[Ir W. Buijze]
A. Kata Pengantar
Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal dengan nama samaran Multatuli, dalam kehidupan karirnya sebagai seorang ambtenaar Pemerintah Hindia Belanda, pernah bertugas di Gubernemen Maluku yaitu di Ambon. Sebelum bertugas di Ambon, ia bertugas di Menado, menjadi Sekretaris Karesidenan Menado selama 2 tahun, dan kemudian menjadi Assisten Resident van Lebak. Di tempat tugas inilah, ia menulis buku kritikan tajam, berjudul Max Havelaar.
Meski bertugas di Ambon tidak lama, ada hal menarik jika kita membaca tulisan pendek dari W.Buijze ini. Tulisan pendek ini berjudul Multatuli op Ambon, dimuat dalam sekumpulan tulisan yang diberi judul Over Multatuli, deelen (volume) 38-39, yang diterbitkan oleh Huis aan de Drie Grachten, Amsterdam, tahun 1997, halaman 16-22. Tulisan pendek ini menceritakan tentang rumah yang ditinggali Multatuli selama ia berada di Ambon. Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu bahwa Multatuli pernah tinggal di wilayah Tanah Tinggi di kota Ambon. Pada masa Multatuli atau Douwes Dekker itu, kawasan Tanah Tinggi, Ambon, disebut [kawasan] jalan Nekkebrekerssteeg. Menariknya lagi, bahwa Douwes Dekker atau Multatuli tinggal di rumah yang dulunya pernah ditinggali oleh sang Rasul Maluku, Joseph Kam, dalam tahun 1815-1816.
Kami tertarik untuk menerjemahkan tulisan pendek ini, dengan tujuan agar kita mengetahui bahwa di masa lalu, banyak figur-figur besar dalam sejarah yang pernah bertugas dan tinggal di Ambon. Selain itu, tulisan ini dimaksudkan agar ada kepedulian dari kita atau pihak otoritas, dalam hal ini pemerintah Maluku untuk merawat, melestarikan situs-situs “histori”, yang telah membentuk sejarah dan kehidupan orang-orang Maluku di masa lalu.
Pada penerjemahan tulisan ini, kami hanya menambahkan beberapa catatan tambahan, disamping 6 foto/gambar yang telah disisipkan oleh penulis dalam tulisannya. Semoga tulisan pendek ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
B. Terjemahan
Pada akhir Februari 1852, [Eduard Douwes] Dekkera tiba di tempat kerjanya di Ambon, dimana ia diangkat sebagai Assisten Residentb. Ia datang dari Menado di Minasaha, Sulawesi. Dia akan tinggal di Ambon sampai dia berangkat ke Belanda pada tanggal 24 Juli 1852 dengan kapal “Harmonie” melalui Banda dan Jawa.
Selama hampir 5 bulan tinggal di kota Ambon, ia tinggal di sebuah rumah di lingkungan yang sekarang masih dikenal sebagai Tanah Tinggi, atau “hooggelegen grond”. Rumahnya berada di jalan Nekkebrekerssteeg di sudut jalan Poeloe Gangsa (Poeloe Gangsaweg), sebutan jalan pada masa Multatuli/Douwes Dekker. Jauh sebelum perang dunia II, jalan-jalan ini masing-masing berganti nama menjadi Burgemeester Schutstraat dan Tanah Tinggistraat. Di masa kini, nama jalan-jalan itu berubah nama menjadi Jalan Benteng Kapaha dan Jalan W. R. Supratman.
Ada foto rumah Multatuli di Perpustakaan Rumphius – yakni Rumphius Bibliotheek op Ambonstad – yang dikelola oleh mantan uskup Maluku, Monseigneur A.P.C. Sol MSc. Foto nomor 1 ini, mungkin diambil/dibuat sekitar pergantian abad. Itu adalah foto rumah batu Hindia kuno klasik dengan atap daun palem kering, yang masih sangat umum di Maluku, dan disebut “gabah-gabah” di sana.
Secara formal, atap rumah seperti itu dilarang sejak kebakaran hebat tanggal 11 Januari 1687 di Ambon yang meluluhlantakkan kota itu menjadi abu. Dalam kebakaran itu, hampir seluruh perpustakaan dan koleksi ahli biologi terkenal, G.E. Rumphius (1627 – 1702) terbakar. Namun, karena bahaya atap genteng runtuh saat gempa sering terjadi, peraturan ini sering diabaikan.
A.Th. Manusamac – ini bukan pemimpin Maluku yang baru saja meninggal di Belandad – menerbitkan peta rumah ini pada tanggal 31 Mei 1930 di majalah Batavia “Actueel Wereldnieuws” (lihat VW IX, hal 250).
Saat membandingkan foto 1 dan peta, sangat mengejutkan bahwa foto rumah di sepanjang jalan Pulo Gangsa itu menunjukan 2 jendela, sementar Manusama menggambar ada 3 jendela di peta. Dia menggambar jendela tambahan di dinding luar galeri bagian dalam, juga dikenal sebagai “teras” atau voorhuis. Jendela ketiga seperti itu juga tidak diperlukan, karena vorhuis atau teras menerima cahayanya melalui jendela di beranda depan. Jendela ketiga di teras di seberang, yang menghadap ke taman, juga tidak ada. Pada gambar (2) yang saya tampilkan, jendela tersebut telah “hilang”.
Rumah Multatuli sudah tidak ada lagi sejak pengeboman besar kota Ambon oleh Amerika pada tanggal 24 Agustus 1944 yang menghancurkan hampir seluruh kota. Rumah itu ada kemungkinan masih ada tembok yang tersisa karena tuan H.J.Z. Pirsouw memberi tahu saya bahwa setelah perang, rumah lain telah dibangun di sana tempat dia belajar. Dia juga tahu persegi segitiga di depannya, dimana ada pohon besar saat itu. Rumah itu sudah menghilang. Betapa mirisnya situasi yang ada pada saat ini terlihat jelas pada foto nomor (3). Snapshoot ini diambil dari tempat yang hampir sama dengan foto nomor 1. Soalnya, semuanya telah hilang dan hanya bisa dikenali – semua di sebelah kiri – jembatan Pulo Gangsa di atas sungai Way Tomo. Sejak abad ke-17, orang melewati jembatan ini ke rumah sakit milik VOC, yang tentu saja sudah lama menghilang.
Foto nomor 4 diambil dari jembatan ke alun-alun segitiga di ujung Nekkebrekerssteeg. Bangunan besar yang terlihat adalah hotel Manise, yang juga berdiri di alun-alun yang telah menghilang. Tempat parkir becak di lokasi galeri depan yang lama dan bekas depan rumah, menunggu tamu-tamu hotel.
Foto nomor 6 menunjukkan bagian-bagian situs pada tahun 1996. Sketsa Manusama menunjukkan tempat dimana sebuah sumur akan berada. Dr. C.J. Heij, yang mengunjungi situs tersebut atas permintaan saya dan mengambil gambar di sana, menyebut bahwa ada sebuah sumur, tetapi terletak di tempat yang telah saya gambar di peta saya (nomor 2). Sangat tidak mungkin bahwa ketika sebuah rumah baru dibangun di atas fondasi lama setelah perang, sebuah sumur baru akan digali, sementara sudah ada sebuah sumur meski jaraknya sedikit jauh. Mereka yang – seperti saya – tinggal di Hindia Belanda sebelum perang, menemukan lokasi baru antara rumah dan bangunan tambahan jauh lebih dapat diterima. Sumur memiliki usia panjang. Sumur sebaiknya ditempatkan di antara bangunan dan bukan di tengah taman. Dari beranda belakang, pemandangan taman akan dimanjakan oleh sumur tempat air diambil. Jadi sepertinya Manusama menggambar sumur itu di tempat yang salah. Foto terbaru (nomor 5) menunjukkan sumur yang ada sekarang. Kemungkinan besar itu satu-satunya yang tersisa dari rumah Multatuli. Situs tersebut kini dimiliki oleh TELKOM yang ingin membangun di sana. Sebentar lagi sumur ini juga akan hilang.
Cerita Hantu
[Douwes] Dekker percaya bahwa rumah di Nekkebrekerssteeg pernah menjadi rumah pendeta di masa VOC yang terkenal, Francois Valentijn (1660?? – 1727e), penulis Oud en Nieuw Oost-Indie. Ia juga dianggap mencuri surat-surat, antara lain karya Rumphius. Mimi (VW IX, hal 244) mengatakan bahwa Dekker berpikir bahwa meja besar dengan bagian atas yaitu marmer yang dia temukan di rumah itu, mungkin cocok dengan Valentijn. Tidaklah pasti bahwa Valentijn pernah tinggal di rumah itu.
Eduard Douwes Dekker (1820 - 1887) |
Yang pasti adalah, pendeta Joseph Kam (1769 – 1833)f, tinggal di rumah itu sejak 3 Maret 1815 hingga awal tahun 1816. Ketika Joseph Kam tiba di Ambon, terjadi kekurangan perumahan, tetapi rumah di Nekkebrekerssteeg kosong. Dikenal sebagai rumah berhantu sejak penghuni terakhir, Mr Hoekstra, meninggal di sana. Enklaar, yang adalah seorang pengkhotbah selama bertahun-tahun di abad ke-20g, melaporkan bahwa Kam tidak memperdulikan hal ini. Setelah makan malam dan berdoa, dia pergi beristirahat. Pada tengah malam, 2 kaki dan lengan manusia jatuh dari langit-langit rumah dengan bunyi gedebuk, diikuti oleh tubuh dan kepala. Bagian-bagian tubuh itu menyatu dan di sana berdiri pria Eropa bernama Hoekstra. Dia kemudian mengucapkan kata-kata berikut, menurut kepercayaan populer di Ambon sebelum perang : “Kamu adalah utusan Tuhan, itulah sebabnya saya meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Harta yang kusembunyikan adalah untukmu”. Kam kembali tidur dan sesungguhnya – setidaknya menurut cerita goena-goena – Kam kemudian menemukan “ribuan real”. Dia akan menggunakannya untuk membangun panti asuhan. Enklaar merekam cerita serupa lainnya tentang Haman Perdido, yang dikutuk oleh ibunya dan kemudian meninggal. Tidak mungkin menguburnya, bumi tidak menerima mayatnya. Arwahnya sudah lama berkeliaran di lingkungan Tanah Tinggi. Dia berjalan dengan anglo dengan arang menyala di kepalanya. Tentu saja dia menangis sedih; itu benar-benar seperti darah kental. Tapi Joseph Kam dengan terampil membebaskannya dari kutukannya dengan doa. Dia bisa dimakamkan. Setahu saya, cerita-cerita itu sudah mulai menghilang di Ambon. Goena-goena, sebaliknya, masih tumbuh subur di sana. Bahkan seorang kepala universitas mengubur benda-benda di taman orang lain di bawah sinar bulan untuk menyelesaikan sesuatu dengan roh.
Kam adalah orang yang, setelah kemunduran Gereja Maluku sejak hari-hari kebangkrutan VOC dan setelah masa-masa penuh gejolak dengan banyak pergantian otoritas, kehidupan baru kembali bernafas dan memberi gereja suatu dorongan. Dia sangat dihormati dan disebut “Rasul Maluku”. Itu juga judul buku yang ditulis oleh Enklaar tentang pria ini pada tahun 1963. Ini hanya ada hubungannya dengan Multatuli, bahwa kedua orang besar itu tinggal di rumah yang sama. Namun ada hal lain : Joseph Kam di Ambon memiliki seorang putra bernama Joseph Karelh. Putranya ini juga menjadi pendeta dan juga diangkat untuk bertugas di Ambon. Dari tahun 1847 sampai 1854, Joseph Karel Kam (1819 – 1898) tinggal di Ambon.
Dekker pertama kali bertemu dengan putra Joseph Kam di Menado, ketika Joseph Karel menghabiskan beberapa bulan di sana. Dekker membayarnya dengan alasan yang belum bisa dijelaskan, “tanpa kuasa” sejumlah fl. 360 sebagai “tunggakan gaji untuk bulan Agustus 1849”. Gub Jend Hindia Belanda, Duymaer van Twisti, Pengadilan Auditor dan Menteri Koloni terlibat dalam urusan keuangan ini. Menurut VW IX (dari hal 267-276), urusan ini berlangsung bertahun-tahun. Kontak kedua dengan Kam ini terjadi di Ambon, dimana dia harus bertemu dengannya. Rupanya, furnitur yang dimiliki Dekker di rumah di Nekkebrekerssteeg itu masih milik keluarga Kam. Hal ini terlihat dari penyelesaian dengan J.K. Kam, yang dapat ditemukan di halaman 261 dari VW IX untuk pembayaran kepada mereka untuk furnitur yang ditentukan lebih lanjut di sana. Sungguh luar biasa bahwa jika kalian memeriksa pernyataan Dekker, dapat melihat bahwa Joseph Karel kekurangan 40 sen.
Multatuli dan Ambon sekarang
Kita bisa singkat tentang hal itu. Multatuli hanya dikenal di sana oleh sekelompok orang yang telah berkurang dengan cepat yang masih mengenyam pendidikan Belanda. Joseph Kam, di sisi lain, tentu saja tidak dilupakan.. Kemudian sekitar 10 tahunan yang lalu kuburan tua Eropa di belakang Soya akan dibersihkan seluruhnya, kuburan Joseph Kam “dibiarkan” sebagai satu-satunya kuburan akibat protes umum. Demikian pula, jika permainan suling terdengar dari gereja-gereja Maluku, ini bisa dianggap sebagai penghormatan kepada Kam. Dia adalah orang yang memperkenalkan suling di kebaktian gereja. Tidak ada uang untuk membeli organ, dan suling itu murah. Saya sekarang menyelidiki sejauh mungkin, pada waktunya, sebuah plakat kecil ditempatkan di fasad bangunan yang sedang didirikan di lokasi rumah Multatuli dan Kam. Plakat hanya untuk Multatuli tidak akan berhasil. Bersama Joseph Kam, mungkin ada peluang.
Terima kasih kepada: Dr. C.J. Heij, H.J.Z. Pirsouw dan Mgr. A.P.C. Sol Msc.
======== selesai ========
Catatan Tambahan
a. [Eduard Douwes] Dekker lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, dan meninggal dunia pada 19 Februari 1887 di Nieder-Ingelheim. Ia adalah putra dari Engel Douwes Dekker dan Sietske Eeltjes Klein. Eduard Douwes Dekker menikah dengan Everdina Huberta baronesse van Wijnbergen pada 10 April 1846, putri dari C.F.J.P. van Wijnbergen dan M.A. Fischer. Ia lahir pada 27 September 1819 di Antwerpen, dan meninggal dunia pada 13 September 1874 di Venesia. Setelah istrinya meninggal dunia, Douwes Dekker menikah lagi dengan Maria Hamminck-Schepel pada tanggal 1 April 1875 di Rotterdam. Sebelum bertugas di Menado, ia adalah komisaris di algemene rekenkamer (1840 – 1842), Controleur van Natal di Pantai Barat Sumatera (1842 – 1843), controleur di Padang (1843 – 1844), Sekretaris Karesidenan Menado (1849 – 1851).
b. Sejak tanggal 8 Oktober 1851, Douwes Dekker diangkat sebagai Assistent Resident, President Raad van Justitie van Ambon dan Komandan Schutterij Ambon di Gubernemen Maluku.
§ Besluit gouverneur-generaal (Duymaer van Twist) 8 oktober 1851 no. 1, Batavia. Afschrift. NA, KoloniĆ«n 2.10.02, 7126.
§ Almanak en Naamregister Van Netherlandsch-Indie voor 1852, ter Lands-Drukkerij, Batavia, 1852, hal 85
c. A.Th. Manusama atau Alvares Theodorus Manusama diketahui lahir pada tahun 1878 dan meninggal tahun 1938, putra tertua dari Johanis Alvaris Manusama (1850 – 1910) dan Zusana Abigail Makatita (1853 -???).
d. Johannes Alvares Manusama (1910-1995), President RMS di pengasingan yang meninggal tahun 1995
e. Menurut sumber yang lebih valid, Francois Valentijn lahir pada 17 April 1666.
f. Joseph Kam (1769 – 1833), dibaptis pada tanggal 19 September 1769 di Hertogenbosch, dan meninggal dunia di Ambon pada 18 Juli 1833. Joseph Kam menikah di Ambon pada tanggal 28 April 1815 dengan Sara Maria Timmerman, putri dari Carel Laukens Timmerman dan Barbara Geetruida Twijsel, yang lahir di Ambon pada 25 Oktober 1796 dan meninggal dunia pada 13 Desember 1858 di Ambon.
g. Pendeta I.H. Enklaar bertugas di Ambon sejak 1937 – 1941
h. Joseph Karel Kam, lahir di Ambon pada 18 November 1819 dan meninggal dunia di Sukabumi (Jawa Barat) pada 6 September 1898. Ia menikah di Menado pada 18 Juli 1849 dengan Elisabeth Alexander Cambier, putri dari Joan Pieter Cornelis Cambier dan Wilhelmina Neijs, yang lahir di Menado pada 7 Mei 1832 dan meninggal dunia di Sukabumi pada 10 Mei 1920.
i. Duymaer van Twist yang dimaksud adalah Mr Albertus Jacobus Duymaer van Twist, Gubernur Jend Hindia Belanda sejak 1851 – 1856.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar