(bagian 3)
[Jacobus Jzn Boelen]
Pada tanggal 6 September 1817, seperti biasa, saya melakukan pengintaian di sekitar benteng, dan para pelaut saya menemukan di rumah-rumah yang terbakar itu 3 karung dan 1 peti berisi uang tembaga senilai 500 ropia. Saya meminta uang ini dikirim ke komandan benteng duurstede. Juga pada kesempatan ini kami menemukan jenazah tanpa kepala, hanya disembunyikan/ditanam di bawah pasir. Dilihat dari pakaiannya, itu adalah jenazah istri Resident, nyonya Van den Berga yang dimutilasi secara mengerikan. Kami menguburnya dengan sewajarnya.
Seperti yang telah saya katakan, seluruh garnisun benteng berkemah di belakang tembok pembatas di udara terbuka pada malam hari. Kapten Lisnet, anak buah saya dan kadet Nuysb, yang ditugaskan untuk membantu saya hari itu, tidur di bale-bale. Kami menyiapkan pedang, kantong amunisi, dan senapan yang terisi, dan untungnya bagi kami, karena pada jam 23.30 pada malam tanggal 6 September itu kami dibangunkan oleh suara tembakan yang sangat keras. Terbantu oleh kegelapan, musuh telah menyelinap tanpa kami sadari di dekat tembok benteng dan memanjat tembok pembatas. Perkelahian sengit pun terjadi. Jika kami menembak, kami tidak punya waktu untuk mengisi ulang amunisi, sehingga harus mempertahankan diri dengan pedang dan bayonet. Akhirnya pemberontak dipukul mundur, dan kami segera menempatkan lentera di sudut-sudut benteng dan menembakan “roket” untuk memperingatkan fregat, beberapa peluruh yang diarahkan dengan baik di kedua sisi benteng melalui fregat Maria Reijgersbergen membuat musuh semakin mundur. Kami sekali lagi belajar dari hal ini bahwa kami tidak cukup waspada.
Sehari setelah ini kami mengumpulkan semua botol kosong dari kapal dan dari benteng, menghancurkannya dan menyebarkan pecahannya di sekitar tembok pembatas untuk dijadikan jebakan. Sore harinya, kapten Crossier dari kapal Dispatch yang tiba di Saparua dengan kapalnya di pagi hari, datang menemui saya. Dia mengatakan negeri Akoon juga sedang memberontak, bahwa penduduk pribumi ingin membunuh Pattij mereka sendiri, yang, seperti telah kita lihat, tetap setia pada pemerintah, dan penduduk telah menghancurkan rumahnya. Kebetulan, pertempuran biasa terjadi hari itu. Musuh terus-menerus menembaki kami dan kami dilarang untuk meletakan kepala kami di atas tembok pembatas. Dua pelaut anak buah saya yang paling berani, yang berani melihat tembok pembatas untuk melihat musuh, membayar kecerobohan ini dengan nyawa mereka.
Pada tanggal 10 September 1817, kapal Anna Maria dari Ambon memasuki teluk Saparua, membawa serta letnan artileri Kesselerc, untuk bertindak sebagai komandan artileri di benteng, 76 orang artileri Eropa dan infantri Jawa dengan sekitar 30 perempuan dan anak-anak, yang tampaknya serdadu Jawa enggan meninggalkan negerinya, selain 2 lapangan tembak dengan gerbong depan dan amunisinya. Letnan Kesseler datang untuk menggantikan saya pada hari yang sama, sehingga pada jam 18.00 sore, saya sudah kembali ke kapal Maria Reijgersbergen. Di dalam benteng sekarang sudah ada perwira, seorang kapten dan 2 letnan infantri dan seorang letnan artileri.
Saya akan terlihat terlalu “cerewet” jika harus menceritakan insiden dan pertempuran kecil setiap hari, baik di atas kapal maupun di dalam benteng. Lambat laun banyak yang terluka tiba, yang diangkut ke Ambon dibawah pimpinan ahli bedah kelas 3, yaitu Winkelhoekd. Secara singkat saya ingin menyatakan bahwa pada tanggal 17 September 1817, 30 orang Ambon dikirim untuk melakukan patroli diam-diam dari benteng, tanpa diberitahukan kepada serdadu-serdadu Jawa di tembok pembatas tentang hal ini. Serdadu Jawa, melihat orang Ambon berkeliaran di luar benteng, mengira mereka itu musuh dan menembaki mereka. Orang Ambon membalas terjadi baku tembak. Kesalahpahaman ini mengakibatkan beberapa terluka lagi. Surat-surat himbauan yang diedarkan beberapa hari sebelumnya oleh komandan Groot dan kapten Lisnet, ditemukan tergantung dalam 1 ikatan di tiang bambu di depan benteng, sebagai bukti bahwa pemberontak mengejek himbauan dan peringatan kami. Pada tanggal 21 September 1817 ada serangan besar mendadak dari garnisun benteng dengan 130 orang dengan kerjasama kapal. Hasilnya, bagaimanapun, tidak menguntungkan dan ada banyak yang terluka sehingga ahli bedah Wicherse berteriak ke benteng untuk meminta bantuan medis dan botol cuka. Perahu musuh dari waktu ke waktu juga muncul di mulut teluk, dan kemudian diburu dengan barkas atau arumbai yang dipersenjatai. Maka pada tanggal 4 Oktober 1817, saya berlabuh dan mengawasi tanjung Omaf di dekat negeri Siri Sori. Pada tanggal 25 Oktober 1817, kapal Admiraal Evertsen yang dikomandoi Letnan Kapten Verhuell berlabuh di teluk Saparua. Dengan demikian, jumlah relawan kami bertambah menjadi 50 yaitu 1 sersan mayor, 2 sersan, 4 kopral, dan 43 serdadu, dimana kapten Groot menunjuk saya sebagai komandan, sedangkan letnan muda kelas 2 T.V. Mullerg dianggap sebagai letnan. Pada tanggal 25 Oktober itu, saya melakukan pengintaian di sekeliling benteng dengan pasukan saya. Kapten Lisnet telah menambahkan letnan infantri Frisscharth dan beberapa orang kepada pasukan saya.
Pada tanggal 29 Oktober 1817, sebuah arumbai milik orang Ambon, dibawah bendera Belanda, berlayar ke teluk dan berlabuh di benteng Duurstede. Di atas arumbai itu adalah Radja Batumerahi dan seorang serdadu Eropa, yang membawa kiriman bantuan dari Laksamana muda Buijskes kepada komandan Groot. Jam 20.30 malam, komandan berangkat dengan arumbai ke benteng Zeelandia di pulau Haruku, untuk mengadakan pertemuan di sana dengan Laksamana muda Buijskes.
Pada tanggal 2 November 1817, kapal Nassau memasuki teluk, dipimpin oleh letnan komandan kelas 1 Van Rhijnj sejak kematian kapten laut yang malang, Sloterdijk. Pada tanggal 4 November 1817, komandan Groot kembali dengan korvet Zwaluw. Malam itu kami merasakan gempa dashyat di semua kapal yang sekarang sedang berlabuh di teluk. Masing-masing berlari keluar dari tempat tidurnya menuju geladak. Seolah-olah tong-tong berat berguling di geladak kapal dan bel di kabin mulai berbunyi. Pada saat yang sama terjadi gempa bumi yang jejaknya terlihat di dinding benteng.
Laksamana muda Buijskes telah berlayar ke Ternate dengan kapal H.M. Prins Frederik dari Batavia berlayar melalui selat Makassar, disana telah meminta bantuan Sultan Ternate dan Tidore untuk memadamkan pemberontakan di Saparua. Kedua Sultan masing-masing telah memberikan 50 kora-kora bersenjata dengan pasukan tambahan ke tangan pemerintah Belanda. Kora-kora ini sekarang muncul sebagian, baik di teluk Saparua maupun di sekitar pulau Haruku. Kora-kora ini, selain layarnya, memiliki 2 baris pendayung yang ditumpangkan di sisi kanan dan kiri, dan dapat bergerak sangat cepat. Itu adalah tontonan yang aneh dan menarik untuk melihat penduduk pribumi yang hampir telanjang mengerahkan kekuatan mereka saat mendayung, ditengah nyanyian dan teriakan perang dan pukulan tifa, sejenis drum panjang. Pada saat yang sama “pemimpin” mereka menari di atas kora-kora, membuat gerakan paling menggelikan. Para pemimpin ini juga dapat dikenali dari kostum aneh yang mereka kenakan saat perang.
Pada tanggal 6 November 1817, kapal Maria Reijgersbergen berangkat dari teluk Saparua dengan tujuan ke teluk Porto dan Haria, di pantai barat Saparua. Karena pengalaman dan pengetahuan saya tentang jalur antara pulau Haruku dan Saparua menjadi berguna, dan sekarang saya berani mengambil tanggung jawab sendiri untuk mengemudikan kapal di selat Haruku dan ke teluk Porto dan Haria. Saat kapal kami mendekati teluk, penduduk pribumi yang bermusuhan muncul di semua sisi, tetapi tembakan meriam membuat mereka mundur. Pada jam 19.00 malam tanggal 7 November 1817, kapal berlabuh dengan jangkar yang berat, tidak lebih jauh dari 1 tembakan pistol dari pantai, di negeri Porto dan Haria. Hari itu kami melihat banyak asap yang membumbung tinggi di bagian selatan pulau Haruku. Belakangan kami mengetahui bahwa negeri Aboro (Aboru) telah diserang dan dihancurkan oleh 2 sekoci dari kapal H.M. Prins Frederik dan 4 kora-kora Ternate. Pada malam yang sama, 8 kora-kora Ternate berlabuh di sekitar kami di laut. Keesokan harinya, tanggal 8 November 1817, pendaratan dilakukan, untuk menghancurkan benting dan rumah, oleh divisi 1 dan 2 marinir dan pelaut, korps orang Ambon dan serdadu Ternate, yang mengakibatkan korban 2 pelaut dan seorang marinir, serta seorang pemimpin orang Ternate, yang tidak lama kemudian meninggal karena luka-lukanya.
Sepanjang pagi, letnan kapten Jacobsonk angkatan laut kolonial dan juga kepala “badan” ilmu pelayaran Hindia Belanda, serta Mayor infantri Meijerl, berada di atas kapal, yang sejak saat itu diberikan tugas komando atas semua operasi darat di kepulauan itu. Selanjutnya kami melihat beberapa kora-kora Ternate, beberapa arumbai Ambon, dengan serdadu Eropa dan Jawa, dan 2 sekoci bersenjata milik kapal Prins Frederik, dipimpin oleh letnan laut kelas 2, yaitu B. ‘t Hooftm, juga letnan muda kelas 1 yaitu J.W. Droopn dan D.G. Mullero. Kedua sekoci bersenjata ini juga telah mengambil bagian dalam operasi perang yang diceritakan saat berperang di pulau Haruku dan yang berada di pantai barat-utara Hitu, yang berakhir damai karena para pemberontak segera menyerah.
Pada tanggal 9 November 1817, pagi-pagi sekali, Mayor Meijer, dengan kapten Geselschapp dan Kriegerq, serta para anak buahnya, serta divisi pendaratan dari kapal Maria Reijgersbergen, korps orang Ambon, Letnan Kesseler dengan pasukan artilerinya, dan letnan laut kelas B.’t Hooft dengan detasemen pelaut dan marinirnya, semuanya siap untuk menyerang.
Para prajurit dari kora-kora Ternate juga siap untuk mendarat dan menyerang. Ketika semua kesatuan telah siap, maka kapal mulai “membersihkan” lingkungan para pemberontak dengan tembakan meriamnya. Kemudian mayor Meijer dan pasukannya menyerbu ke darat, dan bersama para pemburu mereka serta orang-orang Ambon bergerak masuk ke dalam hutan dan menyusuri jalan menuju ibukota, yaitu [negeri] Saparua; para pelaut, marinir dan alifuru Ternate mengikuti. Di Saparua, pasukan akan bertemu dengan kekuatan itu. Kapal-kapal Evertsen dan Nassau yang sedang berlabuh di teluk Saparua, telah menentukan sinyal dengan kapal Maria Reijgersbergen untuk saling mengetahui saat pendaratan pasukan.
Jam 11.00 pagi, letnan komandan B.’t Hooft dan letnan muda Gregoryr kembali ke kapal dengan detasemen mereka. Mereka memberi tahu kami bahwa seluruh pasukan di bawah komando Mayor Meijer telah tiba di desa Tiouw melihat siapa pun. Namun, mereka menghadapi perlawanan sengit. Akan tetapi bagaimanapun, pasukan kita tanpa gentar telah memanjat kubu pertahanan musuh dan menaklukan negeri itu, yang kemudian segera dibumihanguskan. Sementara itu, kapten Lisnet dan anak buahnya serta divisi pendaratan dari kapal Evertsen telah bergerak keluar dari Benteng Duurstede dan menyerang pemberontak dari sisi itu, perangkat operasional di benteng duurstede tetap berada di bawah pengawasan letnan kelas 1 Annamaets. Letnan infantri Frisschart terluka parah di 2 tempat. Sekarang Mayor Meijer bersama pasukannya sedang mengawasi dan bersembunyi di dekat 2 gudang, dekat desa/negeri Tiouw, dan mengirim tim pengintai dari sana di bawah kapten Krieger dan letnan Kesseler.
Jam 11.30, letnan Richemontt berlayar ke teluk Porto dan Haria dengan 2 arumbai, membawa 100 serdadu Eropa dan Jawa. Segera dia mendarat dengan pasukan tersebut dan bersama pasukan itu menyusuri jalan menuju [negeri] Saparua. Sore harinya, letnan muda Zoutmanu, yang hari sebelumnya telah dikirim sebagai komisi ke Saparua dengan arumbai kecil, kembali ke kapal atas perintah Mayor Meijer untuk mengirim semua kora-kora Ternate ke [negeri] Saparua. Komandan Jacobson pada hari yang sama berangkat dengan semua pasukan tersebut.
Sekarang saya akan terlebih dahulu, sehubungan dengan apa yang letnan H.P.N. ‘t Hooftv memulai ekspedisi yang diceritakan dibawah komando Mayor Meijer, berikut perjalanan selanjutnya dari ekspedisi ini, seperti yang saya dengar saat itu, dan kemudian kembali lagi ke operasi militer di teluk Haria dan Porto selama itu.
Setelah kedatangan kora-kora Ternate di teluk Saparua, Mayor Meijer dan pasukannya, disertai armada tersebut melanjutkan perjalanan ke sudut timur ke teluk negeri Siri-Sori. Penduduk negeri itu menyerah kepada sang Mayor, tetapi Radja merekaw dengan keras kepala menolak untuk mengakui otoritas Belanda. 2 hari kemudian, pada tanggal 11 November 1817, Mayor Meijer menyerang negeri Ullath dan Ouw, negeri paling selatan di sisi timur teluk Saparua itu. Di sini, para pemberontak telah membangun benting yang kuat, yang harus diserbu oleh pasukan kita. Mayor Meijer, dengan semangatnya yang besar, tampaknya telah melanjutkan ke sini dengan tergesa-gesa, atau setidaknya dia memulai serangan sebelum dia memiliki amunisi yang cukup sebanyak 6.000 peluru yang dikirim oleh komandan Verhuel dengan arumbai. Akibatnya, ketika pasukannya kehabisan peluru, mereka terpaksa maju dengan bayonet, sementara musuh terus menembak ke arah pasukan kita.
Mayor Meijer terluka parah di bagian dada oleh tembakan seorang penduduk pribumi yang duduk di atas pohon kelapa. Kapten Krieger juga terluka di bagian dada dan letnan 1 Richemont tewas dalam aksi penyerangan tersebut. Setelah terlukanya Mayor Meijer, kapten Krieger memberi komando kepada pasukannya meski ia dalam kondisi terluka, tetap melanjutkan serangan, yang akhirnya memperoleh kemenangan penuh atas pihak pemberontak. Para pemberontak terpencar-pencar dan penduduk dari berbagai negeri menyerah satu demi satu.
Akhirnya, tanggal 13 November 1817, para pemimpin pemberontakan, seperti pemimpin utama pemberontakan Thomas Matulesia, Antony Rhebok, dan Raja [negeri] Tiouw, Thomas Pattywaalx, berhasil kami tangkap. Mereka dikhianati oleh penduduk negeri mereka sendiri dan, berkat keberanian dan kebijakan yang langka dari letnan Pietersen asal Ambony dan letnan marinir Veerman, mereka ditawan tanpa melakukan perlawanan. Pada saat penangkapannya, Thomas Matulesia mengenakan rok milik Resident Van den Berg, memiliki pedang bergagang perak di pinggangnya, tanda pangkat Mayor Beetjes di pundaknya dan di dadanya ada tanda pangkat milik Kapten Staalmanz, salah satu korban tewas pada ekspedisi pertama yang naas.
Sekarang saya akan melanjutkan apa yang terjadi dengan kami di teluk Porto dan Haria. Tanggal 10 November 1817, kami melihat bendera putih di tanam di pantai di teluk itu. Kami mengirim arumbai kecil ke darat untuk berkomunikasi. Mereka segera kembali dengan 4 orang penduduk pribumi, salah satunya adalah Guru Djemaat (Kepala Sekolah) negeri Portoaa. Dia datang untuk meminta perdamaian atas nama orang-orang negeri. Komandan menjawab bahwa mereka kemudian harus datang ke pantai dengan wanita dan anak-anak dan menyerahkan senjata mereka. Sore harinya seorang letnan muda yang telah dikirim ke Saparua kembali ke kapal dan melaporkan kepada kami bagian dari apa yang telah diceritakan di atas tentang ekspedisi dibawah komando Mayor Meijer. Tanggal 11 November 1817, kami melihat beberapa orang dengan 3 bendera putih di pantai. Kami memberi tahu mereka bahwa komandan Groot akan menjumpai mereka. Sekoci panjang yang berasal dari divisi pendaratan dikirim ke darat untuk mengawasi mereka selama negosiasi kami dengan penduduk pribumi. Kemudian komandan Groot dengan anak buah saya sebagai ajudan dan Christiaansen sebagai penerjemah, pergi ke darat. Kami menemukan sekitar 45 laki-laki, wanita, dan anak-anak, selain Raja Tuwa (bekas) [negeri] Portobb, putranya, dan Guru Djemaat. Figur yang terakhir atau Guru Djemaat memberi kami suatu daftar pemimpin-pemimpin pemberontakan. Raja berkata bahwa penduduk lainnya di 2 negeri Haria dan Porto masih berada di pegunungan, tetapi dia dan rakyatnya akan melakukan hal yang terbaik untuk membujuk mereka agar berdamai. Ketika mereka telah menembakan senjata dan meletakannya, komandan Groot menyampaikan kepada mereka untuk mendesak penduduk negeri yang lain, termasuk penduduk negeri Haria, untuk menyerah dan tunduk kepada pemerintah dan menjanjikan perlindungan kepada mereka. Dia juga memerintahkan mereka untuk menghancurkan benting dan membersihkan jebakan. Kemudian nama-nama mereka ditulis. Ketika semua ini selesai, komandan berkata bahwa dia berharap mereka sekarang akan membangun kembali rumah mereka dengan damai dan tenang, juga dia memberi mereka izin untuk berlayar dan menangkap ikan dengan perahu mereka di teluk itu. Guru Djemaat membacakan 1 pasal dari Alkitab dan sebuah mazmur dinyanyikan. Kemudian kami pergi, diikuti oleh pengawal kami kembali ke kapal. Tetapi kami baru saja tiba di kapal, penduduk tiba-tiba berteriak dari arah pantai bahwa kami harus mengirim bantuan. Saya segera pergi ke pantai dengan sekoci besenjata dan bergerak maju ke hutan bersama 14 orang serdadu. 6 orang bersenjata telah turun dari pegunungan, dengan perintah dari Thomas Matulesia kepada penduduk negeri Porto bahwa jika mereka tidak segera meninggalkan Belanda dan kembali kepadanya, dia akan turun dari pegunungan dan membunuh mereka semua tanpa pandang bulu. Setelah saya mengejar keenam orang itu kembali ke pegununga, saya kembali ke kapal, membawa Raja dan Guru Djemaat bersama saya. Kami memberi penduduk 4 senjata, sebuah blunderbuss, dan 220 peluru untuk pertahanan mereka, dan pada sore hari mengirim detasemen marinir lainnya ke darat untuk melihat apakah musuh berani menunjukkan diri lagi.
Pada jam 11.30, letnan muda kelas 1 Feldman naik dengan kora-kora Ternate dari Saparua, memberi tahu kami bahwa negeri Ouw dan Ullat telah dibakar, bahwa Mayor Meijer terluka parah, Kapten Krieger juga terluka dan letnan Richemont telah tewas terbunuh. Pagi hari jam 05.00 tanggal 12 November 1817, komandan Groot berangkat ke Saparua dengan arumbai bersenjata. Pada jam 11.30, sebuah arumbai dari Saparua memasuki teluk Porto dan Haria, dimana arumbai itulah yang akan menyampaikan kabar ke Ambon bahwa penduduk negeri Booi kemarin telah menangkap Thomas Matulesia dan para pengawalnya dan menyerahkan mereka kepada Belanda.
Pada tanggal 15 November 1817, Raja [negeri] Hariacc datang dengan pesan bahwa dia dan penduduk negerinya ingin menyerah dan tunduk tanpa syarat kepada otoritas Belanda dan bersedia menunjuk Jhamellodd, yang telah memimpin pemberontakan sebagai “Menteri Perang” dan oleh karena itu dipanggil oleh penduduk pribumi sebagai Radja Prang, Koning van den Oorlog.
Ketika perwira pertama Valiantee dan saya pergi ke darat keesokan paginya di negeri Haria, namun setelah mencatat nama-nama penduduk, ternyata tidak semua pejuang dan pembawa senjata hadir, sehingga kami memberikan Raja pergi dengan bendera putih untuk tetap berada di negeri, tetapi tidak akan berdamai sampai semua orang telah kembali dan semua senjata telah diserahkan. Pada tanggal 18 November 1817, Johannes Matulesia, saudara laki-laki Thomas, dibawa bersama istriff dan anaknya oleh penduduk Haria. Kami pertama-tama mengunci mereka di bawah geladak kapal dengan borgol di tangan dan kaki. Kemudian para tahanan ini, seperti Raja Prang, diangkut ke benteng Duurstede dan dari sana, dibawa oleh kapal admiraal Evertsen ke benteng Victoria di Ambon.
Beberapa hari terakhir ini saya sibuk memenuhi perintah dari komandan Groot untuk membuat peta teluk Porto dan Haria dengan bantuan teman, Bloksmagg. Ketika saya telah menyelesaikan peta teluk bagian dalam dan juga ingin membuat peta ukuran sudut-sudut muara, saya terpaksa memposisikan kompas bunyi pada bagian atas air untuk membuat beberapa pengukuran sudut pada titik itu. Hari itu sangat panas dan saya duduk dengan kemeja dan celana panjang linen, menggambar tanpa alas kaki di atas arumbai, saat arumbai bergerak menuju tebing teluk itu. Saat saya sampai di sana, saya hendak melompat ke atas batu tetapi saya ditarik kembali oleh para pendayung pribumi, yang pada saat bersamaan mendorong mundur arumbai menjauh dari tebing. Baru pada saat itulah saya mengerti mengapa mereka melakukan itu. Tebing itu penuh dengan kepiting hitam besar, yang muncul secara massal dari celah dan lubang batu saat arumbai mendekati tebing. Saya diberitahu, dengan mencium mendekatnya makhluk hidup, mereka keluar dari tempat persembunyian mereka dan memotong korban dengan gerakan kaki panjang mereka yang cepat dalam sekejap, seperti perisai, dan tetap tidak melepaskan korbannya. Jika bantuan tidak datang, maka manusia atau binatang yang menjadi korbannya akan menuju kematian yang mengerikan. Saat masih anak-anak, saya ingat pernah membaca bahwa di sebuah pulau di Hindia Belanda, seorang pelaut telah dimakan oleh kepiting. Saya selalu menganggap cerita ini sebagai dongeng, tetapi sekarang saya menganggap itu mungkin benar. Saya disarankan untuk mencari titik observasi lain.
Pada tanggal 22 November 1817, komandan Groot kembali bergabung. Selama kapal Maria Reijgersbergen berlabuh di teluk Porto dan Haria, kapten insinyur Brouwerhh, sibuk membangun kubu pertahanan, dimana dia dengan setia dibantu oleh orang-orang dari kapal Maria Reijgersbergen. Di benteng itu, yang terdiri dari segi empat sederhana tanpa bastion, dibangun rumah dan barak untuk komandan dan garnisun, dan ketika kubu pertahanan sudah siap, letnan artileri Kesseler ditempatkan sebagai komandan. Pada pagi hari tanggal 23 November 1817, fregat meninggalkan teluk dan berlayar melalui selat Haruku ke negeri Hulaliu, dan berlabuh pada malam hari.
Keesokan paginya, orang Ambon dibawah sersan mayor mereka, berangkat ke benteng, untuk membujuk penduduk negeri Hulaliu dengan cara yang lembut, yang masih bersembunyi di hutan untuk menyerah. Akan tetapi, orang Ambon kembali dengan laporan bahwa mereka telah menemukan sebuah benting di hutan, yang dari sana, seperti dari pepohonan, mereka disambut dengan tembakan. Saya kemudian berangkat ke pantai dengan letnan muda T.N. Muller dan 25 pelaut lainnya ditambah 52 orang Ambon. Kami mendaki jalur gunung sempit yang curam, seringkali dengan tangan dan kaki, sampai di benting, tanpa ada tembakan. Kami memanjat tembok pembatas dan kemudian menemukan bahwa negeri itu benar-benar kosong. Dari langkah-langkah kaki yang segar, api yang menyala, dan makanan sagu setengah matang, kami tahu bahwa pelarian mereka itu terjadi sesaat sebelum kedatangan kami. Saya membuat orang Ambon berulang kali pergi ke hutan dan berteriak keras agar para pemberontak bertobat dan menyerah, agar kami memberi mereka ampon (pengampunan), juga saya menempelkan pernyataan/himbauan dari komandan Groot pada tiang bambu, dan ketika tidak ada yang muncul, saya perintahkan anak buah saya untuk membiarkan semuanya dan mundur. Saat kami mendaki melalui hutan menuju kampung, kami telah berulang kali mendengar semacam suara berisik. Ketika kami tiba di kampung, kami menemukan beberapa tabung bambu berongga tergantung di batang pohon, yang diikatkan tali rotan yang direntangkan dari pohon ke pohon yang jauh ke dalam hutan, ke arah laut. Rupanya perangkat ini telah berfungsi sebagai sinyal bagi penduduk, dan dengan demikian mereka telah diperingatkan tentang kedatangan kami oleh salah satu dari mereka di hutan. Sambil berjalan, kami mendengar derak cerobong asap di kampung.
Pada tanggal 26 November 1817, fregat berlayar dengan tujuan menempatkan kami di depan negeri Roehoemoni dan Kabauw di pantai barat pulau Haruku. Merupakan pemandagan yang menggembirakan melihat perahu-perahu bersenjata dan kora-kora Ternate bermanuver mengelilingi Maria Reijgersbergen yang berlayar dengan anggun, memainkan musik perang mereka dan menabuh tifa. Pada tanggal 27 November 1817, fregat tiba di Poeloe Pombo, sebuah pulau di selat antara pulau Ambon dan Haruku. Kami sudah dekat dengan pantai Roehoemoni dan Kabauw, tetapi tidak bisa mendapatkan tempat yang berlabuh yang sesuai karena kedalaman airnya. Jadi kami menyeberang ke pantai pulau Ambon dan berlabuh di teluk [negeri] Waai, di depan anak sungai, dimana kami menemukan air yang sangat baik untuk mengisi kapal kami yang kosong. Pada tanggal 28 November 1817, semua kora-kora Ternate berlabuh bersama kami.
Pada tanggal 29 November 1817, kami membawa 40 serdadu lagi dari Haruku, dan hari itu kami mengangkat jangkar untuk berlayar ke kastil Luhu, di pulau Seram, yang terletak di sekitar apa yang disebut tanjung beras yang tandus. Hari itu kami melihat korvet Venus dan Iris beroperasi di sisi timur. Di korvet Venus, kami memindahkan sersan mayor dengan 50 orang Ambon anak buahnya. Kami juga melihat kora-kora Tidore untuk pertama kalinya hari itu, bukti bahwa Sultan Tidore belum begitu siap dalam pengintaian sebagai bentuk bantuannya seperti yang dilakukan Sultan Ternate. Pada sore hari tanggal 1 Desember 1817, kami berlabuh di depan kastil Luhu, jaraknya 1 tembakan pistol dari pantai. Di sini 2 sekoci bersenjata milik kapal Evertsen dibawah komando letnan komandan Beyerinckii, ajudan laksamana muda Buijskes, bergabung dengan kami. Di sepanjang pantai pulau Seram, kami melihat beberapa kampung/negeri dibakar oleh orang Tidore. Sedih melihat bagaimana penduduk pribumi, dalam kesederhanaan mereka yang percaya pada kekebalan tubuh karena mereka mengenakan baju putih sebagai jimat, melompat-lompat di pantai, menyanyikan lagu dan teriakan perang dan membuat gerakan menantang. Ketika senjata kapal kami dan kapal Dispatch mulai menembak, 8 orang dari mereka tewas dalam sekejap, iblis yang malang kehilangan kepercayaan pada kekebalan mereka, dan lari kocar-kacir mencari perlindungan. Kemudian juga pasukan kedua kapal itu mendarat, bersama sejumlah Alifuru Ternate.
Kastil Luhu diserbu oleh kami dan direbut tanpa perlawanan, karena sementara orang-orang kami melompat ke tembok pembatas di sisi laut, penduduk pribumi di sisi darat melarikan diri dari benteng ke dalam hutan. Namun, mereka dikejar oleh Alifuru (Halifur) dan juga oleh para pelaut kami yang, karena pembunuhan garnisun dalam benteng/kastil, yang terdiri dari 1 sersan dan 13 serdadu Eropa, dipenuhi dengan kemarahan dan balas dendam terhadap mereka. Pembantaian yang mengerikan terjadi kepada mereka, kampung mereka di kedua sisi benteng dibakar, dan para pelaut kami juga kembali ke kapal dengan kepala musuh yang dipotong sebagai tanda kemenangan. Sangat disesalkan bahwa sikap seperti itu harus dilakukan terhadap penduduk yang damai. Fort Luhu sekarang kembali menerima garnisun, artileri, dan amunisi yang layak. Itu memungkinkan untuk menahan pengepungan, tetapi kita mungkin berharap bahwa pada kali pertama peristiwa menyedihkan seperti itu tidak boleh terjadi lagi, karena penduduk pribumi dihancurkan di bawah hukuman yang telah kita bawa ke atas mereka pada semua aspek. Pada tanggal 5 Desember 1817, kapal Maria Reijgersbergen berlayar ke Ambon dan berlabuh di depan Benteng Victoria.
Pada tanggal 16 Desember 1817, satu detasemen pergi ke darat dari setiap kapal yang berlabuh di teluk Ambon untuk membantu eksekusi yang menyedihkan yang akan dilakukan pada hari itu. 4 pemimpin utama pemberontakan, Thomas Matulesia, Philip Latumahina, Antony Rhebok dan Sajat Printa, Radja van Siri Sori, akan digantung. Saya tidak ingin menyaksikan eksekusi dan tetap berada di atas kapal, tetapi saya kemudian mengetahui bahwa Latumahina, seorang pria yang sangat gemuk, telah jatuh dari tiang gantungan, tali jeratnya putus, dan harus digantung kedua kalinya. Jenazah Matulesia “dipajang” di dalam kerangkeng besi di pantai timur teluk itu.
Pada tanggal 18 Desember 1817, kapal Maria Reijgersbergen berlayar selama beberapa waktu di Laut Banda, sebelah selatan Kepulauan Rempah-rempah, untuk “memotong” semua pasokan amunisi dan senjata ke pihak musuh, selama mereka belum sepenuhnya menyerahkan diri ke otoritas Belanda. Kapten Dibbets, dari fregat H.M. Wilhelmina, yang baru tiba di Batavia, menyeberang sedikit lebih jauh ke selatan dengan tujuan yang sama, yaitu memutus pasokan dari pulau Flores, Sumbawa dan Lombok. Pada tanggal 4 Januari 1818, kapal-kapal itu kembali ke teluk Amboina dan berlabuh di depan benteng Victoria. Pada tanggal 16 Januari 1818, semua kapal di teluk itu mengibarkan benderanya setengah tiang karena kematian Mayor Meijer, yang meninggal akibat luka di dadanya, terlepas dari semua perawatan ahli bedah terbaik, Mayor Ooijkaasjj. Meninggalnya Mayor Meijer yang layak dan pemberani sangat disesali oleh semua orang. Jenazahnya dimakamkan dengan penghormatan militer dan dibawah pengawalan/penjagaan etat-mayor dari kapal-kapal perang yang berlabuh di teluk Ambon.
Pada tanggal 17 Januari malam, kapal Maria Reijgersbergen dan kapal admiraal Evertsen berangkat/berlayar ke Ternate, dan dari sana melalui selat Makasar menuju Surabaya.
=======
selesai ======
Catatan Tambahan
a. Nyonya Van den Berg atau istri dari Johannes Rudolph Van den Berg adalah Johana Christina Umbgrove, lahir di Tegal (Jawa Tengah) pada tanggal 29 April 1791, putri (anak kedua) Jan Lubert Umbgrove dan Costantia Cornelia Alting.
b. Kadet Nuys yang dimaksud adalah Hermanus Cornelis Nuijs, lahir pada 13 Desember 1795 di Edam, dan meninggal dunia pada 17 November 1840 di Hellevoetsluis. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 1 Maret 1817 – 25 Agustus 1819.
c. Letnan artileri Kesseler yang dimaksud adalah letnan 2 artileri Richard Kesler, lahir pada 6 Juli 1783 di Arnhem dan meninggal pada 24 Juni 1818 di Ambon.
d. ahli bedah kelas 3, yaitu Winkelhoek yang dimaksud adalah Pieter Winkelhaak, dibaptis pada 15 September 1782 di Amsterdam, dan meninggal dunia pada 12 Juli 1819. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sebagai dokter bedah kelas 3 atau 3e chirurgijn sejak Oktober 1815 – 12 Juli 1819.
e. ahli bedah Wichers yang dimaksud adalah Hendrik Wichsser, lahir pada 24 Desember 1790 di Grijpskerk. Ia bertugas sebagai dokter bedah kelas 3 atau 3e chirurgijn di Saparua dan Ambon sejak tahun 1817 – 1819
f. tanjung Oma, mungkin yang dimaksud adalah Tanjung Turano. Mungkin penulisan tanjung Oma di dekat negeri Siri Sori adalah kekeliruan atau nama yang telah dilupakan oleh Boelen.
g. letnan muda kelas 2 T.V. Muller yang dimaksud adalah Theodorus Nicolaas (bukan T.V) Muller, lahir pada 9 Desember 1797 di Hengelo dan meninggal dunia pada 27 September 1845 di Noordink (Hengelo). Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 10 Desember 1814 – 30 November 1818.
h. letnan infantri Frisschart yang dimaksud adalah Cornelis Frissart, lahir pada 18 Januari 1795 di Rotterdam, dan meninggal dunia pada malam tanggal 9 atau 10 November 1817 di Saparua. Ia tertembak pada tanggal 9 November 1817.
i. Radja Batumerah yang dimaksud adalah mungkin salah satu di antara Abdul Kahar Hatala atau Talib Waliulu. Menurut laporan dari Nicolaas Engelhard tertanggal 31 Mei 1817, disebutkan Abdul Kahar Hatala diangkat sebagai Radja van Batumerah pada tanggal 1 Maret 1814, sedangkan Talib Waliulu diangkat sebagai Orangkaija van Batumerah pada tanggal 1 Maret 1814.
§ Rapport van gewezen eerste commissaris ter overname der Molukken (Engelhard) aan commissarissen-generaal (Elout, Van der Capellen en Buijskes), Batavia, 31 mei 1818. Afschrift met enkele eigenhandige correcties. NA, collectie Van Alphen 2.21.004.19, 322.
j. letnan komandan kelas 1 Van Rhijn yang dimaksud adalah Jan Willem van Rijn, lahir pada 4 Maret 1776 di Utrecht, dan meninggal dunia pada 10 Juli 1844 di Gouda. Ia menjadi komandan kapal Nassau sejak 1 Oktober 1817 – 30 Juni 1818.
k. letnan kapten Jacobson yang dimaksud adalah Carel Jacobson, lahir di Stockholm, dan meninggal dunia pada 17 Oktober 1820 di Surabaya. Sejak 7 Januari 1817 menjadi letnan 1 laut di marinir dan kepala ilmu pelayaran Hindia Belanda.
l. Mayor infantri Meijer, yang dimaksud adalah Jan Albert Meijer, lahir pada 27 Januari 1789 di Veere, dan meninggal dunia pada 16 Januari 1818 di Ambon karena luka tertembak di negeri Ouw pada 11 November 1817. Ia berpangkat Mayor Infantri sejak 18 Oktober 1816.
m. letnan laut kelas 2, yaitu B. ‘t Hooft yang dimaksud adalah Bartholomeus ‘t Hooft, lahir pada 9 Juli 1790 di Rotterdam, dan meninggal dunia pada 25 Juli 1823 di Paramaribo.
n. letnan muda kelas 1 yaitu J.W. Droop, yang dimaksud adalah Jan Hendrikus (bukan J.W) Droop, lahir pada 12 Oktober 1794 di Amsterdam, dan meninggal dunia pada 15 Mei 1836 di Batavia. Ia bertugas di kapal Prins Frederik sejak 16 Oktober 1815 – 30 Juni 1818.
o. D.G. Muller, yang dimaksud adalah Dirk Gerardus Muller, lahir pada 28 Februari 1796 di Hengelo, dan meninggal dunia pada 19 April 1866 di s’Gravenhage. Ia bertugas di kapal Prins Frederik sejak 4 Desember 1814 – 7 Januari 1820
p. kapten Geselschap yang dimaksud adalah Hendrik Lodewijk Geselschap, lahir pada 19 Maret 1786 di Wesel dan meninggal dunia pada 15 September 1825 di Batavia. Ia berpangkat kapten infantri sejak 21 September 1815. Ia menjadi komandan garnisun di Saparua sejak November 1817 – 1819.
q. Kapten Krieger yang dimaksud adalah Petro Ferdinand Vermeulen Krieger, lahir pada 11 Maret 1782 di Schleiden dan meninggal dunia pada 27 September 1865.
r. letnan muda Gregory yang dimaksud adalah John Gregory, lahir pada 29 Agustus 1798 di Veere, dan meninggal dunia pada tahun 1833 di Semarang. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 28 April 1815 – 25 Agustus 1819
s. letnan kelas 1 Annamaet, yang dimaksud adalah Anthonie Anemaet, lahir pada 10 April 1781 di Zevenbergen, dan meninggal dunia pada 14 Februari 1849 di Heenstede. Ia bertugas di kapal Evertsen sejak tanggal 8 Desember 1814 – 4 Desember 1819.
t. letnan Richemont, yang dimaksud adalah Pieter Richemont, lahir pada 22 Desember 1794 di Amsterdam, dan meninggal dunia pada 11 November 1817 di Saparua.
u. letnan muda Zoutman, yang dimaksud adalah Karel Adriaan Hendrik Zoutman, lahir pada 14 Mei 1799 dan meninggal dunia pada 24 Juli 1818 di Surabaya. Ia bertugas di kapal Prins Frederik sejak 28 September 1815 – 24 Juli 1818.
v. letnan H.P.N. ‘t Hooft, yang dimaksud adalah Hendrik Petrus Nicolaas ‘t Hooft, lahir pada 23 Januari 1792 di Gelderland, dan meninggal dunia pada 4 Juni 1827 di Haarlem. Ia bertugas di kapal Evertsen sejak 1 Desember 1816 – 4 Desember 1819.
w. Radja van Siri Sori yang dimaksud adalah Melchior Kesaulija. Ia diangkat oleh Thomas Matulesia, menyusul meninggalnya Johannes Salomon Kesaulija pada tanggal 20 Mei 1817 di pantai Waisisil, negeri Tiouw.
x. Raja [negeri] Tiouw, Thomas Pattywaal, menurut arsip tertanggal 11 Desember 1806 dan 29 Mei 1817 serta 7 Februari 1818, Pattij van Tiouw bernama Jacobus Pattiwael. Mungkin Thomas Pattiwael/Pattywaal adalah nama tengah dari Jacobus Pattiwael.
y. letnan Pietersen asal Ambon yang dimaksud adalah Matheus Thomas Pietersz. Ia berpangkat letnan 2 infantri sejak 10 Mei 1817.
z. Kapten Staalman yang dimaksud adalah David Staleman, lahir pada 17 Mei 1786 di Brielle, dan meninggal dunia pada 20 Mei 1817 di pantai Waisisil, negeri Tiouw.
aa. Guru Djemaat (Kepala Sekolah) negeri Porto yang dimaksud bernama Hendrik Risakotta. Ia diketahui menikah dengan Elizabeth Pattiselano. Meninggal mungkin sekitar tahun 1845.
bb. Raja Tuwa (bekas) [negeri] Porto, menurut sumber dari Chr. Fr. van Fraasen, adalah W.P. Nanlohij. Ia diberhentikan oleh Thomas Matulesia dan mengangkat Jeremias “Salemba” Latuihamallo sebagai Radja van Porto.
cc. Raja [negeri] Haria yang dimaksud bernama Jeremias Leihitu
dd. Jhamello mungkin merujuk pada Jeremias Latuihamallo.
ee. perwira pertama Valiant yang dimaksud bernama Jan Jacob Vaillant, lahir pada 12 Oktober 1783 dan meninggal dunia pada 28 Januari 1827 di Brussel. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 27 Agustus 1815 – 25 Agustus 1819.
ff. Istri dari Johannes Matulesia bernama Nyawael Manuhutu
gg. Bloksma yang dimaksud bernama Hendrik Bloksma, lahir pada tahun 1771 di Enkhuizen, dan meninggal dunia pada 12 Mei 1822 di Weltreveden. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 17 April 1815 – 25 Agustus 1819
hh. kapten insinyur Brouwer yang dimaksud bernama Willem Brouwer, lahir pada 4 Maret 1794 di Utrecht dan meninggal dunia pada 17 Juli 1845 di Batavia.
ii. letnan komandan Beyerinck yang dimaksud bernama Pieter Gerhard Johan Beijerinck, lahir pada 26 Januari 1790 di Nijmegen, dan meninggal dunia pada 29 November 1819. Ia menjadi ajudan laksaman muda A.A. Buijskes sejak 28 Maret 1815 – 29 November 1819.
jj. Mayor Ooijkaas yang dimaksud bernama Dirk Ooijkaas, lahir pada 13 Juli 1769 di Rijswijk, dan meninggal pada 16 Februari 1821 di Texel. Iamenjadi dokter bedah berpangkat mayor di kapal Prins Frederik sejak 13 Agustus 1816 – 30 September 1817 dan di kapal Evertsen sejak 14 November 1817 – 4Desember 1819.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar