VINCENT C. LOTH
UNIVERSITY OF
NIJMEGEN
- Kata Pengantar
Setelah Kepulauan Banda ditaklukan secara total oleh Belanda atau VOC pada dekade-dekade awal abad ke-17, wajah Banda diciptakan baru melalui kebijakan VOC. Sebagian besar penduduk pribumi Banda “dimusnahkan”, ada yang melarikan diri ke pulau-pulau tetangga dan ada yang dikirim ke Batavia dan Srilangka sebagai budak-budak. Sedikit penduduk Banda yang tertinggal kemudian dipekerjakan secara kasar di lahan-lahan yang dijadikan perkebunan-perkebunan atau perken. Para budak dari daerah-daerah luar kemudian didatangkan ke Banda sebagai buruh. Para pegawai VOC, para pedagang bebas ada yang kemudian menjadi pemilik lahan perkebunan itu, yang kemudian dikenal sebagai perkenier.
Wajah Banda yang baru setelah penaklukan itulah, yang disajikan oleh Vincent. C. Loth, seorang sarjana dari Universitas Nijmegen dalam artikelnya ini yang berjudul Pioneers and Perkeniers : The Banda Island in the 17th Century. Kajian ini dimuat di Jurnal Cakalele, volume 6, tahun 1995, halaman 13-35. Artikel sepanjang 23 halaman ini memiliki 35 catatan kaki, namun “sayangnya” tidak memuat foto/lukisan atau gambar. Kami hanya menambahkan beberapa foto/gambar pada terjemahan ini, begitu juga catatan tambahan jika diperlukan. Semoga kajian ini bisa bermanfaat untuk merefleksikan masa lalu kita.
B.
Terjemahan
Pendahuluan
Tahun 1621 menandai titik balik sejarah Kepulauan Banda. Pada tahun itu, VOC menyelesaikan penaklukannya atas pulau-pulau utama, sebuah kampanya yang menyebabkan sebagian besar penduduk Banda binasa. Sejak saat itu, Belanda menguasai hampir seluruh kepulauan kecil ini. VOC mengkolonisasi pulau itu, dan dari para pemukim, budak dan migran lainnya tumbuhlah masyarakat yang sepenuhnya baru, dengan ciri-ciri yang unik. Kontribusi ini berkaitan dengan sejarah awal masyarakat baru ini.
Kita mungkin mengira Banda adalah subyek yang banyak dipelajari. Sebagai contoh awal kolonisasi total oleh negara-negara Barat, hal ini diperkirakn akan memancing rasa ingin tahu, terlebih lagi karena penaklukan dan kolonisasi pulau-pulau ini didokumentasikan secara luas, bahkan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekayaan sumber-sumber materi memungkinkan kita untuk merekonstruksi sebuah cerita yang dapat memperjelas ciri-ciri struktural penting, seperti modus eksploitasi kolonial, pola perdagangan antar kawasan dan global, serta perkembangan politik, sosial, dan budaya dari masyarakat yang baru terbentuk. Selain itu, sumber-sumber tersebut memberikan gambaran yang nyata, terkadang dramatis, dan realistis tentang upaya dan perjuangan manusia dalam lingkungan yang tampaknya seperti surga.
Namun, anehnya Banda diabaikan. Tidaklah benar untuk mengatakan bahwa sejarah pulau-pulau ini telah diabaikan sama sekali, atau masih belum diketahui hingga saat ini, namun sejarah komphrensif berdasarkan suatu analisis rinci tentang sumber-sumber dari sudut pandang modern belum ditulis. Sebagian besar karya yang menyebutkan Banda hanya membahas secara dangkal mengenai pulau-pulau tersebut, atau memperlakukannya sebagai bagian dari permasalahan sejarah lain yang lebih luas. Hampir semua historiografi yang berfokus pada Banda sudah ketinggalan zaman1, atau bersifat apologetis2, karya-karya lain terlalu bias3, atau terlalu terbatas secara tematis4 dan kronologis5. Satu karya yang mengupas keseluruhan sejarah Banda secara umum tidak didasarkan pada analisis struktural terhadap sumber-sumber utama, atau setidaknya tidak menyebutkan sumber-sumber tersebut6. Tulisan-tulisan selanjutnya tentang Banda mengandung unsur-unsur pribadi7, kadang-kadang berupa pandangan dangkal8, atau propoganda9, yang didasarkan pada opini-opini historiografi tradisional10, atau berdasarkan cerita-cerita rakyat Banda11. Karya-karya semacam itu juga sering muncul dalam bentuk – harus diakui – cerita-cerita perjalanan yang cukup mudah dibaca dan informatif12, namun tidak begitu mendalam jika dikaitkan dengan penjelasan sejarah.
Semua kritik ini tentu saja tidak bertujuan untuk merendahkan literatur yang ada, namun hanya untuk menunjukkan keterbatasannya, dan kesulitan-kesulitan yang diakibatkannya bagi rekonstruksi sejarah yang lebih lengkap dari masa perspektif – postkolonial, atau setidaknya tidak terlalu bias – modern. Untuk mencoba penjelasan sejarah baru, pertama-tama kita harus kembali sumbernya.
Dalam tesis PhD-saya13, tentu saja saya tidak bemaksud menulis sejarah umum Banda selama berabad-abad. Saya hanya mengusulkan untuk berkontribusi pada upaya tersebut, pada sesuatu yang mendasar. Tesis ini mencakup periode penting dalam sejarah Banda. Laporan ini akan ditulis berdasarkan penelitian ekstensif terhadap semua sumber arsip yang tersedia di Algemeen Rijksarchief (Arsip Umum Negara) di Den Haag, Belanda, serta dokumen relevan di tempat lain yang melengkapi atau mengoreksi informasi ini. Agar proyek ini tetap layak di tengah kekayaan material yang melimpah, saya membatasi penelitian saya pada 5 dekade setelah tahun 1620. Penelitian ini mencakup periode pembentukan setelah penaklukan, serta 2 atau 3 generasi pemukim berikutnya, selama periode pertumbuhan produksi yang melampaui tingkat sebelum tahun 1621, dan suatu masyarakat baru menjadi terwujud.
Dalam artikel ini, pertama-tama saya akan membahas peristiwa-peristiwa sebelum penaklukan tahun 1621 untuk menempatkan Banda baru dalam perspektif sejarah. Kemudian saya akan membuat sketsa kasar tentang dasar-dasar masyarakat baru setelah penaklukan, berdasarkan literatur yang ada dan beberapa hasil penelitian arsip saya sendiri. Pada saat yang sama, saya juga akan mencoba menjelaskan asumsi-asumsi saya dan menjelaskan maksud saya menulis sejarah Banda pada periode ini, serta cara saya mencapainya. Terakhir, saya akan mencoba melihat kasus ini dari sudut pandang yang lebih luas, dengan membandingkannya dengan model teoretis awal yang – menurut saya – sangat mirip. Hal ini akan menempatkan Banda dalam sudut pandang yang berbeda.
Penaklukan Banda
Pada tahun 1599, Belanda pertama kali mencapai 10 pulau kecil di Banda14, yang pada saat itu merupakan satu-satunya sumber pala dan bunga pala15. Mereka diterima dengan ramah oleh orang Banda, yang berusaha menyingkirkan Portugis. Sejak kedatangan Antonio d'AbrĂ©u pada tahun 1511, orang Banda dengan hati-hati namun keras kepala menolak inisiatif Portugis untuk mendapatkan pijakan di pulau-pulau tersebut dan menyebarkan iman Katolik16. Kini mereka akhirnya menemukan sekutu yang kuat, yang sangat bersedia membantu mereka. VOC memang mengusir Portugis, tetapi ketika mereka juga membangun benteng dan pos perdagangan di Neira, orang Banda segera mengetahui bahwa keadaan mereka kini lebih buruk di tangan Belanda dibandingkan dengan musuh-musuh mereka sebelumnya. Belanda mempunyai gagasan khusus mengenai perdagangan pala dan bunga pala, dan mereka mempunyai kekuatan militer untuk memaksakan tuntutannya. Mereka ingin masyarakat Banda berkomitmen untuk memperdagangkan rempah-rempah secara eksklusif dengan mereka. Monopoli ini dilaksanakan melalui kontrak antara VOC dan penguasa/pemimpin orang Bandaa. Entah Orangkaya tidak memahami dokumen-dokumen gaya barat ini, atau tetap tidak terikat pada dokumen-dokumen tersebut karena mereka terpaksa melepaskan kebebasan ekonomi mereka dibawah ancaman kehadiran maritim dan militer Belanda yang luar biasa, faktanya tetap saja bahwa kontrak-kontrak tersebut dilanggar sebagai tindakan yang tidak sah segera setelah tintanya kering. Karena bergantung pada perdagangan luar negeri untuk membeli makanan dan komoditas penting lainnya, masyarakat Banda terus melakukan barter pala dan fuli dengan negara lain, seperti yang selalu mereka lakukan. Dengan demikian mereka mendapatkan reputasi sebagai “sekutu” yang tidak dapat diandalkan di mata Belanda yang marah.
Beberapa upaya untuk menyelesaikan maslah tersebut hanya mengakibatkan terganggunya hubungan dengan penduduk pribumi, yang berpuncak pada serangan terhadap delegasi diplomatik pada tahun 1609. Empat puluh enam (46) orang Belanda, termasuk perwira utama Pieter Verhoevenb dan stafnya dibantaic. Meningkatnya persaingan Inggris dalam monopoli rempah-rempah di Banda membuat keseimbangan semakin condong ke arah opsi militer. Pada tahun 1614, Direktur VOC di Belanda, Heeren XVII, bersedia merealisasikan penaklukan pulau-pulau yang telah lama direncanakan, meskipun hal itu berarti kehancuran masyarakat dan penderitaan finansial yang besar. Kekerasan terhadap orang Banda, yang selama ini hanya membentuk ekspedisi hukuman berskala kecil (seperti pada tahun 1610 ketika Belanda dengan sia-sia menyerang pulau Ay), kini digunakan sebagai sebuah strategi. Pada tahun 1615 Belanda untuk pertama kalinya mencoba menaklukan pulau Ay, namun mereka berhasil dipukul mundur seperti sebelumnya. Namun, kecurigaan yang kuat terhadap campur tangan Inggris dalam urusan “mereka”, dan persaingan regional dari para pedagang Makassar dan Jawa meyakinkan Belanda untuk bertahan. Jadi pada tahun berikutnya, 240 orang Belanda dan 23 orang Jepang menyerbu dan menaklukan pulau Ay, meski mendapat perlawanan sengit. Banyak pejuang terbunuh dan 400 lainnya (diantara mereka banyak perempuan dan anak-anak) tenggelam ketika mencoba melarikan diri ke pulau terdekat, yaitu pulau Run.
Takluknya pulau Ay tidak luput memberikan kesan kuat bagi masyarat pulau Lonthor. Meskipun demikian, mereka segera melanjutkan perdagangan dengan bekas mitra mereka, termasuk orang Inggris yang bermukim di Run dan di Nailaka, sebuah benteng kecil yang mirip tebing dan mudah dipertahankankan di utara pulau itu. Oleh karena itu, kebijakan kontrak Belanda tidak pernah memberikan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, Gubenur Jend Jan Pieterszoon Coen memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini untuk selamanya. Pada akhir tahun 1620, tidak lama setelah konsolidasi Belanda di Jacatra yang menjaga perbekalan makanan, ia memimpin pasukan ekspedisi sebanyak 19 kapal VOC yang diawaki oleh 1655 serdadu Eropa dan 286 serdadu Asia. Di Banda, kontingen pasukan lokal dan 36 perahu pribumi ditambahkan ke dalam kekuatan yang tangguh ini.
Apa yang terjadi dalam beberapa minggu berikutnya tentunya merupakan salah satu halaman paling gelap dalam sejarah ekspansi Belanda di luar negeri. Dalam kampanye yang kejam dan berdarah, Coen dan para komandannya mencoba menjadikan pulau utama, Lonthoir, berada di bawah pendudukan Belanda. setelah keberhasilan awal yang cepat dilakukan oleh Belanda, orang kaya beralih ke Coen untuk mencoba menawar kontrak baru yang akan sepenuhnya memenuhi tuntutan Belanda. sebaliknya, para pemimpin utama ditangkap dan diadili, dan 48 diantaranya dipenggal oleh algojo Jepang yang cakap, yang bergabung dengan Belanda sebagai tentara bayaran. Keluarga orang kaya (sekitar 789 laki-laki, perempuan dan anak-anak) diberangkatkan ke Batavia; beberapa dari mereka dipekerjakan sebagai budak dan berakhir di Ceylon (sekarang Sri Lanka). Melihat kehancuran yang ditimbulkan Belanda terhadap desa-desa pesisir, dan ketidakmungkinan untuk berdamai dengan mereka, orang-orang Lonthor yang selamat dari invasi tersebut melarikan diri ke pegunungan. Selama bulan-bulan berikutnya benteng mereka dikepung oleh Belanda, yang mengalami kesulitan besar untuk menaklukannya. Pada akhirnya, sekelompok besar laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang putus asa melompat menuju kematian mereka dari tebing dekat Selamma, atau memilih untuk kelaparan, daripada menyerah. Hanya sedikit yang berhasil membuat perahu dan melarikan diri pada malam hari ke Kepulauan Kei, Kisar, Seram Laut, dan pulau-pulau kecil lainnya di Kepulauan Goram. Penduduk pulau terluar Rosingain yang kecil ketakutan dideportasi ke pulau-pulau utama dan kemudian disebar ke perkebunan pala sebagai pekerja paksa. Setelah penaklukan tersebut, hanya sekitar 1000 dari sekitar 15.000 penduduk kepulauan Banda yang tersisa, beberapa ratus diantaranya tidak kena dampak di pulau Run. Hanya karena kehadiran Inggris, pulau ini tidak terlibat pertempuran. Namun karena kurangnya perlindungan yang efektif, penduduknya dipaksa oleh Coen untuk melakukan kewajiban kontrak baru.
Setelah itu, kekuasaan VOC atas Kepulauan Banda hampir selesai. Kehadiran Inggris yang sesekali terjadi di Nailaka dan klaim atas Run tidak terlalu mengganggu Belanda, meskipun mereka mengevakuasi pulau tersebut demi alasan keamanan dan memusnahkan semua pohon pala. Selanjutnya pulau tersebut dibiarkan liar, dan ternak dibiarkan bebas berkeliaran untuk menyediakan makanan bagi pulau-pulau lainnya. Pada tahun 1683, pihak Inggris tidak diberi akses ke Run karena Belanda khawatir mereka akan menggunakannya sebagai basis untuk menyelundupkan pala dari Banda ke Makassar, yang saat itu merupakan surga perdagangan bebas bagi oposisi Belanda di perairan Indonesia. Untuk mencegah hal ini, para pejabat VOC mengunjungi Run setiap tahun setelah itu. Eksploitasi Inggris kemudian tetap menjadi sebuah surat mati. Masalah ini belum terselesaikan sampai Perdamaian Breda pada tahun 1667d, ketika Inggris akhirnya melepaskan klaim mereka, dan Belanda secara resmi memperoleh kepemilikan penuh atas Kepulauan Banda17.
Semua ini membuktikan tekad Belanda dalam melaksanakan strategi monopoli mereka. Namun, mereka menghadapi masalah besar ketika menguasai pulau-pulau tersebut pada tahun 1621. Seluruh masyarakat Banda hancur. Pulau-pulau tersebut hampir tidak berpenghuni, dan penduduk Rosingain – dan kemudian Run – berasal dari desa mereka dan tersebar di Neira, Lonthor, dan Ay. Perlawanan keras pemimpin di Lontohor menimbulkan masalah tambahan yang berlangsung berbulan-bulan setelah penaklukan. Sebelum pendudukan efektif, sekitar 2.000 pejuang18 harus diusir dari pegunungan, karena mereka mengancam akan mengeksploitasi sumber daya ekonomi. Kecuali pulau Ay, aktivitas ekonomi di sebagian besar pulau hampir terhenti pada saat itu. Dalam keadaan seperti itu, pulau-pulau tersebut hanya akan menimbulkan biaya, tanpa manfaat apapun bagi perusahaan/VOC. Untuk mendapatkan hasil dari keberhasilan militernya, VOC harus memanfaatkan seluruh keterampilan organisasinya dan melanjutkan produksi pala dan bunga pala yang sangat menguntungkan sesegera mungkin. Untuk tujuan ini, Gub Jend Coen memberikan instruksi khusus kepada komandannya, Martinus Sonck.
Coen tidak pernah merahasiakan bahwa ia bermaksud mendirikan koloni Belanda dan Eropa lainnya di Asia19. Mereka akan menyediakan dasar bagi VOC, serta menjaga jaringan perdagangan antar Asia – walaupun tidak dalam bentuk barang monopoli kompeni, tentu saja – hal ini akan menjadi landasan bagi operasional perusahaan. Dalam pandangan Coen, pemukiman permanen akan sangat mengurangi gaji perusahaan dan meningkatkan pendapatan tol dan pajak. Oleh karena itu, bisnis di Asia diharapkan dapat mandiri dan menyerahkan keuntungan perdagangan rempah-rempah sepenuhnya kepada negara. Dengan cara ini, transfer uang yang mahal dan beresiko ke Asia juga dapat dikurangi hingga tingkat minimum yang diperlukan. Keuntungan lain dari pemukiman permanen adalah bahwa pada saat perang, para penjajah dapat dengan cepat dimobilisasi untuk membela kompeni, yang kesejahteraannya sangat mereka andalkan20. Dalam pandangan Coen, kebijakan pemukiman permanen adalah kebijakan yang paling murah, paling aman, dan paling stabil untuk melakukan bisnis di Asia. Banda memberikan kesempatan untuk melaksanakan rencana tersebut.
VOC membentuk “cangkang” luar kehidupan koloni. Ia menangani perlindungan maritim dan militer (kapal dan benteng) dan infrastruktur (transportasi, bangunan, cekungan air dan sumur, serta fasilitas industri rumah tangga). Banda juga mengimpor kebutuhan dasar yang diperlukan untuk menjalankan pemukiman baru tersebut, karena – selain buah-buahan, sayur-sayuran, dan hewan ternak – Banda kekurangan hampir semua hal untuk menyokong masyarakat. VOC berkomitmen untuk memasok budak, dan menjaga persediaan beras dalam jumlah yang cukup untuk 1 tahun, dan menjualnya dengan harga tetap kepada para pemukim21.
Dengan cara yang mirip dengan pembagian pulau Ay setelah tahun 1616, tanah garapan dibagi menjadi beberapa bagian, yang disebut perken22, dan dibagikan kepada imigran Eropa, yang selanjutnya disebut perkeniers. Sebenarnya hal ini dilakukan dengan sistem sewa-menyewa, meskipun para penjajah menerima tunjangan segera menganggap diri mereka sebagai pemilik swasta23. Bersama dengan para pejabat VOC yang lebih tinggi, mereka menganggap diri mereka sebagai lapisan elit dalam masyarakat baru. Pembagian awal luas wilayah baru selesai pada tahun 1628, meskipun hal ini tidak berarti semuanya menetap dan tidak berubah sejak saat itu. Pada tahun-tahun berikutnya, perken seringkali diperbesar melalui akuisisi sebagian atau seluruh bidang tanah yang berdekatan, atau dikurangi ketika perken dari para pekebun yang meninggall dibagi di antara anak laki-laki atau debitur. Oleh karena itu, sangat sulit untuk memberikan survei singkat mengenai berapa banyak yang ada pada tahap ini, atau siapa pemiliknya.
Ruang lingkup penyelidikan
Pada titik ini, saya ingin menyela uraian singkat tentang masyarakat baru, untuk menjelaskan lebih banyak asumsi dan prosedur penelitian saya. Mempelajari masyarakat masa lalu, saya pikir tidak mungkin memisahkan berbagai bidang aktivitas manusia tanpa membahayakan pandangan keseluruhan, atau setidaknya mengurangi validitasnya. Untungnya, Banda adalah wilayah geografis yang kecil, dengan populasi hanya sekitar 4.000 jiwa pada pertengahan tahun 1620-an, dan sumber-sumber yang ada tidak begitu banyak sehingga saya harus membatasi diri secara kronologis sedemikian rupa sehingga akan mengalihkan perhatian dari proyek secara keseluruhan. Keterbatasan geografis dan demografis ini memungkinkan saya mempelajari aktivitas politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan penduduk Banda selama kurun waktu sekitar 50 tahun, sambil tetap memperhatikan perkembangan atau kejadian demografis, budaya, dan psikologis. Informasi mengenai aktivitas manusia di bidang apapun akan berkontribusi pada rekonstruksi kisah masyarakat kolonial ini. ketertarikan yang begitu luas ini dicontohkan oleg beberapa pertanyaan yang telah saya rumuskan :
§ Bagaimana kebijakan VOC terhadap Banda? Apakah tindakan tersebut membatasi, menstimulasi, toleran, acuh tidak acuh?
§ Bagaimana pembagian perken dan kepemilikan selanjutnya? Kapan para perkeniers mulai menganggap tanah mereka sebagai milik pribadi?
§ Siapa saja para perkenier itu? Apa negara asal mereka, latar belakang mereka? Di mana mereka menetap? Apa mereka membawa istri dan keluarganya, atau apakah mereka memulai sebuah keluarga di Asia, dengan istri atau selir orang Asia?
§ Apa peran budak? Berapa jumlah mereka, darimana asalnya, bagaimana perlakuannya? Apakah terjadi kreolisasi, marooning, atau pembebasan?
§ Bagaimana posisi penduduk lain, misalnya para pedagang bebas Eropa atau Asia?
§ Sejauh mana kegiatan ekonominya? Bagaimana produksinya, pendapatannya, kualitas rempah-rempahnya?
§ Bagaimana bentuk struktur ekonomi lokal? Bagaimana kepemilikan ekonomi dibagi? Apakah ada stratifikasi berdasarkan kekayaan, selain pembagian antara pemilik perkebunan Eropa dan budak Asia?
§ Kehidupan seperti apa yang dijalani oleh orang baru di Banda? Apa agama, kegiatan (sub) budaya dan pekerjaan mereka? Sejauh mana semua ini ditentukan oleh struktur kegiatan ekonomi?
§ Apakah pemukiman ini benar-benar berkembang menuju suatu masyarakat yang sebanding dengan masyarakat lain di wilayah yang ditetapkan VOC?
Ini semua adalah pertanyaan yang dapat dijawab, setidaknya sebagian, dengan menyaring sumber secara sistematis, memberikan perhatian khusus pada materi yang belum – atau hanya dianalisis secara kasar. Hal ini mencakup data statistik mengenai aspek demografi koloni, serta angka produksi dan transportasi yang mungkin menunjukkan berapa banyak pala dan bunga pala yang meninggalkan pulau-pulau tersebut, dan berapa banyak yang benar-benar tiba di Batavia. Ditambah dengan angka jumlah armada yang berangkat pulang, hal ini akan menunjukkan berapa volume produksinya, dan dampaknya terhadap perdagangan antar Asia, baik legal maupun legal.
Pemetik Pala di Banda, ca. 1875 |
Sumber material mengenai aktivitas Belanda di Banda memang banyak sekali. Kehadiran VOC pada abad ke-17 dan ke-18 menghasilkan aliran surat, laporan, dan dokumen lain yang terus meningkat baik ke Batavia maupun kepada para Direktur di Belanda. Pemeriksaan mendalam terhadap dokumen-dokumen tersebut menawarkan kemungkinan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diajukan. Namun sayangnya, sumber-sumber tidak dapat menceritakan keseluruhan kisahnya kepada kita. Hal-hal tersebut mendorong kita ke arah kisah yang bersifat Eropa, atau setidaknya berpusat pada perusahaan/kompeni, seperti yang sering kita lihat di masa lalu. Hal ini tidak adil bagi penduduk Banda lainnya, juga tidak akan memenuhi tujuan saya untuk menggambarkan masyarakat Banda secara keseluruhan, bukan hanya bagian yang terdokumentasi dengan baik saja. Saya berharap dapat memberikan wawasan mengenai kehidupan para penjajah dan juga penduduk lain di Banda yang baru, termasuk para budak dan pemilik tanah bebas. Dari kategori-kategori terakhir ini, kita hampir tidak mengetahui apapun. Setidaknya ada kemungkinan untuk mendokumentasikan aspek-aspek kuantitatif dari bagian populasi ini, meskipun masih sulit untuk mengembangkan pandangan yang cukup jelas mengenai kehidupan dan pekerjaan mereka yang sebenarnya.
Untuk itu perlu berkonsultasi dengan sumber-sumber selain dari VOC. Sayangnya, tidak banyak yang tersisa. Hanya sedikit pejabat, karena berbagai alasan, yang menyimpan buku harian pribadi atau membuat catatan24. Banyak catatan pribadi dan dokumen semacam ini yang hilang. Para perkenier sendiri tentu saja tidak terlalu melek huruf; sudah jelas latar belakang budaya mereka. Oleh karena itu, pengawasan yang cermat dan imajinatif terhadap sumber-sumber kompeni/perusahaan untuk mencari bukti tidak langsung adalah hal yang tersisa ketika dokumen pribadi atau surat dan laporan lain yang langka tidak dapat memberikan gambaran yang jelas. Masih harus dilihat apakah hal ini akan membuktikan adanya kelemhan dalam proyek tersebut.
Kehidupan di Banda [yang] baru
Lalu bagaimana para pejabat kompeni, perkenier, budak dan penduduk lainnya mendirikan Banda baru setelah tahun 1621???. Meskipun setidaknya di Lontohor sebagian besar desa dan bangunan telah hancur, sebagian besar pohon pala tidak mengalami kerusakan. Meski begitu, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membersihkan lahan dari puing-puing dan menyiangi kebun yang sangat terbengkalai agar panen dapat dilakukan dengan baik. Namun karena siklus panen yang terus menerus yaitu 3 kali panen setiap tahunnya, produksi pada dasarnya dapat dilanjutkan kembali segera setelah tenaga kerja yang dibutuhkan telah diperoleh25. Dalam upaya ini, sisa penduduk pribumi/asli dipekerjakan26, meskipun perusahaan/kompeni lebih memilih untuk mendeportasi mereka dan menggantinya dengan budak-budak yang berasal dari luar negeri, karena orang Banda dianggap tidak dapat dipercaya dan umumnya enggan berkontribusi dalam produksi. Selain itu, jumlah orang Banda yang tersisa tidak cukup. Maka kompeni mendatangkan budak-budak dalam jumlah besar, yang biasanya diperoleh dari pasar budak daerah di pesisir tempat VOC berdagang, jika mereka bukan tawanan. Di pulau Ay ada sekelompok besar orang dari Siauw, yang dibawa ke sana setelah tahun 1616. Setelah penaklukan terakhir atas Banda pada tahun 1621, budak-budak didatangkan dari Gujarat, Malabar, Koromandel, semenanjung Malaya, Jawa, Kalimantan, pesisir Cina, Buton, dan beberapa wilayah lainnya, Maluku, Kei, dan Aru. Tahanan Spanyol, Jawa, dan Makassar juga ditambahkan. Selama dekade-dekade pertama, kompeni harus memastikan aliran budak yang berkelanjutan karena banyak dari mereka yang meninggal – akibat perlakuan buruk, kondisi yang keras, penyakit (terutama beri-beri), dan kesengsaraan – atau mencoba melarikan diri ke luar negeri. Selama tahun-tahun pembentukan ini, hampir tidak terjadi kreolisasi apapun, namun belakangan populasinya tampak stabil, karena impor budak dalam skala besar (ratusan orang sekaligus) berkurang.
Para perkenier berhak atas sejumlah budak tertentu27, yang diperlukan untuk menggarap lahan, memelihara pohon, menyiangi, serta memanen dan mengolah pala dan bunga pala. Tentu saja, para pekerja paksa ini harus diberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan pengawasan dalam pekerjaan sehari-hari mereka serta untuk alasan keamanan. Semua ini merupakan tugas para perkenier, yang menerima dukungan penuh material dan militer serta perlindungan dari pejabat kompeni dan serdadu yang ditempatkan di benteng-benteng dan kubu pertahanan. Namun baik para prajurit maupun majikan sipil mereka tidak dapat mencegah kaburnya para budak dari pulau-pulau tersebut, terutama pada tahun-tahun pertama. Meskipun para pelarian biasanya mencuri dalam kelompok-kelompok kecil, frekuensi pelarian menjadi sedikit demi sedikit sehingga sangat mengkhawatirkan para pemilik perkebunan dan petugas kompeni. Pelarian yang disertai dengan penyakit, kematian, dan sikap negatif para budak secara umum menyebabkan kekurangan tenaga kerja yang membahayakan proses pemanenan dan pengolahan. Yang lebih meresahkan adalah kenyataan bahwa orang-orang Banda yang diperbudak, terutama yang dideportasi dari Run, biasanya melarikan diri dengan bantuan rekan-rekan mereka yang sebelumnya melarikan diri ke Seram dan pulau-pulau sekitarnya, dan menetap di sana setelah tahun 1621. Pada malam bulan purnama, orang-orang maroon ini datang dengan kora-kora ke pantai terluar Lonthor atau ke Rosingain, kadang-kadang bahkan jalur antara Neira dan Lonthor, dan sampai ke Run. Ketika akan ditangkap, mereka sudah pergi sebelum Belanda dapat menangkapnya, dan dengan sigap bersembunyi di kapal/perahu kecil mereka. Hal ini bahkan memaksa Belanda untuk memperoleh ABK orembai dan kora-kora untuk berpatroli di laut sekitar Banda pada malam hari, menempatkan penjaga di rumah-rumah, ditambah dengan prajurit dan pelaut apapun yang dapat disisihkan oleh garnisun. Selain itu, benteng tambahan baru harus dibangun di pantai luar Lonthor, mengendalikan teluk yang relatif sepi atau tempat berlabuh seperti Wayer dan Denner, untuk mencegah pendaratan maroon Banda. Orang Banda yang kembali tidak hanya membantu rekan sebangsanya, mereka juga menculik budak lain (yang tidak mau), mencuri ternak, dan bahkan menyerang penduduk Eropa. Singkatnya, pada tahun-tahun pertama ini mereka menjadi ancaman serius bagi masyarakat baru di Banda28.
Para perkenier berkomitmen untuk menjual seluruh hasil panen pala dan bunga pala kepada kompeni, sekali lagi dengan harga tetap29. Uang ini memungkinkan mereka untuk memberli produk-produk yang diperlukan yang tersedia di toko/gudang kompeni, serta budak. Tidak jelas komoditas apa yang sebenarnya diimpor dari Eropa, namun tampaknya impor tersebut hanya terbatas pada kebutuhan hidup saja, seperti makanan, pakaian (termasuk pakaian yang sudah ketinggalan jaman seperti stoking gabardine dan topi berbahan kain hitam), perkakas (untuk pengrajin maupun untuk keperluan pribadi), kertas, dan pensil, senjata, bahan bangunan (batu bata, timah, kayu), persedian apapun dari minyak lampu hingga obat-obatan, tidak ketinggalan banyak barel bir, anggur, dan arak. Namun peralatan yang kurang mendasar, seperti buku (untuk keperluan gereja dan sekolah), timah, atau barang pecah belah porselin (untuk meja Gubernur) juga didatangkan dari Batavia. Barang perdagangan utama yang diimpor untuk berhubungan dengan masyarakat lain di wilayah tersebut adalah kain.
Namun pada dasarnya dibutuhkan Banda adalah makanan. Selain beras yang diperoleh melalui kompeni (yang sebagian besar berasal dari Jawa, kadang-kadang Siam atau Jepang), penduduk mencoba memperoleh jenis makanan yang lain, terutama sagu, tetapi juga garam, kelapa, kacang polong, dan kacang hijau dalam jumlah yang lebih sedikit. Mereka juga mencoba memperoleh komoditas Asia untuk ditukar, seperti kain kasar, gong, atau senjata. Untuk itu mereka akan beralih ke pedagang bebas yang singgah di Banda, entah Belanda atau Asia. Yang pertama sebagian besar adalah bekas personil kompeni yang kontraknya telah habis, para pencari keberuntungan yang memutuskan untuk tinggal di Asia dan mencari nafkah melalui perdagangan antar pulau. Beberapa dari mereka, yang dikenal sebagai vrijburgers (burger bebas), bermarkas di jalan-jalan utama Neira. Mereka memperdagangkan segala sesuatu yang menguntungkan di luar monopoli kompeni (dan mungkin juga di dalamnya), namun sebagian besar adalah bahan makanan. Mungkin juga terdapat para pedagang bebas Asia yang menetap di Banda (kita tahu bahwa jumlahnya cukup banyak sebelum tahun 1621), namun sumber-sumber pada tahun-tahun pertama tidak menyebutkan tentang mereka. Para pedagang Asia yang singgah di Banda adalah orang Jawa (bagian timur) dan juga sebagian orang Makassar, tetapi sebagian besar adalah pelaut dari Kei dan Aru; belakangan, pedagangan Seram juga muncul di Banda. Hal-hal tersebut merupakan contoh kelanjutan – dalam skala yang lebih kecil, dan kandungan yang berbeda, karena rempah-rempah tidak lagi dapat dipasarkan – aliran perdagangan tradisional yang bervariasi dari dan ke Banda, yang selama berabad-abad merupakan pusat kepentingan antar wilayah sebelum perekonomian ini terganggu oleh penaklukan Banda tahun 1621. Selama para pedagang Asia mempunyai “paspor”, atau izin dari VOC, mereka juga, seperti para pedagang bebas Eropa, diperbolehkan memperdagangkan apapun kecuali barang-barang dibawah monopoli VOC. Selain bahan makanan yang disebutkan, produk ini juga terdiri dari produk rumahan seperti cangkang kura-kura, bulu burung cendrawasih, atau kayu cendana, tetapi juga pembuatan ulang orembai dan kora-kora dari Kei yang sangat dihargai. Produk-produk ini umumnya ditukar dengan berbagai macam kain, yang diimpor oleh kompeni terutama dari pesisir Coromandel. Suatu tol harus dibayarkan kepada kompeni atas nilai barang yang diperdagangkan.
Perusahaan juga mengenakan pajak sebesar 10% atas arak buatan sendiri. Para perkenier lebih menyukai arak yang disuling dari beras, namun ketika hal ini dilarang karena penggunaan beras Jawa mahal dalam jumlah berlebihan, mereka beralih ke tuak. Bunga pala dan pala sendiri juga dikenakan pajak dengan tarif yang sama. Perusahaan menjalankan hak penangkapan ikan, produksi buah-buahan, dan hak penyulingan arak. Oleh karena itu, para pemukim yang giat dapat mencoba mendapatkan uang tambahan dengan menjual hasil hak-hak tersebut kepada sesamanya. Namun bagi kompeni, hal ini tidak berarti pendapatan yang besar, karena khususnya pada tahun-tahun pertama ini, para pemungut pajak tidak dapat membayar iuran mereka, karena terdapat kekurangan uang yang sangat besar, dan banyaknya pemukim yang berhutang.
Urusan administrasi seluruhnya ditangani oleh para pejabat kompeni yang bermarkas di pulau-pulau tersebut, yang biasanya tinggal di, atau dekat dengan benteng atau kubu pertahanan. Pusat administrasi berpusat di benteng Nassau di Neira, dan benteng Revenge di Ay. Yuridiksi dan pelaksanaan sistem peradilan – serupa dengan hukum dan yurisprudensi yang lazim di Republik Belanda – pada mulanya juga secara eksklusif dimiliki oleh VOC, namun tak lama kemudian dibentuklah pengadilan (Raad van Justitie) oleh kompeni, seperti juga anggota sipil, yang didirikan di Neira dan Ay. Meski begitu, dalam kasus hukuman badan atau hukuman mati, pelaksanaan hukuman memerlukan konfirmasi dari Gubernur dan Dewannya, dan seperti sebelumnya, pelanggaran besar terus ditangani oleh lembaga ini.
Ada satu faktor lain yang memainkan peranan penting dalam masyarakat baru : Gereja. Agama resmi VOC adalah Calvinisme ala Belanda, dan karenanya Gereja Reformasi Belanda adalah satu-satunya denominasi yang ditoleransi di Banda (bagi orang Eropa). Agama Katolik, yang diperkenalkan pada abad ke-16 oleh kaum Jesuit Portugis, dilarang dan diberantas. Para budak dapat mempertahankan kepercayaan Islam atau animisme mereka tetapi harus berpindah ke agama ke Protestan jika memungkinkan. Budak perempuan yang diangkat menjadi istri oleh kaum kolonialis harus dibaptis terlebih dahulu. Setiap orang yang bertobat harus membuktikan pengetahuannya (yang terbatas) tentang prinsip-prinsip iman Kristen dan mampu setidaknya secara fonetis melafalkan Doa Bapa Kami dan beberapa doa atau Mazmur, dan menjawab dengan benar ketika ditanyai tentang katekismus. Bahkan ketika standar-standar Kristen dari orang-orang yang berpindah agama tersebut (dan juga standar orang-orang Eropa, dalam hal ini) seringkali diejek, dan Dewan Gereja mengeluh tentang kawanan yang tidak patuh dan bodoh, gereja dan para pelayannya (pendeta, guru sekolah, dan pengunjung/penghibur orang sakit) masih mampu mempengaruhi dan mengendalikan kehidupan spiritual penduduknya, serta pelaksanaan pendidikan formal dan sebagian besar pelayanan kesehatan (sebagaimana manfaatnya) dan kesejahteraan. Orang-orang ini mewakili ototritas selain kompeni. Tergantung pada kualitas moral mereka, mereka mempunyai pengaruh terhadap penduduk pulau-pulau tersebut, bahkan cukup besar dibandingkan dengan kekuasaan administratid dan sarana yang dimiliki gereja. Karena cara-cara ini tidaklah banyak : kompeni, meskipun berdasarkan piagamnya telah berkomitmen untuk menegakkan dan menyerbarkan iman Kristen yang sejati, melakukan hal ini dengan cara yang seringkali hanya dapat digambarkan sebagai tindakan yang minimalis. Bertentangan dengan apa yang lazim di Republik, dan menimbulkan kemarahan para pendeta, kompeni juga meminta agar mereka mendapat tempat di Dewan Gereja, agar mereka mempunyai informasi orang dalam yang lengkap tentang apa yang diputuskan, dan berdasarkan pertimbangan apa. Terlepas dari sikap kompeni yang kooperatif, namun otoriter dan pelit, gereja dan pengurusnya, seperti semua orang di Banda, tetap bergantung sepenuhnya pada kompeni untuk keperluan hidup mereka sendiri, juga untuk buku, kertas, pensil, transportasi dan lain-lain yang diperlukan untuk pemenuhan tugas mereka. Meskipun demikian, gereja dan sekolah tetap ada di Neira, Ay, dan benteng Hollandia di Lonthor (dan kemudian di pemukiman lain juga). Dua orang, terladang 3 orang pendeta berkeliling pulau-pulau untuk menjunjungg tinggi kualitas moral penduduknya, dengan mengatur kebaktian dan pembacaan Alkitab; perawat orang sakit mengawasi kesehatan rohani penduduk. Tidak ada keraguan bahwa gereja dengan cara ini merupakan sarana penting bagi kohesi sosial (walaupun harus diakui lapisan Kristen dalam masyarakat ini masih cukup tipis/sedikit), yang dicapai meskipun terdapat sikap kompeni yang kritis dan cara-cara yang cukup moderat.
Sketsa masyarakat baru ini cukup untuk menekankan ketergantungan total para kolonialis pada VOC. Tidak ada satu pun aspek kehidupan di Banda yang tidak – secara aktif atau pasif – dikendalikan oleh kompeni, mulai dari kondisi fundamental kehidupan di Banda sehingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih umum atau tidak terlalu mendesak. Bahkan aspek struktural seperti stratifikasi sosial, atau sifat eksploitasi ekonomi bersifat apriori, atau pada akhirnya ditentukan oleh pengaruh kompeni, secara sadar. Tidak ada hal apapun di Banda selama periode ini yang dapat dilihat di luar kerangkan dominasi VOC, bahkan aktivitas-aktivitas yang sebagian besar terjadi di luar persepsi mereka, seperti perdagang antar daerah yang dilakukan oleh pedagang pribumi. Namun, seperti yang akan saya coba tunjukkan, di Banda berkembang suatu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tersendiri, khas dan bahkan unik bila dibandingkan dengan kasus-kasus eksploitasi kolonial masa kini.
Sebagai permulaan, kasus Banda sangat berbeda dengan modus dominasi kolonial yang biasa dilakukan di Maluku atau di tempat lain di Asia. Jika kita melihat secara luas ekspansi Belanda di Asia pada awal abad ke-17, kita dapat melihat bahwa, pada umumnya, VOC berupaya memasuki pasar dengan membuka pos perdagangan atau pabrik di pesisir pantai dan berbisnis dengan pedagang lokal atau pejabat pemerintah. Mereka menyerahkan diri mereka setidaknya secara nominal kepada otoritas penguasa setempat, berpegang pada peraturan setempat dan perpajakan, dan setuju untuk melakukan bisnis dengan pijakan yang setara. Oleh karena itu, mereka menampilkan diri mereka terutama sebagai pedagang atau saudagar, bukan sebagai penjajah atau penguasa. Dan pada kenyataannya, nampaknya para petinggi VOC pada saat itu tidak terlalu tertarik pada kekuasaan teritorial, namun pada dasarnya mencari uang melalui perdagangan yang bersifat perang dan agresif. Apapun yang menyebabkan keuntungan tidak seimbang, seperti besarnya penaklukan, pendudukan, dan administrasi, pada prinsipnya harus dihindari.
Namun ketika, karena alasan apapun, kebijakan ini dinilai tidak mencapai tujuan yang diinginkan, mereka tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang sangat ampuh untuk mengatur situasi keinginan mereka. Hal ini biasanya berarti pemecatan secara efektif para atasan setempat, baik dengan paksaan atau dengan kekerasan, setelah itu para pejabat VOC mengambil alih posisi-posisi administratif utama. Pedagang kemudian menjadi gubernur, memiliki kesatuan wilayah, dan memerintah masyarakat pribumi dengan tradisi dan hukumnya.
Di Banda, baik pola pertama maupun pola kedua tidak diikuti, seperti yang kita lihat di atas. Hanya dengan kekerasan saja, penduduk, dan akibatnya struktur sosial dan ekonomi, (hampir) hancur total, meninggalkan lahan yang hampir kosong untuk dibangun kembali dari bawah ke atas. Inilah ciri yang menjadikan Banda sebuah kasus yang sulit dibandingkan dengan kasus-kasus lain, setidaknya dengan contoh-contoh yang lebih dikenal seperti Amboyna, pantai utara Jawa, atau pemukiman di India dan Ceylon.
Karena nilai ekonominya, karena keuntungan pala dan bunga pala, Banda ditaklukkan dan diubah menjadi masyarakat baru. Dengan sengaja VOC menciptakan koloni produksi pertanian, dengan menggunakan sistem eksploitasi yang belum pernah dialami oleh para pejabat VOC, dan belum pernah terjadi di Asia. Oleh karena itu, Banda berbeda dari permukiman lain yang didirikan dalam batas-batas wilayah sewaan VOC pada setiap tahap antara tahun 1602 ketika kompeni didirikan, dan pada tahun 1795 ketika kompeni runtuh karena bebannya sendiri. Bahkan Batavia, yang dirancang sebagai pusat pertemuan dan pemerintahan, tidak dimaksudkan sebagai pemukiman produksi, apalagi untuk produksi pertanian. Dan pada kenyataannya, wilayah tersebut tidak pernah menjadi satu, paling tidak melebihi titik swasembada30. Pemukiman lain yang tampaknya serupa, Tanjung Harapan, awalnya dimaksudkan sebagai kebun buah-buahan dan sayur-sayuran bagi kapal-kapal VOC yang mendarat di titik paling selatan Afrika ini, sebelum mereka memulai perjalanan mereka melalui jalur yang panjang dan beresiko menuju jalur antara Sumatera dan Jawa, dimana tidak ada kemungkinan untuk mengambil perbekalan sampai kapal-kapal tersebut mencapai Batavia. Oleh karena itu, produksi pertanian di Tanjung ini berperan penting bagi infrastruktur VOC, cukup penting dari sudut pandang strategis, namun tidak pernah menjadi sasaran ekonomi tersendiri, karena merupakan wilayah yang menghasilkan keuntungan besar dari produksi eskpor.
Perjanjian Breda, Juli 1667 |
Hal ini membuat Banda menjadi contoh kolonialisme VOC yang tidak biasa, sebuah contoh unik ekspansi Eropa di Indonesia, atau bahkan Asia, pada periode modern awal. Hal ini cukup menarik untuk memicu penyelidikan lebih lanjut, untuk menjelaskan pengecualian yang kontras dengan cara kolonisasi VOC pada umumnya. Oleh karena itu, studi mengenai koloni juga akan meningkatkan pemahaman kita tentang cara kerja VOC secara umum di Asia.
Namun kasus Banda dapat ditangani pada tingkat yang berbeda dan lebih abstrak. Dari mana asal mula model eksploitasi yang diterapkan di Banda? Hal ini tentu saja bukan merupakan fenomena di Asia, bahkan jika aspek-aspek tertentu dari hal tersebut, seperti perbudakan, pada kenyataannya merupakan fenomena yang ada di Asia dan bahkan di kawasan itu sendiri31. Namun, model ekonomi ini diperkenalkan oleh orang-orang Eropa, dengan cara yang mengacu pada fenomena kebiasaan Eropa atau asal usul intelektual. Penerapannya cukup efektif untuk menunjukkan bahwa Coen dan anak buahnya tahu persis apa yang mereka lakukan. Harus dipertimbangkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan untuk mengeksploitasi Banda bukan sekedar penambahan oportunistik pada ciri-ciri ekonomi dan sosial yang terpisah, namun bahwa penyelesaian baru diciptakan atas dasar sistem yang koheren, yang secara apriori dibayangkan oleh Heeren XVII dan para perwiranya di Asia. Apakah hal ini benar atau tidak, tentu saja masih terbuka untuk didiskusikan, namun menurut saya, bukanlah suatu kebetulan bahwa fitur-fitur dasar diperkenalkan dengan cara yang disengaja.
Melihat keunikan Banda di Asia sebagai fakta, ada gunanya mencoba menganalisis beberapa karakteristik strukturalnya. Hal ini akan memungkinkan kita untuk melihat kasus ini dari sudut pandang lain, agar dapat membandingkannya dalam konteks global.
Sangat mudah untuk melihat ciri-ciri tertentu yang khas dari masyarakat perkebunan. Hal ini mencakup aspek ekonomi dari cara produksi perkebunan, dimana terdapat banyak literatur, baik pada tingkat studi kasus maupun dalam bidang teori. Untuk membatasi diri kita pada pendekatan terakhir saja – yang tampaknya merupakan pendekatan yang lebih bermanfaat, karena seseorang dapat menghabiskan seumur hidup melakukan penelitian untuk mempelajari semua masyarakat perkebunan yang berbeda – masih tidak mudah untuk mensurvei berbagai publikasi yang telah membuahkan hasil interpretasi yang hampir sama banyaknya. Hal ini dapat dimengerti karena subjeknya dapat didekati dari sudut pandang yang berbeda : di satu sisi Banda dapat dianggap sebagai sebuah keinginantahuan yang sepenuhnya bersifat historis, terpisah dari masa kini, seperti sebuah dunia yang pernah ada namun tidak ada lagi; atau sebaliknya jika melihat ke belakang pada akhir abad ke-20, sebagai contoh kolonialisme dalam bentuknya yang paling awal, yang masih mengandung kondisi aktif yang cukup untuk fenomena yang saat ini biasa disebut “keterbelakangan”. Analisis juga menjadi rumit karena penulis yang berbeda menggunakan kriteria definisi yang berbeda, dengan fokus pada konsentrasi lahan (rasio antara ukuran dan jumlah pekerja), atau status angkatan kerja (bebas vs tidak bebasa atu diperbudak; terampil vs tidak terampil), bagian tanaman perkebunan dalam total ekspor, tanaman yang ditanam, pembagian kerja, rasio antar nilai modal dan tenaga kerja (yang juga mencakup tingkat perkembangan teknis), dan distribusi politik dan kekuasaan administratif dalam masyarakat32.
Untuk menyaring model teoritis ekonomi perkebunan yang bisa diterapkan, meskipun di mata para ahli mungkin agak dangkal pada tingkat umu, dalam baris berikut ini saya akan membiarkan diri saya menerima kualitas-kualitas inheren tertentu sebagai hal yang esensial, agar singkatnya. Pertama perekonomian yang sebagian besar33 didasarkan pada produksi tanaman skala besar untuk tujuan ekspor, yang diselenggarakan dalam unit produksi pertanian, perkebunan, yang pada hakikat dan perwujudannya sangat menentukan masyarakat dan kehidupan pribadi dari penduduknya. Unit-unit perkebunan menjadi landasan utama terbentuknya masyarakat seperti ini.
Saya bermaksud melihat perkebunan itu sendiri sebagai fenomena sejarah, yang berpindah dari satu wilayah geografi ke wilayah lain, sebagai contoh kolonialisme fisik dan intelektual34. Pada dasarnya, perkebunan dapat dilihat sebagai bentuk pertanian “industrialisasi”, yang menggabungkan modal, tanah, tenaga kerja, dan teknologi dalam kombinasi yang rasional, dengan tujuan mencapai produksi pertanian berskala besar dan menguntungkan.
Modal investasi yang diperlukan untuk memulai perkebunan relatif tinggi. Untuk menjamin keuntungan, penggunaan lahan, tenaga kerja, dan teknologi difokuskan pada produksi massal, sehingga memungkinkan efisiensi dan pemanfaatan maksimum. Modal biasanya dipasok oleh pihak luar, atau investor asing yang tujuan utamanya tentu saja untuk memaksimalkan keuntungan. Tanah, tenaga kerja, dan peralatan yang dirasionalisasikan secara “modern”, artinya hanya dianggap sebagai komoditas.
Perkebunan produksi yang relatif berskala besar ini bergantung pada pasar berskala besar yang berlokasi di negara asal pemodal. Produksi erat kaitannya dengan kapasitas pasar ini. Hal ini sangat terspesialisasi, biasanya terbatas pada satu jenis tanaman saja, sehingga menghubungkan nasib perekonomian secara keseluruhan dengan nasib pasar metropolitan.
Penanam harus mempunyai lahan yang cukup untuk memungkinkannya menghasilkan tanaman komersial dalam jumlah yang cukup. Jika tidak, ia akan cenderung memperluas wilayahnya atau terjerumus ke dalam utang dan akhirnya bangkrut. Akibat dari penggunaan lahan di wilayah tersebut juga merupakan faktor penentu sosio-ekonomi : hal ini melemahkan produksi subsisten, atau bentuk-bentuk usaha pertanian lainnya, sehingga menelan sebagian besar lahan dan tenaga kerja pertanian. Sebagai jenis produksi utama di wilayah yang luas, sektor perkebunan mendominasi wilayah ini secara fisik dan sosial. Infrastruktur, misalnya, ditentukan oleh kebutuhan perkebunan; inisiatif pertanian lainnya benar-benar terpinggirkan dari masyarakat seperti itu. Akibatnya, tidak banyak ruang tersisa bagi kelas menengah pertanian yang memiliki tanah mandiri, baik secara fisik maupun ekonomi. Kapasitas masyarakat agraris untuk menghasilkan alternatif ekonomi dibandingkan hanya memproduksi satu atau dua jenis tanaman sangatlah kecil. Akibatnya, perekonomian secara keseluruhan masih sangat rentan terhadap pengaruh dan perkembangan pasar luar yang terkait, terutama di wilayah penjualan (pasar metropolitan), namun juga di unit-unit ekonomi di sekitarnya.
Untuk alasan profitabilitas, harus ada cadangan tenaga kerja murah dalam jumlah besar. Jika tidak tersedia di suatu daerah, seringkali tenaga kerja harus didatangkan dari daerah lain. Pekerja yang biasanya tidak memiliki ketrampilan tidak mempunyai hubungan dengan perusahaan selain melalui tenaga kerjanya. Posisi individunya sangat lemah. Oleh karena itu, pekerja yang didatangkan dari berbagai daerah dapat mengembangkan ikatan transkultural yang memecah perbedaan etnis atau budaya, sebuah proses yang pada akhirnya dapat mengakibatkan akulturasi total.
Teknologi dapat memainkan peran yang relevan dalam sebuah perkebunan. Pemrosesan dan pengangkutan hasil panen dalam jumlah besar dapat difasilitasi dan biaya dikurangi dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan teknis. Pengetahuan teknis ada pada pemilik atau wakilnya; pengajaran keterampilan teknis tertentu kepada beberapa pekerja dapat menghasilkan pembagian atau stratifikasi kerja yang lebih spesifik.
Naskah Perjanjian Breda, 1667 |
Semua ini berarti bahwa produksi diatur oleh seorang pemilik perkebunan – belum tentu pemilik tanah, karena ketidakhadiran merupakan hal yang umum terjadi – yang, kadang-kadang dengan staf yang sedikit, mengendalikan perkebunan dan produksi, serta mengawasi para pekerja dan hampir seluruh aktivitas mereka. Tujuannya adalah untuk menghasilkan tanaman yang dimaksudkan untuk ekspor, bukan untuk pasar dalam negeri, atau untuk keperluan subsisten. Pemilik perkebunan membawa pengetahuan pertanian dan kewirausahaan, serta sarana finansial dan administratif yang diperlukan untuk menjalankan bisnis. Dialah yang memiliki teknologi dan kemampuan untuk menerapkannya; dialah yang memutuskan pekerjaan apa yang harus dilakukan dan bagaimana pembagiannya. Para pekerjanya biasanya adalah buruh yang tidak memiliki keterampilan, atau hampir tidak terlatih35. Entah mereka budak, atau pekerja upahan (yang dibayar rendah), mereka selalu bergantung pada pemilk perkebunan. Kekuasaannya atas kaum buruh sangat luas; hampir tidak ada sesuatu pun yang luput dari perhatian atau pengaruhnya, dan dalam banyak kasus, dia benar-benar mengatur kehidupan mereka. Faktanya, hampir seluruh kegiatan perkebunan meliputi pengolahan tanah, pemanenan, dan penyiapan hasil panen untuk diekspor. Yang terakhir ini mungkin berbentuk proses yang kurang lebih terindustrialisasi, seperti dalam kasus produksi gula.
Apapun nilai dari deskripsi ini (yang agak konservatif), hal ini berkonsentrasi pada produksi tanaman untuk tujuan ekspor, dan ketergantungan yang diakibatkannya pada negara, atau wilayah dimana tanaman tersebut dipasarkan, serta pada kombinasi spesifik antara investasi modal, penggunaan teknologi, dan organisasi buruh. Konstruksi model teoretis ini tampaknya telah membawa kita ke Amerika Selatan atau yang lebih menarik lagi – karena di sini kita juga membahas perekenomian pulau-pulau kecil – ke Karibia. Namun, model ini nampaknya juga berlaku sepenuhnya pada situasi di Banda. Garis besar koloni Banda baru yang saya gambarkan di atas selaras dengan model yang diambil dari literatur teori umum. Di Banda juga terdapat produksi pasar berskala besar yang hanya menghasilkan satu jenis tanaman (pala, yang merupakan hasil samping dari bunga pala) yang diekspor ke bidang ekonomi lain, yang diwujudkan melalui kombinasi modal yang dipasok oleh investor luar negeri, pengetahuan dan keahlian yang disediakan oleh para pekebun, dan tenaga kerja yang tersedia oleh banyak pekerja yang tidak terampil. Hubungan dengan kota metropolitan tampaknya juga sangat penting : di sanalah perusahaan dibiayai, ditentukan isinya dan produknya dipasarkan.
Seperti saya nyatakan sebelumnya, saya belum sepenuhnya yakin bahw kondisi awal dan operasional yang menantukan perekonomian Banda yang baru adalah bagian dari satu sistem yang koheren, meskipun diperkenalkan dengan cara yang disengaja. Dapatkah kita, secara kebetulan, benar-benar berbicara tentang penerapan suatu sistem dalam arti serangkaian tindakan yang dihubungkan satu sama lain melalui logika internalnya masing-masing?
Apapun jawaban atas pertanyaan ini, hipotesis bahwa Banda memang merupakan koloni perkebunan, yang didukung oleh indikasi yang saya uraikan di atas, memainkan peranan penting dalam penelitian saya. Tentu saja, analisis dan rekonstruksi sejarah sangatlah penting, dan tugas yang melelahkan namun menarik ini tentunya harus mendahului upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teoritis semacam ini. Namun jika pertanyaan ini dapat dijawab dengan afirmatif maka hal ini akan membuat Banda menjadi kasus yang lebih luar biasa lagi, karena hal ini tidak hanya akan menegaskan sekali lagi bahwa situasi di Banda adalah unik dan tidak ada bandingannya dari sudut pandang administrasi VOC, tetapi juga bhwa sistem sosio-ekonomi yang diperkenalkan di sini, di kepulauan kecil Asia yang terpencil ini, berakar pada konsep atau rangkaian gagasan Eropa yang sama yang mendasari perekonomian kepulauan di Amerika Tengah. Hal ini akan mengangkat status Banda dari sekadar keunikan sejarah – yang memang demikian adanya – menjadi contoh luar biasa dalam teori umum pembangunan ekonomi dan sosial. Menurut pendapat saya, itu berarti tidak lebih dari seekor burung kukuk Karibia di sarang Asia.
==== selesai ===
Catatan Kaki
1.
Lihat, sebagai contoh, P. A.
Tiele and J. E. Heeres, Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in
den maleisischen Archipel, 3 vols. (’s-Gravenhage, 1886–1895); J. F. R. S.
Crawford, History of the Indian Archipelago:
Containing an account of the manners, arts, languages, religions, institutions,
and commerce of its inhabitants, 3 vols. (Edinburg, 1820); C. J. Temminck, Coup
d’oeul gĂ©nĂ©ral sur les possessions NĂ©erlandaises dans l’Inde ArchipĂ©lagique, 3
vols. (Leiden, 1846–1849).
2. Lihat R. de Klerk, J. E. van Mijlendonk, W. A. Alting, Rapport over’s compagnies regt op de Groote Oost (Batavia, 1868); L. Kiers, Coen op Banda: De conqueste getoetst aan het regt van den tijd (Utrecht, 1943); C. Gerretson, Coens eerherstel, in De Gids 107 (1943), pp. 1–20, 55–83, 105–147.
3. Lihat bagian pendahuluan dalam J. K. J. de Jonge, De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie: Verzameling van onuitgegeven stukken uit het oudkoloniaal archief, 13 vols. (‘s-Gravenhage, 1862–1909), otherwise (like Tiele and Heeres, Bouwstoffen) a very useful source.
4. Lihat, sebagai contoh, J. Mooij, Geschiedenis der protestantsche kerk in Nederlandsch-IndiĂ« (Weltevreden, 1923); or V. I. van de Wall, De Nederlandsche oudheden in de Molukken (’s-Gravenhage, 1928).
5.
Lihat artikel yang bagus dari N.
P. van den Berg, “Vijf jaren op Banda, 1633–1638,” Tijdschrift voor de
Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) 18 (1872): 332–366; and V. I.
van de Wall, “Bijdrage tot de geschiedenis der
perkeniers 1621–1671,” TBG 74 (1934).
6. W. A. Hanna, Indonesian Banda: Colonialism and its aftermath in the Nutmeg Islands (Philadelphia, 1978).
7. Lihat P. C. van der Wolk, “Tropen-romantiek: Geschiedenis van onze nootmuskaat-cultuur (uit de geschiedenis der Oost-Indische Compagnie op de Banda-eilanden),” Cultura 32 (1920): 100–113, 157–168, 190–201, 259–269, 307–314, 344–354, 376–385, and 33 (1921): 60–85; or H. Breitenstein, “Twee jaar op Banda,” in De aarde en haar volken (n.p., 1916), pp. 73–86.
8. Lihat, sebagai contoh, A. S. Bickmore, “A description of the Banda Islands,” Proceedings of the Royal Geographical Society 12 (1868): 324–334; J. Finn, “Beschrijving van de Bandasche eilanden, en de gesteldheid van derzelver bewoners,” Tijdschrift voor Nederlandsch-IndiĂ« 3 (1840): 385–396; or H. O. van der Linden, Banda en zijne bewoners (Dordrecht, 1873).
9. Sejak akhir abad ke-19, sejumlah penulis yang sering terlibat secara pribadi telah menerbitkan permohonan untuk berinvestasi dan mengembangkan Kepulauan Banda yang saat itu semakin tertinggal. Lihat, misalnya P. C. Lans, Rozengain, een der eilanden van de Bandagroep, een goudmijn in de toekomst: Plan tot ontginning en ontwikkeling van dat eiland (Rotterdam, 1872); O. Kamerlingh Onnes, Banda nutmeg and mace: Being an account of their history, cultivation, trade and use (Amsterdam, 1900); P. C. van der Wolk, Een eereschuld jegens Banda, De Indische Gids 43 (1921): 718–725.
10. Biasanya berdasarkan pada tidak selalu dapat diandalkan, F. Valentijn, Oud- en nieuw OostIndien, 8 vols. (Dordrecht, 1724–1726).
11. Lihat penulis anonim., “Prinses Adeka: Een Bandanesche legende,” Eigen haard: Geillustreerd volkstijdschrift 44 (1918): 560–562.
12. Lihat, misalnya, Q. M. R. VerHuell, Herinneringen van eene reis naar de Oost-Indien, 2 vols. (Haarlem, 1835–1836); J. Olivier Jz., Reizen in den Molukschen Archipel, naar Makassar, ..., in het gevolg van den gouverneurgeneraal van Nederlandsch-IndiĂ«, in 1824 gedaan ..., 2 vols. (Amsterdam, 1834–1837); H. W. Ponder, In Javanese waters: Some sidelights on a few of the countless, lovely, little known islands scattered over the Banda Sea and some glimpses of their strange and stormy history (London, 1944); J. E. Elmberg, Islands of tomorrow (London, 1956).
13. Dipublikasikan tahun 1996 dengan judul Pioneers and Perkeniers. The population and exploitation of the Banda Islands, ca. 1620–1670.
14. Demi kejelasan saya akan menggunakan nama-nama yang disebutkan dalam sumber-sumber Belanda (dengan nama-nama sekarang ditambahkan dalam tanda kurung): Neira (Naira), Lonthoir (Lontar or Bandar Besar), Goenoeng Api (Gunung Api), Rosengain (Pulau Hatta), Ay (Ai), Roen (Run), Vrouweneiland atau Kraka (Pulau Karaka), Kapal (Manukang), Pisang (Pulau Syahrir), dan Neilaka (Naialaka). Swangi (Suwangi) yang lebih jauh dan tidak berpenghuni tidak selalu dianggap sebagai bagian dari Kepulauan Banda.
15. Catatan yang luas dan informatif tentang kehadiran dan aktivitas Belanda hingga tahun 1621adalah J. A. van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsch gezag over de Banda-eilanden (1599–1621) (Batavia, 1886). Narasi berikut menjelang penaklukan ini sebagian besar didasarkan pada karya ini.
16. Catatan yang sangat bagus tentang aktivitas Portugis di pulau-pulau tersebut adalah J. Villiers, “Trade and society in the Banda Islands in the sixteenth century,” Modern Asian Studies 15 (1981): 723–750.
17. Pada saat itu, Belanda menganggap merupakan tawar-menawar yang baik untuk menguasai Run serta sebagian Pantai Guyana, yang sekarang disebut Suriname, dan sebagai imbalannya mereka menyerahkan pemukiman mereka di Amerika Utara yang disebut Nieuw Amsterdam kepada Inggris, yang kemudian mengganti namanya sebagai New York.
18. Di antara mereka ada 600 orang laki-laki; perkiraan Coen dalam suratnya kepada Heeren XVII, 6 May 1621. See, for this and other letters of Coen mentioned, H. T. Colenbrander and W. Ph. Coolhaas, eds., Jan Pieterszoon Coen: Bescheiden omtrent zijn verblijf in IndiĂ«, 7 vols. (’s-Gravenhage, 1919–1943), notably vol. 1 (berisi surat-surat dari Coen kepada atasannya), dalam hal ini hal. 631.
19. Ide-idenya dapat ditelusuri kembali ke saran-saran yang dibuat oleh para pejabat VOC yang berpengaruh sebelumnya seperti Cornelis Matelieff de Jonge pada tahun 1608, Pieter Both dan Jacques l’Hermite de Jonge pada tahun 1612. Mengenai ide-ide Coen, lihat misalnya suratnya ke Heeren XVII, 10 November 1614 (Colenbrander and Coolhaas, Jan Pieterszoon Coen, vol. 1, pp. 52–92, esp. 56–57, 88–89). Bertahun-tahun kemudian, pendapatnya tentang cara terbaik mengendalikan perdagangan Asia masih belum berubah secara signifikan. Lihat Advijs aen den gouverneur generael Pieter de Carpentier (a “memorandum of transfer” upon his return to the Republic, 31 January 1623) and his Vertoogh van de staet der Vereenichde Nederlanden in de quartieren van Oost-Indien, 20 June 1623, keduanya diterbitkan di Kronijk van het Historisch Genootschap gevestigd te Utrecht (KHG) 9 (1853): 67–95 and 95–129, esp. 118–119).
20. Oleh karena itu, semua orang Eropa, baik orang Belanda maupun bukan, harus berjanji setia kepada Provinsi Bersatu. (Banyak dari mereka adalah pencari keberuntungan dari seluruh benua.)
21. Budak (berusia antara 15 dan 30 tahun), biasanya dicatat sebagai barang bergerak, bukan sebagai penduduk, dijual dengan harga 40 real. Harga beras 40 real per terakhir. (Satu real atau real van achten, kira-kira setara dengan rijksdaalder atau 2 gulden, pada waktu itu bernilai 55 stuiver. Yang terakhir beratnya sekitar 3.000 Hollandsche Ponden [pound Belanda], kurang dari 1.500 kilogram).
22. Secara harfiah berarti “taman” yang berarti kebun buah-buahan.
23. Tidak ada kontrak atau akta hak milik yang tersisa, bahkan tidak ada referensi apapun, jadi harus diasumsikan bahwa ini tidak pernah dibuat. Fakta bahwa pemindahtanganan suatu keuntungan harus didaftarkan dan dikenakan pajak sebesar seperempat harga jual, menunjukkan bahwa Kompeni tetap menganggap perkenier sebagai penyewa, bukan sebagai pemilik sah.
24. Lihat terutama Koleksi Gijsels di Baadische Landesbibliothek di Karlsruhe, Jerman (juga dalam film di Algemeen Rijksarchief di Den Haag), serta buku harian pribadi Pendeta Wouter Melchiorsz. Vitriarius di Arsip Gemeente di Amsterdam.
25. Meski begitu, butuh waktu bertahun-tahun sebelum Belanda mengetahui cara terbaik menanam, memanen, dan mengemas rempah-rempah. Sebagian besar pengetahuan hortikultura dan pertanian mereka tampaknya berasal dari mantan pemilik dan pekerja lahan, yaitu orang Banda yang diperbudak.
26. Beberapa perempuan dan anak-anak yang diangkut ke Batavia juga dikembalikan ke Banda, untuk bekerja sebagai budak di negerinya sendiri. Hal ini dilakukan karena mereka dinilai dapat menimbulkan risiko keamanan bagi penduduk Batavia, karena mereka semua tinggal bersama di kawasan yang ditentukan di kota baru.
27. Sebenarnya besar kecilnya tunjangan dinyatakan dalam zielen (jiwa), yaitu jumlah pekerja yang diperlukan untuk menggarap area tersebut. Hal ini dapat berbeda secara substansial tergantung pada perbedaan medan. Misalnya, Ay sangat datar dan mudah dikelola, sedangkan sebagian besar Lonthoir cukup bergunung-gunung dan sulit untuk dirawat.
28. Dalam sumber-sumber tersebut, berulang kali diungkapkan adanya ketakutan yang nyata terhadap invasi yang dilakukan oleh orang-orang Banda, yang mendapat dukungan dari masyarakat lokal, Makasar atau bahkan Spanyol atau Portugis.
29. Untuk periode yang saya maksudkan, VOC mewajibkan dirinya membayar satu rial untuk setiap cati kacang banda, dan sepuluh per cati banda fuli (satu cati banda beratnya 5 Hollandsche Ponden, sekitar 2 kilogram).
30. Kita mungkin menganggap produksi ekspor gula di Batavia pada abad ke-17 dapat dibandingkan. Namun sekali lagi, ini hanyalah usaha tentatif, berskala kecil, dan tidak pernah benar-benar menghasilkan keuntungan besar.
31. Lihat, misalnya , B. Lasker: Human bondage in Southeast Asia (Chapel Hill, 1950); dan paling penting, A. Reid, ed., Slavery, bondage and dependency in Southeast Asia (St. Lucia/London/New York, 1983).
32. Untuk gambaran umum masalah ini, lihat artikel ulasan yang sangat bagus oleh F. L. Pryor, “The plantation economy as an economic system,” Journal of Comparative Economics 6 (1982): 288–317. Dalam catatan penutupnya (hal. 314), Pryor mengatakan, “topik ini telah menimbulkan perbedaan pendapat yang besar mengenai apa itu perkebunan dan bagaimana fungsi ekonomi perkebunan. Literaturnya membingungkan. Kita mempunyai banyak pertanyaan, namun sangat sedikit jawaban yang pasti. Kami memiliki sejumlah studi kasus tentang cara kerja perekonomian perkebunan tertentu, namun tidak ada teori umum mengenai fungsinya.”
33. sebagai aturan, setidaknya 60 persen diambil sebagai minimum.
34. Teori perkebunan berikut ini terutama didasarkan pada E. Wolf and S. Mintz, Haciendas and plantations, in Haciendas and plantations in Latin American history, ed. by R. G. Keith (New York/London, 1977), pp. 36–62, esp. 48–62; also on Pryor, “The plantation economy”; L. A. Best, “Outlines of a model of pure plantation economy,” Social and Economic Studies 17 (1968): 283–326; H. Bernstein and M. Pitt, “Plantations and modes of exploitation,” Journal of Peasant Studies 1 (1974): 514–526; and V. Rubin, A. Tuden, eds., Comparative perspectives on slavery in New World plantation societies (New York, 1977).
35. “Tidak terampil” di sini digunakan dalam arti tidak (dengan benar) terlatih untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka.
Catatan Tambahan
a. Kontrak-kontrak pertama VOC dengan orang-orang Banda dimulai pada tanggal 18 Maret 1599, 23 Mei 1602, 17 Juni 1602, 13 Juli 1605, 10 Agustus 1609, 30 April 1617, 25 Juni 1618, Maret 1621, 9 Mei 1621 dan seterusnya.
§ Heeres, J.E., (1907), Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, eerste deel (1596 – 1650), s’Gravenhage, Martinus Nijhoff
b. Pieter Willemszoon Verhoef (1573 – 1609)
§ Ittersum, Martine van, (2016), Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609-1621. History of European Ideas, 42(4), 459-501
c. Pada tanggal 25 April 1609
§ J. A. van der Chijs, (1886), De vestiging van het Nederlandsch gezag over de Banda-eilanden (1599–1621) ,Batavia
§ Ittersum, Martine van, (2016), Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch Imperial Competition in the East Indies, 1609-1621. History of European Ideas, 42(4), 459-501
d. Perjanjian ini ditandatangani di Breda, Belanda, pada tanggal 31 Juli 1667 (menurut kalender Gregorian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar