[JAMES T. COLLINS AND RACHEL NOVOTNY]
UNVERSITY OF HAWAAI
AT MANOA
- Kata Pengantar
Ambulon, mungkin adalah kata yang telah “asing” buat kita orang Maluku di masa kini, namun faktanya di masa lalu, minimal di awal abad ke-16 atau tahun 1500-an, kata ini menjadi bahasa percakapan sehari-hari orang Maluku. Ambulon adalah kata yang berkaitan dengan sagu yang merupakan makanan pokok orang Maluku.
Pada tahun 1522, Antonio Pigafettaa, salah seorang anggota ekspedisi Magellan, mencatat kata ini yang ia dengar dari “pilot” armada itu yang berasal dari Tidore. Sebenarnya apa makna dari kata ambulon ini?. Banyak sarjana dan spesialis sejarah Asia Tenggara yang melibatkan diri dalam persoalan daftar kata bahasa Melayu yang dikumpulkan oleh Pigafetta itu, tidak mengetahui makna kata ini, bahkan seperti “menghindari” membahas tentang kata ini.
Artikel yang ditulis oleh James T Collins dan Rachel Novotny dengan judul Etymology, Entomology, and Nutrition : Another Word from Pigafetta ini, mencoba mengkaji makna dari kata ambulon. Artikel ini dimuat di Jurnal Cakalele, volume 2, nomor 2, tahun 1991, halaman 123 – 132, dengan 9 catatan kaki. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa pada kajian ini, sang penulis membahas makna kata Ambulon yang ditulis oleh Pigafetta. Mereka membahas kata itu dari perspektif sejarah, budaya makan hingga etimologi kata itu, dan pada akhirnya mengusulkan makna yang menurut mereka lebih “logis” terhadap kata Ambulon.
Kami hanya menambahkan sedikit catatan tambahan dan gambar ilustrasi pada terjemahan ini dan berharap semoga tulisan ini bisa bermanfaat.
- Terjemahan
- Pendahuluan
Pada bulan Januari 1522, kapal terakhir dari armada Magellan yang masih hidup mengitari pantai Alor, Pantar, dan Timor. Kapal Victoria sarat dengan muatan cengkih dari Maluku (utara) dan diawaki 60 orang awak termasuk 2 “pilot” dari Tidore. Di perairan yang bergejolak itu, salah satu “pilot” yang naik kapal atas perintah Sultan Tidoreb, berbicara dengan Pigafetta tentang pulau terdekat, [yaitu] Arucheto, tempat hunian suku cebol yang telanjang, penghuni gua bawah tanah, bertelinga panjang dan tidak berbulu, yang mampu berlari dengan kecepatan tinggi dan bernyanyi dengan suara halus dan “tipis”1 (lihat Bausani, 1972:56). Benar-benar sebuah strana leggenda, seperti yang disebut Bausani (1972) sebagai kisah pelaut bagi orang Italia yang percaya diri yang merekamnya untuk kita !!!. Namun, satu elemen dalam rangkaian cerita dan, memang, merupakan pernyataan tentang nutrisi di Indonesia Timur yang telah akrab. Kajian singkat ini akan mempertimbangkan kemungkinan pola makan masyarakat Arucheto seperti yang diceritakan oleh pilot Maluku. Pada saat yang sama akan mengusulkan solusi untuk masalah etimologis yang dicatat oleh Bausani (1972).
Antonio Pigafetta (1480 - 1531) |
Pilot Maluku mungkin telah memberi tahu Pigafetta sebuah dongeng, tetapi ketika dia menggambarkan makanan dari orang-orang imajiner? yang tidak berbudaya ini, dia pasti menggunakan pengetahuan pribadinya tentang makanan Maluku, seperti yang dicatat oleh Pigafetta (Bausani, 1972: 56, diterjemahkan oleh Collins) :
Mereka tinggal di gua-gua bawah tanah dan makan ikan dan sesuatu yang berasal dari [nasce] antara pohon dan kulit kayunya; putih dan agak mirip dengan bubuk ketumbar yang diawetkan, itu disebut Ambulon2
- Ambulon : suatu item makanan
Pastinya, suatu item makanan yang dideskripsikan oleh pilot Tidore itu ada kaitannya dengan sagu, makanan pokok yang diperoleh dari intisari pohon sagu, terutama Metroxylon spp. Makanan ini pernah menjadi bagian paling penting dari makanan di seluruh kepulauan Melayu dan sebagian Melanesia. Meski tidak lagi menjadi makanan favorit dalam perjalanan laut yang jauh, namun tetap menjadi makanan pokok di berbagai wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dari perspektif nutrisi, ini adalah pemanfaatan sumber daya yang tersedia secara rasional; dan memang, pelengkap protein pada ikan adalah pati, yaitu sagu.
Fragmen narasi Pigafetta tentang Ambulon |
Sebelumnya dalam uraiannya tentang Tidore, Pigafetta memaparkan tentang sagu, asal-usulnya, cara pembuatannya, dan kegunaannya. Bentuk sagu yang ia gambarkan seperti “roti” sagu, yaitu tepung sagu yang dipanggang dalam cetakan dan selanjutnya dijemur. Namun, Pigafetta tidak mengaitkan sagu yang ini, yang tampaknya ia lihat di Tidore, dengan ambulon dari narasi pilot. Fakta bahwa Pigafetta sendiri tidak mengamati penganan Arucheto dan bahwa prosesnya berbeda dari yang dia kenal di Tidore, mungkin mengaburkan identitas penganan itu untuk dirinya sendiri. Di Maluku, ada banyak cara menyediakan dan mengolah tepung sagu, mulai dari dipanggang dan dibakar hingga dicampur dengan air mendidih atau digoreng di wajan tanpa minyak. Salah satu cara yang paling tidak umum tetapi masih dikenal di Maluku adalah butiran sagu, sejenis sagu yang cukup terkenal di negara-negara Barat. Butiran sagu diperoleh dengan cara melarutkan tepung sagu mentah dalam air, menekan zat terlarut melalui saringan kasar dan mengeringkannya. Ini menghasilkan bola putih (butiran/mutiara), seukuran biji ketumbar yang diawetkan, seperti yang dicatat oleh Pigafetta. Maka, salah satu interpretasi dari makanan Arucheto adalah sagu, bahan makanan yang dikenal oleh para pilot dari Tidore.
Ulat Sagu, yang diduga Ambulon? |
Interpretasi lain juga harus dipertimbangkan. Pada abad ke-17, pengamat Belanda mencatat bahwa salah satu makanan yang “dijunjung” tinggi oleh orang Ambon adalah belatung yang “menyerang” atau “muncul” dari tunggul pohon sagu yang ditebang. Belatung sagu bisa menjadi rujukan kepada ambulon. Valentyn (1726: 295, diterjemahkan oleh Collins), misalnya, menulis :
Orang-orang di sini memiliki sejenis ulat, yang disebut ulat sagu, yang tumbuh subur di inti sari pohon sagu ketika sudah berbuah dan akan mati. Cacing ini, sangat gemuk dan berminyak, dianggap sebagai salah satu makanan paling lezat di Ambon, yang biasanya dipanggang dengan tusukan kecil3
Meskipun sate telah menjadi makanan khas Indonesia yang terkenal di seluruh dunia, sate ulat sagu memiliki khasiat yang sama!. Meski begitu, makan ulat sagu tentu bukan pola budaya yang hanya ditemukan di Maluku. Burkill (1966: 1488) memberikan laporan yang lebih lengkap :
Tunggul pohon sagu menjadi tempat perkembangbiakan yang sangat cocok untuk kumbang kelapa (Rhyncophorus), dan begitu pula “sampah” sagu. Di timur Melayu [yaitu bagian timur kepulauan Asia Tenggara], dimana banyak sagu diolah, belatung kumbang dimakan sebagai makanan lezat.
Laporan yang lebih modern dan lebih lengkap diberikan mengenai konsumsi belatung sagu di Sarawak, Malaysia (Tan, 1977) dan di Papua Nuigini (Ohtsuka, 1977, Mei 1984). Menurut Ohtsuka (1977), famili kumbang tersebut adalah Cerambycidae (genus Rhyncophorus) dan dalam pidgin Papua dikenal sebagai binatang bilong saksak. Kumbang bertelur, yang berkembang menjadi larva dan kemudian menjadi kumbang, di inti batang sagu yang tumbang.
Meskipun di Papua Nuigini, belatung sagu dikatakan lebih sering dikumpulkan dan dimakan oleh anak-anak, di Maluku tampaknya tidak demikian4. Ellen (1978: 71) memasukan belatung sebagai salah satu dari beberapa “sumber makanan hewani sekunder yang diakui” di antara suku Nuaulu di Seram Tengah. Selain itu, selama kunjungan lapangan intensif di pulau Ambon pada bulan Juni 1991, kami mengumpulkan data awal tentang pengumpulan dan konsumsi belatung di antara orang Ambon Kristen di teluk Ambon. Memang, demonstrasi berbagai cara makan belatung sagu difoto. Belatung atau lundi, atau Ulat sagu dalam bahasa Melayu Ambon, biasanya dimakan dengan cara digoreng di wajan, dengan lemaknya yang cukup banyak diperoleh dengan cara mencengkeramnya di antara jemari. Kadang-kadang belatung serta kumbang Rhyncophorus dewasa, atau mai mai sagu (dalam bahasa Melayu Ambon) dimakan mentah.
Karna sagu sebagian besar mengandung karbohidrat, dan belatung sebagian besar mengandung protein (14% massa kering) dan lemak (64% massa kering) (Tan 1977), belatung menyediakan elemen penting untuk makanan, tanpa adanya ikan atau daging. Tidak hanya protein yang penting, tetapi juga lemak juga penting untuk penyerapan vitamin yang larut dalam lemak. Dengan kata lain, diet menjadi lengkap, kecuali beberapa vitamin dan mineral, dengan sagu dan belatung.
Jamur Sagu, yang diduga Ambulon? |
Kemungkinan ketiga adalah bahwa ambulon mengacu pada jamur yang dapat dimakan, atau jamur sagu, yang tumbuh di tumpukan sampah sagu. Warnanya putih dengan bagian atas bulat dan ditemukan di manapun sagu diekstrasi. Selain itu, dalam banyak bahasa yang digunakan di atau dekat Brunei modern – pelabuhan paling penting yang disinggahi Pigafetta – jamur ini diberi nama ombulon atau kata-kata yang memiliki kemiripan fonetik (D.J. Prentice, komunikasi pribadi November 1991; Prentice n.d).
- Ambulon : suatu etimologi
Uraian tentang butiran sagu, belatung sagu dan jamur sagu, serta kemungkinan penganan tersebut familiar bagi para pilot, mengantarkan kita pada persoalan etimologi dari ambulon. Dalam edisi narasi Pigafetta (Pigafetta, 1906), James Robertson melakukan identifikasi “malu-malu” dalam indeksnya (volume 3: 8) : “Ambulon (a food – makanan)”. Bausani (1972: 56, catatan kaki 121) lebih terus terang, mengakui dia tidak dapat melacak kata ini :”Il cibo di scorza d’albero detto ambulon nonsono riuscito a identificarlo”. Meskipun banyak sarjana dan spesialis Asia Tenggara telah mempelajari daftar kata Pigafetta, yang terkenal sebagai upaya orang Eropa dalam leksikografi bahasa Melayu, hanya sedikit dari mereka yang mengalihkan perhatian mereka ke banyak kata Melayu yang muncul di luar daftar kata, yaitu di bagian narasi catatan Pigafetta. Kira-kira 30 kata Melayu mengisi teks narasi Italia, tetapi hanya 5 di antaranya yang muncul dalam daftar kata. Bausani, dari semua editor narasi Pigafetta, adalah yang paling teliti dan efektif dalam menafsirkan dan menguraikan item berusia 450 tahun. Namun, [kata] ambulon luput dari interpretasinya.
Pada tahun 1930-an, beberapa sarjana memperdebatkan asal usul daftar kata Pigafetta, tidak sepakat tentang “ke-Malukuan-nya” dan khususnya mencatat unsur-unsur dari bahasa Melayu-Brunei5. Perdebatan ini memberikan petunjuk menuju interpretasi. Meskipun muncul beberapa istilah bahasa Cebuano yang salah tempat6, mayoritas kata dalam daftar jelas-jelas berbahasa Melayu, kemungkinan besar di kumpulkan di Brunei dan Maluku. Memang, pada abad ke-16, bahasa Melayu Brunei dan varian bahasa Melayu yang digunakan di Maluku Utara mungkin sangat mirip satu sama lain (lihat Collins 1991). Jadi, dialek Melayu dari bahasa Brunei dan Maluku Utara kontemporer, kita beralih untuk membuatnya lebih jelas.
Varian umum bahasa Melayu-Brunei – yaitu bukan sub dialek Kedayan maupun kampung Ayer – sebagian dijelaskan dalam serangkaian entri leksikal oleh Brunei,s National Language Bureau (Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei). Meskipun terdapat banyak karya tentang kosakata varian bahasa Melayu di Indonesia bagian timur (Collins, dalam penerbitan), yang paling baru dan lengkap ada lah leksikon varian bahasa Bacan yang tidak dipublikasikan (Collins, n.d). Kedua dialek Melayu ini menghasilkan sumber yang dapat diterima untuk kata ambulon-nya Pigafetta. Perhatikan perbandingan yang sangat dekat antara bahasa Brunei dan Bacan
Brunei : “ambulung” = tepung sagu (Dewan Bahasa, 1971)7
Bacan : “ambulung” = pohon sagu (Collins, n.d)8
Saat ini, baik di Brunei maupun Maluku Utara, tempat Pigafetta kemungkin besar mengumpulkan kosa kata Melayu-nya, ambulung mengacu pada sagu. Selain itu, kemungkinan besar bahasa di kedua wilayah tersebut adalah dialek Melayu yang paling mirip dengan bahasa Melayu Bacan modern (Collins, 1991). Dengan demikian, masuk akal jika sang “pilot” menceritakan kisahnya menggunakan varian dan kosata kata yang mirip dengan bahasa Melayu Bacan. Sementara ada 3 kemungkinan penafsiran istilah ambulon, yaitu tepung sagu (terutama dalam bentuk butiran sagu), belatung/ulat sagu, dan jamur sagu, berdasarkan leksikon varian Melayu kontemporer di wilayah tersebut, kami menganggap tepung sagu (dalam bentuk butiran) adalah arti yang paling mungkin dari ambulon8. Ini paling cocok dengan deskripsi yang tersedia dan, dalam kombinasi dengan ikan, masuk akal secara nutrisi.
- Kesimpulan
Dalam penjelajahan singkat ke dalam kebiasaan diet abad ke-16 di Maluku, kami telah menyajikan etimologi item leksikal yang sampai sekarang belum teridentifikasi dalam sejarah narasi Pigafetta. Identifikasi yang diusulkan di sini bertumpu pada penyusunan bukti nutrisi, entomologis, budaya, dan dialek. Kombinasi dari sumber daya multi disiplin inilah yang menghasilkan solusi untuk dilema Bausani (1972). Dialektologi membawa kita pada kesimpulan bahwa, dari semua bahasa yang menampilkan bentuk-bentuk yang mirip dengan [kata] ambulon (lihat de Clerq, 1909), kemungkinan besar sumber kata tersebut adalah bahasa Melayu Brunei dan Maluku Utara. Selain itu, nutrisi menujukkan bahwa pati, bukan belatung atau jamur, adalah yang dimaksud narator. Selain itu, konsumsi sagu kontemporer di Maluku Utara, asal sang pilot memperkuat identitas tersebut.
Namun, kami tidak mengklaim bahwa orang Arucheto sendiri harus makan ambulung. Laporan modern masyarakat pulau Alor dan Pantar tidak mengandung bukti tentang itu. Memang, iklim yang kering dan dataran yang terjal di pulau-pulau ini tampaknya tidak kondusif bagi pertumbuhan pohon sagu dalam jumlah yang cukup besar untuk mempertahankan eksploitasinya secara luas sebagai bahan makanan. Sebaliknya, kisah pilot tetap menjadi strana leggenda, yang menjalin untaian realitas dengan untaian narasi yang aneh. Pigafetta tidak hanya menyimpan bagi kita sebuah leksem berusia 450 tahun, tetapi juga salah satu contoh sastra lisan Maluku Utara paling awal, meskipun hanya singkat.
==== selesai ====
Catatan Kaki
1. Pigafetta memperjelas siapa yang menceritakan kisah itu dan bagaimana narator bisa naik ke kapal Victoria. Ia menulis pada saat kapal masih di Tidore bahwa :
Sabato, a vintuno de dicembre, giorno de San Tommaso, il re nostro venne a le navi e ne consegno il due piloti [che] avemamo pagati, perch’e ne conducessero fora de queste isole (Bausani, 1972: 49-50)
[Pada hari St Thomas, Sabtu, 21 Desember, Raja datang ke kapal, dan menugaskan 2 pilot kepada kami yang telah kami bayar untuk membawa kami keluar dari pulau-pulau itu (Pigafetta 1906 : 111)]
Dan kemudian, di dekat pantai Pantai dan Alor, dia menyebut narator Maluku lagi :
Ne disse il nostro piloto vecchio de Maluco, come appresso era una isola, chiamata Arucheto (Bausani 1972: 56)
[Pilot kami dari Maluku memberi tahu kami bahwa ada sebuah pulau di dekat, yang disebut Arucheto (Pigafetta 1906 : 161)]
Meskipun Mosto (Pigafetta 1894: 106, catatan kaki no 3) menunjukkan bahwa Arucheto dapat diidentifikasi sebagai Haruku atau Aru, dan Robertson (Pigafetta 1906: 225) tidak setuju dengan Mosto, Bausani (1972: 56) dengan bijak menyimpulkan bahwa mengingat geografi dari cerita itu, sebuah pulau di dekat Alor atau Timor, pasti yang dimaksudkan.
2. Aslinya tertulis : “abitano in cave sotto terra e mangiano pesce e una cosa che nasce tra l’arbore e la scorza, che e bianca e rotunda come coriandoli de confetto, detta ambulon" (Bausani, 1972: 56). Perhatikan bahwa Bausani menggunakan manuskrip Bibliotheca Ambrosiana di Milan, teks yang dia anggap paling andal dan lengkap. Lihat deskripsi Robertson tentang manuskrip ini (Pigafetta 1906, volume 2 : 243-248) yang ia tentukan berasal dari tahun 1525.
3. Penjelasn yang lebih lengkap, lebih akurat, dan lebih awal (meskipun diterbitkan kemudian) disediakan oleh Rumphius (1750 : 79, 83)
4. Juga tidak demikian halnya dengan belatung yang dimakan di Jawa. Menurut F.X. Rahyono (komunikasi pribadi, November 1991) di Jawa Tengah, gendon (“een groote dikke worm in rotanplanten, aren- of kokosboomen, die tot lekkerij dient evw”. Jansz 1932: 279) paling sering dimasak dalam hidangan sayuran
5. Secara khusus, Blagden (1931), Gonda (1938), Kern (1938), dan Le Roux (1929) menulis hal itu, beberapa dengan panjang lebar tentang sumber-sumber Pigafetta. Baru-baru ini, Bausani (1960) juga ikut berdebat
6. Pigafetta memasukkan daftar kata Cebuano dalam narasinya dan juga daftar bahasa Melayu. Beberapa kata bahasa Cebuano masuk dalam daftar bahasa Melayu dan beberapa kata bahasa Melayu ditemukan dalam daftar bahasa Cebuano. BaLlsani (1972) memberikan diskusi yang gamblang tentang fenomena ini.
7. Dalam kosa kata yang disusun oleh staf Dewan Bahasa Brunei, ambulung diartikan sebagai tepong sagu “sagu flour”, yang dibedakan dari ambuyat, yaitu tepung sagu yang dimasak dengan menuangkan air mendidih ke atasnya. Sebelumnya, Haynes (1900) juga mengutip ambulung.
8. Dalam bahasa Bacan, sebuah dialek Melayu yang berbeda (Collins 1983), ambulung adalah istilah umum untuk pohon sagu. Setidaknya ada 7 jenis sagu yang dibedakan : ambulung duri puti, ambulung licing, ambulung pulutang, ambulung nggani, ambulung sike, ambulung soang dan ambulung tirus.
9. Kami tidak menyangkal kemungkinan terjadinya pergeseran makna ambulung dari sagu menjadi fenomena yang erat kaitannya dengan sagu, seperti belatung atau jamur. Metonimi semacam ini tampaknya terjadi pada kata Murut untuk jamur sagu (D.J. Prentice, komunikasi pribadi November 1991). Meskipun demikian, kombinasi bukti mendukung identifikasi sagu itu sendiri, bukan jamur atau belatung yang bersimbiosis.
Catatan Tambahan
a. Antonio Pigafetta adalah seorang sarjana dan penjelajah asal Venesia, Italia. Lahir sekitar 1480 dan meninggal pada tahun 1531. Ia salah seorang anggota ekspedisi yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan. Ekspedisi ini mulai berangkat pada Agustus 1519 dan kembali lagi tiba pada September 1522, meski hanya tinggal 1 kapal yang bertahan atau selamat.
b. Pigafetta menulis nama Sultan Tidore saat mereka tiba di Tidore pada 8 November 1521 bernama Raia Sultan Manzor. Sultan Mansur berkuasa sejak 1512 – 1526.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar