[Dr.
R. HORST]
Conservator aan 's Rijks Museum van
Natuurlijke Historie.
A. Pengantar
Pada antara bulan Februari –
Maret setiap tahun, penduduk kepulauan Ambon biasanya memanen biota laut, yaitu
cacing laut yang lebih dikenal sebagai Laor. Proses memanen laor biasanya
diungkapkan dengan kata Timba Laor.
Namun pertanyaannya, sejak kapan
penduduk kepulauan Ambon memanen cacing laut tersebut jika ditanyakan dalam
sumber-sumber sejarah. Kapan tepatnya tidaklah diketahui, namun jika membaca
deskripsi cacing “wawo” atau “laor” ini, minimal di tahun 1653 saat Rumphius
tiba di Ambon, proses “timba laor” telah ada dan sudah menjadi kebiasaan
penduduk kepulauan Ambon.
Deskripsi paling pertama tentang “laor” ini mungkin dideskripsikan oleh Rumphius, seorang naturalis Jerman, yang bekerja untuk VOC dan menetap di Ambon sejak 1653 hingga kematiannya pada tahun 1702. Dalam bukunya, D’Amboinsche Rariteitkamer, yang diterbitkan tahun 1705, oleh penerbit Frabcois Halma di Amsterdam, Rumphius mendeskripsikan cacing laut yang dikonsumsi oleh penduduk kepulauan Ambon ini.
Artikel yang diterjemahkan ini, adalah tulisan dari Dr. R. Horst dengan judul Over de “Wawo” van Rumphius (Lysidice Oele n.sp) yang dimuat dalam buku Rumphius Gedenboek 1702-1902, yang dieditori oleh M. Greshoff, dan diterbitkan oleh Het Kolonial Museum, Haarlem, pada tahun 1902. Tulisan dari Horst ini adalah satu dari 12 tulisan yang dimuat dan ditempatkan pada hal 105-108. Selain tulisan Horst, ada tulisan dari sejarahwan J.E. Heeres, F. de Haan, G.P. Rouffaer, W.C. Muller dan lain-lain.
Kajian pendek dari R. Horst ini terdiri 4 halaman, 14 catatan kaki dan 1 gambar. Pada terjemahannya, kami menambahkan beberapa foto/gambar pendukung dan catatan tambahan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita.
Laor |
B. Terjemahan
Saat kita membaca buku Amboinsche
Rariteitkamer, kita terkejut bahwa Rumphius memberikan deskripsi dan
ilustrasi yang rinci tentang sejumlah besar invertebrata – Crustacea,
Clams, Echinodermata – dan hanya sekali menyebut (Boek I, Hoofdeel XLIV;
folio 51-54) representasi dari Borstelwormen (Cacing Borstel), yang tentunya
banyak di teluk Amboina. Selain itu, deskripsi tunggal ini menyangkut cacing
paling aneh, “wawo” atau “wou”, yang unik dan luar biasa dalam 2 hal :
1.
bahwa
cacing tersebut hanya muncul pada beberapa hari tertentu dalam setahun
2.
menghasilkan
hidangan favorit bagi penduduk pribumi, terutama digunakan sebagai bumbu
Rumphius
menggambarkan hewan-hewan ini sebagai Cacing, jarang satu kaki panjangnya,
tebalnya, beberapa seperti benang layar, tetapi sebagian besar seperti sutra
yang dipintal benangnya, dicampur dalam “nugget” oleh malkander, di mana orang
selalu melihat yang satu lebih besar, lebih tebal, dan lebih panjang dari yang
lain, yang dianggap sebagai induk. Warnanya bervariasi. Sebagian besar berwarna
hijau tua, tetapi di bawahnya berwarna putih kotor atau kuning, merah, coklat
dan sedikit biru yang disebut induk, memiliki ketebalan benang layar paling
kasar, dan di musim panas seperti batang tipis, kuning pucat atau keputihan.
menjulurkan kepala keluar dari air, yang darinya orang tidak dapat melihat apa
pun kecuali dua tanduk, seperti yang dimiliki Slek, dan di setiap sisi empat
kaki yang berbeda, seperti ulat." Cacing ini tidak terlihat sepanjang
tahun: “Hanya 2 dan 3 dan 4 sore setelah bulan purnama,” pada bulan Februari
dan Maret, mereka terlihat mengambang di atas air setelah matahari terbenam, di
dekat pantai-pantai di mana terdapat batu-batu besar di laut, yang penuh dengan
celah; dengan obor yang menyala mereka kemudian diangkat dari air dengan kain
yang direntangkan atau saringan halus. Dalam beberapa tahun berturut-turut
Rumphius telah melacak kemunculan “wawo”:
Deskripsi "laor" oleh Rumphius |
- [tahun] 1684 : 1 Maret, bulan purnama; 3,4 dan 5 Maret, cukup banyak wawo
- [tahun] 1685 : 20 Maret, bulan purnama; 22 Maret, wawo ikan; 23 Maret, wawo kecil
- [tahun] 1686 : 6 Maret, bulan purnama; 11 Maret, wawo kecil
- [tahun] 1687 : 27 Februari, bulan purnama; 1 Maret, tidak ada wawo
- [tahun] 1688 : 17 Maret, bulan purnama; 19 dan 20 Maret, wawo kecil
- [tahun] 1690 : 27 Maret, bulan purnama; 27,28 dan 29 Maret, wawo lumayan banyak
- [tahun] 1693 : 21 Maret, bulan purnama; 24,25,26 dan 27 Maret, wawo cukup banyak
- [tahun] 1694 : 9 Maret, bulan purnama; 11 Maret, tidak banyak wawo
Seperti terlihat pada “tabel” di atas, wawo tidak terjadi setiap tahun dalam jumlah yang sama, yang menurut Rumphius tergantung pada kondisi cuaca pada hari-hari sebelumnya. Jika banyak hujan hangat telah turun sebelumnya, wawo bisa berlimpah, dan itu dapat dilakukan atau dipanen 3 malam berturut-turut; tetapi jika banyak hari yang kering dan panas sebelumnya, wawo berjumlah sedikit dan dipanen hanya 1 malam. Wawo ditangkap/dipanen tidak hanya di teluk Amboina, tetapi juga di Hitoe, dimana ia disebut Melatten, dan di Leytimor disebut Laur, sedangkan di Uliaser disebut Melatonno, dan di Banda disebut Oele.
Juga Valentijn dalam uraiannya tentang semak belukar, tanaman dan tumbuhan di Ambon1, menyebutkan wawo sepintas : “Demikianlah daun kayu air (water-hout), yang disebut Aywayl oleh orang Ambon dan kayu lassi (Lassi-hout) oleh orang lain, juga berfungsi untuk ramuan sayuran, yang mereka gunakan di Wawo mereka (atau cacing laut, yang muncul beberapa hari di bulan April di tepi laut) dan memasak di bambu”.
Pengetahuan kita tentang kemunculan wawo atau oele di Banda, kita berhutang budi kepada Assisten Resident, Mr. J.C. van Hasselta, yang tidak hanya memberikan sejumlah besar spesimen cacing laut yang luar biasa ini kepada Prof Max Weberb, pemimpin ekspedisi Sibogac, tetapi juga memberikan deskripsi2 : “Di bulan Maret dan April setiap tahun, secara eksklusif pada malam kedua dan ketiga setelah bulan purnama, tetapi sebagian besar pada malam ketiiga, di sekitar pulau-pulau, terutama dimana pantai berbatu, muncul pada kedalaman dari pantai yang menyebar di atas laut, suatu spesies cacing tertentu dalam jumlah tidak terhitung di permukaan laut. Mereka memanggilnya “Oele” di Banda, dan “Laoer” di Amboina. Cacing-cacing itu terlihat seperti kelabang dan berwarna hijau, merah, kuning dan ungu, tetapi hijau tetap menjadi warna utama/dominan. Cacing itu berukuran dari 8-40 cm dan lebar antara 2-3 mm. Cacing tersebut ditangkap dari jam 18.00 sore sampai pada waktu bulan terbit/muncul saat mereka menghilang dalam kedalaman laut. Penduduk merayakan dengan musik dan tarian. Disiapkan dengan rempah-rempah, dan kadang-kadang dipanggang atau direbus dalam bentuk sup kura-kura, cacing itu dikonsumsi, juga oleh orang Eropa, tetapi terutama oleh penduduk pribumi, yang juga memakannya mentah-mentah dan menganggap oele-oele sebagai kelezatan”.
Materi yang dibawa kembali oleh ekspedisi Siboga disampaikan kepada saya oleh Prof Weber untuk penyelidikan, dan dia memberi saya izin untuk mengatakan sesuatu tentang itu di sini. Oele atau oelie terdiri dari gumpalan cacing, seukuran kepalan tangan; hewan-hewan itu terjerat/terikat begitu kuat sehingga hanya dengan sangat hati-hati seseorang dapat memisahkan satu secara utuh dari kumpulannya. Sebagian besar kumpulan terdiri dari cacing bulat ramping, setebal jarum rajut dan panjangnya sekitar ½ d.M.; mereka menunjukkan semburat kekuningan dan tidak diragukan lagi kehilangan warna aslinya. Di antaranya terdapat cukup banyak spesimen, yang bentuknya jauh lebih gemuk, tidak hanya lebih rata dan lebar, tetapi juga hanya setengah panjangnya; mereka sudah dapat dikenali dengan mata telanjang melalui/oleh garis hitam di seluruh tubuh, tidak jauh dari kepala (Heteronereis). Beberapa spesimen berwarna kehijauan ditemukan di antara mereka, yang sebagian besar mirip dengan yang pertama, tetapi pada pemeriksaan lebih dekat, tampaknya milik spesies yang berbeda/lain (Eunice sp.)
Cacing yang membentuk kumpulan utama oele, berasal dari keluarga Eunicidae, yang terutama dicirkan dengan memiliki 1 kumpulan/set gigi yang sangat berkembang yang terdiri dari beberapa gigi (gbr 4), yang membuat mereka menjadi cacing pemangsa sejati. Jumlah “antena” atau “peraba/perasa” di bagian kepala sangat bervariasi dalam berbagai bentuk pada keluarga ini, dan bersama dengan karakter lain (ada atau tidak adanya insang, dll), memberi kita kemudahan dalam membedakan jenis kelamin yang berbeda. Karena pada beberapa Eunicida, peraba sama sekali tidak ada, pada spesies lain mereka muncul dalam jumlah 1, 3 atau 5. Cacing oele termasuk dalam genus Lysidice, yang memiliki 3 antena dan tidak memiliki insang di kaki. Perwakilan dari genus ini telah ditemukan di seluruh belahan dunia, baik di pantai Eropa maupun di Tanjung Harapan, di Hindia Barat, Australia, Jepang, Philipina, Laut Merah, dll. Baru-baru ini juga dikenal spesies dari Kepulauan Hindia, Lysidice kukhentali, oleh Prof W. Kukenthald, dekat Ternate3. Cacing Banda kami, bagaimana pun, tidak dapat digolongkan ke salah satu spesies Lysidice yang telah dijelaskan, dan oleh karena itu saya memberinya nama Lysidice oele, sebagai spesies baru dari genus ini4.
Spesimen terbesar (gbr 1) mencapai panjang sekitar 70 mM, ketebalan di tengah tubuh adalah 1 ½ mM. Dengan satu spesimen berukuran 65 mM, jumlah cincin atau segmen sekitar 180. Tubuh kebanyakan cacing padat berisi telur atau sperma, dengan pengecualiaan 25 segmen anterior dan 20 posterior, yang akibatnya menonjol dari bagian tubuh lainnya dengan warna yang agak lebih gelap, sehingga tampak seolah-olah ujung ekor baru terbentuk. Cacing ini hampir tidak berwarna, hanya bintik-bintik terang dan gelap yang masih dapat diamati di ujung depan dan belakang dan beberapa spesimen menunjukkan cincin putih di sekitar segmen 4,5 dan 5, dan garis coklat di sepanjang bagian diameter perut cacing. Warna-warna cerah, baik yang disebutkan oleh Rumphius dan Van Hasselt, telah hilang, seperti yang sering terjadi, sebagai akibat dari pengaruh pengawetan kelembaban. Merah dan hijau mungkin telah memainkan peran utama, dilihat dari warna yang diketahui dari spesies lai, L. ninetta, dari pantai Eropa, digambarkan berwarna meraj dengan bintik-bintik putih, ujung posterior kadang-kadang kehijauan karena tembusnya saluran usus. L. brachycera dari Jamaika, menurut Schmarda, berwarna coklat-merah di bagian belakang, hijau tua di bagian belakang tubuh dan hijau tua di sisi perut.
Lobus kepala (gbr 2) diiris dengan jelas, lebarnya hampir dua kali lipat, dengan palp berbentuk bantal di bagian bawah. 3 peraba memanjang sedikit di luar tepi depannya, yang tengah, yang terpanjang, sedikit lebih jauh dari 2 yang lateral. Mereka muncul dengan anggota basal pendek dari tonjolan berbentuk bantal yang terletak di depan tengah margin ke delapan lobus kepala. Di setiap sisi lobus kepala adalah mata besar yang memanjang hampir setengah panjangnya; ia memiliki bentuk elipsoidal atau agak melingkar dan dikelilingi oleh margin pigmen coklat. Diameter longitudinal dari cincin tubuh terakhir kira-kira 1 ½ kali dari segmen berikutnya; keduanya tidak berkaki. Tujuh segmen berikutnya memiliki panjang yang sama, semakin ke belakang diameter longitudinalnya menjadi lebih kecil, sekitar 2/3 dari yang sebelumnya.
Rahang bawah (gbr 3) menunjukan karakteristik bentuk Lysidice; masing-masing setengah memiliki segitiga memanjang, di sepertiga anteror tepi luar ditekuk dalam bentuk selokan dan dilengkapi dengan bingkai kitin gelap di sepanjang sisi belakang yang bebas. Sederet garis cekung paralel melintang di tengahnya, yang mungkin merupakan ekspresi dari pertumbuhan aneh rahang bawah; di antara garis-garis ini, terutama di bagian bawah, terlihat benda-benda yang tidak beraturan dan sangat biasa, yang tampaknya terdiri dari kapur karbonat, setidak setelah penambahan asam menghilang dengan evolusi karbon dioksida. Rahang atas (gbr 4) terdiri dari penopang (a), yang memiliki bentuk segitiga memanjang dan dengan embel-embel berbentuk sayap di atas dua pertiganya dari tepi luar. Penjepit (b) dicirikan, selain bagian basal yang kuat, dengan penebalan berbentuk kenop berwarna gelap di bagian cekungnya, pada titik artikulasi dengan gigi pertama atau paragnat. Yang terakhir (c) dilengkapi dengan 4 sayatan kasar di sepanjang tepinya. Paragnat yang tidak sama (d) memiliki 4 buah, yang kedua di kanan (e) memiliki 6 buah, yang di kiri (f) ada 4 gigi; paragnat ketiga, pelat gosok Ehlers (g), memiliki embel-embel berbentuk sendok dengan tepi bergerigi. Selain itu, ada tonjolan kitin cembung yang agak besar berwarna coklat muda di kedua sisi di depan deretan paragnat.
Kaki (gbr 5) berbentuk pelengkap pendek berbentuk kerucut tumpul, dengan bibir depan dipotong lurus dan bibir belakang menonjol keluar, dengan tepi segitiga membulat; di antara kedua bibir bulu muncul, dari bundel atas sederhana, berbentuk tombak (gbr 6), dan bundel bawah bulu majemuk, dengan bagian ujung berbentuk pisau (gbr 7). Yang terakhir memiliki bentuk yang biasanya di temukan di Eunicides: dengan gigi bercabang di ujung yang mengarah ke luar dan satu gigi di ujung yang mengarah ke dalam; itu dikelilingi oleh sarung berbentuk pisau. Di bagian belakang tubuh, batang beberapa sikat ini mencapai dua kali lipat panjang yang biasanya mereka miliki. Di antara 2 kumpulan kuas terdapat jarum penopang berwarna kuning dengan ujung tumpul; selain itu, dari segmen ke-18 hingga ke-20, satu kuas tebal muncul di bundel bawah, dengan ujung bercabang dan sarung berbentuk topi (gbr 8). Di bagian belakang tubuh, beberapa cincing di depan ujung tipis ekor, terlihat sikat berbentuk pahat di setiap kaki (gbr 9); ini memiliki batang tipis dan ujung melebar berbentuk corong, yang memiliki rambut segitiga di sepanjang ujungnya. Cincin tubuh terakhir dilengkapi dengan sepasang dorsal panjang dan sepasang antena ventral pendek. Mengenai rasio numerik jenis kelamin, menurut saya jumlah jantan dan betina hampir sama.
Sayangnya, sedikit yang diketahui tentang cara hidup cacing laut ini. Kami hanya memiliki beberapa pengamatan Lysidice ninetta yang hidup di pesisir Eropa. St Joseph5 mengatakan bahwa ia sering menjumpai spesies ini di Dinarde, baik di kapal keruk maupun di pasir sepanjang pantai. Saat menangkap mangsa, rahang bawah hampir tidak keluar dari mulut, tetapi rahang atas dikeluarkan, dan kedua penjepit dengan gigi ditempatkan di dalamnya membuka secara berlebihan dan menutup dengan kecepatan yang mencengangkan, sehingga cacing dengan mudah dipotong menjadi dua. Keferstein6/f juga mendapatkannya saat air surut di pantai di St Vaast la Hougueg; hewan itu, menurutnya, mengeluarkan lendir bening dan dengan itu merekatkan pasir halus dan lumpur ke dalam sebuah tabung. Juga Grube, Claparede, Quatrefages berulang kali mengamatinya, tetapi tidak satu pun dari mereka berbicara tentang kemunculannya secara massal, seperti halnya Lysidice oele. Bahwa ini dilakukan demi reproduksi, sebagai komentar Prof Weber di buletin Siboga, tidak diragukan lagi, karena tubuh sebagian besar spesimen penuh dengan produk seks. Selain itu kita telah mengetahui bahwa beberapa contoh migrasi periodik hewan laut yang lebih rendah dari kedalaman ke pantai. Misalnya, Semon7 menemukan bahwa Nautilus pompilius tidak muncul di dekat Ambon selama monsun barat laut, tetapi sama sekali tidak jarang selama monsun tenggara dan kemudian dalam keadaan matang secara seksual. Dia mengamati fenomena yang sama dalam 1 bulu babi berwarna cemerlang, milik genus Asthenasoma; ini juga dia coba dapatkan dengan sia-sia selama dia tinggal di Ambon, sementara kemudian selama monsun tenggara beberapa spesimen yang matang secara seksual dikumpulkan untuknya. Namun, sebagaimana telah dicatat oleh Von Martens8 dan Max Weber, kemiripan paling dekat dengan fenomena oele atau wawo ditemukan pada kemunculan “Palolo” atau “Balolo” di Pasifik Selatan. Di sana juga, di dekat kelompok pulau tertentu (Pulau Samoa, Fiji, Tonga, dan Gilbert), pada waktu tertentu dalam setahun, seekor cacing terlihat muncul di permukaan laut dalam jumlah yang sangat besar sehingga populasi mengumpulkannya habis untuk digunakan sebagai makanan. Pada bulan Oktober dan November, pada hari seperempat terakhir bulan, sesaat sebelum matahari terbut, air laguna antara pantai dan karang, mulai berkerumum dengan cacing sekaligus sehingga laut terlihat seperti sop bihun (Al. Agassiz, the island and coral reefs of Fiji, hal 16).
Seandainya fenomena ini berulangkali diamati dan dijelaskan sebelumnya9, baru belakang ini penyelidikan Friedlander10, Kramer11 dan Ehlers12 telah mengajarkan kita bahwa Palolo terdiri dari ujung belakang Euniceviridis, yang berdiam di batu karang. Cacing Palolo dengan demikian adalah keluarga, seperti yang ada di Oele dari Eunicides, tetapi sementara di oele ditemukan hewan yang sepenuhnya matang secara seksual, Palolo hanya terdiri dari tunas seks yang dipisahkan oleh divisi, yang menjalani kehidupan mandiri untuk waktu yang singkat, lebih baik untuk menjaga pembuahan dan perbanyakan dari spesies. Faktor apa, apakah pengaruh pasang surut, atau cahaya, atau listrik atmosfer, yang berperan dalam fenomena produksi biologis yang luar biasa ini, masih belum jelas. Tepian karang Samudra Atlantik, dekat Florida, juga tampaknya menampung cacing, yang muncul ke permukaan laut pada waktu tertentu dalam setahun untuk tujuan reproduksi. A.G. Mayer13 telah mengamati dalam 3 tahun berturut-turut, tahun 1898, 1899 dan 1900, dekat Loggerhead Key (Tortugas), bahwa sekitar ¼ bulan terakhir, jatuh antara 18 Juni dan 18 Juli, seekor cacing muncul di sana, yang disebutya “Atlantik Palolo”; ini terdiri dari, seperti Palolo Pasifik Selatan, ujung belakang Eunice yang sarat alat kelamin, tetapi mungkin bukan E. viridis, tetapi spesies terkait. Berenang dimulai pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, dan terus membesar, sampai matahari terbit, dan dengan itu proses produk seksual dimulai : ini terjadi sedemikian rupa sehingga laut tampak seperti susu di area yang luas. Di pagi hari cacing semakin banyak bergerak menuju ke dasar laut dan pada jam 09.00 tidak ada yang terlihat lagi, tetapi telurnya masih terlihat mengambang di permukaan air. Akhirnya dapat disebutkan bahwa pada Konggres Zoologi di Berlin14, Kengi Osawa memberi pernyataan tentang cacing Jepang yang disebut batzi, yang akan menunjukan fenomena yang mirip dengan Palolo.
===== selesai =====
Catatan Kaki
- Oud en Nieuw Oost-Indien, Dl. III, ie stuk, hl. 233
- Maatschappij ter bevordering van het Natuurk. Onderz. d. Nederl. Koloniën, Bulletin Xo. 34, pag. 7.
- H. FISCHLI. Polychaten von Ternate. Abh. Senckenb. Naturf. Gesellschaft, Bd. XXV, 1900, p. 106.
- Tijdschrift Ned. Dierk. Vereeniging (2e Ser.) Dl. VII, Versl. VII.
- Ann. Sc. Nat. Sér. 7. t. V, p. 210.
- Zeitschr. f. wissensch. Zoologie, Bd. XII, p. 1. pl. I—XI.
- lm Australischen Busch. 1896, p. 506. (Zie ook Prof. R. SEMON'S bijdrage in dit Gedenkboek Red)
- Sitz. ber. Gesellsch. naturf. Freunde Berlin, Jahrg. 1887. S. 17.
- Zie: A. CoLLIN,
Bemerk, über den essbaren Palolowurm; Anhang zu KRÜMER, „l'eber den Bau der
Korallenriffe'. - Biol. Centralblatt, Bd. XVIII, XIX en XXI
- Ibidem Bd. XIX, p. 15. "
- Nachr. K. Ges. d. Wissensch. Göttingen, Math.-Physik. Klasse. 1898 p. 400.
- Bull. Museum Comp. Zoology Harvard College, Vol. XXXI. 1900.
- Tageblatt des V. Intern. Zoologen-Congresses, Xo. 8, p. 17.
Catatan Tambahan
a. Mr. J.C. van Hasselt, yang dimaksud adalah Jan Conrad van Hasselt, lahir pada 31 Desember 1849 di Groningen dan meninggal dunia pada 9 September 1924 di Ginekken. Ia menjadi Assisten Resident van Banda sejak 10 Juni 1896 hingga 19 November 1902.
b. Prof Max Weber memiliki nama lengkap Carl Wilhelm Weber atau Max Wilhelm Carl Weber (5 Desember 1852 – 7 Februari 1937) adalah seorang ilmuwan ahli ilmu hewan (zoologis) dan biogeografi berkebangsaan Jerman-Belanda.
c. Ekspedisi Siboga adalah suatu ekspedisi zoologis dan hidrografis Belanda ke Hindia Belanda Timur (kini Indonesia) dari Maret 1899 hingga Februari 1900.
d. Prof W. Kukenthal memiliki nama lengkap Wily Georg Kukenthal, seorang Zoologist asal Jerman, lahir pada 4 Agustus 1861 dan meninggal pada 20 Agustus 1922.
e. Dinard yang dimaksud adalah sebuah wilayah yang berada di Prancis Barat Laut
f. Keferstein memiliki nama lengkap Wilhelm Moritz Keferstein, seorang naturalis Jerman, lahir pada 7 Juni 1833 dan meninggal pada 25 Januari 1870.
g. St Vaast la Hougue, sebuah wilayah di Barat laut Prancis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar