(bag
6 - selesai)
[P.J.M. Noldus]
Bab
V
Setelah Pemberontakan
Apa, jika memang ada, yang dicapai oleh pemberontakan untuk mempengaruhi Maluku dan orang Maluku baik segera atau di masa depan???. Perdamaian telah dipulihkan. Para pemimpin pemberontakan itu diadili oleh Raad van Justitie Ambon (Dewan Peradilan). 23 orang telah dijatuhi hukuman mati; 14 diantaranya telah dieksekusi dan 9 telah dijatuhi hukuman pengasingan dengan kerja paksa di Jawaa. 9 orang ini bergabung dengan sejumlah besar tahanan yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum. Buijskes telah kembali ke Batavia, menjalankan tugasnya sebagai Komisaris Ketiga dan kedudukannya di Maluku digantikan oleh Mayor Jend H.M. de Kock yang diangkat menjadi Gubernur Malukub.
Fort Duurstede dan Residenthuis di Saparua, tanpa tahun |
Gubernur De Kock dilantik pada
tanggal 25 Februari 1818c dan menjabat kurang dari 1 tahun. Meskipun
ia seorang Gubernur yang sangat baik menurut pendapat Komisi Jend di Batavia,
ia dipanggil kembali ke Jawa pada akhir tahun 1818 untuk menggantikan Jend
Anthing sebagai Panglima Angkatan Darat, setelah Jend Anthing kembali ke
Belandad. De Kock melihat pemberontakan sebagai akibat dari
ketakutan yang dirasakan penduduk pribumi akan kembalinya sistem lama setelah
pemerintahan Inggris yang lunak dan dianggap adil dan sejumlah keputusan salah
yang dilakukan oleh pemerintah1. Dia berusaha keras untuk meyakinkan
penduduk kepulauan bahwa pemerintah berniat untuk memerintah dengan adil dan
tidak ada yang akan tertindas. Dia benar-benar prihatin dengan kemiskinan yang
merajalela di negeri-negeri Saparua, Haruku dan pantai Hitu, dimana sebagian
besar rumah telah hancur karena terbakar, baik selama pemberontakan atau
sebagai hukuman karena turut terlibat dalam pemberontakan. Untuk membantu
penduduk dalam proses pemulihan, tenaga kerja dituntut untuk membangun kembali,
sedikit atau tidak ada kewajiban mereka selama masa jabatan De Kock dan sagu
dari hutan sagu milik pemerintah yang besar di Seram tersedia untuk penduduk
dengan harga yang sangat murah. Dia yakin bahwa perdamaian bisa bertahan lama
jika penduduk pribumi diperintah dengan lembut dan tidak ada tuntutan besar
yang dibuat untuk kerja wajib. Dia juga memerintahkan agar ekspedisi hongi
tidak dilakukan setiap tahun; karena ekspedisi itu, menurutnya, terlalu keras
dan membebani penduduk desa. Dia tidak melakukan 1 ekspedisi seperti itu selama
masa jabatannya, dan berpikir bahwa 1 kali ekspedisi setiap 3 tahun sudah
cukup. Dia juga mempersoalkan/memprotes pemerintah Batavia tentang tingkat gaji
pegawai negeri di Maluku, yang, meskipun gajinya lebih tinggi di pulau-pulau
lain, namun lebih rendah daripada di Jawa. Hal ini, menurutnya, dapat dengan
mudah mengarah pada praktek pemerasan baru2.
================================
Baron Van der Capellen, Komisaris Jend Ketiga yang juga Gub Jend Pemerintah Hindia Belanda, memiliki reputasi sebagai pribadi yang manusiawi dan penyayang. Dia adalah pengagum setia Abbe Raynal, penulis buku Historie philosophique des establissements et du commerce des Europeens dans les deux Indes3 (Hindia Timur dan Barat) yang diterapkan untuk pemerintah kolonial seperti yang telah dilakukan oleh Rousseau dalam bidang pendidikan dan ilmu politik. Abbe benar-benar representasi dari pandangan Pencerahan; dia dengan jelas mengungkapkan sisi gelap kerajaan4, khususnya di Maluku. Pengaruhnya terhadap Van der Capellen bertahan lama5.
Ketika Gub Jend pertama untuk Hindia diangkat setelah pemerintahan interegnum Inggris, ada sejumlah orang yang merasa diri mereka sangat layak menduduki jabatan itu. Yang menonjol di antara mereka adalah Daendels dan Dirk van Hogendorpe, orang-orang yang berpengalaman luas dalam pemerintahan kolonialf. Tetapi pilihan Raja jatuh pada Van der Capellen, seorang figur yang, menurut Raja, menganut cita-cita etika dan sosial yang sama seperti yang dia lakukan sendiri. Inilah alasan mengapa William mengabaikan orang-orang dengan pengalaman kolonial yang dia anggap merupakan produk masa lalu. Pemerintah kolonial yang baru harus memiliki ciri kesopanan dan kehormatan yang menjadi pedoman perilaku William sendiri sebagai Raja Belanda.
Seperti Raffles, Van der Capellen berpendapat bahwa orang Indonesia harus dilindungi dan bebannya diringankan; namun dia melangkah lebih jauh lagi dengan secara eksplisit mengakui bahwa level paksaan – di kedua sisi – diperlukan. Dia dengan hangat mendukung pandangan mereka yang, dalam Piagam tahun 18027, telah menetapkan bahwa pemerintah “harus memperlakukan penduduk pribumi seperti seorang ayah memperlakukan anaknya dan bukan sebagai penguasa memperlakukan rakyatnya8.
Raja William I melihat koloni, seperti yang dilakukan sebagian besar orang sezamannya, sebagai perhatian yang seharusnya menguntungkan. Dia memerintahkan para Komisaris Jend untuk mengatur kembali pemerintahan yang untuk tujuan itu mereka menerima instruksi dengan ekstensif. Baris terakhir pasal 19 dari instruksi tersebut berbunyi :
“mengenai cengkih yang diproduksi di dalam dan sekitar Ambon, mereka terutama akan menyelidiki jika dan mengapa monopoli harus dianggap lebih menguntungkan negara daripada dorongan penanaman melalui perdagangan bebas dan pengenalan pajak tanah dan bea ekspor impor”
Bagian ini dari instruksi mereka belum dipenuhi oleh Komisaris Jend pada saat pemberontakan meletus.
Selama pemberontakan Ambon, Van der Capellen telah menunjukkan perhatian khusus terhadap pengoperasian sistem Maluku dan pengaruhnya terhadap penduduk. Setelah kepergian Elout dan Buijskes, ia menduduki jabatan Gub Jend, salah satu tindakan pertamanya adalah membentuk Komisi Maluku, yang terdiri dari H.J. Van de Graaffg dan G.T. Meijlanh, penasehat utamanya. Dalam laporan mereka, yang diajukan pada tahun 1821, mereka menyatakan pendapat bahwa kondisi rakyat, di bawah sistem sekarang, paling tidak menguntungkan dan mereka merekomendasikan penghapusan monopoli dan desakan kolonisasi oleh para petani Eropa untuk mengembangkan rempah-rempah dalam kondisi perdagangan bebas. Temuan komisi ini didukung oleh Gubernur Merkusi yang melakukan tur inspeksi ekstensif ke seluruh Maluku tidak lama setelah ia diangkat di Maluku.
H.M. de Kock, Gubernur Maluku (1818-1819) |
Sebelum mengambil keputusan, Van der Capellen memutuskan untuk mengetahui keadaannya, secara langsung dan di tempat, tetapi tekanan pekerjaan yang berat memaksanya untuk menunda kunjungannya hingga tahun 1824. Kemudian, dengan Merkus dan Van de Graaff sebagai penasehatnya, dia melakukan penyelidikan baru.
Ada catatan pertimbangan mereka di Rijksarchief9. Mereka sepakat bahwa sistem monopoli harus dihapuskan, tidak hanya untuk kepentingan penduduk yang telah menderita di bawah sistem itu selama 2 abad, tetapi juga untuk kepentingan nyata negara. Mereka mendasarkan keputusan ini pada pertimbangan-pertimbangan berikut : ketidakmungkinan mempertahankan monopoli di hadapan konsesi pengapalan bebas di Maluku, yang membuat tidak mungkin mempertahankan semua tindakan yang diperlukan untuk menegakannya; mahalnya biaya pengawasan dan pertahanan pemerintah yang tidak dapat dipisahkan dari sistem; fakta bahwa kepentingan penduduk sangat bertentangan dengan tuntutan pemerintah; dan terakhir tentang pendapatan yang semakin berkurang yang diperoleh pemerintah karena harga rempah-rempah yang terus merosot, baik di Hindia maupun di pasar Eropa, sebagai akibat langsung dari penanaman pohon cengkih di luar Hindia Belanda, terutama selama pemerintahan intergenum Inggris. Poin terakhir ini mereka lihat sebagai alasan mengapa Maluku, alih-alih menjadi milik yang menguntungkan bagi tanah air, malah menjadi beban keuangan yang mendesak bagi keuangan Hindia Belanda. Mereka sepakat, tidak hanya pada kebutuhan untuk memperkenalkan sistem pemerintahan untuk wilayah-wilayah tersebut yang akan lebih selaras dengan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pemerintah sekarang – keadilan bagi rakyat dan kepentingan pemerintah yang terus menerus dipahami dengan jelas – tetapi juga dalam keyakinan bahwa perubahan yang dimaksud harus berupa penghapusan total sistem monopoli dan penggantiannya dengan sistem perdagangan bebas. Pengenalan perdagangan bebas akan memerlukan pemungutan pajak reguler untuk mengimbangi biaya pemerintahan yang sehat, politik dan keuangan.
Mengenai cara bagaimana pemerintahan ini akan dicapai dan cara menjalankannya, pendapat Komisi berbeda. Mereka merasa perlu tindakan khusus untuk memperkenalkan sistem tersebut, namun Gubernur Merkus merasa bisa segera diperkenalkan.
Pieter Merkus, Gub Maluku (1822-1828) |
Apa pun arahnya, biayanya cukup besar selama beberapa tahun pertama. Jika sistem yang ada dihapuskan secara bertahap, tidak mungkin ada pengurangan tentara dalam waktu dekat dan biayanya akan sangat besar untuk beberapa tahun. Sebaliknya, jika segera dihapuskan, maka manfaatnya juga akan langsung terasa. Kerjasama rakyat denga pemerintah, yang akan dihasilkan, akan memungkinkan pengurangan segera angkatan bersenjata di daerah itu dan sebagai akibatnya penghematan pengeluaran.
Gubernur Jend merasa bahwa sistem monopoli lama tidak sesuai dengan cita-cita pribadi Raja dan pertimbangan ini mendorongnya untuk menyetujui penghapusan segera semua hambatan penghapusan ini, tetapi dia juga menganggap bahwa, pasa masalah prinsip seperti itu, dia tidak akan dibenarkan dalam membuat keputusan tanpa perdebatan ekstensif tentang konsekuensinya oleh seluruh “Pemerintah Tinggi”. Dia juga berpikir bahwa beberapa tindakan segera harus diambil untuk menghilangkan tekanan terburuk.
Hasilnya adalah “Publikasi Maluku” tahun 1824, yang dipasang di seluruh pulau dalam teks bahasa Belanda dan Melayu. Dokumen yang luar biasa ini dicetak dalam Staatsblad (Lembaran Negara) No 19a tahun 182410/j. Setelah peresmian yang khidmat, ditujukan kepada seluruh rakyat Maluku Selatan, menyebutkan namanya, Gub Jend memberitahu mereka tentang permintaan Raja untuk memberikan perhatian khusus kepada Maluku selama kunjungannya ke Timur. Tekanan pekerjaan telah mencegahnya, sejauh ini, untuk melakukan banyak hal dan dia harus bergantung pada orang lain untuk menyelidiki kebutuhan Ambon, tetapi sekarang dia datang sendiri untuk mempelajari keadaan mereka. Berikut ini adalah daftar bencana yang melanda rakyat Maluku, diselingi dengan beberapa kelemahan mereka : kemiskinan, ketergantungan, kerusuhan dan perselisihan, pemberontakan terhadap para pemimpin, penyelundupan, pelanggaran hukum dan kemalasan. Untuk sebagian besar kesalahan bukan pada mereka, dan karena itu, menurut Van der Capellen, dia datang bukan untuk menghukum tetapi untuk menolong. Dia menjanjikan beberapa perbaikan : penghapusan total ekspedisi hongi, tidak ada lagi tugas tenaga kerja yang tidak dibayar dan pembayaran 2 kali lipa untuk bahan yang disediakan. Undang-undang dan peraturan baru tentang pemerintah daerah akan diperkenalkan dan reformasi lainnya akan diturunkan. Untuk bagian mereka, penduduk kepulauan harus menerima pejabat pemerintah dengan baik, karena mulai sekarang pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat akan berhenti : tidak ada lagi pohon cengkih yang ditebang, tidak ada lagi kebun yang dihancurkan, tidak ada lagi perahu atau rumah yang dibakar, di sana tidak akan ada lagi campur tangan terhadap agama dan orang-orang yang terlindungi dari serangan bajak laut. Dalam jurnalnya, setelah membahas publikasi, Van der Capellen menulis : “Saya telah memberitahu Raja tentang transaksi saya di Amboyna dan tidak disembunyikan dari Yang Mulia bahwa sistem monopoli tidak dapat dipertahankan lagi”11.
Tidak diragukan lagi salah satu kekecawaan paling pahit Van der Capellen adalah bahwa Raja tidak setuju dengan sebagian besar tindakannya. Campur tangan pemerintah Belanda dalam perekonomian penduduk pulau, kebebasan yang hampir sepenuhnya diberikan kepada Gubernur Maluku, Merkus, untuk mempersiapkan sistem perdagangan bebas dan budidaya, “pidato fanatik” kepada rakyat dan Publikasi di dalam pandangan Raja “polemik dan sia-sia”. Pada tahun 1826, Count Du Bus de Gisigniesk, dikirim ke Hindia sebagai Komisaris Pertama, diberi wewenang oleh Menteri Koloni untuk membatalkan keputusan tentang Maluku dan pengembalian kewajiban penanaman. Penduduk kepulauan bebas menentukan cengkih mereka sesuka hati, asalkan dijual di Ambon. Pada tahun 1827, Du Bus de Gisignies memerintahkan penanaman cengkih diperluas sampai ke Pantai Selatan Seram, agar penanaman dilakukan secara teratur diperiksa dan bahwa segala sesuatu yang menghalangi penanaman ini dihilangkan, tetapi perawatan harus diambil untuk tidak memusuhi penduduk kepulauan12.
Kurang dari sebulan sebelum Publikasi Ambon dinyatakan pada tanggal 15 April 1824 – sebenarnya pada saat Van der Capellen berada di Ambon – perwakilan pemerintah Belanda telah menandatangani Perjanjian London pada tanggal 17 Maret 1824, dimana dalam pasal 1, subjek kedua negara dijamin perdagangan bebas di koloni satu sama lain, tetapi dimana juga, dalam pasal 7, Kepulauan Maluku dan khususnya Ambon, Banda dan Ternate dan wilayah vasal mereka langsung “secara khusus dikecualikan sampai saat pemerintah Belanda akan menganggap perlu untuk menghapuskan monopoli rempah-rempah”
Ini menentukan nasib proposisi Van der Capellen13. Proposisi “Publikasi Maluku” merupakan dokumen penting, bagaimanapun, sebagai dokumen resmi pertama pemerintah yang mengungkapkan semangat baru. Berbeda dengan dokumen pemerintah lainnya yang secara terbuka mengakui bahwa kebijakan yang ditempuh selama ini merugikan rakyat. Apresiasi terhadap keterbukaan pikiran seperti itu, seperti yang diharapkan, sangat beragam. Letnan Gub Jend sangat mengaguminya. Tetapi seorang pegawai negeri (anonim) menulis di pinggiran [naskah] Publikasi : “Jika penduduk dapat memahaminya, itu akan menyebabkan banyak kerusakan”14. Ramalan seperti itu tidak terjadi, bagaimanapun, mungkin karena orang Ambon, kemungkinan besar, tidak mengerti bahasa Melayu tinggi yang kaku.
Mengapa penulis anonim ini harus khawatir?? Kemungkinan besar karena semangat baru yang diungkapkan dalam pernyataan/proklamasi. Pengakuan bersalah secara terbuka, sampai saat ini, belum menjadi garis pemerintah. Tetapi mengapa harus Raja menolak untuk menghapuskan monopoli cengkih di Maluku?? Ada beberapa argumen yang menentang penghapusan segera atau cepat dari sistem ekonomi abad ini. Van der Capellen dan Van de Graaff sudah menduga bahwa, dengan penghapusan (dalam pandangan mereka fatal) monopoli, sedikit atau tidak ada kerjasama dari orang-orang dapat diandalkan, karena mereka akan melihat ketidaknyamanan persengketaan yang asing daripada manfaat yang dimaksudkan. Penduduk Maluku yang telah lama menderita, sebagian besar konservatif, tidak akan mau menerima perubahan tetapi hanya melihat masalah dalam inovasi. Setelah terbiasa dengan budidaya paksa selama berabad-abad, mereka tidak akan memiliki konsep budidaya bebas dan juga tidak memiliki pengalaman yang diperlukan untuk bertindak sebagai pedagang di pasar bebas.
Kesulitan lain bersifat fiskal. Kewajiban penanaman cengkih telah menjadi semacam pajak. Oleh karena itu, penghapusan monopoli pasti akan berarti pengenaan pajak penjualan atas hasil panen atau bea ekspor atas produksi cengkih. Tugas-tugas itu sebenarnya hanya akan dibayar oleh warga negara dan bukan oleh masyarakat Buru, Seram, Djilolo dan pulau-pulau lain yang berbatasan dengan Ambon, karena pulau-pulau ini pada waktu itu tidak memperhatikan otoritas pemerintah. Akibatnya mereka akan dapat menjual cengkih mereka dengan harga lebih rendah kepada pedagang keliling, menciptakan persaingan yang tidak sehat untuk subjek pemerintah yang membayar bea. Prasyarat untuk pengenalan ekonomi bebas secara umum adalah penaklukan semua pulau penghasil cengkih oleh pemerintah Belanda dan prospek untuk hal ini masih jauh. Satu-satunya hasil kunjungan Van der Capellen adalah sedikit kenaikan harga yang dibayar pemerintah untuk cengkih. Pada tahun 1828, sebuah undang-undang disahkan yang melarang siapa pun untuk meninggalkan negeri mereka, kecuali mereka telah memenuhi kewajiban mereka untuk merawat 90 pohon cengkih15.
Namun, dalam jangka panjang, monopoli cengkih tidak dapat dipertahankan. Tidak hanya elemen liberal di Belanda, yang memperoleh kekuasaan pada tahun 1848, menentangnya dengan keras, tetapi sistem itu juga tidak layak secara finansial. Harga pasar dunia terus turun. Sejak akhir abad ke-18, jumlah cengkih yang ditanam di luar Maluku semakin meningkat dan oleh karena itu penghapusan monopoli tinggal menunggu waktu. Ketika apa yang disebut Sistem Kultur, yang diperkenalkan jauh setelah Sistem Ambon, secara bertahap dihapuskan, monopoli cengkih di Ambon akhirnya juga dihapuskan. Tanggal resmi penghapusan monopoli adalah 1 Januari 1864.
Keterlambatan dalam hal ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa Raja Belanda dapat memerintah koloni secara otokratis karena tidak ada yang keberatan ketika Konstitusi tahun 1815 menyerahkan kendali penuh atas koloni kepada Raja. Klausul ini tetap ada dalam Konstitusi tahun 1840 yang direvisi dan parlemen tidak memiliki kontrol langsung atas kebijakan yang diikuti oleh pemerintah di Hindia sampai Undang-undang kesesuaian tahun 1864 dipilih.
Mengantisipasi kesulitan yang mungkin dialami oleh orang Ambon, yang kurang memiliki pemikiran bisnis, dalam memasarkan produk mereka sendiri, mereka diizinkan, selama beberapa tahun, untuk mengirimkan cengkih mereka ke toko-toko pemerintah dengan harga tetap. Orang Maluku tidak pernah berbisnis sebagai pedagang dan pasar dikuasai oleh pedagang Cina dan Arab. Harga turun drastis. Sementara pada tahun 1874 harganya masih 105 sen per pon turun menjadi hanya 16 sen pada tahun 1903. Ini adalah akhir dari perdagangan rempah-rempah Maluku. Sementara seluruh perdagangan cengkih pernah terkonsentrasi di Ambon, total hasil panen pulau-pulau tersebut saat ini hanya mewakili 2-3% dari konsumsi dunia16.
Berakhirnya monopoli rempah-rempah tidak berarti kemiskinan Maluku yang tidak terelakkan. Alam baik di pulau-pulau ini; ada banyak ikan di laut dan pohon sagu menyediakan makanan yang melimpah untuk pekerjaan yang sangat sedikit. Jadi butuh sedikit usaha untuk menikmati sikap sederhana. Tetapi ada celah besar antara keberadaan sederhana dan tingkat kemakmuran, dan yang lebih giat berusaha untuk menutup celah itu, untuk melakukannya, mereka harus melihat ke luar pulau asal mereka.
Orang-orang Ambon masih memiliki peran penting yang telah dipersiapkan oleh masa lalu sampai batas tertentu. Sebagai serdadu, pegawai sipil kecil, dan penginjil, mereka penting di Hindia pada paruh pertama abad ke-19, dan sesudahnya, sama seperti pada paruh kedua abad ke-18. Pemberontakan Pattimura-lah yang menghidupkan kembali Schutterij atau Milisi Burger Ambon. Meskipun asalnya kembali ke abad ke-16, ia mengalami penurunan pada abad ke-18.
Pada tahun 1817 telah memainkan perannya dengan baik, terutama di Saparua. Segera setelah itu ia kembali mengalami penurunan singkat yang dihidupkan kembali untuk kunjungan Gubernur Jend Van der Capellen pada tahun 1824, setelah itu berkembang hingga penghapusan terakhirnya pada tahun 1923l. Milisi yang dilatih dengan garnisun reguler, membantu menjaga tradisi dan semangat militer orang Ambon tetap hidup. Semangat ini mengalami kemunduran yang parah pada tahun 1804, ketika Daendels memerintahkan perekrutan 3 kompi infanteri orang Ambon dan 1 kompi kavaleri dan peleton perekrutannya tidak segan-segan menghilangkan hambatan dan penculikan penduduk desa. Inilah alasan mengapa dinas militer belum populer pada tahun 1817 dan mengapa hanya sedikit orang Ambon yang ambil bagian dalam perang Jawa tahun 1825-1830 ketika tentara sangat dibutuhkan. Namun, dalam perang ini orang Ambon memang bertugas sebagai pasukan garnisun di Maluku, sehingga membebaskan pasukan lain untuk Jawa, tetapi ini tetap dilakukan dengan syarat ketat bahwa pasukan orang Ambon tidak dapat melakukan tugas di luar pulau asal mereka.
Pada tahun 1829 ternyata ditemukan persengkokolan di antara prajurit orang Saparua di garnisun Ambon, dengan tujuan pemberontakan baru. Fakta bahwa para konspirator adalah orang-orang Saparua dapat memberikan kaitan kembali ke tahun 1817 : sejumlah kecil pemberontak sejak saat itu tetap bersembunyi di pegunungan pulau Saparua. Konspirasi tahun 1829 dikatakan telah direncanakan dengan lebih baik dan jangkauannya lebih jauh daripada pemberontakan tahun 1817. Rencana telah dipersiapkan dengan hati-hati dan tidak ada yang bocor sampai, pad tanggal 16 Februari 1829, beberapa surat berisi undangan untuk ikut serta dalam pemberontakan, jatuh ke tangan pemerintah. Surat-surat yang memberatkan lebih lanjut dicegat dan kecurigaan dipastikan bahwa surat-surat itu berasal dari kalangan militer di Saparua. Seorang informan mengungkapkan bahwa 9 orang serdadu Saparua adalah pemimpin yang merencanakan pemberontakan pada malam tanggal 18 Februari 1829; mereka harus membunuh semua orang Eropa di benteng, serta tentara Ambon yang menolak untuk bekerjasama. Komando militer segera bertindak dan pada tanggal 17 Februari 1829, 150 orang Saparua di garnisun ditangkap selama parade pagi yang tidak bersenjata17. Kemudian diketahui bahwa senjata di benteng telah diruncingkan dan diisi dengan puing-puing dan batu. Investigasi membuktikan bahwa komplotan itu direncanakan oleh 9 orang serdadu Saparua di garnisun Ambonm, yang memiliki dendam pribadi dan membuat alasan yang sama dengan sisa-sisa pemberontak tahun 1817 di pegunungan Saparua18. Ini adalah gejolak nyata terakhir di Maluku
=======================================
Pada tahun 1828, pendaftaran tentara menjadi benar-benar sukarela dan pembayaran yang menarik dibayarkan saat pendaftaran. Akibatnya dinas militer mendapatkan kembali popularitas dan keprajutitan, pada waktunya, menjadi profesi yang terhormat lagi.
Sebagai prajurit, orang Ambon sangat baik, berani, dan umumnya dapat diandalkan, meskipun kepercayaan diri mereka, secara signifikan, kadang-kadang mengancam akan berubah menjadi pemberontakan ketika mereka merasa dirugikan. Mereka memainkan peran utama dalam pengamanan kepulauan Indonesia, berpartisipasi dalam ekspedisi melawan pemberontakan di Bali dan Lombok dan khususnya dalam Perang Aceh yang berlarut-larut pada akhir abad ke-19, ketika tidak kurang dari 4434 orang Ambon bertugas di ketentaraan, jumlah yang, berdasarkan populasi pulau-pulau itu memang sangat tinggi. Saat ini hanya sedikit keluarga yang tidak memiliki sanak saudara pada tentara kolonial Belanda19.
Karena Kekristenan mereka, mereka menyendiri dari lingkungan mereka di semua kota garnisun besar di Indonesia, mendirikan pemukiman mereka sendiri dengan gereja dan pendeta mereka sendiri. Mereka juga mempertahankan kontak dengan pulau asal mereka. Sudah menjadi kebiasaan, misalnya, untuk tidak memiliki anak, lahir di luar Ambon, dibaptis sampai seluruh keluarga cuti di desa-desa Ambon mereka. Hingga dan termasuk situasi sulit selama Perang Dunia II, mereka tetap setia. Bahkan di tahun-tahun perjuangan kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak loyalis yang kuat.
Selama berabad-abad, baik sebelum maupun sesudah pemberontakan tahun 1817, telah terjalin ikatan yang kuat antara penguasa Belanda, baik kompeni maupun pemerintah, dan orang Ambon, khususnya orang Ambon yang beragama Kristen. Konfrontasi-konfrontasi yang terjadi sebelum tahun 1817 terjadi antara negeri-negeri dan bukan antara negara-negara di satu pihak melawan pemerintah di pihak lain20. Ulang tahun Pangeran-Stadhouder, dan kemudian Raja, tidak dirayakan dengan lebih antusias daripada di Ambon; “trinitas” Tuhan-Ambon-Oranye” bukanlah seruang kosong. Melalui aliansi inilah mereka mampu memainkan peran penting di Nusantara.
Dalam “persekutuan abadi” ini menjadi hal yang menonjol dengan jelas : Pertama, ia memiliki karakter patriarkal atau paternalistik. Saat ini ketika kata “paternalistik” digunakan, seringkali terdapat implikasi yang merendahkan. Tapi mari kita ingat apa yang dimaksud dengan “paternalisme” dalam praktek di Ambon di masa itu. Artinya, pertama-tama hampir semua prakarsa datang dari Batavia atau Benteng Ambon. Meski keadaan ini menimbulkan rasa loyak pada masyarakat Ambon, bukan berarti PNS di Maluku memiliki pekerjaan yang mudah. Tampaknya hampir merupakan sifat bawaan orang Ambon untuk tidak menerima secara passif semua yang telah ditahbiskan oleh pemerintah. Kedua, ikatan dengan Belanda juga memberi orang Ambon posisi yang agak istimewa. Serdadu Ambon menerima gaji lebih tinggi daripada serdadu dari kelompok etnis lain dan fakta bahwa sekolah telah disediakan di Ambon berabad-abad sebelumnya di tempat lain di Indonesia memberikan posisi monopoli dalam memasok pegawai negeri kecil dari Sabang di barat ke Merauke di timur kepulauan Indonesia.
Sistem patriarki ini dibatasi ketika pada tahun 1921 dibentuk Dewan Ambon. Badan legislatif yang beranggotakan 27 orang ini terdiri dari 5 orang Belanda, 2 orang Vreemde Oosterlingen (Orang Timur Asing), sebutan untuk warga Cina dan Arab, dan 20 orang Ambonn. Beberapa daerah lain di Indonesia diberi atau didirikan badan serupa tetapi tidak ada di mana pun jumlah anggota pribumi sebanyak itu.
Dewan ini dengan mudah diterima oleh penduduk tetapi berdampak perlahan-lahan mengurangi sifat khusus posisi orang Ambon. Sekolah Hollandsch-Indische (Sekolah Pribumi-Belanda) yang baru, tempat bahasa Belanda diajarkan dan menjadi bahasa pendidikan di kelas-kelas yang lebih tinggi, didirikan di bagian lain Indonesia dan pada waktunya menghasilkan calon-calon pegawai negeri setempat; kebijakan ini berdampak pada monopoli orang-orang Ambon.
Reaksi pertama terhadap “Kebangkitan Timur” setelah perang Rusia-Jepang – perang pertama dimana bangsa Asia telah membuktikan dirinya lebih unggul dari ras kulit putih yang dianggap unggul di koloni – menyebabkan berdirinya gerakan “Budi Utama”-nya orang-orang Jawa, diikuti oleh “Sarekat Islam”. Orang Ambon, sebagai orang Kristen, tidak merasa betah di salah satu organisasi ini, tetapi mereka memiliki pengaruh, terutama pada tentara dan pegawai negeri negeri. Mereka pada gilirannya mulai berorganisasi. Organisasi pertama mereka “Wilhelmina”, didirikan pada tahun 1908, memiliki karakter yang diakui setia. “Sarekat Ambon”, yang didirikan oleh Patty, seorang wartawan, pada tahun 1920, lebih nasionalis0. Patty, seorang komunis, melakukan perjalanan ke Ambon pada tahun 1923, untuk mempromosikan pandangannya yang radikal, tetapi penduduk tradisional yang berorientasi pada pemerintah tidak menginginkan apapun dan, atas permintaan Dewan Ambon pada tanggal 28 Mei 1923, Patty diasingkan ke Bencoolen, tempat yang sama dimana Sukarno diasingkan beberapa tahun kemudian. Setelah tahun 1930, “Sarekat Ambon” direorganisasi menjadi gerakan yang lebih moderat, tetapi tetap tidak mendapat persetujuan pemerintah, juga tidak mendapat sambutan simpatik dari nasionalis Indonesia lainnya, yang menjuluki anggotanya “Belanda Ambon”.
Organisasi lain, “Moluks Politiek Verbond”, atau M.P.V (Liga Politik Maluku) munculp dan karena perilakunya yang moderat, dan undang-undangnya, dapat diterima oleh pejabat. Tujuan mereka adalah pemerintahan sendiri, tetapi dalam kondisi apa pun mereka tidak akan melepaskan ikatan dengan Belanda. Mengenai Kemerdekaan Indonesia, mereka mengambil sikap wait and see, mereka ingin “Indonesia merdeka” tetapi bukan “Indonesia merdeka/bebas dari Belanda”21.
========================================
Banyak yang dibuat di kalangan orang Indonesia sebagai inisiator perjuangan melawan kolonialisme dan kemerdekaan. Fakta-fakta tidak mendukung hal ini. Walaupun benar bahwa intervensi Belanda di Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-16, hampir tidak dapat dibantah bahwa ada kolonialisme yang nyata pada masa itu. Kolonialisme yang lebih tepat, dimana negara daripada VOC mengambil peran utama, berasal dari abad ke-19 dan dapat dikatakan pada saat itulah langkah pertama diambil di Indonesia. Negara-negara “pangeran” di Jawa dan di tempat lain selama berabad-abad telah menjadi sinonim dengan kaum tani yang miskin, dan administrasi kolonial membangun sebuah negara yang, meskipun birokratis namun cukup efisien dan memiliki kepentingan yang meluas ke kepedulian sosial. Keyakinan beberapa keturunan orientalis modern bahwa, jika tidak ada campur tangan kekuatan barat, timur akan mengembangkan negara efisiennya sendiri, terbuka untuk dipertanyakan. Klaim semacam itu, serta teori Van Leur, sering digunakan untuk berargumen dari yang khusus ke yang umum. Mereka mengabaikan fakta sejarah bahwa, meskipun ada kerajaan-kerajaan besar di Jawa dan sebagian Sumatera pada abad ke-14 hingga ke-16, tidak demikian halnya di pulau-pulau terpencil di Indonesia yang merupakan sebagian besar wilayahnya. Di sini, negara kecil lalim lebih umum terjadi stagnasi - dan itu bukan kata yang terlalu kuat – untuk menyapa kekuatan barat akhirnya memungkinkan kekuatan itu untuk mengamankan kemenangan yang mudah.
Nasionalisme yang akhirnya muncul di Indonesia bukanlah produk dari pemerintahan yang menindas, melainkan kekuatan yang lebih dalam dari perubahan sosial yang menyertainya.
Bukan sepenuhnya kekerasan kebijakan Belanda yang menyebabkan kebangkitan nasionalisme terorganisir, sebaliknya fondasi masyarakat aktivis yang didedikasikan untuk perjuangan kemerdekaan bertepatan dengan upaya pihak Belanda untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan untuk mendapatkan reputasi drinya sendiri untuk pemerintahan kolonial yang tercerahkan. Ini bukanlah pengalaman yang jarang terjadi dalam sejarah pemerintahan kolonial. Kebijakan kesejahteraan kolonial cenderung menghasilkan pembalikan rasa terima kasih – hanya kekuatan kolonial sendiri yang mengharapkan sebaliknya – dan mungkin tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa dalam kasus Indonesia, gerakan nasionalistiknya adalah produk dari kebaikan daripada keburukan dari kekuasaan Belanda22.
Dalam kasus Maluku Selatan, penulis berpendapat bahwa Maluku Selatan pada akhirnya berutang rasa kemerdekaan, rasa kuat akan hak-hak pribadi dan rasa kesetiaan mereka pada kata yang dijanjikan, kepada pengaruh Kristen Eropa yang berusia berabad-abad, yang diprakarsai oleh VOC dengan semangat yang berkurang dengan cepat. Nuansa para pendeta agama abad ke-17 muncul di belakang orang-orang Maluku Selatan masa kini dari masa lalu yang jauh.
Klaim Belanda dan rakyat Maluku Selatan sebagai “kesetiaan sepanjang masa” telah dibantah oleh orang Indonesia saat ini dan beberapa penulis barat23, yang berargumen bahwa hal ini merupakan hasil dari propaganda Belanda. Van Kaam berargumen bahwa sepanjang periode kolonial, Belanda merampok orang Maluku dari sejarah mereka dan, akibatnya, sarana untuk mengekspresikan identitas mereka sendiri. Ini yang mungkin disarankan bahwa dia, dalam hal ini, membiarkan dirinya terbawa oleh keasyikan yang sama dengan masa lalu yang lebih mempengaruhi beberapa orientalis lebih dari seabad lalu. Seseorang tidak dapat mengesampingkan 350 tahun sejarah, dan penggantian animistik yang relatif canggih dengan ekonomi kristen yang kebarat-baratan, sebagai campur tangan belaka dalam sejarah rakyat, seolah-olah tidak ada bagian dalam membentuk identitas mereka. Van Kaam juga berpendapat bahwa Belanda memiliki keinginan untuk mewakili hubungan mereka dengan Maluku sebagai jauh lebih harmonis daripada itu, sebenarnya dulu. “Ini”, dia menyimpulkan, “tidak sulit untuk dijelaskan, tetapi sejarah ekonomi yang buruk”24. J.A. Manusamaq, President “Republik Maluku Selatan” (RMS) dalam pengasingan, tidak setuju dengannya dan menjelaskan hal ini ketika dia menyatakan dalam bukunya, Om Recht en Vrijheid (Untuk Keadilan dan Kebebasan)25 :
“Penguasaan Belanda atas pulau-pulau tersebut, yang berlangsung lebih dari 350 tahun, tidak pernah dilihat sebagai penindasan kolonial atau dominasi kolonial. Namun, pulau rempah-rempah yang dulunya begitu makmur dan kaya ini menyusut menjadi Maluku Selatan yang miskin secara ekonomi saat ini. Tidak ada gunanya mencela Belanda untuk ini dan itu akan sia-sia untuk melakukannya, karena selain pemiskinan dan pengabaian ekonomi negara, mereka memberi penduduknya agama Kristen, kebudayaan dan peradaban barat”
Dengan kata lain, orang Maluku diidentikkan dengan Belanda meskipun tidak tertutupi kesalahan dan kekurangannya, dan identifikasi inilah yang menimbulkan rasa kesetiaan yang hanya ada satu penyimpangan serius, yaitu pemberontakan tahun 1817.
Kesimpulan dan Penutup
Para sejarahwan “liberal” abad ke-19, melihat sebagian besar sejarah Maluku sejak abad ke-16 dan seterusnya sebagai perjuangan para pemimpin yang berani untuk perdagangan bebas melawan VOC yang kejam hanya demi keuntungan. Tentu saja pertentangan ini ada, tetapi ada penyebab yang jauh lebih dalam. Ini bukan hanya masalah perdagangan rempah-rempah; itu lebih merupakan pergulatan antara 2 ideologi agama, antara Muslim dan Kristen, yang dapat ditarik lebih jauh ke belakang ke ketidaksepakatan lama sebelum kedatangan orang Eropa di Timur Jauh. Selain itu ada orang Portugis yang harus diusir, dan orang Spanyol harus diawasi. Ada Sultan Ternate yang mengklaim kedaulatan atas Maluku Selatan dan persaiangan antara Uli-Lima dan Uli-Siwa. Ada pesaing Inggris dan pemasoknya, orang Makassar yang menyelundupkan rempah-rempah, yang semakin memperumit situasi. Tambahkan juga ke hal ini, banyak pertempuran suku-suku lokal, dan beberapa gagasan tentang kekacauan Maluku pada masa itu menjadi jelas.
Tidak mudah untuk mengatakan secara positif aspek-aspek tertentu, tetapi gambaran umum yang tampaknya muncul adalah bahwa VOC, dengan bantuan sekutu orang Maluku, menciptakan tingkat perdamaian dan bahkan kesejahteraan, hadil dari yang masih terbukti sampai sekarang. Paling tidak, orang Maluku tampaknya sudah pasrah dengan situasi itu. Memang sedikit penelitian yang dilakukan secara mendalam tentang sejarah Maluku abad ke-18. Tetapi literatur cetak di Jawa dan VOC secara keseluruhan pasti akan menyebutkan pemberontakan serius apa pun di semua kepulauan rempah-rempah yang penting, jika ada yang terjadi pada waktu itu.
Sama sulitnya untuk menjelaskan sebab-sebab Pemberontakan Pattimura yang mengganggu perdamaian yang tampak ini. seperti yang diharapkan, timbul perbedaan pandangan Belanda dan orang Indonesia tentang peristiwa ini. Semua dokumen yang berkaitan dengan ini, kecuali “Laporan Porto”, berasal dari orang Belanda, begitu juga jurnal harian pribadi dan jurnal harian kapal serta laporan tertulis dari saksi mata. Alasan untuk ini, tentu saja, adalah fakta bahwa hanya sedikit dokumen, laporan, atau jurnal asal orang Maluku yang bertahan, jika memang ada.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, penulis dengan senang hati bertemu dengan sejumlah sejarahwan Indonesia yang berspesialisasi dalam aspek-aspek sejarah Ambon dan yang membawakan kepada penulis informasi terbaru literatur Indonesia tentang Pattimura. Sebenarnya sangat sedikit yang ditulis di Indonesia tentang hal ini dan sampai tahun 1969, ketika Pattimura diproklamirkan sebagai “Pahlawan Nasional Indonesia”, dia hampir tidak dikenal di luar lingkaran Maluku. Namun di Maluku, kisahnya dan rekan-rekannya tetap populer dan menjadi bagian dari cerita rakyat orang Ambon.
Karena semua bahan sumber yang digunakan untuk catatan Indonesia terbaru tentang Pemberontakan Pattimura telah dimasukkan ke dalam bahan yang digunakan oleh penulis, perbedaan pendapat dan kesimpulan apa pun harus menjadi masalah interpretasi. Betapa luasnya perbedaan penafsiran ini mungkin paling jelas ditunjukkan oleh fakta bahwa baik Republik Maluku Selatan maupun Republik Indonesia, mengedepankan Pattimura sebagai Pahlawan Kemerdekaan “mereka”.
F. Hitipeuw memulai buklet kecilnya tentang Pahlawan Nasional Pattimura26 dengan kalimat yang menggetarkan ini :
“Setiap tanggal 15 Mei, kita memperingati awal sejarah perang Pattimura pada tahun 1817, untuk membebaskan rakyat Maluku dari penjajahan imperialis Belanda.
Begitu juga dengan rakyat Prancis, yang pada tanggal 14 Juli 1789 bergerak maju, dan merekbut Bastille dan dengan demikian mengakhiri Absolutisme, begitu pula rakyat Indonesia di Maluku, pada tanggal 15 Mei 1817, berbaris dan bergerak melawan Benteng Duurstede di Saparua dan dengan demikian mengakhiri imperialisme Belanda”
Ini, tentu saja, menempatkan masalah dengan agak sederhana. Imperialisme Belanda akan berlangsung selama 134 tahun lagi, dan, pada akhir periode itu, rakyat Republik Maluku Selatan (RMS) yang merdeka mendapati diri mereka terlibat dalam perang kemerdekaan melawan apa yang oleh banyak dari mereka anggap sebagai Republik Indonesia yang imperialistik.
=========================
Menurut standar barat manapun saat ini, orang Maluku pada awal abad ke-19 adalah orang miskin. Tetapi kemiskinan itu relatif dan, seperti para petani Rusia hampir seabad kemudian, mereka harus disadarkan akan kenyataan itu. Ini bukan rasionalisasi. Intinya telah dikemukakan sebelumnya bahwa orang Maluku hanya membutuhkan sedikit usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Sagu dan ikan mudah diperoleh dan pembayaran yang mereka terima untuk rempah-rempah mereka, jika diperlukan, dilakukan dalam bentuk barang kapas yang mereka butuhkan. Ada bukti kesejahteraan tertentu yang terungkap dalam pembangunan gereja-gereja indah yang juga berfungsi sebagai sekolah. Orang Ambon, khususnya kaum burger, diidentikkan dengan orang Eropa melalui kesamaan kekristenan mereka.
Kekecewaan datang ketika Inggris dua kali mengambil alih pemerintahan tanpa, sejauh yang dapat dilihat orang Maluku, banyak perlawanan dari Belanda. Periode brutal pemerintahan Daendels, antara 2 pemerintahan intergenum Inggris, membawa kekecawaan ini ke puncak, setidaknya sejauh menyangkut guru djemaat/pendeta. Pengaruh dan kemandirian mereka sangat menderita karena penghapusan keuangan untuk sekolah dan gereja.
Ketika, selama masa peralihan Inggris kedua, prestise para Regent dikurangi dengan kontrol dan akuntablilitas yang lebih ketat, kelompok elit penting kedua diasingkan dari pemerintah. Meskipun pengaruh kepala sekolah (guru djemaat) diperkuat untuk sementara waktu – ketika Resident Martin mengembalikan keuangan untuk sekolah dan gereja – mereka kembali menjadi khawatir ketika kembalinya Belanda sudah dekat.
Gambaran umum yang muncul dari sini adalah terciptanya suasana dimana ketidakpuasan umum akan tumbuh subur. Meskipun penyebab yang mendasari tidak terlalu mempengaruhi penduduk desa untuk sebagian besar, apa yang mempengaruhi mereka adalah keluhan langsung, nyata atau palsu, yang digunakan oleh Regent yang tidak puas, kepala sekolah dan bekas anggota Korps Ambon yang dibubarkan, untuk – seperti yang Buijskes katakan – mengipasi api pemberontakan yang membara.
Para pemimpin yang mengilhami pemberontakan dan kelompok yang mendukungnya bertindak sebagai tanggapan atas keluhan ini dan sesuai dengan sistem kepercayaan yang tidak dipahami atau ditolak oleh orang Eropa. Penganut gerakan ini percaya bahwa tujuan mereka benar, sarana mereka untuk menjadi kuat dan solusi pemimpin mereka efektif. Perspektif mereka tentang peristiwa-peristiwa yang menimbulkan pemberontakan dan faktor-faktor yang menentukan cara pengungkapan mereka memberikan penjelasan yang sangat berbeda tentang pemberontakan daripada yang ditawarkan oleh rekan-rekan Eropa. Kami berpendapat bahwa keluhan ini berakar pada ketidakpuasan yang muncul dari pengalaman pribadi para peserta yang mempengaruhi kondisi dimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari, dan bukan dari persepsi sadar tentang benturan budaya dan transformasi sosio-budaya.
Di Maluku, pengenalan kembali pemerintahan Belanda dipandang sebagai ancaman terhadap posisi kelompok mapan yang merasa bahwa ada jurang pemisah antara apa yang mereka rasa pantas mereka terima dalam hal status dan imbalan materi dan apa yang mereka miliki atau mampu untuk memperoleh. Persepsi perbedaan antara harapan dan kapasitas menyebabkan rasa kekurangan. Individu dan kelompok membandingkan status dan kemampuan mereka dengan orang lain – misalnya, penduduk Seram – atau yang ada, atau dianggap ada, di masa lalu. Dalam jenis proses ini, unsur perubahan sangat penting, karena “perubahan itu sendiri menciptakan ketidaksesuaian antara ekspektasi dan aktualitas yang sah, baik dengan memperburuk kondisi kelompok, atau dengan memaparkan kelompok pada standar baru”27. Karena stress dan frustrasi yang menyertai perasaan kekurangan relatif ini cukup kuat dan dirasakan bersama, mereka menghasilkan gerakan protes di Maluku yang dirancang untuk menutup kesenjangan antara harapan para peserta dan kapasitas mereka.
Fort Duurstede, ca 1840an |
Kurangnya keberhasilan pemberontakan, setelah kemenangan singkat pertama, sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa partisipasi penduduk tidak total atau, dalam banyak kasus, sepenuh hati. Karena status “setengah Eropa” mereka, sebagian besar kaum burger tetap setia kepada pemerintah Belanda pada tahun 1817, sementara, seperti yang kita lihat, seluruh penduduk Nusa Laut dipaksa berpartisipasi dengan ancaman langsung28.
Meskipun revolusi dipimpin oleh kaum burger, ini adalah, tanpa kecuali, orang-orang dengan keluhan pribadi, seperti kepala sekolah yang mengkhawatirkan posisinya, atau kelompok burger yang baru dibentuk, bekas anggota Korps Ambon, yang membenci kenyataan bahwa pemerintah baru tidak melibatkan mereka kembali dengan persyaratan yang dapat diterima. Rata-rata penduduk desa/negeri tidak tahan untuk mendapatkan atau kehilangan sebanyak itu, yang mungkin merupakan alasan mengapa, dalam banyak kasus, dalam menghadapi serangan yang ditentukan oleh Belanda, perlawanannya dipatahkan dengan cepat.
Hasil dari pemberontakan tersebut, secara paradoks, adalah menguatnya ikatan antara orang Ambon dan Belanda. Mungkin kesadaran bahwa sedikit kemajuan yang mungkin terjadi di pertanian orang Ambon, yang menentukan peran orang Ambon selanjutnya. Semakin banyak orang Ambon memasuki dinas militer Belanda, seolah-olah menjadi gurkha tentara kolonial Belanda. Mereka juga bergabung dengan pamong praja Belanda dalam jumlah besar, bahkan disebut Sukarno, dalam beberapa pidatonya : Belanda Hitam.
Sejarah telah berputar penuh. Koeksistensi damai selama 150 tahun sebelum pemberontakan, yang merupakan penyimpangan, telah dipulihkan. Tetapi untuk satu upaya perubahan yang gagal pada tahun 1829, koeksistensi damai itu akan berlanjut selama hampir 150 tahun lagi.
===================================
Dalam penelitian ini, kata-kata penyair Isaac da Costa sering dikutip: “Di masa lalu terdapat masa kini, dan di masa sekarang itu akan terjadi”. Setiap bangsa sangat ditentukan oleh masa lalunya.
Belanda tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan mereka untuk kebebasan dari Spanyol, ketika keluarga kerajaan mereka dan lagu kebangsaan mereka lahir, demikian pula nasionalis Indonesia merujuk dengan pembenaran yang lebih besar atau lebih kecil untuk Madjapahit, negara besar Jawa, yang berkembang pada abad ke-15. Demikian pula, sejarah masyarakat Ambon memiliki karakternya sendiri, sebuah cap yang jelas sulit untuk dihapus, yaitu aliansi yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan Belanda, yang menemukan eskpresi yang kuat dalam penghormatan mereka yang tinggi terhadap Royal House of Orange. Hubungan kerjasama orang-orang Maluku dengan kaum kolonialis bahkan lebih awal dari kedatangan Belanda di dunia timur. Itu bermula di masa Portugis.
Orang Ambon merasa terpanggil untuk tugas khusus, perasaan dimana penerimaan mereka terhadap iman Kristen telah dimainkan, dan masih dimainkan, peran yang sangat istimewa. Protes lokal, gerutuan dan perlawanan bersenjata yang luar biasa mudah dipahami, mengingat sikap tegas orang Ambon yang kuat, tetapi ini bukan tipikal hubungan orang Ambon/Belanda. Penguasa Indonesia yang secara paksa memasukan Republik Maluku Selatan pada tahun 1951 sangat menyadari ikatan ini dan mencoba untuk meciptakan, di samping tradisi kesetiaan kepada Belanda, sebuah kisah perlawanan sengit terhadap penguasa kolonial. Untuk itu sosok Matulesia yang sekarang disebut Pattimura ditampilkan. Sebelumnya tidak dikenal di luar Maluku, dia sekarang diberi citra Pejuang Kemerdekaan Nasional dan pada tahun 70-an dinyatakan sebagai “Pahlawan Resmi Indonesia”. Tidak ada kelompok etnis lain di Indonesia yang mengalami upaya sekuat ini untuk “menyesuaikan” masa lalu mereka dalam arti sejarah. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Jika ada gerakan pro-Indonesia yang begitu kuat di Ambon sebelum tahun 1940, mengapa upaya tersebut sangat perlu dilakukan??. Pertanyaan lain yang juga bisa ditanyakan adalah: apakah loyalitas orang Ambon masih hidup atau menghilang setelah peristiwa berdarah RMS??. Pertanyaan terakhir ini sulit dijawab. Orang Ambon yang dapat memproyes dengan keras juga bisa sangat bungkam tentang hal-hal tertentu. Tetapi fakta bahwa pihak berwenang Indonesia merasa perlu untuk membuat “mitos lawan mereka”, lengkat dengan patung-patung dan prangko peringatan, memberi bahan renungan.
Orang-orang Ambon yang pada tahun 1951 memilih pergi ke Belanda daripada menjadi “orang Indonesia”, masih dijiwai dengan ikatan kesetiaan lama, atau mereka tidak akan pergi. Menurut pendapat kami, pemerintah Belanda berturut-turut telah gagal memahami hal ini dan membatasi diri untuk mengakomodasi mereka secara sosial, sementara sama sekali mengabaikan aspirasi politik mereka. Pelanggaran perjanjian pengalihan kedaulatan, yang ditandatangani oleh Republik Indonesia, sulit menimbulkan protes resmi Belanda sama sekali.
Sikap Belanda ini pasti sangat mengecewakan orang Ambon yang, mengingat masa lalu mereka, setidaknya mengharapkan simpati dan pengertian atas cita-cita politik mereka.
Semakin orang Maluku berpegang teguh pada cita-cita republik merdeka mereka, semakin dalam jurang yang memisahkan bekas sekutu. Mereka tidak ingin berasimilasi dengan masyarakat Belanda yang tidak mereka pahami sepenuhnya, juga tidak ingin menjadi “orang Indonesia keturunan Maluku”. Maka berkembang situasi – secara mengejutkan, terutama di kalangan generasi muda, mereka yang telah meninggalkan Maluku sebagai anak kecil atau yang lahir di Belanda – yang menyebabkan aksi teroris di Belanda pada akhir tahun 70-an.
Betapa sedikitnya pemahaman Belanda terhadap “Masalah Ambon” ini terlihat dari perdebatan di Parlemen setelah pembajakan kereta api di provinsi Drente, ketika diskusi terfokus pada pertanyaan: “Bagaimana kita mengendalikan orang-orang kasar di teluk??”. Hanya 1 suara yang terdengar mendesak untuk melihat kepada sejarah orang-orang Ambon.
========= selesai
==========
Catatan Kaki
1. Gen. De Kock Memorie van Overgave (1819) Schneither Collection 57 No. 128. Rijksarchief, The Hague
2. Ibid
3. Published in Amsterdam in 1771.
4. cf. p.170.
5. De Graaf (1977) op.cit. p.235.
6. Brugmans, H. Geschiedenis van Nederland. Vol. VIII, Amsterdam (1937) pp. 377-8.
7. cf. p.36.
8. Tas, S. op.cit. p.54.
9. Collection "Kolonien na 1813” file 966, Rijksarchief, The Hague. Quoted by Stapel op.cit. p.182.
10. Quoted by F.W. Stapel in "Een en ander over de Molukken publicatie van 1824", Bijdragen Vol. 86 (1930) P .180
11. “Journaal van Baron Van der Capellen van zijn reis door de Molukken”. Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. Vol. II (1855).
12. Staatsblad No. 80, 1827. Source: H. van der Wijck, “De Nederlandsche Oost Indische Bezittingen” Ph.D. Thesis, s 'Gravenhage. (1866) .
13. See p. 161.
14. Stapel (1930) op.cit. p.18l.
15. Stapel. ibid passim.
16. H.J. De Graaf (1977) op.cit. p.244
17. De Bruyn Kops, op.cit. pp. 32-39.
18. Penerbitan Sumber-Sumber Sedjarah. Arsip Masional Republik Indonesia No.4. Laporan Politik Tahun 1837 Djakarta (1971).
19. G.W .. T.Dames, 'Oom Ambon Van Het KNIL, The Hague. (1954) p.15.
20. cf. p.68.
21. J.T. Blumberger, De Nationalistische Beweging in Netherlands Indie, Amsterdam, 1931, hal 46-48 dan 302-305
22. J. D. Legge.· Indonesia Spectrum Books, New Jersey, (1964) pp. 114/5.
23. e.g. B. Van Kaam, Ambon door de Eeuwen. (1977)
24. Van Kaam, B. op.cit. p.8.
25. Manusama, J.A. Om Recht en Vrijheid. Leiden (1952).
26. F. Hitipeuw. Keunikan Perjuangan Pahlawan Nasional Pattimura dalam Menentang Penjajahan di Maluku, p. 5.
27. For a discussion of these concepts see P.Curtin "Nationalism in Africa" Review of Politics Vol. 28 (1966) pp. 143-153.
28. See p.102.
Catatan Tambahan
a. 14 orang pemimpin pemberontakan yang telah dieksekusi, diantaranya yang tercatat (10 orang) yaitu :
§ Kapitan Paulus Tiahahu dieksekusi pada tanggal 17 November 1817
§ Philip Latumahina, dieksekusi pada tanggal 16 Desember 1817 (besluit no 129,tanggal 13 Des 1817)
§ Thomas Matulesia, dieksekusi pada tanggal 16 Desember 1817 (besluit no 130, tanggal 13 Des 1817)
§ Anthonij Salomon Rhebok, dieksekusi pada tanggal 16 Desember 1817 (besluit no 131 tanggal 13 Des 1817)
§ Melchior Kesaulija, dieksekusi pada tanggal 16 Desember 1817 (besluit no 132,tanggal 13 Des 1817)
§ Kapitan Lucas Silano Huliselan, dieksekusi pada tanggal 11 Februari 1818 (besluit no 193, tanggal 7 Februari 1818)
§ Abraham Hukom dieksekusi pada tanggal 11 Februari 1818 (besluit no 194, tanggal 7 Februari 1818)
§ Kapitan Lucas Aron Lisapaly dieksekusi pada tanggal 11 Februari 1818 (besluit no 195, tanggal 7 Februari 1818)
§ Jacobus Pattiwael, dieksekusi pada tanggal 11 Februari 1818 (besluit no 196, tanggal 7 Februari 1818)
§ Kapitan Ulupaha dieksekusi pada tanggal 20 Februari 1818 (besluit no 222, tanggal 19 Februari 1818)
9 orang pemimpin pemberontakan yang divonis hukuman mati, tetapi diampuni dan dihukum pembuangan, antara lain, yaitu :
§ Johannis Matulessij, divonis hukuman mati (besluit no 197, tanggal 7 Februari 1818)
§ Jacob Sahetapij, divonis hukuman mati (besluit no 218, tanggal 19 Februari 1818)
§ Johanes Nicolaas Hehanussa, divonis hukuman mati (besluit no 219, tanggal 19 Februari 1818)
§ Jeremias Latuihamallo, divonis hukuman mati (besluit no 220, tanggal 19 Februari 1818)
b. Mayor Jend H.M. de Kock, memiliki nama lengkap Hendrik Merkus de Kock, lahir pada 25 Mei 1779 di Heusden dan meninggal dunia pada 12 April 1845 di s’Gravenhage. Hendrik Merkus de Kock ditunjuk oleh Komisaris Jend di Batavia sebagai Gub Maluku melalui besluit no 65 tertanggal 9 Desember 1817.
c. H.M. de Kock dilantik oleh A.A. Buijskes sebagai Gubernur Maluku pada tanggal 21 Februari 1818, bukan tanggal 25 Februari 1818
d. Jend Anthing kembali ke Belanda pada tahun 1819 dengan menggunakan kapal Prins Frederik
e. Dirk van Hogendorp, memiliki nama lengkap Dirk graaf van Hogendorp, lahir pada 3 Oktober 1761 dan meninggal pada 29 Oktober 1822.
f. Misalnya Dirk van Hogendorp pernah menjadi Resident van Jepara (1790 – 1794), Gezaghebber van Java Oosthoek (1794 – 1798).
g. H.J. Van de Graaff memiliki nama lengkap Hendrik Johan van de Graaff, lahir pada tahun 1779 di Surat, Bengal dan meninggal dunia pada 1 Maret 1827.
h. G.T. Meijlan, menurut sumber dari Chr Fr van Fraasen namanya adalah Germain Felix Meijland (bukan G.T. Meijlan – mungkin kekeliruan teknis penulis), lahir pada tahun 1785 di Nederland dan meninggal pada 12 Juni 1831 di Batavia.
i. Gubernur Merkus, yang dimaksud adalah Pieter Merkus, lahir pada 18 Maret 1787 di Naarden, dan meninggal dunia pada 2 Agustus 1844 di Surabaya. Ia menjadi Gubernur Maluku pada 1822 – 1828.
j. Lembaran negara yang dikenal sebagai Publikasi Malukui ini terdiri dari 5 bab dan 190 pasal
§ Chr. Fr van Fraasen & P. Jobse, Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1900 – 1940, deel IV, Den Haag, 1997, hal 1 – 38
k. Count Du Bus de Gisignies memiliki nama lengkap, Leonard Pierre Joseph burggraaf du Bus de Gisignies, lahir pada 28 Februari 1780 dan meninggal dunia pada 31 Mei 1849
l. Schutterij di Ambon dan di Saparua dibubarkan pada tahun 1923, melalui besluit Gubernur Maluku pada tanggal 27 Januari 1922. Secara resmi Schutterij van Saparua dibubarkan pada 1 Juli 1923.
§ Memorie van Overgave van de Onderafdeling Ambon van Assistent – Resident (Schmid) 23 September 1924. Handschrift. KITLV, H 632 ( dimuat oleh Chr. Fr. Fraasen , pada Bronen Betreffende Midden Molukken 1900 – 1942, deel 2, Den Haag, 1997, hal 466 -500) terkhusus hal 477
m. Jacob Rajawane, Johannes Putuhena, Paulus Tahapary, Markus Pelau, Abraham Wattimena, Elias Wairisal, Jacob Latupeirissa, Pieter Tuhahaij, Jeremias Siahaya.
§ Proces-verbaal opgemaakt door gecommitteerde officieren (kapitein Dupont en 2e luitenant Cramer) van verhoor van C. Tehupuring inzake samenzwering tot opstand, Ambon, 20 februari 1829. Afschrift. NA, Koloniën 2.10.01, 721, vb. 24 december 1829 no. 100.
§ Leirissa. R.Z., 1975, Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia, Jakarta, Lembaga Sejarah Fakultas Sastra Universitas lnonesia, hat. 49
§ S.H. Maelissa dan F. Sahusilawane, Gerakan Pandan Kasturi di Ambon tahun 1829, Ambon, 2004, hal 72
n. Dewan Ambon atau Ambon Raad pada tahun 1921, anggotanya adalah :
§ Hadji Djailudin Lestaluhu (Kepala Soa van Tulehu)
§ Sech Hadi bin Salim Basalama (Kapitein Kaum Arab di Ambon)
§ Daniel Johannes Gaspersz (Regent van Naku)
§ R. Habibuw
§ A. Joseph
§ E. Agustinus. Kayadoe (Kepala Sekolah Ambonsche Burgerschool)
§ La Koë Saleh
§ Mohamad. Saleh Latuconsina (Regent van Pelauw)
§ Mohamadin Lating (Kepala Soa van Hila)
§ F. Likumahuwa
§ A. Matatula (Guru Pribumi di Amahusu)
§ A. Mewar (Regent van Laha)
§ A. Pattinasarany (Ketua Insulinde di Saparua)
§ B. Pastora (Wijkmeester van Lata)
§ Paulus Matheus Marcus Pattiasina (Regent van Booi)
§ Leonard. Lodewijk Rehatta (Regent van Soya)
§ Jeremias Sipahelut (Regent van Ameth)
§ Julianus Sitaniapessy (bekas Letnan Schuterij di Saparua dan Guru Pribumi di Saparua)
§ F. Sopamena
§ Hadji Tanhamid Kadli (Kadi Islam di Ambon)
§ I. Th. Tita (Regent van Rumahtiga)
§ Johan Robert Titaley (Regent van Saparoea)
§ Johan. Tupamahu (Wakil Ketua NIP/Insulinde di Saparua)
§ J. E. Wakanno
§ J. J. Wattimena [mungkin Jeremias Jacob Wattimena – Regent van Itawaka]
o. Aleksander Jacob Patty
p. M.P.V didirikan pada 29 Deseember 1928
q. J.A. Manusama memiliki nama lengkap Johanes Alvarez Manusama, lahir di Banjarmasin 17 Agustus 1910 serta meninggal di Roterdam 29 Desember 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar