Oleh Roderich Ptak
C. Periode awal abad ke-15 (hingga tahun 1435)
Roderich Ptak |
Pada awal abad ke-15, navigasi kekaisaran China mencapai puncaknya dan kekuatan armada China, beberapanya hampir pasti dipersenjatai dengan meriam, serta mendominai laut Asia (ini mungkin, apa yang Galvao maksudkan, saat mengatakan orang China adalah “penguasa India dan kepulauannya”). Selama periode ini, baik kepulauan Sulu dan Kalimantan mengirim beberapa delegasi upeti ke China. Dalam 3 kasus, bahkan para penguasa Brunei dan Sulu sendirilah, melakukan perjalanan yang melelahkan ke istana di Nanking (pada tahun 1408, 1412, 1417) – suatu hal yang agak tidak biasa dilakukan oleh Raja-raja di Asia Tenggara, yang dalam kondisi “normal”, mungkin akan tetap di kerajaannya, dan mengirim seorang delegasi/utusan yang dapat dipercayai sebagai perwakilan “kekuasaan raja”38. Apa pun alasannya dibalik misi penghormatan “kerajaan” ini, fakta bahwa mereka melakukan itu menunjukan 3 hal : Pertama, baik Sulu dan Borneo kagum pada angkatan laut China; kedua Sulu mungkin menahan diri untuk melakukan penyerangan di zona Sulu karena takut akan tindakan hukuman dari China; dan ketiga, mereka mungkin bersaing dengan Brunei untuk mendapatkan dukungan dan perlindungan dari China. Selain itu, Brunei dan kepulauan Sulu menganggap tepat mendukung China, karena Majaphit telah kehilangan kekuatan dan pengaruhnya39.
Namun, haruslah diingat juga bahwa saat “pelayaran megah” yang terkenal (Baochuan) yang dipimpin oleh Laksamana Zheng He secara teratur menyinggahi Cochin atau Calicut atau bahkan berlayar ke tempat-tempat yang jauh dari China, seperti Mogadishu, tidak ada satu kapal dari “pelayaran megah” itu yang dilaporkan memasuki zona Sulu40. Hanya misi-misi “kecil” China yang dikirim ke daerah itu, dan misi ini tampaknya tidak melakukan perjalanan lebih jauh41. Bahkan, sumber-sumber kontemporer China, tidak menginformasikan sama sekali tentang pelayaran resmi China ke Indonesia timur, termasuk ke Maluku, yang nampaknya berada “diluar” jangkauan sebagian besar (atau semua) kapal-kapal pemerintah China di masa itu.
Kita akan menduga bahwa Brunei dan kepulauan Sulu, setelah mengakui kekuasaan kekaisaran Ming, dan mungkin dengan kontak langsung atau tidak langsung dengan Maluku, sesekali akan mengirim cengkih ke kekaisaran tengah, namun menurut sumber-sumber China awal abad ke-15, mereka hanya mengirim mutiara, kulit kura-kura, kamper, dan produk lainnya. Perlu dicatat juga, bahwa cengkih tampaknya tidak disebutkan sama sekali dalam daftar upeti yang diberikan dalam misi tersebut. Sejauh yang saya ketahui, tidak ada satu pun misi-misi kehormatan yang tercatat dalam Ming shilu untuk periode 1403-1435 (era Yongle, Hongxi, Xuande) yang menyebutkan membawa cengkih. Karangan-karangan awal abad ke-15 lainnya seperti Yingyai shenglan karya Ma Huan, Xiyang Fanguo zhi karya Gong Zhen, dan Zingcha shenglan karya Fei Xin, tidak menyebutkan apa-apa.
Hanya dalam karangan-karang selanjutnya, yang sesekali menyebutkan referensi impor cengkih dari tempat-tempat seperti Siam, Malaka, Samudera atau Borneo, tetapi bukan dari kepulauan Sulu atau Indonesia timur42. Masalahnya di sini adalah kami tidak tahu seberapa andal daftar ini selanjutnya, dan sejauh mana sumber itu dimaksudkan untuk merujuk pada awal abad ke-15 atau periode yang lain (entah itu sebelum atau sesudah). Bisa dikatakan bahwa, sebagaimana Ming shilu menyebutkan tidak ada delegasi upeti dari Brunei setelah tahun 1426, kemungkinan besar Brunei mengirim cengkih di awal abad ke-15. Dalam kasus 3 tempat lainnya – Samudera,Malaka dan Siam – sedikit yang bisa dikatakan sejauh menyangkut periode ekspor ulang mereka; dimana mereka semua mengirim utusan ke China sebelum dan sesudah tahun 1435, dan mungkin telah mengirim cengkih sepanjang waktu. Secara keseluruhan nampak bahwa dalam pandangan banyak delegasi upeti dari Asia selatan dan tenggara yang mengunjungi China selama periode-periode Zheng He, pengiriman kecil cengkih kepada kekaisaran Ming pada berbagai kesempatan, meskipun cengkih tidak memainkan peran utama dalam sistim perdagangan pembayaran upetu awal abad ke-15. Namun demikian, pada akhirnya menyisakan asumsi, terutama didasarkan pada kurangnya bukti tekstual dan tidak seharusnya diambil untuk menyiratkan pengurangan permintaan (terus menerus) di China untuk komoditas ini, karena banyak impor yang mungkin tidak tercatat.
Sejauh ini, sedikit yang telah dikatakan untuk perdagangan maritim China yang bersifat pribadi, yang selama awal abad ke-15, masih dilarang oleh kekaisaran Ming. Tentu saja, ada kemungkinan, bahwa terlepas dari semua hukum yang dikeluarkan oleh istana untuk mengendalikan perdagangan jenis ini, pedagang-pedagang China – mungkin disebut “Taibencus ” di Maluku seperti yang terlihat – terus berlayar ke Indonesia Timur, langsung dari pantai-pantai Chin atau dari koloni China di luar, yang sekarang telah muncul di dataran Asia Tenggara, Nusantara dan Filipina. Tuban dan Gresik adalah contoh-contoh terkenal dari “koloni” awal China, dan mungkin di tempat-tempat inilah, perdagangan China dengan Maluku dan tujuan Indonesia Timur lainnya bertemu43. Tingkat interaksi antar “koloni” ini, mungkin didirikan oleh pemukim yang telah meninggalkan China secara ilegal dan dokumentasi pelayaran resmi China sangat buruk, tetapi dapat diasumsikan bahwa ada beberapa “kerjasama” di antara kedua “pihak” dan bahwa ada komoditas tertentu, mungkin juga “sekumpulan” kecil cengkih diserahkan atau dijual oleh pemukim kepada awak armada kekaisaran. Jika begitu, maka pedagang-pedagang perseorangan ini merupakan “perpanjangan tangan” dari armada kekaisaran, dan dengan demikian tentu saja tentu saja dalam posisi untuk memberikan sejumlah “tekanan” pada produksi cengkih di Maluku. Mungkin hal ini, adalah suatu konstelasi pada periode ini, yang dirujuk oleh Argensola ketika mengatakan bahwa “ Orang China menguasai semua pulau-pulau ini ketika mereka menaklukan pulau-pulau di timur itu...”44.
Peta Kepulauan Sulu (sumber dari M. Saleeby) |
Persaingan Gujarat dan Timur Dekat, mungkin sudah kuat pada waktu ini, dan di sana tentu saja ada jaringan rute perdagangan yang dilakukan oleh orang Jawa dan Melayu45. Pires juga menunjukan dalam bukunya Suma Oriental, orang Banda yang akan berdagang ke Maluku, kadang-kadang membawa barang ke Malaka dan pelabuhan lain, tetapi tidak diketahui apakah ini telah menjadi keadaan sebenarnya di awal abad ke-1546. Sebagian besar cengkih, harus disimpulkan, kemudian dikirim keluar dari Maluku melalui rute Jawa ke pusat-pusat perdagangan seperti Malaka atau Samudera Pasai, dimana pedagang dari beberapa negara terlibat dalam pengiriman ini, termasuk orang-orang China “perantauan” dan “pemerintah” China, banyak dari mereka juga akan mengirim cengkih ke India dan Timur Dekat, dan komoditas ini akan dikirim ke Eropa. Hanya sejumlah kecil cengkih yang akan dikirim dari Malaka dan pusat-pusat perdagangan Asia Tenggara lainnya ke China – oleh kapal-kapal upeti, oleh pedagang China ilegal atau oleh orang lain.
D. Dari sekitar tahun 1435 hingga kedatangan orang Portugis di Malaka
Gambaran yang diuraikan dalam paragraf di atas mungkin berlaku terus menerus – dengan beberapa modikasi kecil saja – pada paruh kedua abad ke-15. Emigrasi China ke Asia Tenggara, meskipun sebagian besar dianggap ilegal di China, terus berlanjut (bahkan mungkin berkembang) serta jaringan pusat-pusat perdagangan pada dasarnya tetap utuh. Berakhirnya pelayaran resmi China ke Nanyang dan Samudera Hindia setelah masa Xuande, mungkin tidak mengubah distribusi cengkih di antara negara-negara Asia sampai tingkat yang signifikan. Beberapa misi upeti masih tiba di China dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, tetapi, seperti pada awal abad ke-15, Ming shilu tampaknya tidak menyebutkan cengkih sehubungan dengan delegasi-delegasi dari daerah ini, dan referensi sumber-sumber China di kemudian hari, seperti yang diuraikan di atas belum tentu tentang periode setelah tahun 1435.
Meskipun demikian, menurut Rui de Araujo, sejumlah cengkih diambil oleh orang China dari Malaka pada awal tahun 1500an (dan tentu saja sebelum periode itu), permintaan China akan cengkih mungkin tetap rendah47. Jika tidak, kenaikan permintaan tertentu akan dipenuhi oleh pedagang-pedagangan perseorang China yang tetap berbisnis di Asia Tenggara selama paruh kedua abad ini, atau oleh pedagang yang berbasis di Kepulauan Ryuku yang serng berlayar ke tempat-tempat seperti Siam, Palembang atau Jawa, dimana mereka memperoleh berbagai produk tropis untuk diekspor kembali ke China, Korea dan Jepang48. Namun sebagian besar cengkih kemudian, seperti pada awal abad ke-15, disalurkan melalui Malaka atau Indonesia bagian barat ke pelabuhan-pelabuhan di Samudera Hindia. Ini terbukti dari sejumlah cengkih yang diproduksi dan dijual, seperti yang dilaporkan dokumen-dokumen awal Portugis dan dokumen lainnya49.
Di sini, hanya sedikit buki tekstual untuk perdagangan di Laut Sulawesi dan Maluku untuk paruh kedua abad ke-15. Shunfeng xiangsong, suatu risalah pelayaran anonim, yang berasal dari periode yang tidak diketahui, menggambar beberapa rute pelayaran melintasi Laut Sulu, salah satunya berkaitan dengan Busuanga dengan Kepulauan Sulu dan membentang lurus ke selatan Donggala di Sulawesi Barat, namun tidak diketahui kapan dan oleh siapa rute ini digunakan – mungkin China hanya menggunakan rute ini pada abad ke-16 – 50. Karya-karya geografis dari penulis China pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, tidak mengandung apapun tentang Laut Sulawesi atau Maluku; paling-paling mereka hanya mengulangi informasi sebelumnya tentang Kepulauan Sulu. Sejarah Melayu atau Tradisi sejarah orang Jawa dari Kitab-kitab kisah sepakat dalam menggambarkan hubungan antar kota Tuban, pemukiman Islam pertama di Jawa Timur dan “kepulauan sebelah utara” yaitu Maluku dan Filipina, tetapi sekali lagi detailnya terlalu samar untuk digunakan sebagai hipotesis yang jelas, sejauh perdagangan ke dan dari Maluku melalui rute Kalimantan. Sejarah Melayu juga melaporkan bahwa pedagang-pedagang China datang ke Ternate untuk membeli cengkih pada masa pemerintahan Marhum, yang menurut tradisi lisan dimulai pada tahun 1460an, tetapi tahun ini, mungkin tidak terlalu dapat diandalkan dan kita tidak diberitahu rute mana yang digunakan oleh pedagang-pedagang ini51. Kemungkinan besar dari pemukiman koloni-koloni China di Jawa, dimana menjadi tempat untuk mengekspor kembali cengkih ke Malaka atau pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sedikit orang China, jika ada, tampaknya telah berlayar ke Maluku dari utara selama periode ini.
Kepulauan Mindanao |
Sangat menarik untuk dicatat bahwa sementara beberapa tempat seperti Champa, Malaka, Jawa atau Samudera masih terus mengirim upeti ke China, kontak resmi antara istana Ming dan wilayah Sulu-Kalimantan berhenti sepenuhnya, setelah berhentinya pelayaran resmi China ke Nanyang. Dan hal demikian, memunculkan kesan bahwa pengaruh keuangan dan budaya China di Kalimantan berkurang pada tahun 1450an52. Apa alasan perubahan ini? Apakah Kalimantan dan/atau Kepulauan Sulu telah “mendapatkan kembali kepercayaan diri” mereka sebelumnya, yang mampu untuk tidak meminta perlindungan China terus menerus – sebagai misalnya, penentangan Srilangka pada tahun 1549, yang sekitar 40 tahun setelah dibawah “kekuasaan” Ming melalui intervensi militer, masih terlintas untuk mengirim misi ke China -53. Apakah kepulauan Sulu sekali lagi mengendalikan perdagangan antara Laut China selatan dan wilayah Sulawesi-Maluku, yang akibatnya seperti pada akhir abad ke-14, para pedagang China akan enggan berlayar melalui “lorong-lorong” Sulu karena takut dibajak?. Apakah ada hubungan langsung antara wilayah Sulu-Mindanao dan pelabuhan-pelabuhan kaya di utara Jawa? Atau apakah Brunei, pada awal abad ini, seperti yang dispekulasikan oleh beberapa orang, mendapatkan kendali atas wilayah Sulu54, maka dengan demikian pada akhirnya mengurangi dan mengalihkan sejumlah lalu lintas ke dan dari Maluku ke Kalimantan Utara?.
Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi permasalahan bajak laut yang terus menerus – seperti yang disebutkan di atas – dapat disimpulkan dari catatan-catatan selanjutnya. Terlebih lagi, pada abad ke-15, beberapa orang tinggal di Mindanao dan di Kepulauan Sulu, mungkin memiliki senjata api yang diimpor dari Brunei, suatu tempat yang juga memproduksi meriam55. Juga diketahui bahwa Kepulauan Sulu dan Mindanao dibantu oleh orang Maluku, ketika mereka berperang melawan orang Spanyol. Pada satu kesempatan seperti itu, Sultan Ternate mengirim armada kora-kora ke Mindanao – sekitar 1000 orang – untuk membantu sekutu muslimnya56. Meskipun semua ini terjadi di kemudian hari, hal itu jelas menunjukan bahwa ada tradisi “kemiliteran” tertentu di antara pelaut-pelaut Filipina selatan, yang tanpa hadirnya armada kapal-kapal pemerintah China ke zona Sulu (dan meskipun diduga Brunei mengendalikan Sulu), pasti bertumbuh subur di akhir abad ke-15, dan Filipina selatan terus berhubungan dengan Maluku. Sepanjang abad ke-15, kita akan menduga untuk menemukan kapal-kapal, yang kadang-kadang akan dikawal oleh sejumlah prajurit, pedagang dan budak, berlayar dari kepulauan Sulu dan pesisir Mindanao ke kepulauan Sangihe Talaud dan ke Maluku dan kembali lagi. Kapal-kapal ini dibuat di zona Sulu atau produk asli buatan Maluku57. Kapal-kapal kecil yang berasal dari kepulauan Sangihe, kepulauan Talaud atau wilayah-wilayah Manado, mungkin termasuk di antara kelompok ini, mungkin juga tunduk pada “kontrol Filipina” atau pemimpin-pemimpin Maluku, yang sebagaimana Pires tunjukan bahwa ada beberapa ratus parao yang mereka miliki58.
Fakta bahwa beberapa lalu lintas sudah terjadi antara Maluku dan Filipina selatan jauh sebelum orang Eropa tiba, bisa juga disimpulkan dari komentar Pigafetta bahwa “ di pulau ini (misalnya Mactan dekat Cebu)... kami mendapatkan berita-berita tentang Maluku”. Selanjutnya, pemandu-pemandu pribumilah yang menunjukan kepada Spanyol jalan melalui Laut Sulu dan Celebes, yang secara jelas menunjukan suatu tradisi panjang berlayar di daerah itu59. Pires bahkan lebih eksplisit, mengatakan bahwa para pedagang dari Sulawesi bagian timur, kepulauan Sulu dan Sioa datang ke Maluku. Para pedagang ini membawa emas, yang bisa diambil sebagai indikator yang tidak jelas, tentang pengaruh komersial yang mungkin mereka berikan pada kepulauan rempah-rempah di bagian utara60. Sejumlah kecil cengkih tentu saja dibawa kembali oleh beberapa pedagang ini ke zona Sulu dimana selanjutnya didistribusikan ke tujuan di Filipina dan Laut China Selatan.
Kembali ke Laut China Selatan, kita sebaiknya memeriksa secara singkat apa yang dikatakan oleh teks-teks Portugis tentang akhir rute Maluku-Sulu ini. Seperti biasa, disimpulkan bahwa ada deskripsi yang relevan, meskipun berasa dari awal abad ke-16, yang pada dasarnya juga akan menggambarkan situasi di akhir abad ke-15. Satu hal yang menarik adalah bahwa sumber-sumber Portugis awal, menyebutkan kehadiran pedagang-pedagang Kalimantan di Malaka, tempat mereka membawa produk-produk Kalimantan, barang dagangan dari Filipina, termasuk emas, dan barang dagangan yang kemungkinan besar berasal dari Kepulauan Sulu, misalnya mutiara-mutiara. Rui de Brito Patalim, yang menulis pada waktu yang hampir bersamaan dengan Pires, memiliki satu referensi seperti itu61 “tiga jung datang dari Kalimantan ke kota ini (Malaka): mereka membawa mutiara-mutiara laut dan perbekalan untuk bahan makanan. Raja mereka adalah seorang “kafir”, tetapi para pedagang adalah orang muslim.....mereka adalah orang-orang baik, teman-teman kita : ketika berdagang di sini, mereka selalu berusaha mendapatkan pakaian dari Cambay dan India Selatan”.
Orang-orang Kalimantan, tentu saja bukan satu-satunya yang datang ke Malaka melalui rute Brunei. Ada juga “Lucoes”, yaitu para pedagang dari Luzon, dan ada juga “ Lequeos”, para pedagang dari kepulauan Ryukyu yang sebagian besar berlayar di sepanjang pantai China Selatan, dan pantai Vietnam untuk mencapai Malaka tetapi mungkin juga pergi ke Luzon, dan sesekali mengikuti rute Brunei. “ Lucoes” menurut Pires, membawa barang dagangan kurang lebih jenis yang sama seperti orang Kalimantan. Mereka, mungkin bersama-sama dengan orang Filipina lainnya, mengoperasikan jaringan rute perdagangan mereka sendiri, yang dapat disimpulkan dari catatan abad ke-16, yang menunjukan keberadaan mereka di tempat lain di Asia Tenggara, atau keikutsertaan mereka dalam pertempuran melawan Portugis dan di Sumatera. Pigafetta bahkan mengamati sebuah jung di Timor yang datang dari Luzon. Sayangnya, dia tidak menunjukan “kebangsaan” dan rute yang dilalui62.
Hal di atas jelas menunjukan bahwa ada rute perdagangan utama menghubungkan Malaka ke Kalimantan Utara dan Filipina – rute ini terutama dioperasikan oleh para pedagang Brunei, dan pada tingkat yang lebih kecil oleh “Lucoes” dan yang lainnya - dan jaringan kedua yang berfungsi sebagai jaringan ke Maluku yang lebih utama, meski tentu tidak eksklusif, dioperasikan oleh para pelaut dari selatan Filipina. Jaringan Brunei yang sudah kita temui sebelumnya, juga termasuk cabang perdagangan ke Siam63, secara bertahap menyebar ke utara Filipina pada akhir abad ke-15, awal dan pertengahan abad ke-16. Manila dan beberapa daerah terdekat, kemudian atau lebih kurang dikunjungi secara teratur oleh pedagang tang datang dari Brunei64. Persimpangan jaringan ini berpusat di Brunei dan jaringan kedua berada di zoan Sulu, dan di sana mungkin terjadi pembagian yang sangat jelas antara kedua jaringan ini, sejauh yang saya ketahui, tidak ada pedagang Brunei yang dilaporkan ada di Maluku, dan tidak ada pedagang Sulu di Malaka.
Beberapa sumber menunjukan bahwa orang-orang dari Kalimantan tinggal di Kepulauan Sulu, dan mungkin melalui orang-orang Kalimantan inilah, transfer barang dari satu jaringan ke jaringan lainnya difasilitasi. Hubungan kekerabatan antar keluarga penguasa Brunei dan Sulu, jika hubungan seperti itu sudah ada sevelum awal abad ke-16, mungkin juga telah berkontribusi pada kerjasama komersial antara kedua “mitra” ini65. Jika demikian, kita akan menduga semacam ketegangan antara kedua belah pihak yang kita ketahui di awal periode kekaisaran Ming, agak berkurang sekarang. Mungkin wilayah Sulu dikendalikan secara longgar oleh Brunei, namun meninggalkan wilayah mereka sendiri sejauh mereka berdagang ke Mindanao, Laut Sulawesi dan Maluku.
Pada titik inilah fenomena lain harus dipertimbangkan : kemajuan Islam secara bertahap. Pedagang muslim pertama yang mencapai Brunei dan zona Sulu, mungkin adalah pedagang-pedagang dari Bosi (Persia atau Timur Dekat lainnya?) yang bermarkasi di Champa atau Hainan. Timur Dekat, Indonesia, mungkin juga diikuti oleh pedagang-pedagang muslim China, dan pada awal abad ke 14, Islam telah memiliki pijakan di daerah tersebut. Pada paruh kedua abad ke-15, tidak ada atau hanya sangat terbatas lalu lintas langsung yang terjadi antara pantai Champa dan Brunei66, namun Islam terus menyebar di zona Sulu. Banyak koneksi tampaknya telah muncul antara Kalimantan Utara dan selatan Filipina dan telah “keluar” dari sistim konstelasi ini, karena sebagian besar (atau semua?) dari mereka yang menyebarkan Islam, menempuh perjalanan melalui Brunei67. Karena itu, Islam mungkin berkontribusi pada peningkatan hubungan perdagangan antara Brunei dan daerah Sulu.
Pada tahun 1460an, Islam menyebar ke Maluku Utara, dan menurut Pires, diperkenalkan ke Kepulauan Banda pada tahun 1470an68. Tidak diragukan lagi, Islam masuk ke Kepulauan rempah-rempah melalui rute Jawa, namun kaum muslim yang tinggal di zona Sulu, tempat islam datang lebih awal, mungkin memiliki minat menjalin kontak agama dengan Maluku Utara selama paruh kedua abad ke-15. Tentu saja, tidak ada bukti untuk hipotesis ini, tetapi jika ada “ikatan agama” di Laut Sulawesi selama periode ini (dan bukan hanya di abad ke-16 atau awal abad ke-17, ketika orang Maluku berbalik mengirim para guru dan militer untuk memperkuat Islam di Filipina selatan)69, ikatan ini mungkin juga memperkuat hubungan perdagangan antara kepulauan Sulu, Mindanao dan Maluku Utara. Bahkan agama, mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa hanya sedikit pedagang-pedagang China, yang sebagian besar pasti bukan orang muslim, memasuki Sulu dan Laut Sulawesi.
Singkatnya, paragraf di atas menunjukan bahwa setelah tahun 1435, perdagangan sepanjang segmen tenggara dari rute Kalimantan terutama berada di tangan para pedagang dari Filipina selatan dan Maluku. Sangat sedikit orang China yang muncul telah berpartisipasi dalam perdagangan ini. Namun, ada juga beberapa poin yang dapat diajukan terhadap hipotesis ini : dapat disebut, misalnya para geografer China yang hanya “duduk dibelakang meja”, yang tulisannya harus kita andalkan sejauh aktivitas maritim China, telah gagal memberikan laporan tentang koneksi China-Sulu-Maluku. Kedua, Pires memberi tahu pada kita akan hal itu, bahwa beberapa pulau di sekitar wilayah Maluku – dan itu termasuk kepulauan Siao dan Sulu – memiliki “ orang-orang yang nyaris berkulit putih”70. Siapa orang-orang ini? Apakah pedagang Ryukyu, muslim China, muslim Timur Dekat atau keturunan Champa, yang dahulu kala telah menetap di pulau-pulau ini, atau mungkin hanya pedagang-pedagang perseorangan kekaisaran Ming dari Fujian atau Brunei yang datang melalui jalan Mindanao?. Hal ini, tentu saja mungkin menjadi poin-poin untuk sedikit hipotesis yang berbeda, yaitu bahwa banyak kapal China berlayar melalui zona Sulu dan ke Maluku dari yang biasanya diperkirakan.
=== bersambung ===
38. Much has been written on the Brunei and Sulu embassies to China in the early 15th century and there are a number of controversial points as far as the details are concerned. I just give some references here: Liu Zizheng, « Mingdai Zhongguo yu Wenlai jiaowang kao », pp. 6-14; Carrie C. Brown, « Two Ming texts concerning King Ma-na-je-chia-na of P'o-ni »; the same, « Some Ming regulations on the provisions for tributary delegations », both in BMJ 3.2 (1974), pp. 222-229 and 230-231; Nicholl, « Brunei rediscovered », pp. 44-45; the same, « Some Problems », p. 187; Chen Yusong (Tan Yeok Seong), « Ming Boni guowang mu de faxian », Nanyang xuebao (Journal of the South Seas Society) 16.1/2 (1960), pp. 36-39; Matsura Akira, « Min Shin jidai ni okeru Chiigoku Sorokei kankeishi », Kansai daigaku bungaku ronshu 30.2 (1981), pp. 42-45 (2-8); Scott, Filipinos in China, pp. 7-12; Ptak, « Kurze Zusammenfassung », pp. 622-627. Most of the Chinese sources relating to the Sulu embassies - including the Ming shilu entries - are conveniently reproduced in Zhongguo guji zhong you guan Feilubin ziliao huibian, pp. 72-93. - Chinese sources contain references to two other places : Poluo and Suoluo. The first name has often been linked to Borneo or Brunei, the second occasionally to the Sulu Islands. For a recent discussion, see Geoffrey P. Wade, « Po-luo and Borneo - a re-examination », BMJ 6.2 (1986), esp. pp. 16-17, 35. Another name – Soli - has nothing to do with Sulu as Nicholl, « Brunei rediscovered », p. 44, speculated.
39. For Majapahit's fading power, see, for ex., J. Noorduyn, « Majapahit in the fifteenth century », Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134 (1978), p. 208; N. J. Krom, Hindoe javaansche geschiedenis (s'Gravenhage: M. Nijhoff, 1931), pp. 422 et seq.
40. Nevertheless, some scholars believe that Zheng He went to the Sulu archipelago and Brunei. There are also some Sulu legends on Chinese trading to and settling in the Sulu Islands; see, for ex., Majul, « Chinese relationship », p. 149; Huang Zisheng, « Shiliu shiji », p. 35; Hsu Yiin-ts'iao, « Did Admiral Cheng Ho visit the Philippines ? », Journal of Southeast Asian Researches 4 (1968), pp. 96-7; the same, « Notes on some doubtful problems relating to Admiral Cheng Ho's expeditions », in Actes duXXIXe Congrès International des Orientalistes, Séminaire organisé par Denys Lombard (section): Chinois d'outre-mer (Paris: L'Asiathèque, 1976), p. 76; Brown, Brunei : The structure and history, p. 139; Chen Taimin, Zhong Fei guanxi, p. 44.
41. See, for ex., Liu Zizheng, « Mingdai Zhongguo yu Wenlai jiaowang kao », pp. 8, 9, 12; Zhongguo guji zhong you guan Feilubin ziliao huibian, p. 78; Scott, Filipinos in China, p. 10.
42. See, for ex., Xiyang chaogong dianlu (1520), by Huang Shengzeng, ed. by Xie Fang, ZWJTSJCK (Beijing: Zhonghua, 1982), pp. 41, 45, 61, 68; Shuyu zhou zi lu (1574), by Yan Congjian, Zhonghua wenshi congshu 3.13 (Taipei: Huawen, 1964), j. 8, pp. 405, 411, 430; j. 9, p. 440. The last source mentions Champa and Java as « producers »; see j. 7, p. 380, and j. 8, p. 419, there.
43. See, for ex., Theodore G. Th. Pigeaud/H. J. de Graaf, Islamic states in Java, 1500-1700. A summary, bibliography and index, Verhandelingen van het Koninklijke Instituut voor Taal-Land- en Volkenkunde 70 (The Hague : M. Nijhoff, 1976), esp. pp. 7, 14, 15, and the corresponding chapters in the same, De eerste moslimse vorstendommen op Java. Studien over de staatkundige geschiedenis van de 15de en 16de eeuw, same ser. 69, and same publ., 1974. Also see de Graaf/Pigeaud, tr., M. C. Ricklefs, éd., Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries. The Malay Annals of Semarang and Cerbon, Monash Papers on Southeast Asia 12 (North Melbourne: Ruskin Pr., 1984).
44. See Emma H. Blair/James A. Robertson, eds., ThePhilippine islands, 1493-1898. Explorations by the early navigators..., 55 vols. (Cleveland: The A. H. Clark Co., 1903-1909), XVI, p. 222. Argensola also says : « Antiquity, and the art of navigation in those districts, is ascribed to the Chinese » (p. 223 there). For the Spanish text, see Bartolome Leonardo de Argensola, Conquista de las islas Malucas, Biblioteca de escritores aragoneses (Zaragoza: Imprenta del Hospicio Provinical, 1891), bk.l, pp. 11, 12.
45. Ibn Màjid who collected information on the sea routes in the late 15th century refers to the Moluccas which indicates that Near Eastern sailors were familiar with this region. See Tibbetts, Arabic texts on Southeast Asia, pp. 253, 255-256.
46. Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 265.
47. Araujo to Albuquerque, 6 February 1510; see Artur Basilio de Sa, éd., Documentaçâo para a histôria das missôes do padroado português do Oriente: Insulindia, 5 vols. (Lisbon: Agência Gérai do Ultramar, Divisâo de Publicaçôes e Biblioteca, 1954-1958), I, p. 28.
48. There are countless studies on the trade relations of the Ryukyu Islands to China which, according to the Ming shilu, began in the Hongwu era, and to Southeast Asian countries which probably began earlier. For an English survey, see, for ex., George H. Kerr, Okinawa - the history of an island people (Rutland/Tokyo: Tuttle, 1980), passim. For the participation of Ryukyu merchants in the trade with tropical products from Southeast Asia, see, for ex., Sakamaki Shunzo, « Ryukyu and Southeast Asia », Journal of Asian Studies 23.3 (1964), pp. 383-391; Atsushi Kobata/Mitsugo Matsuda, Ryukyuan relations with Korea and South Sea countries (Kyoto, 1969; quoted after Reid, « An 'age' »); papers in Xu Yuhu, Mingdai Liuqiu wangguo duiwai guanxi zhi yanjiu (Taibei: Xuesheng, 1982), esp. p. 245 (cloves sent to Korea in 1470); Lai Yung-hsiang, « Li-tai-pao-an, a collection of documents on foreign relations of the Ryukyu Islands », in Chang Kuei-yung et al., eds., International Association of Historians ofAsia. Second biennial conference proceedings (Taibei, 1962), esp. p. 306. Some thought that the « Gores » mentioned in early Portuguese sources had something to do with the Ryukyu islanders. Araujo mentions that they bought small amounts of cloves in Malacca; see Sa, Documentaçâo, I, p. 27.
49. For quantities and prices, see, for ex., ibid., I, pp. 29, 30, 135, 154, 169, 195; Mansel Longworth Dames, tr. and éd., The Book of Duarte Barbosa. An account.. .written.. .about the year 1518 A.D., Works issued for the Hakluyt Society, ser 2.43 and 49, 2 vols. (London: Hakluyt Society, 1921), II, pp. 218, 227-228; K. S. Mathew, Portuguese trade with India in the sixteenth century (New Dehli: Manohar, 1983), pp. 126-127; E. Ashtor, « Spice prices in the Near East in the 15th century », Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland 1/1976, p. 33; Roy F. Ellen, « Sago subsistence and the trade in spices: A provisional model of ecological succession and imbalance in Moluccan history », in P. C. Burnham/R. F. Ellen, eds., Social and ecological systems (London, etc.: Academic Pr., 1979), pp. 56-58; Vitorino Magalhâes Godinho, Os descobrimentos e a economia mundial, 4 vols. (2nd ed. Lisbon: 'age' Editorial Presença, 1982-1984), esp. II, pp. 196-197, 199-200; III, p. 137; Reid, « An », pp. 7, 12-15, 25-27. Note: Portuguese warfare against Muslim shipping in the Indian Ocean only caused a temporary drop in clove sales to India, the Near East, and Italy. This occurred in the first few years after 1500 and may or may not have had effects on the production and distribution of cloves in Southeast Asia.
50. See Xiang Da, éd., Liang zhong haidao zhenjing, ZWJTSJCK (Beijing: Zhonghua, 1982), p. 95; J. V. Mills, « Chinese navigators in Insulinde about A.D. 1500 », Archipel 18 (1979), pp. 73, 79.
51. See for ex., de Graaf/Pigeaud, Chinese Muslims in Java, pp. 74-75; O. Warburg, Die Muskatnuss, ihre Geschichte, Botanik, Kultur, Handel und Veruwrthung... Leipzig : Verlag von Wilhelm Engelmann, 1897, p. 17; John Crawfurd, History of the Indian archipelago containing an account of the manners, arts, languages, religions, and commerce ofits inhabitants, 3 vols. (rpt. London: Frank Cass, 1967), II, p. 486.
52. See, for ex., Tom and Barbara Harrisson, « Kota Batu in Brunei », SMJ 7.8 (1956), pp. 285, 291-298, where it is said that Chinese coins were gradually replaced by Bornean coins.
53. For the 1459 embassy, see Ming shilu, Tianshun, j. 305, p. 6425; j. 305, p. 6439; for Chinese intervention in Ceylon, see, for ex., Su Chung-jen, « The battle of Ceylon, 1411 », in Essays in Chinese Studies presented to Professor Lo Hsiang-lin (Shou Luo Xianglin jiaoshou lunwenji) (Hong Kong: Univ. of Hong Kong, 1970), pp. 291-297.
54. Nicholl, « Some problems », pp. 181 n. 61, 184. The same in « Brunei rediscovered », p. 45, quotes a passage from Pigafetta - see Lord Stanley of Alderley, tr., The first voyage round the world by Magellan, translatedfrom the accounts of Pigafetta and other contemporary writers, Works issued by the Hakluyt Society, 1.52 (rpt. New York: Burt Franklin, c. 1964), p. 120 - where it is said that the Brunei king married a daughter of the Sulu ruler, raided the Sulu Islands with his fleet, captured the Sulu ruler and his sons and obtained two big pearls. This incidence, presumably historical, cannot be dated. Another problem arising out of the sources - namely that Brunei and Boni were not identical but perhaps two closely related political entities competing for supremacy over the Brunei region in the second half of the 15th century - is discussed, for ex., in Brown, Brunei : The structure ami history, pp. 138-139. Also see Nicholl, « Some problems », p. 181.
55. Najeeb M. Saleeby, The history of Sulu, pp. 40-41, 44; P. M. Shariffuddin, « Brunei cannon », BMJ 1.1 (1969), pp. 72-93; Tom Harrisson, « Brunei cannon : Their role in Southeast Asia (1400-1900 A.D.)» in same, esp. pp. 99-100.
56. Antonio de Morga, in Blair/Robertson, The Philippine islands, XV, pp. 97-98; F. Delor Angeles, « Brunei and the Moro wars », BMJ, 1.1 (1969), p. 119; Antonio M. Molina, The Philippines through the centuries (Manila: U.S.T. Cooperative, 1960), I, 20. - There are numerous other references to the presence of Ternatens in the Philippines in late 16th and early 17th century works; see, for ex., Pedro Chirino, S.J., Relacion de las Islas Filipinas (trans, by Ramon Echevarria as The Philippines in 1600), Historical Conservation Society 15 (Manila: MDB Pr., 1969), pp. 95-96, 335-336; Marcelo de Ribadeneira, O.F.M., Historia del archipielago y outras reynos (trans, by Pacita Guevara Fernandez as History of the Philippines and other kingdoms), same ser. 17, 2 vols. (Manila: MDB Pr., 1970), I, pp. 31, 331.
57. There are various studies on native sailing craft of the Moluccas and the southern Philip pines but most of these contain only a few historical notes. See, for ex., G. Adrian Horridge, The design of planked boats in the Moluccas, Maritime Monographs and Reports 38 (Greenwich: National Maritime Museum, 1978), esp. pp. 9-12; Karl Schmitt, « Notes on Morotai Island canoes », Man 47.127 (1947), pp. 119-122; James F. Warren, « The prahus of the Sulu zone », in the same, At the edge of Southeast Asian history. Essays (Quezon City: New Day Publ., 1987), pp. 38-46; William H. Scott, « Boat-building and seamanship in classical Philippine society », Philippine Studies 30 (1982), pp. 335-376. Also see the mid-16th century documentation in Sa, Documentaçào, III, pp. 317-322, illustrations after p. 344, and pp. 381-386.
58. Cortesâo, Suma Oriental, I, pp. 217-218. Other early 16th century documents also contain various references to korakoras and prahus in the Moluccan area and, in a few cases, explicitely state that these were employed for voyages to the Philippines; see, for ex., Sa, Documentaçào, I, 231, 387, 389, 402, 404-405. On Minahasa, the Sangihe and Talaud Islands, see, for ex., Jouke S. Wigboldus, « A history of Minahasa c. 1615-1680 », Archipel 34 (1987), p. 66.
59. Alderley, The first voyage, p. 105. Bruce Leonard Fenner, Cebu under the Spanish Flag, 1521-1896 : an economic-social history (Cebu City : San carlos Publ., 1985), p. 19. One of the men encountered by the Spanish even claimed that he had been to the house of Francisco Serrâo in Ternate; see p. 21 (report of Genoese pilot) in Alderley. Also see the most interesting article by William H. Scott, « The Mediterranean connection », Philippine Studies 37 (1989), p. 136; in this article Scott lists a number of cases where early Portuguese and Spanish sailors met Muslims and others in the East who knew Spanish or Portuguese and who probably had come to the Orient from North Africa in pre-European times.
60. Cortesâo, Suma Oriental, I, pp. 221-222. There are numerous references to gold in the Philippines in the sources; see, for ex., Fenner, Cebu, pp. 14, 15, 17, 25, 30.
61. Sa, Documentaçào, I, p.68. Manuel Teixeira, S.J., « Early Portuguese & Spanish contacts with Borneo », in Chang Kuei-yung et al., eds., International Association of Historians of Asia:Second biennial conference proceedings (Taipei, 1962), p. 489; Robert Nicholl, éd., European sources for the history of the sultanate ofBrunei in the sixteenth century (Bandar Seri Begawan: Muzium Brunei, 1975), p. 4; the same, « Brunei rediscovered », p. 45. Ongkili, « Prewestern Brunei, Sarawak and Sabah », p. 6, believes that contacts between Brunei and Malacca began to be very close in the 1440s.
62. Cortesâo, Suma Oriental, II, pp. 362, 376-377; Scott, « The Mediterranean connection », pp. 138-139.
63. Siamese and Vietnamese wares were found in northern Borneo and the southern Philippines; see, for ex., Harrisson, « Brunei cannon », p. 104; Barabara Harrisson, « A classification of archaeological trade ceramics from Kota Batu, Brunei », BMJ 2.1 (1970), pp. 155-157; Hutterer, An archaeological picture, pp. 11, 14, 24-25, 52; Peter Bellwood/Matussin Omar, « Trade patterns and political developments in Brunei and adjacent areas, A.D. 700-1500 », BMJ 4.4 (1980), p. 159. The Shunfeng xiangsong indicates the existence of a trade route between Borneo and Siam though we cannot be certain to which period this refers; see Xiang Da, Liang zhong haidao zhenjing, pp. 83, 89-90; Mills, « Chinese navigators », pp. 73, 81, 82.
64. See, for ex., Blair/Robertson, The Philippine islands, XVI, p. 134 (Morga, Sucesos); Brown, Brunei: The structure and history, p. 141; Nicholl, « Brunei rediscovered », p. 45. There are some articles on Bisayan accounts of early Bornean settlements in the Philippines but these accounts are highly unreliable, not historical, and therefore of no avail to this study.
65. A later Spanish source, quoted in Saleeby, The history of Sulu, p. 50, reports: « ...the chief who calls himself lord of Sulu is a Bornean, and owns houses in the city of Bruney;... » More details in Cesar Adib Majul, Muslims in the Philippines (Quezon City: The Univ. Of Philippines Pr., 1973), pp. 361-362, or Nicholl, « Some problems », p. 182. The marriage relation mentioned by Pigafetta (see n. 54 above) seems to point to early arrangments between both ruling houses.
66. Could it be that, after the collapse of Champa in 1471, some Muslims on whose shoulders trade between Brunei and Champa had rested, left for Brunei thereby reinforcing the Muslim community in that place ?
67. Saleeby, The history of Sulu, pp. 42-49; the same, Studies in Moro history, law. And religion. Department of the Interior, Ethnological Survey Publications 4.1 (Manila: Bureau of Public Printing, 1905), esp. pp. 50-54; Cesar Adib Majul, « Chinese relationship with the Sultanate of Sulu », pp. 144-145; the same, Muslims in the Philippines, pp. 42, 51 et seq. (especially summary, p. 63); the same, « An analysis of the 'Genealogy of Sulu' », in Ahmad Ibrahim et al., eds., Readings on Islam in Southeast Asia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), pp. 50-54; the same, « Islamic and Arab cultural influences in the south of the Philippines », Journal ofSoutheast Asian History 7.2 (1966), pp. 63-70; Scott, Prehispanic source materials, pp. 84-85. For Islam in Brunei, see titles in n. 77.
68. For the Moluccas, see Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 213, and Jacobs, Treatise, pp. 83, 85, 105, 334 n. 5. According to Pigafetta, Islam came to the Moluccas in the 1470s; see Alderley, The first Voyage, p. 147. According to the « Historia das ilhas de Maluco... » of 1561, it came « pouco tempo antes que là (=the Moluccas) possem os Portugueses »; see Sa, Documentaçâo, III, p. 285. - For the Banda Islands, see Cortesâo, I, p. 206. Some think that the conversion of the Bandanese to Islam occurred earlier than the first conversions in the Moluccas; see, for ex., John Villiers, « Da verde noz tomando seu tributo: the Portuguese in the Banda Islands in the sixteenth century », in the same, East ofMalacca. Three essays on the Portuguese in the Indonesian archipelago in the sixteenth and early seventeenth centuries (Bangkok: Calouste Gulbenkian Foundation, 1985), p. 9 (an earlier version of this paper appeared in Modern Asian Studies 15 (1981), pp. 723-750); Paramita R. Abdurachman, « Moluccan responses to the first intrusion from the West », in Haryati Soebadio/Carine H. du Marchie Sarvaas, eds., Dynamics of Indonesian history (Amsterdam: North Holland Publ. Co., 1978), p. 164.
69. Jacobs, Treatise, as above; Abdurachman, « Moluccan responses », pp. 164-167; Majul, Muslims in the Philippines, p. 45; the same, « Islamic and Arab cultural influences in the south of the Philippines », pp. 68, 69.
70. Cortesâo, Suma Oriental, I, p. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar