Oleh Dr Chris de Jong
Kamis, 18 Juli 2019
Rabu, 10 Juli 2019
Potong Kepala, Pembantaian dan Genjatan Senjata di Gugusan Amboina : 1500 – 1700
(bag 3)
Oleh Gerrit
J Knaap
Penerjemah : Kutu Busu
Perdamaian dan “Kedamaian”
Dengan
berakhirnya Perang Besar Ambon pada tahun 1656/1658, area pusat di pulau Ambon
memasuki masa damai yang panjang dan “abadi” dengan beberapa pengecualiaan
hingga akhir abad ke-18. Pihak musuh yang selamat dari serangan gencar VOC dan
honginya, yang tidak melarikan diri, melakukan kesepakatan damai untuk
“kebaikan” generasi selanjutnya. Hal ini semacam “Pax Neerlandica” yang didasari pada “ketakutan/keterpaksaan” dan
bukan karena sikap pura-pura untuk tunduk pada pihak pemenang. Dalam buku Kruidnagelen en Christenen, dinyatakan
bahwa pada periode pasca 1656, otoritas VOC bertumpu pada 4 faktor, yaitu
dominasi militer, pengendalian populasi, pemisahan dan pengontrolan serta pelaksanaan konsensus. Seperti
disebutkan sebelumnya, dominasi militer bertumpu pada penguatan garnisun di
benteng-benteng, pembatasan kepemilikan senjata api di tengah masyarakat. Pengontrolan
dan “pengawasan” penduduk dilakukan melalui “permintaan” agar penduduk menghuni
wilayah-wilayah dekat pantai daripada di lereng gunung atau di puncak bukit
yang sulit di jangkau. Hal ini memudahkan VOC “mengeksekusi” apapun yang mereka
inginkan. Unsur dari kegiatan pemisahan dan pengawasan tidak terlalu sulit
diterapkan, karena persatuan orang-orang Ambon sulit terbentuk sebelum
datangnya bangsa Eropa, bahkan terlihat jelas saat perang Ambon mencapai titik
kulminasinya.
Dalam prakteknya, unsur terakhir yaitu
pelaksanaan konsesus hanya mungkin dilakukan dengan bagian-bagian penduduk,
khususnya dengan orang-orang Kristen. Dalam kasus ini, hal demikian menjelaskan
“dasar” dari pemisahan agama. Ikatan
rasa “senasib sepenanggungan” selanjutnya “diperkuat” oleh fakta bahwa VOC dan
orang-orang Kristen seperti “bersaudara” selama perang Ambon. Unsur lain dari
pelaksanaan konsensus difokuskan pada golongan elit, umumnya pemimpin-pemimpin
negeri yang berani untuk setia/taat pada VOC adalah mengijinkan mereka dalam pengiriman
cengkih dan pengangkatan status “mulia” dalam struktur negara kolonial. Hierarki status seperti ini dilandasi oleh
pertimbangan penting atau tidaknya suatu negeri atau uli pada pelayaran hongi VOC1 (Knaap 1987a: 29-34,
1992b: 22-24)
![]() |
Kora-kora van Titaway, biasanya dinaiki Gub van Ambon |
Minggu, 07 Juli 2019
Potong Kepala, Pembantaian dan Genjatan Senjata di Gugusan Amboina : 1500 – 1700
(bag 2)
Oleh
Gerrit J Knaap
Penerjemah : Kutu Busu
100 Tahun peperangan
Saat VOC (Belanda) menaklukan dan menggantikan posisi Portugis, Ambon telah menjadi arena pertempuran antar berbagai jenis kelompok. Selama abad ke-16, konflik-konflik tradisional berskala kecil diantara penduduk mulai terjadi lewat aksi-aksi potong kepala/pengayauan, perluasan wilayah serta keinginan-keinginan untuk unggul dalam hierarki kekuasaan, menjadi bagian antitesis yang berkembang secara bertahap antara orang-orang Ternate dan sebagian besar Muslim Ambon, untuk melawan Portugis dan Kristen Ambon. Mulai pertengahan abad itu (abad 16), wilayah itu menjadi arena pertempuran yang terus menerus. Menjelang akhir abad itu, Portugis dan sekutunya (Kristen Ambon) menghadapi serangkaian serangan sehingga beberapa negeri Kristen meninggalkan negeri mereka dan berlindung (mengungsi) ke daerah yang lebih aman, misalnya di wilayah sekitar benteng Portugis di kota Ambon. Penaklukan Portugis oleh VOC pada tahun 1605 itu, seperti suatu penundaan permusuhan yang bersifat sementara. Namun, pada tahun 1625 menjadi jelas bahwa VOC bersikeras dalam upayanya untuk menegakan monopoli perdagangan cengkih, maka peperangan timbul kembali pada tahap akhir selama 25 hingga 30 tahun (Manusama 1983: 65-66, 71, Knaap 1987a: 12-15, 20-23).
Pada perang itu, hadir elemen-elemen dalam masyarakat yang secara tegas diungkapkan lewat kronik lisan masyarakat yang masih bertahan, yaitu Hikayat Tanah Hitu oleh Imam Ridjali, dimana saat konflik, khususnya melawan orang Eropa dan sekutunya, adalah tema yang berulang.
Perubahan wajah perang juga muncul dengan jelas. Secara bertahap, persenjataan mulai diperkenalkan dalam pertempuran laut antara kedua pihak. Di sisi kaum Muslim, fenomena ini muncul menjelang akhir abad itu (Manusama 1977: 1,84,93-96,99,101-102).
Meskipun sejumlah besar informasi penting telah disajikan pada bagian sebelumnya, beberapa penjelasan perlu juga disampaikan untuk mengevaluasi “kehebatan” persenjataan yang digunakan oleh orang Ambon pada abad ke-17.
Parang dan Salawaku menjadi senjata paling populer. Kedua alat itu adalah alat utama dan umum dalam pertempuran satu lawan satu. Tombak, juga banyak digunakan untuk “memperpendek” jarak antar musuh, meskipun jaraknya tidak lebih dari 100 meter, suatu jarak efektif yang dapat dicapai oleh penombak. Senapan dan tipe matchlock juga diperkirakan efektif digunakan pada jarak beberapa ratus meter. Efeknya dapat menghancurkan pelindung tubuh. Kelemahan terbesar dari jenis-jenis tipe ini adalah butuh waktu lama untuk mengisi peluru kembali, yaitu butuh waktu beberapa menit (Parker 1988: 17-18, J.P. Puype, komunikasi pribadi pada 5 Januari 2001).
Tipe snaphaunces yang muncul pada akhir abad ke-17 adalah tipe flintlock, karena jauh lebih mudah ditangani dan lebih aman digunakan daripada senapan pada abad ke-16 dan awal abad ke-17.
Jika tembakan dari senjata jenis ini menggunakan selongsong kertas --- inovasi baru pada akhir abad 17 --- prosedur pengisian ulang peluru hanya butuh waktu 1 menit saja (Black 1994: 39).
Kembali ke tahun 1600, jenis-jenis artileri seperti pistol, tipe swivelgun, tipe falconet mungkin memiliki jangkauan sekitar 600 meter atau lebih. Sulit memperkirakan lamanya waktu yang diperlukan untuk proses pengisian ulang peluru, namun mungkin sekitar 3 hingga 4 menit (Vogt 1977: 179-180, Parker 1995: 156)
(kita alihkan perhatian ke penjelasan tentang pertahanan).................
![]() |
Kambelo |
Kamis, 04 Juli 2019
Potong Kepala, Pembantaian dan Genjatan Senjata di Gugusan Amboina : 1500 – 1700
(bag 1)
Oleh Gerrit
J Knaap
Penerjemah : Kutu Busu
Pengantar
Pengantar
Sejarahwan
Belanda, Gerrit J Knaap dikenal banyak menulis kajian tentang sejarah awal VOC
di Maluku, khususnya di kepulauan Ambon dan sekitarnya.
Kali ini, Knaap menulis artikel yang
kaya informasi tentang praktek-praktek pengayauan orang-orang Ambon dan Alifuru
sebelum kedatangan bangsa Eropa, hingga praktek itu digunakan oleh bangsa Eropa
untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tanah Ambon. Artikel itu berbahasa
Inggris dengan judul “memukau” dan “menarik perhatian” yaitu Headhunting, Carnage and Armed Peace in Amboina,
1500-1700. Artikel ini dimuat dalam Journal
of the Economic and Social History of the Orient pada volume 46, nomor 2,
halaman 165 hingga 192, yang diterbitkan pada tahun 2003. Jurnal pada volume itu diberikan judul besar Aspect of Warfare of Pre Modern Southeast
Asia atau Aspek-aspek peperangan di Asia Tenggara pada masa pra modern.
Kata pengayauan mungkin masih “asing”
ditelinga kita. Namun jika kata itu di “sederhanakan” dalam khazanah sejarah
sosial orang Maluku, khususnya Ambon-Lease dan sekitarnya yaitu, praktek potong kepala/kapala..... maka
kita pasti lebih familiar dengan kata itu.
Sejak masa kecil, para orang tua kita
sering menyebut kata-kata itu ditelinga, baik untuk tujuan “menakuti” agar kita
tidak berkeliaran... atau mungkin tanpa disadari untuk menyampaikan suatu tradisi
tua yang dilakukan para leluhur, yang masih mengendap di dalam kepala.
Berbekal arsip-arsip VOC, Knaap
mencoba mengkaji fenomena itu, sebuah fenomena yang telah dilakukan oleh
orang-orang Ambon dan Alifuru pada masa pra modern hingga awal modern saat
berperang. Praktek-praktek itu tetap ada, dilestarikan dan bahkan digunakan
oleh Portugis atau VOC (Belanda) untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tanah
raja-raja. Selain menggunakan arsip-arsip VOC, Knaap juga menggunakan literatur
lain untuk mengkaji fenomena itu serta aspek-aspek peperangan diberbagai tempat
lainnya sebagai perbandingan dalam kajiannya.
![]() |
Gerrit J Knaap |
Langganan:
Postingan (Atom)