Sabtu, 18 Oktober 2025

RINCIAN ETNOGRAFI DARI BEBERAPA NEGORI AMBON (±1930)


(bagian 1)

[H.J. Jansen1]

  

A.     Kata Pengantar

Apa yang kami terjemahkan ini adalah tulisan atau lebih tepatnya nota administratif dari H.J. Jansen, seorang penjabat Hindia Belanda yang sebagian besar tahun-tahun tugasnya, bekerja di wilayah Ambona.  Nota administratif ini berjudul Ethnographische Bijzonderheden van Enkele Ambonsche Negorijen, dimuat atau dipublikasikan dalam Jurnal Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde van Nederlansch-Indie, deel (volume) 98, “bagian” ketiga atau 3de Afl, halaman 325 – 368, yang terbit tahun 1939.  Sesuai judulnya, tulisan sepanjang 44 halaman ini menggambarkan etnografi masyarakat Ambon pada dekade-dekade awal abad ke-20. Jansen mengambil atau menyajikan gambaran etnografi dari beberapa negeri/desa di Pulau Ambon - lebih banyak yang berlokasi di jazirah Leitimor, dan sedikit di jazirah Leihitu - sebagai contoh dari isi tulisannya. Tentunya, apa yang digambarkan oleh Jansen, adalah keadaan masyarakat Ambon pada awal abad itu, yang sudah pasti “etnografisnya” merupakan hasil pembentukan sejak ratusan tahun sebelumnya, termasuk karakteristik masyarakat Ambon selama era kolonial sejak tahun 1500an. Apa saja yang ditulisa oleh Jansen, sebaiknya kita bisa membacanya sendiri. 

Kami mencoba menerjemahkan tulisan ini dan membaginya menjadi 3 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan dan menyisipkan sedikit ilustrasi, yang pada tulisan aslinya tidak ada ilustrasi berupa peta, tabel, lukisan atau foto. Terjemahan ini pastilah tidak sempurna sesuai dengan terbatasnya kemampuan kami, namun minimal bisa menyumbang sesuatu yang bernilai meski sangat kecil dalam kesejarahan Ambon. Perlu diketahui bahwa tulisan dari H.J. Jansen ini pernah diterjemahkan oleh Frans Rijoli dengan judul Catatan Etnografika Beberapa Negeri di Ambon, namun sayangnya kami belum memiliki dan membaca terjemahan ini. Mungkin saja terjemahan dari Rijoli “berbeda” dengan terjemahan kami, tetapi sebaiknya perbedaan itu bisa memperkaya pemahaman kita terhadap kesejarahan orang Ambon, terkhususnya dalam kasus etnografi masyarakat Ambon. Kiranya terjemahan sederhana ini bisa menambah historiografi kita.

 


B.     Terjemahan

1.        Negorij Hatoe.

Bangsa raja di negeri ini adalah: Hehalatoeb. Negorij dibagi menjadi 3 soa; Soa Sehoewat termasuk dalam oeli-siwa, Soa Maloepan dan Hatoelessi termasuk dalam oeli lima.

§  Soa Sehoewat. Pemimpin/Kepala soa adalah [bergelar] Hehamoni, yang terdiri dari keluarga-keluarga :

Salamahoe (oepoe: sala; oepoe mara: hoa).

Hehamoni (oepoe: moni; oepoe mara: hoa).

Lesteroe (oepoe: teloe; oepoe mara: hoa).

Tipawaël (oepoe: tipa; oepoe mara: hoa).

Palaïn telah lenyap (atau punah).

 

§  Soa Maloepan. Pemimpin/Kepala soa adalah [bergelar] Risamasoe, yang terdiri dari keluarga-keluarga :

Risamasoe dan Tahoeli (oepoe:lessi; oepoe mara: maloepan; teoen: Lamalene).

 

§  Soa Hatoelessi. Pemimpin/Kepala soa adalah [bergelar] Picaulima, , yang terdiri dari keluarga-keluarga :

Picaulima (oepoe: pica; oepoedjodjaro: asé; oepoa mara: hata).
Hehalatoe (oepoe: patti; oepoedjodjaro: seoe; oepoe mara: moal).
Manuputti (oepoe: manoe; oepoedjodjaro: oko; oepoe mara: hata).
Lenahatoe [Lenahatoe pono, Lenahatoe teboekoe, Lenahatoe consina] (oepoe: lena; oepoedjodjaro: asé; oepoe mara: hata).

 

Bangsa radja Hehalatoe berasal dari Seri Kombello. Toean Tanah: Risamasoe. Kapitan Hatolessi : Risamasoe. Malessi: Picaulima. Negeri lama: Hatolessi. Risamasoe berasal dari Ternate; Picaulima berasal dari Soela. Baeleo negeri  disebut: Ta ilané dan Ta amané.

Wilayah negorij berbatasan dengan dusun Ongkiehongc; dengan Tawiri di goenoeng Kadera, dan dengan Lilibooi di sungai Waimeten dan Simadora, antara Tandjoeng Hatoerele dan Hatoeporo.

Negorij yang dimaksud adalah daerah negorij Laha: daerah yang ditempati tempat tinggalnya. Negorij Laha konon bermula sama dengan kampung burger [di] Larike dan Hila, yaitu dari kelompok-kelompok “asing” yang menetap di dekat pemukiman Portugis kuno yang ada di sini.

 

Ongkiehong (1861 - 1914)

Anak makain (kerabat yang merupakan generasi/ derajat ketiga dari pihak istri) menerima cincin di papar gigi jika mereka mengajukan gugatan. Jika salah satu anak makain menikah, mereka dilarang memasuki rumah dengan selembar kain; anak makain harus menebus [larangan] pintu masuk ini dengan cincin. Jika salah satu anak makain membangun rumah, orang yang menjadi anak makainnya berhak memasang bendera di atap setelah rumah selesai. Mereka menerima cincin atau mata sagu atas usaha mereka.

Sepotong timah hitam dikubur di bawah tiang berkate rumah. Wanita hamil tidak diperkenankan mengenakan apa pun saat mengenakan slendang. Jika beberapa orang tidur di rumah, mereka semua harus berbaring ke arah yang berbeda agar pencuri tidak dapat mencuri apa pun. Tidur dengan kepala menghadap ke laut tidak baik, karena kaki kemudian menjadi [atau dianggap/dipercayai seperti]  "indjak goenoeng" dan kepala menjadi "indjak laoet". Bagi perempuan yang meninggal saat hamil atau melahirkan, sebuah kunci diletakkan di pusar sebelum dimakamkan.

Mata pencaharian utama dalam negorij Hatoe adalah penyulingan gula, pemukulan sagu, pemanenan sagu dan kebon, serta berburu. Memancing relatif jarang; hanya dengan lepa-lepad, dan itupun hampir semuanya berukuran kecil. 


Orang-orang yang meninggalkan negorij membawa air dari negorij untuk digunakan sebagai obat saat berada di luar negeri mereka.

Tempat-tempat Pemali adalah: Kamoala, tempat orang-orang dapat menghilang. Penguasa tempat itu adalah Hehamoni; juga Kotta, tempat seseorang tidak boleh berbicara keras atau ia akan diselimuti awan sehingga ia akan tersesat. Ada bangku bambu yang, jika dipotong, dapat menyebabkan penyakit. Penguasa tempat itu adalah Lenahatoe. Setan [di] Hatoe adalah [bernama]e Boeré; ia menyebabkan kaskadu [cascado] dan sering kali berwujud babi. Dahulu kala ada seorang Loelé, begitu kuatnya sehingga ia mengangkat sebuah kapal dari laut dan meletakkannya di darat hingga berubah menjadi batu: [yaitu] batoe kapal Hatoe. Perisainya [salawaku] berukuran 9 depa, dan ia tinggal di Air laka.

Para oelisiwa Hatoe berasal dari dua “kelompok” atau “pancaran”, yaitu kelompok Soplanit dan Hehamoni. Mereka awalnya/aslinya adalah pemuja/penyembah [dewa] langit. Mereka muncul dari “pancaran” secara berurutan, sepakat bahwa siapa pun yang muncul terakhir akan menjadi Raja. Yang terakhir muncul adalah nomor 99; ia memiliki telinga yang besar, dan karena itu mereka tidak menginginkannya menjadi Raja dan membunuhnya. Para oelisiwa ini ingin berperang dengan para oelilima; namun, para oelilima melemparkan tongkat ke tanah, yang langsung berubah menjadi ular. Ular-ular ini membentuk busur yang harus dilewati oleh para kapitan oelisiwa untuk mencapai oelilima. Namun, ketika kapitan ini mencapai tengah lengkungan ular, ular-ular itu menggeliat dan bergerak menjauh, dan para kapitan jatuh ke air dan tenggelam. Para oelilima dan oelisiwa kemudian berdamai.

2.       Negeri Laha

Batas-batasnya: Wari Lawa hingga Goenoeng Oela pêlê dan dari sana hingga Wai Latoe. Laha berarti: duduk di pangkuan, misalnya, seorang anak yang duduk di antara lutut ayahnya (mungkin ungkapan kiasan untuk fakta bahwa penduduk Laha disebut "orang kediaman", orang yang duduk). Tiang pertama rumah dipercik/disiram, antara lain, dengan wangi-wangian dan harus dipasang di pagi hari. Kain merah dan putih ditancapkan ke kusen jendela rumah bersamaan dengan pasak. Malamaita adalah istri dari seorang pria yang pernah menikah dengan saudara perempuan [bekas] suaminya. Wanita hamil tidak diperbolehkan mengenakan apa pun di lehernya. Suami dari wanita hamil dilarang memukul binatang. Untuk memudahkan persalinan, pintu dan jendela, peti, dan lemari dibuka. Hanya daun sirih yang dikunyah yang diletakkan di pusar bayi yang baru lahir. Tempat tidur orang yang meninggal dibongkar pada hari yang sama saat mereka meninggal. Bagi wanita yang meninggal saat hamil atau melahirkan, paku atau koin dikubur di pusar. Sumber pendapatan utama mereka adalah memancing dan menganyam keranjang rotan.

 

3.       Negeri Lilibooi

Lilibooi konon secara historis berbatasan dengan Larike di pantai Taniwel Titoeng, bukan Hative Besar. Penduduk Alang Hatoe, Laha, dan Tawiri dianggap "orang kediaman" oleh penduduk Lilibooi: penduduk Alang, yang datang sebagai pendatang dari Hatoe Alang (Hoamoal), dan penduduk Hatoe dari Piroe; penduduk Laha dan Tawiri sebagai pendatang dari berbagai asal (kebanyakan Ternate) yang tinggal di sekitar benteng Portugis di Laha. Nama baileo tersebut adalah: sama soeloe pessi lia siwa.

Suami dari perempuan hamil dilarang bercukur, membawa jaring di bahunya, mengenakan kain di lehernya, membelah kelapa, atau memakan ikan mata boelan (ikan gira). Ketika kelahiran akan dilakukan di rumah, semua peralatan dan perlengkapan memancing harus dibawa keluar, agar tidak menjadi "selawar", yaitu tidak layak pakai lagi karena telah kehilangan potensinya. Mata pencaharian utama adalah bercocok tanam, yaitu kasbi (papeda kasbi semakin menggantikan  papeda sagu); bekerja sebagai kuli dengan pedagang di Ambon; hasil bumi dari babi betina dan peternakan babi. Penangkapan ikan tidak penting; beberapa perdagangan dilakukan di kota utama. Di Lilibooi, ada sesosok makhluk yang berkeliaran, yang meramalkan kematian seseorang dengan mengeluarkan suara berdengung. Ia adalah salah satu kepala/pemimpin Lilibooi dari masa ketika orang-orang Lilibooi masih pagan. Orang ini pergi ke Belanda untuk menghadiri sebuah perayaan di sana; kakinya tertembak di Belanda.

 

4.       Negeri di bawah

Kompleks Negeri-di-Bawah terdiri dari desa Latoehalat dan Silalê (dinamai secara kolektif karena mereka memiliki satu patoewanan), Nusanivë, dan Amahoesoe. Nusanivë dipimpin oleh Radjaf (sebelumnya yang pertama di Lei-Timor), Silalê dipimpin oleh Pattijg, dan Amahoese dan Latoehalat dipimpin oleh orangkajah/i.

Batas-batas seluruh wilayah adalah: garis dari gudang batu baraj ke puncak Goenoeng Nonna (perbatasan ini disengketakan dengan Oerimessing), dan selanjutnya garis ke Pohon poelé tjap (titik semi-tetap), dan dari sana ke hilir Air doea.

Batas-batas antara desa Latoehalat dan Seilalê (satu patoewanan) di satu sisi dan desa Nusanivë di sisi lain, ditetapkan dalam laporan komisi batas/perbatasan. Perbatasan Nusanivë dengan Oerimessing juga masih diperdebatkan. Perbatasan antara Nusanivë dan Amahoesoe juga masih diperdebatkan. Amahoesoe menetapkan titik perbatasan di "Batoehanjoet", sedangkan Nusanivë di Waai nener. Valentijn (Amboina Zaken, halaman 122) menulis Waai Inner, yang kemungkinan merupakan sungai yang sama dengan Waai nener. Landbeschrijving-nya Rumphius secara eksplisit menunjukkan Waai nener sebagai perbatasannya.

 

Nama-nama Negori:

§  Latu-halat: Latu = Pemimimpin, “Raja”, “Pangeran”; Halat = Barat.

§  Silale [dari kata] Séi-lali: Séi = Sapa, Siapa; Lali atau Lalali, Laholi = menunggu/menjaga. Oleh karena itu, penjelasan asli nama Negri adalah "orang djaga laboean".

§  Noesanivë [atau] Noesa-niwel: Noesa = pulau; Niwel = Klapper. Valentine juga menulis Noesanivë = Klappereiland.

§  Amahusoo: menurut beberapa orang [berasal] dari Ama = Ayah/Bapa dan Hoesoo = Muda; menurut yang lain dari Aman = Desa/Negeri dan Hoese - Berburu, oleh karena itu: negeri/desa berburu.

 

Pantai Amahusu, ca. 1912

Wilayah Negeri di Bawah meliputi bagian selatan Gunung Nonna (menurut penduduk setempat, dinamakan demikian karena jika dilihat dari Halong tampak di langit seperti wanita yang sedang tidur). Wilayah Silalé di seberang teluk negeri Hatoe dan Laha akan dibahas nantinya.

Lebih lanjut, negori Latuhalat mencakup Kepulauan Lucipara dan Kepulauan Penyu di wilayahnya, seperti daun-daun rumpun bambu pemali di ujung terluar Tandjoeng-Noesanive yang jatuh ke laut, terbawa arus ke pulau-pulau tersebut dan hanyut di sana. Tandjoeng inilah yang aku sebut sebagai “pembangkit” atau “penggerak” pulau-pulau ini. Orang-orang (terutama orang Binongkorean) yang ingin mengunjungi pulau-pulau ini dari Ambon selalu berlayar dari Tandjoeng ini. Mereka juga selalu melepaskan seekor ayam putih ke dalam rumpun bambu pemali dan menyediakan sirih-pinang untuk rumpun tersebut sebelum melakukan perjalanan.

Latoehalat dan Silalë memiliki satu gereja dan satu sekolah, keduanya berlokasi di Latoehalat. Gereja dan sekolah negeri Noesanivë berlokasi di Kampong Eri. Amahoesoe memiliki gereja dan sekolah sendiri. Baileo tidak ditemukan di negeri-negeri inik.

Negeri Noesanivë saat ini sedang membangun rumah regent [rumah radja]. Di Latuhalat, sebuah gereja baru sedang dibangun. Tidak ada bangunan penting lain yang tersisa di komunitas-komunitas ini (kecuali stasiun radio dan mercusuar di Goenoeng Kapal, keduanya berlokasi di patoewanan negeri Latuhalat, di atas tanah yang dibeli oleh pemerintah).

Rumah-rumah tersebut semuanya beratap dan, sebagian besar, tidak memiliki dinding atap atau gaba; beberapa berdinding setengah bata dan berdinding papan.

Model rumah paling sederhana di sini disebut rumah tiang boengang-boengang. Bubungan model rumah ini langsung ditopang oleh deretan tiang yang membentang di tengah rumah, sehingga dinamakan (boengan =bubungan/nok); dari bubungan ini, atap miring memanjang, ditopang oleh tiang-tiang yang lebih kecil dengan tinggi sekitar 1 hingga 1,5 meter. Hunian yang agak lebih baik adalah rumah tanam tiang; seluruh atap ditopang oleh tiang-tiang rumah, dan terdapat sambungan bubungan dan atap yang tepat. Jika rumah tanam tiang tersebut dilengkapi dengan gaba-gaba, rumah semacam itu disebut "rumah regel" berdasarkan bilah-bilah tempat gaba-gaba dijepit. Jika rumah-rumah tersebut dilengkapi dengan dinding setengah bata dan pelapis papan, rumah tersebut disebut rumah setengah batoe, rumah orang kaya. 


 

Rumah-rumah tersebut dicat putih, bukan dengan kapur, melainkan dengan tanah putih. Sejumlah kecil tanah putih ini diekspor ke ibu kota, Ambon, pada waktu-waktu tertentu (misalnya, sekitar Natal untuk mengapur kuburan). Penutup atap dicegah tertiup angin kencang dengan menutupinya menggunakan daun gemoetoe kering utuh di atasnya.

 

Upacara pembangunan rumah: mengubur/menanam beberapa sen di bawah tiang berkate (tiang utama di sisi timur: "sebelah matahari naik"); doa terlebih dahulu dipanjatkan di atas sen [uang/koin] yang akan dikubur; mengikat dua sen pada tiang berkate (kemudian sen-sen ini dibawa ke kotak persembahan di gereja); menempatkan tiang utama di pagi hari, sebaiknya saat air pasang. Pembangunan rumah sebagian besar masih dilakukan secara masohi. 

Rumah Orang Ambon, ca. 1910an

Perabotan rumah tangga (Valentine, hlm. 162-164) masih merupakan tiruan yang kualitasnya lebih rendah dan buruk dari barang-barang rumah Indo-Eropa. Selain barang-barang yang disebutkan oleh Riedel (hlm. 63, De Sluik en Kroesharige Rassen), berikut ini patut disebutkan: tapalang, sejenis bale-bale yang terbuat dari gaba-gaba; kooi, sejenis tempat tidur kayu; strado, sejenis bale-bale yang terbuat dari kayu. Tikar dan, dalam beberapa kasus, kasur kapuk diletakkan di area tidur. Bantal umumnya digunakan. Dulu, bantal-bantal ini diisi dengan bulu bunga alang-alang, sekarang dengan kapuk.


Perabot dan peralatan dapur: dego-dego, sejenis meja dapur; para-para, sejenis rak piring, tersedia dalam bentuk berdiri dan gantung; dego-dego digunakan untuk menyiapkan makanan, para-para untuk menyimpan makanan dan peralatan. Peralatan dapur, kecuali beberapa buatan Eropa atau Tiongkok, sebagian besar terdiri dari: sempé-blangan yang terbuat dari gerabah tua. Sempé adalah wadah berbentuk kerucut, tersedia dalam berbagai ukuran, tetapi selalu mempertahankan bentuk yang sama; blangan adalah wadah berperut buncit dengan leher yang sangat lebar, tersedia dalam tiga bentuk: blangan angko-air dengan leher panjang dan lurus (biasanya) berglasir damar; blangan papeda dengan leher yang lebih pendek dan tidak berglasir; blangan koekoesan dengan leher kerucut; dan tadjela, sejenis kwali gerabah. Berikut ini digunakan untuk mengolah sagu: tatohi, sejenis saringan bambu untuk memisahkan ampas tebu dari tepung; aro-aro, sejenis tongkat pengaduk berbentuk dayung untuk mengaduk papeda; dan gatta-gatta, garpu bambu bergigi panjang untuk menyendok papeda. Sendok tempoeroeng, sendok kelapa, dan sendok koelit bea, sendok kerang, juga digunakan.

Njiroe dibeli terutama dari Soja; njiroe besar dari Hitoe dan Wakal. Njiroe biasa adalah keranjang dengan pinggiran menonjol yang terbuat dari bambu atau rotan, yang pinggirannya disebut kakahir; njiroe besar berbentuk lebih seperti kipas pipih. Keranjang lainnya, bakul, dibuat di negorij itu sendiri atau dibeli dari orang-orang Tolehoe, yang juga menyediakan lessa—sejenis meja rendah yang dianyam dari urat daun palem. Di masa lalu, dapur Ambon tidak memiliki banyak peralatan yang disebutkan di atas, dan sebagai gantinya, bambu lebar digunakan, yang masih digunakan untuk keperluan ini di tempat tinggal sementara dosoen (poperisa).

Membuat dan menyalakan api: Dahulu, oenar digunakan sebagai pengganti korek api yang sekarang umum digunakan. Oenar terdiri dari dua bambu yang dibelah dua, salah satunya digores, dan sedikit jamur atau zat mudah terbakar lainnya ditempatkan di bawah goresan tersebut. Pada goresan tersebut, separuh bambu lainnya—yang telah sedikit diruncingkan—digerakkan maju mundur dengan kuat. Segera setelah goresan terpotong seluruhnya, goresan yang membara jatuh ke zat yang mudah terbakar dan menyulutnya. Setelah oenar, kotak korek api mulai digunakan. Saat ini, oenar masih digunakan di gubuk-gubuk sementara dan untuk berburu.

Metode penerangan paling awal yang diketahui adalah membakar lilin damar. Sepotong damar dipanaskan dan digulung memanjang, kemudian dibungkus dengan sirih atau daun lainnya dan dililit dengan tali. Kemudian, sabut kelapa diletakkan di atas damar sebagai sumbu dan dinyalakan. Kemudian, lilin yang terbuat dari bintangor, kemiri, atau kacang kanari, atau ampas klappa, yang digiling halus dan diremas dengan baik, menjadi populer; lilin semacam itu, yang masih digunakan, disebut kandjoli.

Sejenis lampu minyak paten juga mulai digunakan. Alih-alih minyak paten, minyak kelapa atau kanari digunakan, dan sebagai pengganti pelampung kertas, pelampung yang terbuat dari empulur gaba, dengan sepotong kapas sebagai sumbu. Kemudian muncullah palita, sebuah wadah timah persegi dengan tepi terlipat yang diisi minyak dan potongan kapas di keempat sudutnya sebagai sumbu. Kemudian muncullah botol minyak tanah dengan kaus kaki katun di dalamnya, dan lampu minyak tanah serta lampu bensin dalam bentuknya yang selalu berubah.

Makanan dimakan secara teratur tiga kali sehari. Makan tidak teratur telah menjadi pengecualian di desa-desa ini. Makan umumnya dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 8 pagi, siang sekitar pukul 1 siang, dan malam hari antara pukul 7 dan 9 malam. Sarapan biasanya terdiri dari sagu lempeng dengan ikan dan sedikit sisa sajoer atau koea dari hari sebelumnya; juga teh atau kopi, atau, jika tidak tersedia, air panas. Makan siang terdiri dari papeda dengan saus asam atau saus ikan lainnya (koea) dan sajoer (di mana daun genemoe muda memainkan peran penting). Makan malam juga terdiri dari papeda atau papeda dingin, oebi, dan sayuran akar lainnya, dan sagu lempeng. Masakan ini dibumbui dengan, antara lain, lada Spanyol (tjili), meskipun tidak sekuat orang Jawa dan masyarakat Indo-Eropa lainnya. Cuka yang terbuat dari tuak digunakan untuk menyiapkan saus. Papeda disiapkan dengan menuangkan air mendidih ke atas tepung sagu murni. Sago lempeng disiapkan dengan mengisi tungku sagu merah membara dengan tepung sagu murni. Setelah tungku mendingin, lempeng siap digunakan.

Hiasan: adalah yang disebutkan oleh Van Hoevell (Ambon en Meer Bepaaldelijk de Oeliassers; hlm. 85). Banyak hiasan yang disebutkan oleh Valentine masih dilestarikan sebagai poesaka dan kadang-kadang digunakan pada perayaan adat. Penduduk laki-laki hanya menggunakan cincin perak atau paduan emas sebagai hiasan. Anting-anting tidak lagi dikenakan oleh laki-laki di negorijen ini. Penduduk perempuan—kecuali mereka yang berasal dari kepala/pemimpin suku atau menikah dengan "orang berpangkat"—hanya diperbolehkan mengenakan hiasan selama mereka belum menikah. Pada acara-acara perayaan, sisir dan tusuk rambut perak atau emas dikenakan, dan ketika menghadiri gereja, sisir dari kulit penyu dan tusuk rambut perak polos dengan batu hitam atau kenop jet dikenakan. Kraboe, sejenis anting-anting, digunakan pada acara-acara perayaan; bunga juga diletakkan di sekitar kondé. Kancing hias pada lengan baju yang pas selalu berjumlah 14, 7 untuk setiap lengan. Rambut selalu disisir ke belakang dengan kondé yang bentuknya bervariasi; Untuk acara-acara perayaan atau menghadiri gereja, kondé bok dikenakan, dengan rambut sedikit dilipat di leher. Gaya rambut lain hanya diperbolehkan bagi mereka yang, berkat pengetahuan bahasa Belanda, berhak mengenakan pakaian Eropa. 

Rambut dipoles dengan lilin dan minyak kelapa, serta daun pohon kajoe baroe atau waroe, yang menghasilkan sekresi lilin di permukaannya. Untuk melembutkan rambut, rambut sering digosok dengan santan kelapa selama satu jam sebelum dicuci. Pewarnaan rambut dalam arti sebenarnya tidak diketahui. Selain spesies impor, boenga rampa, yang sebagian besar terdiri dari: daun pandan wangi (pandan latifolus), bunga kananga, beenga tandjong, dan boenga menor (melatti), digunakan sebagai dupa.

Pewarnaan kuku hanya dilakukan oleh anak-anak. Praktik mengikir gigi hingga rata (papar gigi) semakin jarang dilakukan. Dahulu, mencukur bulu wajah dilakukan dengan pecahan kaca; kini, pisau cukur biasanya digunakan. Bulu ketiak sering dicabut; untuk memudahkan prosedur, ketiak diolesi jeruk nipis terlebih dahulu. Bulu kemaluan tidak dicabut, konon karena takut impotensi. Tubuh dibubuhi bedak yang terbuat dari batu lunak yang disebut batu bedak, yang ditemukan di sungai tidak jauh dari Amahoesoesche dan tidak boleh dijual, tetapi harus diberikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang memintanya. Gigi disikat dengan bedak ini, bersama abu dan pasir laut halus. Selain sabun, kajoe saboen (kayu sabun) juga digunakan. Tato dilakukan dengan cara yang sama seperti di Barat, sebagai semacam adat pelaut dan prajurit, tetapi bukan lagi adat rakyat yang hidup. Oleh karena itu, motif-motif khusus tidak lagi ditemukan. Hidung orang Eropa, atau lebih tepatnya hidung Semit, sangat dihargai, sehingga hidung bayi yang baru lahir terus-menerus ditarik keluar dan digosok ke atas; hidung yang pesek dianggap sangat tidak sedap dipandang. Kepala anak-anak kecil digosok dan ditekan untuk membentuk kepala dan segera menutup ubun-ubun karena takut pengaruh jahat (masuk angin, dll.) akan masuk ke kepala. Untuk tujuan ini, ubun-ubun bayi yang baru lahir sering kali ditutup dengan kulit pala atau kain yang direndam dalam cuka dan abu. Dahulu, anak-anak kecil dibungkus seluruhnya dengan kain katun (bedong); kebiasaan ini tidak lagi diikuti oleh sebagian besar negori yang dibahas. Benda-benda tua, yang telah menjadi poesaka, tidak boleh dibakar atau dimusnahkan, tetapi harus dikubur ketika tidak lagi digunakan, atau ditempatkan di makam salah satu tetua setelah kematiannya, yang sering dilakukan karena sering kali benda-benda tua ini dianggap membawa nasib buruk.

Pakaian: Dahulu, anak-anak yang tidak bersekolah berjalan telanjang bulat, seperti di desa-desa lain, tetapi kini hal ini menjadi semakin tidak lazim. Pria dewasa tidak lagi terlihat bertelanjang dada di jalan-jalan desa-desa ini, begitu pula perempuan yang hanya mengenakan kain dada (sarung yang diikatkan di dada dan di bawah lengan). Kebanyakan orang di desa-desa ini malu mengenakan pakaian seperti itu bahkan di jalan. Hanya segelintir warga yang masih berjalan telanjang dada di jalan; secara umum, di desa-desa ini, bahkan di antara sesama mereka, penduduknya kini malu berpakaian kurang pantas. Topi dan kopiah bergaya Eropa digunakan sebagai penutup kepala; hanya orang tua yang menggunakan selendang (ikat poro). Untuk pekerjaan di luar ruangan, toedong sering digunakan. Toedoeng ini dibuat di negorij itu sendiri, tetapi terkadang diimpor dari lokasi negorij lain. Terdapat dua jenis: yang terbuat dari bambu dan yang terbuat dari daun nipah. Untuk penutup kaki, yang disebut taroepa sering digunakan, terbuat dari pelepah daun (sahani) gemoetoe.


Di antara berbagai kemewahan, pinang menempati tempat yang paling utama. Penggunaannya disebut makan sirih. Wadah tempat menyimpan dan mempersembahkan bahan-bahan makan sirih juga disebut tempat sirih. Tempat sirih ini berperan dalam berbagai formalitas adat. Makan sirih bersama menandakan rekonsiliasi; mempersembahkan tempat sirih merupakan ungkapan keramahtamahan yang paling umum. Bahan-bahan untuk sirih adalah pinang (jika tidak ada, mata buah kelapa tua, kulit kelapa, atau kulit kayu kajoe - oi digunakan), daun sirih, tembakau, dan kapur sirih. Tembakau Jawa biasanya dan lebih disukai digunakan untuk tembakau dalam sirih (untuk pipa dan rokok, daun kikir biasanya dan lebih disukai tembakau Boeroe). 

Kemewahan lainnya termasuk sageroe beralkohol (tuak aren yang difermentasi) dan minuman keras koolwater, arak, dan jenever. Arak [Sopi] merupakan hasil penyulingan nira gemoetoe (palem aren) atau pohon kelapa (yang terbaik dianggap yang disuling dari nira tandan bunga kelapa dan disaring di atas janin rusa). Arak diimpor dari Jawa, gin dari Eropa dan dibeli di kota utama. Penyalahgunaan minuman keras terbanyak terjadi di negeri Amahoesoe, dan paling sedikit di negeri Noesanive. Stimulan lain, selain teh dan kopi, termasuk teh jahe, manisan buah gemoetoe, dan varietas globá. Biji gardemom digunakan sebagai penyegar mulut (terutama selama ibadah gereja). Ketika merasa lelah, tubuh digosok dengan daoen gatal (daun jelatang). Terlepas dari kepala suku yang ditunjuk dan perbedaan antara warga negara dan penduduk distrik, hampir tidak ada lagi perbedaan kelas. Sejak era ketika budak diizinkan untuk dimiliki, keturunan mantan budak ini masih diwajibkan untuk memberi tahu keturunan mantan majikan mereka tentang rencana pernikahan, dan para majikan ini berkewajiban untuk membantu mereka menanggung biaya yang terkait dengan pernikahan tersebut. Jika keturunan budak tersebut menghadapi kesulitan, keturunan mantan majikan mereka juga wajib membantu mereka. Bahkan sejak masa yang lebih awal, hubungan subordinat tertentu (yang, bagaimanapun, hanya terlihat dalam formalitas adat) masih terjalin antara beberapa keluarga dan keluarga lain, yang melaluinya mereka diangkat menjadi dati dan darinya mereka menerima teoen, oepoe, dll.

Seorang perempuan yang sudah menikah tidak boleh makan bersama mertuanya; seorang perempuan yang sudah menikah tidak boleh makan bersama, bahkan tidak boleh terlihat makan oleh suami saudara perempuan suaminya. Dalam kasus pasangan yang sudah menikah, kerabat perempuan tidak diperbolehkan mengunjungi rumah ayah suami sampai formalitas adat tertentu terpenuhi (yaitu, antar pemali; adat perkawinan). Orang asing Eropa disebut ong-toea (orang toea), bahkan jika orang tersebut masih sangat muda; gadis muda disebut djodjaro, pria muda disebut ngongaré; perempuan yang sudah menikah lebih tua disebut inamataéna; gelar untuk kepala keluarga adalah oepoe.

Nama keluarga dalam garis menaik:

§  Generasi ke-1 (ayah): bapa.

§  Generasi ke-2 (kakek): tètè.

§  Generasi ke-3 (kakek buyut): mojang.

§  Generasi ke-4 (kakek buyut): tètè mojang.

§  Generasi ke-5: toa.

§  Generasi ke-6: tohala.

§  Generasi ke-7 dan seterusnya: nènèk mojang.

Nama keluarga dalam urutan menurun:

§  Kelompok ke-1 (jenis): anak.

§  Kelompok ke-2 (kecil): tjoetjoe [cucu]

§  Kelompok ke-3 (k belakang): tjetje [cece]

§  Kelompok ke-4: tjitji [cicit]

§  Kelompok ke-5: tjatja.

§  Kelompok ke-6 dan selanjutnya: temuroen.

Kakak perempuan ayah (ibu): oea, moei

Saudara perempuan ayah (ibu): oea, moei.

Istri saudara laki-laki ayah: oea.

Suami saudara perempuan ayah: wate.

Suami saudara perempuan ibu: Paman, Tihoe

Saudara laki-laki Ayah (Ibu): Wate, Tihoe, Oom

 

Terdapat perselisihan mengenai hal ini, ada yang membedakan pihak ayah dan pihak ibu dalam penggunaan istilah yang berbeda, ada pula yang tidak.

 

Kerabat

Kerabat: ipar, konjadoe, nihi bakoenin (sepupu)

Ayah/Ibu mertua (ibu): bapa (mama) mantu

Menantu laki-laki/perempuan: (putri): anak mantu

 

=== bersambung ===

 

Catatan Kaki

1.       Data dari memo administratif  H.J. Jansen, yang saat itu (sekitar tahun 1930) menjabat sebagai Asisten Residen di Ambon. Lihat juga datanya di Adatrechtbundel ke-36 (1933).

 

Catatan Tambahan

a.      Hermen Jan Jansen, lahir pada 14 Agustus 1892 di Zwole dan meninggal pada 18 Februari 1942 di Ambon, menikah dengan Anna van Brouwer pada tanggal 18 September 1914 di Sneek, Netherland. Jansen mulai bertugas di wilayah Ambon sejak 1919 – 1929, kemudian dimutasi ke Bali (1930 – 1937) dan kembali bertugas di Ambon pada 1937 hingga meninggal di Ambon.

b.      Misalnya, pemimpin negeri Hatu, yang bergelar Orangkaija pada tahun 1673 bernama Domingos Hehalatoe, sedangkan Regent van Hatu pada 1910an adalah P.B. Hehalatu

c.      Dusun [milik] Ongkiehong yang dimaksud pada narasi ini, kemungkinan adalah tanah yang dibeli oleh Ongkiehong, seorang pedagang/pengusaha Ambon keturunan Tinghoa, dan menjadi aset pribadinya.  Ongkiehong atau Kie Hong Ong, lahir di Ambon pada 28 Januari 1861 dan meninggal di Ambon pada 18 Mei 1914. Menikah dengan Njio Kiok Nio (ca. 1859 – 1948), saudara perempuan dari Njio Kik Tjien (ca. 1865-1926), Letnan Chinese Ambon. Ong Kie Hong (1861-1914) adalah seorang pedagang yang sukses di Ambon.

d.      Berdasarkan data tahun 1931, jumlah lepa-lepa yang dimiliki oleh negeri Hatu sebanyak 20 buah, serta kole-kole sebanyak 3 buah

§  H.E. Haak, Memorie van Overgave Assistent Resident Onderafdeeling van Ambon, 1931, lampiran [bijlage] 5

e.      Van Hoevell dalam bukunya “mendaftarkan” beberapa nama “setan” dari beberapa negeri di wilayah Lease dan Ambon, misalnya Setan Arnolis (di Leinitu), Setan Sarelal (di Sila), Setan Kaele (di Nalahia), Setan Moean (di Ameth), Setan Boekoelaoe (di Akoon), Setan Tupamoul (di Abubu), Setan Bangsawan (di Titawaai), Setan Kapitan Riang dan Nyai Sahele (di Saparua), Setan Matawaroe (di Haruku), Setan Latoe Halawan (di Oma), Setan Millo (di Ihamahu), Setan Mahoe (di Seith) dan lain-lain

§  G.W.W.C. Baron van Hoevell,  Ambon en Meer Bepaaldelijk de Oeliasers.............Blusse en Van Braam, Dordrecht, 1875,  hal 123-124

f.       Misalnya, pemimpin negeri Nusaniwe yang bergelar Radja pada periode 1670 – 1690 bernama Joan de Soijsa, sedangkan Regent van Nusaniwe pada 1910an adalah P.B. Hehalatu [juga Regent van Hatu]

g.      Misalnya, pemimpin negeri Silale yang bergelar Pattij pada periode 1672 – 1679 bernama Pedro Lopiez, sedangkan Regent van Seilale pada 1901 - 1908 adalah Paulus Onesimus Lopies

h.      Misalnya, pemimpin negeri Amahusu yang bergelar Orangkaija pada periode 1670 – 1671 bernama Menuel Philipszoon, sedangkan Regent van Amahusu pada 1910an – 1920an adalah A. Silooij

i.       Misalnya, pemimpin negeri Latuhalat yang bergelar Orangkaija pada periode 1670 – 1672 bernama Jan Latoemeten, sedangkan Regent van Latuhalat pada 190aan adalah A. Salhuteru

j.       Narasi tentang gudang batu bara ini, mungkin merujuk pada wilayah yang disebutkan oleh A.Th. Manusama dalam tulisannya, terkhususnya pada catatan kaki, dimana disebutkan bahwa wilayah gudang batu bara berlokasi di belakang kampung Benteng.

§  A.Th. Manusama, De Opstand van Saparoea 15 Mei 1817 – 1917, dimuat pada koran Bataviaasch Nieuwsblad, edisi hari Selasa 15 Mei 1917, no 183, tahun 1917 [lihat catatan kaki nomor 2 dari tulisan ini]

k.      Berdasarkan laporan per tanggal 13 Maret 1856, disebutkan secara eksplisit bahwa negeri Nusaniwe, Seilale, Amahusu dan Latuhalat, masing-masing memiliki baileo di negerinya. Kami belum mengetahui secara pasti penjelasan, mengapa dalam tulisan ini disebutkan ke-4 negeri tersebut tidak ditemukan baileo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar