(bag 2 - selesai)
Oleh
Roy. F. Ellen dan Ian.C. Glover
IV
Bukti awal perdagangan eksternal dan pengenalan bentuk-bentuk tembikar
Bahkan jika argumen-argumen tentang hal di atas dilibatkan untuk menjelaskan ketidakteraturan pusat-pusat pembuat tembikar di timur Indonesia, hal demikian masih perlu untuk menguji situasi/kondisi yang membuat pengadopsian sifat-sifat dari orang-orang Jawa dan dari bukan orang Maluku lainnya. Pengaruh-pengaruh ini tak bisa diabaikan, bahkan jika kekunoan tradisi pembuatan tembikar tidak diragukan lagi, namun merupakan hal yang pasti bahwa perdagangan eksternal secara reguler hingga 8 abad lamanya turut menghasilkan inovasi-inovasi. Beberapa hasil jelas dari kontak ini, tercermin dalam berbagai bentuk tembikar yang telah dijelaskan di atas. Apa yang masih belum terlalu jelas adalah kapan tepatnya, inovasi-inovasi itu (terpisah dari hasil kontak bangsa Eropa) terjadi, dan apakah ada bukti untuk memperkenalkan teknik pembuatan tembikar ke Maluku Tengah dari luar selama periode kesejarahan.
Perkembangan perdagangan di Kepulauan Nusantara secara umum dianggap berasal dari periode perubahan secara umum di suatu wilayah sepanjang abad ke-12 dan nampak di suatu lokasi secara khusus bersamaan dengan lada, rempah-rempah dan kayu-kayu berharga15. Sejak awal periode, banyak pedagang adalah kaum muslim, tetapi menyangkut porsi yang paling besar nampaknya adalah Jawa Hindu, yang pada tahun 1400 A.D mendominasi pelayaran ke Timor dan Maluku (Schrieke 1960: 18). Bagian terbesar dari perdagangan ini menuju ke pusat-pusat perdagangan penting di Jawa, yaitu Tuban, Gresik dan Jepara, dimana kota-kota tersebut menjadi titik “sentral” bagi jalur rempah-rempah dari Maluku dan Banda (De Jonge 1864:409, Schrieke 1960: 20), dimana kapal-kapal berlayar melalui Bali, Bima dan Timor, Banda, Ambon dan kemudian ke Ternate (Schrieke 1960: 246-247, catatan kaki no 95).
Untuk sebagian besar, orang-orang Jawa mencari cengkih dan pala dari Maluku untuk ditukarkan dengan barang-barang manufaktur yang mereka perdagangkan, namun di atas semua itu adalah berupa pakaian Bali yang banyak dibutuhkan. Sebuah sumber Belanda awal16 yang dikutip oleh Schrieke (1960:20) memberi tahu kita bahwa :
Mereka [orang Jawa] memiliki kapal-kapal yang mereka sebut jung, yang memuat lada dan menuju ke Bali, dan kemudian akan menukar barang itu dengan potongan-potongan kain sederhana dengan jumlah yang banyak, dan ketika telah berhasil menukar barang-barang itu, mereka membawa barang-barang itu ke Banda, Ternate, Filipina, dam juga pulau-pulau lain di sekitarnya, dan kemudian menukar barang itu dengan Pala, Cengkih dan memuat rempah-rempah itu kembali ke asal mereka.
Sumber Belanda abad ke-17 lainnya17, yang di periode ini banyak mengisahkan peperangan yang dilakukan pihak Belanda dengan yang lain untuk memperoleh kontrol pada perdagangan rempah-rempah, kembali lagi dikutip oleh Schrieke (1960:20), memberikan penjelasan umum tentang luas dan teknik-teknik perdagangan orang Jawa dengan bagian timur :
Dengan menggunakan angin musim barat, mereka menuju Bali, Bantam, Bima, Solor, Timor Alor, Selayar, Buton, Buru, Banggai, Mindanao, Maluku, Ambon dan Banda. Juga mereka pergi ke pulau-pulau Kei, Aru, Seram dan tempat-tempat lain yang berhubungan dengan pekerjaan mereka dalam proses menukar barang-barang dan memperoleh setidaknya 200 atau 300% keuntungan sebelum kembali ke tempat asal.... di manapun mereka pergi, sambil menunggu angin musim lain untuk kembali pulang, mereka akan bersandar dan berlabuh di pinggir pantai dengan cara yang sangat terampil. Pertama, mereka akan membuat pondok-pondok kecil dari beberapa ruang kamar kapal sebagai mirip pasar, dan kemudian mengisinya dengan barang-barang dan menjajakannya...begitulah pasar orang Nusantara....
Di bagian lain, Schrieke sendiri menjelaskan pola perdagangan ini lebih jauh (1960:227) :
Merupakan kebiasaan mereka untuk membawa kapal-kapal mereka sampai ke daratan dan tinggal beberapa bulan, menunggu angin yang baik untuk membawa mereka kembali ke Jawa bagian timur. Beberapa dari mereka menikah untuk “sementara waktu” dengan perempuan-perempuan di daerah itu, dan sebagian mereka juga menetap. Mereka juga memperoleh budak-budak papua di situ dan kulit-kulit kayu wangi yang disebut masoi dan digunakan sebagai jamu (obat) – kedua komoditi ini diimpor dari Papua, oleh orang-orang dari Gorom – juga kulit lawang dari Ambon dan Ceram dan akhirnya cengkih dan pala.
Diasumsikan bahwa dengan model seperti ini, pusat-pusat perdagangan penting di kepulauan Indonesia timur terbentuk – Ternate, Tidore, Hitu dan lain-lain (lihat Manusama 1971).
Meskipun tekstil dari Bali adalah salah satu item yang paling penting yang terlibat dalam proses barter jenis ini, benda ini bukanlah satu-satunya. Selain pakaian, Schrieke juga mendaftarkan perhiasan emas dan perak, manik-manik, batik, gula jawa, koin, sutra dan katun asal China dan India, porselin china18, sagu, beras dan parang-parang, kapak, dan barang-barang besi lainnya dari pengrajin Bilitong, Karimata, dan pedang dari Tobungku di timur Sulawesi (Schrieke 1960:21,227,247, catatan kaki no 99). Situasi seperti ini merupakan proporsi yang sangat besar dari peralatan budaya material yang ditemukan di pemukiman pesisir Maluku pada abad ke-17 ini, didatangkan dari luar19. Dengan cara seperti ini, ekonomi lokal suku-suku secara bertahap tergantikan di beberapa daerah pesisir, terutama Banda, Ambon-Lease, bagian-bagian Seram dan Buru, Ternate, Tidore, dan pastinya pulau-pulau yang berdekatan dengan lepas pantai Halmahera, dengan ekonomi perdagangan baru, dengan semakin banyak perhatian yang tercurah pada tanaman komersial, sementara sangat banyak variasi produk manufaktur dan bahkan beberapa bahan makanan (khususnya beras) yang diimpor dari barat nusantara (Cooley 1971:185). Diperkirakan pada sekitar tahun 1609, ada sekitar 1500 pedagang Jawa sendiri di Banda20, yang benar-benar telah mengontrol perdagangan rempah-rempah ini. Bahkan Portugis, setelah usaha yang gagal untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, sekitar tahun 1656 menarik diri dan menerima situasi itu (Schrieke 1960:47).
Di seluruh sumber yang diteliti di atas, sejauh yang kami tampilkan, bahwa pada sumber-sumber itu tidak disebutkan apapun tentang perdagangan barang tembikar, berkebalikan dengan porselin. Meskipun demikian, mungkin bisa ditarik kesimpulan menyangkut tembikar dan perdagangan eksternal dari apa yang telah disajikan.
Tidak munculnya tradisi tembikar Seram yang sangat berbeda, merupakan suatu bukti terlambatnya pengenalan tradisi yang sudah ada di Ambon-Lease dan ketersediaan umum kontainer alternatif yang cocok, telah disebutkan sebagai faktor yang mempengaruhi distribusi tembikar-tembikar desa dan hal-hal yang berhubungan untuk memahami keunikan dari produk-produk di suatu wilayah. Pada saat yang sama, kita sudah menunjukkan kesulitan dan menilai signifikansi bukti-bukti. Namun, ini jelas, bahwa dengan meningkatnya penggunaan tembikar, penggunaan bambu untuk tujuan memasak di banyak komunitas masyarakat pesisir yang nyaris menghilang, meskipun masih digunakan secara luas untuk penggunaan lain, seperti wadah/tempat air. Diperkenalkannya/masuknya tembikar ke wilayah pesisir yang dulunya tidak ada, tampaknya juga menjadi faktor penting dalam menurunnya kerajinan keranjang, karena kerajinan tersebut telah menjadi pekerjaan spesialis minor. Perlu ditekankan bahwa seluruh proses perubahan budaya material masyarakat pulau lepas pantai dan pesisir di Maluku Tengah hanya dapat diapresiasi sepenuhnya dalam kaitannya dengan seluruh bidang perubahan sosial-ekonomi pada fase kontak awal (yaitu sepanjang abad ke-16 dan ke-17), sebagaimana telah disebutkan di atas. Berdasarkan informasi ini, nampaknya jenis-jenis tembikar tertentu jika bukan teknik pembuatan pot, disertakan dalam barang-barang material (yang juga mencakup tekstil Bali, porselin, dan barang-barang besi) yang menyertai perdagangan orang Jawa, dan kemudian Melayu dan Makassar di wilayah timur Nusantara. Tidak adanya penyebutan dalam dokumen sejarah mengenai perdagangan semacam itu tidak berarti bahwa perdagangan tersebut tidak ada. Tentu saja, perdagangan barang-barang tanah liat telah dilaporkan terjadi di bagian barat Nusantara (lihat Meilink-Roelofsz 1962: 172,329, n.24). Sebaliknya, harus ditarik kesimpulan bahwa jumlah kapal yang terlibat relatif kecil dan diangkut terutama untuk kenyamanan para pedagang itu sendiri, bukan untuk pertukaran. Situasi serupa juga terjadi pada penggunaan tembikar oleh para nelayan Maccasan (Makassar) di pantai utara Australia. Tembikar merupakan hal yang umum di kamp-kamp Makassar dan tempat pengolahan teripang dan kadang-kadang ditemukan di kamp-kamp Aborigin yang agak jauh dari tempat tersebut (Macknight 1972: 309-310). Namun analisis minerologi (Key, 1969) menunjukkan dengan jelas bahwa tembikar tersebut tidak dibuat dari tanah liat lokal dan kemungkinan besar berasal dari suku Makassar dari Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, tidak berasalan untuk berasumsi bahwa penggalian di pusat-pusat perdagangan penting di Maluku akan menghasilkan material serupa.
Mengenai kapan bentuk-bentuk tersebut diperkenalkan, mungkin ada dugaan bahwa bentu-bentuk tersebut pasti telah digunakan di Maluku, setidaknya dalam arti kecil, sejak masa-masa awal ekspedisi perdagangan Jawa, dan bahwa bentuk-bentuk tersebut mulai digunakan secara luas dengan berdirinya pusat-pusat perdagangan yang permanen yang berada di bawah pengaruh kuat pedagang Jawa, seperti yang ada di Hitu (Manusama, 1971). Lokasi desa-desa penghasil tembikar di pulau-pulau kecil di lepas pantai Maluku (Ambon, Mare, dll) perlu diperhatikan, karena lokasi tersebut merupakan lokasi yang dipilih oleh para pedagang penjajah. Namun apakah lokasi-lokasi ini dipilih karena sudah menjadi lokasi desa masyarakat pribumi Maluku yang terlibat dalam perdagangan ekstensif perdagangan khusus dan produk-produk primer seperti yang disebutkan di Melanesia, atau dipilih untuk tempat pertahanan, atau hanya untuk kenyamanan bagi para pedagang Jawa, adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab melalui penelitian lapangan arkeologi di masa depan.
Yang diketahui secara pasti adalah pada saat Aert Gijsels menulis karyanya Grondigh Verhael van Amboyna (1621), tembikar sedang diproduksi di Ambon-Lease (Van Ruinen n.d.23). Catatan paling awal mengenai barang dagangan di Maluku Tengah yang lebih dari sekedar memiliki minat tampaknya berasal dari Reinwardt (1858: 444-445), dan pada saat Riedel menguraikan pembuatannya (1886: 65) bentuk-bentuk yang dibuat mencakup beberapa barang yang sangat banyak dipengaruhi oleh barang-barang kaca Eropa. Dan pada periode inilah koleksi museum utama dibuat21. Sejauh mana perdagangan luar negeri sebelum periode ini mempengaruhi produksi tembikar, dan apakah memang hal ini bertanggung jawab atas masuknya tradisi yang ada saat ini, tidak dapat diverifikasi atau disangkal dengan bukti-bukti sejarah yang memadai dan tidak adanya arkeologi di Maluku. Tentu saja bukti sejarah dan bukti tidak langsung lainnya dapat menerima penjelasan itu; bukti arkeologis komparatif dari daerah sekitar menunjukkan hal yang sebaliknya.
V
Bukti arkeologis untuk tembikar di Asia Tenggara
Penelitian arkeologi yang sistematis di wilayah yang luas ini berkembang lambat dan hanya dalam 5 tahun terakhir beberapa rangkaian lokal dengan kronologi internal yang dapat diterima telah tersedia dari daratan dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Melanesia. Yang menjadi perhatian kami di sini terutama adalah tradisi kuno tembikar di Indonesia, dan terdapat asumsi bahwa pengetahuan tentang teknik pembuatan tembikar dibawa ke pulau-pulau tersebut, mungkin melalui rute yang berbeda dan melalui banyak kesempatan, namun pengetahuan tersebut tidak berkembang secara mandiri di masing-masing dari berbagai kelompok pulau utama. Hal ini sulit dibuktikan, namun beberapa rangkaian data lokal yang telah disebutkan menunjukkan pola yang cukup meyakinkan (gambar 15) mengenai penurunan usia seiring dengan pergerakan kita semakin jauh dari daratan dan keluar ke pasifik.
Tembikar paling awal di Asia Tenggara yang pernah tercatat adalah yang ditemukan oleh Gorman (1971: 303) di gua Roh, dekat Chieng Mai di timur laut Thailand, dimana serangkaian penentuan C-14 menunjukkan bahwa tembikar telah digunakan sebelum 6.500 SM. Situs-situs lain di Thailand (Bayard 1972: 31-34; Gorman 1971: 315-316) menunjukkan bahwa kehidupan desa yang menetap di dataran rendah telah berkembang setidaknya pada tahun 3.500 SM. Di Kamboja, pekerjaan Mourer di gua Laang Spean, ptopinsi Battambang, menunjukkan bahwa, seperti di gua Roh, tembikar merupakan bagian integral dari kumpulan material yang umumnya dikaitkan dengan kebudayaan Hoabinhian pada milenium ke-5 SM (Mourer & Mourer 1970: 139-141; Mourer dkk 1970: 471-473). Tidak ada C-14 yang tanggalnya lebih awal dari milenium ke-2 SM. Situs-situs dari Zaman Perunggu tersedia di Vietnam sejauh yang kita tahu, namun penggalian-penggalian oleh Prancis pada awal bad ini yang dilanjutkan oleh para arkeolog Vietnam Utara menunjukkan bahwa, di sana juga, tembikar kadang-kadang merupakan ciri dari situs-situs Hoabingian Akhir, yang diperkirakan termasuk dalam periode 8.000 – 6.000 SM, dan menjadi umum pada fase Bacsonian berikutnya (Boriskovsky 1969-1970; 238-239, dan lihat Patte 1932: 37-42).
Di semenanjung Malaya, tembikar ditemukan di beberapa gua yang digali pada tahun 1930-an yang umumnya dianggap menganggu. Namun pekerjaan Dunn (1964; 1966: 352-353) di gua Kechil, menunjukan bahwa barang-barang yang terbuat dari tali merupakan bagian integral dari kebudayaan Hoabianhian pada periode I dan II dan bahwa tradisi tembikar yang lebih canggih telah muncul di situs pedalaman terpencil ini sekitar 2.800 SM. Di Filipina, penggalian yang dilakukan oleh Fox (1970: 111, 119) dan rekan-rekannya di Pulau Palawan, dan oleh Evangelista di tempat penampungan di Batugan, Pulau Masbate (1971: 31), telah menghasilkan tembikar yang hanya berasal dari milenium pertama SM. Namun situs-situs yang lebih tua dari ini telah diketahui (Fox 1970: 105), dan masih ada hasil yang belum dipublikasikan dari situs-situs di Luzon utara yang menyebutkan bahwa tembikar setidaknya berasal dari pertengahan milenium ke-2 SM23.
Di Sarawak, bahkan perkiraan tanggal pembuatannya pun sulit dimana tembikar muncul dalam rangkaian Niah; tentu saja itu terjadi pada tahun 2000 SM (Harrisson 1967: 95), dan jika kita mengikuti perhitungan Golson (1973: 552) berdasarkan data yang diterbitkan Lord Medway, maka suatu tanggal mendekati tahun 6.000 SM sepertinya mungkin.
Indonesia bagian barat belum mempunyai tanggal pasti mengenai situs-situs prasejarah, dan penggalian-penggalian kuno yang dilakukan oleh Willem dan van Heekeren di gua-gua di Jawa Timur sebagian besar tidak tercatat (van Heekeren 1957: 104-105). Hanya penggalian van Stein Callenfels (1932: 23) yang diterbitkan dengan cukup baik untuk gua Lawa, Sampung, Jawa tengah-selatan, yang memberikan petunjuk tentang kemungkinan keperbukalaan tembikar di wilayah Indonesia ini, karena pada lapisan budaya sekitar 2 m di bawah permukaan, van Stein Callenfels mencatatn beberapa pecahan tali dalam kumpulan yang didominasi oleh titik-titik dasar berongga yang terkelupas secara bifacial (1932: plan IV) dan dengan tulang-tulang dari spesies macan tutul, dan gajah yang tidak ditemukan dalam fauna Jawa saat ini (von Koenigswald 1955: 15-18). Materi-materi ini mungkin mewakili salah satu manifestasi dari substratum yang terkesan tali yang tersebar luas yang diyakini oleh Chang (1968: 81-83) sebagai tembikar paling awal di Asia Tenggara, dan untuk menandai perkembangan pemukiman yang lebih permanen dengan meningkatnya ketergantungan pada tanaman yang dibudidayakan. Lebih jauh ke timur di Indonesia, beberapa rangkaian penanggalan C-14 kini tersedia. Di Sulawesi, rangkaian Toalian yang sebelumnya tidak bertanggal (van Heekeren 1957: 86-102) diperiksa ulang pada tahun 1969 oleh ekspedisi gabungan Indonesia-Australia (Mulvaney & Soejono, 1970a: 26-33; 1970b: 170-175) dan penanggalan C-14 telah diperoleh dari 3 gua. Meskipun rangkaian industri terbukti lebih kompleks daripada yang diuraikan dalam skema sederhana van Heekeren, hasil dari gua Burung Leang menunjukkan dengan jelas bahwa tembikar sudah digunakan secara umum sebelum 1.000 SM, sedangkan di dekat gua Ulu Leang, tembikar hanya muncul beberapa cm di bagian atas, dan bertanggal sekitar 3.800 SM secara tepat di bawah tembikar pertama dan 5.200 SM dari 70 cm ke bawah, terkonfirmasi secara meluas hasil-hasil Burung Leang22.
Di Timor bagian timur, penggalian di sejumlah lokasi baik di pesisir pantai maupun di pegunungan tengah yang dilakkan antara tahun 1966-1967 (Glover 1969; 1971; 1972) menunjukkan bahwa tembikar, yang umumnya merupakan buatan tangan, namun tipis, barang-barang yang permukaannya berwarna gelap yang mengilap, muncul secara tiba-tiba di dalam gua antara tahun 3.000 – 2.000 SM. Meskipun bukti pasti masih kurang, ada argumen yang menyatakan bahwa hal ini menandai masuknya pertanian ke pulau tersebut oleh orang-orang imigran.
Di Melanesia, penelitian lapangan arkeologi modern hanya dilakukan di wilayah Papua dan Papua Nuigini yang dikuasai Australia, di Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, New Hebrides, dan Fiji. Golson (1972: 553-576), White (1971: 49-50) dan Allen (1972: 188) baru-baru ini merangkum penelitian terkini dalam bidang ini. Hasil-hasil (gambar 15) mencerminkan distribusi upaya penggalian yang tidak merata. Tembikar Lapita Ware Horizon pada akhir milenium ke-2 dan awal milenium pertama SM tersebar luas di pulau-pulau bagian timur, dan khususnya di lokasi pesisir, atau di pulau-pulau kecil lepas pantai (Golson 1972: 554-555; Garanger 1972). Namun tidak ada keramik yang lebih awal dari sekitar tahun 2.000 B.P. belum ditemukan di pantai pulau utama Papua Nuigini (Allen 1972: 118) diman rangkaian tembikar awal tersedia di pantai timur laut, dan Hall Sound dan Port Moresby di pantai selatan Papua. Di dataran tinggi Papua Nuigini, bukti arkeologis sejauh ini menegaskan indikasi dari etnografi saat ini bahwa tembikar jarang ditemukan dan umumnya datang terlambat, diperdagangkan dari pantai atau salah satu lembah sungai besar (White, 1972: 63, 142-143).
Antara Papua bagian timur dan rangkaian kemunculan di Timor dan Sulawesi, Irian Barat dan Maluku masih hampir tidak diketahui secara arkeologis, meskipun tidak ada titik kosong yang dikemukakan oleh Allen (1972: 180). Ekspedisi Frobenius ke Maluku dan Nuigini Belanda (saat itu) melakukan penggalian di gua Dudumunir, pulau Arguni di teluk MacCluer (Roder 1940; 1959: 38-46) elain mencatat situs kuburan kuno dan kekayaan lukisan batu di tebing batu kapur di sekitar pantai utara semenanjung Onin.
Gua Dudumunir merupakan lekukan potongan gelombang di terumbu karang yang terangkat, dan dalam penggalian awal, Roder membedakan 7 lapisan hingga kedalaman 36 m dengan tembikar di 2 m bagian atas. Hasilnya dirangkum secara singkat di bawah ini :
Selain porselin Tiongkok di dekat permukaan, gua Dudumunir tidak menghasilkan temuan apa pun yang memungkinkan kami membuat perkiraan kasar mengenai usia lapisan-lapisan yang berbeda. Publikasi Roder (1959: 40) dengan sedih berkomentar bahw semua bahan yang digali bersama dengan catatan lapangan dihancurkan selama PD II, dan penyelidikan kami ke Institut Frobenius hanya mengkonfirmasi kehilangan ini, sehingga tidak ada analisis atau submisi lebih lanjut sampel untuk penanggalan C-14 telah dimungkinkan. Namun demikian, catatan Roder tentang stratigrafi dan rangkaian arkeologi di Dudumunir memberikan gambaran yang cukup meyakinkan tentang ekosistem deposit arkeologi. Terdapat perkembangan rutin dari industri batu serpihan yang melimpah tanpa tembikar di Lapisan C, tembikar pertama bersama dengan perkakas batu paling berkembang di Lapisan B2, diikuti dengan pengurangan, baik dalam jumlah maupun proporsi potongan, pada lapisan B1 dan A, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya serpihan batu dan masuknya keramik kaca impor serta tembikar Arguni modern di lapisan permukaan. Urutannya hampir sama dalam segala hal, urutan yang diperoleh dari gua-gua di Timor yang sudah dirujuk (Glover 1969; 1971; 1972) dan barang tembikar di Lapisan B2 yang terletak 2 m di bawah permukaan tanah mungkin memiliki kekunoan yang kira-kira sebanding.
Perhatian khusus telah diberikan pada urutan dari gua Dudumunir meskipun terdapat kekurangan yang jelas, karena ini adalah penggalian terdekat ke Seram dan Ambon (sekitar 100 mil laut dari pulau Arguni ke pantai timur laut Seram) dan karena komunitas teluk MacCluer (teluk Berau) mempunyai kontak dagang langsung dengan kepulauan Maluku, bahkan secara politik bergantung pada mereka dalam masa sejarah (Roder 1959: 10). Penemuan barang-barang dan ornamen perunggu “Dong-son” prasejarah, keramik mengkilap, dan manik-manik kaca yang tersebar di Vogelkop (Elmberg 1959: 70-80) dan di tempat lain di Irian Barat (de Bruyn 1959: 1-8; 1962: 61-62) juga menunjukkan bahwa kontak eksternal semacam itu bukanlah suatu perkembangan baru. Meskipun tidak ada bukti penanggalan yang positif, jelas bahwa masyarakat teluk MacCluer membuat tembikar mereka sendiri, atau menerimanya melalui perdagangan, jauh sebelum berkembangnya kontak dagang Jawa yang intensif pada abad ke-12 M, dan munculnya tembikar di bagian Irian Barat ini tidak bertentangan dengan bukti yang telah dirangkum sebelumnya di Sulawesi, Timor, Papua bagian timur, dan kepulauan Melanesia.
Hal ini tentu saja tidak membuktikan adanya tradisi gerabah prasejarah di Maluku Tengah, yang bukti-buktinya masih belum ada, namun kami yakin hal ini menujukkan bahwa jauh sebelum berkembangnya industri gerabah modern di Saparua dan Ambon, masyarakat di Maluku Tengah kemungkinan besar berhubungan dengan masyarakat pembuat tembikar dan mempunyai setiap kesempatan untuk mendapatkan barang dagangan mereka dan mungkin menirunya seperti yang kemudian mereka lakukan terhadap masyarakat Jawa, Cina, dan Belanda.
VI
Kami telah menunjukkan bahwa teknik tembikar di Maluku Tengah saat ini memiliki banyak kesamaan dengan teknik di pulau-pulau terdekat, dan dalam beberapa detail penting terdapat perbedaan dengan teknik yang lebih maju yang digunakan di Jawa. Di sisi lain, banyak bukti yang menunjukkan dampak budaya orang Jawa dan Belanda di sana dalam beberapa ratus tahun terakhir, belum lagi orang Arab, Spanyol, Portugis, dan Inggris, yang dari waktu ke waktu mendominasi perdagangan di pulau-pulau kecil ini. Beberapa pengaruh yang lebih nyata dapat dilihat pada tiruan bejana tembikar yang eksotis; cetakan roti dan kue, pot bunga, tempat abu, cangkir telur, dan lain-lain, yang telah kita bahas, dan banyak koleksi museum yang cenderung merusak kesan pertama terhadap tembikar Maluku. Semakin banyak bukti arkeologi dari Indonesia dan Melanesia mulai menunjukkan adanya zaman kuno yang mengejutkan dalam pengenalan tembikar di banyak tempat. Namun hal ini tidak bertentangan dengan data etnografi terbaru yang menunjukkan bahwa produksi tembikar di Melanesia, setidaknya, didistribusikan secara tidak teratur, dan sering kali terjadi monopoli masyarakat pesisir atau pulau yang memproduksi untuk pasar luar dengan imbalan makanan atau barang lainnya. produk kerajinan khusus. Dalam konteks Melanesia, situasi di Ouh (Ouw), desa pembuat tembikar utama di Maluku Tengah saat ini, cukup sesuai dengan hal tersebut, karena merupakan desa pesisir di pulau kecil Saparua, dan mendistribusikan produk-produknya secara luas ke pulau-pulau yang lebih besar dan terdekat seperti Ambon, Seram, dan tempat lain. Dengan tidak adanya penggalian di Maluku, Gua Dudumunir dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa tembikar setidaknya telah mencapai wilayah Indonesia ini berabad-abad, bahkan ribuan tahun yang lalu, dan hampir pasti sudah ada sebelum perdagangan Jawa dan kolonial yang didokumentasikan secara historis. Apakah tradisi Maluku Tengah yang ada dapat ditelusuri secara langsung hingga sejauh ini tanpa putus ataukah sudah diperkenalkan pada masa proto-sejarah masih belum dapat terjawab. Namun jika penelitian lapangan di masa depan benar-benar mengungkap keramik prasejarah di Maluku Tengah, maka Ambon-Lease dengan tradisi sejarahnya yang panjang sebagai titik fokus jaringan perdagangan kemungkinan besar akan menjadi pusatnya.
===== selesai ====
Catatan Kaki
- See, for example,Vlekke (1959) and Lapian (1965).
- Tweede Boeck (1601), folio 16 recto
- 'Verhael van eenige oorlogen in Indie', in Kroniek van het historisch genootschap te Utrecht, I871. Certain minor and obvious typographical errors which appear in the 1960 English edition of Schrieke in this passage and in the one quoted earlier have been corrected in the sections reproduced
- Imported glazed wares, first of Chinese and then increasingly of European origin, as opposed to earthen wares, have been in great demand by all inhabitants of the Moluccas for centuries and constituted a large partof the ritual wealth or pusaka of these peoples.
- Schrieke's statement that “ all material cultural equipment found in the Moluccas was imported from abroad” (1960: 227) is clearly too sweeping to be borne out by the evidence, even on the basis of the present-day situation with its large influx of western style products. Further,his conclusion that this had no effect on the culture of the communities involved (with the exception of Hitu) is questionable (1960: 227). Indeed, almost immediately he contradicts himself by informing us that “the demand of the world market for spices produced social changes of no small significance” and that “the primitive genealogical communities were obliged to make way for miniature coastal states, which busied themselves with the exploitation of a “hinterland” that grew more and more extensive as years went by” (1960: 228), and what he has to say on the parallel influence of Islam(229).
- “Oost-Indische voyagie onder den Admirael W. Verhoeven” in Commelin (1646).
- The earliest series of specimens in the museum at Rotterdam (RMV 203) came into its possession in 1884, being part of a large collection of ethnographica collected by the Nederlandsch Zendings Genootschap. The second series (RMV 5229) was acquired in 1899 for the Utrechts Zendings Genootschap. The Leiden specimens are not all dated, but specimens 370.2056 and 370.2076 were acquired in 1883 and 370.2075 in 1889. It can be safely assumed, therefore, that by the second half of the nineteenth century Central Moluccan pottery had been strongly influenced by European designs.
- In Mulvaney and Soejono 1970b: 32 the statemen that,” Plain pot sherd so ccurred through out most of its [Ulu Leang Cave] depth of well over one metre”, and thus were common below the charcoal samples which have been dated to 5740 ± 230 B.P. and 7170 ± 65o B.P. is incorrect. Pottery first appears at this site just above the later dated sample. In addition,the four new radiocarbon dates listed in the above article represent approximate ages and not the final laboratory calculations which are given in Antiquity 45: 144 (1970). And in both notes, some of the laboratory numbers are incorrectly listed: they should read:
ANU-390 3420 ± 400 B.P. Leang Burung,squareB3 (12-13)
ANU-391 2820 ± 2I0 B.P. Leang Burung,squaresA3 (16) and A4 (15)
ANU-392 920 ± 275 B.P. Batu Edjaja, square B6 (7-8)
ANU-394 5740 ± 230 B.P. Ulu Leang, square C2 (5)
ANU-6o6 7170 ±65o B.P. Ulu Leang, squares C6 and 7 (13) and C7 (14)
- The dates for the earliest appearance of pottery referred to in the text and in fig 15 are obtained from the following C-14 determinations, all of which are based on theLibby standard half-life, to the author's best knowledge, and expressed as years before A.D. 1950.
Cambodia, Laang Spean Cave MC-273 6240
± 70
Fiji,Natunuku lab.
no. Not published) 3240 ± 100
Malaya, Gua Kechil,Pahang GX-04I8 4800 ±8oo
Marianas ,Guam, Talofofo River GaK-136o 2220 ± 90
Marianas, Saipan,Chalan Piao C669 3479 ± 200
New Britain,Watom Is. ANU-37b 2420 ± 110
New Caledonia, Naia Bay ANU-96 3165 ± 120
New Hebrides,Tongoa Is. B-740 2460 ± 80
New Ireland,Lesu GaK-2441 2460 ± 120
New Guinea, Aibura Cave GaK-622 770 ± 100
Papua, Opisisi,Yule Is. ANU-727 1920 ± 180
Papua, Collingwood Bay ANU-37ia 1240 ± 145
Philippines,Lal-Lo i,
Cagayan Valley I. W.
Peterson pers.comm. 3690 ± 100
2.10.73 3580
± 100
Philippines,Dimolit,IsabellaProvince idem 3280
± 110
Philippines,PintuCave, IsabellaProvince idem
3290
± 230
Philippines,Manunggul Cave, Palawan UCLA-992A 2840
± 80
Samoa,UpoloIs. NZ
363 1950
± 70
Sarawak,Niah Cave GrN-196o 4040
± 70
Solomon Islands,Bellona ANU-6o8 2070
± 80
Solomon Islands,Buka ANU-234 2190
± 140
Solomon Islands,SantaAna I-2882 1910 ± 135
Solomon Islands,Sohano ANU-272 2480
± 140
Sulawesi,Ulu Leang Cave ANU-394 5740
± 230
Thailand,SpiritCave GaK-1846 88o6
± 200
Timor, Uai Bobo 2 Cave ANU-187 5520
± 6o
Tongatapu,Site6 NZ-636 2380
± 51
REFERENCES
§ Allen, Jim 1972. The first decade in New Guinea archaeology. Antiquity 6, 180-9o.
§ Ambrose,W. R. & R. C. Green 1972. First millennium B.C. transport of obsidian from New Britain to the Solomon Islands. Nature, Lond.237, 31.
§ Bayard,D. I972 Non NokTha: the 1968 excavation : procedure, stratigraphy and a summary of the evidence (Stud. Prehist.4). Dunedin: Univ. Of Otago.
§ BernetKempers,A. J.1970 Borobudur. Wassenaar: Servire.
§ Boriskovsky,P. I. 1969-70 (1966) Vietnam in primeval times. Moscow: Nauka. Trans. In Soviet Anthropology and Archaeology 8, 214-57.
§ Brookfield,H. C. with D. Hart 1971. Melanesia: a geographical interpretation of an island world. London: Methuen.
§ Bruyn, J.V. I959. New archaeological finds at Lake Sentani. Nieuw Guinea Stud.3, 1-8.
Ø 1962. New bronze finds at Kwadeware, Lake Sentani, Nieuw Guinea Stud. 6, 61-2.
§ Burkill,T. H. 1935. Dictionary of the economic products of the Malaypeninsula. London: Crown Agents for the Colonies.
§ Chang, Kwang-chih 1968. The archaeology of ancient China (reviseded.). New Haven: Yale Univ. Press.
§ Commelin, I. (ed.). 1646.Begin ende voortgangh van der Vereenighe Nedelandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie ... 2 vols.,Amsterdam.
§ Cooley, F. L. 1962. Ambonese Adat: a general description. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.
Ø 1971. Persentuhan kebudajaan Maluku Tengah 1475-1675. In Bunga rampai sedjarah Maluku(ed.) Luhulima,C. P. F. Djakarta: Lembaga Research Kebudajaan Nasional.
§ Coutts,P. J.F. 1967. Pottery of eastern New Guinea and Papua. Mankind 6, 482-8.
§ Dunn, F. L. 1964. Excavations at Gua Kechil, Pahang. J. Malay. Br. Asiatic Soc. 37, 87-124.
Ø 1966. Radiocarbon dating of the Malayan neolithic. Proc.prehist. Soc. 32, 352-3.
§ Egloff,B. J. 1971. Collingwood Bay and theTrobriand Islands in recent prehistory. Thesis, AustralianNational University.
§ Elmberg,J.F. 1959. Further notes on the northern Majbrats (Vogelkop, westernNew Guinea). Ethnos 24, 70-80.
§ Evangalista,A. E. 1971. Types sites from Philippine Islands and their significance. In Studies in Oceanic culture history (eds) R. C. Green & M. Kelly (Pacifican throp. Rec. 12). Hawaii: Univ. Press.
§ Forrest,T. 1969 (1779). A voyage to New Guinea and the Moluccas.(Edited and with an introduction by D. K. Basset). London: Oxford Univ. Press.
§ Foster,G. M. 1966. Resin-coated pottery in the Philippines. Am.Anthrop. 58, 782-3.
Ø 1959. The potter's wheel. Swest J. Anthrop. 15, 99-119.
§ Fox,R. B. 1970. The Tabon caves: archaeological explorations and excavations on Palawan Island, Philippines. Manila: National Museum.
§ Garanger,Jose 1972. Arche'ologie des Nouvelles Hebrides (Publ. Soc. Ocean. 30). Paris: Musee de l'Homme.
§ Gasser,S. A. 1969. Das Topferhandwerk vonIndonesien (Basler Beitr. Ethnol.7). Basel: PharosVerlag, Hans Rudolph Schwabe.
§ Glover,I. C. 1968. Pottery making in Oralan village, Portuguese Timor. Aust.nat.Hist. 16, 77-82.
Ø 1969. Radiocarbon dates from Portuguese Timor. Archaeol.phys.Anthrop.Oceania4, 107-I2.
Ø 1971. Prehistoric research in Timor. In Aboriginal man and environment in Australia (eds) D. J. Mulvaney & J.Golson. Canberra;AustralianNational Univ. Press.
Ø 1972. Excavations in Timor (2 vols.). Thesis,Australian National University.
§ Golson,J. 1972. Both sides of theWallace line: New Guinea, Australia, Island Melanesia and Asian prehistory. In Early Chinese art and its possible influence in the Pacific basin (ed.) N. Barnard.New York: Inter cultural Arts Press.
§ Gorman, Chester 1971. The Hoabinhian and after : subsistence patterns in Southeast Asia during the late Pleistocene and early recent periods. World Archaeol.2, 100-200.
§ Groves,M. 1960. Motu pottery. J. Polynes. Soc.69, 3-22
§ Harrisson, Tom 1967. Niah Caves: Progress report to 1967. Sarawak Mus.J. (N.S.) 15, 95-6.
§ Heekeren, H. R. Van 1957. The stone age of Indonesia (Verh.K.Inst.Taal-LandVolkenk.21). The Hague: Martinus Nijhoff.
§ Hutton, J.H. 1951. Less familiar aspects of primitive trade. Proc. prehist. Soc.17, 171-6.
§ Jardim, J.1903-4. A ceramica emTimor. Portugalia I, 823-5.
§ Jensen, A.E. 1948. Die drei Strome: Zuge aus den geistigen und religidsen Lebender Wemale, eizem Primitiv-volk in den Molukken (Ergebnisse der Frobenius Expedition 1937-1938 in die Molukkenund nach Hollandisch Neu-Guineai). Frankfurt am Main: Klosterinann.
§ Jonge, J.K.J.de 1864. De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie 2. s'Gravenhage: Martinus Nijhoff; Amsterdam: FrederikMuller.
§ Key,C. A. 1969. Archaeological potteryin Arnhem Land.Archaeol. phys.Anthrop. Oceania.4, 103-6.
§ Koenigswald, G.H. R. Von 1955. Remarks on a late Pleistocene or post-Pleistocene land bridge between Java and Asia .Quaternaria 2, 15-8.
§ Lapian, A. B. 1965. Beberapa tjatatan mengenai djalan dagang maratim ke Maluku sebelum abad XVI. Madjalah Ilmu-ilmu sastra Indonesia 3, 63-78.
§ Lauer,P. K. 1970. Pottery traditions in the D'Entrecasteaux Islands of Papus. Thesis, Australian National University.
Ø 1971. Changing patterns of pottery trade to the Trobriand Islands.World Archaeol. 3, 197-209.
§ Loeber,
J.A. 1915. Leder- en perkament werk, schorbereiding
en aardewerk in Ned-Indie. Amsterdam:
Kolonial Instituut.
§ Macknight, C. C. 1972. Macassans and aborigines. Oceania 42, 283-321.
§ Manusama,Z. J. 1971. Sekelumit sedjarah tanah Hitu dan Nusalaut serta struktur pemerintahanaja sampai pertengahan abad ketudjuhbelas. In Bunga rampai sedjarah Maluku(ed.) C. P. F.Luhulima. Djakarta: Lembaga Research Kebudajaan Nasional.
§ Meilink-Roelofsz, M. A. P. 1962. Asian trade and European influence. The Hague: Martinus Nijhoff.
§ Mourer,C. and R. 1970. The prehistoric industry of Laang Spean,Province of Battambang, Cambodia.Archaeol. phys.Anthrop. Oceania5, 128-46.
Ø & Y. Thommeret 1970. Premieres datations absolues de l'habitat prehistorique de la grotte de Laang Spean de Battambang (Cambodge).C.r.Acad. Sci.270, 471-3.
§ Mulvaney, D. J.& R. P. Soejono 197oa. TheAustralian-Indonesian archaeological expedition to Sulawesi. AsianPersp. 13, 163-78.
Ø 197ob. Archaeology
in Sulawesi, I ndonesia. Antiquity 45, 26-33. (See also corrections in
Antiquity 45, 144).
§ Nicklin, Keith 1971. Stability and innovation in pottery manufacture. World Archaeol. 3, 13-48.
§ Patte,E. 1932. Notes sur le prehistorique Indochinois V. Le Kjokkenmodding neolithique de Da But et ses sepultures (Provincede Thanh Hoa, Indochine). Bull.Serv. geol.Indochine 19 (3).
§ Reinwardt, C. G. C. 1858. Reis naar het oostelijk gedeelte van den Indischen Archipel, in het jaar 1821. Amsterdam: Frederik Muller.
§ Riedel,J.G. F. 1886.De sluik-enkroesharige rassen tusschen Selebes en Papua. s'Gravenhage: Nijhoff.
§ Roder,J. 1940. Ergebnisse einer Probegrabung inder Hohle Dudumnunir auf Arguni, MacCluer Golf (Hollandisch West Neu-Guinea). NovaGuinea (N.S.) 4, 1-10.
Ø 1959.
Felsbilder und Vorgeschichte des MacCluer-Golfes, West Neu-guinea (Ergebnisse der
Frobenius Expedition 1937-8 in die
Molukken und nach Hollandisch Neu-Guinea4). Darmstadt: Nittich.
§ Ruinen,W. Van n.d.Gids in het volkenkundig museum VII: De Molukken. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging Kolonial Instituut.
§ Sachse,F.J.P. I907. Het eiland Seran en zijne bewoners. Leiden: Brill.
§ Schmitt, K. 1947. Notes on recent archaeological sites in the Netherlands East Indies.Am. Anthrop. 49,331-4.
§ Schrieke, B. 1960. Indonesian sociological studies, 1. Bandung- TheHague: VanHoeve.
§ Schurig, M. 1930. Die Sudseetdpferei. Leipzig: Schindler.
§ Shepard, A. 0. 1965. Ceramics for the a rchaeologist. Washington: Carnegie Institution.
§ Sinoto,Y. H. 1968. Position of the Marquesas Islands in East Polynesian prehistory. In Prehistoric culture in Oceania: a symposium presented at the eleventh Pacific ScienceCongress. (eds) I. Yawata& Y. H. Sinoto. Honolulu: Bernice Bishop MuseumPress.
§ Snelleman, J.F. 1919. Pottenen Pottenbakkerij. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie 3,488-97.
§ Solheim,W. G. II.1 952. Oceanicpotterymanufacture. J.E. Asiat.Stud.I, 1-40
§ SteinCallenfels, P. V. van 1932. Note preliminaire surl'abri-sous-rc-ne du GuwaLawa 'a Sampung. In Hommage duservice arche'ologique des Indes Neerlandaises au premier congres des prehistoriens d'Extreme-Orient a Hanoi, 25-31 Janvier 1932. Batavia: Societe Royale des Arts.
§ Tuckson,M. 1966. PotteryinNew Guinea.Pottery Aust.5,9-16.
§ Vlekke,B. H. M. 1959. Nusantara: a history of Indonesia. Bandung-TheHague:VanHoeve.
§ Wagner,F. A. 1959. Indonesia: the art of an island group. London: Methuen.
§ Wallace,A. R. 1962 (I869). TheMalayarchipelago. New York:Dover.
§ Watson,V. 1955. Pottery in the eastern Highlands of New Guinea. SWest. J.Anthrop. II, 121-8.
§ White,J.P. 1971. New Guinea : the first phase in Oceanic settlement. In Studies in Oceanic culture history, vol.2 (eds) R. Green & M. Kelly (Pacificanthrop. Rec. 2). Honolulu: BerniceP. BishopMuseum.
Ø 1972. 01
Tumbuna: archaeological excavations in the Eastern Central Highlands,
Papua
New Guinea (TerraAustralis 2). Canberra:Department of Prehistory, Research School
of Pacific Studies, Australian National Universit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar