PATTIMURA DAY (14 - 15 May)
At SAPAROEA
Kebanyakan masyarakat Maluku mengetahui esensi kearifan lokal ini hanya sebatas menunggu “Obor Pattimura” di ibukota propinsi. Obor yang didatangkan dari pulau Saparua dengan cara diarak melewati negeri-negeri hingga tiba di pusat Kota Ambon, lalu kemudian mengikuti upacara peringatan “Hari Pattimura” di Lapangan Merdeka Ambon. Mengenai perayaan seremonial "Obor Pattimura", terkhusus yang berlangsung dalam 2 tahun belakangan ini (2013-2014) lokasinya tidak lagi bertempat di ibukota propinsi Maluku, namun oleh pemerintah daerah sengaja dikembalikan untuk dirayakan di Saparua, sesuai dengan tempatnya dimana sejarah perlawanan Pattimura terhadap Kolonial Belanda itu berlangsung.
Alasan atau pertimbangan tertentu dari pemerintah salah satunya adalah alasan keamanan, mengingat situasi Kota Ambon sangat rentan terjadi konflik. Di sisi lain kami selaku pribumi Saparua sangat bergembira, dengan dipindahkannya lokasi perayaan ke Saparua, karena itu menguntungkan pariwisata kita. Wisatawan lokal dan asing akan beramai-ramai menuju ke Saparua untuk menyaksikan perayaan seremonial ini, setiap setahun sekali. Beberapa negeri di pulau Ambon yang menjadi jalur lewatnya arak-arakan Obor Pattimura pun berkeberatan, karena merasa tidak lagi dilibatkan dalam prosesi adat ini. Seperti sebuah dilema, dilakukan salah tidak dilakukan juga salah !!!
Namun ada beberapa hal yang menjadi ganjalan bagi kami “Anak-anak Adat” Negeri Saparua, jika kita mau menghargai sejarah dan mengembalikan sesuatu pada relnya sesuai tradisi, maka hal itu perlu dipikirkan oleh pihak-pihak terkait/pemerintah daerah yang ditugaskan untuk mengurusi hal ini. Beberapa pemasalahan di bawah ini harus dijadikan pertimbangan, yaitu :
1. Tanpa mengecilkan peran dari negeri-negeri lain, bahwa
prosesi adat Obor Pattimura yang dimulai dari pembuatan api asli di gunung
saniri, cakalele, sampai dengan pembakaran obor di Lapangan Merdeka Saparua
hanya melibatkan 2 Negeri yaitu Negeri Tuhaha (Beinusa Amalatu)
dan Negeri Saparua (Pisarana Hatusiri Amalatu).
2. Pembuatan api asli di gunung saniri memakai 2 bilah
bambu/bulu parobang dengan cara digosok-gosok hingga mengeluarkan api/unar,
hanya boleh dilakukan oleh Negeri Tuhaha, kemudian berlanjut dengan prosesi
Tarian Cakalele, berjalan kaki turun gunung membawa Api Obor Pattimura menuju
petuanan/wilayah Negeri Saparua dan memasuki “Baileu Negeri Saparua”
sebagai tempat persinggahan yang pertama.
3. Ada norma/aturan adat yang berlaku untuk setiap negeri
adat di Maluku. Ketika hendak memasuki Baileu Negeri Saparua, pasukan cakalele
Negeri Tuhaha akan terus melakukan Tarian Cakalele alias “tidak berani”
memasuki area Baileu sebelum diijinkan oleh “Malessy” atau
“Penjaga Baileu” yang bermarga “Ririnama” dari “Soa
Namasina”. Di sana juga sudah menunggu “Raja” (Titaley)
beserta “Saniri Adat 4 Soa” (Titaley, Anakotta, Simatauw dan
Ririnama) yang mengawal Raja. Hal ini menjadi kewenangan kami dan tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun. Setelah dipersilahkan oleh Malessy untuk masuk,
barulah mereka bisa memasuki area Baileu sambil melakukan Tarian Cakalele.
4. Biasanya sumber api yang dibawa dari Gunung Saniri
menuju Baileu Negeri Saparua hanya ada 2 yaitu Api yang dibakar pada obor bambu
dan Api yang dibakar dalam lampu lenterna/lampu pelita/botol obor, sebagai
cadangan untuk berjaga-jaga agar jangan sampai api pada obor bambu padam.
Apinya dapat dipakai kembali untuk membakar obor bambu.
5. Oleh Raja Negeri Tuhaha obor bambu yang dibawa dari
gunung saniri kemudian diserahkan kepada Raja Negeri Saparua. Setelah melakukan
Tarian Cakalele beberapa saat di area Baileu Negeri Saparua... pasukan cakalele,
kedua Raja beserta Saniri Adat 4 soa menuju ke Lapangan Merdeka Saparua untuk
melakukan prosesi pembakaran “Obor Induk” yang terletak di samping
Diorama/Museum perjuangan Pattimura dan kawan-kawan.
6. Pembakaran obor induk dilakukan oleh Raja Negeri
Saparua kemudian obor bambu itu diberikan kepada Kepala Pemerintahan
Kecamatan/Camat untuk membakar tiga obor besi.
7. Ketiga obor besi ini yang kemudian diarak oleh pembawa
obor pertama yaitu pemuda-pemuda Negeri Saparua menuju ke Negeri Tiouw,
lalu memberikan ketiga obor besi itu kepada pembawa obor Negeri Tiouw untuk
dilanjutkan secara estafet ke negeri tetangga berikutnya yaitu Negeri Porto,
Negeri Haria dan seterusnya hingga tiba di Kota Ambon.
8. Pergantian pembawa Obor Pattimura biasanya dilakukan
di perbatasan tiap-tiap negeri.
Arak-arakan Obor Pattimura |
Dengan urutan prosesi adat seperti itu, maka pemerintah dalam hal ini siapapun tidak berhak mengganti atau merubah prosesi adat tersebut, dengan alasan apapun, entah itu alasan keamanan atau pertimbangan politis.
1. Jika alasan keamanan maka tugas pihak keamananlah yang
bertugas menjaga keamanan, bukan mengatur atau merubah prosesi adat yang telah
berlangsung bertahun-tahun lamanya, dengan cara melakukan prosesi adat pada
siang hari atau menginapkan Obor Pattimura di Markas Polisi setempat.
2. Prosesi Pasukan Cakalele Negeri Tuhaha memasuki
Petuanan dan Baileu Negeri Saparua adalah saat matahari sudah terbenam, pada
pukul 06.30 s.d 07.00 malam alias “Su mati-mati galap” sehingga
suasana heroik dan mistisnya lebih terasa.
3. Saniri Adat Negeri Saparua harusnya lebih tegas dan
berani menunjukan sikap “Tidak mengijinkan” negeri lain untuk
melakukan prosesi cakalele selain Negeri Tuhaha hingga memasuki Petuanan dan
Baileu Negeri Saparua, meskipun kita tahu bahwa ada hubungan
kekerabatan/gandong antara kedua negeri tersebut. Kita hanya “Mengenal”
dan mengijinkan Negeri Tuhaha yang bisa memasuki Petuanan dan Baileu Negeri
Saparua dalam prosesi adat Obor Pattimura.
4. Terkait prosesi adat Obor Pattimura, kenapa harus
Negeri Tuhaha yang melakukannya??? Kenapa harus memasuki Petuanan Negeri,
singgah di Baileu Negeri Saparua dan seterusnya??? Pastilah ada alasan mendasar
para leluhur membuat itu menjadi aturan/kebiasaan/tradisi yang terus menerus
harus dilakukan.
5. Pemerintah hanya boleh mengatur protokoler acara resmi
dan tidak berhak merubah, mengatur atau memodifikasi prosesi adat Obor
Pattimura dari gunung saniri menuju ke Negeri Saparua, dengan cara
mengganti negeri lain untuk melakukan prosesi adat ini.
6. Banyak pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung
jawab memerintah sebelum/sesudah perayaan Obor Pattimura tersebut. Dahulu,
ketika Obor Pattimura sudah menuju ke Kota Ambon, Saparua kembali menjadi kota
mati seperti biasa, tidak memberikan dampak berarti terhadap masyarakat.
7. Kedepannya kita berharap pemerintah membuat terobosan
baru dengan mengadakan pekan budaya yang dikolaborasikan dengan perayaan Hari
Pattimura (misalkan: permainan tradisi antar negeri, malam badonci dan
badendang, pembacaan puisi, pasar malam yang menjual kuliner, souvenir/oleh-oleh
khas Saparua, dlsb) sehingga dapat memberdayakan perekonomian masyarakat
setempat.
8. Dan tentunya harus dilaksanakan dengan konsisten
setiap tahun oleh pemerintah daerah, guna menarik animo wisatawan baik wisatawan
lokal maupun asing, maka dengan sendirinya perekonomian masyarakat akan
meningkat.
Sudah jauh rasanya kita tertinggal dari daerah lain, yang hanya bermodalkan adat-istiadat dan pariwisatanya menjadi terkenal di mata dunia. Kita harus memulainya sekarang daripada tidak sama sekali.
Sudah jauh rasanya kita tertinggal dari daerah lain, yang hanya bermodalkan adat-istiadat dan pariwisatanya menjadi terkenal di mata dunia. Kita harus memulainya sekarang daripada tidak sama sekali.
Orang Totua
Saparua bilang bagini :
“...Kal
katong seng biking apapa par bangong Negeri ini, mau jadi apa lai? Dudu
tongka dagu jua, lalu bernostalgia deng kejayaan Saparua di masa lampau...”
Semoga Tradisi Obor Pattimura ini tidak terkikis oleh jaman, tetap terjaga dan diwariskan dengan baik kepada generasi selanjutnya. Mohon maaf jika ada salah kata dan menyinggung pihak lain.
Kal bukan ale
deng beta yang meku akang, la sapa lai??? Mena Muria!!! Horomate.
Teuno Pisarana
Hatusiri Amalatu
(Anana Adat Negeri Saparua)
mantap sodara...anak cucu harus baca tulisan seperti ini untuk dong pung bakal eso lusa....!!
BalasHapushttp://tutuwawang.blogspot.com