[Hendrik E. Niemeijer]
A. Kata Pengantar
Kesultanan atau Kerajaan Ternate
merupakan salah satu kerajaan utama dan terbesar di Maluku, selain kerajaan
Tidore. Kebijakan politik, sosial, ekonomi kesultanan itu, turut mempengaruhi
dinamika yang terjadi di wilayah-wilayah “vasal” atau periferi, yang salah
satunya adalah Ambon-Lease. Kebijakan tersebut terbentuk akibat kontak dan
relasi kerajaan tersebut dengan kekuatan Eropa yang muncul pada abad ke-16 dan
ke-17, yaitu Portugis dan akhirnya Belanda.
Relasi tersebut, khususnya relasi
VOC dan Ternate pada abad ke-18 itulah yang dikaji oleh Hendrik E. Niemeijer lewat artikel sepanjang 27 halaman ini. Artikel ini aslinya
berbahasa Belanda dengan judul De geveinsde vrede. Eer, protocol en
diplomatie in de machtsverhouding tussen de Verenigde Oost-Indische Compagnie
en Ternate omstreeks 1750. Artikel ini bersama 15 artikel lainnya dari
beberapa sejarahwan, misalnya Jurian van Goor, Femme Gaastra, George Winius,
Hugo s’Jacob, Kees Zandvliet, Remco Raben, Leonard Blusse, Gerrit Knaap,
Leonard Andaya, Willem Remmelink, Merle Ricklefs, Alicia Schrikker dan
lain-lain, dimuat dalam buku berjudul De Verenigde Oost-Indische Compagnie
tussen Oorlog en Diplomatie [The United East India Company between War and
Diplomacy] yang dieditori oleh Gerrit J Knaap dan Ger Teitler dan diterbitkan
tahun 2002, oleh KITLV, Leiden. Artikel Neijmeijer ini berada pada halaman 309-335.
Beberapa potret Sultan Ternate |
Mendasari dengan arsip-arsip VOC,
khususnya daagregister (catatan harian) fort Oranje di Ternate, serta Memorie
van Overgave (Nota Serah Terima Jabatan) Gubernur VOC Ternate, Hendrik
Neijmeijer mengulas relasi 2 kekuatan ini dengan berbagai informasi menarik,
yang mungkin belum kita ketahui selama ini. VOC bukan hanya sebagai kolonialis
yang menyengsarakan rakyat, namun faktanya mereka juga sering bertindak sebagai
pegadaian buat para penguasa Maluku, keluarga Sultan, dan kalangan istana. Saat
kalangan elit Maluku tersebut membutuhkan dana atau kesulitan keuangan, mereka
meminjam dari VOC dengan jaminan tertentu. Selain itu, Neijmeijer juga
menyampaikan bahwa relasi VOC dan Ternate lebih pada relasi feodalistik, dimana
VOC “dipaksa” harus memberikan hadiah tahunan kepada para penguasa Maluku,
dalam hal ini Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Juga harus mengikuti protokol
ketat saat melakukan pertemuan dengan Sultan. Ada cerita menarik yang
disampaikan penulis, Gubernur VOC Ternate, Jacob Christaen Pielat sangat
ketakutan, karena ketidaktahuan para pegawainya melakukan kesalahpahaman
protokol, dimana mereka menembakan meriam penghormatan kepada kora-kora yang
menggunakan payung terbuka dan panji-panji saat melewati benteng dan disangka
ditumpangi oleh Sultan Ternate, padahal ditumpangi oleh Putri kerajaan Tidore.
Padahal protokol tersebut hanya merupakan hak eksklusif bagi Sultan Ternate dan
bukan yang lain. Dan masih banyak informasi-informasi menarik lainnya. Artikel
ini semakin berharga, karena Neijmeijer melampirkan deskripsi penobatan
Outshoor Ajan Sjah sebagai Sultan Ternate pada November 1752, berdasarkan
daagregister benteng Oranje tertanggal 22 November 1752.
Seperti yang disebutkan bahwa artikel ini sepanjang 27 halaman, ditambah 43 catatan kaki, dan tidak ada gambar ilustrasi maupun peta. Yang kami terjemahkan ini adalah artikel dalam bahasa Inggris yang telah diterjemahkan oleh Rosemary Robson dari artikel berbahasa Belanda tersebut. Kami membagi artikel ini menjadi 2 bagian, menambahkan gambar ilustrasi dan catatan tambahan.
Sultan
Ternate di istana, ca.1680an |
B. Terjemahan
Sepanjang tahun 1750, hanya
sedikit di istana kesultanan Ternate yang gagal melihat bahwa Sultan Ternate
yang sudah tua dan sakit-sakitan, Safiudin Kaitjil Radja Lauta mengenang
37 tahun “tunduknya” tidak kurang dari 12 Gubernur VOC Moluccas (Ternate)
dengan perasaan campur aduk1/b. Semakin memburuk kesehatannya,
semakin marah perilaku lelaki tua itu, terutama dalam cara dia berurusan dengan
para pegawai VOC. 2 orang pengawal Eropa yang mengawal Sultan pada perjalanan
berlayar terakhirnya mengelilingi pulau cengkih kesayangannya itu, mengeluhkan
bahwa mereka harus menghabiskan malam-malam yang panjang di udara terbuka,
sedangkan pada siang hari mereka diwajibkan untuk “berjemur” di bawah terik
matahari. Singkatnya, sepanjang hari mereka terkena demam paling parah yang
bisa dibayangkan orang Belanda. Di sisi lain, dengan isyarat
keabadian, Radja Laut sendiri telah berlayar mengelilingi pulau lebih sering
dari biasanya, dengan bermalas-malasan di bawah payung, ditemani oleh 4 atau
lebih selirnya untuk memberinya pijatan santai sesekali2. Meskipun
kegelisahan Sultan kadang-kadang diselingi dengan perasaan mengantuk, kelesuan
ini tidak menghalangi dia untuk melampiaskan kejengkelannya kepada Belanda.
Jika daftar pendek keinginan atau permintaan Gubernur VOC Ternate di sampaikan
padanya, tanpa repot-repot berkomentar, dia menjawab pendek “ada baik” (biarlah)3.
Ketika beberapa perwakilan kompeni menyampaikan padanya tentang
keluhan dari saingannya yaitu Sultan Tidore, tentang kelakuan buruk Alifuru
Ternate, yang dia gumamkan hanyalah “cassie tobak” (berikan tembakau),
sementara dia menertawakan seorang anak laki-laki Maluku yang duduk di sebelah
tahtanya yang seputih orang Belanda4. Ketika utusan-utusan kompeni yang
menganggap situasi seperti itu sebagai “komedi atau huru-hara”, bertanya kepada
Sultan apakah mereka harus keluar/pergi dari keraton dengan tangan kosong,
lelaki tua itu menjawab sambil tersenyum, melambaikan tangannya sedikit, dan
menjawab : Salamat (pergilah dengan tenang)5.
Keraton Ternate sekitar 1720an |
Rincian mencolok tentang
hari-hari terakhir Sultan Radja Laut menggambarkan banyak kekesalannya terhadap
pemerintahan kolonial VOC. Meski demikian, tampaknya hubungan dengan Belanda
tidak selalu seburuk ini, setidaknya dari sudut pandang VOC. Pada tahun 1750,
Gubernur VOC Ternate membuat laporan tentang Sultan ini dan menyampaikan “kami
sama sekali tidak berkomentar tentang perilakunya, karena dia masih dermawan
terhadap kompeni”6. Namun, tinjauan terhadap percekcokan politik
antara benteng dan istana selama seluruh periode pemerintahan Radja Laut
menimbulkan cukup banyak perdebatan untuk menyadari bahwa paruh pertama abad
ke-18 yang tampaknya tenang ini, menawarkan sedikit substansi untuk mendukung
citra patriarkal “orang tua kompeni kecil” dan kedua “putranya” di Maluku
– Ternate dan Tidore. Realitas faktual dari intrik politik,
manipulasi, saling curiga dan hormat atau penghormatan dengan jelas
menggarisbawahi relasi feodalistik.
Cara Sultan Radja Laut naik
tahta, dan cara ia berhasil, hanya 2 contoh dari hal ini. Ketika Sultan
Kaitjili Tolokko wafat pada tahun 1714c, ia meninggalkan 3 orang
putra yang sah. Putra keduad menikmati jabatannya sebagai pejabat kepala
negara di Kesultanan, tetapi “dibaikan” demi berdamai dengan Tidore. Putra
ketiga tidak layak untuk memerintah, selain ia juga menunjukan kecenderungan
untuk menganggap Tidore dengan baik, yang mana sikap ini bertentangan dengan
kebijakan pembagian-dan-aturan VOC. Namun, putra tertuanya, Radja Laut,
digambarkan sebagai “yang paling baik hati”7. Ketika Radja Laut
sendiri meninggal, Dewan Politik sekali lagi memperdebatkan soal suksesi dengan
hal yang sama. Di mata kompeni, salah satu calon penggantinya, Pangeran Sjah
Mardan (alias Swammerdam) “tidak berperilaku meragukan”. Namun, ia sama sekali
tidak memiliki pengikut atau “pendukung” diantara penduduk Ternate, dan Dewan
Politik khawatir bahwa mereka tidak cukup hormat melalui hadirnya militer yang
lemah untuk memberikan uluran tangan kepada “kesayangan” mereka, Pangeran
Kaitjili Ajan Sjah (alias Outshoorn) untuk naik tahta.
Meskipun ada keraguan ini, Ajan Sjahe naik tahta
dengan bantuan kompeni. Berdasarkan ketentuan perjanjian tahun 1683, VOC
memiliki hak untuk “mengangkat” [Sultan]. Namun, ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa pengangkatan Sultan yang “baik hati” sudah cukup untuk
menjamin stabilitas dan loyalitas pihak istana kesultanan Ternate. Faks-faksi
anti-VOC di kalangan istana, bahkan Sultan sendiri, tidak segan-segan mencoba
melepaskan ketergantungan terhadap VOC segera setelah kekuatan Eropa lainnya
memberikan kesempatan untuk melakukan upaya semacam itu. Pada tanggal 17
Februari 1796 (hanya beberapa minggu setelah Inggris merebut Ambon), ketika
desas-desus bahwa armada Inggris sedang berlayar di sekitar Ternate mulai
beredar, Sultan Ternate, Patra Kaitjili Aharalg, membagikan senjata kepada
rakyatnya sebagai persiapan untuk menyerang benteng Oranje. Dia bahkan
melangkah lebih jauh dengan meluncurkan armada kora-koranya dan akan menyambut
Inggris. Ini merupakan salah perhitungan, karena, setelah mereka merebut Ambon,
Inggris menetapkan jalur pertama ke Banda, dan bukan ke Ternate !. Rencana
Sultan Aharal merugikan dirinya; dia ditangkap dan dikirimkan menuju Batavia –
sebuah pelayaran yang membuatnya tidak selamat8.
VOC sebagai Tuan Besar
Oleh karena itu, hubungan antara
pemerintah dan keraton atau istana sebagian besar dipengaruhi oleh penunjukan
Sultan yang patuh, yang menerima bahwa hubungan itu adalah antara tuan dan
bawahannya. Dalam terminologi Maluku kontemporer, hal ini dijelaskan dalam
istilah hubungan antara ayah dan putranya. Misalnya, kita menemukan kata-kata
ini secara harfiah direproduksi dalam surat-surat yang dikirim oleh para
penguasa Maluku kepada Pemerintah Agung di Batavia. Menurut saya (penulis),
penggunaan terminologi ini, bukan merupakan indikasi diterimanya secara penuh
VOC sebagai “bapak dan tuan”9, tetapi dari bentuk kewajiban
rasa hormat yang dipaksakan oleh relasi feodal. Relasi ini terjalin
setelah pemberontakan orang Ternate yang gagal pada tahun 1679, dan Ternate
ditaklukan sepenuhnya oleh VOC (Belanda). Setelah pemberontakan dihancurkan,
Sultan dikirim ke Batavia sebagai tawanan. Di sana, pada 7 Juli 1683, ia
dipaksa menandatangani perjanjian atau kontrak. Berdasarkan ketentuan kontrak
ini, Ternate menjadi “negara bawahan” kompeni, dan semua wilayah yang telah dinyatakan
sebagai milik kekuasaan Ternate menurut ketentuan Perjanjian Bungaya, menjadi
milik kompeni – “selamanya”10. Sejak saat itu, kedudukan Sultan
tidak lebih dari seorang “bawahan”, dan VOC memiliki hak untuk menunjuk
pengganti Sultan, suatu hak yang tidak terbatas pada penguasa Ternate saja,
tetapi juga pada semua penguasa wilayah-wilayah vasal yang pernah berada di
bawah kekuasaan Ternate, mulai dari Sula sampai ke Sangihe.
Ternate sebagai Pangkalan Operasi Militer
Pada moment ini, masih sulit
untuk menggambarkan secara baik tentang pentingnya VOC sebagai penguasa di
sebagian besar wilayah kepulauan di timur Indonesia. Di penghujung abad ke-17,
Ternate telah menjadi pusat politik dan diplomatik yang dikomandani oleh
loyalitas sejumlah penguasa wilayah dan lokal. Kemampuan militer apa yang
dimiliki VOC di Ternate?.
Pusat operasi militer adalah
benteng Oranje di pulau Ternate, terletak hanya 400 meter dari istana para
Sultan. Pada abad ke-18, kekuatan militer benteng ini berfluktuasi dari 125
orang menjadi 200 orang. Jika kita membentuk pandangan yang terlalu
dibesar-besarkan tentang efisiensi operasional manusia (pada tahun 1750 kita
berbicara tentang sejumlah kecil “prajurit-prajurit tua, sakit dan lemah”, 11
pelaut dan 5 penembak), benteng tersebut dapat dianggap sebagai benteng dengan
persenjataan yang baik. Kehidupan rutinitas yang suram orang-orang itu sebagian
besar terdiri dari tugas penjagaan, dan secara reguler membolak-balik dan
menjemur di bawah sinar matahari bubuk mesiu dalam jumlah besar, yang disimpan
di 4 gudang senjata besar. Pada abad ke-18, VOC sangat bergantung pada para
pembantu Sultan Ternate. Tanpa kora-kora Ternate dan Alifuru yang bersenjata
lengkap, ekspedisi melawan anasir-anasir pemberontak akan menjadi petualangan
yang berbahaya.
Plattegrond fort Oranje, ca 1780 |
Benteng Oranje adalah pangkalan
yang baik untuk berpatroli di lautan yang sangat jauh di wilayah perburuan
bajak laut dan kapal dagang ilegal (dalam arti beroperasi tanpa izin VOC).
Gubernemen VOC Ternate memiliki armada kecil shallops yang bersenjata
lengkap dan perahu pribumi yaitu pencalang. Pada tahun 1725,
misalnya, Gubernemen mempunya 6 buah shallops dan 4 pencalang11.
Rata-rata panjang kapal bervariasi dari 65 hingga 75 kaki dan mengangkut awak
antara 15 hingga 25 orang. Seperti telah dikatakan, kapal tersebut bersenjata
lengkap, membawa sekitar 10 meriam atau senjata yang lebih kecil seperti kamerbussen dan prinsenstukjes. Selain
itu, biasanya dilengkapi dengan snaplock, pistol, pedang dan granat tangan,
yang akan memastikan bahwa kapal-kapal ini dapat melakukan perlawanan terhadap
serangan kapal perompak dari tempat-tempat seperti Mindanao dan pulau-pulau
sekitar Papua. Sesekali di daerah-daerah terpencil di Sulawesi Utara dan
Maluku, kapal-kapal patroli ini berhasil menyerang armada bajak
laut. Meskipun mungkin untuk mengawasi dengan baik bagian-bagian dari
wilayah pesisir, tidaklah cukup untuk mengawasi perdagangan pribumi.
Cara ketiga dimana daerah itu
dapat dikuasai adalah dengan cara membangun benteng atau pos militer kecil. Ada
benteng Barneveld di Labuha (Bacan), beberapa pos di Makian, tetapi di Sulawesi
Utara (Manado, Gorontalo, Parigi) dan di kepulauan Sangihe-Talaud tidak banyak
unsur militer: biasanya 1 sersan sebagai komandan pos, dibantu oleh selusin
prajurit yang sakit-sakitan. Akibatnya, pos-pos semacam itu tidak dapat
bertahan lama melawan serangan-serangan orang pribumi, dan pada kenyataannya
terus dijalankan oleh para penguasa lokal, yang diuntungkan dari aliansi dengan
kompeni. Kawanan perompak dan perampok dari Papua, Mandar dan Bugis membuat
daerah itu sangat tidak aman, dan bendera kompeni di pantai berfungsi untuk
mencegah penyerang. Oleh karena itu, VOC mengunakan pos-pos ini terutama untuk
mendorong perdagangan kecil raja-raja lokal, “raja-raja” dalam produk laut,
lilin, minyak kelapa dan sejenisnya, dan untuk memerangi produksi cengkih yang
ilegal.
Kepentingan, Kontrak dan Hutang
Tujuan terpenting kompeni di
Maluku adalah pemusnahan pohon penghasil rempah-rempah, khususnya cengkih. Pada
awal abad ke-17, penanaman “tanaman merusak” ini, seperti yang distigmatisasi
oleh VOC di Ternate, telah dipindahkan ke wilayah Gubernemen VOC Ambon. Untuk
mencegah “perdagangan selundupan” kaum pribumi, VOC secara teratur
menyelenggarakan ekspedisi pemusnahan ke daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan para Sultan. Penguasa Maluku telah berkomitmen pada monopoli cengkih
dengan menandatangani kontrak-kontrak, dengan imbalan sejumlah uang tahunan
dari perbendaharaan kompeni yang dikenal sebagai recognitiepenningen. Karena
tindakan ini merampas sumber pendapatan umum para penguasa Maluku, dan recognitiepenningen tidak
cukup untuk menutupi pendapatan yang hilang, kompeni juga bertindak
sebagai pegadaian. Para Sultan dan kerabat mereka yang memiliki sedikit
kesulitan dalam mendapatkan yang banyak, tetapi dengan demikian menjadikan
mereka sendiri terperangkap dalam belitan finansial. Hubungan hutang ini
memungkinkan VOC untuk memberikan tekanan tambahan pada penguasa Maluku untuk
berkolaborasi dalam tindakan pemusnahan, dimana beberapa tentara VOC didampingi
tim pendayung pribumi pergi ke hutan untuk mencari pohon-pohon cengkih.
Biasanya, ancaman pengurangan
pembayaran kembali pinjaman tambahan dari recognitiepenningen tahunan
sangat efektif. Meskipun hubungan hutang merupakan hal umum dalam perdagangan
dan pemerintahan di Asia Tenggara, kegilaan Belanda terhadap akuntansi dan
obsesi pembukuan, dalam hubungannya dengan kebijakan menahan dana para
penguasa, merupakan pengalaman yang sangat memalukan bagi para penguasa. Tanpa
pundi-pundi kompeni, para Sultan tidak dapat mempertahankan basis kekuatan
mereka – bagaimana pun juga pada gilirannya mereka juga harus membayar
rakyat dan pasukan mereka, belum lagi kadang-kadang memberikan suap kepada
bangsawan istana yang mengomel – tetapi hal itu merendahkan
untuk terus-menerus meminta uang, dan sekali lagi merasakan cengkeraman dari
belitan.
Seperti dikatakan, dalam relasi patron-klien, bagi dunia luar kompeni adalah Bapak Kompeni, tetapi ini tidak lebih dari rasa hormat yang dipaksakan, sebuah gelar kehormatan, dibaliknya kebencian yang sangat besar meluap. Penguasa Ternate tidak mampu melepaskan cengkeraman besi, meskipun kompeni menahan diri sebisa mungkin dari urusan-urusan administrasi pribumi. Gubernur VOC Ternate, Jacob Christaen Pielat berpikir bahwa ketika semua yang dikatakan dan dilakukan, kompeni tidak peduli dengan cara Sultan hidup dengan rakyatnya, “selama dia mengurus keprihatinan dan kepentingan sebenarnya dari kompeni sesuai dengan kontrak-kontrak selanjutnya”. Lagipula, tidak akan ada akhirnya, “jika seseorang harus memperbaiki semua kejadian memuakan di istana ini”12. Dalam situasi seperti itu, dengan kastil dan keraton yang berjarak dekat satu sama lain, para pegawai kompeni, para Sultan dan abdi dalem istana dibebani satu samaa lain. Namun, karena ketergantungan timbal balik ini, penting bagi masing-masing faksi untuk melihat dan mendengar diri mereka sendiri di depan publik, untuk menarik perhatian yang tegas pada legitimasi budaya dan politik mereka sendiri.
Korps musik kesultanan Ternate, ca.1893 |
Raison d'état, Pencegahan Konflik dan Budaya
Diplomatik
Singkatnya, hubungan stabil
antara VOC dan Kesultanan pada abad ke-18 adalah hasil dari penaklukan
feodalistik Kesultanan pada tahun 1683, manipulasi politik dan ancaman militer
terhadap lokasi benteng Oranje, dan tentu saja dibelakangnya menjulang kekuatan
militer Batavia, pada tempat yang hampir tidak jauh dari kraton. Seluruh
situasi diperparah oleh kebijakan devide and rule pada 2
musuh bebuyutan, Kesultanan Ternate dan Tidore. Lebih lanjut, jika ada
kesempatan, VOC dapat menampilkan dirinya sebagai mediator dalam konflik etnis,
terutama antara Alifuru yang tunduk pada Ternate dan pada Tidore, yang terjepit
dalam konflik perbatasan di dusun Dodinga. Stabilitas juga didorong oleh
hubungan hutang antara VOC dan para Sultan.
Tetapi seberapa signifikansi dimensi budaya dalam relasi timbal balik, baik formal maupun pribadi, antara Sultan dan Belanda sebagai pemegang kekuasaan?. Kerjasama jangka panjang antara benteng dan istana harus ditafsirkan dalam konteks iklim politik-budaya dimana ekspresi ritual negara kolonial ditekankan mana yang merupakan kekuatan dominan dan ideologi yang disodorkan. Sejauh ini, para sejarahwan belum memberikan banyak pertimbangan teoritis pada aspek sejarah kekaisaran ini, tetapi beberapa upaya telah dilakukan. Menurut Van Kemseke (mengikuti jejak Hedley Bull), budaya politik internasional dicirikan oleh “iklim intelektual dan moral”. Yang pertama terdiri dari ide, harapan atau tujuan, yang terakhir dari sistem kriteria dan nilai yang diterapkan. Intinya, diplomasi tidak bisa lagi dipisahkan dari budaya yang memproduksinya13. Ciri utama dari rezim kuno adalah sistem normatif yang kuat dengan tradisi penghargaan dan protokol yang kaya, ditentukan secara lokal dan nasional. Ide “kehormatan” sangat penting. Konsep honneur ala Perancis jauh lebih dari sekedar perbedaan peringkat, baik dalam pakaian maupun tulisan. Ini juga mengacu pada penghindaran rasa malu, honte, yang dimungkinkan oleh publik melalui tanda-tanda penghormatan : bukti kehormatan sebagai konsekuensi dari pemenuhan kontrak, keberanian militer dan menepati janji14.
Lukisan prosesi saat kunjungan Jacob Rogeveen di Ternate (1722) |
Eksplorasi singkat tentang
beberapa momen di masa pemerintahan Sultan Radja Laut, memungkinkan kita untuk
menguji kebenaran asumsi secara empiris. Sumber utama informasi tentang kontak,
baik formal maupun pribadi antara pemegang kekuasaan di benteng Oranje dan
Sultan Ternate, keluarga dan kerabatnya adalah dagregister (catatan
harian) benteng Oranje di Ternate. Penting juga untuk tidak melupakan
kontak-kontak pribadi. Realitas Ternate abad ke-18 bukanlah garis penindasan
militer yang panjang dan tak terputus dan penindasan kolonial yang keras. Pulau
itu cukup terisolasi dan para Gubernur sering menghabiskan waktu mereka dengan
menaiki orembaai kompeni, acara kumpul-kumpul minum malam, dan pesta
ulang tahun. Para Sultan juga gemar memamerkan bendera dan dalam perjalanan
berlayar, senang membawa bersamanya rombongan budak. Pada aspek-aspek budaya
diplomatik Ternate sehari-hari inilah, saya akan berkonsentrasi pada hal-hal
berikut.
Ruang Dalam Keraton Ternate |
Hadiah Tahunan
Setiap tahun hubungan feodal antara VOC dan Sultan-sultan Maluku
dilambangkan dan diratifikasi dengan pertukaran surat-surat dan hadiah-hadiah.
Pemerintah Agung setiap tahun mengirimkan hadiah-hadiah dan surat-surat kepada
3 penguasa Maluku, yaitu Ternate, Tidore dan Bacan. Merupakan kebiasaan bagi
hadiah-hadiah kompeni untuk diberikan kepada para penguasa oleh utusan beberapa
pedagang junior, suatu kesempatan ketika kewaspadaan diberikan untuk memastikan
bahwa masing-masing menerima sama persis. Hadiah yang biasa diberikan adalah
tekstil India atau beludru/sutra Persia, tetapi pada tahun 1739, juga diberikan
tekstil dari Koromandel dan Benggala, Sultan Tidore menerima bendera merah,
putih dan biru, tampaknya untuk menghiasi kora-kora-nya16. Hal
menarik lainnya adalah pada tahun 1725, penguasa Bacan diberi gulungan kain
lebar hitam dengan hiasan emas dan seikat bulu-bulu burung. Hanya bulu putih,
kata dokumen itu, karena merah dan hijau tidak bisa didapatkan di Batavia.
Selain hadiah-hadiah ini, ada pisau cincang di sarung berkait/bergagang perak
dan snaphance17. Pemberian dari Batavia menunjukan bahwa, Pemerintah
Agung memperhatikan keinginan para penguasa. Namun demikian, hadiah tahun 1725
itu adalah bukti bahwa Pemerintah Agung di Batavia menyimpan banyak fakta bahwa
bahkan di tempat terpencil seperti Labuha, penguasanya mengenakan pakaian
Eropa.
Hadiah-hadiah yang diterima Pemerintah Agung setiap tahun dari para penguasa Maluku untuk menyertai surat-surat mereka, umumnya terdiri dari beberapa budak, laki-laki, perempuan dan anak-anak, ditambah sejumlah burung beo dan burung cendrawasih. Kontrak tahun 1683 menegaskan bahwa Sultan dan pejabat negaranya berjanji “dalam kualitas pengikut kompeni untuk menjadi wakil dan memberi penghormatan kepada Gubernur Jenderal dan Anggota Dewan Hindia, serta surat-surat mereka dengan 2 budak laki-laki, 2 budak perempuan, 10 burung kakatua dan 10 lorikeet bergaris merah” (Coolhas 1968 : 315). Biasanya, hadiah-hadiah ini dinilai antara 150 dan 200 ringgit18. Yang paling penting, bukanlah jumlah budak19 atau uangnya. Hadiah-hadiah ini mewujudkan nilai simbolis, yaitu peran upeti dan “vasal”. Dalam surat yang menyertainya, yang harus dikirim ke benteng oranje oleh utusan khusus dari istana Maluku, Sultan harus menyatakan dirinya dengan rendah hati sesuai dengan subjeknya. Jika hadiah tahunan tidak ada, Batavia langsung menunjukan ketidaksenangannya, seperti yang terjadi, misalnya pada tahun 1782 ketika Sultan Tidore lalai menambahkan “tanda penghormatan” yang diatur dalam kontrak, pada hadiah tahunannya. Utusan istana Tidore diharapkan untuk menyerahkan surat tahunan dan hadiah kepada Gubernur dengan cara yang tepat. Gubernur harus mematuhi aturan protokol dengan ketat. “Perdana Menteri” atau Mangkubumi Tidore dan beberapa utusan telah menunggu di benteng dimana mereka akan menerima surat dan hadiah dari Batavia di ruang dewan dengan diiringi 3 tembakan meriam dari benteng utama20. Di satu sisi pertukaran hadiah antara VOC dan penguasa Maluku adalah tanda kewajiban upeti dari vassal kepada tuan feodal mereka, Bapak Kompeni, tetapi itu juga merupakan cara untuk memelihara hubungan diplomatik dan konfirmasi status penguasa pribumi.
Kora-kora Ternate |
Protokol dan Kehormatan
Meskipun dalam kapasitasnya
sebagai penguasa, VOC telah mengambil alih kedaulatan penuh yang diwujudukan
dalam kewajiban memberikan upeti, para Gubernur harus memberikan perhatian yang
cermat untuk mematuhi protokol yang tepat. VOC tidak ingincampur tangan secara
langsung dalam administrasi adat, pembuatan hukum atau pemeliharaan hukum dan ketertiban
oleh para pemimpin adat21. Tetapi ini membutuhkan sikap
timbal-balik : pengakuan publik atas kepemimpinan adat.
Penghargaan publik yang diberikan
kepada para Sultan di Maluku memiliki tradisi yang kaya. Di bagian awal, Antony
Caeng mengatakan bahwa “kapan pun suatu kontrak ditandatangani, pada
kesempatan seperti itu, orang Moor biasanya harus diberi penghormatan dengan
banyak tembakan dari meriam kompeni”22. Gubernur Padtbrugge mencatat
bahwa para penguasa Maluku sangat sensitif hingga pada penggunaan payung atau
pelindung matahari yang tepat di kapal mereka. Hanya penguasa Ternate, yang
dianggap sebagai penguasa utama dari 4 kerajaan pribumi Maluku, yang dapat
membawa 4 payung di kapalnya. Kora-kora kerajaan Ternate juga
menikmati hak untuk memegang dayung dengan cara tertentu, yaitu “bahwa ketika
mereka mengangkat dayung mereka keluar dari air, para pendayung di haluan dan
buritan dari kora-kora Raja mengangkat dayung dengan bagian atas bilah mengarah
ke atas dan memutarnya, yang lain tidak mengikuti gerakan ini, atau ini akan
memberi alasan untuk penyitaan”. Ketidakpatuhan terhadap protokol seperti
larangan sementara terhadap pemukulan tifa saat mereka berlayar saat
melewati kursi satu sama lain, dianggap oleh penguasa Maluku sebagai penghinaan
yang menyedihkan23. Ketika orang Eropa memasuki dunia Maluku, mereka
(orang Maluku) telah dengan tegas menyatakannya dengan mempertimbangkan
kebiasaan politik dan budaya yang berlaku.
VOC tidak dapat menghindari
kebiasaan halus dan penggunaan ritual, yang dengannya hubungan politik yang
genting di Maluku telah diekspresikan sejak jaman dahulu. Kapan pun seorang
Gubernur ingin mengadakan pembicaraan dengan raja-raja Maluku di Ternate,
Tidore atau Bacan, protokol yang rumit diterapkan. Gubernur yang baru harus
membiasakan diri secepat mungkin dengan protokol. Misalnya, Gubernur Pielat
menginstruksikan kepada penggantinya, Elias de Haeze, dengan cermat dalam
protokol untuk dipatuhi ketika Sultan diundang dan diterima untuk pertemuan di
benteng. Ia menulis bahwa 2 delegasi/utusan (biasanya anggota Dewan Politik)
dengan pengawalan seorang sersan, seorang kopral dan 12 tentara/prajurit,
pertama-tama akan mengundang Sultan Ternate untuk membahas masalah kenegaraan.
Ketika waktu yang ditentukan untuk pertemuan tiba, kapal-kapal yang sedang
berlabuh di dekat jalan utama harus mengibarkan bendera dan panji-panji.
Kemudian pedagang senior dan kapten dikirim untuk menyambut Raja/Sultan,
sementara satuan yang terdiri dari 48-72 grenadier (pemukul tambur)
ditambah 3 perwira berjajar dari kediaman Gubernur hingga dekat dengan gerbang
benteng. Pengawal-pengawal Gubernur hadir bersenjata lengkap di ruang resepsi
bawah dan atas. Segera setelah Raja/Sultan melewati kubu pertahanan laut (di
sisi kanan gerbang masuk), 3 tembakan meriam ditembakan. Ketika benar-benar
sampai di gerbang masuk, Sultan disambut dengan pukulan tambur dari para
grenadier yang berbaris24.
Ada juga upacara penyambutan untuk kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Utara atau Kepulauan Utara (kepulauan Siau-Sangihe-Talaud), tetapi mereka harus puas dengan protokol yang lebih sedikit. Ada aliran kedatangan reguler raja-raja yang baru dipilih, ditemani oleh beberapa pejabat negara mereka, yang datang ke Ternate untuk bersumpah setia kepada Gubernur. Meskipun resepsi mereka di benteng mengesankan suatu kehormatan besar, perjalanan panjang mereka seringkali berakhir dengan sangat sederhana dengan secangkir teh. Ketika Ismaël Jacobsz dari Siau tiba di Ternate, ia dan 3 pejabat negaranya dijemput dari tempat tinggal mereka oleh penjemput yang standar dan kepala juru tulis polisi, dan mereka melewati 2 rangkap/baris tentara bersenjata di halaman benteng. Tambur tidak dibunyikan, wajar saja, karena dia (Ismaël Jacobsz) belum bersumpah setia. Ketika dia melakukan ini di ruang resepsi atas benteng, Raja diberi “pujian biasa” dan diberi “sapaan yang sesuai”, setelah itu dia diperkenalkan oleh staf raja, “dan kemudian raja kecil tersebut mengambil beberapa cangkir teh sesuai aturan”, kemudian ia dapat kembali ke tempat tinggalnya, disertai dengan pemukulan tambur dan 3 tembakan pistol/senjata penghormatan25.
Barisan pengawal Kesultanan Ternate (abad 20) |
Kadang-kadang
ada hambatan dalam protokol, dan cara benteng bereaksi terhadap kesalahpahaman
ini menunjukan betapa sensitifnya para penguasa Maluku terhadap ketaatan yang
tepat terhadap kesopanan protokoler. Gubernur Pielat mengalami ketakutan dalam
hidupnya pada tahun 1730, ketika sebuah kora-kora dengan payung
terbuka di tendanya, mengibarkan panji-panji di atas bendera – sebuah ciri
khas kapal kerajaan – terlihat berlayar melewati benteng sekitar jam 10
pagi. Para penembak menembakan 3 tembakan senjata penghormatan seperti
biasanya, dengan anggapan bahwa Sultan Tidore sedang lewat. Namun, ternyata itu
adalah putri Tidore, Putri Tagalaja yang sedang lewat dalam perjalanannya
mengunjungi acara pesta teh yang diadakan oleh janda Hollemansh di
Ternate. Ketika Pielat mengetahui bahwa kora-kora tersebut bukan membawa
seorang penguasa, dia segera mengirim utusan ke istana Ternate untuk mengetahui
apakah ada aturan yang mengatur kejadian seperti itu. Jawaban dari
keraton/istana adalah “bahwa tindakan seperti itu tidak lazim di kalangan orang
Maluku, dan tidak boleh ada yang berlayar sebagai Raja/Sultan dengan payung
terbuka dan panji-panji di atas bendera, dan yang pasti tidak ada
wanita”, tetapi ketidaktahuan kompeni dimaafkan. Gubernur kemudian memberi
tahu perwakilan tetap Tidore di Ternate, Pangeran Tidori Wongi, tentang apa
yang terjadi. Pangeran menjawab bahwa mereka (VOC) telah melakukan hal yang
benar dalam menyambut seorang Putri Tidore dengan cara yang tepat, tetapi tidak
harus dengan menembakan tembakan meriam penghormatan. Sang Putri diberitahu
secara diam-diam bahwa tembakan penghormatan itu tidak ditujukan untuknya. Dia
(Putri) menunjukan pengertiannya, tetapi, pada gilirannya, meminta – tampaknya
sebagai kompensasi – bantuan Belanda untuk menangkap kembali 20 budaknya
yang telah melarikan diri dan sekarang berada di Makian, sebuah permintaan yang
dia ulangi sehari kemudian, dengan hadiah yang pantas, seorang budak kecil
Papua26. Untuk mencegah kejadian seperti itu di masa depan, yang
dapat dengan mudah menyebabkan ketegangan yang memuncak antara Ternate dan
Tidore, Sultan Ternate biasanya memberi tahu benteng sebelumnya tentang setiap
perjalanan berlayar yang ia rencanakan, agar kedua belah pihak mengetahui dan
yakin bahwa meriam di benteng dan di pos militer Voorburg akan ditembakan
dengan cara yang tepat27.
Faktanya, Raja-raja di Sulawesi Utara, terutama vasal
Ternate di teluk Tomini, juga diharapkan dihormati dengan kemegahan dan keadaan
yang tepat, dan tentunya dengan memperhatikan status [mereka] dengan benar.
Pada tahun 1731, Dewan Politik memerintahkan pedagang muda, Han Nebben pergi ke
Gorontalo untuk memeriksa apakah raja-raja Gorontalo, Limboto, Attingola dan
Bulanga tidak menyimpang dari pola-pola yang telah ditetapkan. Inti masalahnya
adalah bahwa raja-raja dari Gorontalo dan Limboto bertengkar dengan raja-raja
dari Attingola dan Bulanga tentang [siapa yang lebih memiliki] hak membawa
payung, tetapi perebutan yang besar adalah dalam soal penggunaan
terompet-terompet, yang dengannya “penguasa kecil” itu melakukan aksi terbaik
untuk mengesankan satu sama lain. Untuk memastikan tidak ada eskalasi dalam
pertengkaran antara “raja-raja kecil teluk”, Dewan Politik tidak mau menjual
terompet kepada Raja Bulanga, “karena kami tidak dapat menemukan bahwa
raja-raja kecil Celebes sebelumnya telah menggunakan terompet”28.
Ini mengungkapkan bahwa bahkan ketika seorang raja di pinggiran merasa kecewa,
penghormatan yang berkaitan dengan budaya diplomatik diikuti dengan surat.
===== bersambung ====
Catatan Kaki:
1. Mereka
(Gubernur VOC Ternate) adalah David van Petersom (1710 – 1715), Jacob
Bottendorp (1715 – 1720), Cornelis Hasselaar (komisaris) (1720), Antony Hensius
(1720 – 1723), Jacob Cloeck (1723 -1724), Joan Happon (1724 – 1728), Jacob
Christiaen Pielat (1728 – 1731), Elias de Haeze (1731 – 1735), Johannes Bernard
(komisaris) (1734), Paulus Rouwenhoff (1735 – 1737), Martinus Storm (1737 –
1739), Marten Lelyvelt (1739 -1744), Gerard van Brandwijk van Blokland (1744 –
1750), Johan Elias van Mijlendonk (1750 -1754).
2. Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI), Ternate 54, dagregister, 21, 22, 26
October 1750.
3. ANRI
Ternate 54, dagregister, 30 November 1750.
4. Ia
seorang albino.
5. ANRI
Ternate 52, dagregister, 1, 2 January 1750.
6. ANRI
Ternate 87, secret missive of the Political Council, 8 August 1750. Merujuk
pada Sultan di tahun 1723, Gubernur Antony Hensius mengatakan bahwa dia “tidak
berwatak buruk dan cenderung bekerjasama dengan kompeni.... selama
ini diperintahkan kepadanya”. Nationaal Archief (NA) VOC 1995, fols.
112-62, memorie van overgave Antony Heinsius, 23 May 1723.
7. W.Ph.
Coolhaas (Ed.), Generale Missiven van gouverneurs-generaal en raden aan
Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Vol. 3 (’s-Gravenhage:
Nijhoff, 1979 [Rijks Geschiedkundige Publicatiën, Grote Serie 125] 1979, p.
171.
8. ANRI
Ternate 89, enclosure missive of the Political Council, 20 May 1796.
9. L.Y.
Andaya, The World of Maluku; Eastern Indonesia in the early modern Period (Honolulu:
University of Hawaii Press, 1993), p. 191.
10. J.E. Heeres
(Ed.), Corpus diplomaticum Neerlando-Indicum, Vol. 3, ’s-Gravenhage:
Nijhoff [Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 91] 1934, pp.
304-21; C.F. van van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische
archipel; Van soa-organisatie en vierdeling; Een studie van traditionele
samenleving en cultuur in Indonesië. Two volumes [Ph.D. dissertation Leiden
sUniversity] 1999, p. 49.
11. NA VOC
2019, fols 43-55.
12. ANRI Ternate
74, fol. 24; memorie van overgave J.C. Pielat, 9 June 1731.
13. P. van
Kemseke, Diplomatieke cultuur (Leuven: Universitaire Pers, 2000) p.
10.
14. W.M.
Reddy, The invisible code: Honor and sentiment in postrevolutionary France
1814-1848 (Berkeley: University of California Press, 1997), pp. 20-1.
15. L.
Blussé, Tussen geveinsde vrunden en verklaarde vijanden (Amsterdam:
Koninklijke Nederlandse Adademie van Wetenschappen, 1999) p. 13.
16. NA VOC 2500, fol.
479, dagregister 6 January 1739.
17. NA VOC 2029,
fols 137v.-140v., Surat dari Sultan Kaitjili Paduka Siri Sultan dan para Bobato Bacan
kepada Batavia, diterima tanggal 7 Oktober 1725.
18. NA VOC 2500,
fols 447, 452, dagregister 26 September, 2 October 1739.
19. Penguasa Maluku
memiliki banyak budak, baik untuk penggunaan pribadi maupun sebagai “milik
negara/kesultanan/kerajaan”. Misalnya, pada tahun 1787, Penghulu Bacan mencatat
67 budak milik negara (26 laki-laki dan 41 perempuan); ANRI Ternate 85,
report of Delegate G. Rouselet, 10 July 1787.
20. ANRI Ternate 23, fol. 387,
minutes of the Political Council, 6 Mey 1782.
21. Kontrak tahun
1683 menjamin “administrasi peradilan tanpa hambatan, baik perdata maupun
pidana”; hanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat tinggi dan Gubernur
wilayah yang harus dihukum dengan sepengetahuan kompeni; Coolhaas, Generale
Missiven, Vol. 3, p. 311.
22. NA VOC 1170, fol.
761v, report by Commissioner Antony Caen, July 1648.
23. ANRI Ternate
67, memorie van overgave Robertus Padtbrugge, 1682, consulted in
typescript in ANRI, pp. 20-1
24. ANRI Ternate 74, fol.
100; memorie van overgave J.C. Pielat, 9 June 1731.
25. ANRI Ternate 52,
dagregister, 25 March 1753.
26. NA VOC 2191, fols
474-80, dagregister, 16 September 1730.
27. NA VOC 2191, fols
486-7, 547, dagregister, 29 June 1730, 24 December 1730.
28. NA VOC 2191, fols
781-2, surat kepada pedagang muda Nebben di Gornotalo, 7 Mei 1731
Catatan Tambahan
a. Amir
Iskandar Zulkarnain Saifuddin atau Sultan Safiudin Radja Laut
menjadi Sultan Ternate pada 1714 – 1751. Ia adalah putra tertua dari Sultan
Kaitjili Toloko (1692 -1714).
b. Beberapa
Gubernur VOC Ternate (lihat catatan kaki nomor 1), misalnya Martinus Storm,
Gebrand Brandwijk van Blokland dan Johan/Jan Elias Mijlendonk memiliki kaitan
dengan Saparua. Martinus Storm adalah putra dari Salomon Storm, Opperhoofd
(atau Residen) VOC Saparua (Januari 1697-1701). Gebrand Brandwijk van
Blokland juga adalah Opperhofd VOC Saparua (Oktober 1733-Maret 1734),
sedangkan Johan/Jan Elias Mijlendonk bertugas sebagai Opperhofd VOC Saparua
pada Oktober 1737-Januari 1743).
c. Sultan
Kaitjili Tolokko atau lebih dikenal sebagai Sultan Roterdam berkuasa pada 1692-1714. Saat menjadi Sultan, ia memiliki nama Sultan Said Fathulah. Ia adalah
adik Sultan Sibori atau Sultan Amsterdam (1675-1690), dan
merupakan putra ke-5 dari Sultan Mandarsyah (1648-1675), sedangkan Sultan
Sibori adalah putra tertua dari Sultan Mandarsyah. Sultan Kaitjili Tolokko
meninggal pada 8 Desember 1714.
d. Putra
kedua dari Sultan Safiudin Radja Laut bernama Amir Iskandar Muda
atau Sultan Swammerdam (1754 -1763)
e. Ajan
Sjah atau Sultan Oudshoorn adalah putra tertua Sultan Safiudin Radja
Laut. Ajan Sjah atau Sultan Oudshoorn menjadi Sultan Ternate pada 1751-1754.
f. Patra
Kaitjili Aharal menjadi Sultan Ternate pada 1780-1796
g. Anthonij
Caen pernah menjadi Gubernur VOC Ternate pada 1640-1642. Namun, pada konteks
isi artikel ini (yaitu catatan kaki no 22), Caen menjadi Komisaris 3
Gubernemen, yaitu Ambon, Ternate dan Banda sejak tahun 1645-1648.
h. Janda Hollemans yang dimaksud ini mungkin adalah istri dari Cornelis Hollemans. Cornelis Hollemans menjadi Fiscal Gubernemen VOC Ternate pada tahun 1726.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar