Minggu, 30 April 2023

De Opstand van Saparoea : 15 Mei 1817 - 1917

[A. Th. Manusama]

 

  1. Kata Pengantar

Setelah perang Pattimura berakhir dengan dieksekusinya Thomas Matulesia beserta pemimpin-pemimpin perang lainnya, selama 1 abad kemudian, hampir tidak ada tulisan mengenai Perang itu yang ditulis oleh penulis Indonesia, yang tulisannya bisa dibaca secara luas oleh pembaca di Indonesia. Yang ada hanyalah tulisan orang-orang Belanda yang tulisannya diterbitkan di Belanda, dan bisa dibaca oleh sangat sedikit orang Indonesia yang mampu untuk mendapatkannya. Tulisan oleh Ver Huell tahun 1835-1836, tulisan Van Doren yang diterbitkan tahun 1857, tulisan van der Kemp tahun 1911-1915, adalah contoh-contoh yang dimaksud.

Mungkin, dan sepanjang yang diketahui, penulis orang Indonesia pertama yang menulis tentang Perang Pattimura, meskipun tidak panjang lebar adalah Alvares Theodorus Manusama (1878-1938)a, seorang figur nasionalis pada paruh pertama abad ke-20. A.Th. Manusama ini dikenal sebagai seorang penulis yang pernah menulis tentang Douwes Dekker atau Multatuli pada tahun 1916b, tulisan tentang figur Stephen de Lima tahun 1917c, tulisan tentang Ambon Studiefonds tahun 1917d, tulisan tentang lagu-lagu keroncong pada tahun 1918-1919e, tulisan tentang komedi stambul tahun 1922f, tulisan tentang ilmu hitam (guna-guna) tahun 1923g, tulisan tentang Njai Dasima tahun 1926h

Pada hari Selasa tanggal 15 Mei 1917, tepat 1 abad setelah perang Pattimura atau pemberontakan Saparua tahun 1817, tulisan A.Th. Manusama diterbitkan di koran berbahasa Belanda, yaitu Bataviaasch Nieuwsblad, edisi hari Selasa 15 Mei 1917, no 183, tahun 1917. Manusama menulis artikel pendek yang panjangnya hanya 3 kolom tentang pemberontakan yang terjadi di Pulau Saparua 1 abad sebelumnya. Tulisan ini bahkan lebih awal dari tulisan M. Sapija, F. Hitipeuw dan I.O. Nanulaita yang juga menulis tentang Thomas Matulesia dan perjuangan rakyat Saparua.

Meskipun hanya berupa tulisan pendek, tapi jika dibaca ada beberapa informasi yang mungkin terdengar “baru” dan “informatif” buat kita di masa ini. Misalnya, tempat hukuman gantung Thomas Matulesia, pakaian yang digunakan mereka saat digantung, mahkota bunga yang melingkari kepala para terpidana hukuman mati dan keberadaan jenazah Thomas Matulesia. 

Kami merasa perlu menerjemahkan tulisan pendek ini, untuk mendapatkan gambaran atau perspektif tulisan tentang Thomas Matulesia dan perjuangannya yang muncul pada paruh pertama abad ke-20, juga memahami berbagai cerita yang telah berkembang selama 1 abad sebelum tulisan pendek dari Manusama ini dipublikasikan tersebut. Pada hasil terjemahan ini kami hanya menambahkan beberapa catatan tambahan dan beberapa ilustrasi saja. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat buat kita di saat-saat akan memperingati perjuangan Thomas Matulesia dan rekan-rekannya tahun 2023 ini.

 

  1. Terjemahan

Hari ini, 15 Mei 1917, tepat 100 tahun yang lalu, jauh di timur Nusantara ini, di Saparoea, di bekas Gubernemen Ambon (Maluku)i, terjadi pemberontakan yang tentunya meninggalkan jejak yang tidak terhapuskan dalam sejarah Nusantara. Oleh karena itu, kami [penulis] menganggap layak untuk memberikan pembaca majalah [koran] ini, sketsa sepintas perang itu, alasan pemberontakan itu dan selanjutnya terutama diskusi tentang orang-orang yang memainkan peran utama di dalamnya, dan eksekusi mereka.

Pembaca yang tertarik dapat menemukan beberapa detail dalam karya ekstensif J.B.J. van Doren dan P.H. van der Kemp, masing-masing berjudul: “Thomas Matulesia [Amsterdam, 1857] dan “Het Nederlands Indisch Bestuur in het midden van 1817 [s’Gravenhage, 1915]. Perang Saparoea berawal dari fakta bahwa setelah penyerahan Kepulauan Ambon oleh Inggris kepada Belandaj, yang kemudian memperkenalkan institusi dan penyelewengan, seperti pemusnahan perkebunan cengkih dan pala, operasi pelayaran hongi, kejengkelan penduduk melalui segala macam tuduhan dan layanan yang cerdik, sehingga orang-orang sangat jengkel dan akhirnya menyalakan api pemberontakan dibawah pimpinan Thomas Matulesia yang nasional.

Ini terjadi pada tanggal 15 Mei 1817. Perang ini, dimana hampir seluruh penduduk dari 3 pulau Oeliassers – yaitu Haruku, Saparua dan Nusalaut – sebagian pulau Ambon dan beberapa keturunan Eropa di wilayah tersebut, serta Alifuru dari Seram, ikut ambil bagian, membuat Pemerintah Belanda sangat kerepotan, dan pemberontakan itu hanya dapat dipadamkan dengan susah payah setelah berlangsung 6 bulan. Pulau kecil Saparoea – tanah kelahiran dari Matulesia yang disebutkan di atas – yang penduduknya sangat fanatik dan cenderung melakukan perlawanan, kemudian menjadi pusat gerakan revolusioner.

Resident Van den Berg, yang saat itu berada di ibukota yaitu [negeri] Saparaoea, beserta keluarganyak, serta semua orang Eropa, baik di dalam maupun di luar benteng “Duurstede”, kemudian dibunuh oleh para pemberontak. Hanya melalui keadaan khusus dan melalui perantaraan salah satu pemimpin pemberontakan – dikatakan bahwa orang ini adalah salah satu regent yaitu dari negeri Ouw atau Tiouwldiketahui salah satu anak (anak laki-laki) dari sang Resident tersebut diselamatkan dalam keadaan hidup. Anak ini kemudian diekstradisi setelah perang berakhir dan dikirim ke Belanda oleh pemerintah, dimana ia kemudian menyandang nama : Van den Berg van Saparoea di kemudian harim. Selain itu, banyak perwira dan serdadu yang ikut dalam ekspedisi yang dikirim ke sana menjadi korban, termasuk komandannya sendiri, yaitu Mayor Beetjesn

Setelah pertempuran berdarah sekitar 6 bulan, perang ini bisa dianggap selesai. Para pemimpin pemberontak ditangkap hanya dengan kelicikan, serta banyak pendukungnya dikirim ke Ambon, mereka diadili dan dihukum. Saparoea harus menyaksikan bahwa banyak pemimpin dan putra-putranya yang gagah berani menaiki tiang gantungan demi hak-hak nasional, atau sebaliknya dihukum dan diasingkan jauh dari tanah kelahiran mereka. Berapa banyak anak yang menjadi yatim piatu, berapa banyak istri yang kehilangan suami, dan berapa banyak ibu yang menangisi putra-putra mereka, yang pergi ke tempat pengasingan untuk tidak pernah lagi melihat tanah air tercinta.

Hukuman mati berupa digantung kemudian disebut kepada :

1.     Thomas Matulesia : panglima pemberontakan, seorang laki-laki, lahir di negeri Haria di Pulau Saparoea, yang baru saja berpangkat Sersan Mayor di Milisi Pribumi di masa pemerintahan Inggris. Sesaat sebelum pemberontakan, dia dinyatakan sebagai pemimpin oleh rakyat dan, karena dia merasa sakit hari terhadap pemerintahan Belanda pada masa itu, dia telah berjuang sekuat tenaga dengan kepahlawanan dan ketrampilannya demi tanah air yang tertindas dan terhina. Dia mengambil alih pemimpin utama dari berbagai kelompok serdadu dan melakukan korepondensi rahasia dengan banyak pemimpin pribumi, juga di luar wilayah Ambon (termasuk pemimpin Bali). Ia dijuluki Patimoera oleh penduduk.

2.     Anthonij Ribok : kemungkinan besar ia adalah mestizo (anak dari ayah Eropa dan ibu seorang pribumi). Ribok adalah orang burger di [negeri] Saparoea

3.     Philip Latumahina : juru tulis di kantor karesidenan Saparoea, seorang nasionalis yang sangat bersemangat dan penduduk [negeri] Saparoea, dan..........

4.       Saijad Printa : Radja negeri Siri-Sori di Pulau Saparoea 

Tiga orang terakhir ditempatkan oleh Matulesia sebagai komandan dari berbagai divisi penyerangan. Dengan ketenangan dan kepasrahan mereka mendengar hakim menjatuhkan vonis hukuman mati buat mereka.

                Pada tanggal 16 Desember 1817, hukuman ini akan dilaksanakan di depan umum/masyarakat di lapangan latihan yang terletak di depan benteng “Niew Victoria” di kota Ambon. Pagi-pagi sekali pada hari itu ada kesibukan dan aktivitas yang tidak biasa dimana-mana, dan banyak orang bergegas ke lapangan tiang gantungan1, dimana tentara yang berjaga sudah bersiap di sekitar tiang gantungan. Sekitar jam 06.30 pagi, keempat tahanan yang dijatuhi hukuman mati dibawa keluar dari penjara, berdiri sedikit di sebelah timur Balai kota, dan dipimpin dibawah pengawalan militer ke “perancah” atau Scaffoldingo

Besluit vonis hukuman mati Thomas Matulesia

                Mereka semua berpakaian putih – celana panjang dan kemeja putih – sementara kepala mereka diletakan “mahkota” bunga (bloemen omkranst). Sesampainya di kaki tiang gantungan, vonis hukuman mati dibacakan kepada mereka, pertama dalam bahasa Belanda dan kemudian dalam bahasa Melayu, yang didengarkan oleh terpidana tanpa rasa takut sedikit pun.

                Matulesia kemudian meminta seorang pendeta yang akan memanjatkan 1 doa terakhirnya kepada mereka, yang permintaan itu dikabulkan. Sebagai tambahan, dapatlah dicatat bahwa Matulesia dan kawan-kawan cenderung sangat religius. Sebelum pecahnya pemberontakan, pertemuan keagamaan dan pertemuan doa diadakan secara diam-diam di Saparoea oleh para pemberontak di tempat-tempat terpencil, memohon berkah Tuhan Allah untuk senjata dan untuk hasil yang menguntungkan dari usaha mereka. Juga pada eksekusi ini, terpidana mati menghabiskan malam sebelumnya, dimana apa yang disebut acara “makan menjelang hukuman mati” dalam suasana hati yang sangat saleh. Atas permintaan mereka, di sel tempat mereka ditahan, beberapa guru djemaat asal orang Ambon diizinkan untuk menyampaikan firman Tuhan, dimana mazmur dan pujian dinyanyikan bersama sampai fajar menyingsing.

                Setelah pendeta di “perancah” menyelesaikan doanya, terpidana diserahkan kepada algojo. Orang pertama yang menaiki tiang gantungan adalah Philip Latumahina, laki-laki bertubuh kekar dengan penampilan atletis. Dengan penuh tekad, ia menaiki perancah dan memasang tali di lehernya. Namun, karena badannya yang sangat besar, tali yang digunakannya untuk menggantung dirinya itu putus, dan ia jatuh ke tanah, sehingga ia harus digantung untuk kedua kalinya, hingga ia meninggal dunia. Kemudian disusul Anthonij Ribok dan kemudian Saijad Printa, yang meninggal tanpa disebutkan secara khusus/mendetail.

                Yang terakhir ada Thomas Matulesia, yang oleh penduduk disebut Patimoera. Yang ini adalah laki-laki bertubuh tinggi dan kurus dengan kulit gelap dan penampilan yang garang namun cerdas. Dia, boleh dikatakan Cesarp untuk kepulauan Ambon pada masa itu, dan seorang nasionalis yang gigih. Segigih dan seberani dia dalam pertempuran, setenang dan setenang mungkin dia berada di saat-saat paling berbahaya. Bahkan sekarang di tiang gantungan, dimana beberapa menit yang lalu dia melihat 3 rekan seperjuanganya yang setia, yang mengibarkan panji-panji perang bersamanya, meninggal dunia, dia berhasil menjaga ketenangannya.

                Ketika dia diberitahu –dan terutama untuknya – oleh pihak berwenang bahwa jenazahnya tidak akan dikuburkan, tetapi akan dipamerkan kepada masyarakat sebagai contoh yang menakutkan di dalam sangkar besi2, dia menunduk sejenak. Kemudian, diikuti oleh algojo, dia dengan gagah berani menaiki perancah dan, muncul, mengucapkan doa terakhir, setelah itu dia berteriak dengan suara keras kepada yang hadir : “Selamat tinggal toean-toean” atau “Goed herblijf, heeren”. Dan mengikat tali di lehernya sendiri, dia menemui kematian tanpa rasa takut sedikit pun. Dalam beberapa menit, laki-laki yang telah menggulingkan kekuasaan Belanda di kepulauan Ambon selama 100 tahun itu, telah menukar yang sementara dengan keabadian.


======= selesai =======

Catatan Kaki

1.         Lapangan tiang gantungan yang dikelilingi pohon kenari ini terletak di depan balai kota sebelah tenggara lapangan latihan

2.        Sangkar/kerangkeng yang berisi jenazah Matulesia ini kemudian diletakkan di belakang negeri Benteng, yang terletak di jalan Ambon ke Amahoesoe, di sekitar gudang batu bara.

Catatan Tambahan

a.        Alvares Theodorus Manusama atau yang hanya dikenal dengan A.Th. Manusama, diketahui lahir pada tahun 1878 dan meninggal tahun 1938, putra  tertua dari Johanis Alvaris Manusama (1850 – 1910) dan Zusana Abigail Makatita (1853 -???). Ia adalah paman dari Johannes Alvares Manusama, President RMS di pengasingan. Johan Alexander Manusama (1882 – 1954) yang merupakan ayah dari Johannes Alvares Manusama (1910-1995) adalah adik nomor 3 dari Alvares Theodorus Manusama.

b.       A.Th. Manusama, Multatuli op Ambon [dimuat dalam Bataviaasch Nieuwsblad edisi tanggal 11 November 1916]

c.        A.Th. Manusama, Stephan de Lima de Amboneesche Toovenaar : Een Verhaal uit Oud-Batavia, Boekhandel Visser & Co, 1917

d.       A.Th. Manusama, Beknopte geschiedenis van de vereeniging'Ambonsch-Studie fonds'(1909-1917,  Weltevreden 1917.

e.        A.Th. Manusama, Krontjong : als muziekinstrument, als melodie en als gezang. Boekhandel G.Kolff & Co : Batavia, 1919

f.         A.Th. Manusama, Komedie Stamboel of de Oost-Indische opera, Drukkerij Favoriet, Weltreveden, 1922

g.        A. Th. Manusama, Peroendingan Prihal Goena2 (Ilmoe Item), [Batavia]:Kon. boekh en Drukk. G. Koff,1923

h.       A. Th. Manusama, Njai Dasima, het slachtoffer van bedrog en misleiding; een historisch zedenroman van Batavia, ([Weltevreden, Drukkerij "Favoriet", 1926])

i.         Pada masa VOC (1602 – 1799), di wilayah terdapat 3 Gouvernement, yaitu Ambon, Banda dan Ternate. Pada masa peralihan kekuasaan (1817), wilayah Maluku hanya ada 1 Gubernemen yaitu Gubernemen Maluku yang beribukota di Ambon, Gubernemen Ternate dan Banda “diturunkan” statusnya menjadi wilayah Karesidenan dan menjadi bagian dari Gubernemen Maluku. Dalam tahun 1917 saat artikel ini ditulis, wilayah Ambon berstatus Karesidenan dan menjadi bagian dari Gubernemen Celebes dan wilayah sekitar atau Celebes en onderhoorigheden.

j.         Secara resmi peralihan kekuasaan dari Inggris ke pihak Belanda berlangsung di Ambon pada tanggal 25 Maret 1817.

k.        Resident van Saparoea, Johannes Rudolph van den Berg (lahir Jogjakarta, 11 Oktober 1789), istri Johana Christina Umbgrove (lahir Tegal, 29 April 1791) dan ketiga anak yaitu Johannes Lubert (Jean Lubert) van den Berg (lahir  3 Februari 1812), Johannes Gerardus van den Berg (lahir 6 Desember 1813), Johannes Rudolph van den Berg (lahir 23 Agustus 1815).

l.         Informasi tentang anak Resident yang selamat dari pembunuhan pertama kali didengar oleh komandan kapal perang Maria Reijgersbergen, Kapten Laut J. Groot pada tanggal 22 Juli 1817. Ia menulis dalam jurnal harian kapalnya, bahwa pada tanggal 22 Juli 1817, datang seorang penduduk pribumi dari pulau Haruku yang menurutnya diutus oleh Radja van Nolloth,  Isaac Nicolaas Huliselan, untuk menyampaikan informasi bahwa penduduk jazirah Hatawano ingin berdamai dan bahwa anak tertua dari Resident van Saparoea masih hidup.

§  Journaal van het fregat Maria Reijgersbergen, 8 januari 1817 – 25 augustus 1819, gehouden door de commandant kapitein-ter-zee J. Groot.Origineel. NA, Ministerie van Marine, scheepsjournalen 1813-1966, 2.12.03, 3655. [lihat catatan harian tanggal 22 Juli 1817]

m.      Berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda nomor 9 tertanggal 8 September 1875.

n.       Mayor Pieter Jacobus Beetjes meninggal dunia pada tanggal 20 Mei 1817 di pantai Waisisil, negeri Tiouw, Pulau Saparua.

o.       “Perancah” atau Scaffolding adalah adalah suatu struktur sementara yang digunakan untuk menyangga manusia dan material dalam konstruksi atau perbaikan gedung dan bangunan-bangunan besar lainnya. Biasanya perancah berbentuk suatu sistem modular dari pipa atau tabung logam, meskipun juga dapat menggunakan bahan-bahan lain.

p.     Penulis “mengumpamakan” Thomas Matulesia dengan figur sejarah Julius Caesar (100 – 44 SM) seorang pemimpin militer dan politikus yang sangat terkenal dalam sejarah Romawi

1 komentar:

  1. A.Th. Manusama menulis penampilan Thomas yang garang namun cerdas, berkebalikan dengan deskripsi Ver Huell yg menyebutkan Thomas, tinggi tetapi ramping dan berkulit gelap, yg tidak tampak terlalu cerdas.
    Benar adanya, "Sejarah milik mereka yg menang". Hehe.. dankje Gandong voor artikelnya..

    BalasHapus