Oleh : Gerrit J Knaap
A. Kata Pengantar
Kota
Ambon di masa kini, yang padat, dan disesaki oleh populasi dari beragam etnis,
bukanlah fenomena moderen. Gejala sosial itu, akarnya bisa dilacak kembali ke
masa lalu, ke masa VOC atau kompeni. Gerrit J Knaap dalam artikel yang “indah”
ini, melacak sejarah kota Ambon sebagai kota kaum urban atau kaum migran. Mendasari
kajiannya dengan banyak arsip VOC serta kajian-kajian sejarahwan lainnya, ia
mengupas “struktur” kota Ambon pada akhir abad ke-17. Pada kajiannya ini, Knaap
mendeskripsikan struktur kota Ambon, tentang struktur fisik, sosial, ekonomi
dan politik pada akhir abad 17. Ia menjelaskan tentang struktur benteng
Victoria sebagai titik sentral kota, jalan-jalan kota, komposisi penduduk,
struktur politik berupa pemerintahan kota, struktur ekonomi dan berbagai hal
lainnya, yang merupakan ciri khas sebuah kota urban pada periode kolonial. Membaca
kajian bermutu ini, kita akan sadar bahwa fenomena sosial di kota Ambon masa
kini bukan muncul dari ruang hampa. Ia telah terbentuk sejak lama.
Kami menerjemahkan artikel ini, agar bisa
dibaca dan menjadi pengetahuan bersama tentang suatu kota, yang mungkin pernah
kita singgahi, pernah kita tempati atau bahkan hanya sekedar tahu sepintas
saja. Artikel ini pertama kali dimuat pada tahun 1991 dalam majalah: Indonesia
volume 51 halaman 105 – 128 dengan judul berbahasa Inggris A City of Migrants : Kota Ambon at the end of seventeenth century. Artikel sepanjang 28 halaman ini, berisikan 24
halaman deskripsi/kajian, 62 catatan kaki dan 4 halaman berisikan
gambar/lukisan, berupa 1 gambar peta dan 4 lukisan.
Pada artikel terjemahan ini, catatan kaki
dari penulis kami tandai dengan angka, sedangkan catatan tambahan dari kami,
ditandai dengan huruf. Kami melakukannya hanya sekedar menjelaskan suatu hal
lebih lanjut, dimana sang penulis menulisnya hanya secara umum. Hal ini kami
lakukan, agar kita lebih mengetahui secara utuh tentang masalah itu. Kami juga
membagi artikel terjemahan menjadi 2 bagian, dengan pertimbangan agar bisa
diikuti, dibaca dengan ringan dan bisa dipahami secara baik. Selain itu, kami
juga menambahkan beberapa gambar/lukisan dari 5 gambar/lukisan yang dimuat oleh
penulis sendiri.
Akhir
kata, selamat membaca kajian bermutu ini.....selamat mencerna sejarah sosial
tentang sebuah kota pada masa lalu...selamat memahami sejarah panjang yang
telah membentuk kota itu...suatu kota yang mungkin menjadi “identitas” kita
sebagai orang Ambon.
Teluk Ambon dalam tahun 1680an |
B. Terjemahan :
Sekitar lima belas tahun
yang lalu, Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku,Indonesia memperingati 4 abad
usianya. Kota Ambon saat ini dihuni oleh
sebagian besar populasi orang Indonesia, termasuk Kristen dan Muslim Ambon
serta imigran Muslim dari tempat lain, terutama dari Sulawesi. Proporsi kaum migran
bukan-Ambon termasuk tinggi. Orang Ambon sendiri masih lebih suka tinggal di
pedesaan, suatu hal yang dapat dimengerti karena kota itu penuh sesak dan
kondisi kehidupan jauh dari nyaman. Namun, kaum imigran di Kota Ambon bukanlah
fenomena modern. Kota ini selalu memiliki sebagian besar pemukim non-Ambon.
Dalam artikel ini, saya
membahas perkembangan Kota Ambon dalam 130 tahun pertama keberadaannya, dan
menunjukkan bahwa Kota Ambon berkembang menjadi kota non-Ambon, yang terletak didalam
dan dikelilingi oleh orang Ambon sendiri di wilayah pinggiran1. Dalam
beberapa tahun terakhir, kota kolonial "awal" di Asia Tenggara menjadi
topik yang semakin menarik bagi sejarawan. Sehubungan dengan hal ini,
seharusnya Kota Ambon tidak diabaikan,bukan hanya karena kota Ambon adalah
salah satu kota kolonial pertama, tetapi
juga karena sumber arsip memungkinkan analisis sistematis masalah secara lebih
rinci, daripada mungkin untuk pemukiman di tempat lain. Penampilan fisik kota,
institusi dan pemerintah, serta struktur ekonomi dan demografinya akan
dibandingkan dengan hasil-hasil dari penelitian lain, yang telah dipublikasikan
dalam dekade terakhir. Kota Ambon, meskipun memiliki beberapa sifat yang sama dengan kota-kota kolonial awal
lainnya, juga memiliki karakteristik uniknya sendiri.
Fort Victoria tahun 1607 |
Seperti banyak kota-kota
lain di dunia, Kota Ambon berasal dari pemukiman di luar dinding benteng.
Benteng ini didirikan pada 1576 oleh Portugisa, yang membutuhkan kubu
pertahanan kuat yang baru, setelah mereka diusir dari pulau Ternate di Maluku
Utara oleh Sultan Baab Ullah pada tahun 1575. Benteng baru ini terletak di
pantai Honibopo, yang dulu bagian dari wilayah desa Ahusu (Ahusen), salah satu wilayah
orang Ambon, sekutu Portugis. Benteng itu, dibangun dari batu dan diberi nama
"Nossa Senhora da Anunciadab." Di sekitar benteng, para casados, para bekas tentara Portugis yang telah menikah di Asia dan
telah memilih untuk tinggal di sana, itu menetap. Pada masa krisis, mereka bertugas
sebagai milisi untuk membantu pasukan kerajaan Portugis melawan musuh-musuhnya.
Selain para casados, beberapa desa/negeri Kristen Ambon yang mendukung
perjuangan Portugis, berkembang di dekat benteng sebagai perlindungan terhadap
serangan dari koalisi Muslim anti-Portugis yang dipimpin Ternate. Satu dari
desa-desa/negeri itu terdiri dari orang
merdeka, orang Asia beragama Kristen, yang mengikuti Portugis dari Maluku
ke Ambon pada tahun 1575. Orang merdeka
ini mungkin adalah penduduk asli Maluku Utara, tetapi juga mungkin bahwa mereka,
adalah para bekas budak yang telah diberi kebebasan oleh tuan mereka; orang merdeka berarti "orang
bebas."2
Pemukiman itu
menyaksikan keadaan perang yang terus menerus dalam tiga dekade pertama
keberadaannya. Kota itu mengalami serangan serius pada tahun 1591, tahun 1593
dan tahun 1598c. Para lawannya, umumnya adalah Muslim Ambon, yang
menerima banyak dukungan dari pasukan Ternate dan / atau pasukan orang-orang Jawa.
Pada tahun 1600, kaum Muslim juga dibantu oleh kapal-kapal Belanda di bawah
komando Steven van der Haghen. Belanda datang ke Ambon untuk mencari rempah-rempah,
khususnya cengkeh. Pada masing-masing
kesempatan itu Portugis masih bisa mempertahankan posisi mereka, tetapi pada tanggal
23 Februari 1605, ketika Steven van der Haghen kembali atas nama
"Verenigde Oost-Indische Compagnie" (VOC), Perusahaan Hindia Timur
Belanda, yang diperlengkapi sepuluh armada kapal, Gaspar de Melod,
Gubernur yang telah putus asa, menyerahkan benteng dan semua wilayah
kekuasaannya di Maluku Tengah kepada Belanda. Pada kesempatan ini, Belanda,
untuk pertama kalinya sejak mereka tiba di Asia, memperoleh hak berdaulat, dan
dengan demikian mendapatkan benteng Ambon, menandai awal kekaisaran kolonial mereka3.
Meskipun Steven van der
Haghen menjamin kebebasan beragama bagi orang-orang Portugis Katholik,
toleransi ini tidak bertahan lama. Pada
bulan Maret 1605, Gubernur Portugis bersama-sama dengan beberapa pejabat, para
tentara, dan keluarga mereka, kelompok yang terdiri dari beberapa ratus orang,
berlayar dengan kapal menuju Malaka. Selanjutnya, pada bulan Mei, 250 orang Portugis
yang tersisa, termasuk para misionaris Yesuit dan mungkin beberapa orang merdeka, juga meninggalkan Ambon, yang
dalam soal ini, menuju ke Philipina. Secara keseluruhan, sekitar 600 penduduk orang-orang
Portugis meninggalkan kota Ambon. Hanya 46 orang Portugis berdarah Asia atau beberapa
keluarga mestizo yang berjanji setia pada Belanda dan tetap tinggal, yang
secara keseluruhan kira-kira 200-300 orang4.
"Kota" Eropa pra-industri,
dalam terminologi modern, dianggap sebagai fenomena di mana beberapa
karakteristik spasial, ekonomi, peradilan, dan kelembagaan dapat dianggap
sebagai asal mula.
Secara umum, sebuah
kota diberi label sebagai pemukiman jika:
1. agak ramai dan tertutup
dengan dinding dan / atau parit untuk pertahanannya,
2. memiliki populasi yang
mengkhususkan pada bidang terutama non agraria yang sampai batas tertentu
mendominasi pedesaan sekitarnya,
3. memiliki populasi
yang status peradilannya berbeda dengan penduduk pedesaan, khususnya dalam arti
bahwa penduduk kota memiliki lebih banyak hak atau hak istimewa daripada
penduduk desa, serta
4. entitas politik
dengan lembaga pemerintahan sendiri yang telah mencapai tingkat yang cukup
tinggi dari otonomi vis-a-vis wilayah penguasa.
Menurut Anthony Reid,
kota-kota pra kolonial di Asia Tenggara sangat berbeda. Kota-kota Asia Tenggara
adalah pemukiman yang ruang huniannya tidak tersedia atau terbatas dan umumnya
tidak ada tembok-tembok pertahanan dan parit. Populasinya, meskipun sangat
bergantung pada profesi non pertanian, tidak memiliki status hukum khusus, dan
bentuk-bentuk pemerintahan sendiri terbatas pada pedagang asing yang tinggal di
tempat terpisah di kota5. Sebenarnya, sebuah kota adalah sekelompok
pemukiman mirip desa di sekitar istana atau suatu pelabuhan.
Ibukota-ibukota kolonial di Asia
Tenggara pada abad keenam belas dan ketujuh belas, seperti Malaka, Manila, dan
Batavia, sangat mirip dengan kota-kota Eropa, dengan pengecualian pada karakteristik
keempat; maka itu, meskipun beberapa ciri otonomi, seperti pemerintahan sendiri
untuk kelompok pedagang asing tertentu seperti di kota-kota asli Asia Tenggara,
dapat ditemui, sangat jelas bahwa "penguasa dunia," dalam hal ini diwakili
oleh Kerajaan Portugis atau Spanyol atau otoritas VOC, yang mendominasi
lembaga-lembaga kota.
Kota Ambon cocok dengan pola adaptasi
Eropa ini kecuali untuk karakteristik pertama, yang spasial. Meskipun Kota
Ambon adalah tempat yang agak ramai, terletak pada lembah berpantai di muara
sungai Wai Gajah dan Wai Tomo, namun tidak memiliki tembok
kota atau parit yang mengelilinginya. Secara ekonomi, unsur non pertanian
dominan dalam pemukiman, khususnya di bidang hubungan perdagangan di mana ia
memiliki keunggulan yang jelas atas wilayah pedesaan/pedalaman. Populasinya
memiliki status peradilan khusus jika dibandingkan dengan penduduk desa/negeri.
Peradilan khusus itu, dijalankan oleh para pegawai VOC dan “kaum penjajah” atau
burger (warga sipil). Kelompok warga
sipil, pada prinsipnya setidaknya, harus mengabdi pada negara kolonial, yaitu
VOC, dengan cara membentuk pasukan milisi yang dapat tentara inti kompeni dalam
keadaan darurat. Penduduk desa atau orang
negeri, di sisi lain, wajib melayani negara kolonial dengan "wajib
kerja", dalam arti bahwa mereka harus mengantar pegawai/pejabat kompeni,
surat-surat, dan perbekalan, pekerja pada armada kapal perang kaum pribumi,
yang biasa disebut hongi, dan
membantu membangun benteng-benteng kompeni6. Namun, Kota Ambon bukanlah
entitas politik yang otonom karena tidak memiliki pemerintahan sendiri; kota
ini dikelola oleh Gubernur VOC setempat dan dewan.
Kriteria ini mengecualikan
penduduk-penduduk desa/negeri untuk
menjadi bagian dari kota. Desa-desa/negeri orang Ambon yang berlokasi di
dataran pantai Wai Tomo dan Wai Gajah, seperti Soya di Bawah, Nusaniwe,
Latuhalat, Urimesen, Halong, Amahusu, dan Hatiwe, dianggap sebagai wilayah non-urban.
Label ini juga berlaku untuk permukiman Mardika dan Batu Merah. Populasi
Mardika terdiri dari keturunan sekelompok orang
merdeka dari abad ke-16. Meskipun populasinya hampir tidak memiliki tanah, mereka
masih wajib melakukan wajib kerja seperti semua desa/negeri orang Ambon lainnya.
Kurang lebih sama juga untuk Batu Merah, yang dimulai pada 1656 sebagai tempat
untuk “isolasi” bagi musuh-musuh VOC. Secara bertahap, Batu Merah berkembang
menjadi benar –benar sebuah desa/negeri; penghuninya, seperti Mardika, dianggap
sebagai orang negeri dan bukan warga sipil7
Kemunculan sebuah kota
Bangunan paling menonjol di Kota Ambon, yang mendominasi pandangan seseorang ketika mendekati kota melalui laut atau darat, adalah kastil. Seluruh aturan VOC di Ambon Belanda sibuk memperbaiki pembangunan kastil agar tetap dalam keadaan menjadi pertahanan yang baik. Catatan lengkap tentang sejarah bangunannya akan mengisi beberapa halaman; akibatnya, hanya sebagian besar peristiwa penting dibahas di sini. Ketika Belanda mengambil alih, kastil itu adalah batu bata persegi panjang yang sangat rentan terhadap kerusakan oleh tembakan musuh. Jadi di tahun 1605-1606, kastil dikelilingi oleh parit kecil dan benteng kecil didirikan di sudutnya. Pada tahun 1614, kastil itu dinamai nama baru yaitu Victoria, untuk memperingati perebutan Ambon dari Portugis. Dalam awal tahun 1630-an, parit diperluas dan sebagai akibatnya tanah yang tersedia digunakan untuk memperkuat tembok benteng. Pada tahun 1654, Victoria diperbesar kearah tepi pantai karena terlalu kecil untuk kegiatan Belanda yang terus berkembang8.
Fort Victoria tahun 1650an |
Pada awal tahun 1670-an, mungkin karena VOC merasa rentan dihadapkan dengan situasi, seperti perang Belanda melawan pasukan gabungan Inggris dan Perancis, suatu diskusi dimulai tentang manfaat pertahanan kastil. Mereka bahkan mempertimbangkan bangunan sebuah kastil yang sama sekali baru di tempat lain. Namun, pada 17 Februari 1674, kastil dan Kota itu dilanda gempa bumi paling parah abad ini dan bangunan kastilnya rusak parah. Akibatnya, VOC harus membeli rumah di kota untuk dijadikan sementara tempat tinggal untuk Gubernur dan keluarganya, tetapi tempat tinggal sementara itu ternyata permanen. Proyek besar berikutnya mengenai kastil dimulai pada 1679: Perlindungan melingkar dari batu dibangun di luar tembok, dan parit-parit baru digali menghadap ke sisi luar. Perlindungan ini, pada gilirannya dilindungi oleh parit kecil, yang diselesaikan pada tahun 1682. Pada tahun 1680-an, pertanyaan apakah kastil baru harus, dibangun didesak kembali. Akhirnya, pada 1697 mereka dengan bulat dan pasti memutuskan untuk tetap di situs/lokasi lama9.
Ketika Belanda mengambil alih dari Portugis, ada empat bangunan yang digunakan untuk kepentingan agama Kristen di sekitar kastil, dua di antaranya berfungsi sebagai gereja untuk penduduk desa-desa/negeri orang Ambon. Dari dua bangunan yang terakhir itu, mungkin berkerangka struktur kayu, tidak lagi diketahui setelah 1605. Dua lainnya, Santo Paulus dan Misericordia, jelas dimaksudkan untuk melayani garnisun Portugis dan penduduk kota: yang pertama sebagai paroki gereja dan yang kedua sebagai rumah sakit. Misericordia mungkin adalah dipergunakan sebagai sebuah rumah sakit di masa kekuasaan Belanda, hingga bangunan baru didirikan untuk tujuan ini pada periode tahun 1625-1630. Gereja St. Paul (Santo Paulus) diubah menjadi Gereja Protestan Calvinis, dimana ibadahnya dilaksanakan bagi jemaat orang Belanda dan yang berbahasa Melayu. Pada akhir 1620-an, bagaimanapun juga, bangunan yang sudah goyah itu, runtuh setelah badai. Di situsnya/lokasinya, sebuah bangunan batu baru didirikan untuk melayani kedua jemaat itu. Gereja kecil lain juga harus dibangun di dalam benteng untuk garnisun di paruh pertama abad ketujuh belas. Pemisahan mendasar antara komunitas agama yang berbahasa Belanda dan Melayu hanya terjadi, setelah gereja terbakar pada kebakaran besar tahun 1658. Pada kesempatan itu, VOC memutuskan bahwa komunitas yang terus tumbuh harus memiliki tempat ibadah masing-masing. Untuk sementara, komunitas berbahasa Belanda menghadiri kebaktian di gereja kecil itu di dalam benteng, sementara gereja berstruktur kayu, khusus didirikan untuk komunitas Melayu di situs bangunan lama yang terbakar. Sebuah gereja baru untuk Belanda dibangun pada tahun 1680-an, tepat berseberangan dengan rumah Gubernur di kotae. Sebuah bangunan batu baru dibangun untuk menggantikan struktur kayu gereja Melayu pada tahun 1696 di situs lama10/f.
Ketika Belanda merebut kota itu pada 1605, sebagian besar rumah penduduk terletak berbatasan langsung dengan kastil. Dari sudut pandang militer, rumah-rumah itu seharusnya terletak jauh dari kastil.
Karena itu, Belanda segera memulai perencanaan kota, antara lain dengan memindahkan rumah-rumah beberapa ratus meter ke selatan, sehingga menciptakan ruang terbuka di antara kastil dan kota. Perubahan berikutnya terjadi sepanjang tahun 1625. Jumlah warga telah berkembang dan laut telah mengikis sebagian besar pantai. Desa-desa/negeri orang Ambon dengan demikian diwajibkan untuk pindah ke pinggiran lembah berpantai, sementara warga kota secara bertahap harus mengisi ruang antara desa-desa ini di satu sisi serta kastil dan pantai di sisi lain. Pada akhir abad ketujuh belas, pola jalan Kota Ambon telah mencapai struktur akhirnya, yang masih dapat dilacak hingga saat ini. Olifantsstraat (Jalan Gajah), yang beranjak dari kastil ke arah tenggara menuju pegunungan, sesuai dengan Jalan Patimura di masa sekarang, serta Chinese straat (Jalan Cina) sesuai dengan Jalan Alexander Jacob Patty (jalan A.J. Patty). Breede straat (Broad Street) di tepi laut mungkin identik dengan Jalan Kemakmuran, sedangkan Prince straat (Jalan Pangeran) dan Mardijkersstraat (Jalan Mardijkers/Mardika) cocok dengan Jalan Sultan Hairun dan Jalan Telukabesi (Tulukabessy)11
Pada tahun 1620-an, suatu upaya dilakukan untuk mendaftarkan hak milik atas tanah dan rumah. Namun, karena kelalaian pemerintah dan penduduk, hingga tidak sampai 1680-an , barulah administrasi kadaster (tentang batas-batas tanah – catatan tambahan) yang cukup memadai dilakukan12. Lalu gambaran rumah-rumah itu seperti apa?. Biasanya, dinding rumah yang lebih besar terbuat dari batu hingga mencapai ketinggian 1,5 m; di atas level ini, rumah-rumah terbuat dari kayu. Atapnya terbuat dari daun-daun pohon palem (pohon mayang). Rumah-rumah yang lebih kecil, pedak, seluruhnya merupakan bangunan berstruktur kayu. Pada tahun 1640-an, untuk mengarahkan membangun rumah dengan cara yang kurang lebih teratur, VOC mengangkat seorang rooimeester, semacam inspektur/pengawas bangunan. Setiap pembangun potensial wajib bertanya kepada inspektur/pengawas, yang selalu menjadi pegawai kompeni, untuk memperoleh izin dan membiarkan inspektur memutuskan batas-batas bangunan.
Inspektur juga mengawasi kondisi jalan-jalan kota, yang tidak hanya berfungsi sebagai jalur lalu lintas tetapi juga berfungsi sebagai saluran air. Khususnya di musim hujan, sejumlah besar air mengalir dari gunung ke laut. Air ini seharusnya mengalir tidak hanya melalui sungai, tetapi juga melalui parit kecil di kedua sisi jalan. Setiap kepala rumah tangga bertanggung jawab atas pemeliharaan parit di depan rumah tempat tinggalnya. Parit selalu tersumbat karena terhalang binatang terutama babi, yang berlari bebas dan mengotori jalanan, serta manusia, yang membuang semua jenis sampah. Rooimeester harus melihat bahwa jalanan dan parit itu tetap dalam kondisi yang baik, dan bahwa setiap orang membawa sampah ke tempat-tempat yang disediakan di dekat pantai13.
Ketika tugas-tugas rooimeester meningkat, ia dibantu oleh para wijkmeester (Kepala Wijk), pengawas kompleks-kompleks di kota, yang dipilih dari jajaran warga kota. VOC (kompeni) telah membagi kota menjadi empat kompleks pada tahun 1666. Keempat wijkmeester harus melihat bahwa penduduk membuang sampah mereka di tempat-tempat yang tepat, dan penduduk harus menyimpan enam sampai dua puluh tabung bambu di rumah, sesuai dengan ukuran rumah mereka, masing-masing diisi dengan lima liter air untuk saling membantu jika terjadi kebakaran. Selain itu, rooimeester dan wijkmeester juga harus melihat bahwa tidak ada arak yang disuling, yaitu arak yang diproduksi secara lokal, atau minyak kelapa dalam sebuah rumah yang dianggap terlalu kecil untuk tujuan itu. Namun demikian, setelah kebakaran hebat tahun 1686 dan 1687, ketika seluruh jalan tertutupi abu, Gubernur Robert Padtbruggeg memerintahkan bahwa pertama, semua rumah harus dibangun terpisah setidaknya tiga meter dan, kedua, semua atap harus menggunakan genteng. Pemenuhan kewajiban pertama, khususnya, menyebabkan kesulitan besar bagi para pemilik yang telah membangun rumah mereka di atas lahan tanah yang relatif kecil14.
Portugis di Kota Ambon tidak memiliki bangunan-bangunan pertahanan seperti tembok kota dan parit. Belanda pada awalnya membiarkan situasinya begitu saja. Pihak kompeni berpendapat, bahwa musuh yang serius hanya akan mendekati Kota Ambon melalui laut. Di bagian itu kastil sudah memberikan perlindungan. Musuh dari wilayah pegunungan tidaklah terlalu diperhitungkan. Namun, pada dua kesempatan, tahun 1616 dan 1636, orang Kristen Ambon dari wilayah pedalaman/pegunungan bangkit melawan Kompeni dan mengancam kota, meskipun pada akhirnya tidak ada serangan skala penuh yang berlarut-larut. Namun demikian, pada tahun 1636, ancaman itu menghasilkan pendirian sebuah perlindungan melingkar dari kayu yang bersifat sementara di kota. Pada tahun 1665, ketika ada desas-desus tentang serangan orang Makassar ke Ambon, kota itu kembali dikelilingi dengan konstruksi sementara. Akhirnya, pada periode 1680-an, Gubernur Padtbrugge membangun parit-parit disekeliling dan parit-parit, yang hanya diwujudkan dengan menggunakan tenaga kerja wajib skala besar dari penduduk desa/negeri Ambon. Keluhan tentang tugas tenaga kerja yang berlebihan ini adalah salah satunya alasan bahwa Padtbrugge ditarik kembali ke Batavia oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1687. Dalam beberapa bulan setelah kepergian Padtbrugge, Ambon dilanda hujan lebat yang membuat parit dan parit-parit di sekeliling bentengnya dalam kondisi sangat buruk. Pada bulan Juni tahun berikutnya, hujan turun lagi dan menghancurkan karya-karya itu tanpa dapat diperbaiki kembali. Setelah kegagalan ini, tidak ada usaha lagi untuk membentengi kota15
Teluk Ambon oleh Johanes Vingoboons (1660an) |
Pemerintahan kota
Dalam masa VOC, pemerintah terpisah Kota Ambon tidak ada. Lembaga yang memerintah Provinsi Amboina, yaitu pulau Ambon dan kepulauan di sekitarnya, adalah Dewan Politik (Raad van Politie), yang juga membuat keputusan-keputusan besar/penting mengenai administrasi kota. Dewan itu bermarkas di kastil dan, pada akhir abad ketujuh belas, terdiri dari Governor, yang adalah Ketua/Pimpinan dewan, opperkoopman (pedagang senior), yang merupakan kepala administrasi VOC di tingat lokal, Kapitein, yang adalah pemimpin pasukan, Fiscal (seorang pengacara atau hakim), dan Soldijboekhouder atau Pengawas buku administrasi garnisun. Setiap kali hadir di kota, para penguasa distrik Hitu (Hoofd van Hitu) dan Saparua (Hoofd van Honimoa/Saparoea) juga menghadiri rapat-rapat dewan ituh. Satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas Dewan Politik adalah Pemerintah tertinggi di Batavia dan, yang berada jauh diseberang, "Heeren XVII" (direktur VOC atau Tuan-tuan 17) di Belanda16.
Tentu saja, Dewan Politik dengan tegas mengendalikan bagian dari populasi kota itu berada di kekuasan VOC. Jumlah pegawai kompeni di provinsi Amboina meningkat terus dari beberapa ratus pada awal abad ketujuh belas menjadi hampir seribu di pada akhir abad itu. Sekitar 50 persen dari mereka terkonsentrasi di kastil dan kota. Sektor terbesar dalam organisasi VOC adalah militer dan angkatan laut, tetapi yang paling kuat adalah sektor perdagangan, yang turut menentukan semua hal tentang kebijakan umum dan perdagangan. Selain Kapten Kastil, seluruh pejabat dari Dewan Politik ini direkrut dari sektor ini. Mempertimbangkan tugas-tugasnya, kategori mereka dapat disebut sebagai “pegawai negeri”. Populasi para pekerja bukan kompeni, biasanya disebut burger, yang dibagi menjadi tiga bagian yang terorganisir secara vertikal: Eropa, Burgerij Cina, dan asli (warga negara). Meskipun setiap warga memiliki pemimpinnya sendiri, otonomi mereka sangat terbatas. Dewan Politik, yang setelah berkonsultasi dengan figur-figur penting perwakilan masing-masing warga, menunjuk para pemimpin. Para pemimpin ini memiliki kekuatan eksekutif tetapi tidak memiliki otoritas membuat keputusan17
Fenomena warga negara Eropa, atau Vrijburgerij (warga bebas), berasal dari sekitar tahun 1610. Segera setelah Belanda mengambil alih dari Portugis, beberapa pegawai kompeni memulai hubungan seksual secara teratur dengan wanita berkebangsaan Asia. Pada awal tahun 1607, Admiraal (Laksamana) Cornelis Mateliefi mengizinkan pria Belanda untuk menikahi orang Ambon dan wanita Asia lainnya secara resmi. Karena sangat sulit bagi orang Eropa yang menikah dengan seorang wanita Asia untuk kembali ke kampung halaman, beberapa di antara pegawai meninggalkan pekerjaan dan mencoba mencari nafkah di kota. Apalagi kalangan-kalangan elit kompeni di Belanda menganggap perlu untuk merangsang pertumbuhan pemukim kategori ini dengan mengirim para pemukim langsung dari Eropa. Motif di balik inisiatif ini adalah pada saat-saat bahaya para pemukim itu, dapat membantu VOC secara militer, sama seperti para Casado lakukan di masa Portugis. Akibatnya, pada tahun 1611, sebuah rombongan dua puluh lima orang keluarga Eropa tiba di Ambon untuk mendirikan sebuah koloni. Upaya ini, bagaimanapun, tidak terlalu berhasil karena, terlepas dari kesulitan dalam mencari nafkah yang layak, moral orang-orang yang bersangkutan tidak sesuai dengan keinginan, setidaknya menurut Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa setelah upaya pertama untuk mengirim imigran Belanda ke Ambon, tidak ada lagi terdengar tentang masalah ini. Akibatnya, pegawai yang keluar VOC adalah satu-satunya sumber anggota baru untuk kelompok ini. Karena VOC bukan hanya majikan yang melindungi tetapi juga majikan yang sering pelit, pertumbuhan komunitas Vrijburger tidak terlalu mengesankan. Selain itu, karena kekurangan perempuan Eropa, komposisi yang demikian selalu bertanggung jawab atas apa yang dinamakan "mestizofikasi." Sekitar tahun 1700, kelompok warga Eropa, termasuk beberapa mestizos, hanya terdiri dari tujuh puluh pria18
Sejarah warga Cina dimulai segera setelah Vrijburgerij Eropa. Periode ini kurang lebih berasal dari periode yang sama dengan pendirian kota Batavia pada tahun 1619. Imigrasi orang Cina ke Ambon dapat dilihat sebagai hasil tidak langsung dari kebijakan VOC untuk menarik pemukim Cina ke ibukota kolonial. Tepat sebelum tahun 1620, sudah ada data masuknya migran Cina ke Ambon, dan sekitar tahun 1630, jumlah mereka sebanyak seratus orang19.
Setelah tahun 1650, komunitas Cina yang makmur dihadapkan dengan suatu kebijakan yang kurang menguntungkan dari pihak berwenang. Di paruh kedua tahun 1650-an dan paruh pertama pada tahun 1660-an, ada inisiatif di kalangan pemerintah untuk melarang semua keterlibatan Cina di perdagangan internal dan eksternal provinsi Amboina dan memerintahkan mereka untuk berkonsentrasi secara eksklusif pada bisnis pertanian dan kerajinan tangan. Mereka yang tidak mau melakukannya dihadapkan dengan pilihan untuk meninggalkan Ambon atau harus menjadi Kristen. Alasan untuk pendekatan yang agak bermusuhan ini, dapat ditemui pada ketakutan VOC, bahwa Cina dengan cara jaringan perdagangan dan fasilitas kredit mereka, akan merangsang penyelundupan cengkeh, suatu perdagangan yang merupakan monopoli kompeni. Kebijakan anti-Cina juga mungkin dihasilkan tekanan dari saingan mereka yang lebih berpengaruh secara politik, yaitu kaum pedagang warga negara Eropa, atau ketakutan umum akan orang Cina pada tahun-tahun ini karena pengambilalihan Cina atas posisi VOC di Taiwan pada tahun 1662. Pada waktu ini, karena Cina dianggap sangat diperlukan untuk hubungan perdagangan provinsi, khususnya untuk impor beras, sentimen anti-Cina menghilang. Namun, kadang-kadang, kecenderungan anti-Cina meningkat lagi. Namun demikian, jumlah orang Tionghoa menjadi sangat besar; pada 1700 ada sekitar dua ratus orang, mayoritas dari mereka adalah penganut Buddha. Dalam warga Cina, kecenderungan mestizofikasi adalah terlihat juga. Karena kurangnya perempuan Cina, banyak orang Cina harus menikah Wanita Indonesia, biasanya bekas budak orang Makassar atau asli Bali20
Kaum pribumi warga kota kadang-kadang disamakan dengan warga kota Ambon pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, yaitu warga kota yang terdiri dari etnis Ambon21. Namun, pengelompokan ini merupakan kesalahan karena "kaum pribumi" di zaman kompeni merupakan label yang digunakan untuk orang Asia pada umumnya. Pada abad ke-17 dan sebagian besar abad ke-18, penduduk pribumi warga kota terdiri dari orang-orang Asia, non-Ambon, "orang asing". Pada 1605, warga kota termasuk sebagian besar orang merdeka, atau Mardijkers, sebagaimana orang Belanda biasa memanggil mereka, yang ditinggalkan oleh Portugis. Selama abad ketujuh belas, kelompok ini diperkuat oleh mestizos dan / atau migran dari bagian lain di Asia. Pada tahun 1656, misalnya, sejumlah besar bekas tawanan perang asal Makassar memperkuat kelompok ini. Namun, pertumbuhan yang paling teratur dan substansial disumbangkan oleh masuknya budak yang dibebaskan, biasanya berasal dari Makassar, Buton, Bugis, dan Bali. Sekitar tahun 1700, pria berstatus Mardijker berjumlah sekitar 230 orang, sedangkan jumlah lelaki asal Sulawesi Selatan / Bali diperkirakan 210 orang. Berdasarkan nama-nama mereka, sekitar 90 hingga 100 persen dari orang-orang ini beragama Kristen. Dari sudut pandang etnologis, warga pribumi merupakan warga kota dari aspek jumlah terbesar. Pada akhir abad ketujuh belas, bagaimanapun juga, hal ini bukanlah masalah, karena alasan-alasan administrasi22.
Seperti yang telah disebutkan, masing-masing dari tiga kelompok warga kota memiliki pemimpinnya sendiri, ditunjuk/diangkat oleh Dewan Politik dari figur-figur penting kelompok itu. Orang Cina adalah yang pertama memiliki seorang pemimpin, yang disebut sebagai Kapitein der Chinesse (Kapitein Cina). Pada tahun 1619, seorang Tionghoa Kristen, bernama Herman, adalah figur pertama yang memegang posisi inij. Nama-nama kapitein untuk kaum Eropa dan pribumi, muncul pertama kalinya pada catatan-catatan tahun 1630an. Mungkin saja, kapitein kaum Eropa dan pribumi pertama ditunjuk pada periode yang jauh lebih awal. Bagi warga kota kaum Eropa dan pribumi, pemimpin mereka ada beberapa orang menurut tingkatan mereka, selain seorang kapitein, seorang letnan, letnan muda, dan bahkan sersan dan kopral. Sebaliknya, orang Cina harus puas dengan seorang kapitein saja. Perbedaan ini disebabkan oleh fakta, bahwa warga kota kaum Eropa dan pribumi, masing-masing membentuk milisi untuk kompeni, sebagai penjaga kota. Karena tidak mengabdi dalam tugas milisi, setiap orang Tiongkok harus membayar satu, kemudian tiga perempat rixdollar per bulan ke VOC. Menurut instruksi bagi warga kota yang bertugas untuk milisi, yang berasal dari tahun 1688, setiap pria warga kota berusia antara enam belas dan enam puluh tahun bertanggung jawab untuk melakukan tugas jaga dan harus memegang senjatanya sendiri untuk tujuan itu. Hanya kapten, letnan, letnan muda, dan enam sersan bisa membawa senjata yang berasal dari gudang kompeni. Secara keseluruhan, 1/3 anggota pasukan kompeni diharuskan mempersenjatai diri dengan tombak, dan 2/3 anggota menggunakan senapan.
Pada tahun 1647, milisi dari kaum Eropa berjumlah 41 dan pribumi, 74 orang. Pada tahun 1656, jumlahnya masing-masing adalah 58 dan 73. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1676, kekuatan relatif milisi Eropa berkurang. Meskipun telah tumbuh menjadi 80 anggota, milisi pribumi telah tumbuh jauh lebih cepat, menjadi 202. Namun, menurut Valentijn, sekitar tahun 1700, jumlah anggota kedua kelompok milisi itu sebanyak 250. Komposisi terakhir ini agak mengejutkan karena jumlah etnis Eropa dan orang-orang mestizo bahkan tidak berjumlah 10024. Apa yang terjadi?.. Karena tren demografis, Perwira-perwira warga kota dari kaum Eropa yang agak berpengaruh dan kaya cenderung tergolong dalam kelas “jenderal-jenderal yang bukan dari tentara”, sedangkan rekan-rekan mereka, perwira dari kaum pribumi, karena anggotanya relatif tidak berkembang pesat, hampir tidak kelihatan. Dewan Politik, oleh karena itu, memutuskan selama akhir tahun 1680-an untuk memperbesar warga kota dari kaum Eropa, dengan sejumlah orang warga kota dari penduduk pribumi yang lebih miskin. Jadi, pada akhirnya, warga kota kaum Eropa bukan “putih bersih” tetapi juga “kaum Eropa hitam”. Perubahan ini harus ditafsirkan sebagai tanda posisi istimewa elit Eropa Kelas Vrijburger dalam hal urusan politik. Tanda lain dari hal ini adalah, semua wijkmeester yang ditunjuk/diangkat sejak tahun 166o hingga seterusnya merupakan warga kota dari golongan orang Belanda. Tentu saja, warga kota dari golongan Eropa menerima posisi ini, yang pada kenyataannya bahwa secara etnis dan budaya, mereka lebih dekat ke lingkaran elit Dewan Politik yang merupakan pembuat keputusan25
Di provinsi Amboina, keadilan diberikan menurut status hukum dari pelaku-pelaku. Dengan demikian, ada Raad van Justitie (Dewan Peradilan), yang mengurusi masalah-masalah dari pegawai kompeni, Landraad untuk mengurusi kasus-kasus penduduk negeri-negeri orang Ambon, dan Schepenbank (lembaga pengadilan bagi golongan warga kota bukan orang Ambon) yang mengurusi kepentingan warga kota. Hanya Dewan Peradilan dan Lembaga Pengadilan, yang akan dibahas di sini. Dewan Peradilan berasal dari dekade pertama pemerintahan VOC, dan anggotanya sebagian besar adalah sama dengan Dewan Politik. Lembaga Pengadilan didirikan tahun 1628, dimana anggotanya terdiri dari 4 pegawai kompeni, 4 Raja dari negeri-negeri Ambon, dan 4 perwakilan warga kota yang terkemuka. Pada tahun 1663, lembaga ini dibubarkan dan selanjutnya urusan-urusan warga kota ditangani oleh Dewan Peradilan, yang dimana untuk kasus-kasus khusus yang bersifat sementara, anggota Dewan Peradilan ditambah dari 1 atau 2 warga kota terkemuka. Karena peran ganda ini juga, serta pertumbuhan populasi kota yang semakin pesat, jumlah kasus yang ditangani oleh Dewan Peradilan semakin banyak. Untuk meringankan beban anggotanya, Dewan khusus untuk urusan “kecil” mengurusi kasus-kasus sipil yang tingkatannya lebih kecil didirikan sekitar tahun 1666. Komposisi dewan khusus ini sangat mirip dengan komposisi Schepenbank sebelumnya26.
Meskipun peran warga kota terkemuka dalam pemerintahan kota, tidak menunjukkan perkembangan yang lebih substansial, tidak ada penentangan serius yang muncul dari warga kota terhadap aturan-aturan Dewan Politik. Terlepas dari fakta bahwa VOC memperkerjakan sekitar 40% populasi kota dari golongan laki-laki bukan budak, dan hal demikian dapat diandalkan dalam konteks posisi militer yang kuat di kastil dan juga kota, pembagian vertikal populasi diantara warga kota, mungkin bertanggungjawab atas tidak adanya oposisi. Koalisi dari ketiga golongan warga kota itu sangat tidak mungkin terjadi. Secara khusus, Eropa dan warga negara Tiongkok kadang-kadang berada dalam persaingan ekonomi yang sengit.
Para pemimpin warga kota golongan Eropa harus menyadari, bahwa meskipun VOC membatasi kebebasan mereka, tanpa perlindungan VOC mereka mungkin akan “hilang”. Pihak oposisi yang paling kuat dari Dewan Politik di Kota Ambon, dapat ditemui pada kelompok lain masyarakat, terutama yang berada di jajaran kompeni itu sendiri, yaitu golongan para pendeta Calvinis.
Seperti halnya di Belanda, urusan gereja Protestan setempat adalah tugas yang ditangani oleh Kerkenraad (Dewan Gereja), yang didirikan di Ambon pada tahun 1625k. Selain para pendeta sendiri, dewan ini biasanya terdiri dari beberapa orang awam, seperti satu pegawai kompeni, satu warga Eropa dan 2 Raja dari negeri-negeri Ambonl. Para pendeta mulai dari 2 hingga 5 orang selalu ada pada dewan ini. Sepanjang abad ke-17, seperti di pemukiman VOC lainnya, tampaknya ada tradisi atau konflik antara para pendeta dan Dewan Politik. Konflik-konflik ini sebagian bersifat pribadi dan sebagian tentang masalah prinsip. Latar belakang konflik berdasarkan prinsip, dapat ditemukan pada kecenderungan teokratis dalam gereja Calvinis abad ketujuh belas di Belanda. Menurut pendapat banyak pendeta gereja, gereja seharusnya tidak terkena intervensi atau otoritas politik. Akan tetapi, para pendeta yang pergi ke Asia itu gajinya dibayar oleh kompeni, dengan demikian, mereka juga adalah pegawai kompeni yang harus tunduk pada kekuasaan Dewan Politik. Jadi orang tidak perlu heran, bahwa konflik terjadi secara berkala antara pendeta dan gubernurm, bahwa pihak kekuasaan menanggapi hal ini dengan mengekang otonomi Dewan Gereja sebanyak mungkin. Langkah pertama dalam proses ini adalah pengiriman seorang delegasi ke pertemuan-pertemuan Dewan Gereja, yang tugasnya adalah untuk melaporkan proses-proses Dewan Gereja ke Dewan Politik. Setelah ditentang keras, para menteri dipaksa untuk menerima campur tangan ini pada tahun 163127.
Langkah selanjutnya dalam hal mengambil wewenang para pendeta terjadi sekitar tahun 1660. Sebelum waktu itu, setiap orang Kristen yang ingin menikah harus meminta nasihat dan izin dari pendeta.
Tugas ini kemudian diberikan kepada Dewan khusus untuk Urusan Pernikahan, yang tak lama kemudian bergabung dengan Dewan Urusan Kecil. VOC, warga negara Eropa, dan kepala desa Ambon memiliki perwakilan mereka sendiri di dewan baru ini. Namun, para pendeta dikeluarkan dari keanggotaan.
Pada awal abad ini, Dewan Gereja juga mengatur pendapatan dan pengeluaran bagi orang miskin. Pada tahun 1690, bagaimanapun juga, Dewan khusus Diakonia didirikan tanpa ada pendeta yang ditunjuk/diangkat. Dengan demikian pada akhir abad ketujuh belas, basis kekuatan para pendeta menjadi semakin melemah28.
Keberadaan lembaga untuk merawat orang miskin, menunjukkan aspek lain kehidupan kota yang seharusnya tidak diabaikan. Mengingat sifat migran masyarakat Kota Ambon, pihak berwenang kurang lebih diwajibkan menyediakan perawatan anak yatim dan warisan. Sejauh ini mayoritas Kristenlah yang mendapat perhatian, masalah ini ditangani oleh Weeskamer (Dewan Pengawas Balai Yatim Piatu), yang sudah ada dalam tahun 1630an dan anggotanya terdiri dari dua pegawai kompeni dan tiga warga kota, seperti VOC itu sendiri dan / atau organisasi yudisial yang disebutkan sebelumnya. Semua hal tentang warisan orang-orang non-Kristen, terutama Cina, ditangani oleh College van Boedelmeester van Chinesse (Dewan Pengelola Harta Peninggalan), yang didirikan pada tahun 1647. Dewan ini dipimpin oleh seorang administratur gudang pakaian kompeni (Winkelier), serta anggotanya adalah Kapitein kaum pribumi, Kapitein China dan orang-orang China terkemuka lainnya29
======Bersambung ======
Catatan Kaki
1. Seluruh sumber-sumber kearsipan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari Algemeen Rijksarchief (ARA) di Den Haag, terkhususnya dari koleksi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (disini disingkat VOC). Singkatan kata “res” merujuk pada resolusi/keputusan Dewan Politik Gubernemen Ambon. Kata “zielsbeschr” merujuk pada kata “ zielsbeschrijving” atau (Deskripsi Penduduk /Cacah Jiwa) serta kata “dagregister Victoria” merujuk pada catatan harian yang tersimpan di Benteng Victoria Ambon
2. H.Th.M. Jacobs, Wanneer werd de stad Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest, dimuat pada Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde, volume 131, nomor 4, Leiden, 1975, hal 427-460. Kutipan berasal dari halaman 447,451,453-454,456-457
3. H.Th.M. Jacobs, The Portuguese Town of Ambon 1576-1605, paper yang dipresentasikan pada The Second International Seminar on Indo-Portuguese History, Lisbon, Oktober 1980 (kutipan berasal dari hal 11)
§ G.J. Knaap, Kruidnagelenen en Christenen : De Vereenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambin 1656 – 1696, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde 125 (Dordrecht : Foris, 1987), hal 15
4. I. Commelin, Begin ende Voortgangh van de Vereenigde Nederlantsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie, Volume 2, (Amsterdam: Janszoon, 1646), voyage 12, hal 36
§ P. A. Tiele (editor), Documenten voor de geschiedenis der Nederlanders in het Oosten, dimuat dalam Bijdragen en Mededeelingen van het Historisch Gennotschap edisi ke-6 (1883), hal 285, 289
§ H.Th.M. Jacobs (editor), Documenta Malucensia, vol 2, Monumenta Missionum Societatis Iesu 39 (Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1980), hal 681,690
5. A. Reid, The Stucture of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeeth Centuries, dimuat pada Journal of Southeast Asian Studies, edisi 9 (1980), hal 240-242, 247
6. Knaap,Kruidnagelen ... hal 138-160
7. Ibid (sama dengan di atas), hal 272, 301
8. G.E. Rumphius, De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal, dimuat pada Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde, volume 64, Leiden, 1910, bag I, hal 25,82, juga bag II, hal 74
§ W.Ph. Coolhaas (editor), Generale Missiven van Gouverneurs-generaal en raden van indie aan Heren XVII der Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Rijks Geschiedkundige Publication 104 (The Hague: Nijhoff, 1960), vol 1, hal 35
§ G.J. Knaap (editor), Memories van Overgave van Gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, Rijks Geschiedkundige Publication, Kleine Serie, 62 (The Hague: Nijhoff, 1987), hal 3
9. VOC 1293: 61r; 1300: 34r-35r, 54r, 494v res.; 1344:127 res.; 1376: 52v
§ W.Ph. Coolhaas (editor), Generale Missiven van Gouverneurs-generaal en raden van indie aan Heren XVII der Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Rijks Geschiedkundige Publication 134 (The Hague: Nijhoff, 1971), vol 4, hal 602-603
§ Idem, Rijks Geschiedkundige Publication 150 (The Hague: Nijhoff, 1975), vol 5, hal 389,825
10. Knaap, Memories....hal 7
§ Rumphius, Ambonsche Historie, bag I, hal 51, 77, bag II, hal 119
§ J. Mooij, Geschiedenis der Protestantsche Kerk in nederlansch-Indie 1602 -1636, (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1923), hal 213
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, vol 2 (Dordrecht: Van Bram, 1724), Beschrijvinge van Amboina (di sini akan dikutip selanjutnya dengan kata Beschr), hal 130-133
§ VOC 1243 : 1102
11.
Rumphius,
Ambonsche Historie, bag I, hal 53
§
Knaap,
Memories....hal 11
§
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 125-126, 134
12.
Rumphius,
Ambonsche Historie, bag I, hal 53
§
Valentijn,
Oost-Indie, Ambonsche Zaken (di sini
akan dikutip selanjutnya dengan kata Amb.Z.J.), hal 252
§
Knaap,
Memories....hal 250
13.
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 126-127
§
Amb.Z,
hal 251-253
14.
VOC
1309: 848r-849v,
§
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 126-127
§
Amb.Z,
hal 257
§
Knaap,Kruidnagelen ... hal 195
15.
H.T.
Colenbrander (editor), Daghregister
gehouden in’t casteel Batavia 1636 (The Hague:Nijhoff, 1899), hal 230
§
Knaap,Kruidnagelen ... hal 22,39,45-47,152
§
Knaap,
Memories....hal 250,273
§
VOC
1260:res 30-7-1666, 1437: 100r-101v, 1453:62r
16.
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 277-278
§
Knaap,Kruidnagelen ... hal 269-270
17.
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 270,338
§
Knaap,Kruidnagelen ... hal 279-280
18.
Rumphius,
Ambonsche Historie, bag I, hal 27
§
H.T.
Colenbrander, Jan Pietersz Coen,
Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indie (The Hague: Nijhoff, 1934), vol 6:
hal 40,42,49,
§
Mooij,
geschiedenis....hal 49
§
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 270
19.
Colenbrander,
Coen......, hal 271
Rumphius, Ambonsche Historie, bag I, hal 83
§ L. Blusse, Strange Company, Chiense settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-Land en Volkenkunde 122 (Dordrecht : Foris, 1986), hal 80-81
20. VOC 880:500, 888:599, 889:659
§
Valentijn,
Oost-Indie, Beschr, hal 259,268,270
21. H.J. de Graaf, De Geschiedenis van Ambon en de Zuid Molukken, (Franeker:Weven, 1977), hal 132
22. Valentijn, Oost-Indie, Beschr, hal 269-270
§ Knaap, Kruidnagelen.........., hal 279
§ Knap, Memories........., hal 201
23. Valentijn, Oost-Indie, Beschr, hal 268, 341
§ P.A. Tiele (editor), Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Malaischen archipel ( The hague: Nijhoff, 1886), vol I, hal 253
§ Rumphius, Ambonsche Historie, bag I, hal 132
§ VOC 1453:48v
24. Knaap, Memories....hal 176, 201
§ Valentijn, Oost-Indie, Beschr, hal 347
§ VOC 1317:359v
25. VOC 1309:849v res.; 7953,1436,1451,1461,1481: zielsbeschr.
26. Knaap, Memories, pp. 94, 211, 422;
§ Valentijn, Oost-Indien, Beschr., hal 339-340
§ Knaap, Kruidnagelen, hal 39.
27. Mooij, Geschiedenis, hal. 206, 208, 218.
28. VOC 1497:64r-66v;
§ Knaap, Memories, hal 94,176.
29. Valentijn, Oost-lndien, Beschr., hal. 340
§ Knaap, Memories, hal. 94,176.
Catatan tambahan (dari kami)
a. Benteng Portugis ini didirikan dimasa pemerintahan Kapten Portugis di Ambon, Sancho de Vasconcelos (1572-1591). Menurut sumber Hubert Jacobs, berdasarkan sumber-sumber Portugis, benteng Portugis ini didirikan pada tahun 1576 dan memperkirakan hal itu berlangsung pada periode Feb – Juli 1576. Beberapa sumber lain menyebut tanggal didirikan benteng ini pada tanggal 25 Maret 1576. Namun tanggal ini, merupakan “kesimpulan” berdasarkan surat dari Kapten Portugis di Ambon, Estevao Teixera de Macedo (2 Maret 1599 – 1602) kepada Raja Philip III tertanggal 2 Juni 1601, yang menulis : vanuit dit fort Nossa Senhora da Anunciada (dari benteng Nossa Senhora da Anunciada ini), dimana menyebut bahwa penamaan nama benteng itu, seperti benteng-benteng lainnya berdasarkan pada perayaan hari-hari gerejawi, menurut liturgi gereja Katholik saat peletakan batu pertama. Dari pembacaan ini, maka sumber-sumber itu mengambil kesimpulan bahwa karena menurut liturgi gereja Katholik, perayaan Nossa Senhora da Anunciada jatuh pada tanggal 25 Maret, sehingga mereka menyebut tanggal 25 Maret 1576. Hubert Jacos dalam catatan tambahan pada akhir artikelnya, menulis bahwa sumber surat itu, “membenarkan” dugaannya sehingga ia menyebut bahwa peletakan batu pertama itu bisa saja terjadi tanggal 25 Maret 1575 atau 25 Maret 1576.
§ H.Th.M. Jacobs, Wanneer werd de stad Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest, dimuat pada Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde, volume 131, nomor 4, Leiden, 1975, hal 427-460. (lihat halaman 453, 459)
§ Marco Ramerini, Ambon : The Portuguese in the Moluccas, Indonesia
§ M. Aziz Tunny, Anomali Kelahiran Kotaku, Ambon dimuat oleh tabloid Tabloid Id tertanggal 07 Sept 2019
§ Frits H Pangemanan, Hari lahir kota Ambon yang termanipulasi dimuat pada Harian Ambon Ekspres tertanggal 22 Maret 2012
b. Nossa Senhora da Anunciada adalah nama benteng dalam bahasa Portugis yang bermakna “ Benteng Bunda kita yang diwartakan Kabar Baik”. Benteng ini dinamai seperti itu, karena peletakan batu pertama pada tanggal 25 Maret, dimana tanggal itu dalam liturgi gereja Katholik sebagai hari Anunciada, yang dalam konteks teologi Katholik memahami sebagai tanggal dimana Maria, Bunda Yesus Kristus diberi kabar sukacita oleh malaikat Gabriel tentang kelahiran Yesus.
§ Lihat M. Aziz Tunny, Anomali Kelahiran Kotaku, Ambon dimuat oleh tabloid Tabloid Id tertanggal 07 Sept 2019
§ Frits H Pangemanan, Hari lahir kota Ambon yang termanipulasi dimuat pada Harian Ambon Ekspres tertanggal 22 Maret 2012
c. Yang dimaksud oleh Knaap dengan serangan serius pada kota Ambon tahun 1591, adalah serangan armada kesultanan Ternate yang dipimpin oleh eksekutor kesultanan Ternate untuk wilayah Buru, Ambon dan Seram, yaitu Salahakan Rubohongi. Peristiwa ini terjadi pada Februari 1591. Serangan pada tahun 1593 juga dilakukan oleh Ternate, sedangkan tahun 1598 dilakukan oleh orang-orang Jawa sebelum bulan Mei 1598
§ Lihat H.Th.M. Jacobs (editor), Documenta Malucensia, vol 2, Monumenta Missionum Societatis Iesu 39 (Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1980), hal 298 (catatan kaki no 10),298, 456
§ Marco Ramerini, Ambon : The Portuguese in the Moluccas, Indonesia
d.Gaspar de Melo adalah Kapten Portugis di Ambon yang terakhir. Ia memerintah sejak 1602 – 23 Februari 1605. Ia menggantikan kapten sebelumnya Estevao Teixera de Macedo (2 Maret 1599 – 1602). Gaspar de Melo adalah keponakan dari D. Manuel de Melo
§ Lihat H.Th.M. Jacobs (editor), Documenta Malucensia, vol 2, Monumenta Missionum Societatis Iesu 39 (Rome: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1980), hal 5*, 679 (catatan kaki no 2)
§ Rumphius, Ambonsche Historie, bag I, hal 23
e. Sebuah gereja baru yang disebut Hollandsche Kerk dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Robert de Vicq (1678-1682) dan pejabat Jeremias van Vliet (1682-1683)
§ Lihat Valentijn, Oost-Indie, Beschr, hal 133
f. Gereja Melayu yang dimaksud ini dibangun pada tahun 1695 di masa pemerintahan Gubernur Nicolaas Schaghen (1691-1696) kemudian dilanjutkan oleh pejabat Cornelis Stuul (1696 – 1697)
§ Lihat Valentijn, Oost-Indie, Beschr, hal 130
g. Gubernur VOC van Ambon, Robertus Padtbrugge berkuasa sejak Januari 1683 – Maret 1687. Ia menggantikan pejabat Gubernur, Jeremias van Vliet (Agustus 1682-Januari 1683). Padtbrugge kemudian digantikan oleh Dirk de Haas (Maret 1687 –Mei 1691)
h. Knaap secara eksplisit menulis bahwa : whenever present in town, the rulers of districts of Hitu and Saparua also attended the sessions of the council (setiap kali berkunjung ke kota (Ambon), penguasa distrik Hitu dan Saparua, juga menghadiri/ikut dalam sidang/rapat Dewan Politik). Pernyataan ini, menjadi indikasi bahwa distrik Hitu dan Saparua memiliki pengaruh penting, sehingga penguasanya/Hoofd van Hitu dan Hoofd van Honimoa/Saparua, mempunyai “hak” untuk menghadiri sidang-sidang Dewan Politik. Hal ini ditunjukan oleh Valentyn, saat menyusun para penguasa di Ambon, misalnya selama periode 1675 – 1699 (akhir abad ke-17), yang mengurutkan Hoofd van Hitu, kemudian Hoofd van Honimoa.
§ Valentijn, Oost-Indie, Ambonsche Zaken, zevende hoofdstuk, hal 16-25, 31-32
i. Pada sumber-sumber kearsipan VOC, Admiraal (Laksamana) Cornelis Matelieff bernama lengkap Cornelis Matelief de Jonge. Menurus sumber J.K.J. de Jonge, Cornelis Matelief menuju ke Ambon dari Bantan/Banten pada tanggal 27 Maret 1607, dan bertemu dengan Gubernur Ambon, Frederik de Houtman bersama para raja. Matelief juga membuat keputusan mengijinkan para serdadu VOC untuk menikah dengan wanita Ambon dan wanita Asia lainnya.
§ Lihat J.K.J. de Jonge, De Opkomst van het Nederlandsch Gezag in Oost Indie (1595-1610), derde deel, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1864, hal 53
j. Knaap dengan eksplisit menulis : in 1619, a Christian Chinese, Herman became the first to hold the position. Informasi ini berbeda dengan sumber dari Rumphius dan Valentyn yang menyebut Herman menjadi kapitein china pada tahun 1625. Herman menjadi Kapitein der Chinesse hingga tahun 1631, kemudian digantikan oleh Artus Gijsels.
§ Rumphius, Ambonsche Historie, bag I, hal 54,83
§ Valentijn, Oost-Indie, Ambonsche Zaken, zevende hoofdstuk, hal 48
k. Kerkenraad (Dewan Gereja) van Ambon didirikan pada 21 Agustus 1625
§ Eerste Acta van de Kerkenraad van Ambon, Ambon 21 Agustus 1625.... ANRI, Archief Kerkenraad Batavia 136, folio 23-24
l. Menurut sumber gereja, 2 raja yang pertama kali menjadi anggota Kerkenraad van Ambon adalah Jo Castanja, hooft van Hatyva (Hatiwe) dan Paulo Gomis, hooft van Mardika.
§ Brief van de Kerkenraad van Ambon aan de Kerkenraad van Batavia, Ambon 14 Juni 1626.... ANRI, Archief Kerkenraad Batavia 136, folio 31-33
m. Pada akhir abad ke-17 (dalam konteks artikel ini), Gubernur Nicolaas Schaghen (1691-1696) berkonflik dengan Pendeta Hendrik Willem Gordon (1691-1692)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar