiri jabatannya
sebagai Gubernur Maluku, ia pulang ke Belanda dan tewas tenggelam bersama 4
kapal yang mengiringinya di kepulauan Mauritius, atas jasanya Belanda membangun
dataran tinggi bernama Pieter Bothberg
di Mauritius. Sang penggantinya adalah Gerard Reynst yang datang bersama istrinya
Margaretha Niquet bersama 9 armada di bawah
komando van Der Haghen pada 2 juni 1613. Gubernur Jenderal
Gerard Reynst, lahir di Amsterdam (1568). Sebagai seorang saudagar dia ikut
mendirikan dan duduk di dewan direksi Nieuwe Brabantsche Compagnie, sebuah
perusahaan kongsi yang berfusi dengan Verenighde Compagnie van Amsterdam
(1600), yang selanjutnya menjadi Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada
20 Maret 1602. Reynst menyetor modal sebesar 12.000 gulden, namun masih
meneken modal disetor atas nama tiga pihak lainnya. Atas permintaan sesama
anggota De Heren XVII (Tuan-tuan 17), organ tertinggi VOC, dia akhirnya
bersedia menjadi Gubernur Jenderal
(1613). Ia ditunjuk oleh Heeren 17 pada tanggal 20 Februari 1613, dan butuh 1,5
tahun dalam perjalanan, barulah ia sampai di Hindia Timur. Selama bertugas ia
digaji 700 gulden/bulan dan 1000 gulden/tahun. Tak lama berkuasa, ia
meninggal tanggal 07 Desember
1615, 4 tahun kemudian istrinya juga tutup usia dan dimakamkan di Batavia. Gubernur
Jenderal
ketiga yaitu Laurens Reae (19 juni 1616-21 maret 1619), yang mengawali tradisi
dalam merekomendasikan Direktur Jenderal perdagangan sebagai pengganti Gubernur
Jenderal yang telah habis masa tugasnya. Tradisi ini sangat jarang diintervensi
oleh para direktur VOC. Ia dilahirkan pada 1583 dan meninggal pada tahun 1637. Selain
menduduki posnya sebagai Gubernur
Jenderal
VOC, orang ini pun menjadi Gubernur Maluku (1616-1621) menggantikan Pieter
Both. Ia kemudian digantikan oleh Frederik de Houtman (1621–1623) yang beberapa
tahun sebelumnya menjadi Gubernur Amboina (1605-1611).
Waktu terus
berputar, dan tibalah pada cerita seorang bajingan yang jadi “cetak biru”
sebuah kekuasaan dan rasa tamak seorang manusia. Dialah JP. Coen sang Gubernur Jenderal VOC ke-4. Ia
menjabat
selama 2 kali, pada pemerintahan yang pertama tercatat dari tanggal 30 April
1618 hingga 1 Februari 1623. Sebenarnya saat kembali ke Belanda dari kunjungan
kedua ke Hinda di tahun 1610 itu, ia “nongkrong” di Belanda sampai ditunjuk
oleh Heeren 17 pada 25 Oktober 1617. JP Coen menerima penunjukan itu pada 30
April 1618. Ia bertolak ke Hindia Timur dan secara “resmi” menduduki jabatannya
pada 21 Maret 1619. Hal ini disebabkan pada masa itu, perjalanan ke Hindia
Timur memakan waktu cukup lama antara 10 bulan - 1,5 tahun karena belum
dibukanya terusan Zues. Di
tangan Jan Pieterszoon Coen, Nassau Huis ditingkatkan kualitasnya dan bahkan ia
juga membangun gedung kembarannya, Mauritius Huis. Antara kedua
gedung ini kemudian dibangun sebuah tembok batu, dan di atas tembok ini
dideretkan beberapa buah meriam. Coen, juga memperbesar regu penjagaannya yang
terdiri dari 25 orang menjadi 50 orang yang dipersenjatai secara kuat dengan
senapan musket dan arquebuses. Bangunan-bangunan ini kemudian menjadi serupa
benteng segi empat di tangan Piere de Carpentier, yang menjabat Gubernur
Jenderal selama Coen bepergian ke Maluku mencari bantuan. Dinding-dindingnya,
setinggi 6 - 7,5
meter, terbujur 150 meter sepanjang pinggir sungai dan sama panjangnya membujur
ke pedalaman. Dinding-dinding ini berhadapan dengan tembok batu, sama halnya
dengan tanggul-tanggul tanah liat yang letaknya agak kejauhan, yang kemudian
akan menjadi dinding-dinding kota dengan di dalamnya dikenal sebagai Kasteel Jacatra (Kastil
Jakarta). Apa yang dilakukan Coen ini, makin mempertajam persaingannya dengan
Inggris dan juga Jayakarta. Persaingan ini mencapai puncaknya pada Desember
1618. Dan, Pieter van den Broecke, komandan benteng Belanda pun ditangkap
tentara Pangeran Jayawikarta yang kala itu dibantu armada Inggris pimpinan Sir
Thomas Dale. Namun, pada bulan Februari 1619 Sultan Banten (Pangeran
Rananenggala) yang adalah atasan Pangeran Jayawikarta menggeser (memecat)
penguasa Jayakarta dan mengasingkannya ke Tanara (Citanara). Tentu saja, orang
Belanda merasa lega dan berusaha mengeratkan hubungan (sementara) dengan
Banten. Garnisun benteng, yang terdiri dari orang Belanda dan sewaan Jepang,
Jerman, Perancis, Skotia, Denmark dan Belgia merayakan perubahan situasi ini
dengan pesta meriah. Mereka pun kemudian menamai benteng ini dengan Batavia (12 maret 1619), untuk mengenang suku bangsa Germania, yang disebut C.J. Caesar,
dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM), yaitu suku bangsa Batavir yang menghuni
daerah di sekitar mulut Sungai Rhein. Suku Batavir, dianggap leluhur orang
Belanda. Dari benteng di tepi timur Ciliwung itu, tentara Belanda di bawah JP
Coen menyerang dan menghancurkan kota serta kraton Jayakarta, pada 30 Mei 1619.
Sejak itu pula, Belanda praktis menguasai bandar Jayakarta. Dan kemudian, VOC
mendirikan Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta, yang tidak lagi ada rajanya
kecuali Coen).
Adapun nama Batavia untuk kasteel dan kota baru disahkan pada
1620, untuk kemudian dikukuhkanlah sebuah pemerintahan (Stad) Batavia pada 04
Maret 1621 Setelah memberikan nama Batavia, mereka pun membangun Kasteel baru
yang berbentuk persegi empat dengan empat benteng (Bastion) menjulang berbentuk
tajam yang diberi nama Parel, Diamant, Saphir, dan Robijn. 11 Oktober 1619 ia
menunjuk Souw Ben Coen/Beng Kong (Bencon – dalam pengucapan orang Belanda)
sebagai kapiten China pertama. Saat inilah dimulai sebuah hubungan simbiosis
mutualisme dalam pembangunan kota Batavia. Semua project pembangunan selalu
dipegang oleh “para kontraktor” bangsa kuning itu. 2 tahun memerintah, 10
Maret 1621 ia melakukan pembantaian
besar-besaran terhadap orang-orang Banda. Dari Batavia, dia
membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut
perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa
(150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun
di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu
ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang
Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 - 100 pedagang
Jepang; beberapa di antaranya
adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal
kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam
penjajahan di Indonesia. Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat
dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas,
ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari
tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang
tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera
dilaksanakan.
Mengenai
pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 08 Mei 1621, Letnan
(Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain :
“… Keempat puluh empat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian. Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat.
Eksekusi ini sangat
mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali
satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak
mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya. Kejadian
yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian
tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan
dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang
benar. Kita
semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan
melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera
dengan hal ini...”
Laporan ini
dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De
Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de
Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II
(1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun
cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan
salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert
tersebut.
Para pengikut
tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke
Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang
dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240
anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara
mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit. Mereka
inilah yang menjadi “cikal bakal” munculnya penduduk Jakarta, di samping
orang china, dan para budak yang diambil dari seluruh pos-pos dagang belanda di
Asia.
Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk
menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun
setelah pembantaian rakyat Banda, dimana para pedagang Inggris juga dibantai
oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam
oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, di Benteng Victoria
Ambon, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van
der Post) :
“The Admiral’s Baby”, John Murray,
London, 1996):
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”
Inggris pun membalas dengan merampok kapal Belanda
de swarte leeuw yang penuh muatan. Terjadi pertempuran besar-besaran, dan
sejarah mencatat JP Coenlah yang jadi pemenang. Saat peristiwa ini, yang menjadi Gubernur
Maluku adalah Frederik de Houtman (1621-1623) sedangkan gubernur Amboina adalah
Herman van Speults (1618-1625) yang sebelumnya menggantikan Steven van Der
Haghen (1616-1618). Peristiwa biadab ini terjadi pada masa pemerintahan Pieter
van de Carpentier. JP Coen menyerahkan tongkat kekuasaannya kepada Gubernur Jenderal VOC ke-5
Pieter de Carpentier (01 februari 1623-30 september 1627) dan kembali ke
Belanda. Laki-laki ini adalah kelahiran Antwerpen (Belgia sekarang - masa itu masih
jadi wilayah Belanda) tahun 1586 dan meninggal pada 1659. Ia ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal VOC oleh Heeren 17
pada tanggal 8 September
1622. Di masa
pemerintahannya, terjadi Ambonese Moord yang menjadi kasus internasional dan diberlakukannya
lagi Hongi Tochten Stelsel yang sebelumnya telah dibekukan oleh Gubernur Jenderal VOC Laurens Real. Peristiwa
pemberlakuan “Hongi
Tochten” ini menjadi alasan
terjadinya perang Alaka II (1625-1637) di pulau Haruku. 4 tahun berkuasa, ia
kembali menyerahkan posisinya kepada JP Coen yang 3 tahun sebelumnya telah
ditunjuk kembali oleh Heeren 17 pada 3 Oktober 1624. Butuh 3 tahun barulah JP
Coen menerima tugas ini dan kembali ke “daerah pembantaiannya”. Ia meluncur dan
secara resmi menduduki jabatan Gubernur Jenderal VOC ke-6 pada 30 September 1627 - 21 September 1629. Di masa pemerintahan
kedua inilah ia bertempur hebat dengan Mataram di bawah komando rajanya
Sultan Agung. 21
September 1629, ia
meninggal dunia secara tiba-tiba setelah 4 hari sebelumnya, istrinya Eva Ment
bersama anaknya meninggal. Ada 2 versi tentang kematian mendadaknya, ada yang
berpendapat ia meninggal karena penyakit kolera, sedangkan yang lain
berpendapat ia meninggal karena “konspirasi” tingkat tinggi dalam permainan spionase
Mataram di bawah
anggota intel bernama Nyi Utari Sandijayaningsih yang meracuninya lewat
arsenikum dalam minuman. Beberapa tahun sebelumnya, terjadi sebuah skandal sex
yang jadi cikal bakal munculnya istilah “si hidung belang”. Skandal sex yang
melibatkan Sarah
Specx, JP Coen sebagai “papa piara dan ana piara” dan pacar Sarah, Pieter
Cortenhoeff. Sarah
Specx adalah anak
haram direktur VOC di Jepang (hirado) yaitu Jacques Specx dengan wanita jepang
saat ia bertugas di sana
(20 september 1609-28 agustus
1612). Nantinya, orang inilah yang akan menggantikan JP Coen menjadi Gubernur Jenderal meski Heeren 17
tak menyetujuinya. Jacques Specx berkuasa sejak 25 September 1629 - 27 September 1632,
sementara di Maluku yang berkuasa adalah, Gijsbert
van Lodestein (1629-1633)
sebagai Gubernur
Maluku dan Gubernur
Amboina adalah Philip Lucaszoon (1628-163)
yang menggantikan Jan van Gorcum (1628-1631) yang menggantikan Herman van Speults
yang terkenal dalam pembantaian orang inggris di benteng victoria (ambonese
moord).
Ambonese Moord yang terjadi pada 1623, membuat hubungan “bilateral” inggris - belanda memburuk cukup lama dan salah satunya membuat inggris “patah hati” dalam merebut Hindia Timur dan beralih pada hindia muka yaitu India. Seperti sebelumnya diceritakan, penunjukan Jacques Specx sebagai Gubernur Jenderal tidak mendapat restu dari Heeren 17. Hal ini disebabkan karena ia memaksa Raad van indie untuk mengangkat dirinya sebagai Gubernur Jenderal tanpa persetujuan Heeren 17. Saat itu ia baru tiba di Hindia Timur 4 hari setelah meninggalnya JP Coen secara tiba-tiba. Ia ditugaskan oleh Heeren 17 menjadi konsul pertama untuk Hindia. Pengangkatan dirinya menjadi Gubernur Jenderal VOC di tengah kepungan pasukan Mataram kedua kalinya sejak Agustus 1629. Pengepungan itu berakhir pada 1 November 1629. Sebenarnya “calon tunggal” pengganti JP Coen adalah Pieter van Carpentier yang telah kembali ke Belanda saat menyerahkan posisinya kepada JP Coen untuk periode kedua itu. Namun Carpentier menolak tawaran ini. Kasus Sarah Specx juga menjadi alasan Heeren 17 tidak menyetujui Specx menjadi Gubernur Jenderal. Namun Specx tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan tugasnya. Saat ia bertugas, ia melarang para anggota makhamah/dewan keadilan (Raad van Justicie) untuk mengikuti sakramen perjamuan kudus di gereja. Ini dilakukan untuk membalas dendam pada mereka yang telah menjatuhkan hukuman buat anaknya dalam skandal sex yang melibatkan JP Coen. 3 tahun berkuasa ia menyerahkan kekuasaan kepada Hendrik Brouwer karena dipaksa pulang oleh Heeren 17. Sekali lagi Carpentier ditawari namun tetap menolak posisi ini. Posisi ini kemudian jatuh ke tangan Hendrik Brouwer. Laki-laki kelahiran 1581 ini adalah penjelajah maritim. Pada usia 25 tahun (1606) ia memulai petualangannya ke Hindia Timur namun tak lama ia balik lagi. Pada 10 april ia kembali ke Hindia Timur dengan 3 armada. Pada pelayaran ini tercipta sejarah baru dalam dunia maritim saat itu hingga sekarang. Ia menemukan jalur baru semacam “jalan tol” yang memperpendek jalur pelayaran dari Belanda ke Hindia Timur. Selama itu, setiap pelayaran selalu menggunakan jalur Portugis, namun ia merubahnya. Penemuan itu terjadi pada 1611, 2 tahun kemudian 1613 Portugis pun mengakuinya dan menggunakan jalur ini. Jalan tol ini disebut Roaring Forties 2 yang memotong langsung menuju kepulauan Beacon (Australia) dari kepulauan Mauritius di Afrika Selatan. Ia tidak lama di Hindia Timur karena tak cocok dengan Pieter Both yang saat itu berkuasa. 1612 ia ditawari menjadi kepala perdagangan di Jepang (Hirado) menggantikan Jacques Specx, namun ia tak lama menduduki posisi ini (28 agustus 1612-06 agustus 1614) karena dipanggil pulang untuk menduduki pimpinan Heeren 17. Ia menjabat selama 15 tahun. Posisinya di Jepang digantikan oleh Jacques Specx untuk kedua kalinya pada 06 Agustus 1614 - 29 Oktober 1621. Tahun 1632 ia ditugaskan sebagai utusan ke London untuk mengakhiri pertikaian Inggris Belanda akibat kasus Ambonese Moord 10 tahun sebelumnya. Tugas ini pernah dipikul oleh Carpentier di tahun 1629. 18 April 1632, ia menumpang kapal Zutphen menuju Hindia Timur untuk menerima penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal VOC setelah Carpentier menolak untuk kedua kalinya. Ia berkuasa sejak 27 September 1632 - 01 Januari 1636. Pada masa pemerintahannya terjadi penangkapan Kapitan Kakiali di Hitu Maluku karena ketangkap basah berdagang rempah-rempah dengan kerajaan Gowa. Ia digantikan oleh Antonio van Diemen yang memerintah sejak 01 Januari 1636 - 19 April 1645. 5 januari 1636, de Brouwer kembali ke Belanda menumpang kapal Amsterdam, ia menolak ketika ditawari untuk menjadi pimpinan Heeren 17, tahun 1642, ia ditugaskan untuk menciptakan “kembaran” VOC di Hindia Barat (Benua Amerika) yaitu WOC. Jika VOC berpusat di Batavia, maka WOC berpusat di Valdivia (peru). Itu adalah jasa Hendrik Brouwer pada Belanda. Anthonio van Diemen adalah laki-laki kelahiran Culemborg Belanda pada 1593, anak dari Bartholemeus van Diemen dan Elizabeth Hovenaar. Awalnya ia adalah pedagang namun usahanya bangkrut pada 1618. Pada tahun itu ia berkenalan dengan Thonis Meeusz yang adalah pegawai VOC. Ia diajak bergabung dan mereka berdua pergi ke Hindia Timur menumpang kapal Mauritius dan mendarat di Banten pada 22 Agustus 1618. Pada 1619 ia ditunjuk menjadi clerk/scriba juru tulis oleh JP Coen di kantor VOC Batavia. 1623 pangkatnya naik menjadi Opperkopman (saudagar senior), 1626 menjadi anggota Raad van Indie dan 1629 menjadi Direktur Perdagangan, orang nomor 2 di bawah Gubernur Jenderal VOC alias “VOC 2”. 1633 ia ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal, dan secara resmi menduduki jabatan itu pada 01 Januari 1636. Pada masa pemerintahannya Kapitan Kakiali dibebaskan dari penjara Batavia (1637). Sementara itu nun jauh di Maluku terjadi perubahan kepimpinan dalam jabatan Gubernur Maluku dan Amboina, Gubernur Maluku saat itu dipegang oleh Jan van Broekom (1635-1640) sedang Gubernur Amboina dijabat oleh Joachim Roelofszoon van Deutekom (1635-1637). 1638 Kakiali kembali memberontak dan coba dihancurkan namun gagal total.
Ambonese Moord yang terjadi pada 1623, membuat hubungan “bilateral” inggris - belanda memburuk cukup lama dan salah satunya membuat inggris “patah hati” dalam merebut Hindia Timur dan beralih pada hindia muka yaitu India. Seperti sebelumnya diceritakan, penunjukan Jacques Specx sebagai Gubernur Jenderal tidak mendapat restu dari Heeren 17. Hal ini disebabkan karena ia memaksa Raad van indie untuk mengangkat dirinya sebagai Gubernur Jenderal tanpa persetujuan Heeren 17. Saat itu ia baru tiba di Hindia Timur 4 hari setelah meninggalnya JP Coen secara tiba-tiba. Ia ditugaskan oleh Heeren 17 menjadi konsul pertama untuk Hindia. Pengangkatan dirinya menjadi Gubernur Jenderal VOC di tengah kepungan pasukan Mataram kedua kalinya sejak Agustus 1629. Pengepungan itu berakhir pada 1 November 1629. Sebenarnya “calon tunggal” pengganti JP Coen adalah Pieter van Carpentier yang telah kembali ke Belanda saat menyerahkan posisinya kepada JP Coen untuk periode kedua itu. Namun Carpentier menolak tawaran ini. Kasus Sarah Specx juga menjadi alasan Heeren 17 tidak menyetujui Specx menjadi Gubernur Jenderal. Namun Specx tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan tugasnya. Saat ia bertugas, ia melarang para anggota makhamah/dewan keadilan (Raad van Justicie) untuk mengikuti sakramen perjamuan kudus di gereja. Ini dilakukan untuk membalas dendam pada mereka yang telah menjatuhkan hukuman buat anaknya dalam skandal sex yang melibatkan JP Coen. 3 tahun berkuasa ia menyerahkan kekuasaan kepada Hendrik Brouwer karena dipaksa pulang oleh Heeren 17. Sekali lagi Carpentier ditawari namun tetap menolak posisi ini. Posisi ini kemudian jatuh ke tangan Hendrik Brouwer. Laki-laki kelahiran 1581 ini adalah penjelajah maritim. Pada usia 25 tahun (1606) ia memulai petualangannya ke Hindia Timur namun tak lama ia balik lagi. Pada 10 april ia kembali ke Hindia Timur dengan 3 armada. Pada pelayaran ini tercipta sejarah baru dalam dunia maritim saat itu hingga sekarang. Ia menemukan jalur baru semacam “jalan tol” yang memperpendek jalur pelayaran dari Belanda ke Hindia Timur. Selama itu, setiap pelayaran selalu menggunakan jalur Portugis, namun ia merubahnya. Penemuan itu terjadi pada 1611, 2 tahun kemudian 1613 Portugis pun mengakuinya dan menggunakan jalur ini. Jalan tol ini disebut Roaring Forties 2 yang memotong langsung menuju kepulauan Beacon (Australia) dari kepulauan Mauritius di Afrika Selatan. Ia tidak lama di Hindia Timur karena tak cocok dengan Pieter Both yang saat itu berkuasa. 1612 ia ditawari menjadi kepala perdagangan di Jepang (Hirado) menggantikan Jacques Specx, namun ia tak lama menduduki posisi ini (28 agustus 1612-06 agustus 1614) karena dipanggil pulang untuk menduduki pimpinan Heeren 17. Ia menjabat selama 15 tahun. Posisinya di Jepang digantikan oleh Jacques Specx untuk kedua kalinya pada 06 Agustus 1614 - 29 Oktober 1621. Tahun 1632 ia ditugaskan sebagai utusan ke London untuk mengakhiri pertikaian Inggris Belanda akibat kasus Ambonese Moord 10 tahun sebelumnya. Tugas ini pernah dipikul oleh Carpentier di tahun 1629. 18 April 1632, ia menumpang kapal Zutphen menuju Hindia Timur untuk menerima penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal VOC setelah Carpentier menolak untuk kedua kalinya. Ia berkuasa sejak 27 September 1632 - 01 Januari 1636. Pada masa pemerintahannya terjadi penangkapan Kapitan Kakiali di Hitu Maluku karena ketangkap basah berdagang rempah-rempah dengan kerajaan Gowa. Ia digantikan oleh Antonio van Diemen yang memerintah sejak 01 Januari 1636 - 19 April 1645. 5 januari 1636, de Brouwer kembali ke Belanda menumpang kapal Amsterdam, ia menolak ketika ditawari untuk menjadi pimpinan Heeren 17, tahun 1642, ia ditugaskan untuk menciptakan “kembaran” VOC di Hindia Barat (Benua Amerika) yaitu WOC. Jika VOC berpusat di Batavia, maka WOC berpusat di Valdivia (peru). Itu adalah jasa Hendrik Brouwer pada Belanda. Anthonio van Diemen adalah laki-laki kelahiran Culemborg Belanda pada 1593, anak dari Bartholemeus van Diemen dan Elizabeth Hovenaar. Awalnya ia adalah pedagang namun usahanya bangkrut pada 1618. Pada tahun itu ia berkenalan dengan Thonis Meeusz yang adalah pegawai VOC. Ia diajak bergabung dan mereka berdua pergi ke Hindia Timur menumpang kapal Mauritius dan mendarat di Banten pada 22 Agustus 1618. Pada 1619 ia ditunjuk menjadi clerk/scriba juru tulis oleh JP Coen di kantor VOC Batavia. 1623 pangkatnya naik menjadi Opperkopman (saudagar senior), 1626 menjadi anggota Raad van Indie dan 1629 menjadi Direktur Perdagangan, orang nomor 2 di bawah Gubernur Jenderal VOC alias “VOC 2”. 1633 ia ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal, dan secara resmi menduduki jabatan itu pada 01 Januari 1636. Pada masa pemerintahannya Kapitan Kakiali dibebaskan dari penjara Batavia (1637). Sementara itu nun jauh di Maluku terjadi perubahan kepimpinan dalam jabatan Gubernur Maluku dan Amboina, Gubernur Maluku saat itu dipegang oleh Jan van Broekom (1635-1640) sedang Gubernur Amboina dijabat oleh Joachim Roelofszoon van Deutekom (1635-1637). 1638 Kakiali kembali memberontak dan coba dihancurkan namun gagal total.
Pada masa kepimpinannya di tahun 1641,
markas VOC di Jepang (Hirado) dipindahkan ke Deshima. Di tahun itu juga, Belanda
merebut Malaka yang selama 1 abad lebih dikuasai oleh Portugis sejak 1511. Di masa kepimpinannya pula
muncul “Bataviasche Statuta” yang mengatur gaya hidup kalangan jetset para
pejabat VOC Batavia. Khususnya istri dan anak-anak perempuan kaum elite. Perubahan
gaya hidup inilah yang nantinya akan menjadi kebudayaan indies, sebuah kebudayaan
hasil asimilasi kebudayaan Belanda dan Indonesia yang sangat terkenal itu. 1
minggu menjelang kematiannya, ia menyerahkan tongkat kekuasannya pada Cornelis
van de Lijn pada 12 April
1645. Ia meninggal pada 19 April
1645 dan dimakamkan di Batavia. Penunjukan van de Lijn menimbulkan kontraversi
karena ditunjuk secara diam-diam tanpa sepengetahuan Heeren 17, namun mengingat
jasa-jasanya yang besar, Heeren 17 “merelakan” dan merestui van de Lijn menjadi
Gubernur
Jenderal.
Ia menikah dengan Maria van Aelts. Salah satu baluwarti (benteng) di Batavia
menggunakan nama kampung halamannya atau “tampa putus pusa” Culemborgh. Prestasi
lainnya adalah saat memerintah ia menyelesaikan kanal Molenvliet yang terkenal
itu. Kanal ini idenya sudah dimulai pada masa pemerintahan JP Coen.
Sang pengganti, Conelis Janszoon van der
Lijn adalah kelahiran Alkmaar 1608. Tahun 1630, ia menikah dengan Levina Polet dan
1632 - 1636 menjadi kepala akuntan di Batavia, 1640 ia menjadi Direktur Jenderal
Perdagangan di bawah
Gubernur
Jenderal
Antonio van Diemen. Menjelang diangkat, ia adalah anggota Raad van Indie, meski
telah ditunjuk sejak 12 April
1645, ia baru direstui menjadi Gubernur
Jenderal
VOC oleh Heeren 17 pada 16 Oktober 1646, namun ia secara “resmi” menduduki
jabatannya pada 19 April
1645 - 26
April
1650. Beberapa bulan kemudian, tepatnya di bulan November 1645, di pos malaka,
terjadi perubahan kepimpinan, sang laki-laki “misterius” Arnold de Vlaming van Oudshoorn menjadi Gubernur Malaka. Ia hanya
berkuasa selama 1 tahun saja, dari 06 November 1645 - 24 November 1646 menggantikan gubernur sebelumnya Jeremias
van Vliet (15 desember
1642-06
november
1645). Sementara itu di Maluku, Gubernurnya adalah Wouter Seroijen (1642-1648)
dan Gubernur
Amboina adalah Gerard Demmer (1642-1647). Arnold de Vlaming van Oudshoorn menjadi popular
saat berhasil dalam negosiasi penagihan hutang permata dengan Sultan (Sultana/Ratu) Atjeh Sri
Ratu Tajul Alam Safiatudin (memerintah dari 1641-1675).
Karena keberhasilan ini, ia dipromosikan menjadi Gubernur Malaka (06 november 1645-24 november 1646). Ia
“ditarik” oleh Gubernur Jenderal VOC menjadi Gubernur
Amboina dan menjabat pada 1647 - 1651 pada periode pertama. Ia menjadi Gubernur Amboina sebanyak 2
kali. Pada periode pertama ia menggantikan Gerad Demmer, ia sendiri digantikan
oleh Willem Veerbek (1651-1654) dan kembali menduduki posisinya pada periode
kedua pada 1654-1656. Ia pun digantikan oleh Jacob Hustaart (1656-1662). Setelah
tak menduduki pos penting lagi, ia seperti “menghilang” dalam catatan sejarah. Pada
masa Gubernur Jenderal VOC Van der Lijn
inilah, kapitan Kakiali dari Hitu Maluku dibunuh. 26 April 1650 ia menyerahkan
jabatannya kepada Carel Reyners yang memerintah sejak 26 April 1650 - 19 Mei 1653 dan kembali
pulang ke Belanda pada 1651. Pada 1668 ia menjabat walikota Alkmaar dan meninggal
pada 27 Juli 1679.
Sang pengganti, Carel Reyners adalah
kelahiran Amsterdam pada tahun 1604 (sumber lain mengatakan pada 1602) dan
meninggal di Batavia pada 19 Mei 1653 dalam usia yang cukup muda yaitu 49 tahun.
Orang
ini berasal dari daerah selatan Belanda dan berayahkan Dirck
Reyniersz serta beribukan Suzanna de Beaulteu. Ia bergabung dengan
VOC dalam usia muda, pada 1627 dengan pangkat opperkopman dan pergi ke
Koromandel (pos VOC di india). Pada 1636 ia menjadi Gubernur Pantai
Coromandel hingga tahun 1638. Pada 1639 ia diberhentikan karena diduga terlibat
dalam penggelapan dan akhirnya ke Hindia Timur, di situ, ia menjadi anggota
konsul kehormatan di Batavia. Ia sempat pulang ke Belanda dan balik lagi pada 26
April
1645, dengan menumpang kapal salamander dan merapat pada 03 desember 1645, tahun
1646 ia kembali menjadi anggota konsul kehormatan. Pada saat menjadi anggota
konsul ini, ia mengusulkan pembatasan kuota cengkih di Maluku. pembatasan itu
dengan cara pembakaran dan penebangan pohon cengkih pada usia produktif. Ia
juga meminta kebijakan ini dilakukan secara tegas termasuk menumpas
pemberontakan yang terjadi di Seram Barat. Saat itu penduduk Seram Barat melakukan
pemberontakan karena tak mau kebun cengkihnya dibakar dan ditebang.
Pemberontakan ini sangat lama dan baru bisa ditumpas pada 1658. Ia menjadi Gubernur Jenderal sejak 26 April 1650
hingga 19 Mei 1653 saat kematiannya. Pada masa pemerintahannya, sejumlah besar
kebun cengkih di Pulau Buru dihancurkan. Sebenarnya pada awal tahun 1653,
Heeren 17 telah mengeluarkan surat keputusan memberhentikan dirinya dengan
alasan tidak cakap dalam memimpin, namun ia terlebih dulu mengajukan
pengunduran diri. Heeren 17 setuju dengan surat pengunduran dirinya, namun
surat keputusan itu tak jadi dikirim karena Carel Reyners keburu meninggal
secara mendadak pada tanggal yang sudah disebutkan di atas. Ia digantikan
oleh Direktur Jenderal
perdagangan pada masa pemerintahannya, yaitu Joan Maetsuycker.
Orang ini adalah Gubernur Jenderal VOC yang paling lama
berkuasa, selama 25 tahun alias seperempat abad lamanya terhitung sejak 19 Mei
1653 hingga 04
Januari
1678. Pada masa berkuasanya terjadi 2 peristiwa besar yaitu perang Bone-Gowa
Tallo serta pemberontakan Trunojoyo. Dalam kedua peristiwa inilah muncul tokoh
“antagonis” dalam sejarah Indonesia yaitu Arung Palaka dan Kapitan Jonker. Joan
Maetsuycker
adalah kelahiran Amsterdam pada 14 Oktober
1606 dan dibesarkan dalam lingkungan Katholik Roma. Ia juga satu-satunya Gubernur Jenderal VOC yang beragama Katholik berbeda dengan
yang lain yang beragama Protestan. Orang ini adalah lulusan sarjana hukum di Leuven dan menjadi
pengacara di Den Haag (the hague). Pada 1635 ia bergabung dengan VOC dan
ditugaskan ke Hindia Timur. 02 mei 1635 ia menumpang kapal Prins Willem dan
bertolak dari Belanda, pada 26 september 1636 ia sampai di Batavia. Di Batavia ia
menjabat sebagai kepala rumah tangga Raad van Justicie/dewan keadilan. Di tahun
yang sama ia juga diangkat sebagai presiden komite yatim piatu (college van
weesmeesters). Komite ini telah didirikan pada 1624, 12 tahun sebelumnya. Karirnya
terus menanjak, pada tahun 1640 ia menjadi ketua Raad van Justicie yang telah
didirikan pada 1620. Tahun berikutnya (13 agustus 1641) ia diangkat menjadi
anggota kehormatan konsul. Saat menjadi anggota konsul inilah, ia bersama Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen
“merancang” apa yang disebut Bataviasche Statuta. Peraturan ini mulai berlaku
pada 05
Juli
1642. Karena keberhasilannya dalam tugas
berat di Srilangka,
ia kemudian diangkat menjadi Gubernur
Ceylon pada 24 Maret
1646 - 26
Februari 1650. Sehabis
menjalani tugasnya, ia ditarik pulang untuk menjadi ketua Raad van Indie
sekaligus Direktur Jenderal perdagangan seperti disinggung di atas. Saat memimpin VOC
ia memiliki ambisi besar untuk memperluas wilayah VOC di Hindia Timur. Ambisi
ini didukung oleh kompatriotnya yang setia, bisa dipercaya dan sangat tangguh yaitu
Rijckloff van Goens dan Cornelis Speelman. Kedua orang inilah yang nantinya
akan menjadi Gubernur Jenderal VOC berikutnya
atau berturut-turut. Orang pertama menggantikan Maestsuycker, sedangkan
orang kedua menggantikan van Goens. Pada masa di awal kekuasaannya ia melakukan
pengusiran besar-besaran kepada penduduk di Ambon dan pembakaran kebun cengkih
di Hoamoal (seram barat). Setahun berikutnya giliran penduduk pulau Buru juga
diusir.
Peristiwa ini dikomandani oleh Gubernur Amboina yaitu Arnold de Vlaming van Oudshoorn (periode
jabatan kedua). Tujuan dari strategi ini adalah mengincar kerajaan Gowa Tallo
yang selama itu, tak mau berhubungan dengan VOC tapi dengan Portugis yang juga
saingan berat VOC pada masa itu. Pada 1663 atas perintah Maetsuycker,
triumvirat alias koalisi 3 raksasa di masa itu, Admiral Cornelis Speelman,
Arung Palaka dan Kapitan Jonker, akhirnya Gowa ditaklukkan, Sultan Hasanudin
menyerah dan menandatangani perjanjian Bongaya (18 november 1668). Perang ini
berlangsung selama 7 tahun dan berakhir
dengan meninggalnya Sultan Hasanudin pada 1670. 2 tahun berikutnya, nun jauh di
kampung halamannya, Perancis di bawah komando Louis XIV menginvasi
belanda, belanda lumpuh total namun VOC tetap berjaya. Di masa Maetsuycker inilah, keuntungan
yang didapatkan VOC sangat besar bahkan pada tahun 1670, keuntungan yang
diterima VOC adalah sebesar 15 juta guilden, dan para pemegang sahamnya
menerima deviden lebih tinggi 60% dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Joan
Maetsuyker tetap menjadi Gubernur Jenderal hingga akhir hayatnya, Heeren XVII
tidak ada niat untuk mengganti posisinya dengan orang lain, mengingat prestasi
yang diukir oleh Maetsuyker. Maetsuyker sendiri meninggal dunia di Batavia pada
tanggal 04 Januari 1678 dan dimakamkan di Netherlandsche Kerk (Batavia),
penggantinya adalah teman setianya Rijckloff van Goens yang juga Direktur
Jenderal Perdagangan. Di akhir masa jabatannya ini (1676), jauh dari Batavia,
tepatnya di jantung uliaser, diketahui Arnold de Vlaming van Oudshoorn mulai
membangun sebuah benteng di pulau Saparua, di atas batu karang di
negeri Saparua. Benteng inilah yang akan diberi nama benteng Duurstede dan
menjadi ladang pembantaian penuh darah pada masa perang Pattimura di awal abad
19 (1817). Pada masa berkuasanya Maetsuycker, terjadi tsunami tertua dan
pertama yang tercatat secara mendetail yaitu tsunami di Maluku pada
tahun 1674 (14 februari).
Rijckloff van Goens menggantikan Joan
Maetsuycker sejak 04
Januari 1678 - 25 November 1681. Ia adalah kelahiran
kleve jerman pada 24 Juni
1619 dan meninggal di Den Haag pada 14 November 1682. Pada saat ia berkuasa,
yang menjadi Gubernur
Maluku adalah Robertus Padtbrugge
(1677-1682), Sedangkan gubernur Amboina adalah Robert de Viqc
(1678-1682) yang nantinya akan digantikan oleh Robertus Padtbrugge (1682-1684)
pada masa Gubernur
Jenderal VOC Cornelis
Speelman. Sebelum menjadi Gubernur Jenderal, van Goens pernah
3 kali menjadi Gubernur
Ceylon yang bermarkas di Galle sejak tahun 1656. Periode pertama yaitu sejak 12
Mei 1660 - 1661, periode kedua
pada 1663 - 27
Desember 1663, dan
periode ketiga pada 19 November
1664 - 1675. Pada periode
ketiga ini ia menggantikan Jacob Hustaart (27 desember 1663-19 november
1664) yang sebelumnya pernah menjadi Gubernur Maluku pada 1653-1656 dan Gubernur Amboina
(1656-1662). Sebelum menjadi Gub Jenderal, Van Goens adalah Direktur Jenderal
Perdagangan di bawah
Gub Jen Maetsuycker. Saat ia menjadi Gubernur Jenderal, posisinya digantikan oleh Cornelis
Speelman.
Cornelis Speelman menggantikan Rijckloff van
Goens sejak 25 November
1681 - 11 Januari 1684. Nama
lengkapnya adalah Cornelis
Janszoon Speelman kelahiran Rotterdam
3 Maret 1628 dan meninggal di Batavia pada 11 Januari 1684. Karirnya dimulai
sebagai sekretaris Kedutaan Belanda di Persia
dalam tahun 1651 - 1652. Beberapa tahun
kemudian karirnya menanjak dengan menjadi Gubernur
VOC Pantai Coromandel India (12 Juni
1663-1665). Ia adalah mentor
sekaligus “godfather” bagi Jouncker de jouwa van Manipa alias Kapitan Jonker
yang tetap jadi legenda dan mitos bagi anak-anak muda Maluku dewasa ini. Dalam
tahun 1676, ia menjadi anggota Raad van Justicie. Ia menikah dengan Petronela Wonderaer
yang meninggal pada 02 April
1681, saat ia menjadi Direktur Jenderal perdagangan. Saat itu yang menjadi
ketua raad van justicie adalah Willem van Outhoorn yang nantinya akan menjadi
Gubernur Jenderal VOC. Saat menjadi Gubernur Jenderal VOC, posisinya sebagai
Direktur Jenderal digantikan oleh Balthazar Bolt yang pernah menjadi Ketua Raad
van Justicie. Posisi Bolt di Raad van Justicie digantikan oleh Dirk Bloom dan
akhirnya diganti oleh Willem van Outhoorn seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ia
meninggal pada 11 jan 1684 karena penyakit menahun akibat batu ginjal , uniknya
2 jam kemudian teman baiknya Balthazar Bolt pun juga menemaninya ke alam baka. Anthony Hurdt yang
menggantikan Balthazar Bolt menjadi Direktur Jenderal Perdagangan bersamaan
dengan Gubernur Jenderal VOC yang baru Joannes
Camphuys. Saat meninggal, Nicholaas
Schagen bersama Marten Pit menjadi kuasa hukum harta peninggalannya. Nicholaas Schagen nantinya akan
menjadi Wakil Ketua Raad van Justicie sebelum ia menjadi Gubernur Amboina pada periode
1691-1696. Nicholaas
Schagen, kita kenal sebagai orang yang menyelesaikan pembangunan benteng Duurstede
pada 1691 yang mulai dibangun oleh Arnold de Vlaming
van Oudshoorn pada 1676. Cornelis Speelman menyerahkan tongkat kepimpimpinannya kepada
Joannes Camphuys.
Joannes Camphuys memerintah sejak 11
Januari 1684 – 24 November 1691. Ia dilahirkan pada 1634 dan meninggal pada 1695.
Dalam masa pemerintahannya di tahun 1686, ia pernah
mengirim Kapten Francois Tack untuk menjemput Untung Surapati sang pemberontak
terkenal, yang pernah menjadi budak di keluarga Belanda Pieter Cnoll 10-20an
tahun sebelumnya. Francois Tack ini adalah saudara ipar dari Johan van Hoorn. Johan
van Hoorn nantinya akan menjadi Gubernur
Jenderal VOC menggantikan Willem van Outhoorn yang menggantikan Joannes Camphuys. Pada masa
kekuasaannya, terjadi 3 kali pergantian Gubernur
Maluku yaitu, Jacob Lobs (1682-1686), Johan Henrik Thim (1686-1689) dan Johannes
Cops (1689-1692). Di Amboina, juga
terjadi 3 kali perubahan gubernurnya yaitu Robertus Padtbrugge (1682-1687),
Dirk de Haas (1687-1691) dan “tokoh kita” Nicholas Schagen (1691-1696). Camphuys
menyerahkan kekuasaannya pada Willem van Outhoorn, sang Presiden/Ketua Raad van
Justicie. Sang penganti Willem van Outhoorn adalah
kelahiran Maluku, tepatnya di Larike, Leihitu Barat Maluku Tengah pada 4 Mei
1635 dan meninggal di Batavia pada 7 November 1720. Menghabiskan masa kecilnya
di Larike, menjelang dewasa ia dikirim ke Belanda untuk belajar ilmu hukum di
Universitas Leiden. Sehabis kuliah ia kembali ke Hindia Timur. Dan karirnya
seperti diceritakan pada masa kepimpinan Gubernur
Jenderal
Cornelis Speelman. Saat ia menjadi Gubernur
Jenderal
VOC, posisi orang no 2 atau Direktur Jenderal Perdagangan dipegang oleh Joan
van Hoorn yang diangkat pada 1691. Orang
ini pernah menjadi menantunya saat menikah dengan anak perempuannya, Susanna
van Outhoorn,
namun bercerai. Mereka menikah setelah istri pertama Van Hoorn yaitu Anna Struis
meninggal pada tahun 1692. Namun perkawinan mereka tidak lama. Van Hoorn menikah lagi untuk
ketiga kalinya dengan Joanna van
Riebeek, anak perempuan Abraham van Riebek.
Willem van Outhoorn menjabat sejak 24
November 1691 - 15 Agustus 1704.
Sebenarnya pada 20 September
1701, ia telah mundur dan mengusulkan bekas menantunya Johan van Hoorn yang saat
itu menjadi Direktur Jenderal Perdagangan
untuk menggantikan dirinya, namun Van
Hoorn menolak. Alasan yang dikemukakan adalah, ia ingin ketiga teman dekatnya
(Matheus de Haan, Henricus Zwaardecroon dan W. de Roo) masuk dalam
“kabinetnya” saat ia menjabat, maksudnya ketiga teman itu harus menjadi anggota Raad van
Indie (Dewan Penasehat). Lagipula ia tak cocok dengan Abraham van Riebeek dan Christoffel
van Swoll yang saat itu menjadi anggota Raad van Indie di masa kepimpinan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn.
Uniknya pula, ia malah menikah untuk ketiga kalinya dengan putri Abraham van
Riebeek yaitu Joanna van Riebeek. Joanna van Riebeek adalah janda dari Gerard
van Beverre yang menjadi anggota Raad van Indie semasa Gubernur Jenderal VOC Joannes Camphuys. Meski
terus didesak untuk menerima tongkat kepimpinan dari Willem van Outhoorn, Van
Hoorn tetap menolak. Kemelut ini terus berlarut-larut hingga Heeren 17
menyetujui permintaan Van
Hoorn dan secara resmi mengangkat dirinya menjadi Gubernur Jenderal VOC menggantikan Willem van Outhoorn pada. 15
Agustus 1704. Johan
van Hoorn memerintah sejak 15 Agustus
1704 - 30 Oktober 1709, dan
menyerahkan kekuasaan kepada “bapak mantunya” Abraham van Riebeek yang saat itu
menjadi Direktur Jenderal Perdagangan. Abraham van Rieebek memerintah sejak 30 Oktober 1709 - 17 November 1713. Abraham pun
kemudian digantikan oleh temannya yang pernah tidak disukai/tak cocok dengan Van
Hoorn yaitu Christoffel
van Swoll (17 november
1713-12 november 1718). Van Swoll
pun kemudian digantikan oleh teman-teman
baiknya yaitu Henricus Zwaardecroon (12 november
1718-08 juli 1725) dan Matheus
de Haan (08
Juli 1725-01
juni 1729). Benar-benar unik dan
penuh dengan kolusi nepotisme di lingkaran
elit yang terang benderang.
Pada
masa kepimpinan Willem van Outhoorn itulah, benteng Duurstede telah selesai
dibangun pada 1691 di tangan
Gubernur Amboina Nicholaas Schagen. Sejak mengakhiri jabatannya pada 1696, “nasib”
Nicholaas Schagen seperti
“hilang” dalam catatan sejarah. Begitu juga yang dialami oleh sang pembangunnya
Arnold de Vlaming van Oudshoorn,
mereka berdua menghilang, senyap dalam pemberitaan. Sang “bayi” mereka, benteng
duurstede pun mengalami “nasib” yang sama… 1 abad lamanya Benteng Duurstede senyap, diam, dan bisu… Gubernur Jenderal VOC pun terus berganti, Gubernur Amboina dan Maluku terus
berganti, namun kabar Duurstede tetap
bisu... hingga 1 abad kemudian tepatnya
di akhir Februari 1796… Duurstede
kembali bersuara… dan
suara ini adalah cerita “pengantar” untuk cerita yang “menggemparkan” di awal abad XIX, di permulaan
tahun 1800an.
Bersambung .................... ( Lihat Edisi Kedua )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar