(bag. 2)
[Valerio Valeri]
Relasi Eksternal dan Internal
Bagaimana cara di atas membantu kita untuk memahami sistem Siwa-Lima?. Tesis yang ingin saya pertahankan adalah bahwa di Huaulu ada kesetaraan implisit antara oposisi dari tingkat sosial yang paling luas dan yang tidak teratur di luar di satu sisi, dan oposisi dari kelompok Lima dan Siwa, di sisi lain.
Kita telah melihat bahwa moiety dipertentangkan sebagai laki-laki di dalam dan perempuan di luar dalam masyarakat Huaulu sebagian besar setara dengan kontras antara 2 keadaan kontras laki-laki – perempuan itu sendiri : satu dimana kontras tetap tidak dimediasi dan beresiko larut oleh kebingungan laki-laki dalam perempuan (yaitu, pencemaran laki-laki oleh perempuan yang sedang menstruasi atau melahirkan anak); yang lain dimana kontras sepenuhnya dimediasi. Apakah juga berlaku untuk oposisi laki-laki – perempuan yang diterapkan pada moiety?
Di sebagian besar Seram bagian tengah, kelompok Lima yang tidak terbagi, diidentifikasi dengan kelaki-lakian dan pusat, berlawanan dengan keperempuanan dan kelompok Siwa di bagian luar, yang terdiri dari 2 bagian yang berlawanan, yang satu disebut “hitam”, yang lain disebut “putih”. Kontras warna yang ditampilkan oleh Siwa versus netralisasi kontras yang ditampilkan oleh Lima akan cukup untuk membangun analogi formal antara tingkat lokal (seperti yang diilustrasikan oleh kasus masyarakat Huaulu) dan tingkat bagian, karena pada kedua tingkat bagian luar berlawanan dengan bagian dalam sebagai kontras dengan netralisasi. Tapi mungkin ada bagian yang lebih kuat antara 2 tingkatan, karena oposisi hitam-putih setara dengan oposisi laki-laki – perempuan, meskipun ada perbedaan pandangan tentang warna mana yang sesuai dengan jenis kelamin yang mana. Beberapa orang menekankan fakta bahwa warna hitam mengacu pada tato para inisiat laki-laki di Seram bagian barat dan karena itu menyimpulkan bahwa hitam adalah laki-laki dan perempuan adalah putih (Jensen 1948: 52). Tetapi dari sudut pandang orang pusat Seram, hitam tampaknya mengacu pada orang asli (Roder 1948; Jensen 1948: 57), yang juga dipandang sebagai perempuan (seperti bumi itu sendiri); jadi hitam adalah perempuan dan putih adalah laki-laki.
Fakta penting adalah bahwa Lima [adalah] laki-laki, dalam kesatuannya, dapat dilihat sebagai penetralisir kontras antara laki-laki dan perempuan yang tampaknya mendefenisikan Siwa [sebagai] perempuan. Dengan demikian ada analogi antara tingkat lokal (dimana laki-laki di dalam, yang secara sosial memediasi oposisi laki-laki dan perempuan, berlawanan dengan perempuan di luar), dan tingkat global (dimana bagian laki-laki, yaitu Lima, sepenuhnya memediasi oposisi laki-laki dan perempuan dengan menetralisirnya, sedangkan bagian Siwa tidak, dibagi menjadi bagian laki-laki dan perempuan).
Analogi yang sama tentang relasi internal di tingkat lokal dan relasi bagian di tingkat global ditemukan dengan cara yang lebih langsung dalam kontras antara indeks numerik bagian. Baik indeks ini (Lima dan Sembilan) dan kontrasnya tampak tidak termotivasi sampai kita menyadari bahwa mereka harus dilihat sebagai hasil operasi yang merupakan skema paling umum dari proses simbolik yang mendefenisikan setiap moeity.
Lima dianalisa sebagai 4 + 1 (lihat Jansen 1977; Manusama 1977) untuk menunjukkan status khusus dari unit yang mewujudukan totalitas. Kesatuan ini dapat dipandang sebagai yang “kelima” (ketika proses pencapaian totalitas ditekankan) atau sebagai yang “pertama” (ketika peringkat ditekankan).
Contoh kasus pertama diberikan oleh formula ritual masyarakat Huaulu “satu, dua, tiga, empat...lima”, yang menandai kesimpulan dari beberapa proses ritual (misalnya, ritual pernikahan). Dalam rumus ini, “Lima” diucapkan setelah jeda singkat dan lebih tegas daripada angka lainnya, untuk menunjukkan bahwa suatu proses telah selesai, suatu kepenuhan telah tercapai.
Cara dimana struktur kelompok Lima sering direpresentasikan memberikan contoh terbaik dari kasus kedua. Memang, sangat sering “kesatuan” kelompok diwakili oleh unit “pertama”, yang idealnya berada di tengah 4 unit yang mengelilinginya. Pusat ini melambangkan totalitas karena merupakan titik dimana oposisi dari 4 unit di sekelilingnya dinetralkan. 4 titik berorientasi pada point kardinal (atau sub divisinya) dan sering dikaitakan dengan kebalikan lainnya juga.
Controh netralisasi oleh pusat diberikan oleh unit pusat dalam struktur 4 + 1 yang mencirikan kelompok Lima di Hitulama di Ambon pada abad ke-16 dan ke-17. Latu Sitania, penguasa yang berada di tengah kelompok 4 perdana atau penguasa, yang berasal dari banyak kelompok, mengenakan semua warna secara terpisah terkait dengan setiap perdana dan membentuk pasangan oposisi. Sebagai pusat tata ruang, Latu Sitania juga menetralkan oposisi utara-selatan, timur-barat, yang mengatur relasi antar perdana (lihat Manusama 1977: 35)6.
Di Huaulu, kami menemukan struktur yang sangat mirip. Masyarakat terdiri dari 4 unit dasar : Huaulu, Tamatay, Allay, Peinisa. Tetapi unit Huaulu sebenarnya dibagi menjadi 2 bagian otonom, masing-masing disebut Huaulu potoa (Hualu besar) dan Huaulu kiita (Huaulu kecil). Huaulu potoa menyediakan seorang penguasa “laki-laki”, yang disebut Kamare dan kadang-kadang Latu Ama (penguasa induk) dan karena itu merupakan unit pertama yang sesuai dengan pusat masyarakat, dan menengahi oposisi eksternal7.
Terkadang, khususnya di Ambon, struktur 4 + 1 merupakan kependekan dari metafora antropomorfik masyarakat. Dalam metafora ini, satuan yang terkait dengan bilangan genap diwakili oleh tungkai di sisi kanan tubuh; yang terkait dengan angka ganjil diwakili oleh anggota badan sebelah kiri, dan unit yang melambangkan totalitas (dan yang juga melengkapi kepala desa) diwakili oleh kepala (Jansen 1977; Roder 1939).
Sembilan dianalisis sebagai (4+4) + 1 atau (empat tambah empat) tambah satu. Ini memperjelas bahwa kelompok Sembilah (atau contoh sosial atau ritual lainnya dari rumus sembilan dalam masyarakat kelompok Siwa) dipahami sebagai hasil dari duplikasi 4 unit yang mengelilingi unit pusat dalam kelompok Lima (lihat Holleman 1923: 14). Ini juga menyiratkan bahwa struktur 4 + 1 adalah umum untuk kedua moeity. Valentijn mengatakan bahwa quadripartition atau “pembagian 4” adalah dasar bagi Siwa dan Lima (1862: 2: 34, 36), tetapi ia gagal untuk melihat bahwa tidak ada quadripartition tanpat satuan pusat atau implisit, sehingga 4 + 1 dan bukan hanya 4 adalah unsur yang sama untuk kedua moeity8 (lihat Manusama 1977: 25, 32, 34, 77-78).
Dengan demikian tampak bahwa kontas Lima dan Sembilan tidak secara sewenang-wenang dikaitkan dengan kontas 2 moeity. “Struktur politik dasar”, seperti di tempat lain di Asia Tenggara, dan khususnya di Indonesia, adalah struktur 4 + 1 (lihat Van Ossenbruggen 1918; Schulte Nordholt 1971; Fox 1982). Strukturnya direduplikasi – 4 + 1 – untuk membentuk kebalikannya, yaitu kelompok Sembilan. Duplikasi struktur 4 + 1 sama dengan sembilan (9), bukan 10, karena menurut defenisi hanya ada 1 unit pusat dalam sebuah grup : unit pusat atau “kepala” tidak pernah ditambahkan satu sama lain.
Dua kelompok/himpunan 4 di dalam kelompok Sembilan sering saling bertentangan sebagai laki-laki dengan perempuan, baik di Seram tengah maupun di Ambon. Di Seram bagian tengah, mungkin contoh terbaik dari fenomena ini ditawarkan oleh masyarakat/komunitas Maraina, yang terletak di pusat geografis dan sosial Siwa di wilayah pulau itu. Maraina terbagi dalam 2 bagian, satu bernama Ilela potoa (Ilela besar), yang lain bernama Ilela kiita (Ilela kecil). Setiap bagian dibagi menjadi 4 unit, yang selanjutnya berlawanan sebagai pasangan. Unit berpangkat tertinggi di Ilela Potoa melengkapi Latu Nusa, Tuan Tanah (disebut juga Latu Ina, Ibu induk) untuk seluruh masyarakat. Oleh karena itu, unit ini merupakan bagian dari sistem bagian, dan sebagai pusat totalnya, berada di atasnya. Dalam hal ini, dihitung untuk dua, menjelaskan mengapa 8 unit membentuk kelompok sembilan. Singkatnya, di sini kita menemukan contoh dari struktur (4 + 4) + 1 atau empat – tambah - empat – tambah – satu.
Struktur ini terlihat, seperti juga di Ambon, oleh 2 meja batu yang saling berhubungan, yang bersama-sama mewakili masyarakat dan dimana kepala yang diburu/dipotong diletakkan sebagai persembahan kurban.
Meja utama milik Ilela potoa dan yang lebih kecil milik Ilela kiita. 4 kaki meja utama termasuk dalam 4 unit Ilela potoa, sedangkan 4 kaki meja yang lebih kecil termasuk dalam 4 unit Ilela kiita. Bagian atas kedua meja adalah milik Tuan Tanah, yang juga pemilik kaki di timur laut (arah besar/utama) dari meja utama (Roder 1948: 16-17; Valeri, catatan lapangan). Oleh karena itu Tuan Tanah berada di pusat kedua kelompok dan pada saat yang sama di atas mereka sebagai simbol persatuan mereka.
Sayangnya, ketika saya mengunjungi Maraina dan diperlihatkan meja itu, saya tidak menanyakan apakah bagian-bagian itu berlawanan seperti laki-laki dan perempuan. Tetapi semuanya menunjukkan bahwa inilah masalahnya. Pertama-tama, Ilela potoa menyediakan Ibu Induk dan karena itu harus dianggap perempuan. Kedua, Ilela potoa dianggap lebih asli, jika boleh dikatakan demikian, daripada Ilela kiita, yang tiba “kemudian/belakangan” di tempat Ilela potoa yang sudah menetap (lihat Roder 1948). Karena penduduk asli, atau pendatang pertama, setara dengan perempuan, dan para imigran, atau pendatang terakhir, setara dengan laki-laki. Terakhir, dan lebih tegas lagi, di Piliyana, sebuah masyarakat/komunitas yang terkait erat dengan Maraina, Ilela potoa berlawanan dengan Latumutuani (yang berfungsi di sana sebagai bagian “lain”) sebagai perempuan terhadap laki-laki.
Maraina sama sekali tidak unik di Seram tengah dalam menampilkan struktur (4 + 4) + 1 dimana satu kelompok/himpunan 4 berlawanan dengan yang lain sebagai laki-laki ke perempuan. Taluti lama tampaknya memiliki struktur yang sama, setidaknya pada intinya. Di sana strukturnya diwakili oleh satu meja batu. Masing-masing dari 4 kakinya yang terhubung dihubungkan dengan 2 kelompok, sedangkan bagian atas milik Tuan Tanah, [yaitu] “perempuan”. Stuktur ini jelas konsentris, karena kumpulan/kelompok 4 unit yang paling penting termasuk kelompok yang tiba lebih duli di Taluti; oleh karena itu kelompok ini lebih dekat ke tengah daripada kelompok 4 unit yang kedua. Sekali lagi, tampaknya kelompok pertama, yang lebih dekat ke pusat [yaitu] perempuan, adalah perempuan itu sendiri jika dibandingkan dengan kelompok luar, yang dalam hal ini laki-laki (Valeri, catatan lapangan; Roder 1948: 9-14).
Apakah mereka berstruktur (4+1) + 1 atau tidak, kelompok-kelompok lain dalam kelompok Siwa di Seram bagian tengah tampaknya terbagi menjadi bagian atau “sampingan” yang diklasifikasikan sebagai laki-laki dan perempuan. Setidaknya dalam 1 kasus – Piliyana yang disebutkan di atas – gugus eksternal ini adalah eksogamus. Di Ambon, juga 2 bagian kelompok Siwa biasanya diklasifikasikan sebagai laki-laki dan perempuan (Jansen 1977: 103). Selanjutnya, seperti di Seram bagian tengah, unit pusat (yaitu unit yang mewakili masyarakat secara keseluruhan) dari seorang Siwa adalah perempuan yang diidentikan dengan Ina “ibu”, berbeda dengan unit pusat dari kelompok Lima, yang laki-laki dan diidentikan dengan Ama “ayah/bapa” (Manusama 1977 : 33).
Apakah kita mempertimbangkan relasi antara seluruh bagian atau relasi antara kelompok Lima dan kelompok Sembilan secara individual, kita melihat bahwa istilah Lima mungkin berlawanan dengan istilah Siwa seperti halnya netralisasi simbolis laki-laki dan kontras laki-laki – perempuan (yang menyiratkan mediasi) berlawanan dengan netralisasi perempuannya (yang menyiratkan tidak adanya mediasi). Ini menjelaskan, dari sudut pandang Lima seperti sudut pandang Huaulu, adalah mungkin untuk menyamakan keadaan luar relasi laki-laki – perempuan dalam kelompok Lima dengan relasi antara pihak laki-laki dan perempuan di kelompok Sembilan manapun atau dalam bagian Siwa, secara keseluruhan, ketika dibagi menjadi bagian teritorial “laki-laki” dan “perempuan”. Persamaan ini menyiratkan bahwa Siwa lebih tidak teratur daripada Lima, dan karena itu lebih rendah di mata Lima sebagai/seperti perempuan kepada laki-laki. Tentu saja ini hanya salah satu aspek dari asimetri dari 2 bagian seperti yang dipahami oleh Lima (gambar 2).
Tak perlu dikatakan bahwa pandangan Lima ini berbeda dari Siwa. Memang, beberapa pernyataan dari Ambon – yang tampaknya juga berlaku untuk Seram bagian tengah – memperjelas bahwa sudut pandang Siwa adalah kebalikan dari pandangan Lima yang baru saja dibahas (gambar 3). Misalnya, Manusama (1977: 33-34) melaporkan bahwa kelompok sembilan [yang] perempuan bereproduksi sendiri (dan karena itu lengkap), sedangkan kelompok lima [yang] jantan itu mandul karena tidak lengkap. Oleh karena itu, jauh dari mewujudkan mediasi unggul laki-laki dan perempuan, kelompok lima tidak menyadari mediasi sama sekali. Point ini muncul lebih jelas lagi dari teori yang diringkas oleh Jansen :
Dalam sistem ini, lima adalah wujud yang lengkap; laki-laki adalah lima : Objek ini, bagaimanapun, mandul dengan sendirinya tidak dapat menjadi asal dari makhluk lain, untuk tujuan ini diperlukan 2 makhluk, lima [yang] laki-laki dan lima [yang perempuan]. Bersama-sama mereka menjadi sembilan, karena satuan lima [yang] perempuan dan lima [yang] laki-laki (uru ulu) bergabung satu sama lain (uli siwa) untuk membentuk satu kesatuan yang lengkap dan paling sempurna (Jansen 1977: 103)
Jelas teori ini benar-benar membalikan teori Lima. Memang kelompok sembilan didefinisikan sebagai penyatuan 2 kelompok lima dan oleh karena itu dianggap lebih unggul dari masyarakat “luar” non-persatuan mereka. Pandangan ini kemudian meniadakan gagasan bahwa kelompok tunggal Lima dapat memediasi kategori laki-laki dan perempuan : sebaliknya, ia mengidentifikasi lima dengan kemandulan, dimana laki-laki adalah simbol yang paling tepat, karena laki-laki tidak melahirkan anak. Dengan demikian netralisasi laki-laki dari oposisi laki-laki perempuan dipandang inferior (steril/mandul dan tidak lengkap), sedangkan netralisasi perempuan dipandang superior (subur dan lengkap).
Bahwa perspektif Siwa dan Lima terbalik/berlawanan setidaknya di beberapa bagian Seram tengah ditegaskan oleh adanya inversi mencolok antara [masyarakat] Huaulu, di satu sisi, dan beberapa masyarakat Siwa yang jauh ke timur. Di Piliyana, Maraina, dan Taluti, yang superior, posisi sentral diberikan kepada simbolis penguasa [yang] perempuan (Latu Ina), sementara inferior, posisi luar diberikan kepada penguasa “laki-laki” (Latu Ama). Hal ini sebaliknya terjadi di Huaulu, dimana Latu Ama memiliki posisi sentral sedangkan Latu Ina berada di luar. Memang sebuah mitos membuatnya menjadi seorang imigran/pendatang, hewan yang diubah menjadi manusia oleh seorang pahlawan.
Bahwa penguasa perempuan secara simbolis di pusat masyarakat Siwa sebenarnya adalah laki-laki menunjukkan bahwa kualifikasi batin Siwa sebagai perempuan tidak menyiratkan bahwa perempuan itu sendiri bertanggung jawab untuk mewujudukan tatanan sosial. Selain itu, dalam kedua masyarakat, perjalanan dari luar ke dalam dihubungkan dengan transformasi aktivitas yang teratur dan tidak tidak teratur. Tetapi kelompok Lima menekankan di dalam dimensi tindakan transformatif, yang secara paradigmatis laki-laki, di dalam, Siwa, sebaliknya, menekankan hasil transformasi, yaitu reproduksi, yang paling baik dipandang sebagai perempuan, karena memang demikian, wanitalah yang mengandung anak. Di luar sebaliknya adalah benar. Siwa menekankan perbuatan yang bersifat laki-laki, tetapi karena perbuatan itu terjadi di luar, maka perbuatan itu tidak teratur dan inferior. Lima menekankan reproduksi, tetapi sekali lagi, karena berada di luar, itu adalah reproduksi dalam aspeknya yang belum selesai dan tidak lengkap dan karena itu dipandang lebih rendah daripada tindakan laki-laki.
Mengapa aspek berlawanan dari proses yang sama ditekankan? Mengapa Lima menekankan aspek positif dari tindakan, sedangkan Siwa menekankan aspek positif dari reproduksi, kesuburan?. Saya percaya bahwa perbedaan ini dihasilkan dari fakta bahwa Siwa, yang menganggap diri mereka asli, menekankan kesuburan sebagai perempuan, sedangkan Lima, yang menganggap diri mereka imigran, menekankan tindakan sebagai milik laki-laki penakluk perempuan. Penekanan yang berlawanan diabadikan dalam konsepsi masing-masing bagian tentang nilai relatifnya dan tercermin dalam evaluasi oposisi dalam-luar, dimediasi-tidak dimediasi dalam masyarakat aktual di setiap bagian. Lebih khusus lagi, mungkin tercermin dalam hierarki kebalikan dari Tuan Tanah dan penguasa kekuatan di antara 2 kelompok. Saya dapat menambahkan bahwa di Seram tengah, Siwa menekankan bumi [sebagai] perempuan dalam pasangan kosmologisnya, [yaitu] langit [sebagai] laki-laki– bumi [sebagai] perempuan, dan Lima menekankan laki-laki [sebagai] langit, misalnya lebih sering merujuk/menengadah [ke] langit saat berdoa.
Pola ini menegaskan bahwa ada korespondensi yang pasti antara tingkat moetitas dan tingkat lokal dan bahwa setiap masyarakat oleh karena itu harus mengkonseptualisasikan keadaan superiornya sebagaimana ia mengonseptualisasikan moeitas yang menjadi miliknya, dan keadaan inferiornya ketika mengonseptualisasikan moeity yang bukan miliknya. Perbedaan antara masyarakat dalam kelompok yang berlawanan hanyalah perbedaan nilai mana – kelakilakian dan keperempuanan – menandakan mediasi kategori laki-laki dan perempuan dan karena itu totalitas sosial, tetapi kesadaran asli harus salah menafsirkan hal ini sebagai oposisi dari 2 tingkat mediasi yang tidak setara atau bahkan sebagai oposisi mediasi dan non mediasi. Jika tidak, asimilasi bagian luar masing-masing bagian dengan bagian-bagian dalam lainnya tidak mungkin terjadi.
Meskipun saya telah menekankan pada perbedaan logis antara perempuan dan laki-laki sebagai nilai simbolis, di satu sisi, dan laki-laki dan perempuan, di sisi lain, saya harus melaporkan bahwa asosiasi totalitas (dalam) dengan perempuan dapat bergema pada status perempuan. Saya dikejutkan oleh fakta bahwa di kalangan Siwa Seram tengah, tarian perang laki-laki di tengah desa diiringi oleh tarian perempuan, yang sama sekali tidak ada dan bahkan secara eksplisit dilarang di Huaulu. Yang juga mencolok adalah bahwa praktik perdukunan dikhususkan untuk laki-laki di Huaulu, sementara hal itu terbuka untuk wanita di kalangan Siwa yang lebih jauh ke arah timur. Selain itu, fenomena yang berkaitan dengan kesuburan wanita (menstruasi, melahirkan anak) secara kesluruhan tampaknya dinilai lebih positif di kalangan Siwa di Seram bagian tengah daripada di kalangan Lima di daerah yang sama. Memang semua suku-suku dari Siwa, kecuali Nisawele, membolehkan perempuan haid dan melahirkan di dalam rumah, meskipun di daerah khusus, bahkan sebelum mereka masuk Kristen (Tauern 1918: 33, 165, 184-185; Valeri, catatan lapangan). Kebiasaan ini tampaknya sejalan dengan hubungan yang terjalin antara kesuburan wanita dan batin di kalangan Siwa. Di sisi lain, disjungsi logis antara reproduksi perempuan sebagai simbol dan proses aktual reproduksi perempuan digarisbawahi oleh kasus suku Nisawele. Masyarakat Siwa ini mengecualikan dari desa, wanita yang sedang menstruasi atau melahirkan, seperti yang dilakukan tetangga mereka di masyarakat Lima.
Di antara Siwa Seram bagian barat ditemukan variasi yang lebih nyata dalam keadaan menstruasi dan melahirkan di antara Siwa Seram bagian tengah. Di beberapa daerah, pondok/gubuk menstruasi terletak di luar desa, terkadang jauh darinya; di daerah lain, perempuan diperbolehkan untuk menstruasi di bawah rumah. Menariknya, dalam satu kasus struktur Lima yang ditemukan di Huaulu tampaknya benar-benar terbalik, karena pondok/gubuk menstruasi terletak di dalam desa (Jensen 1948: 139). Barangkali dalam hal ini arti keperempuanan (yang dalam masyarakat matrilineal di Seram bagian barat sangat besar) dalam pengertian telah mengakibatkan perempuan berada pada posisi dalam, justru ketika mereka mewujudkan kekuatannya untuk melahirkan dan menjadi penanda kesuburan. Sayangnya, ini hanya spekulasi; tidak ada detail yang diketahui tentang kasus khusus ini.
Mungkin variasi status perempuan di kalangan Siwa ini merupakan indeks dari situasi mereka yang agak kontradiktif : di satu sisi Siwa mengutamakan nilai-nilai perempuan, di sisi lain mereka memisahkan nilai-nilai ini dari perempuan sebenarnya. Tingkat polusi/kekotoran yang berbeda dikaitkan dengan wanita/perempuan. Namun jarang di Seram, perempuan dianggap bebas polusi/kekotoran, sehingga gagasan masyarakat Huaulu tentang polusi perempuan (lihat Valeri 1989) terwujud dalam bentuk pandangan ekstrim yang dianut oleh sebagian masyarakat Seram.
Meskipun saya tidak memiliki informasi pasti tentang inti ini, mungkin juga ada variasi di antara kelompok Lima sehubungan dengan intensitas pencemaran yang dikaitkan dengan perempuan saat menstruasi atau melahirkan. Bagaimanapun, kelompok Lima yang telah memeluk agama Islam biasanya telah meninggalkan kebiasaan pondok/gubuk menstruasi.
Beberapa Refleksi dan Kesimpulan Sementara
Dalam arti yang penting, perspektif dari kelompok Lima dan kelompok Sembilan adalah kebalikan/berlawanan dan simetris yang sempurna. Setiap kelompok memahami hubungannya satu sama lain sebagai relasi bagian – keseluruhan, yang diartikulasikan secara proses dan waktu : wo Lima war, soll Siwa werden; wo Siwa war, soll Lima werden. Dengan kata lain, masing-masing kelompok merasakan keadaan totalisasi yang lebih rendah di pihak lain, yang bertepatan dengan konseptualisasinya tentang keadaan hubungan laki-laki – perempuan di luar. Oleh karena itu, masing-masing kelompok memberikan gambaran kepada yang lain tentang apa yang harus ada pada tingkat tertentu (misalnya, ketika terlibat dalam aktivitas yang terjadi di luar) tetapi harus ditransmisikan menjadi kelompok sepenuhnya, menjadi totalitas. Ini, pada dasarnya, adalah kontribusi yang diberikan masing-masing bagian terhadap keberadaan yang lain.
Moieties tidak dipahami, oleh karena itu, sebagai lawan pelengkap yang murni dan sederhana, yang bersama-sama akan membentuk keseluruhan yang harmonis atau akan saling memberi, melalui pertukaran, membutuhkan kualitas yang saling berlawanan. Memang, pada akhir analisis ini kita harus menyimpulkan bahwa apa yang tampak pada awalnya sebagai lawan yang saling melengkapi (laki-laki – perempuan; dalam – luar) sebenarnya adalah tanda-tanda hierarki terbalik di antara kebalikannya. Kebalikannya sudah ada di setiap bagian; mereka tidak perlu ditukar. Tetapi setiap bagian tergantung pada gambar terbalik dari hierarki elemen-elemen ini (dan gambar yang direalisasikan oleh bagian yang berlawanan) untuk mereporoduksi hierarkinya sendiri.
Singkatnya, tidak cukup bagi suatu masyarakat untuk mereproduksi dirinya sendiri dengan referensi positif pada suatu tipe yang harus diinstansiasi; itu juga membutuhkan referensi negatif ke tipe yang tidak boleh diinstansiasi (atau lebih tepatnya, tidak boleh terus diinstansiasi, sejauh tak terelakkan menginstansiasi tipe pada tingkat tertentu pada suatu waktu). Dalam hal ini, hubungan Siwa dan Lima mengingatkan saya pada hubungan antara kelompok Eaglehawk (Elang) dan Crow (Gagak) di Australia sebagaimana baru-baru ini ditafsirkan kembali oleh Testart (1978). Testart telah menunjukkan bahwa pertentangan antara kedua burung itu sebenarnya adalah antara pemburu dan pemakan bangkai (95-96), suatu pertentangan yang mendasari pasangan hewan lain yang terkait dengan bagian di Australia. Lebih mendalam lagi, semua pertentangan ini menyimbolkan pertentangan antara perilaku yang benar dan pelanggaran sebagaimana dipahami dalam masyarakat pemburu. Oleh karena itu, bagian-bagian menjadi teridentifikasi dengan dua aspek reproduksi tatanan moral yang saling melengkapi: satu dengan pengucapan langsung dari tatanan itu, yang lain dengan kebalikannya (yaitu representasi pelanggaran). Oleh karena itu perbedaan hirarkis antara bagian (lihat Testart 1978: 102-108).
Hubungan Siwa dan Lima agak mirip dengan Eaglehawk dan Crow, tetapi berbeda dalam hal mendasar: di Maluku, masing-masing bagian memberikan dirinya peran yang superior dan preskriptif dan memberikan peran inferior dan transgresif kepada yang lain. Bagian-bagian itu dengan demikian lebih berbeda karena hubungan terbalik antara sudut pandang mereka daripada karena masing-masing bagian memiliki peran yang diakui oleh keduanya. Saya mengatakan “lebih” karena dalam varian sistem Siwa-Lima pusat Seram dan Ambon yang dianalisis di sini, ada beberapa kesepakatan mengenai ciri-ciri yang mencirikan masing-masing bagian, meskipun bukan pada makna dan nilainya. Namun sistem dapat melakukannya bahkan tanpa unsur-unsur kesepakatan ini. Memang, seperti yang telah saya sebutkan, dalam kasus-kasus tertentu baik Siwa maupun Lima mengaku sebagai laki-laki dan menyatakan bahwa bagian yang berlawanan adalah perempuan. Dalam hal ini kelompok hanya berbagi pandangan laki-laki lebih unggul dari perempuan: untuk mengklaim status yang lebih tinggi dari kelompok yang berlawanan, setiap kelompok harus mengklaim status laki-laki.
Tetapi apa pun bentuknya, sistem Siwa-Lima menekankan kontras antara penilaian terbalik mengenai hubungan antara istilah-istilah (atau merujuk pada bagian-bagian) di atas kontras sederhana dari istilah-istilah yang diasosiasikan dengan bagian-bagian. Konsekuensinya, komplementaritas ada lebih pada bidang interkasional dan prosesual daripada bidang logis sederhana. Setiap bagian membutuhkan Yang Lain, yang dapat dilampirkan istilah negatif dari sistem oposisinya sendiri; hubungan timbal balik antara bagian terdiri dari masing-masing bagian menjadi Yang Lain dari Yang Lain, meskipun ia menolak untuk mengakui fakta tersebut. Setiap bagian menyangkal nilai kontradiktifnya yang ditegaskan oleh bagian yang berlawanan, namun, sejauh suatu bagian tidak dapat dipisahkan dari sistem dan oleh karena itu tidak dapat dipisahkan dari penegasan nilai kontradiktif itu, bagian itu secara diam-diam mengakui nilai kontradiktifnya dalam tindakan yang meniadakannya. Semua ini menunjukkan bahwa hubungan sosio-logis tidak dapat langsung diidentifikasi dengan hubungan logis.
Kita juga dapat memahami perbedaan besar antara sistem gugus “politik” ini dan gugus “galaktik” (sebagaimana Tambiah 1976 menyebutnya) di Asia Tenggara. Perbedaannya menjadi lebih mencolok dengan fakta bahwa keduanya menggunakan struktur dasar 4 + 1 seperti mandala dan korelasi-korelasinya : dalam – luar; pusat – pinggiran, dan terkadang laki-laki – perempuan (lihat Holleman 1923 : 14).
Politi-politi galaktik didasarkan pada perkalian tak terhingga dari kelompok/himpunan pinggiran (empat atau lainnya) di sekitar pusat tunggal, seperti misalnya dalam sistem mancapat Jawa. Dengan demikian pusat ditentukan oleh penentangnya terhadap sejumlah tak terhingga dari Yang Lain di luar dan di bawah yang dapat ditundukkannya.
Sebaliknya, dalam sistem Siwa-Lima hanya ada satu Yang Lain. Ini terkait dengan fakta bahwa menurut definisi hanya ada 2 jenis struktur seperti mandala : (empat) tambah satu dan (empat tambah empat) tambah satu. Duplikasi tunggal dari pinggiran (rangkaian 4 unit) yang diperbolehkan tidak menghasilkan peliputan dari Yang Lain; sebaliknya, itu menyiratkan identifikasi dengan itu, bagian ke kategori dimana itu termasuk. Dengan kata lain, jika kelompok Lima menambahkan pinggiran kedua pada dirinya sendiri, itu hanya menjadi kebalikan dari dirinya sendiri. Pada saat yang sama, masing-masing kelompok memahami bagian yang berlawanan sebagai setara dengan bagian, atau lebih tepatnya menyatakan, dari dirinya sendiri, karena alasan yang dibahas di atas.
Oleh karena itu, sistem Siwa-Lima menghadapkan kita pada hubungan simetris antara 2 evaluasi hierarki yang berlawanan : ia menggabungkan klaim-klaim untuk melingkupi Yang Lain, yang mencirikan kebijakan galaksi, dengan reversibilitas kliam tersebut, yang dimungkinkan oleh struktur dualistik dari sistem. Oleh karena itu, sistem ini dapat dilihat sebagai perantara tipologis antara organisasi ganda kesukuan murni dan kebijakan galaksi yang murni terpusat. Dalam hal ini, penting bahwa Siwa-Lima dan sistem serupa di luar Indonesia telah berkembang di pinggiran sistem terpusat9. Sayangnya, terlalu sedikit relavansi yang diberikan pada sistem moieties regional ini dalam pembahasan sistem politik Indonesia.
Saya ingin menyimpulkan dengan menunjukkan bahwa paradoks terbesar dari sistem Siwa-Lima – kesetaraan yang dibangun antara bagian Lain dan tingkat tatanan yang lebih rendah di setiap masyarakat – terkait erat dengan bentuk konkret dari interaksi bagian. Seperti yang telah kita lihat, mereka seharusnya berinteraksi hanya melalui perang. Tetapi perang menyiratkan pengayauan/potong kepal, yaitu pemindahan musuh dari bagian yang berlawanan ke pusat masyarakat seseorang. Nampaknya terjemahan ini merepresentasikan dan mewujudkan keterkaitan antara berbagai tingkatan yang tersirat dalam sistem tersebut. Kepala musuh pada awalnya merupakan tanda metonimik dari bagian yang berlawanan. Ini juga merupakan tanda kondisi perolehannya: perburuan laki-laki yang kejam dan tidak teratur di luar masyarakat dan oleh karena itu kontras langsung antara kategori laki-laki dan perempuan. Jadi pada kepala, persamaan bagian yang berlawanan dan tingkat tatanan yang lebih rendah diwujudkan secara konkret.
Tetapi pembunuhan musuh menyiratkan subordinasi dan penguasaan, baik dari bagian yang berlawanan dan dari keadaan luar masyarakat seseorang. Oleh karena itu memungkinkan transendensi wilayah itu dan akibatnya mediasi sosial penuh laki-laki dan perempuan, dilambangkan dengan menari di sekitar kepala yang diburu/dipotong di rumah komunal di tengah desa.
Dengan demikian ritual memperjelas dalam arti apa reproduksi hubungan hierarkis antara satu bagian dan bagian yang berlawanan bertepatan dengan reproduksi hubungan hierarkis antara 2 tingkat tatanan dalam masyarakat. Bagian lain, yang dilambangkan dengan kepala, benar-benar merupakan tatanan sosial yang paling mencakup, dilambangkan dengan hubungan produktif laki-laki dan perempuan dalam tarian melingkar10.
Ritus mengungkapkan bahwa pusat dari
satu masyarakat memang berputar di sekitar pusat tersembunyi : bagian yang
berlawanan. Dalam pengertian ini, kedua gugus itu benar dalam memandang diri
mereka sebagai pusat dari yang lain. Ritus menyesuaikan pandangan satu bagian
tentang dirinya sebagai pusat untuk menciptakan pusat bagian yang berlawanan.
======
selesai ======
Catatan Kaki
6. Tentang struktur dan sejarah Hitu, lihat Rijali 1977; Rumphius nd. 1-25; Valentijn [1724-1726]: 2: 104-115; Manusama 1977
7. Perhatikan bahwa wilayah inti Huaulu, dan suku itu sendiri, disebut Sekenima, yang mereka terjemahkan menjadi “lima segmen/bagian” (nima diartikan sebagai korupsi dari Lima, “lima”)
8. Perlu ditekankan bahwa baik di Seram Tengah maupun di Ambon terdapat konsensus tertentu bahwa kelompok Siwa termasuk atau harus memasukkan atau memang memasukkan kelompok empat-plus-empat-plus-satu, dan kelompok Lima, empat-plus- satu kelompok. Misalnya, saya diberitahu oleh informan Siwa di daerah Taluti di selatan Seram bahwa orang Nuaulu (sepupu Huaulu di selatan) “di masa lalu” memiliki struktur empat tambah satu. Dokumen-dokumen sejarah dari abad keenam belas dan ketujuh belas menunjukkan bahwa teori ini sesuai dengan praktek di Ambon dan di kepulauan Uliaser (lihat Rumphius n.d; Valentijn [1724-1726]; lihat juga Jansen 1977 untuk pandangan yang disampaikan secara lisan tentang fakta ini). Di Seram pun, hal ini sepertinya sering terjadi. Misalnya, sebuah masyarakat tidak jauh dari Huaulu, yang sudah lama tidak ada lagi, yaitu Permata, dapat diartikan memiliki struktur empat tambah satu menurut data Valentijn [1724-1726]: 2:59. Seperti di Huaulu, unit pusat memberi nama keseluruhan dan memiliki nilai ganda.
9. Lihat, misalnya, sistem Demon-Padzi di Kepulauan Solor (Vatter 1932: 285; Arndt 1938), Wetu Telu-Waktu Lima di Lombok (Cederroth 1981; van der Kraan 1980), dan Koto-Piliang dan Bodi-Caniago Minangkabau (de Josselin de Jong 1952: 71). Menariknya, baik di Kepulauan Solor maupun di Lombok, moiety yang secara paradigmatik diasosiasikan dengan Islam, seperti di Maluku, moiety tersebut memiliki indeks sebesar 5 (lima).
10. Oleh karena itu, rasa hormat yang ekstrim ditunjukkan kepada kepala ketika diperkenalkan ke desa. Jika tidak cukup dihormati, - saya diberi tahu - , keberadaan masyarakat terancam.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar