(bag 1)
Oleh Gerrit
J Knaap
Penerjemah : Kutu Busu
Pengantar
Pengantar
Sejarahwan
Belanda, Gerrit J Knaap dikenal banyak menulis kajian tentang sejarah awal VOC
di Maluku, khususnya di kepulauan Ambon dan sekitarnya.
Kali ini, Knaap menulis artikel yang
kaya informasi tentang praktek-praktek pengayauan orang-orang Ambon dan Alifuru
sebelum kedatangan bangsa Eropa, hingga praktek itu digunakan oleh bangsa Eropa
untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tanah Ambon. Artikel itu berbahasa
Inggris dengan judul “memukau” dan “menarik perhatian” yaitu Headhunting, Carnage and Armed Peace in Amboina,
1500-1700. Artikel ini dimuat dalam Journal
of the Economic and Social History of the Orient pada volume 46, nomor 2,
halaman 165 hingga 192, yang diterbitkan pada tahun 2003. Jurnal pada volume itu diberikan judul besar Aspect of Warfare of Pre Modern Southeast
Asia atau Aspek-aspek peperangan di Asia Tenggara pada masa pra modern.
Kata pengayauan mungkin masih “asing”
ditelinga kita. Namun jika kata itu di “sederhanakan” dalam khazanah sejarah
sosial orang Maluku, khususnya Ambon-Lease dan sekitarnya yaitu, praktek potong kepala/kapala..... maka
kita pasti lebih familiar dengan kata itu.
Sejak masa kecil, para orang tua kita
sering menyebut kata-kata itu ditelinga, baik untuk tujuan “menakuti” agar kita
tidak berkeliaran... atau mungkin tanpa disadari untuk menyampaikan suatu tradisi
tua yang dilakukan para leluhur, yang masih mengendap di dalam kepala.
Berbekal arsip-arsip VOC, Knaap
mencoba mengkaji fenomena itu, sebuah fenomena yang telah dilakukan oleh
orang-orang Ambon dan Alifuru pada masa pra modern hingga awal modern saat
berperang. Praktek-praktek itu tetap ada, dilestarikan dan bahkan digunakan
oleh Portugis atau VOC (Belanda) untuk mempertahankan kekuasaan mereka di tanah
raja-raja. Selain menggunakan arsip-arsip VOC, Knaap juga menggunakan literatur
lain untuk mengkaji fenomena itu serta aspek-aspek peperangan diberbagai tempat
lainnya sebagai perbandingan dalam kajiannya.
Gerrit J Knaap |
Menarik
untuk membaca artikel yang lumayan “berat” ini, sebagai langkah awal kita untuk
memahami proses sosial para leluhur kita dimasa lalu. Proses sosial yang
dilakukan oleh para leluhur kita saat “meresponi” peristiwa yang menjadi
ancaman buat mereka dari negeri-negeri tetangga, maupun respon mereka
menghadapi orang asing yaitu bangsa Eropa.
Bersandar pada tujuan itulah, maka
kami memberanikan diri untuk menerjemahkan artikel ini. Pembacaan artikel-artikel
“berat” dengan menggunakan bahasa ibu, mungkin terasa lebih “santai” jika
dibandingkan membaca dalam bahasa aslinya.
Penerjemahan artikel ini, kami buat
“sesantai” mungkin agar bisa dinikmati dan dicerna, meski harus diakui hal itu beresiko
pada makna yang “tidak sama/sesuai”
dengan maksud penulisnya. Meski bahasa yang kami lakukan “sesantai” mungkin,
namun kami juga berusaha agar terjemahan yang “ringan” itu, tidak terlepas dari
konteks besarnya
Atas keterbatasan itulah, maka
“tafsiran baru” dari kami atas artikel itu, merupakan sepenuhnya tanggungjawab
kami.
Pada naskah aslinya, artikel ini
terdiri dari 28 halaman dimana 26 halaman adalah isi artikel dan 2 halaman sisa
berisikan bibliografi.
Perlu juga dijelaskan, bahwa Knaap
tidak memberikan catatan kaki pada artikelnya, jika ia mengutip informasi dari
berbagai literatur atau arsip-arsip, ia menggunakan tanda kurung yang
didalamnya ditulis darimana kutipan itu berasal..... misalnya ia menulis (Valentyn
1724 : 72-74) maksudnya adalah kutipan yang Knaap gunakan berasal dari (buku)
Francois Valentyn yang terbit tahun 1724 pada halaman 72-74 pada buku itu.
Jika
ada catatan kaki, maka itu berasal dari kami, yang tujuannya agar pembaca
diberikan penjelasan lebih lanjut, sehingga pembaca bisa lebih jauh memahami
maksud dari penulisnya. Selain itu, kami
membagi artikel ini menjadi beberapa bagian yang akan diposting secara bersambung
dan berkala.
Semoga artikel yang informatif ini
memberikan wawasan kesejarahan bagi kita semua. Selamat membaca.....
Abstraksi :
Meskipun tersedia sumber-sumber yang
melimpah, para sejarahwan tentang sejarah Maluku, hanya sedikit memberikan perhatian kepada sejarah
militerisme.
Perang laut pada dasarnya adalah perang
“senyap” yang bertumpu pada kekuatan hongi yang berlayar ke wilayah pantai para
musuh, dan menghancurkan desa-desa/negeri di wilayah itu. Sementara itu, perang darat umumnya terdiri dari aksi
“potong kepala” atau perburuan kepala manusia (pengayauan).
“Gangguan-gangguan” dari bangsa Eropalah
yang membawa perubahan pada pola umum ini.
VOC (Veerenigde Oost –Indie Compagnie)
mengadopsi dan mengembangkan pelayaran hongi ini, yang berisikan perahu perahu
orang lokal dan beberapa kapal bangsa Eropa. Namun, hal ini tidak efektif pada fase
perang penaklukan wilayah, akhirnya penggunaan kekuatan ekspedisilah yang
digunakan oleh VOC untuk “menggantikan” pola awal itu. Setelah “Pax
Neerlandica” dimapankan, VOC menggunakan sistim pelayaran hongi kembali.
Dalam
kata pengantar bukunya Warfare and
Empires, yang menyajikan tentang konfrontasi orang Eropa dan orang pribumi
pada periode modern awal, sang editor Douglas. M. Peers, mengemukakan proposisi
bahwa kolonialisme dan perang saling berhubungan dan terkait erat. Meskipun
sebagian besar sejarahwan pada umumnya menganut dan menerima gagasan umum ini,
hanya beberapa saja yang menaruh perhatian pada tema-tema tertentu, seperti
strategi dan taktik, faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan dalam pertempuran
serta dampak perang bagi masyarakat yang terlibat didalamnya.
Lagipula,
beberapa sejarahwan tampaknya sadar akan sebuah adagium “keunggulan/kemenangan sebuah kekaisaran/kerajaan sebagian besar
ditentukan oleh (kekuatan) pedang” (Peers 1997 : xv, xx)
Historiografi sejarah VOC juga kurang memberikan perhatian
pada isu ini. Terasa cukup aneh, karena selama kehadirannya di wilayah Asia yang
hampir mencapai 2 abad, hampir tidak ada tahun-tahun dimana VOC “beristirahat”
dalam keterlibatannya dalam kekerasan di suatu tempat. Bahkan sekilas terlihat pada
kekuatan armadanya, dimana VOC “memamerkan” armadanya membawa persenjataan,
sementara sekitar setengah personelnya di wilayah Asia terdiri dari kaum
militer.
Sejarahwan
Reinout Vos juga berpendapat bahwa VOC sebenarnya memiliki 2 “wajah”, yaitu wajah
pedagang yang lebih tampak diterapkan di kawasan Eropa dan wajah “penguasa”
yang lebih tampak diterapkan di kawasan Asia dan Afrika Selatan (Gaastra 1991:
85-87, Vos 1993: 1) .
Sekali
kapal-kapalnya mulai mengitari lautan Tanjung Harapan, VOC rupanya tidak hanya
memasuki wilayah berbeda, namun juga mengubah “wajah dan perannya”.
Kedua
wajah itu sudah tersirat dalam piagam VOC ditahun 1602, dimana dinyatakan bahwa
di wilayah-wilayah antara Tanjung Harapan dan Tanjung Hoorn, VOC memiliki
kebebasan/kekuasaan untuk membuat perjanjian, membangun benteng, berperang dan berdamai
atas nama Republik Belanda (Gaastra 1991: 20-23).
Realisasi
piagam VOC itu dalam kenyataannya terlihat pada pelayaran pertama yang berkekuatan
12 kapal, yang dikirim oleh VOC dibawah komando Laksamana Steven van der
Haghen. Pada tanggal 23 Februari 1605, armada ini “mengusir” bangsa Portugis di
kepulauan Ambon, terkhususnya menaklukan benteng Nossa Senhora da Anunciada1,
di tempat yang dewasa ini dikenal sebagai kota Ambon, di (provinsi) Maluku.
Dengan
tindakan ini, VOC secara tak terelakan memperoleh status dan peran seperti
sebuah negara, menjadi penguasa dari ribuan subjek, umumnya kebanyakan penduduk
pulau Ambon, yang menganut agama Kristen.
Alasan
utama VOC menganggap dirinya sebagai pihak penguasa adalah alasan komersial,
dimana tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan konsesi maksimal dalam
perdagangan dunia rempah-rempah asal Maluku, khususnya perdagangan cengkih.
Di
Maluku, seperti halnya di banyak bagian dunia lainnya, perdagangan dan politik
termasuk perang, saling berhubungan. Dalam konteks ini, perlu ditekankan bahwa
jika VOC (Belanda) tidak mempersenjatai diri, mereka akan beresiko terusir oleh
Portugis dari wilayah itu, bukan melulu hanya soal alasan perdagangan.
Sejak
tahun 1580, Radja Spanyol juga menjadi penguasa Portugis. Saat kedua negera ini
“bersatu”, Republik Belanda yang baru saja “didirikan” berjuang untuk merdeka
dari kekuasaan Radja Spanyol. Oleh karena itu, pertikaian di wilayah Maluku,
adalah pertikaian “lanjutan” antara kaum Katholik Iberian pada satu sisi dan
kaum Protestan Eropa barat laut pada sisi yang lain (Knaap 1987a: 15-17,
1991:15).
Untuk
mewujudkan impian mereka, dalam hal penguasaan pasar cengkih, VOC (Belanda) berusaha
mati-matian untuk memonopoli pasokan komoditas berharga itu. Di wilayah yang
baru ditaklukan itu, hal pertama yang dilakukan adalah memerintahkan atau
“memaksa” subjek-subjek yang dikuasai mereka, untuk menyerahkan/ menjual semua
cengkih yang diproduksi dengan imbalan sejumlah uang. Cengkih-cengkih yang
diproduksi di wilayah-wilayah dimana VOC (Belanda) bukan penguasa, VOC
melakukan “kontrak” atau perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, yang secara
tegas menetapkan bahwa area-area ini akan mengirimkan seluruh produksi cengkih
mereka ke pihak VOC secara eksklusif dengan harga yang telah diputuskan. Pihak
VOC juga menjanjikan perlindungan pada pihak lain itu, jika terjadi “perlawanan”
dari kaum Iberian (Portugis atau Spanyol – catatan tambahan dari kami).
Perjanjian
dengan model seperti itu harus dilihat dari aspek-aspek peristiwa sebelumnya.
Selama
paruh terakhir abad 16, Kesultanan Ternate yang merupakan penguasa utama
kawasan Maluku, termasuk bagian barat kepulauan Ambon serta wilayah-wilayah merdeka
yang berukuran “kecil” seperti Hitu, Hatuhaha (utara pulau Haruku) dan Ihamahu
(Iha ) yang semuanya beragama muslim, telah terlibat dalam keadaan perang terus
menerus melawan Portugis dan orang-orang Ambon kristen.
Meskipun
kontrak/perjanjian ini dipahami dengan baik, skema rencana VOC ini tidak
berlangsung mulus, karena ketidaksepakatan soal harga cengkih. Ketidaksepakatan
ini, ditimbulkan oleh upaya pihak-pihak produsen, baik secara individu maupun
kelompok, yang lebih suka menjual cengkih mereka kepada penawar tertinggi,
daripada kepada pihak VOC.
Untuk
menegakan perjanjian yang telah dibuat, VOC terpaksa melakukan kekerasan, yang sejak
tahun 1624 hingga 1658 mengakibatkan
serangkaian konflik bersenjata, yang secara umum disebut sebagai “Perang Ambon”
(Knaap 1987a: 17-23, 1992a: 11-12)
Seperti
halnya Portugis, VOC (Belanda) biasanya berperang dibantu oleh orang-orang
kristen Ambon. Namun pada tahun tertentu yaitu 1637-1638, VOC berada di ambang
kehilangan segalanya, bahkan orang-orang Ambon kristen berbalik melawan dan
memusuhi VOC (Belanda) dalam bentuk penyerangan-penyerangan ke pihak VOC.
Anthonie
van Diemen, Gub Jend VOC (1636-1645)
bereaksi terhadap situasi ini, dengan memimpin ekspedisi besar-besaran ke
daerah tersebut.
Pada
periode 1640an dan 1650an, akhirnya VOC berhasil menaklukan daerah-daerah
merdeka di kepulauan Ambon, juga wilayah-wilayah kekuasaan kesultan Ternate
yang dicap sebagai pihak “pemberontak”
melalui perang yang sering diasumsikan sebagai ciri-ciri perang total.
Ketika
debu dan panasnya perang telah usai, tindakan monopoli produksi cengkih
benar-benar diterapkan dalam realita, yang selanjutnya terjamin oleh tindakan “gencatan
senjata” (Knaap 1987a: 22-27, 1992b: 7-20).
Artikel
ini membahas bentuk-bentuk peperangan yang terjadi di kepulauan Ambon pada
periode awal hingga tahun 1700. Kajian pertama adalah melihat bagaimana
cara-cara orang-orang Ambon sendiri berperang
sebelum kedatangan orang Eropa. Dalam perang tradisional, aksi potong kepala atau pengayauan adalah
bentuk yang paling mendasar/ utama.
Pemaparan
tentang hal itu dilakukan, untuk mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dibawah
pengaruh Portugis dan Belanda (VOC), yang digunakan dalam peperangan intensif
sekitar 100 tahun terakhir. Sebelum
kedatangan orang Eropa, aksi-aksi perang “laut” adalah elemen penting dalam pertikaian
antar wilayah (negeri). Instrumen paling penting dari jenis perang model ini
adalah kora-kora, sejenis perahu
bercadik (perahu bersemang). Kumpulan kora-kora dalam skala yang lebih besar,
biasanya disebut sebagai hongi.
Para
penguasa kolonial juga menggunakan hongi sebagai instrumen perang.
Kajian
khusus akan difokuskan pada aspek pengorganisasian dari proses tersebut. Pada
akhir artikel, perkembangan-perkembangan yang serupa di wilayah lain kepulauan
“Nusantara” juga akan “ditampilkan”. Akhirnya pertumbuhan militer dan angkatan
laut akan dievaluasi dengan latar belakang diskusi yang lebih luas dalam
literatur-literatur kesejarahan tentang perang moderen awal di tingkat global.
Perang Tradisional di
Ambon
Pada tahun 1621, Artus Gijsels, bekas2 Opperhoofd
( pemimpin pos dagang) di Hitu yang nantinya akan menjadi Gubernur VOC Ambon (1631-1634)
memberikan informasi berharga soal perang tradisional. Ia menjelaskan bahwa
banyak perang yang terjadi, umumnya terdiri dari aksi-aksi “perang laut”
menggunakan kora-kora. Tujuan dari
aksi-aksi ini, tidak bertujuan utama untuk menaklukan. Namun, tujuannya lebih
kepada menjadikan musuh sebagai tawanan atau aksi potong
kepala terhadap para penduduk entah itu laki-laki, perempuan atau anak-anak.
Kadang-kadang ekspedisi “maut” ini kembali pulang dengan kepala-kepala musuh
sebagai hasilnya, yang dibawa pulang ke rumah oleh para “kapitan” dengan cara menggantung kepala-kepala tersebut pada
pengait di bahu.
Sebelum ekspedisi “maut” itu dilakukan,
mauweng atau shaman akan mengamati
tanda-tanda (nanaku) untuk melihat
apakah waktunya tepat untuk beraksi. Mauweng juga hadir di geladak kora-kora
untuk “berkonsultasi” dengan dunia mistis sebelum kora-kora itu berlayar menuju
pantai-pantai yang tidak “bersahabat”.
Setiap kali armada kora-kora kembali
pulang dengan kepala-kepala (hasil potong
kepala) serta para tawanan , para kapitan
akan disambut dengan sukacita. Kadang-kadang yang terjadi adalah beberapa
tawanan ditempatkan pada dasar kora-kora, kepala mereka dipenggal saat
kora-kora sedang berlayar pulang. Kepala-kepala tersebut diletakan di Baileu,
rumah adat di desa/negeri itu. Sisa tawanan lainnya, selanjutnya dijual kepada
penawar tertinggi untuk membayar biaya ekspedisi itu. Para pengikut dalam
ekspedisi itu tidak menerima kompensasi apapun untuk keikutsertaan mereka. Faktanya,
keikutsertaan mereka dalam ekspedisi demikian, tidak hanya karena itu merupakan
kesempatan mereka untuk memperoleh respek dan status dalam perang dan atau juga
puja-puji atas kerja mereka terhadap barang rampasan, tetapi juga karena seluruh
usaha itu adalah bagian dari kewajiban pengabdian terhadap suatu komunitas dan pemimpinnya.
Kora-kora van Titaway, biasanya dinaiki oleh Gubernur van Ambon |
Setiap laki-laki yang ikut serta, akan membawa bekal dan air minum sendiri-sendiri. Saat perbekalan telah habis digunakan, semuanya akan berlabuh di suatu tempat untuk menebang pohon sagu dan mengolahnya untuk membuat bubur papeda (Knaap 1987b: 53-55).
Saat di laut, pemimpin sebuah negeri,
umumnya menggunakan gelar orang kaija, duduk di bagian yang lebih tinggi, yang
terletak ditengah-tengah kora-kora, dikelilingi oleh orang-orang penting dan para kapitan dari komunitas itu. Dekat tangga
atau bangku yang terletak diantara cadik (semang), duduk orang-orang yang
bertugas sebagai pendayung. Selain penggunaan kekuatan manusia untuk mendayung,
perahu juga bisa berlayar oleh bantuan layarnya sendiri. Layar pada perahu
terhubung pada tiang perahu yang “berkaki tiga”.
Para pendayung di kora-kora hanya
memiliki sedikit peralatan perang dibandingkan para kapitan. Senjata-senjata yang dimiliki oleh tiap orang terdiri dari
pelindung (salawaku), pedang (parang) dan tombak. Ada 2 tipe tombak, yaitu
tipe assagai, yang terbuat dari besi, kayu dan rotan, yang dilempar dengan arah
langsung, serta tipe kaluway (kalawai),
yang dibuat dari rotan dengan ujung-ujung berduri yang berasal dari
tulang-tulang hewan. Kaluway (kalawai) dilempar
3 hingga 5 kali pada waktu tertentu, bergerak langsung ke arah udara,
“melintasi” alur melengkung hingga mengenai musuh.
Pada awal abad ke-17, beberapa orang juga memiliki roers, perangkap/kurungan, yang
diperoleh dari “ABK” kapal-kapal VOC (Belanda). Meskipun orang-orang Ambon juga
mahir menggunakan senjata, mereka seringkali kurang disiplin dalam
“menjaga/merawat” peralatan itu. Hal ini boleh jadi merupakan satu alasan
mengapa Gijsels menyimpulkan bahwa para kapitan
Ambon lebih suka berperang menggunakan parang
dan salawaku daripada menggunakan senjata. Orang-orang Ambon juga ternyata
lebih suka pada penggunaan morion (tipe sejenis helm), yang kadang diperoleh
dari orang-orang Eropa. Disamping senjata dan morion dari Eropa, kora-kora
umumnya juga membawa/mengangkut swivelguns tembaga bermutu kurang bagus, yang
diimpor dari Jawa. Tiap kora-kora memiliki peralatan itu, yang disesuaikan
menurut ukurannya, satu, dua atau tiga peralatan itu ditempatkan di dasar
perahu, buritan atau ditengah-tengah kora-kora. Oleh karena terjadi beberapa
kali insiden dengan swivelguns, orang-orang Ambon enggan menggunakannya.
Gijsels dalam pendapatnya tentang hal
ini, dari sudut pandang orang-orang Eropa, adalah lebih baik jika orang-orang
Ambon memiliki 10 swivelguns daripada memiliki satu senjata matchlock. Di
negeri Hitu, orang-orang Ambon yang memiliki meriam-meriam yang lebih berat,
misalnya meriam-meriam tembaga berukuran 6 hingga 8 kaki “bermoncong dua” yang
memuntahkan peluru seberat 2 pon. Gijsels juga menyebutkan bahwa tombak-tombak
asal Jawa dan Portugis adalah bagian dari sistim pertahanan kora-kora (Knaap
1987b: 55-58).
Selama akhir abad ke-15 dan awal abad
ke-16, banyak negeri diwilayah pesisir pulau Ambon menjadi bagian dari federasi
(uli) dan atau tetap berbentuk seperti awalnya. Hasil dari “penggabungan” ini
adalah kora-kora yang berasal dari beberapa negeri itu membentuk hongi.
Setelah Portugis bisa berkuasa, mereka juga
“mengorganisir” sistim pertahanan diri sendiri dengan prinsip-prinsip yang
sama. Ketika VOC juga berkuasa di wilayah itu, mereka melanjutkan institusi
hongi tersebut.
Dalam tahun 1607, pelayaran hongi
pertama dibawah komando VOC diluncurkan untuk melakukan patroli. Bagaimanapun
juga, hongi memiliki keterbatasan. Kora-kora adalah instrumen perang yang hanya
cocok digunakan untuk wilayah pesisir, bukan untuk peperangan di laut lepas,
yang mana harus “beradaptasi” dengan cuaca buruk. Disisi lain, rancangan dasar
kora-kora yang tidak dalam--- kora-kora (pada dasarnya dibuat besar dan bercadik),
sangat cocok untuk digunakan dalam aksi-aksi “senyap” dalam perang laut.
Panjang kora-kora umumnya antara 24
hingga 30 meter, lebar antara 4-5 meter, serta “penumpang” antara 50-90 orang
didalamnya, tidak perlu imajinasi besar untuk menyadari bahwa kondisi itu
terlalu padat (Knaap 1987a: 10-12, 147, 154, 199).
Dalam laporan pertamanya tentang
Ambon, Steven van der Haghen sang penakluk itu, telah menekankan kewajiban
“orang-orang taklukan” untuk membantu Gubernur dalam ekspedisi perang baik di
darat maupun laut. Menurut perkiraanya, kekuatan hongi milik penduduk lokal dan
sekutu-sekutu VOC bersama-sama, mungkin
sekitar 30 hingga 40 kora-kora. Jumlah orang/penduduk yang dibutuhkan antara
4000 hingga 5000 orang. Perhitungan ini mungkin agak sedikit berlebihan,
informasi yang lebih terperinci dikemudian hari mengungkapkan bahwa hanya
dibutuhkan lebih mungkin antara 2000-3000 orang.
Kepala pedagang (coopman) Nicolaas
Puyck3 yang menulis sekitar tahun 1612 dan menginformasikan tentang
ketersediaan senjata di wilayah merdeka yaitu Hitu. Diantara 700 laki-laki
berbadan sehat, ada 150 orang yang menggunakan senjata/senapan.
Seperti Gijsels sebelumnya, Puyck juga
memperkirakan bahwa kora-kora dapat diperlengkapi dengan 2 atau 3 swivel guns, terkadang
juga dengan falconet (meriam ringan) serta
biasanya ada 4 hingga 12 buah tipe matchlock (Knaap 1987a: 150 -154, 1987b:
3-4, 12-13).
Inilah “model” perang di sepanjang
pantai antara para penduduk yang umumnya disebut orang Ambon oleh bangsa
Belanda. Di pedalaman pulau-pulau yang lebih besar, khususnya pulau Seram,
kondisinya agak berbeda.
Secara umum, penduduk di pulau Seram
tidak dikategorikan sebagai orang Ambon tetapi disebut Alifuru. Orang-orang Alifuru adalah kaum pemburu,
pengumpul semi/setengah nomaden dan petani yang menghuni wilayah pegunungan
tertutup rimba raya. Mereka dianggap “kurang beradab” daripada orang-orang
Ambon.
Alifuru yang animisme adalah penganut
setia aksi potong kepala (pengayauan). Setiap
momen penting dalam siklus hidup komunitas Alifuru, misalnya pembangunan
Baileu, inisiasi anak laki-laki dan perempuan untuk mencapai kedewasaan,
membutuhkan pertumpahan/percikan darah.
Fase baru dalam kehidupan komunitas
atau klan itu, membutuhkan pengorbanan kehidupan manusia lain. Dalam konsepsi
animisme, hidup dan mati saling terkait erat. Memahami hal ini, tidaklah aneh
bahwa pulau Seram berada dalam situasi perang yang terus menerus/permanen,
dimana masing-masing negeri terus siaga.
Negeri-negeri itu sendiri membentuk
aliansi yang lebih “longgar” yang pada gilirannya merupakan bagian dari
klasifikasi klan seluruh komunitas yang lebih besar, yang dapat dibagi menjadi
2 klasifikasi yaitu Patasiwa dan Patalima.
Patasiwa dan Patalima saling
bermusuhan atau musuh bebuyutan. Untuk menciptakan dan menata kedamaian dan
ketertiban diantara negeri-negeri mereka sendiri yang sering berperang,
kelompok Patasiwa yang berada di Seram bagian barat memiliki institusi yang
mirip dimiliki oleh Negera Jerman pada abad pertengahan, atau Polish Diet
(Knaap 1987a: 60-61, 73-75, 1993: 252-256).
Pendeta Francois Valentyn, yang
menulis pada awal abad ke-18, memberikan deskripsi rinci tentang cara berperang
kaum Alifuru. Ia juga menyatakan aksi potong
kepala/perburuan kepala (pengayauan) diikuti/dilakukan oleh sekitar 8
hingga 10 orang pria berusia muda, yang biasanya pergi selama berminggu-minggu
bahkan hingga berbulan-bulan.
Ternyata, tujuannya bukan hanya sekedar
menangkap penduduk negeri-negeri tetangga disekitar mereka. Cara yang lebih
disukai, adalah memotong kepala/berburu
kepala di negeri-negeri yang jauh. Sekali lagi, korbannya tidak penting apa
itu pria, wanita, berusia tua atau muda.
Para pemotong kepala itu dapat
menyamar dan bersembunyi dalam hutan, serta menyerang orang-orang yang berjalan
sendirian dari belakang menggunakan tombak. Orang-orang yang terluka ini,
kemudian dibunuh dan kepalanya dipotong, kemudian bergegas pulang kembali ke
negerinya dan diterima dengan sambutan sukacita. Ini merupakan model yang
ideal, tetapi kadang-kadang kelompok itu bertemu dengan kelompok lain, dan
bertempur sehingga mengakibatkan beberapa orang terluka bahkan terbunuh. Selain
pertempuran berskala “kecil” seperti itu, peperangan yang terjadi di Seram
bagian barat juga melibatkan pertempuran dengan kelompok yang lebih besar, yang
terdiri dari 100 orang atau lebih.
Satu atau seluruh negeri diserang
karena konflik antar para pemimpin negeri, pertikaian soal kepemilikan/batas
tanah, atau bahkan soal kepemilikan jimat magis.
Saat kelompok pemotong kepala itu
mencapai batas negeri pemukiman dari musuh, dan tanda dari jimat memberikan
“penanda baik”, maka 3 atau 4 kapitan akan
menerobos masuk. Jika mereka berhasil, yang lain akan ikut menerobos dan
bertempur, jika tidak berhasil, maka mereka akan mundur secara teratur
(Valentyn 1724 : 72-74, 81-82).
Kesaksian yang dinyatakan oleh
Valentyn ini, membuktikan bahwa perang di Seram bagian barat tidak hanya melulu
soal aksi perburuan kepala saja.
Catatan VOC (Belanda) yang melaporkan
tentang konflik antar kelompok Alifuru sepanjang abad ke-17, menyebutkan bahwa cara perusakan perkebunan
yang sistematis, pembakaran dan “pengusiran” negeri-negeri, dilakukan untuk
alasan sederhana yaitu memperoleh kekuasaan dan upeti oleh kelompok-kelompok
yang terdiri dari 100 orang. Seharusnya tidak ada keraguan menerima fakta bahwa,
para penduduk di negeri-negeri yang berada diwilayah pesisir yang disebutkan
sebelumnya, peperangan berskala besar seperti itu, juga sering terjadi sebelum
kedatangan bangsa Eropa. Salah satu contoh kasus seperti itu terjadi di pulau
Ambon, yaitu penyerangan besar-besaran dan sangat masif dari beberapa negeri
yang mengarah pada punahnya bagian-bagian dari federasi (uli) hunut.
Valentyn juga menggambarkan senjata-senjata
yang dimiliki oleh orang-orang Alifuru dan Ambon pada masa itu, yaitu awal abad
ke-18. Kedua kelompok itu memiliki pedang berbilah lebar yang diimpor dari
Tambuko Sulawesi, yang sering disebut parang,
pedang yang serba guna. Kedua kelompok itu juga memiliki perisai (salawaku) dari bilah kayu berbentuk
persegi panjang yang dihiasi dengan kerang-kerang, berukuran panjang/tinggi 3-4
kaki, dan lebarnya 1 kaki.
Di negeri-negeri wilayah pesisir,
perisainya berupa lingkaran yang terbuat dari rotan dengan diameternya 2-3
kaki, termasuk hiasannya.
Di negeri-negeri pesisir yang “makmur”
para kapitannya, menggunakan “helm”
yang dihiasi bulu burung cendrawasih di kepala mereka. Orang Alifuru juga
memiliki tombak sederhana yang terbuat dari bambu, serta dari kayu dengan besi
diujungnya. Senjata terakhir ini, dalam sumber-sumber VOC (Belanda) disebut toraan. Orang Alifuru juga menggunakan
busur panah besar untuk memanah menggunakan bambu sebagai anak panahnya. Busur dan anak panah
model itu, jarang dijumpai diantara orang-orang Ambon yang berdiam diwilayah
pesisir.
Sebaliknya, menjelang akhir abad
ke-17, mereka memiliki senapan dan snaphaunces.
Meskipun pada kora-kora mereka, mereka memiliki swivel guns untuk menembakkan satu atau dua pound tembakan,
persenjataan lebih berat tidak lagi ada/tersedia (Valentyn 1724 : 73, 182-183).
Lenyapnya artileri berat diantara para
penduduk merupakan konsekuensi langsung dari perang Ambon. Penggunaan senjata
adalah bagian dari penjelasan tentang kesuksesan VOC dalam meraih posisi berkuasa
atau seluruh Nusantara, VOC dengan cerdik berusaha membatasi pasokan senjata ke
penduduk pribumi semaksimal mungkin. Sejak tahun 1637, munculnya larangan
penjualan senjata/senapa ke orang-orang Ambon, dan larangan penjualan (bubuk)
mesiu disahkan pada tahun 1650. Tentu saja, larangan ini tidak diterapkan
secara efektif. Ini menjelaskan mengapa pada tahun 1673, nampak bahwa negeri-negeri
dekat kota Ambon, hunian orang-orang Ambon yang “dipercayai”, setiap “kelompok”
yang terdiri dari 125 orang, masih terdapat 25 orang yang memiliki senjata,
khususnya tipe matchlock (Knaap
1987a: 29-31)
Di wilayah itu, perang bersifat
endemik, ditandai dengan perubahan secara perlahan pola aliansi dan munculnya
permusuhan-permusuhan baru.
Hal ini membuat munculnya kekhawatiran
melemahnya kelompok-kelompok yang terorganisir, federasi/gabungan (uli) dari negeri-negeri, yang dapat
dianggap sebagai bentuk “asli/awal” dari sebuah “negara”, negeri-negeri
“merdeka” dan bahkan bagian-bagian (lain) dari sebuah negeri. Kedamaian yang
dibuat, atau pola aliansi harus disepakati diantara mereka satu sama lain, diantara
masyarakat/penduduk animisme itu, yang ditandai
dengan keikutsertaan mereka secara sakral untuk melakukan janji dan sumpah yang
dikenal dengan sebutan matakau.
Upacara sakral matakau itu dilakukan sebagai berikut :
Segumpal
tanah, potongan emas misalnya cincin/gelang, sedikit garam yang melambangkan
makanan, potongan-potongan bagian senjata misalnya, ujung pedang/parang,
tombak, laras senjata dan peluru, semuanya dicelupkan dalam wadah yang
berisikan air. Setelah itu “ramuan mistik” atau “komat-kamit mistik”
disampaikan kepada yang supernatural serta airnya kemudian diminum oleh
perwakilan-perwakilan penting dari kelompok-kelompok yang terlibat itu.
Idenya adalah bahwa siapa yang
melanggar perjanjian akan tertimpa bencana atau dihukum, “dilukai” oleh setiap materi
yang secara simbolis telah dimasukan kedalam wadah itu.
Kepercayaan pada kekuatan sumpah ini
cukup kuat, yaitu yang melanggar akan menjadi kutukan bagi mereka. Selama abad
ke-17, VOC mendapati beberapa contoh
bahwa diantara para pemimpin Alifuru berusaha untuk menghindari bersumpah
seperti itu, mereka takut bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya memenuhi syarat-syarat
perdamaian, misalnya jika dianggap tidak mungkin diterapkan perjanjian damai,
karena penduduk mereka tidak akan bisa menerima semua itu.
Secara bertahap sebagai bagian dari
proses islamisasi, orang-orang muslim Ambon mulai bersumpah menggunakan Alquran
atau bersumpah “diatas” Alquran sebagai pengganti dari sumpah matakau (Knaap 1987a: 10-12, 60-62, 1987b: 51-53)
Kita juga bisa berasumsi bahwa
orang-orang kristen Ambon juga akan meniru contoh ini, dan kemudian bersumpah
menggunakan atau diatas Alkitab/Injil.
Dalam masyarakat tradisional Alifuru,
isi perjanjian itu sendiri tidaklah tertulis. Sejauh perjanjian bersifat umum,
semua orang yang hadir dalam perjanjian itu, pada akhirnya berfungsi sebagai
saksi dari perjanjian itu.
Perjanjian itu seharusnya terdiri dari
segala macam ketentuan secara terperinci, dengan kepercayaan bahwa daya ingatan
orang akan “memaksakan” dirinya untuk
menerapkan semua itu (akibat takut)
pada resikonya.
Perjanjian tertulis diantara
organisasi seperti negara terjadi
antara Portugis di satu sisi dan para Sultan Ternate, Tidore dan Batjan disisi
lainnya, pada paruh pertama abad ke-16.
Apakah perjanjian model ini juga
terjadi diwilayah Ambon antara Portugis dengan “orang-orang Ambon taklukannya” belumlah
diketahui. Sangatlah mungkin bahwa Portugis dan musuhnya yaitu kaum muslim
Ambon membuat perjanjian tertulis untuk mengakhiri perang diantara mereka. Ketika
VOC (Belanda) pertama kali tiba di Ambon, mereka mencoba untuk mencapai
kesepakatan tertulis dengan para pihak yang mereka jumpai. Salah satunya adalah
perjanjian pertama dengan Hitu pada tahun 1601, yang menyatakan bahwa
perjanjian tersebut ditandatangani dan disegel oleh para pemimpin Hitu, “menurut kebiasaaan kita sendiri” diatas
Baileu.
Kesepakatan ini cukup sederhana, ini
hanya menyangkut aliansi bersama melawan Portugis dan hak prerogatif dalam
perdagangan. Pada perjanjian sebelumnya, orang-orang Hitu telah setuju untuk berdagang
dalam hal mengirimkan semua cengkih (ke VOC) untuk pendirian garnisun mini
milik VOC sebagai markas pertahanan melawan Portugis.
Sejak tahun 1605,
perjanjian-perjanjian menjadi jauh lebih terperinci dan terdiri dari lebih
banyak klausa/ketentuan.
Masyarakat lokal/pribumi seringkali
adalah pihak yang kebebasan bergeraknya secara serius dibatasi oleh
perjanjian-perjanjian ini, maka tidaklah mengherankan jika kekerasan sering muncul.
(Heeres 1907: 12-14, 31-33, 58-61, Andaya 1993: 58)
-----Bersambung
----
Catatan Kaki :
1. Nossa Senhora da Anunciada secara literal bermakna (benteng) Bunda Maria yang diwartakan kabar baik.....
.merupakan nama asli benteng milik Portugis yang dibangun diwilayah pantai Honipopu, dekat Rodenberg (Batu Merah).
Benteng/kastil ini dibangun pada 23 Maret 1576 dimasa Kapten Sancho de Vasconcelos (1575-1590/awal1591)
menjadi pemimpin Portugis untuk wilayah Ambon dan sekitarnya. Benteng ini sekarang lebih dikenal dengan nama benteng Nieuw Victoria.
Saat benteng ini ditaklukan pada tanggal 23 Februari 1605, oleh Belanda dibawah pimpinan Laksamana Steven van der Haghen,
namanya diganti menjadi Victoria yang berarti kemenangan.
2. Knaap menggunakan kata the former chief-merchant yang kami terjemahkan sebagai bekas Opperhoofd....,
karena Gijsels menjadi Chief-merchant/Opperhoofd di Hitu pada tahun 1615 – 1618,
sehingga tahun 1621, otomatis Gijsels adalah bekas Opperhoofd.
§ Lihat penjelasan karir Artus Gijsels oleh W.Ph Coolhas dalam
Generale Missiven Gouverneur Generaal en Raad van Indie, eerste deel, hal 279, catatan kaki no 6
§ Informasi dari Artus Gijsels secara lengkap yang disebutkan oleh Knaap, yang didalamnya
berisikan tentang perang tradisional orang Ambon dimuat oleh Knaap sendiri pada Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon.....
. terbitan Martinus Nijhoof, tahun 1987, halaman 20 – 77. Ulasan panjang lebar Artus Gijsels ini berjudul
Grondigh verhael van Amboyna ende de dependentie ini pertama kali dipublikasi dalam Kroniek van het Historisch Genootschap
volume 28 tahun 1871, halaman 348-394, 397-444 dan 450-494
3. Nicolas Puyck bertugas di Ambon dalam periode 1610-1614 sebagai seorang Opperkopman (Pedagang senior).
Tahun 1612 yang disebutkan oleh Knaap adalah perkiraaan Knaap, karena tidak ada sumber yang secara eksplisit menyebut tahun Puyck.
Ulasan panjang dari Nicolas Puyck juga dimuat oleh Gerrit J Knaap dalam Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon......
terbitan Martinus Nijhoof, tahun 1987, halaman 15 – 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar