(bagian 1)
[Jacobus Jzn. Boelen]
- Kata Pengantar
Pada tahun 1903 dan 1904, L.A.A. van Kervel menerbitkan sebagian dari memoar vice-admiraal J. Boelen, yang dipublikasikan dengan judul Bladen uit het memoriaal van den vice-admiraal J Boelen, dalam majalah De Gids, seri ke-4 (4e serie) volume 21 pada tahun 1903 dan volume 22 pada tahun 1904. Pada volume 21 tahun 1903 ini, memoar ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu bagian 1 ditempatkan di blad (bagian) 3 halaman 482-518, bagian 2 ditempatkan di blad (bagian) 4 halaman 241-287. Pada volume 22 tahun 1904, lanjutan memoar J Boelen ditempatkan pada blad 2 halaman 255-268.
Bagian memoar J. Boelen yang kami terjemahkan ini adalah bagian 2 dari volume 21 (tahun 1903) pada blad atau bagian 4 dari halaman 241-287 di bawah judul De Opstand in de Molukken, 1817. Memoar pada bagian ini dimulai sejak tanggal 24 Maret 1817 hingga 17 Januari 1818. Ada banyak hal menarik jika kita membaca memoar ini, ada kisah-kisah yang diceritakan oleh Boelen dalam konteks perlawanan rakyat Maluku tahun 1817, yang notabene ia sendiri terlibat dalam upaya penumpasan perlawanan itu. Haruslah dipahami bahwa ini adalah perspektif orang asing yang memandang “pemberontakan” dalam kacamata mereka. Meski demikian, adalah berguna untuk membaca dan memahaminya, mengetahui berbagai informasi yang diberikan oleh tangan pertama tentang kehidupan orang Ambon pada awal abad ke-19 itu. Selain itu, seperti yang disebutkan ada berbagai informasi menarik, misalnya Gubernur Maluku, J.A. van Middelkoop yang sering bertelanjang di rumah gubernur karena cuaca panas sepanjang hari, sikap “pengecut” pendeta Joseph Kam yang dikerjaian oleh Boelen, simbol membawa kaki piring yang dibawa oleh penduduk di Hatawano, dan lain-lain.
Memoar J. Boelen ini kami terjemahkan dan dan dibagi dalam 3 bagian, menambahkan beberapa catatan tambahan dan gambar ilustrasi. Semoga hal ini bisa bermanfaat untuk pengembangan konsep bersejarah kita sendiri.
- Terjemahan
Pada tanggal 24 Maret 1817, kekuasaan tertinggi atas wilayah Maluku diserahterimakan oleh Gubernur Inggris, W.M. Martin, kepada Komisaris Pemerintah Belanda, yaitu N. Engelhard dan J. A. van Middelkoop. Kami kemudian dengan 3 kapal yaitu “Admiraal Evertsen”, “Nassau” dan fregat “Maria Reijgersbergen”, tempat saya bertugas, berada atau berlabuh di teluk Amboina, tidak jauh dari Benteng Victoria. Kedua kapal yang pertama tersebut, masing-masing dikomandoi oleh Kapten Laut Dietza dan Sloterdijkb, sedangkan fregat Maria Reijgersbergen dikomandoi oleh Letnan Kapten Grootc. Kapten Laut Dietz juga adalah komandan skuadron, tetapi mendadak meninggal keesokan harinya, akibatnya Kapten Laut Sloterdijk menjadi komandan Skuadron dan komando kapal “Evertsen” dilanjutkan atau diserahkan kepada perwira pertama di kapal itu, Letnan Kapten Laut Q.M.R. Verhuell.
Penurunan bendera Inggris dan pengibaran bendera Belanda diiringi dengan semua upacara. Tembakan penghormatan dilakukan di benteng dan kapal-kapal perang Inggris dan Belanda di sekitarnya. Selain itu, beberapa perayaan diadakan. Gubernur Inggris menyajikan makan malam yang luar biasa pada kesempatan itu di rumah Resident di Batumerahd dan tamannya diterangi dengan cemerlang. Komandan skuadron menginstruksikan Letnan Kapten Groot untuk melakukan proses pengambil alihan wilayah Ternate dan sekitarnya dari Pemerintah Inggris dengan kapal “Maria Reijgersbergen”. Resident de Nijs, yang akan memerintah wilayah Ternatee, naik ke kapal dengan beberapa pejabat dan pasukan militer, dan kami berlayar ke laut pada tanggal 9 April 1817. Karena muson barat yang kuat dan arus yang kuat di sekitar tenggara, kami menempuh perjalanan panjang dari Ambon ke Ternate. Selama beberapa hari kami berlayar melawan angin musim dan arus antara pulau Buru dan Manipa. Setelah melewati “lorong” itu, kami harus menyeberang dan berlayar di antara pulau Obi besar dan Lissamatulaf selama beberapa hari. Akhirnya pada tanggal 24 April 1817, kami berlabuh di pelabuhan Ternate.
Pagi-pagi sekali tanggal 30 April 1817, kami mulai meluncurkan semua kapal kecil dan menurunkan 299 serdadu bersama istri dan anak-anak mereka. Pada jam 07.00 pagi, Sultan Tidoreg dan pengiringnya, di 2 arumbai, tiba di perairan Ternate dan tinggal bersama Tuan Duivenbode, seorang pedagang yang telah menetap di Ternate selama bertahun-tahunh. Jam 08.00, Komandan pergi ke darat dengan 3 orang petugas. Kami pergi ke rumah Resident yang berada di dalam benteng, dimana kami melihat Resident de Nijs, Resident Inggrisi dan komandan angkatan bersenjata Inggris dan Belanda yang telah berkumpul dan komandan kapal perang Inggris untuk Hindia Timur yaitu “Antilope”j. Pada upacara penyerahan koloni kepada penguasa Belanda, otoritas setempat juga hadir yaitu Sultan Ternatek dan Tidore. Sultan Ternate selalu baik kepada kami, tetapi Sultan Tidore sebaliknya, tidak baik kepada kami. Kedua Sultan itu bermusuhan satu sama lain dan hanya orotitas Belanda dan juga pemerintah Inggris yang mencegah meluasnya permusuhan itu untuk berperang satu sama lain. Walaupun pemerintah Belanda sebisa mungkin menghindari kesempatan untuk menimbulkan kecemburuan dan iri hati di antara kedua Sultan itu, hal itu tidak akan menghalangi hak Sultan Ternate untuk bertindak sebagai Tuan Feodal terhadap Sultan Tidore. Oleh karena itu, setiap kali kedua Sultan mendapat undangan Resident Ternate dan wilayah sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Tidore untuk datang ke Benteng Oranye, maka Sultan Tidore tidak diperbolehkan memasuki benteng tersebut hingga Sultan Ternate dan para pejabat pengiringnya telah melewati gerbang dan duduk di tempat yang telah ditentukan di sisi kanan Resident. Juga Sultan Tidore harus yang pertama meninggalkan benteng dan keluar dari gerbang.
Oleh karena itu, Sultan Ternate pertama kali memasuki benteng dengan kereta megahnya dan disambut dengan 13 tembakan meriam. Kemudian Sultan Tidore masuk, tetapi dengan berjalan kaki, dan diberi penghormatan dengan jumlah tembakan meriam yang sama. Sultan Ternate adalah seorang pria jangkung, sangat gemuk, kulitnya rusak karena cacar, hitam seperti orang negro. Ketika dia membalikkan wajahnya yang bulat dan bengkak dengan bibir tebal yang menonjol, dimana hidungnya yang lebar dan rata-rata seolah-oleh tersembunyi, ke arah seseorang, kita akan merasa bergidik seperti melihat seorang kanibal yang siap mengunyah kaki manusia. Sultan Tidore, di sisi lain, adalah pria yang kurus dan tinggi. Wajahnya yang kurus memiliki ekspresi serius. Warna kulitnya seperti orang Jawa, bahkan sedikit lebih cerah. Pakaiannya lebih sederhana dari pakaian Sultan Ternate yang berpakaian penuh hiasan emas.
Penurunan bendera Inggris dan pengibaran kembali bendera Belanda dibarengi dengan upacara-upacara yang telah ditentukan, begitu pula dengan sumpah setia kepada kekuasaan Belanda oleh kedua sultan. Pada saat kepulangan para Sultan, Sultan Ternate berjanji akan mengunjungi komandan kami di atas kapalnya, yang akan berlangsung pada tanggal 6 Mei 1817. Pada kunjungan ini, Sultan duduk di perahu besar dengan tenda luas yang terbuat dari kain merah dan ditata mewah dengan hiasan emas dan dekorasi lainnya. Di depan perahu, berdiri selusin prajurit pengawalnya dengan membawa senapan. Kerabat, pangeran dan abdi dalam Sultan mengikuti dengan perahu kedua. Kedua perahu digerakkan oleh 3 baris pendayung, yang duduk satu di depan yang lain. Bendera Belanda berkibar di perahu Sultan. Bendera kerajaannya dipasang di haluan dan buritan. Prosesi ini diiringi oleh semacam musik yang dihasilkan dari tetabuhan genderang dan tiupan seruling dan yang bisa disebut terompet, tetapi semuanya terdengar indah. Setibanya di kapal, Sultan disambut oleh komandan Groot dan diterima di geledak oleh Resident de Nijs, Resident Inggris, Kapten Muilmanl, komandan pasukan militer, dan beberapa orang lainnya, yang semuanya pada jam 09. 00 telah naik ke kapal. Tembakan penghormatan ditembakan, marinir mempersembahkan atraksi senjata serta tetabuhan genderang.
Benteng Victoria Ambon, ca 1817-1818 |
Setelah melihat kapal, Sultan melakukan peninjauan dan berangkat sekitar jam 12.00 dengan upacara yang sama. Pada tanggal 16 Mei 1817, kapal Maria Reijgersbergen tiba di perairan Kema dan keesokan harinya, komandan dengan beberapa perwira berangkat melalui darat ke Menado dan mengambil alih pos-pos yang masih di bawah pemerintahan Inggris kepada penguasa Belanda. Saya tetap tinggal di Kapal. Pada tanggal 25 Mei 1817, kapal berangkat dari perairan Kema dan berbelok ke arah selatan, dengan tujuan menuju Ambon. Kami sekarang harus bekerja keras melawan angin muson tenggara, arus sekarang berputar ke utara, sehingga kami tidak bisa membuang jangkar di benteng Victoria di teluk Amboina sampai tanggal 25 Juni 1817. Tidak lama setelah ini, komisaris Engelhard dan Tuan Mooresm datang ke kapal. Mereka menyampaikan kabar duka bahwa telah terjadi pemberontakan di antara penduduk pribumi pulau Saparua, bahwa Resident Van den Berg, istri dan anak-anaknya, seorang pembantu wanita Belanda dan juru tulisnya telah dibunuh secara menyedihkan, dan setelah mengetahui kabar buruk itu, pada tanggal 17 Mei 1817, dari Amboina, dikirim pasukan yang cukup besar, yang terdiri dari 112 pelaut dan marinir dari kapal “Admiral Evertsen” dan “Nassau” serta 138 serdadu garnisun di bawah komando Mayor Beetjes, menuju ke Saparua, bahwa kekuatan itu pada tanggal 20 Mei 1817, melakukan pendaratan di sisi barat benteng tetapi hamparan pohon kelapa di pinggir pantai hampir dapat dilewati sebelum menerima perlawanan keras dari penduduk pribumi yang ditemui, dan dengan tembakan tepat sasaran dari balik pohon kelapa beserta penyergapan lainnya, menimbulkan banyak korban perwira dan prajurit, sehingga pasukan terpaksa mundur, serangan telah terjadi 2 kali dan perintah siap diberikan untuk serangan ketiga.
Pada saat mundur ini, pasukan kami dikejar dengan sangat dekat oleh sejumlah besar penduduk pribumi sehingga hampir seluruh pasukan kami terbunuh dan hanya 1 perahu di bawah pimpinan Letnan muda ‘t Hooftn yang bisa kembali ke Ambon dengan beberapa orang. Tentu saja besar kecemasan di antara kami di atas kapal dan di antara garnisun, begitu pula kecemasan tentang hal-hal yang akan terjadi, kami segera mengetahui bahwa kerusuhan mulai menyebar ke seluruh kepulauan rempah-rempah. Seluruh Pulau Saparua mengalami pemberontakan, begitu pula Pulau Haruku. Pulau besar Seram juga bergolak, dan beberapa negeri di pantai utara Pulau Amboina sudah memberontak, sehingga Benteng Victoria dan Kota Ambon mulai takut akan serangan para pemberontak yang semakin berani. Suatu malam, ketika saya berada di rumah Tuan Moores, alam serius berbunyi di kota. Desas-desus telah menyebar bahwa pasukan pemberontak dalam jumlah besar sedang mendekat dan sudah muncul di pegunungan. Semua orang yang bisa telah melarikan diri memasuki Benteng Victoria, tetapi segera diketahui bahwa rumor itu salah.
Namun demikian, karena kepastian bahwa para pemberontak semakin berani, dan benteng Hila, yang terletak di pesisir utara Pulau Ambon, sudah terancam oleh mereka, sudah waktunya pemberontakan diakhiri. Akibatnya, kapal Maria Reijgersbergen diperintahkan oleh Komisaris untuk pengambilalihan wilayah koloni, untuk mempersiapkan ekspedisi ke Pulau Saparua. Karena tidak ada satu pun dari kami yang pernah mengarungi perairan di sekitar kepulauan rempah-rempah, seorang pilot dikirim ke kapal. Pria itu bernama Christiaan Christiaansen, seorang Denmark dan terus menerus berlayar di koloni Hindia Timur selama 40 tahun. Ia kini sudah berusia tua dan hidup tenang di salah kampung/negeri di pulau Ambon. Kami juga dikirim sekitar 24 orang kaum burger Ambon bersenjata dan sekitar 12 orang tidak bersenjata yang akan mengoperasikan orembai, yang kami bawa bersama kami.
Rencana ekspedisi kami adalah melakukan pendaratan di tanjung Hatawana, di sisi utara Pulau Saparua, dimana terdapat 5 kampung atau negeri, dan dengan demikian mencoba mengalihkan kekuatan pasukan pemberontak dan mencegah mereka menggunakan gabungan kekuatan mereka untuk bergerak menuju ibukota yaitu [negeri] Saparua.
Pada tanggal 4 Juli 1817, kapal Maria Reijgersbergen meninggalkan teluk Ambon untuk kedua kalinya. Kami berlayar melewati pantai selatan Pulau Amboina dan Pulau Haruku serta Nusalaut, tanpa bisa melihat apapun yang mengisyaratkan permusuhan, tetapi ketika kami mendekati Pulau di sudut timur laut pulau itu, kami melihat kerumunan penduduk pribumi yang bersenjata dengan sikap mengancam dan bergerak mondar-mandir ke sana ke mari serta menantang kami dengan teriakan dan jeritan. Pada jam 10 ¾ pagi ketika kapal berlabuh di negeri Itawaka, kami melihat perempuan dan anak-anak melarikan diri dari kampung/negeri itu, tetapi para laki-laki tetap tinggal melakukan tarian cakalele, sementara kami juga mendengar dan melihat tifa cakalele dari segala arah, terdengar semacam tabuhan genderang yang bunyi memanjang. Ketika kami menembakan beberapa bola meriam, mereka melarikan diri, tetapi segera setelah itu mereka muncul kembali, sedikit lebih jauh ke arah selatan di negeri Ihamahu. Ketika juga “menyapa” mereka di sana dengan sekitar 10 tembakan meriam, mereka sangat kagum sehingga mereka tidak berani lagi menunjukkan diri. Sementara itu, korvet “Iris” muncul di sisi barat, komandan memutuskan untuk menunggu kapal itu tiba untuk berlabuh di samping kapal kami sebelum menyerang musuh. Kapal itu berjuang melawan angin muson timur laut yang keras dan kaku serta arus deras ke barat. Oleh karena itu, kami membatasi diri terlebih dahulu untuk mengawasi musuh dan mencegah keberanian mereka yang semakin meningkat. Dari waktu ke waktu mereka terlihat melompat menantang di pantai, menembaki kami dari pepohonan, sehingga peluru terbang di atas kapal kami. Sesekali mereka memanggil kami : “marri di darrat” (datanglah ke darat). Pada malam hari, sebuah arumbai bersenjata dan sekoci di bawah pimpinan Letnan muda kelas 1 menyeberang pantai dan di pinggir kapal kami, untuk mencegah komunikasi/hubungan dengan Pulau Seram, dimana sebagian besar pemberontak berasal, yaitu sebagian besar orang Alifuru yang disebut pemburu kepala/pemotong kepala. Dalam salah satu penyeberangan malam itu, saya pergi bersama arumbai menuju ke dekat kubu pertahanan di negeri Ihamahu untuk melihat apakah musuh masih bermarkas dan berjaga-jaga di sana. Tetapi sangat beruntung bahwa kami dapat membelokkan buritan arumbai dengan cepat, karena secara tidak terduga, kami menerima serangan yang hebat dari senjata-senjata kecil, yang, bagi penembak-penembak orang Saparua, kemudian ternyata, sasarannya buruk, sehingga tidak ada satu pun yang mengenai kami, hanya arumbai terkena beberapa peluru. Kami tidak membalas tembakan itu, karena kubu pertahanan itu terletak di antara pepohonan yang tinggi di malam hari seolah-olah seperti di balik kerudung hitam, dan kami tidak dapat melihat apapun. Sebaliknya, musuh, dapat melihat kami dengan cukup jelas di atas permukaan air untuk menyerang. Semua operasi pendahuluan ini, sementara itu, membuat musuh semakin berani, karena beranggapan tidak adanya respon kami sebagai bentuk ketakutan. Ketika kami masuk ke tempat perbaikan kami di malam hari, karena sekoci perlu diperbaiki, mereka pasti mengira kami siap untuk pergi, karena kemudian mereka datang menari, berteriak dan melambai-lambaikan klewang mereka di kerumunan di sepanjang pantai.
Pesisir utara Pulau Saparua (Hatawano), ca 1817 |
Akhirnya, pada tanggal 12 Juli, korvet “Iris” berlabuh di dekat kami dan berlabuh di sebelah tenggara dari kapal kami, agar dapat mempertahankan posisi menyerang musuh bersama kapal kami, Maria Reijgersbergen. Melalui semak-semak berduri orang bisa melihat jalan yang bagus melewati ladang di seberang hutan di tepi pantai, dan kami melihat sebuah rumah dimana ada banyak orang bersenjata, dan terlihat seperti pos penjagaan/markas untuk mengawasi. Setelah mengawasi rumah dari semak-semak itu, kami mendirikan salah satu perancah untuk menembak. Peluru yang ditembak pasti menimbulkan malapetaka dan ketakutan besar di antara mereka, karena kami semua melihat rumah penjagaan itu tiba-tiba “terbang”, dan kemudian dengan jelas kami melihat bahwa rumah itu tetap kosong sejak saat itu. Setelah kapal “Iris” mengambil posisi, kedua kapal mulai membombardir negeri-negeri, tetapi kami segera menyadari bahwa tidak banyak kerusakan yang dihasilkan oleh penyerangan ini. Peluru terbang melalui rumah-rumah bambu dan hampir tidak ada lubang di dinding yang terbuat dari gaba-gaba. Penduduk pribumi telah melarikan diri dari kampung dengan para perempuan dan anak-anak mereka beberapa hari sebelumnya dan bersembunyi di balik benting yang didirikan oleh mereka. Benteng dan kubu pertahanan ini biasanya didirikan oleh mereka pada malam hari. Para perempuan dan anak-anak turut membantu. Kubu pertahanan terdiri dari tembok/dinding selebar beberapa kaki, sehingga tidak dapat ditembak ke dalam celah-celah dengan peluru seberat 48 pon. Dindingnya terbuat dari tumpukan tebing, dan memang memiliki kekuatan dan kekokohan yang mengagumkan.
Selama penembakan, komandan Poolo, komandan korvet H.M. Iris, naik ke kapal kami dan mengusulkan agar pemborosan bubuk mesiu dan amunisi yang tidak perlu ini harus dihentikan, dan mencoba bernegosiasi damai dengan penduduk, untuk mewujudkan perdamaian dengan semua penduduk negeri, terutama sejak komandan, yang baru saja datang dari Haruku, telah mengetahui bahwa di sana ada ketidaksenangan dan kerusuhan penduduk pribumi disebabkan oleh perlakuan buruk dan penipuan dari Resident1.
Sejak komandan kami, komandan Groot setuju dengan pandangan ini, kapal “Iris” diberi isyarat untuk “berhenti menembak”, setelah itu sebuah surat dalam bahasa Melayu yang mengatakan kepada semua penduduk Saparua : ingin menanyakan terlebih dahulu penyebab ketidaksenangan mereka, mencoba untuk menghentikan pertempuran, dan untuk memperoleh keadilan bagi mereka, Letnan Kapten Groot menginginkan jawaban atas surat itu dalam waktu 24 jam, dan akan menghentikan penyerangan sampai saat itu.
Surat ini diikatkan pada tiang bendera putih. Dengan tembakan penghormatan, bendera putih dikibarkan di bagian depan kedua kapal, sementara pada saat yang sama, sekoci dari kapal “Iris” yang diawaki oh orang Bugis, didayung ke arah pantai. Sesampainya di sana, mandor dengan tongkat yang diikat bendera dan surat di tangannya melompat ke pantai dan menunggu di sana sekitar 10 menit. Namun, tidak ada yang muncul untuk menerima surat itu. Mandor memang dipanggil untuk mendekati dan datang ke arah negeri/kampung, tetapi karena ia bertentangan dengan perintah komandan, dia menancapkan tongkat, dengan surat dan bendera di pasir dan kembali dengan orang-orangnya di atas kapal. Tidak lama kemudian, seorang pribumi bersenjata keluar dari hutan dan mengambil tongkat itu. Kira-kira ½ jam kemudian kami diberitahukan dari arah pantai untuk mengatakan bahwa surat itu telah dibaca, dan kami tidak boleh menembak lagi. Setelah kami menjanjikan hal itu kepada mereka, banyak penduduk pribumi segera muncul, semuanya bersenjata dan membawa kaki piring2, kami melihat seorang pemimpin duduk di kadera-pikol (draagstoel) di pantai. Sore hari jam 17.00 kami mengangkat sauh yang berat, yang kami buang lagi di sekitar timur laut, agar bisa membawa kapal lebih dekat ke pantai, yang menyebabkan kami diteriaki dari arah pantai : “bahwa ini tidak benar”. Ketika seorang anak laki-laki sedang sibuk mengambil bendera putih di semak-semak, yang telah tersangkut, mereka berteriak dari arah pantai bahwa kami tidak boleh mengambil/menurunkan bendera itu. Setelah matahari terbenam diumumkan bahwa pada hari minggu tanggal 13 Juli 1817, surat itu akan dibacakan dengan lantang di semua gereja di negeri-negeri, bahwa surat itu tidak dapat dijawab sampai hari senin berikutnya, dan oleh karena itu penundaan diminta sampai saat itu. Komandan berpikir lebih baik tidak menjawab tuntutan ini. Namun, pada malam hari kami melakukan patroli biasa dengan sekoci bersenjata. Teriakan “semua baik-baik saja” oleh penjaga kami digemakan oleh dinding dengan suara “jaga, jaga” (awas, awas, atau pas op pas op). Pada hari minggu tanggal 13 Juli 1817, jam 11.00 pagi, seorang penduduk pribumi tiba di pantai dengan membawa tongkat berbendera putih yang dilampiri surat. Dia menancapkan tongkat itu di pasir dan menjauh. De Jol dari kapal “Iris” kemudian dikirim untuk mengambil surat itu; surat itu dalam bahasa Melayu dan isinya sebagai berikut : “Kami telah menerima surat anda dan telah memahami isinya. Kami tidak memiliki perahu/kano untuk ke kapal, tetapi jika Kapten ingin datang ke darat untuk bernegosiasi di rumah kami (baileo) kami, maka diizinkan. Jika tidak mau, kirimi kami orang burger atau orang Ambon. Ditandatangani oleh para pemimpin Seram, Saparua, Nusalaut”.
Komandan Groot menjawab bahwa ia sendiri tidak akan pergi, tetapi seorang perwira yang didampingi oleh Christiaansen yang akan datang ke negeri mereka. Jam 14.00 siang diumumkan kembali bahwa surat Kapten sudah dikirim ke negeri Saparua, dan jawabannya akan disampaikan besok. Keesokan paginya, kami melihat 2 bendera putih ditempatkan di pantai, di sebelah bendera itu berdiri beberapa penduduk pribumi. Kami mengirim Christiaansen dengan sekoci untuk menanyakan arti dari ini. Christiaansen kembali dengan informasi bahwa mereka sekarang mengharapkan para petugas bisa ke pantai pada jam 10.00. Kami juga melihat 2 kursi dan meja dibawa ke pantai.
Oleh karena itu, Letnan komandan kelas 1, Ellinghuisenp pergi ke darat dengan Christiaansen. Dengan sikap dingin, membangkang dan bangga, mereka diterima oleh beberapa pemimpin dan penduduk pribumi lainnya yang berdiri di pantai. Ketika mereka telah duduk di kursi, mereka dikelilingi oleh penduduk pribumi dan proses negosiasi dimulai. Sebagai alasan ketidaksenangan mereka, para pemimpin itu menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemerasan Resident Van den Berg yang menganiaya rakyat
2. Uang kertas yang tidak ingin lagi diterima penduduk
3. Mereka menginginkan seorang pendeta dan guru djemaat/kepala sekolah untuk anak-anak mereka3
Dalam proses negosiasi selanjutnya, para pemimpin negeri mengungkapkan keinginan agar seorang perwira dari kapal akan pergi bersama Christiaansen ke benteng di Saparua untuk berbicara dengan pemimpin rakyat di sana.
Ketika Letnan Elinghuisen dan rekannya telah kembali ke kapal dan telah melaporkan negosiasi tersebut, diputuskan bahwa Christiaansen, yang sangat mengenal para pemimpin pribumi, harus membawa surat ke Saparua. Pada jam 15.00 sore, dia berangkat dengan perahu/kano dengan bendera putih menuju pantai barat dari teluk itu. Pada jam 23.00 malam, kami menerima sepucuk surat dari Christiaansen, dimana dia menulis bahwa para pemimpin negeri sangat condong ke arah perdamaian dan mereka ingin petugas datang dan bernegosiasi. Kedua komandan kapal sekarang memutuskan untuk mempertahankan gencatan senjata dan untuk menginformasikan kepada Pemerintah Maluku di Ambon secepat mungkin tentang tuntutan orang Saparua dan untuk mendapatkan perintah lebih lanjut dalam hal ini. Arumbai berukuran besar dipersenjatai dengan 2 senjata berlaras pendek dan besar dan moncong lebar, dan bersiap untuk berangkat ke Ambon dengan seorang perwira yang bertanggung jawab atas pengiriman dan instruksi ke pemerintah di Ambon. Saya ditugaskan untuk misi ini. Saya berangkat jam 23.30 malam. Arumbai dibawah komando saya dan diawaki 8 orang kelasi Eropa, seorang perwira kapal sebagai bintara, seorang Bugis sebagai djoeroemoedie (juru mudi), dan seorang mandor suku Jawa dengan 2 orang kelasi suku Jawa, sehingga kami berjumlah 14 orang. 4 orang “ABK” dipersenjatai, perwira kapal dan saya sendiri diperlengkapi dengan pistol dan pedang angkatan laut. Tidak peduli seberapa diam kami berangkat, segera diketahui di pantai bahwa sebuah kapal sedang dikirim, karena itu orang-orang berteriak : “itoe schuitje pigie dimana??” (mau kemana kapal itu??). Tentu saja teriakan mereka tidak dijawab.
Awal perjalanan sangat berjalan baik, karena arus air laut membantu kami, sehingga jam 02.30 pagi saya menyadari sedang berada di seberang sebuah negeri dan benteng kecil di Pelauwq di sisi utara pulau Haruku. Pada malam hari kami melihat api berkobar di sana sini di pegunungan Pulau Seram dan di pegunungan Pulau Saparua dan Haruku, kami melihat di pantai Pulau Haruku, dekat negeri Rohomoni dan Kabauw, banyak orang bersenjata, menantang kami dengan teriakan mereka yang seperti biasa. Mereka memanggil saya untuk datang ke darat. Saya memerintahkan arumbai agar sedekat mungkin ke arah pantai, dan sambil menunjuk bendera putih yang berkibar dari tiang tinggi di tengah kapal, saya berteriak kepada mereka bahwa kompeni telah mengirim saya untuk berdamai dengan orang Saparua dan juga dengan mereka. Namun, saya segera melihat, dari teriakan perang dan tarian perang mereka terus menerus, bahwa mereka sama sekali tidak mau berdamai. Mereka juga mulai meluncurkan perahu-perahu di pantai dan bersiap untuk menyerang saya. Namun, begitu mereka melihat bahwa saya siap menembakkan senjata berlaras pendek ke arah mereka, mereka menghentikan aksi tersebut.
Wilayah Batugadjah Ambon, ca 1817 |
Pada tanggal 15 Juli 1817, jam 07.00 saya tiba di negeri Haruku. Ada benteng kecil di sana, yaitu Zeelandia, tidak lebih dari sebuah benteng pertahanan, dimana sebuah rumah telah dibangun, berfungsi sebagai kediaman komandan dan penjaga pos. Komandan, Kapten infantri Van Drielr, memiliki perkemahan luas yang dibangun di sekitar benteng, ditutup dengan tembok pembatas. Negeri itu, sekitar 300 anak tangga di selatan benteng, dibatasi/dihalangi. Dengan cara ini, dia mencegah penduduk, yang, atas kemauan mereka sendiri, atau dibawah paksaan para pemimpin pemberontak, akan memberontak. Garnisun telah melewati masa-masa sulit pada awal pemberontakan, serta di hari-hari awal ketika hanya terdiri dari 1 detasemen kecil angkatan laut, yang dipimpin oleh Letnan muda kelas 1, W.D. Musquetiers, yang pada tanggal 30 Mei dan tanggal 3 serta 9 Juni, yang bisa menghadapi serangan yang sangat kuat dari para pemberontak. Sementara itu, semua komunikasi di luar kekuatan dengan seluruh pulau telah terputus, kelangkaan perbekalan makanan mulai terasa, dan akan segera tidak mungkin untuk menyediakan makanan yang diperlukan bagi penduduk negeri. Dengan ini saya sangat kecewa dengan harapan saya untuk memberi orang-orang saya, setelah malam yang melelahkan, dengan membuat makanan dan minuman yang cukup menyegarkan. Orang-orangku terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan dari Haruku ke Amboina. Oleh karena itu mereka membutuhkan istrihat dan misi saya tidak dapat menunggu untuk itu, maka saya meminta Kapten Van Driel untuk memindahkan saya dengan perahu dari negeri, yang terletak di dalam benteng, ke negeri Suli, negeri pertama di sekitar sudut/teluk timur pulau Ambon. Kapten Van Driel menjelaskan kepada saya bahwa penyeberangan ini bukannya tanpa bahaya, karena para pemberontak sibuk menyeberang antara Pulau Ambon dan Haruku dan telah mendarat di negeri Tengah-tengah 2 malam sebelumnya dan telah membunuh 8 penduduk yang tidak tahu apa-apa dan membawa serta kepala mereka yang terpenggal. Jadi penting untuk melihat dengan hati-hati ke segala arah. Pada jam 08.00 saya berangkat dengan perahu layar yang didayung oleh 14 orang menuju teluk sebelah timur Pulau Ambon. Namun, terlepas dari semua upaya penduduk pribumi, mereka tidak dapat mencapainya. Badai dari timur disertai dengan hujan lebat. Mustahil bagi kami untuk mencapai karang di pantai Suli yang masih jauh dari jangkauan, karena ombak laut yang tinggi. Karena itu saya memutuskan untuk bertahan dan berbelok ke negeri Tulehu, meskipun keputusan ini penuh dengan keraguan, karena saya tidak sedikitpun mengetahui dengan pasti bahwa desa Muslim ini belum jatuh ke tangan pemberontak. Namun, masyarakat negeri Tulehu menunjukkan diri mereka yang cinta damai. Saya mengirim balik perahu itu kembali ke Haruku dengan 14 pendayungnya, dan keesokan paginya saya menerima tandu dari Raja negeri itu, yang dibawa oleh 4 orang yang kuat, melewati darat ke negeri Suli, suatu perjalanan yang luar biasa melalui hutan yang indah, penuh dengan teriakan kakatua dan bunyi “truk”. Jam 14.30 siang saya telah tiba di Suli. Dari sini saya menyeberang dengan perahu kecil ke Pas Baguala (negeri Passo), berjalan melintasi tanah genting itu, dan sekali lagi dengan kano menyeberang teluk bagian dalam, yang dasarnya ditutupi dengan vegetasi karang terindah yang sulit dibayangkan. Jam 17.30 sore, saya tiba di benteng Victoria di Ambon. Saya langsung pergi ke kediaman Gubernur Maluku. Saya telah memberikan alasan kedatangan saya, sehingga saya langsung diterima oleh Yang Mulia, yang saya temui di kamar tidurnya, sedang duduk dengan tubuh telanjang di tepi dipannya. Gubernur Van Middelkoop adalah seorang pria yang sangat gemuk, yang sangat terganggu dengan cuaca panas, dan oleh karena itu, menurut kebiasaan para tamu lama kompeni, dari waktu ke waktu membuat diri mereka nyaman dengan “bertelanjang”. Pendeta Kam duduk, agak jauh dari dipannya, di sebuah kursi Hindia, berbicara santai dengan Gubernur.
Pendeta Kam adalah misionaris yang telah bersama orang-orang saleh selama beberapa tahun telah bekerja keras untuk mengubah orang-orang kafir menjadi Kristen.
Joseph Kam |
Apakah ini mempengaruhi pertobatan mereka dari kejahatan menjadi kebaikan adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Pendeta Kam tinggal di ibu kota, Ambon, dan ketika kapal kami dengan kapal-kapal perang lainnya, berlabuh di sana di teluk Ambon, beberapa perwira angkatan laut pergi ke gereja bersama pendeta Kam. Apa yang dimusuhi pria itu terhadap para perwira kami tidak pernah dipahami, tetapi yang pasti di dalam khotbah berbahasa Melayu, dia dengan keras menyerang para perwira kami, seolah-olah mereka adalah orang kafir dan pencemooh agama. Suatu tindakan paling ceroboh dari pria itu !!!. Yang juga luar biasa, adalah orang-orang Saparua mendasarkan kepercayaan mereka pada hak mereka untuk memberontak melawan otoritas Belanda dengan Alkitab, yang terbuka di gereja mereka dengan sebuah teks yang tidak lagi saya ingat, tetapi mendesak mereka untuk tidak mematuhi pemerintah sebagai tidak layak, dan untuk melawan pemerintah dengan kekerasan.
Ketika saya menyampaikan kepada Yang Mulia Gubernur pesan dari komandan Groot dan, atas permintaannya, telah memberi tahu dia secara lisan apa yang terjadi sejak kedatangan kapal “Maria Reijgersbergen” dan bagaimana kondisi para pemberontak, pendeta Kam, ketika mendengar syarat ketiga dari pihak pemberontak, kemudian menjawab: “Ya, mereka harus memiliki seorang guru Kristen”. Saya kemudian teringat perilaku pendeta ini yang disebutkan di atas terhadap para perwira kami, dan muncul keinginan untuk menggodanya sedikit dan melakukan pembalasan “dendam” yang pantas. “Ya, pendeta”, kataku, “mereka membutuhkan seorang guru Kristen. Mereka juga secara khusus ingin anda datang dan menyapa mereka. Mereka memanggil anda setiap hari. Jadi saya berharap, pergilah bersamaku. Saat anda pergi ke Saparua, suasana hati mereka akan lebih baik. Anda dapat melakukan segala sesuatu atas mereka, karena orang-orang Kristen itu semua adalah murid-murid anda”. Dengan pucat, pendeta Kam menatapku, seolah-olah dia telah mendengar hukuman mati baginya, dan berseru: “Demi Tuhan...., Gubernur, jangan biarkan saya pergi, mereka akan membunuhku juga. Saya tidak bisa berbuat apa-apa di sana, saya bukan orang yang suka kekerasan, saya suka damai”. “Benar, pendeta”, kata saya, “karena anda adalah orang yang cinta damai, jangan ragu, dan ikutlah dengan saya”. Pendeta Kam sekarang terjebak dalam kesedihan yang begitu besar terhadap manfaat dari misi ini, di tengah panasnya percakapan, sehingga akhirnya, berjalan di sekitar ruangan itu dengan putus asa, dan dia berseru: “Saya tidak pergi, Tuan Gubernur... saya tidak akan pergi dan tidak ada yang akan memaksa saya”. Oleh karena itu, pendeta Kam tetap tinggal di Ambon dan membiarkan saya kembali sendirian. Ketakutan yang telah saya tanamkan dalam dirinya untuk misi ke pihak pemberontak, bagaimanapun, tetap ada dalam dirinya, sehingga dia berangkat dari Ambon ke Menado pada kesempatan pertama.
Makan malam di rumah Gubernur itu enak, dan setelah tidur malam di rumah sekretaris Boomhouwert, saya menjadi seperti orang baru di keesokan harinya, karena saya kelaparan dan sangat lelah. Ketika pesanan dari Komisari ke komandan Groot sudah siap, saya membuat persiapan untuk perjalanan pulang. Karena curiga bahwa dalam perjalanan ini saya akan mendapat lebih banyak masalah dari musuh daripada yang saya temui di atas kapal, saya meminta kepada komandan Amboina, komandan Kraaijenhofu, untuk memberi saya 3 senapan lagi dengan kotak peluru. Setelah menerimanya, saya berangkat pada tanggal 17 Juli 1817 jam 07.30 pagi dengan sebuah perahu kecil untuk menuju ke Baguala. Ketika saya tiba di sana, saya memanggil pemimpin negeriv di benteng pertahanan. Tetapi dia sepertinya tidak mau membantu saya menemukan perahu untuk pergi ke Suli. Dia mengaku tidak memiliki perahu dan tidak ada seorangpun di negerinya yang mau melakukan perjalanan itu. Akhirnya ancaman saya berhasil dengan sangat baik, sehingga saya memperoleh sebuah perahu dengan 4 orang yang siap melayani saya. Angin muson timur sangat kencang hari itu, dan karena angin langsung bertiup ke arah teluk, penduduk pribumi mengalami kesulitan besar dalam mendayung melawan arus air. Terlepas dari kekuatan dayung, kami bisa sedikit bergerak maju. Akhirnya penduduk pribumi menyarankan untuk mendaratkan perahu di pantai sisi utara teluk dan membimbing saya menyusuri pantai itu ke negeri Suli. Saya setuju dengan hal itu. Perahu mengarahkan haluannya ke arah pantai dan berlabuh cukup tinggi di tanah kering, sehingga mereka dapat melompat keluar tanpa tersapu ombak. Tetapi begitu saya berada di pantai, keempat laki-laki itu mendorong perahu kembali ke laut dan melompat naik ke perahu. Dengan cepat dan tangkas, saya menjambak rambut salah satu dari mereka dan melemparkannya kembali ke pantai, dan mengacungkan pedang saya ke dadanya. Sementara itu 3 orang lainnya mendayung ke laut dengan perahu itu, membawa 4 senapan saya dan kotak peluru. Saya memutuskan untuk berjalan ke Suli dengan 1 laki-laki itu. Saya memintanya untuk berjalan di depan dan mengikutinya, dengan pedang di tangan. Segera kami sampai di sebuah sungai, yang harus kami seberangi dan cukup dalam. Sekarang saya ragu, apakah akan membiarkan laki-laki itu menyeberangi sungai di depan saya atau di belakang saya. Jika di belakang saya, maka saya tidak mempercayainya sedikit pun, dan saya berpikir, sebelum saya tiba di tepi sungai, dia mungkin akan memegang kepala saya dan menenggelamkan saya di bawah air dan menghabisi saya, karena seperti orang Ambon, ia mempunyai parang (pedang yang panjang). Jadi saya memutuskan, dia yang berada di depan, sepertinya hal itu yang paling tepat. Setelah menyeberangi 3 sungai tersebut, akhirnya saya sampai di Suli, dengan basah kuyup dan sangat lelah. Laki-laki Ambon itu ditahan, begitu juga dengan 3 orang lainnya, yang tampaknya merasa lebih baik bergabung kembali dengan saya di Suli. Dengan cara ini saya mendapatkan kembali senjata dan kotak peluru saya. Dengan menaiki tandu, saya ke Tulehu, dimana saya tiba pada jam 18.30 sore tanggal 18 Juli 1817. Dari sini, keesokan paginya pada jam 04.00 saya menuju ke Haruku dan tiba pada jam 08.00, dan dimana saya mendapati orang-orang saya di arumbai sudah ceria dan sehat. Kapten Van Driel masih harus menghadapi serangan pada malam hari. Pemberontakan semakin banyak dan berani. Dia memperkirakan jumlah mereka, pada serangan terakhir malam sebelumnya, sebanyak 4000 orang. Dia mendapat banyak bantuan dari para pelaut di bawah komando Letnan 2 Veermanw, yang diperbantukan di kapal “de Zwaluw”, sebuah kapal pedagang Inggris, yang disewa oleh pemerintah Belanda untuk mengumpulkan hasil panen cengkih. Kapal ini sekarang berada di depan benteng di Haruku dan selama penyerangan itu Letnan Veerman telah mengirim anak buahnya ke darat untuk membantu Kapten Van Driel. Veerman mengatakan kepada saya bahwa mengumpulkan cengkih disertai dengan banyak kesulitan, karena negeri-negeri yang memberontak secara alami menolak untuk mengirimkan hasil panen mereka.
Saya ingin membantu Kapten Van Driel dan rekan saya Veerman yang berada dalam posisi sulit, tetapi saya harus kembali ke kapal Maria Reijgersbergen. 8 pelaut Eropa anak buah saya sekarang masing-masing memiliki senapan. Arumbai diperiksa secara menyeluruh, begitu pula senjata dan amunisi, kedua senjata laras pendek juga diperiksa secara menyeluruh, dan pada jam 21.00 malam, ketika bulan telah terbenam, kami berangkat menuju teluk Hatawana. Ketika saya pergi, Kapten Van Driel menyarankan saya untuk sangat berhati-hati, karena, katanya, anda telah beberapa kali dikhianati dan pergerakan anda telah diawasi, jadi anda bisa mengandalkan pengalaman itu. Kami menghadapi musim hujan dan arus yang melawan kami, yang bergerak kuat ke barat, sehingga saya dapat menghitung bahwa kami tidak dapat tiba di kapal sampai tengah hari keesokan harinya. Sebelum kapal bergerak, saya telah menempatkan setiap orang di tempatnya, menginstrusikan mereka bagaimana menggunakan senjata, dan menasehati mereka untuk berhati-hati agar saat mendayung, air tidak membahasi senjata mereka dan terutama pada kunci senjata. Selama malam itu tidak ada yang istimewa terjadi. Kami memang melihat api berkobar dari waktu ke waktu di pegunungan pulau Seram dan di Saparua dan Haruku, seperti dalam perjalanan sebelumnya. Melewati benteng di negeri Pelauw setelah tengah malam, saya menyadari bahwa kami tidak terlalu banyak bergerak maju karena arus yang deras, dan bahwa hari akan semakin larut sebelum kami mencapai posisi perlindungan sasaran tembak senjata dari kapal kami. Terbitnya matahari didahului dengan kemunculan bintang pagi venus di atas cakrawala, bintang cemerlang yang pernah saya lihat ini, baik pagi maupun sore hari. Ketika langit timur berangsur-angsur menjadi lebih terang, kami dapat melihat lebih jelas di depan kami, dan kami segera menyadari bahwa ada barisan kapal yang telah memposisikan dirinya secara melintang di depan kami. Saya berharap bendera putih yang masih berkibar di tengah kapal, akan melindungi kami dari serangan musuh, tetapi saya segera menyadari bahwa awak kapal tersebut sangat bermusuhan. Mereka mengibarkan bendera merah di kapal mereka, mereka menari dan berteriak seperti orang gila, melambai-lambaikan klewang mereka dan menembak ke arah kami, yang bagaimanapun tidak mengenai kami. Jadi jika anda ingin bertarung, pikir saya, maka bendera putih harus diturunkan/dibuang ke laut, dan kemudian saya mengambil tiang bendera dan melemparkannya ke laut bersama benderanya. Kemudian saya berkata kepada anak buah saya : “Teman-teman, di sini kita harus melakukan apa yang kita bisa dan mempertahankan hidup kita sepenuhnya, biarkan masing-masing melakukan apa yang saya perintahkan”. “Kita harus kembali”, kata salah seorang pelaut. “Siapkan senjatamu, mandor!!, tetap maju lurus pada kapal besar itu dan sekarang dayunglah dengan sekuat tenaga. Perahu yang saya miliki di depan saya, berjumlah 6 buah, yang diatur dalam barisan, sementara perahu lainnya, diawaki oleh serdadu. Sementara itu kami mendayung ke arah mereka dengan cepat. Tembakan dilepaskan ke arah kami, tetapi tidak satu pun dari kami yang terkena. Ketika saya berada dalam jangkauan tembakan pistol ke arah kapal terbesar mereka, saya memerintahkan “posisi berlabuh” dan, ketika mandor memiringkan perahu arumbai kami ke depan, saya memerintahkan “tembak”. Peluru dari 4 senjata menghantam kerumunan orang, karena kapal mereka didayung oleh 3 barisan pendayung yang saling berhadapan. Bersama dengan tembakan itu, saya menembak menggunakan senapan berlaras pendek ke arah buritan, yang sarat dengan muatan, menimbulkan ledakan yang mengerikan di kapal mereka. Berkat pengelolaan mandor yang sangat baik dengan dayung kemudinya, perahu kedua juga mendapat bagiannya, kali ini dari sisi kanan, dan tembakan senapan berlaras pendek di bagian haluan, yang dilakukan oleh pemimpin armada kami, tidak kalah efektifnya. Tembakan ini tampaknya tidak diharapkan oleh musuh kami. Mereka membiarkan dayung mereka tergantung, seolah-olah lengan mereka tiba-tiba lumpuh, sementara erangan keras terdengar. Salah satu perahu di bagian belakang, mecoba menghalangi jalan kami, tetapi tembakan lain dari senapan berlaras pendek dari bagian buritan bersama dengan tembakan dari pistol saya, membuat mereka berbalik mundur. Sekarang pemimpin armada dan saya juga mengambil alih kemudi dan bergerak maju dengan kecepatan luar biasa. Perahu pihak musuh memang mengejar kami, tetapi mereka kehilangan terlalu banyak waktu untuk memindahkan korban tewas dan terluka ke perahu lain untuk mengejar kami, sehingga kami melihat mereka mengirim satu demi satu perahu kembali ke pantai dan menghilang di teluk wilayah itu. Belakangan saya mengetahui bahwa kedua pemimpin skuadron perahu itu, saat kembali ke rumah, dipenggal kepalanya oleh pemimpin pemberontak karena hasil pertempuran yang menentukan. Pemimpin ini adalah Thomas Matulesia yang terkenal kejam, seorang Ambon, berusia sekitar 34 tahun, bertubuh tinggi dengan penampilan tegas dan serius. Di masa pemerintahan Inggris, dia pernah bertugas di kesatuan Milisi Pribumi, dan dikatakan memiliki bakat militer. Selain itu, ia memiliki ketrampilan menembak jitu yang sangat baik dan mahir menggunakan semua senjata. Dia telah menanamkan rasa hormat dan kekaguman yang besar pada rakyat. Pemimpin-pemimpin di bawahnya tidak berani menentang atau tidak mematuhi perintahnya. Dia menuntut kepatuhan yang ketat dan tak henti-hentinya dalam bentuk hukuman.
====== bersambung ======
Catatan kaki
1. Semoga Residen tidak dibebaskan dari kesalahan dalam pemerintahannya, sulit untuk berasumsi bahwa di dalamnya harus dicari penyebab utama pemberontakan, apalagi jika menganggap penyerahan pemerintahan Inggris di Ambon oleh Gubernur Martin kepada Komisaris Belanda, Engelhard dan Van Middelkoop pertama kali terjadi pada tanggal 24 Maret, kurang dari sembilan minggu sebelum pecahnya pemberontakan. Firasat signifikan dari suasana hati yang paling tidak puas telah muncul di bawah Pemerintahan Interegnum Inggris, dan juga sebelum itu di bawah pemerintahan Daendels, dan bahkan lebih awal. Pada 1806 telah terjadi pemberontakan di Siri-Sori di sebelah tenggara dari ibu kota Saparoea dan setelah tahun 1810 Gubernur Inggris Martin secara pribadi meyakinkan dirinya sendiri tentang fermentasi yang ada di Oma dan Aboro di pulau Haroekoe. (Catatan dari editor Journal.)
2. [Istilah] kaki piring merupakan simbol yang merujuk pada jam “istirahat” yang berlangsung pada jam 16.00 – 20.00 malam
3. Seperti diketahui, penduduk pulau rempah-rempah sebagian besar adalah orang kafir yang memeluk agama Kristen. Beberapa desa yang menganut agama Islam (Mohammedan) dari zaman kuno tetap menjadi orang Islam (Mohammedan).
Catatan Tambahan
a. Kapten Laut Dietz, yang dimaksud adalah Kapten Laut Dirk Hendrik Dietz, lahir pada tahun 1766 di Bemmel dan meninggal dunia pada 24 Maret 1817 di atas kapal Evertsen yang sedang berlabuh di teluk Ambon. Kapten Laut Dietz menjadi komandan kapal “de Maze” sejak 1 Oktober 1814 – 20 September 1815, kemudian menjadi komandan kapal “Admiraal Evertsen” sejak 20 September 1815 – 24 Maret 1817, sekaligus komandan armada yang membawa para Komisaris untuk proses pengambil alihan wilayah Maluku dari tangan Inggris dan komandan militer angkatan laut untuk perairan Maluku
b. Kapten Laut Sloterdijk, yang dimaksud adalah Kapten Laut Jacobus Sloterdijk, lahir pada 7 Juli 1766 di Makkum dan meninggal dunia (bunuh diri) pada 30 September 1817 di Ambon. Ia menjadi komandan kapal “de Nassau” sejak 6 April 1815 – 30 September 1817. Sejak kematian Kapten Laut D.H. Dietz pada 24 Maret 1817, ia menjadi komandan militer angkatan laut untuk perairan Maluku
c. Kapten Groot, yang dimaksud adalah Kapten Laut Jan Groot, lahir pada 10 April 1777 di Hoorn dan meninggal dunia pada 19 Februari 1821 di Tanjung Harapan Afrika Selatan. Ia menjadi komandan kapal “Maria Reijgersbergen” sejak 14 Januari 1817 – 25 Agustus 1819.
d. Rumah Resident atau Gubernur Maluku berlokasi di Batugajah, bukan di Batumerah
e. Resident Nijs, yang dimaksud adalah Johannes Alexander Neijs, lahir di Sumenep, Madura, pada 21 Februari 1775 dan meninggal dunia pada 27 Juni 1835 di Ternate. Pada masa pemerintahan Inggris, ia menjadi Resident van Manado (1812 – April 1815), Resident van Saparua (Agustus 1816 - ??), Kepala Administrasi Gubernemen Maluku (1816 – 5 April 1817). Ia menjadi Resident van Ternate sejak 30 April 1817 untuk menggantikan William Gordon Mackenzie, Resident van Ternate asal Inggris (1816 – 30 April 1817)
f. Lissamatula, terkadang ditulis Lissamatuda, Lissamatule atau sebenarnya Lifumatola adalah kepulauan di sisi barat kepulauan Sula
g. Sultan Tidore yang dimaksud adalah Mohamad Thaher/Tahir (1810 – 1821). Ia dikenal dengan Prins Mossel, lahir pada tahun 1755, putra dari Mohamad Mashud Djamaludin, Sultan Tidore (1757 – 1779/1780)
h. Tuan Duivenbode yang dimaksud adalah Dirk Maarten Duivenbode, lahir pada 2 Juni 1771 di Katwijk, dan meninggal di Ternate pada 24 Juni 1838. Ia menikah dengan Anthoinetta Hemmekam, putri dari François Bartholomeus Hemmekam dan Johanna Agatha Constantina van Renesse. François Bartholomeus Hemmekam, adalah Secunde Gouvernment VOC Moluccas/Ternate.
i. Resident van Ternate asal Inggris yang dimaksud adalah William Gordon Mackenzie (1816 – 30 April 1817), lahir pada 9 Mei 1785 di Edinburg dan meninggal dunia pada 20 Juni 1842 di Bengal India
j. Komandan kapal Inggris “Antelop” adalah Letnan Laut John Hall.
k. Sultan Ternate, yang dimaksud adalah Mohamad Ali (1807 – 1821).
l. Kapten Muilman yang dimaksud adalah Kapten Willem Frederik Muijlman, lahir di s’Gravenhage pada 15 April 1790. Ia menjadi komandan militer di Ternate pada tahun 1817.
m. Tuan Moores yang dimaksud adalah Johannes Hubertus Jacobus Moores, lahir di Nijmegen pada 1 April 1783 dan meninggal di Ambon pada 4 September 1838. Pada saat pemerintahan Gubernur J.A. van Middelkoop, ia menjadi Wakil President Raad van Justitie Ambon.
n. Letnan muda ‘t Hooft yang dimaksud adalah Letnan muda kelas 2 François Xavier Richard ‘t Hooft, lahir pada 20 Oktober 1799 di Dordrecht dan meninggal dunia pada 16 Maret 1860 di Dordrecht. Ia bertugas di kapal Evertsen sejak 1 Desember 1816 – 4 Desember 1819.
o. Komandan Pool yang dimaksud adalah Letnan Kapten Laut Johannes Marinus Pool, lahir pada 24 September 1778 dan meninggal dunia pada 14 November 1827 di Zaltbommel. Ia menjadi komandan korvet Iris sejak 1 Jan 1817 – 1819.
p. Letnan komandan kelas 1, Ellinghuisen yang dimaksud adalah Letnan 1 laut Andries Adolf Ellinghuizen, lahir pada 6 November 1787 di Gouda dan meninggal pada 16 Desember 1836 di Batu Gadjah Ambon. Ia bertugas di kapal Maria Reijgersbergen sejak 2 Februari 1817 – 30 November 1818, saat Benteng Duurstede direbut pada tanggal 3 Agustus 1817, ia ditunjuk sebagai Komandan militer Benteng Duurstede sejak 3 Agustus 1817 – 3 September 1817. Ia nantinya menjadi Gubernur Maluku pada Desember 1829 – 16 Desember 1836
q. benteng kecil di Pelauw adalah benteng Hoorn atau Nieuw Hoorn
r. Kapten infantri Van Driel yang dimaksud adalah Petrus Laurentius van Driel, lahir pada 12 Agustus 1782 di Utrecht dan meninggal di Voorst pada 31 Januari 1831. Ia menjadi Komandan garnisun di Haruku sejak Mei – November 1817, kemudian menjadi penjabat Resident van Haruku (Agustus – November 1817).
s. Letnan muda kelas 1, W.D. Musquetier yang dimaksud adalah Willem Daniel Musquetier, lahir pada 19 Juli 1799 di Rotterdam dan meninggal dunia pada 18 Maret 1849 di Batavia. Ia bertugas di kapal Evertsen sejak 1 Juni 1815 – 4 Desember 1819
t. Sekretaris Boomhouwer yang dimaksud adalah Charles Mathieu atau Carel Mathias Baumhauer, lahir pada 5 September 1779 di Amsterdam dan meninggal dunia pada 9 Mei 1834 di Batavia. Ia menjadi Sekretaris Komisaris Pengambilalihan Wilayah Maluku pada tahun 1817.
u. Komandan Kraijenhof yang dimaksud adalah Letnan Kolonel Infantri Cornelis Johannes Kraijenhof, lahir pada 16 Juli 1778 di Timor dan meninggal dunia pada 21 Juni 1821 di Semarang. Ia menjadi komandan militer Gubernemen Maluku pada 1817 – 1818
v. Mungkin Orangkaija van Passo, Christofel Johannes Simauw
w. Letnan 2 Veerman yang dimaksud adalah Willem Leonardus Veerman, lahir pada 3 Februari 1793 di Vlaardingen dan meninggal dunia pada 9 Juli 1824. Ia bertugas di kapal Evertsen sejak 9 Januari 1815 – 4 Desember 1819
Tidak ada komentar:
Posting Komentar