[Hendrik E. Niemeijer]
Sultan Ternate, Mohammed Iskandar Djahib dan Ratu |
Vivat Oranje ! dan Penampilan Publik
Penghargaan yang ditunjukan kepada Penguasa Maluku tertanam dalam budaya lokal yang menetapkan bahwa status harus diwujudkan dalam tanda-tanda penghormatan, sebuah gagasan yang dipahami dengan baik pada abad ke-18 di Republik. Mengingat situasi ini, tidak mengherankan jika Ternate secara teratur menjadi panggung pesta pora khas Belanda, untuk menandai acara-acara seperti peringatan di House of Orange. Meskipun pada akhir periode kedua tanpa Stadholder (1702-1747), Ternate tidak lebih dari sebuah sudut terpencil, perayaan-perayaan Oranye muncul di kalender dengan cukup cepat. Ulang tahun William IV dirayakan di taman kompeni sejak tahun 1749. Catatan harian (dagregister) dari benteng oranye Maluku menggambarkan bagaimana proses dimulai dengan Gubernur menerima ucapan selamat dari mereka yang berstatus tinggi. Ketika ini telah selesai, semua orang duduk di meja sesuai dengan pangkat dan status mereka, dan sebuah cangkir dibagikan “dengan pengalaman yang luar biasa”. Hidangan lezat dinikmati dan setelah selesai, untuk melancarkan pencernaan, ada tarian kecil diiringi musik menyenangkan yang dimainkan oleh orkestra para budak yang terdiri dari terompet, oboe, bas dan biola.
Para Sultan Tidore dan Bacan, biasanya tidak hadir dalam perayaan ulang tahun bangsawan Oranje yang biasa-biasa saja ini, bahkan juga untuk pelantikan Gubernur baru. Namun, tidak satupun dari ketiga penguasa tersebut yang absen dari pengumuman Pangeran Oranje yang baru dan perayaan publik yang bersamaan. Istimewanya, pada pelantikan ini, tiga sultan dan pejabat tinggi di wilayah Ternate dan Tidore semuanya hadir, begitu pula para raja Taruna (Sangihe) dan Parigi. Pada hari Minggu, tanggal 20 Juni 1751, pendeta Witchenhoffa mengkhotbahkan “ sebuah khotbah yang sesuai” untuk lingkaran internal, setelah itu semua orang duduk sesuai dengan pangkat dan status untuk acara makan yang mewah, yang “dilayani” dengan 21 tembakan penghormatan. Perayaan publik berlangsung pada hari senin. Saat istirahat siang – lapor dagregister – orang-orang dapat melihat bahwa semua kompeni dan kapal sipil dihiasi dengan banyak sekali bendera dan panji-panji. Pada pukul 06.00, ada penghormatan sebanyak 40 tembakan dari meriam berat, diikuti oleh 23 tembakan dari senjata yang lebih ringan. 1 jam kemudian, garnisun berparade, dan semua anggota dewan hadir di benteng pada pukul 07.30. Sesuai protokol yang ditetapkan, para Sultan dan pejabat negara (kesultanan) disambut disambut pada pukul 10.00 dan duduk di meja sesuai dengan status mereka. Pendeta Witchenhoff duduk di satu sisi sebagai “pedagagog” untuk mengawasi 2 pangeran Ternate yang paling penting, Ajan Sjah atau “Pangeran Outshoorn” dan Sjah Mardan atau “Pangeran Swammerdam”. Gubernur membuka acara dengan membuat deklarasi. Kemudian sekretaris dewan politik membacakan sumpah setia, kemudian Gubernur menanyakan mereka yang hadir apakah bersedia menerima pemerintahan Pangeran Oranye sebagai Gubernur Jenderal tertinggi. Ketika dia telah melakukan ini, para pegawai kompeni dan pangeran pribumi “dengan banyak tanda kasih sayang, berjanji dan dikonfirmasi melalui tepuk tangan, mereka menerima [ini] dan akan mematuhinya”. Setelah selesai, yang paling tinggi statusnya di antara mereka, menuju ke balkon, dimana mereka dapat melihat kompi-kompi milisi sipil serta orang-orang Makasar, Ternate dan Tidore (semuanya mengenakan pelindung berwarna jingga di topi dan turban mereka). Sekali lagi Gubernur membacakan sumpah setia, yang disambut dengan teriakan kegembiraan “Ajaa”, dan 3 kali teriakan “vivat oranje”. 3 tembakan senapan bergantian dengan tembakan dari meriam berat, diikuti dengan tembakan dari persenjataan berat baik di kapal maupun benteng, menutup bagian publik dari upacara tersebut. Setelah itu, semua orang mengambil segelas anggur atau “minuman pagi yang menyenangkan lainnya” dan mereka “mengobrol” sambil menghabiskan waktu sampai jam 13.30 ketika
..........masing-masing mengambil tempatnya sesuai dengan statusnya di meja yang megah, yang sarat dengan hidangan Belanda dan Moor, dimana selera makan akan memungkinkan gelas anggur dan cangkir bir serta cangkir yang berisi anggur yang terkenal akan mudah dihabiskan tepat pada hari itu, sampai semua orang meninggalkan meja dengan nafsu makan yang terpuaskan dan, untuk membantu pencernaan makanan, mengambil kesenangan dalam acara menari.
Sekitar pukul 18.00, tembakan bergema sekali lagi dari benteng dan kapal, saat para pejabat “perlahan-lahan pulang”.
Korps Musik Kesultanan Ternate, ca. 1893 |
Pada hari Rabu, ada perayaan besar untuk menghormati Pangeran Oranye. Penguasa Tidore tidak hadir, dilaporkan karena sakit. Yang mengejutkan semua orang, Sultan Radja Laut didampingi oleh lebih dari 20 wanita dan berbagai pelayan. Negosiasi cermat dilakukan. Ruang resepsi sebelah atas kastil/benteng tidak dapat menampung begitu banyak orang. Apakah akan memuaskan jika sang penguasa ditemani oleh 4 wanita dan beberapa pelayan untuk membawa air, pinang dan tembakau?. Tidak lama kemudian, ruangan itu penuh sesak. Sultan dikawal ke balkon, dimana dia dan gubernur menghabiskan waktu dengan mengisap “rokok” dan menghabiskan segelas anggur, sampai beberapa tembakan meriam menandakan perayaan. Para pegawai kompeni, penduduk sipil dan masyarakat/penduduk negeri menyalakan ratusan lampu kecil dan obor. Deretan lampu kecil “membentuk jalan” ke arah mahkota besar yang diterangi, suatu representasi simbolis dari Pangeran Oranye. Hampir tanpa kecuali, rumah-rumah di kota didekorasi seindah mungkin dan diterangi cahaya. Sekitar jam 20.00, Gubernur berjalan-jalan di kota, “dimana tidak kalah menariknya melihat bahwa rumah-rumah dan tangga pintu semua pegawai kompeni, warga sipil, orang Makasar dan orang Cina, dihiasi dengan berbagai bendera berwarna warni, seolah-olah dengan segudang lampu”. Acara jalan-jalan diakhiri, kemudian para tamu pergi ke ruang resepsi kastil, dimana mereka mengikuti dengan riang berbagai tarian yang diiringi musik yang menyenangkan. Tetapi sekarang, Sultan Radja Laut yang sudah tua mulai tertidur, menandakan bahwa sudah waktunya untuk pulang. Perayaan diakhiri dengan tembakan meriam, dimana setiap orang yang hadir duduk di meja untuk memanjakan diri selama berjam-jam berpesta, sampai larut malam dimana pencernaan harus dirangsang dengan lebih banyak tarian, dan seterusnya. Akhirnya, pada jam 07.00 keesokan paginya, semua senjata ditembakan sekali lagi.
Resepsi seremonial para Sultan, sumpah setia, dan pemandangan di balkon adalah bagian yang tidak berubah-ubah dari perayaan publik Gubernur Jenderal yang baru. Para Sultan diharapkan untuk membuat pernyataan publik, bahwa mereka akan melanjutkan kerjasama mereka di bawah pemegang jabatan baru dan menegakan kontrak seperti yang telah mereka janjikan. Pada tahun 1753, ketika ada berita yang sampai di Ternate bahwa Pangeran Oranye dan para Direktur VOC (de Heeren Zeventien) – setidaknya dengan cara ini disampaikan kepada para Sultan – untuk menunjuk Jacob Mossel sebagai Gubernur Jend VOC yang barub, perayaan publik segera diselenggarakan. Setelah Sultan Tidore tiba di penginapan khususnya – paviliun di taman kompeni – para Sultan dijemput dengan kereta. Sekali lagi, ruang resepsi sebelah atas di kediaman Gubernur penuh sesak. Semua orang duduk sesuai pangkat/gelarnya, termasuk 4 pangeran Ternate yang diberi tempat di samping. Sumpah tersebut sebenarnya dilakukan di ruang atas secara tidak langsung. Pertama, Gubernur membacakan surat dari Pemerintah Tertinggi, kemudian berbicara secara umum, dia bertanya apakah semua yang hadir ingin mematuhi kerjasama dan kontrak mereka, dimana para Sultan dan para pejabat tinggi yang hadir “menerima dengan bertepuk tangan dan banyak pernyataan, serta berjanji, setelah itu dengan banyak tanda kepuasaan, saling mengucapkan semoga sukses”, setelah itu mereka pindah ke balkon. Dari sana, pidato itu diulangi kepada orang-orang, lalu “seruan pujian” dan 3 sorakan bergema di halaman benteng. Setelah tembakan penghormatan dari senjata, diselingi tembakan meriam, tibalah waktunya untuk “mengucapkan selamat dengan sepenuh hati” kepada Gubernur, merokok sebatang tembakau, minum segelas anggur, mengobrol satu sama lain, dan seterusnya, sampai meja disiapkan pada jam 12.30 lewat. Hingga pukul 23.00 malam, ketika para penguasa kembali ke rumah mereka atau penginapan mereka, para tamu menikmati banyak hidangan lezat, menengak banyak bir dan gelas anggur dan dan disuguhi dengan melodi musik sebuah orkestra kecil29. Apa yang baru saja dideskripsikan mengungkapkan bahwa acara-acara seremonial publik kurang lebih merupakan hal wajib bagi para pangeran pribumi dan kepala negara mereka. Meskipun hari seperti itu sama sekali tidak menyenangkan, tujuannya adalah untuk memelihara dan meneguhkan relasi feodal. Lebih sering daripada tidak, baik sultan Tidore atau Bacan tidak hadir, memberikan alasan sakit, keadaan keluarga atau alasan sejenisnya. Jauh lebih sulit bagi Sultan Ternate untuk mangkir dari kesempatan seperti itu, mengingat dia dan kediamannya paling dekat dengan benteng [VOC]
Ruang Dalam Kraton Ternate |
“Kunjungan Kenegaraan” dan Pertemuan Informal
Jarak yang dekat antara benteng dan istana menawarkan kemungkinan banyak terjadi pertemuan informal. Namun indikasi lain bahwa relasi antara VOC dan Kesultanan baik pada masa pemerintahan Sultan Radja Laut. Ketegangan tidak selalu mencapai puncaknya, dan setiap kali para pegawai kompeni diliputi kebosanan, pengalihannya selalu diatur. Diantara kegiatan paling populer pada hari-hari lowong adalah perjalanan wisata yang dilakukan oleh Gubernur dan anggota dewan dengan arumbai milik kompeni. Terkadang Sultan ikut bergabung dengan mereka. Ketika Sultan melakukannya, pertama kali kapal dikirim ke istana/keraton untuk menjemput Sultan Ternate, pangeran dan pejabat tinggi negara lainnya. Pada salah satu peristiwa di tahun 1730, seluruh pulau dilayari, dan pada sore hari, arumbai ditambatkan di Sasak, pemukiman kecil yang merupakan bagian dari milik Caspar Vogesc, seorang tenaga pembukuan (boekhouder). Gubernur menjamu tamunya dengan leluasa dan berbagai macam hiburan disediakan30. Sehari setelah tamasya, Gubernur mengirim penerjemahnya ke istana untuk berterima kasih kepada Sultan atas “kerjasamanya”. Radja Laut sangat berterima kasih dan menyatakan bahwa dia “belum pernah mendapatkan kehormatan untuk berlayar di sekitar gunung Ternate ditemani Gubernur VOC Maluku seperti ini”. Dua bulan kemudian, Gubernur Joan Happond menyelenggarakan undian di taman kompeni, tempat Sultan dan para pangeran kesultanan Ternate ikut serta. Baik elit kompeni dan bangsawan istana menghadiri pengundian tersebut, dan acara undian itu diakhiri dengan berjalan-jalan ke galangan kapal baru milik kompeni, dan makan di benteng, dimana Radja dan rombongannya “disambut dengan hangat”31. Pertemuan informal lainnya adalah “kunjungan pribadi” dari Sultan Outshoorn Ajan Sjah. Salah satu kunjungan tersebut adalah ke pesta ulang tahun Nyonya Van Mijlendonke, dimana anggota Dewan Politik dan beberapa bangsawan Ternate makan bersama dan menikmati tarian32.
Namun demikian, selama acara kumpul-kumpul yang ceria seperti itu, perasaan tidak enak pasti telah mencuri perhatian orang-orang Ternate. Tamasya informal semacam itu adalah kesempatan utama bagi Belanda untuk menjalankan kebiasaan Barat, meskipun dengan cara yang sesuai dengan perilaku di bawah hidung para tamu mereka yang berasal dari Ternate – terutama para pangeran dan putri. Pada malam tanggal 31 Desember 1730, ketika Pangeran Outshoorn, seorang kepala distrik atau desa (sengadji) bernama Abdullah dan Imam Mantjari, muncul di benteng untuk mengucapkan selamat Tahun Baru kepada Gubernur atas nama Sultan dalam sebuah “obrolan yang ramah”, Gubernur mengangkat aspek penting dari relasi itu : mengapa pangeran tidak mengangkat gelasnya saat berada di wilayah kompeni. Pangeran meminta maaf dengan mengacu pada “ketidaksukaannya”, tetapi Happonf menjawab “bahwa kompeni mungkin karena malam itu atau besok, pangeran bisa menjadi raja berikutnya, dan telah menunjukan begitu sedikit kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan kompeni, agar lebih kompatibel dengan Gubernur dan menterinya. Sengadji dan Imam juga ditegur. Sudah menjadi tugas mereka untuk memastikan bahwa pangeran mendapat instruksi dengan tepat, dan terutama kepada Abdullah diingatkan bahwa kompeni lebih mengawasinya daripada pejabat negara lainnya di istana, karena ayahnya, jaksa penuntut umum (hukum) yang bernama Halla, telah diasingkan ke Banda pada tahun 1713, karena “keangkuhan yang sama”. Menurut catatan harian Maluku (benteng Oranje), para petinggi kesultanan Ternate ini berterima kasih kepada Gubernur “atas instruksinya”, tetapi pasti meninggalkan benteng dengan sangat terhina.
Para putri dilayani dengan cara yang sedikit lebih elegan, tetapi mereka juga “diinstruksikan” dalam kebiasaan Eropa oleh pihak benteng/kastil. Saat tiba waktunya untuk merayakan pergantian tahun 1730 – 1731, Gubernur menyerahkan topi wanita Belanda kepada putri Gorontalo. Keesokan harinya, Gubernur Happon pergi ke kastil/benteng dengan keretanya untuk menjemput sang putri secara pribadi. Ketika dia kembali, para istri dari para pedagang senior berkumpul di gerbang benteng, tidak hanya untuk mengantarnya ke ruang resepsi sebelah atas kediaman Gubernur seperti yang ditentukan protokol, tetapi tentu saja untuk mengangkat topi persetujuan mereka. Setelah itu, 2 pedagang menjemput Sultan, yang kemudian juga dikawal melewati sepanjang barisan yang telah disiapkan dari istana hingga ke ruang resepsi sebelah atas. Ketika 3 tembakan senjata penghormatan dibunyikan, pertukaran hadiah/kado tahun baru dilakukan. Kompeni berpesta hingga pukul 00.30 dini hari “dengan senang hati”33.
Contoh-contoh yang telah dikutip sejauh ini memberikan gambaran yang jelas. Siapa pun yang mencari acara-acara seremonial dan perayaan yang tersebar selama bertahun-tahun, akan menemukannya juga di catatan harian (dagregister) benteng di Banda dan benteng Victoria (untuk Ambon) ini. Apa yang diungkapkan oleh catatan harian benteng Oranje tentang intensitas kontak antara pihak benteng/kastil dan pihak kraton?
Kita dapat menemukan informasi paling akurat dari orang yang paling tahu tentang kunjungan para penguasa : yaitu pelayan di benteng oranje. Ia menyimpan catatan pengeluaran untuk apa yang dikonsumsi dan mengatur pembelian makanan dan minuman. Seringkali, tagihan makan dan pesta diganti dari pundi-pundi keuangan kompeni oleh Dewan Politik. Biaya yang dicatat oleh pelayan selama periode September 1730 sampai Juni 1731 memang menunjukan bahwa jumlah yang sangat besar, dimana dalam 10 bulan tersebut, tidak kurang dari 1.111 ringgit dolar dikeluarkan. Dewan menyetujui biaya tersebut dan berpendapar bahwa hal itu tidak dapat dilakukan secara lebih ekonomis “tanpa mencoreng nama baik kompeni”. Jumlah tersebut mencakup 35 kali biaya kompeni : 9 makan siang atau makan malam dengan para pangeran Ternate dan Tidore, penyambutan dan perpisahan Radja dan Bobato dari Attingola, Bulanga, Gorontalo dan Limboto, resepsi Sultan Ternate, dan utusan Sultan Tidore ketika mereka datang untuk memberikan hadiah dan surat dari Sultan kepada Batavia. Perayaan publik bagi Gubernur Jend VOC Diederick Durven pada tanggal 12 Mei 1731g, menimbulkan biaya yang sangat besar. Pada peristiwa ini, para pelayan mencatat 361 rix doar untuk berbotol-botol minuman Rhenish dan anggur Perancis yang tak terhitung banyaknya, gandum dari Cape (Tanjung Harapan) untuk kue, daging sapi, ayam, ayam kebiri angsa dan “daging lainnya”. Hampir 2 minggu kemudian, terjadi lagi perayaan publik bagi Gubernur VOC Ternate yang baru, Elias de Haezeh, yang sekali lagi dirayakan dengan gelas-gelas anggur34. Tetapi siapa pun yang melihat-lihat catatan harian benteng Oranje, melihat bahwa ada lebih banyak waktu untuk bersantai dan tentunya lebih banyak yang dihabiskan daripada yang diungkapkan catatan resmi. Jumlah sebenarnya yang dibayarkan untuk biaya representatif setidaknya bisa sama tingginya, tetapi cara perhitungannya sulit untuk dikatakan.
Selama ini, tindakan pemerintah VOC Ternate, yang mendominasi cerita. Tentu saja, para Sultan Ternate bukan hanya pengamat yang pasif, tetapi pada gilirannya melakukan hal yang terbaik untuk menghormati identitas dan budaya politik Maluku milik mereka sendiri, dan, jika memungkinkan, menunjukannya ke pertunjukan publik. Bagaimana keraton diasosiasikan dengan benteng?. Sayangnya, sebagian catatan harian benteng Oranje Ternate membuat kita tidak tahu apa-apa, setidaknya selama masa pemerintahan Sultan Radja Laut. Hanya upacara yang mengesankan seputar kematian dan suksesi yang berhasil dicatat dalam catatan harian atau jurnal harian, dan ternyata itu adalah inisiatif orang Ternate.
Ternate, sekitar 1724 |
Pemakaman Sultan Safiudin Kaitjili Radja Laut
Selama hari-hari pertama bulan Desember 1751, para pengawal dari VOC melaporkan bahwa meskipun Sultan sakit, lemah dan batuk-batuk yang parah, Sultan mengelilingi negerinya dengan tidak lelah. Paras wajahnya tidak terawat/terurus, dia tidak memiliki nafsu makan dan juga mengalami masalah dengan ingatannya. Meskipun pengumuman pada tanggal 5 Desember (1751) mengatakan bahwa penguasa telah tidur nyenyak dan menikmati sarapan pagi, beberapa hari kemudian, pada tanggal 9 Desember, muncul kabar bahwa Radja Laut telah meninggal dunia pada usia 71 tahun, setelah berkuasa selama 37 tahun. Pemerintahannya yang panjang telah memberinya tempat khusus dalam sejarah Maluku. Persiapan dan pelaksanaan pemakaman Safiudin, memungkinkan kita melihat secara sekilas ritual pemakaman yang luar biasa di istana Ternate, yang sebenarnya tetap dilakukan hingga abad ke-19 (Willer, 1864).
Sultan tidak dimakamkan dalam waktu 24 jam seperti yang dituntut oleh syariat Islam. Setelah 12 pangeran secara sendiri-sendiri dan hukum mengeluarkan undangan resmi kepada Gubernur, pemakaman Radja Laut diadakan pada hari Senin, 13 Desember 175135. Gubernur dan anggota dewan dijemput oleh para petinggi kesultanan Ternate, yaitu : Perdana Menteri atau Jogugu Pati Saranga, 2 hukom, 1 Sangadji dan seorang kepala desa atau Kimilaha. Setelah singgah sebentar di kraton, mereka menyaksikan jenazah dibawa keluar istana yang diiringi oleh ketelitian para wanita dan dengungan pengajian dari para ulama. Peti jenazah itu dibungkus dengan kain kafan putih oleh pangeran yang tertua, dan dibungkus dengan berbagai macam kain emas dan kain-kain. Begitu berada di luar istana, peti jenazah diletakan di atas usungan/keranda yang terbuat dari bambu, dimana 2 payung biasa dan 2 payung sutra ditempatkan. Sebuah kanopi sutra yang dihiasi dengan berbagai ornamen dan lambang kerajaan – 2 elang menutupi usungan/keranda yang juga digantung dengan rantai emas yang tebal. Ketika peti jenazah ada di tempatnya, semua selir dan berbagai pembantu rumah tangga mengambil tempat, baik di bawah kanopi, di depan atau di sebelah usungan/keranda. Para wanita berpakaian berkabung dan menutupi kepala mereka dengan kain hitam. Di masing-masing dari 4 sudut usungan itu berdiri seorang laki-laki membawa panji-panji yang di atasnya terdapat sulaman perak objek matahari dan bulan. Di depan jenazah Radja, duduk seseorang yang membungkuk, yang mengenakan morion bersulaman perak, di sekelilingnya ada serban berkabung. Di samping usungan itu juga terdapat berbagai orang yang membawa tanda-tanda kerajaan : sepotong gorget emas, keris bangsawan dengan tangkai emas, pedang bergagang emas, sarung dan segel, tongkat berkepala emas, dan tempat lilin perak persegi panjang dengan pipa tembakau dan kalung/rantai. Sementara usungan/keranda jenazah disiapkan, orang Ternate, Makasar, milisi sipil dan kompi tentara berbaris. Mereka diikuti oleh 6 pengawal raja, pemain terompetnya dan kuda sultan yang berhiaskan kain hitam, dipimpin oleh 2 orang letnan. Kemudian tandu juga ditutupi dengan kain hitam, setelah itu muncul para abdi dalem yang membawa beberapa perlengkapan kerajaan.
Iring-iringan pemakaman sangat besar. Dipimpin oleh musisi keraton Ternate dengan instrumen mereka, setelah itu rombongan ulama berpakaian putih. Kemudian diikuti oleh usungan/keranda, yang di”kawal” oleh sekitar 250 pembawa. Sekitar 50 pembawa lainnya membawa payung, panji-panji dan tanda kerajaan. Satu fakta luar biasa adalah partisipasi pengawal Sultan asal Eropa dan lainnya, bahwa usungan jenazah diikuti oleh 6 orang pelayan yang diam, semuanya berpakaian berkabung, tutup kepala mereka dihiasi dengan penghapus/pengering tangisan/airmata. Setelah itu rombongan orang Cina dengan kain putih di kepala mereka. Di bagian belakang iring-iringan, berjalan para istri dan selir sultan, semuanya berbaju putih dengan kain rami asal Sula melilit pinggang mereka sebagai tanda kebangsawanan mereka.
Usungan/keranda jenazah pertama kali dibawa ke mesjid agung, dimana beberapa upacara dilakukan. Kemudian iring-iringan pemakaman menuju ke pemakaman kerajaan, dimana Gubernur dan anggota dewan mengambil tempat di bawah tenda sementara yang telah didirikan di dekat kuburan. Jenazah dimakamkan dengan upacara besar, disertai dengan tembakan penghormatan yang diberikan oleh kompeni.
Pada jam 7, ketika semua upacara telah selesai, para tamu Belanda pergi ke keraton, dimana anggur dan bir, biskuit dan kue lainnya disajikan.
Pelantikan Pertama Sultan Ajan Sjah Outshoorn
Sebulan telah berlalu antara kematian Safiudin dan perayaan publik secara resmi penggantinya, Outshoorn Ajan Sjah di benteng Oranje. Upacara ini berlangsung pada tanggal 8 Januari 1752, setelah para Ulama di istana menetapkan bahwa ini merupakan tanggal yang baik. Diperlukan beberapa hari untuk mengundag semua radja dan radja muda dari Banggai, Tambuko dan Sula Besi dan daerah-daerah vasal di Halmahera36. Sesuai tradisi, berbagai pejabat negara kesultanan Ternate, dikirim ke istana Tidore dan Bacan dengan membawa pengumuman resmi dan sebuah undangan untuk penguasa lainnya. Kompeni juga mengirim 2 pedagang yunior ke Tidore dengan arumbai untuk menyampaikan undangan kepada Sultan dan pejabat negaranya, tetapi mereka (pejabat VOC) diberitahu bahwa, “ketidaknyamanan yang telah dialaminya selama beberapa waktu” tidak akan membuat penguasa ini (Sultan Tidore) untuk melakukan perjalanan ke Ternate secara pribadi, tetapi beberapa pejabat tingginya akan hadir.
Sebelum Sultan dibawa ke benteng untuk perayaan publik, sekretaris Dewan Politik diperintahkan untuk membuka segel di peti berisi tanda kebesaran dan untuk memeriksa apakah semua barang yang tercatat di inventaris ada.
Pada tanggal 8 Januari kompi tentara bersenjata dan kelompok kaum burger berkumpul dalam 2 baris di antara gerbang utama dan kediaman Gubernur. Setelah itu, para pegawai kompeni, penduduk sipil, dan orang Makasar berbaris di halaman depan toko kompeni, rumah pegadaian dan gudang perdagangan.
Dewan Politik yang berkumpul di ruang resepsi atas, kini mendelegasikan tugas ke bawahannya, yaitu pedagang senior dan jaksa penuntut umum, untuk menjemput Sultan dari keratonnya dengan kereta kompeni. Dengan panji-panji yang berkibar dan tabuhan genderang, Sultan dan rombongan yang menyertainya diantar ke kediaman Gubernur, dimana ia disambut oleh Dewan Politik. Sementara masalah formal sedang dibahas38, tiga kompi tentara Ternate berbaris di halaman benteng. Dua jam kemudian, ketika pertemuan berakhir, Gubernur bersama Raja baru ke balkon untuk memberikan pidato kepada orang-orang, dimana ia disambut pengakuan, penghormatan dan respek. Setelah penegasan umum dalam bentuk “Jaa”, semua kompi melepaskan 3 tembakan penghormatan, masing-masing diselingi oleh tembakan meriam. Setelah penghormatan ini, semua persenjataan di benteng dan pos militer di Tolukko dan Voorburg ditembakan. Waktunya telah tiba untuk untuk menyampaikan ucapan selamat dan memulai putaran pertama acara minum-minum.
Cukup mengejutkan, tetapi sesuai dengan konteks relasi formal antara Ternate dan Tidore, barulah pejabat-pejabat negara dari Tidore memasuki kastil/benteng. Begitu mereka melewati 2 barisan, mereka juga dibawa ke balkon, dimana mereka mengucapkan selamat kepada raja baru atas nama Sultan Tidore. Setelah selesai, semua pegawai kompeni dan para abdi dalem kesultanan Ternate bersantai bersama sambil mengisap rokok dan menyeruput segelas anggur. Pada pukul 13.00, 90 tamu duduk di meja, yang mereka duduki selama sekitar 4 jam makan dan minum sampai tembakan penghormatan ditembakan sekali lagi, “dan menjelang jam 20.00, mereka mengalihkan diri untuk menari dan berjingkrak”39. Begitulah cara VOC mengatur suksesi secepat mungkin dan sekaligus memberikan jaminan bagi pemerintahan pribumi. Namun, apa pendapat orang Ternate tentang suksesi ini?
Ternate, sekitar 1874 |
Akhir Periode Berkabung : Pelantikan Kedua
Bagi orang Ternate, pelantikan sultan baru yang sebenarnya hanya bisa dilakukan setelah masa duka yang ditentukan oleh agama Islam telah selesai. Ketika waktunya tiba, hampir setahun setelah kematian Radja Laut, keraton mengirimkan utusan ke kastil/benteng. Utusan ini terdiri dari Pangeran Swaardecroon, Jogugu Pati Saranga, Hukom Samaudi dan Salahakan (Perdana Menteri Sula Besi), untuk menyampaikan undangan kepada Gubernur dan putrinya untuk datang ke keraton untuk mengisap tembakau dan memberikan penghormatan terakhir untuk Radja Laut. Anggota Dewan lainnya enggan melewatkan upacara khidmat ini, dan diputuskan untuk pergi ke keraton dalam kelompok beberapa hari setelah undangan. Di sana, mereka diterima oleh Sultan Ajan Sjah dan dibawa ke panggung yang dibangun secara khusus, dimana semua kepala negara, pendeta, pangeran dan putri berkumpul, melewati barisan penjaga kehormatan yang dibentuk oleh 2 barisan milisi bersenjata asal Ternate. Berbagai hidangan disiapkan di bawah sejumlah bangunan sementara yang didekorasi dengan indah. Ketika Gubernur sudah duduk, elit kesultanan Ternate datang untuk berjabat tangan dan setelah itu para pendeta atau ulama membacakan doa, dan hidangan sagu dibagikan. Setelah ini, para pegawai kompeni yang terpilih, kembali ke kraton, dimana sepanjang malam dihabiskan untuk makan dan minum. Selama acara pesta ini, Gubernur dengan tegas memberi kesan kepada Sultan, bahwa dia khawatir tentang para Alifuru, yang diantaranya adalah kebiasaan “untuk segera melakukan pembunuhan secara besar-besaran setelah duka untuk mendiang penguasa mereka (Sultan Ternate) berakhir, dengan alasan bahwa mereka (Alifuru) memberikan kepada raja mereka penjaga di surga”. Akan menjadi tindakan yang bijaksana jika penguasa Ternate (Sultan yang baru), mengirim para Alifuru dari Halmahera untuk kembali ke negeri mereka40.
Seminggu kemudian, delegasi lain datang dari keraton untuk memberi tahu Gubernur, suatu fakta bahwa para anggota dewan kesultanan Ternate telah memutuskan “menurut kebiasaan kuno Maluku untuk menunjukan raja mereka secara umum/terbuka kepada rakyatnya di negeri Ternate”. Gubernur Van Mijlendonk yang sama sekali tidak terbiasa dengan kebiasaan ini bertanya kepada para utusan itu dengan curiga, apakah para pejabat tinggi negara dan para pemimpin Ternate harus bersumpah setia kepada Sultan yang baru. Ia gagal mendapatkan jawaban langsung, kecuali bahwa raja akan didudukan di tandu di makam bekas Sultan, Sultan Sibori Amsterdam (1675-1690), dan dipikul melewati negeri Soa Siu, dan acara ini juga ditandai “oleh segala macam hiburan dalam kebiasaan pribumi”.
Hebatnya, kesultanan Ternate tidak menyampaikan undangan ritual ini ke Dewan Politik. Namun, Van Mijlendonk mempertimbangkan keputusan Gubernur Van der Duyn pada tahun 1692 – [saat] pelantikan Sultan Said Kaithili Tolokko (1692-1714) – dan memutuskan mengirim 2 delegasi/utusan ke upacara tersebut, disertai pengawalan oleh 1 sersan dan 12 serdadu41. Meskipun pegawai kompeni tersebut diterima dengan sopan, laporan mereka menyingkapkan bahwa pelantikan seorang penguasa Ternate adalah acara rahasia yang hanya diperuntukan untuk pihak kesultanan sendiri, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kompeni. Meskipun beberapa elemen ritual pelantikan berasal dari protokol militer Eropa kontemporer, hampir tidak rujukan yang ditujukan kepada kompeni pada acara tersebut, tetapi hubungan dekat dengan perwakilan dari Tidore-lah yang ditekankan/ditunjukan.
Sultan Ternate, Hadji Muhammad Usman (1902-1915) |
Berdasarkan bukti ini, kita bisa berasumsi bahwa penobatan Sultan Ajan Sjah di benteng Oranje, tidak terlalu penting bagi orang/masyarakat Ternate. Pengakuan Sultan Baru adalah urusan bangsawan istana Ternate, pejabat negara dan rakyat. Sejauh mana para pejabat tinggi negara tidak senang dengan pilihan Ajan Sjah yang dipaksakan kepada mereka oleh VOC, tidak diketahui dengan pasti. Sultan baru memang harus menyelematkan dirinya sendiri. Pada tahun 1753, ia mengunjungi Gubernur “in cognito” pada senja untuk meminta 2.500 ringgit dari keungan kompeni. Uang itu dibutuhkan untuk “membeli” dukungan para pejabat tinggi negara Ternate. Kunjungan itu diakhiri dengan hal menyenangkan, “segala macam kue dan menghabiskan beberapa botol anggur dan bir”, tetapi dengan apa yang dia lakukan, Ajan Sjah, seperti juga para pendahulunya, telah membawa dirinya ke dalam suatu hubungan ketergantungan sepenuhnya.
Kesimpulan
VOC di Ternate telah banyak mempertimbangkan untuk menghormati Sultan di depan umum. Perhatian besar diberikan untuk menghormati praktik yang ada, seperti memberi penghormatan kepada kapal-kapal kerajaan. Di sisi lain, para Sultan adalah bagian dari budaya diplomatik dan politik yang jauh lebih luas, yang dicita-citakan VOC dimana-mana, dalam bentuk pengumuman dan perayaan publik yang terkait dengan House of Orange (Kerajaan Belanda). Pada kesempatan seperti itu, perhatian eksplisit diberikan kepada perpindahan nilai dan norma barat/Eropa. VOC menduduki puncak hierarki politik dan mengekspresikannya secara kategoris dalam upacara dan ritual. Meskipun penguasa Maluku menolak hegemoni Barat, budaya material, gaya hidup dan ideologi Eropa juga memberikan daya tarik kepada mereka. Penghargaan publik yang diberikan kepada Sultan oleh VOC menggarisbawahi legitimasi kerajaan Maluku. Meskipun demikian, penggunaan ritual dan protokol yang oportunistik di ruang publik, tidak boleh disamakan dengan penerimaan atau diterimanya aturan/kebiasaan Barat. Raja-raja Maluku tidak pernah berhenti menekankan pada legitimasi kerajaan-kerajaan pribumi Maluku dan para penguasa, seperti yang terlihat dalam penobatan Sultan Ternate yang baru, Ajan Sjah. Secara umum, dapat diasumsikan bahwa investasi yang dilakukan oleh VOC dalam bentuk kehormatan, protokol dan seremonial, berkontribusi pada stabilnya hubungan di Maluku. Sebagian besar bubuk mesiu yang dinyalakan dan dihabiskan oleh kompeni di benteng Oranje pada abad ke-18 [itu], tidak memiliki tujuan yang bertentangan, tetapi dalam bentuk penghormatan kepada para penguasa yang kebetulan lewat atau berlayar dan menjadi bagian tetap dari acara, ketika “para tamu ini” – bahkan Sultan Tidore yang selalu kritis – dihormati, terutama dengan anggur, teh, camilan dan biskuit. Pada tahun 1751, Sultan ini (Sultan Tidore) diterima di ruang tamu bagian atas dengan segala tanda kehormatan dan, selama diskusi politik, ia mengecam keras istana Ternate dan kompeni. Penulis sejarah mengatakan bahwa dia menunjukan “kecemasan yang munafik”, dan memproyeksikan dirinya sebagai “penguasa yang suci”, yang tidak fleksibel dalam tekadnya untuk tidak mengalah. Tidak kurang dari itu, setelah pertengkaran ini berakhir, acara resepsi di ruang atas berlangsung begitu indah sehingga ketika dia (penulis sejarah) berpamitan dari Sultan Tidore, beberapa selir Sultan dan sejumlah besar pejabat negara Tidore, menghabiskan banyak gelas anggur dan bir, sementara tembakan penghormatan ditembakan “dalam situasi telah mabuk, sehingga ketika pergi, dia (penulis sejarah) tak bisa menuruni tangga di kediaman Gubernur tanpa resiko jatuh”42.
Secara politis, Ternate didominasi oleh perdamaian yang dipentaskan, tetapi tidak boleh diabaikan bahwa budaya diplomatik yang dianut oleh semua pihak, menyisakan ruang untuk diskusi, seremonial, hiburan, pertukaran sopan santun, tata krama, dan juga banyak “toast duniawi”.
===== selesai =====
LAMPIRAN
Deskripsi Penobatan Sultan Ternate, Sultan Outshoorn Ajan Sjah
Sumber : ANRI, Arsip Ternate 52, dagregister 22 November 1752
[Pada pukul 09.00, utusan VOC, Thorntoni dan Wasbeekj menuju ke istana .....], dimana kami menyaksikan semua pejabat tinggi berpakaian putih seperti ulama bersama yang lainnya, dan disambut memasuki istana oleh mereka serta oleh qimelaha Marasoly dan sengahadje Limatauw, [berjalan] di atas kain linen putih halus yang menutupi tanah, kami diantar sampai ke hadapan raja. Setelah kami memberikan penghormatan kepada raja dan menyampaikan tujuan kami dikirim ke sana, penguasa menempatkan kami di sisinya di 2 kursi berlengan yang sesuai. Setelah duduk sebentar, prosesi tersebut berlangsung sebagai berikut :
Raja mengenakan pakaian pendeta, dengan rok dalam dari kain linen putih halus, di atasnya adalah rok peau-de-soie merah, di atasnya dengan satu lagi satin biru, dan dia juga terbungkus mantel beludru hijau, dibordir dengan emas, dihiasi dengan kancing dan permata emas. Di sisinya, ia mengenakan keris kerajaan dalam sarung bergagang emas, dan di kepala, Yang Mulia mengenakan serban ulama berwarna putih dari linen kualitas terbaik, dihiasi berlian, emas dan batu mulia dengan indah.
Di depan istana, sebuah tandu disiapkan, juga dihiasi dengan linen, di atasnya terdapat kanopi sutra, dan itu juga dihiasi dengan lebih banyak petak kain dalam berbagai warna dan dihiasi dengan elang berwarna perak dan bunga-bunga emas dan perak, seperti dilapisi dengan karpet Belanda yang bagus dan di atasnya sebuah kursi berlengan yang dilapisi kain Cina berhias bunga emas dan [salah satu] satin hijau dengan jumbai emas. Juga ada sebuah kursi berlengan panjang dan 2 kursi lainnya.
Di depan kami berdua, Raja dibawa ke tandu yang diletakan di atas kain linen putih, dan para pendeta melantunkan lagu selama proses itu. Keempat ujung mantelnya dipegang oleh 4 pelayan kerajaan, dan saat dia pergi, Raja ditaburi dengan beras, bunga, koin perak dan hiasan lainnya. Setelah imam besar berdoa, raja duduk di kursi berlengan di atas tandu dan kami ditempatkan di sampingnya. Dua pria berdiri di belakang raja membawa 2 payung terbuka [tiga atau] dua lainnya, masing-masing membawa panji-panji kerajaan yang berhiaskan/bergambar matahari dan bulan berwarna perak. Di hadapannya, berdiri 2 pria membawa sutra dan di belakang [dia] dua lainnya dengan payung tertutup. Di setiap sudut berdiri seorang hamba kerajaan dengan piring perak di tangannya, dimana uang, beras dan bunga, dicampur menjadi satu, yang dilemparkan ke kerumunan oleh goegoegoe dari Tidore dan yang lainnya yang juga menaiki tandu. Paman Raja, Pangeran Joseph, dengan hakim ketua, Heyroen, dan anggota keluarga dan pelayan kerajaan lainnya naik ke atas tandu da sementara itu diumumkan kepada para penonton oleh hakim, di Ternate. Prosesi tersebut diselenggarakan sebagai berikut :
Di barisan depan, berbaris sekumpulan milisi Ternate, menabuh genderang dan panji-panji pribadi Pangeran Swaardekroon berkibar
Kemudian datang barang-barang dan lambang kerajaan, ini sama dengan yang dijelaskan secara rinci pada pemakaman raja sebelumnya
Setelah ini adalah sekumpulan pendeta yang bernyanyi
Kemudian para pemusik kerajaan, memainkan biola, oboe, bas, basson diselingi dengan musik pribumi yaitu calintang.
Kemudian diikuti dengan para pembesar berjalan berdua-dua, diikuti oleh pengawal kerajaan, dengan sersan dan tentara yang telah kami sediakan
Setelah itu tandu yang dibawa lewat diiringi sorak-sorai hangat oleh 200-300 orang, bernyanyi saat rombongan itu lewat. Sepanjang jalan, beras, uang, dan bunga bertebaran di antara kerumunan. Di belakangnya, berjalan beberapa istri kerajaan yang berpakaian putih serta anggota rombongan lainnya, dan bagian belakang dibawa oleh kompi milisi Ternate yang dipimpin oleh Din, Salahakan dari Xulla Besi (Sula Besi).
Dalam urutan ini, prosesi berbaris melewati kuil (masjid) ke alun-alun, dimana penduduk yang tak terhitung jumlahnya telah duduk. Pada titik ini, tandu dipikul oleh 2 orang berpangkat dari milisi pribumi ke sebuah bangunan sementara yang telah didirikan untuk kenyamanan para bangsawan, wanita dan penonton lain yang datang ke sana. Di sini, ketika Raja diturunkan, 2 sadaha43, satu demi satu, [berdiri] di depan barisan, berbicara kepada Raja, menyampaikan kata-kata pujian dan penghormatan, dan menyerahkan kepada hukum, Heyroen, yang berdiri di samping tandu, 4 helai daun chintz hijau, di atas piring perak.
Gugugu kerajaan Ternate, Pattserana, kemudian berdiri di depan tandu dan berbicara kepada Raja dalam bahasanya sendiri, dan ketika sedang berbicara, hukum, menyerahkan 4 helai daun chintz tersebut kepada pembawa 2 sutra dan 2 payung, yang menutupi tubuh mereka dengan selempang dan membuka payung mereka. Setelah pangeran Swaardecroon berdiri di depan raja, dia menyampaikan pidato singkat yang berapi-api, yang disambut oleh 3 sorakan dari rakyat.
Setelah itu, Kimelaha Marasoly naik ke kereta di depan Raja, dan setelah dia menyembah dan mencium kaki raja, membaca Alquran, dalam bahasa Ternate, yang mana, Raja dan kami harus mendengarkan (meskipun itu berlangsung lebih dari ¼ jam) di kaki kami. Ketika ini telah dilakukan, raja duduk, dimana semua pemimpin kerajaan dan pangeran-pangeran yang berhubungan darag seperti Swammerdam, Kapten Laut Xulla, Swaardekroon, dan yang lainnya datang untuk mencium tangan dan kaki raja di tandu, dan menyembah, dan ketika Iman Bey Jan mengucapkan doa yang panjang dengan suara yang keras, dan Kadir yang disebutkan sebelumnya atau paman raja, Pangeran Joseph, memulai mazmur, yang diselesaikan oleh semua pendeta, 3 kali tembakan penghormatan dilakukan dimulai dari pengawal raja, diikuti oleh tentara yang kami sediakan, dan terakhir oleh orang Ternate, yang diakhiri dengan 9 tembakan meriam. Kemudian tandu dibawa lagi, dan Raja dan mereka yang disebutkan sebelumnya dibawa keliling negeri Ternate, dimana mereka disambut dengan sikap hormat dan teriakan [pujian] oleh rakyat, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang duduk bersama di pinggir jalan, dan seperti yang disebutkan sebelumnya, biji-bijian, uang, dan bunga bertebaran [di antara mereka].
Setelah Raja melepaskan pakaian imamnya, dan mengenakan kamisol dari kain emas, waktu sampai sekitar jam 14.00 dihabiskan untuk minum minuman pagi dan [memanjakan diri dalam] obrolan pribadi. [pada pukul 14.00] dua meja panjang, masing-masing diatur untuk sekitar 70 tempat ditempatkan di galeri depan, dimana salah satunya adalah diduduki oleh para pendeta sendiri, di sisi lainnya untuk pejabat tinggi negara. Kita akan lupa untuk tidak menyebutkan bahwa meja seperti itu juga, disediakan untuk utusan Raja Tidore dengan status tertinggi, memberi mereka kebanggaan atas tempat, suatu tempat di atas rekan-rekan mereka di Ternate.
Raja juga memiliki meja yang ditempatkan di galeri dalam kediamannya, dimana dia duduk bersama kami, para pangeran dan putri, gugugu Ternate dan Tidore. Kami semua disambut dengan khusyuk, dan berbagai roti panggang dihidangkan, dan minuman dibagikan, dan ketika makan telah selesai, utusan dari Raja Tidore mempersembahkan hadiah berupa uang dan linen.
Setelah kami menghabiskan waktu hingga sekitar pukul 16.30 dalam percakapan pribadi, kami memohon diri untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada penguasa dan kompeni, untuk membuat laporan kami yang sederhana tentang pengalaman kami kepada Yang Mulia, yaitu atasan kami.
CCatatan Kaki:
29. ANRI Ternate 54, dagregister,
6 August 1753.
30. NA VOC 2191, fols
504-5, dagregister, 26 October 1730.
31. NA VOC 2191
fol. 537, dagregister, 9 December 1730.
32. ANRI Ternate
52, dagregister, 17 June 1752.
33. NA VOC 2191 fol.
561, dagregister, 9 January 1731.
34. NA VOC 2191 fols
444-51, catatan dari Pelayan benteng Ternate.
35. ANRI Ternate
52, dagregister 10-12 December 1751. Fragmen/kisah ini juga ada di
dalam buku F.S.A. de Clercq, Bijdragen tot de kennis der residentie
Ternate (Leiden: Brill, 1890), pp. 346-50.
36. ANRI Ternate 52, dagregister,
20 December 1751.
37. ANRI Ternate
52, dagregister 29 December 1751, 4 January 1752.
38. Dokumen yang paling
penting adalah “akta kerjasama”, yang ditandatangani oleh para pejabat
kerajaan. Lihat teksnya pada ANRI Ternate 52, dagregister, 1
March 1752.
39. ANRI Ternate 52, dagregister,
8 January 1752.
40. ANRI Ternate 52, dagregister,
1-3 November 1752. Meskipun Sultan meyakinkan mereka bahwa perburuan
kepala/pengayauan/potong tidak lagi dilakukan, selanjutnya hal demikian nampak
pada para Alifuru yang secara khusus memandang pada pemimpin-pemimpin orang
Tidore yang tinggal di Ternate, khususnya orang-orang Tidore yang memiliki
taman di dekat benteng lama milik Spanyol, benteng Gamalama. Lihat juga dagregister 15
November 1752 and 7 July 1753.
41. ANRI Ternate
52, dagregister, 22 November 1752, enclosure 2.
42. ANRI Ternate
52, dagregister, 15 October 1751.
43. Sadaha bermakna
utusan atau delegasi ; lihat Van Fraassen, Ternate, Vol. II p. 647.
Catatan Tambahan:
a. Pendeta
Witchenhoff bernama lengkap Johan Casper/Caspar Witchenhoff. Ia tiba
di Batavia pada 17 Agustus 1745, mulai bertugas di Ternate pada tahun 1746
hingga ia meninggal pada tanggal 17 atau 19 Maret 1752.
§ Lihat Hendrik Niemeijer dkk, Bronnen
Betrefende Kerk en School in de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten tijde
van de VOC, 1605-1791, deel IV (volume 4), hal 42, 60
b. Jacob
Mossel ditunjuk sebagai Gubernur Jend VOC pada tanggal 1 November 1750, setelah
Gubernur Jend VOC sebelumnya Gustaff Willem Baron van Imhoff, meninggal pada
tanggal tersebut. Jacob Mossel memerintah pada periode 1750 – 1761.
§ Lihat M.A. Rhede van der Kloot De Gouverneurs
– Generaal en Comissarisen Generaal van Nederlandsch-Indie 1610 – 1888, W.P.
van Stockum en zoon, sGravenhage, 1891, hal 98
c. Caspar
Voges diketahui telah bertugas di Ternate pada bulan September 1696 dan menjadi
salah satu anggota Dewan Gereja (Kerkenraad) Ternate. Di tahun 1713, ia menjadi
Kapten Benteng Oranje di Ternate menggantikan Jacob Cloek yang dipromosikan
menjadi Secunde Gubernemen VOC Ternate. Tahun 1721, ia digantikan oleh Jacob
Willem van der Bruggen.
§ Lihat Hendrik Niemeijer dkk, Bronnen
Betrefende Kerk en School in de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten tijde
van de VOC, 1605-1791, deel II (volume 2, bag 1), hal 390, catatan kaki
nomor 987
§ Generale Missive Gub Jend VOC Abraham van
Riebeck tanggal 13 Januari 1713. Kolonial Archief 1708, Folio
1246-1434 (hal 898 di Generale Missive Gubernur Jenderal VOC, deel 6)
§ Generale Missive Gub Jend VOC Hendrik
Zwaardecroon tanggal 15 Januari 1721. Kolonial Archief 1708, Folio
1496-1694 (hal 521 di Generale Missive Gubernur Jenderal VOC, deel 7)
d. Penulis
(Hendrik Niemeijer) kemungkinan melakukan “kekeliruan” pada informasi di bagian
ini. Secara eksplisit dalam paragraf ini, disebutkan bahwa pada tahun 1730,
Gubernur VOC Ternate adalah Joan Happon, padahal faktanya Joan Happon tidak
lagi menjabat pada tahun ini (lihat catatan kaki nomor 1 pada artikel bagian I,
dimana sang penulis menulis Joan Happon memerintah pada 1724 - 1728). Pada
tahun ini atau tahun 1730, seharusnya Gubernurnya adalah Jacob Christian Pielat
(1728-1731). Kronologis pemerintahan Pielat ini sesuai dengan beberapa sumber
lainnya. Pada suatu sumber dinyatakan bahwa Joan Happon meninggal pada 5
Februari 1727 di Ternate, dan digantikan sementara waktu oleh Jacob Bonner,
secunde Gubernemen VOC Ternate.
§ Lihat F.S.A. de Clercq, Bijdragen
tot de kennis der residentie Ternate (Leiden: Brill, 1890), pp. 118
§ Lihat Muridan Satrio Widjojo, Cross-Cultural
Alliance-Making and Local Resistance in Maluku during the revolt of Prince
Nuku....., appendix 3, hal 263
§ Generale Missive Gubernur Jenderal VOC Matheus de
Haan tanggal 27 Oktober 1727. Kolonial Archief 1949, Folio 11-102
(hal 121 di Generale Missive Gub Jend VOC, deel 8)
e. Nyonya
van Mijlendonk yang dimaksud adalah istri dari Gubernur VOC Ternate, Joan Elias
van Mijlendonk. Istri Gubernur yang dimaksud ini kemungkinan adalah Sara van
Bussche. Kami menggunakan kata mungkin, karena Joan Elias van Mijlendonk
menikah 2 kali, yaitu dengan Sara van Bussche dan Maria Christina Dijkman.
§ Van Resandt, Wijnaendts, W. Oude Indische
Families : Het Geslacht Reijnst (In Indie van 1755 tot heden) ( dimuat
dalam Maandblad de Nederlandsche Leeuw, 25 jaargang, 1907, no 6 Hal
142, catatan kaki no 8)
§ Schute, G.J. Seer
teder beminde heer vader en vrouw moeder!: Brieven van de ..,
2009, hal 255, catatan kaki no 470
f. Lihat
catatan tambahan abjad (d) untuk memahami kekeliruan dari sang penulis
g. Diederick
Durven ditunjuk oleh Raad van Indie menjadi Gub Jend VOC sementara pada tanggal
1 Juni 1729, saat Gubernur Jend VOC sebelumnya, Matheus de Haan, meninggal pada
tanggal tersebut. Durven dilantik secara resmi pada 9 Desember 1730.
§ Lihat M.A. Rhede van der Kloot De
Gouverneurs – Generaal en Comissarisen Generaal van Nederlandsch-Indie 1610 –
1888, W.P. van Stockum en zoon, sGravenhage, 1891, hal 84, 86
h. Menurut
paragraf ini, maka Elias de Haeze menjadi Gubernur VOC Ternate sekitar tanggal
26 Mei 1731. Kemungkinan “sekitar” tanggal 26 Mei 1731 ini tidak sepenuhnya
salah, jika dibandingkan dengan sumber yang menyebut secara resmi Eliase de
Haeze menjadi Gubernur pada 9 Juni 1731.
§ Generale Missive Gub Jend VOC
Diderik Durven tanggal 02 Februari 1731. Kolonial Archief
2042, VOC 2150 Folio 6633-6942 (hal 208 di Generale Missive Gub Jend VOC, deel
9)
§ Generale Missive Gub Jend VOC Diderik
Durven tanggal 12 Oktober 1731. Kolonial Archief 2063,
VOC 2171 Folio 14-388 (hal 233 di Generale Missive Gub Jend VOC, deel 9)
i. Thornton
pada teks ini merujuk pada Thomas Thornton. Sejak tahun 1750, ia menjabat
sebagai Sekretaris Raad van Politie atau Sekretaris Dewan Politik Gubernemen
VOC Ternate. Ia bertugas hingga tahun 1753 dan kemudian menjabat sebagai
Opperhofd atau Residen Gorontalo (1753 – 1759).
§ Naamboekje van de Wel-Ed
Heeren..... September-November 1751, hal 53
j. Wasbeek
pada teks ini merujuk pada Adriaan atau Adrianus Wasbeek. Pada tahun 1754, ia
menjadi Pejabat Sekretaris Raad van Politie atau Sekretaris Dewan Politik
Gubernemen VOC Ternate. Pada fragmen peristiwa penobatan Sultan Ternate (tahun
1752), Wasbeek adalah seorang buiten employ.
§ Naamboekje van de Wel-Ed Heeren..... Januari 1754, hal 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar