Sabtu, 04 Januari 2020

Saniri 3 (batang) Air (di) Seram : Suatu Catatan tentang Penemuan dan penafsirannya antara tahun 1675 dan 1950 (bag 1)


Oleh: Gerrit J. Knaap


  1. Pengantar
Artikel yang kami terjemahkan ini, adalah artikel yang ditulis oleh sejarahwan Gerrit J. Knaap dalam bahasa Inggris dengan judul The Saniri Tiga Air (Seram): An account of its discovery and interpretation between about 1675 and 1950. Artikel aslinya dimuat pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkekunde edisi 149, tahun 1993, no 2, pada halaman 250 – 273. Artikel sepanjang 24 halaman ini terdiri dari, 2 peta dan gambar/foto, 22 halaman kajian, dan 2 halaman berisikan bibliografi/referensi. Pada artikel ini, Knaap tidak memberikan catatan kaki, jadi kami memberikan catatan tambahan dengan tujuan untuk melengkapi pemahaman lebih lanjut.
Pada artikel ini, Knaap menginterpretasi arsip-arsip VOC dan menganalisa tulisan-tulisan beberapa penulis awal abad 20 yang mengkaji soal “sejarah” Kakehan dan Saniri 3 air di Seram Barat.
Kami merasa perlu menerjemahkan artikel penting ini, agar bisa dibaca dalam bahasa “ibu” sehingga lebih mudah dicerna oleh banyak orang. Apalagi dalam kajian ini, Knaap menceritakan salah satu kepingan cerita berdasarkan arsip, soal saling klaim tentang jabatan Raja, dalam hal ini pada kasus Raja Sahulau. Ternyata, Fenomena saling klaim mengklaim tentang mata rumah parentah di masa kini, pada tataran pencalonan Raja di negeri-negeri Ambon-Lease, seolah-olah mendapat rujukannya pada sejarah 340an tahun lalu.
Perlu juga dijelaskan, kami membagi artikel hasil terjemahan ini, menjadi 3 bagian, sehingga tidak terlalu panjang, dan bisa dibaca dengan ringan. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa foto, agar artikel versi terjemahan ini lebih berwarna. Akhirnya, selamat membaca dan selamat memahami “sejarah” yang membentuk kita di masa sekarang.


  1. Terjemahan
            Pada bulan Maret tahun 1684, Robert Padtbrugge1, Gubernur Ambon, mengirim suatu komisi yang beranggotakan 4 orang, - yaitu 2 orang Eropa dan 2 Raja negeri Kristen - ke pesisir tenggara pulau Seram untuk menginisiasi perdamaian dalam kasus konflik berdarah antara negeri-negeri pesisir dan sekelompok “orang gunung”. Anggota komisi ditugaskan antara lain, bahwa mereka harus melakukan penyelidikan tentang adat istiadat dan keyakinan agama orang-orang gunung, yang disebut Alifuru, dengan suatu pertimbangan untuk mencegah lebih jauh praktek pengayauan (potong kepala) oleh orang Alifuru di wilayah negeri-negeri pesisir. Dalam beberapa minggu kemudian, Komisi itu kembali dan menyampaikan laporan kepada Gubernur. Yang disampaikan oleh Gubernur bahwa anggota-anggota komisi itu harus melakukan upaya terbaik untuk memperoleh sesuatu tentang agama orang Alifuru, namun ternyata tidak berhasil : para responden mereka menunjukan dengan jelas perbedaan pendapat yang nyaris tidak memungkinkan untuk memperoleh kesimpulan yang berarti. Orang-orang itu “terlalu berkhayal bahwa masing-masing negeri akan membutuhkan begitu banyak kertas untuk mencatat semuanya” (VOC 1403: 21v-25v, 25-34v). 


Bagi sejarahwan atau antropolog abad 20 yang tertarik pada bidang ini, hal ini merupakan kegagalan awal untuk mendapatkan informasi tentang agama dan masyarat orang Seram, mungkin sangat mengecewakan. Siapa yang harus disalahkan dalam hal ini? Mungkin para anggota komisioner bertanya pada informan yang salah. Mungkin juga mereka sendiri, terkhususnya tidak tertarik dengan masalah itu. Atau mungkin juga mereka tidak antusias (malas). Seluruh argumen itu dapat dikaji secara terpisah. Observasi para komisioner bahwa mereka tidak dapat melaporkan masalah tersebut, karena setiap negeri/desa akan membutuhkan banyak kertas, merupakan hal yang benar juga, seperti yang terbukti  sekitar 250 tahun kemudian, pada tahun 1930an, oleh 3 etnografer Jerman dalam ekspedisi Frobenius, yang melakukan penyelidikan mendalam terhadap agama dan masyarakat Seram Barat. Di antara hasil-hasil lainnya, mereka menghasilkan 450 halaman kompilasi 433 mite dan legenda yang dikumpulkan dari sekitar 15 negeri/desa (Jensen 1939). Kesan bagi pembaca mite dan legenda itu adalah satu dari sekian banyak variasi lokal dalam tradisi lisan.
“Volume-volume kertas itu” memang berupa tulisan tentang Seram, terutama Seram Barat, khususnya dalam periode antara tahun 1910 dan 1950. Serial ini diawali beberapa tahun setelah penaklukan “suku” terakhir oleh Belanda, dan diakhiri dengan penafsiran analitis dari Jensen tentang hasil Ekspedisi Frobenius, suatu publikasi yang tertunda karena pecahnya perang dunia kedua (Jensen 1948). Publikasi yang relevan pada periode ini, adalah dari 2 perwira militer Belanda2 yang terlibat dalam aksi penaklukan, administrasi dan survei wilayah yang baru diperoleh itu (Sachse 1907, 1922; De Vries 1927), kemudian oleh anggota ekspedisi etnologi asal Jerman seperti Espedisi Freiburg dari tahun 1911-1912 (Tauren 1919; Stresemann 1918,1923), dan Ekspedisi Frobenius yang disebutkan di atas pada tahun 1937-1938 (Jensen 1939, 1948). Sementara para perwira Belanda, hanya membatasi diri mereka terutama pada uraian deskripsi tentang wilayah dan penduduknya, etnografer Jerman diinspirasi oleh skema yang lebih besar yang mungkin menyoroti semacam evolusi umat manusia dalam tahap primitifnya. Satu-satunya studi analitik penting dilakukan oleh seorang etnografer asal Belanda yaitu oleh Duyvendak (Duyvendak 1926). Namun studi ini didasarkan sepenuhnya pada sumber-sumber yang diterbitkan. Setelah Magnum Opus-nya Jensen, ada jeda dalam minat ilmiah di daerah yang kurang lebih bertepatan dengan periode baru kekacauan di pegunungan Seram, yang kali ini disebabkan oleh gerilyawan RMS (Republik Maluku Selatan).
Masyarakat tradisional Seram Barat memiliki beberapa fitur menarik, yang menarik minat khususnya bagi para etnografer. Orang-orang gunung atau Alifuru, bukan hanya perwakilan dari masyarakat primitif yang terdiri dari pemburu dan petani-petani berpindah, tetapi juga pemburu kepala (pemotong kepala). Pengayauan (Potong Kepala) telah menjadi fenomena luas, dan memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan orang Alifuru sejak jaman dahulu. Selain itu, masyarakat Alifuru penuh dengan fenomena-fenomena “misterius” seperti pondok/gubuk (walang) menstruasi, upacara penyimpanan gigi, dan bentuk-bentuk penyunatan pra islam. Namun “piece de resistance”-nya (sesuatu yang sangat unik) adalah persaudaraan rahasia, yang disebut Kakean (Kakehang). Berhubungan dengan persaudaraan rahasia ini, adalah sebuah institusi yang jelas dimaksudkan sebagai “penyeimbang” dalam keadaan peperangan yang terjadi di pulau itu akibat perburuan kepala (potong kepala). Institusi ini adalah “Saniri Waele Telu” seperti yang disebutkan dalam bahasa lokal, atau “Saniri 3 (batang) air” dalam bahasa melayu. Secara literal dapat terjemahkan sebagai “Dewan 3 Sungai”.
Saat para etnografer mulai tertarik dengan fenomena ini, baik kakean maupun saniri 3 (batang) air, telah menjadi “sejarah”. Lembaga-lembaga ini sedang “sekarat” karena “takluk” pada pemerintahan kolonial dan seiring berjalannya perubahan yang sangat besar dari masyarakat. Oleh karena itu, kajian abad ke-20 tentang fenomena-fenomena ini sebagian besar bersifat “akademis” dan “interpretatif”. Selama 3 abad sebelumnya – dari awal abad 17 hingga awal abad 20 – catatan-catatan tentang Seram Barat sering kali menjadi bagian dari perdebatan tentang “politis” dan “administratif”.  
Artikel ini merupakan usaha untuk merekonstruksi sejarah “penemuan” dan eksploitasi politik Saniri 3 (batang) air oleh otoritas kolonial.  Rekonstruksi ini sama sekali tidak lengkap. Jauh lebih banyak informasi-informasi penting, yang masih tersembunyi dalam arsip-arsip, khususnya yang berkaitan dengan periode abad ke-19. Selain itu, perhatian akan diberikan kepada pandangan para penulis utama yang menulis tentang masalah ini dalam tahap intepretatif abad 20 yang disebutkan di atas. Pandangan-pandangan itu akan ditinjau sehubungan dengan bukti dari abad-abad sebelumnya. Namun, disini pembaca sebaiknya tidak mengharapkan jawaban yang pasti, yang menjelaskan asal mula fenomena tersebut. Untuk bukti itu, tidak ada fakta jelas yang mendukung solusi akhir perdebatan. Saya (penulis) akan memulai dengan beberapa informasi umum untuk memperkenalkan Seram Barat dan penduduknya.


Seram Barat : Populasi dan Masyarakat

Seram Barat hanya dihuni oleh 2 kelompok etnis : Wemale di bagian selatan dan timur wilayah itu, serta Alune yang juga disebut Makahala di bagian barat. Kedua kelompok etnis ini memiliki bahasa mereka sendiri dan memiliki beberapa fitur budaya yang berbeda. Menurut tradisi lokal, Wemale mendapatkan nama mereka menurut asal mereka dari wilayah “Wai” atau “Sungai” Mala di bagian tenggara Seram Barat. Nama Alune, di sisi lain disebutkan berasal dari sebuah kata untuk “korset” yang biasa dipakai oleh para wanita dari kelompok etnis ini, terbuat dari sepotong kain yang ditenun sendiri oleh para wanita itu. Para wanita suku Wemale, yang tidak tahu cara menenun, mengenakan sepotong kulit pohon yang ditumbuk sebagai penggantinya. Nama lain Alune, yaitu Makahala berarti “pemakan beras/nasi”, dengan demikian menunjukan fakta bahwa orang-orang ini tahu cara menanam padi, sedangkan Wemale diduga tidak tahu caranya. Suku Wemale menganut prinsip matrilineal, sedangkan suku Alune menganut prinsip patrilineal. Pernikahan antara suku Wemale dan Alune dilarang/tidak diizinkan. Wanita-wanita suku Wemale diharuskan mengisolasi diri di gubuk khusus di luar desa mereka selama menstruasi3, sedangkan wanita suku Alune bisa tetap tinggal di rumah mereka sendiri (De Vries 1927:9,281; Jensen 1948: 19-21). 

Alifuru Warasiwa (sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse)

Pembagian populasi Seram Barat kedalam suku Alune dan Wemale tidak memiliki signifikansi politis yang substansial. Tidak ada kelompok yang memiliki institusi terpusat yang bisa menjadikan mereka bersatu. Alih-alih, negeri-negeri yang merupakan percampuran klan yang terorganisir secara longgar, menjadi titik fokus bagi kesetiaan politis.  Namun demikian, negeri-negeri ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan lokasi, perkembangan sosial ekonomi, dan orientasi sosial keagamaan.
Pertama, ada perbedaan antara negeri-negeri pesisir dan negeri-negeri pegunungan. Negeri-negeri pesisir dihuni oleh orang-orang yang awalnya berasal dari pedalaman di pegunungan dan telah pindah ke wilayah pesisir sebelum kedatangan orang Eropa (De Vries 1927: 11-14; Jensen 1948: 23-26). Di pesisir lingkungan baru mereka, sebagian dari mereka meninggalkan aktivitas ekonomi tradisional Alifuru yaitu berburu dan bertani menjadi lebih berorientasi pada perikanan dan perdagangan. Mereka menikah dengan para pendatang (kaum migran) dari tempat-tempat yang jauh seperti Sulawesi dan Maluku Utara. Pada abad ke-17, mereka juga melakukan kontak lebih awal dengan penjajah Eropa, yang mana pesisir selatan Seram lebih kurang berada di bawah kekuasaan Belanda sekitar tahun 1650. Hingga abad ke-19, ketika wilayah-wilayah di pantai utara juga dimasukan kedalam kekuasaan negara kolonial melalui cara yang lebih substansial, negeri-negeri di wilayah ini hanya dianggap namanya saja oleh pemerintahan Belanda. Ketika kontak dengan dunia orang-orang bukan Seram meningkat, populasi penduduk di pesisir mulai memeluk agama-agama dunia seperti Islam dan Kristen. Akan tetapi, proses islamisasi dan kristenisasi merupakan proses yang lambat dan bertahap, sehingga memungkinkan adanya berbagai macam sinkretisme antara agama-agama lama dan baru (Manuhuttu 1985: 268-269; Knaap 1987a: 79, 90-91).
Perbedaan lain yang memberikan semacam identitas politis pada masyarakat Seram Barat adalah pembagian kedalam “Patalima” dan “Patasiwa” atau “kelompok lima” dan “kelompok sembilan”. Perbedaan jenis ini dapat ditemui pada masyarakat kepulauan, hampir di semua tempat di wilayah bagian timur Indonesia. Menurut tradisi lisan suku Wemale, asal mula pembagian ini di Seram ada pada masa mitologis dan dikaitkan dengan penciptaan tatanan dunia saat ini (Jensen 1939: 59-68; Van Fraasen 1987 II: 460-512). Pada waktu yang lebih baru, pembagian kedalam Patasiwa dan Patalima berfungsi sebagai paradigma pemikiran tradisional tentang relasi-relasi sosial dan politik. Dalam bentuknya yang paling sederhana, ide ini membayangkan dunia yang dibagi menjadi 2 kutub yang saling berlawanan. Hal ini menyebabkan masing-masing kelompok pada gilirannya memandang dirinya sebagai musuh utama kelompok lain. Hampir seluruh populasi Seram Barat termasuk dalam kelompok Patasiwa yang menganggap diri mereka dalam keadaan perang terus menerus dengan kelompok Patalima di Seram Tengah. Meskipun demikian, gagasan menjadi bagian dari Patasiwa tidak memberikan rasa solidaritas yang mendalam pada masyarakat Seram Barat. Mungkin benar bahwa negeri-negeri di daerah yang dekat dengan wilayah Patalima, secara teratur berkoordinasi di antara mereka sendiri untuk melawan musuh, tetapi sangat jelas berdasarkan sumber-sumber, sebagian besar penduduk Patasiwa di Seram Barat, tewas dalam pertempuran dengan negeri-negeri Patasiwa lainnya.
 
Kapitan Alifuru

Dengan negeri/desa yang berfungsi sebagai unit politik yang paling penting, situasi politik di Seram Barat menunjukan banyak partikularisme. Konflik atas wilayah dan/atau permusuhan personal antara pemimpin negeri/desa atau orang-orang penting lainnya, dapat dengan mudah mengakibatkan perang berskala kecil. Pemimpin negeri/desa, biasanya pemimpin klan utama di pemukiman, yang perannya dalam lembaga negeri/desa (saniri) hanya salah satu dari “primus inter pares”, biasanya sering “berkonflik” dengan pihak oposisi dari dalam. Terkadang seluruh klan akan meninggalkan negeri/desa setelah perselisihan internal. Perang skala kecil bahkan semakin mengakar di masyarakat alifuru sebagai akibat dari perburuan kepala (pengayauan/potong kepala). Setiap kali bangunan seremonial baru didirikan atau ritual keagamaan  dilakukan untuk mempersembahkan kepala manusia, para lelaki dikirim untuk mendapatkan kepala baru. Namun demikian, juga muncul bahwa negeri-negeri secara sendiri-sendiri membentuk asosiasi satu sama lain. Bahkan federasi negeri-negeri yang terbentuk itu, mengakui penguasa dari seorang pemimpin negeri/desa yang kuat dan keluarganya. Pada abad ke-17, misalnya pusat-pusat kekuasaan lokal semacam itu dapat ditemui di Sahulau dan Sumit di bagian selatan, serta Siseulu di bagian utara. Para “penguasa” hanya bisa menggunakan “kekuasaan” sejauh negeri-negeri dalam “wilayah” mereka yang bersedia bekerja sama. Jika kebijakan mereka tidak sama dengan kebijakan masing-masing negeri, kesetiaan negeri itu akan segera hilang. Perlu juga disampaikan bahwa “penguasa” dapat sangat memperkuat posisinya dengan mendapatkan prestise dalam perang atau menunjukan ketrampilan dalam berdiplomasi (Manuhuttu 1985: 272; Knaap 1987a: 61,73).
Selain dari beberapa karakteristik umum yang sama, agama Alifuru yang sebagian besar animistis dan politeistis menampilkan banyak variasi lokal.  “Dewa” yang paling penting dalam agama orang-orang Seram Barat adalah Tuwale, suatu personifikasi dari Matahari. Setelah itu, ada bulan, langit dan bumi serta beberapa bintang. Namun, para dewa itu tidak memainkan peran penting dalam kehidupan keagamaan sehari-hari. Yang jauh lebih penting adalah dewi-dewi kematian, Mulua Satene, dan ular pemakan manusia, Nitu Elake. Selain itu, ada sekelompok besar “roh-roh” lokal, baik yang jahat yang membawa penyakit dan bencana lain, maupun yang baik, seringkali jiwa-jiwa para leluhur yang telah meninggal, yang melindungi jiwa-jiwa yang masih hidup selama jiwa-jiwa itu mengamati kebiasaan-kebiasaan tradisional yang dilakukan dengan cara yang benar (Jensen 1948: 192-193, 232-240).
Figur ular Nitu Elake dianggap sebagai figur sentral dalam Kakean yang disebutkan di atas, ritual-ritual yang dilakukan dengan tingkat kerahasiaan tertentu, secara eksklusif oleh populasi laki-laki – maka asosiasi itu dalam literatur disebut “persaudaraan rahasia”. Orang-orang yang telah diiniasi kedalam komunitas Kakean ditandai dengan jenis tato khusus dalam bentuk salib hitam di dada mereka. Karena tato ini, kaum kakean sering disebut “Patasiwa Hitam” sebagai pembeda dari Patasiwa Putih yang tidak memiliki tanda seperti itu. Mayoritas populasi laki-laki Seram Barat adalah Patasiwa Hitam yang menjadi bagian dari kakean. Konsekuensi dari kejadian ini adalah bahwa secara berkala, tingkat persatuan tertentu dibawa ke panggung politik. Karena setiap kali pemimpin kakean menganggap perlu, mereka memanggil semua anggota kakean dari seluruh Seram Barat untuk bertemu di tempat tertentu untuk membahas masalah penting. Lembaga ini bernama Saniri 3 (batang) air,  yang menyatukan anggota kakean dari daerah sungai Tala, Sapalewa dan Eti, serta lembaga ini biasanya membahas hal-hal yang menyangkut keseluruhan anggota. Seperti berfungsi juga sebagai lembaga perdamaian di antara para anggota yang bertikai.
Inisiasi anggota-anggota kakean dilakukan pada interval beberapa tahun, setiap kali ada sekelompok anak laki yang cukup besar mencapai usia remaja (puber). Seorang dukun senior berstatus paling tinggi, mirip seperti “pendeta”, atau disebut Mauwen Besar memutuskan kapan tepatnya ritual itu akan berlangsung. Untuk keperluan ritual, laki-laki dewasa dari kelompok negeri/desa tertentu kemudian akan membangun sebuah hunian, yang disebut rumah tutue, di semak-semak di luar desa. Ketika semua sudah siap, anak-anak lelaki itu akan memasuki rumah tutue ditengah-tengah suara berisik yang menakutkan semua orang yang mendengarnya. Selama masa tinggal mereka di rumah tutue, anak lelaki itu dilarang keras untuk tidak mengungkapkan apapun tentang ritual kepada orang luar. Sementara itu Mauwen atau “dukun” akan menyampaikan kepada para wanita bahwa anak laki-laki telah dibunuh oleh Nitu Elake, serta menunjukan pada mereka pisau dan tombak berdarah sebagai bukti. Beberapa hari kemudian, Mauwen Besar akan menjelaskan kepada para wanita, bahwa ia telah berhasil membujuk Nitu Elake, untuk mengembalikan anak-anak lelaki agar hidup kembali. Setelah beberapa hari kemudian, anak-anak lelaki itu sendiri akan kembali ke desa mereka. Mereka sekarang memakai tato yang merupakan tanda keanggotaan kakean. Namun setelah mereka kembali, mereka akan berperilaku tidak biasa, menganggap diri mereka tidak tahu cara makan, cara berbicara dan sebagainya. Dengan cara ini, mereka menunjukan bahwa mereka baru saja melalui cobaan yang mengerikan dan telah “dilahirkan kembali” ke “kehidupan” lain dan komunitas lain yaitu menjadi laki-laki dewasa.  Anak-anak lelaki itu kemudian akan dibawa ke luar desa mereka selama beberapa bulan, dimana selama periode itu para anggota masyarakat yang lebih tua akan memberi mereka pelatihan khusus tentang perburuan dan hal-hal lain yang dianggap layak untuk laki-laki dewasa (Duyvendak 1926: 95-104; Jensen 1948: 87-103).
Semua yang telah diinisiasi kedalam kakean, memiliki hak untuk menghadiri pertemuan Saniri 3 (batang) air, yang diadakan dengan interval beberapa tahun. Pertemuan itu selalu terjadi di atau dekat mulut (muara) salah satu dari tiga sungai yaitu Sapalewa, Tala dan Eti. Pemimpin tertinggi dari ketiga “distrik” disebut Inama, sebuah kata yang berasal dari kata Ina, ”Ibu”, dan Ama, ”Ayah”.  Dalam bahasa melayu, mereka disebut sebagai Kepala Saniri. Mereka tinggal di negeri-negeri pesisir tertentu. Di bawah kepala saniri, ada kapitan saniri, orang-orang yang membantu melaksanaka rapat dalam suatu pertemuan. Figur-figur ini biasanya berasal dari penghuni negeri-negeri pegunungan. Selanjutnya setiap distrik menyediakan ujong bendera dan pohon bendera, yang artinya “seseorang yang duduk di dekat puncak tiang bendera” dan “seseorang yang duduk di dasar tiang bendera”. “ Tiang Bendera” adalah 2 pohon besar yang ditempatkan di tanah dengan arah timur-barat di tempat pertemuan itu; siapapun yang ingin membahas masalah-masalah persengketaan, harus berdiri diantara pohon-pohon itu sambil menyampaikan kasusnya agar yang lain dapat mendengarkan (Duyvendak 1926: 83-90; Jensen 1948: 81-86).

Persentuhan-persentuhan Belanda dan Seram Barat sebelum tahun 1678. 
Pada tahun 1605, VOC mengambil alih benteng Portugis di pulau Ambon. Dari benteng yang bernama Victoria ini, kompeni secara bertahap menaklukan wilayah pesisir bagian barat kepulauan Seram dan Buru, yang kini disebut Maluku Tengah. Belanda menduduki wilayah ini dalam rangka untuk mengontrol produksi cengkeh, yang pada masa itu merupakan produk perdagangan yang sangat menguntungkan. Penguasaan ini sangat ditentang oleh sekelompok kecil penduduk pribumi, biasanya kaum muslim. Antara kira-kira tahun 1625 dan 1655, pihak kompeni mematahkan perlawanan oposisi kaum muslim dengan bantuan penduduk Ambon kristen, yang dulunya menjadi bagian sekutu dari Portugis (Knaap 1987a: 17-27).
Selama 73 tahun pertama kehadiran Belanda di daerah itu, sumber-sumber VOC tidak menyebut sepatah kata pun tentang Kakean atau Saniri. Informasi pertama tentang persentuhan antara Belanda dengan Alifuru Seram Barat, berasal dari kronik milik Rumhius, yang menyebut pada tahun 1621, ketika beberapa pemimpin negeri Alifuru, termasuk dari Sahulau dan Sumit, mengunjungi benteng Victoria untuk bertemu dengan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pietersz Coen4. Pada kesempatan itu, mereka bersumpah setia pada Belanda dan VOC. Dengan ini mereka terlibat dalam aliansi Belanda – Ambon kristen melawan kaum muslim Ambon. Sebagian besar Alifuru Seram Barat cenderung melihat kelompok patalima, yaitu musuh bebuyutan mereka, ada pada kaum muslim. Pada tahun 1630an, Belanda kadang-kadang memanfaatkan beberapa ratus kapitan dari Alifuru dalam operasi militer Belanda untuk menghadapi kaum muslim. Sementara Belanda dan sekutunya Ambon Kristen memblokade pemukiman muslim dari laut, atau sebagian besar menguasai wilayah lepas pantai, kelompok pemburu kepala (potong kepala) Alifuru akan beroperasi di wilayah hutan, dibelakang pemukiman, yang menciptakan ketakutan bahwa orang-orang muslim tidak berani pergi ke kebun-kebun mereka dan secara efektif menjadi terkepung. Mobilisasi para kapitan Alifuru, biasanya diorganisir melalui perantara 3 pemimpin dari Sahulau, Sumit dan Siseulu, yang disebut “raja” atau “raja-raja” oleh Belanda (Rumphius 1910: 46,86,98-99,121,137-138).
Namun demikian, ada diskusi dalam lingkaran kompeni tentang penggunaan dan keandalan Alifuru dalam operasi-operasi VOC. Meskipun, para pemimpin Siseulu, Sumit dan Sahulau telah berjanji untuk mengirim ribuan orang, dalam prakteknya mereka hanya mampu sesekali memasok beberapa ratus kapitan. Kadang-kadang, mereka bahkan gagal mengirim siapa pun. Komisioner Anthonie van den Heuvel5, yang mengunjungi Ambon pada tahun 1633, tidak terlalu menghargai nilai aliansi tersebut. Ia berbicara dengan Raja Sumit dan Raja Siseulu, yang menurutnya “ lebih seperti pengemis daripada bangsawan, bukan disebut raja”.  Orang Alifuru itu  “ tidak berdisiplin, liar dan biadab, kanibal yang tempat tinggalnya tidak pernah dilihat oleh siapapun dari orang-orang kami”.  Van den Heuvel percaya bahwa para pemimpin itu bahkan tidak tahu jumlah orang-orang mereka sendiri. Sebagai kapitan, Alifuru hanya berguna untuk bertempur dalam kelompok kecil di semak-semak dalam bentuk penyergapan musuh. Mereka tidak mampu berperang dalam perang berskala besar, atau menyerang benteng atau berperang di laut.  Setiap kali mereka mendengar tembakan senjata, mereka akan lari, seperti orang-orang “bodoh”. 2 tahun kemudian, pada sisi yang lain, pendapat berlawanan disampaikan oleh Komisioner Artus Gijsels6, yang berpendapat bahwa kegagalan para pemimpin Alifuru untuk mengirimkan bantuan, sebagian besar disebabkan oleh masalah koordinasi dalam hal pengangkutan orang-orang melintasi lautan, seperti halnya saling permusuhan diantara Alifuru sendiri. Gijsels telah menyaksikan beberapa contoh keberanian orang Alifuru dan menyarankan agar kebijakan terbaik untuk VOC agar terus mempertahankan dan menjaga hubungan baik dengan Alifuru, karena “walaupun mereka tidak mengabdi dan bekerja apapun pada kami”, VOC sebaiknya berhati-hati, kalau tidak “mereka akan menciptakan kerugian bagi kompeni” (Knaap 1987b: 97-100, 135-137).
Pada tahun 1640an dan 1650an, VOC berhasil menyelesaikan perangnya melawan kaum muslim Ambon. Alifuru tidak memainkan perang penting dalam operasi-operasi militer berskala besar. Hubungan antara otoritas kolonial dengan pihak Alifuru Seram Barat tetap dipertahankan, terutama karena VOC memandang negeri-negeri pesisir Seram sebagai wilayah kompeni yang perlu dilindungi dari aksi-aksi pengayauan (potong kepala). Setiap kali ada kasus potong kepala, VOC mencoba melakukan perjanjian perdamaian menggunakan para perantara, seringkali oleh para pemimpin Siseulu, Sumit dan Sahulau. Usaha ini tak pernah memiliki efek besar, karena pemimpin-pemimpin itu tidak memiliki cukup kekuatan untuk menegakan perjanjian dengan bantuan VOC. Jika negeri Alifuru menolak untuk tunduk, VOC akan mencoba menyelesaikan masalah melalui intervensi militer. Pada akhirnya, kadang-kadang diluncurkan serangan di pedalaman dengan bantuan kelompok milisi Ambon. Namun, karena fakta bahwa orang Ambon sering tidak tahu jalan-jalan mereka di wilayah pegunungan Seram, juga karena kelompok mereka terlampau besar untuk operasi di semak-semak, sehingga aksi ini biasanya tidak berhasil (Knaap 1987a: 20-27, 61-64). 

(Sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse)

Karena adanya dokumen-dokumen kolonial yang cukup mendasar,  untuk tingkatan administrasi dalam arsip-arsip VOC di Algemeen Rijksarchief di Den Haag, kami (penulis) memiliki kesempatan khusus untuk mempelajari hubungan-hubungan antara Alifuru di Seram Barat pada periode dari tahun 1666 hingga 1680. Dokumen-dokumen itu memberikan banyak informasi tentang semua jenis perang berskala kecil, jadi hal demikian terkadang sangat sulit untuk memastikan siapa berperang dengan siapa dan untuk alasan apa. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang kebingungan ini, saya sekarang akan memeriksa masalah-masalah “kedinastian” pada keluarga raja paling berpengaruh di Seram Barat, yaitu Sahulau. Sangatlah jelas dari masalah ini, bahwa pemerintah kolonial menghadapi banyak kesulitan saat terlibat dalam masalah Alifuru, seperti saat para penuntut mencoba menggunakan VOC untuk menguatkan posisi mereka saat berkonflik dengan pesaing mereka.
Pada tahun 1666, Raja Sahulau yang baru, Sauelette, cucu dari Tomale, sang legenda yang telah memulai hubungan persahabatan dengan VOC pada awal abad itu (abad 17), mengunjungi benteng Victoria untuk memperkenalkan dirinya kepada kompeni (VOC 1260: 12-7-1666). Namun posisinya tidaklah terlalu aman, karena pada tahun 1673, keponakannya yang bernama Ketowaru juga mengunjungi Victoria dan memberitahu Gubernur7, bahwa bukan Sauelette, tapi dialah, yang menjadi Raja Sahulau sebenarnya. Sauelette hanyalah semacam “putra mahkota” yang cuma memerintah sebagian negeri saja. Setengah tahun kemudian, Gubernur mengunjungi pesisir Seram, dan ia diberitahu bahwa Ketowaru merasa bersalah dan bahwa Sauelette adalah Raja yang sebenarnya (VOC 1293: 280v-282v; 1300: 66r). Dua tahun kemudian, Sauelette yang sama, menjelaskan kepada Belanda bahwa meskipun secara nominal (hanya namanya saja) ia memiliki banyak pengikut, ini tidak berarti bahwa ia dapat mengendalikan mereka. Terkadang ia mengakui, bahwa orang lain menganggap diri mereka sebagai “ Raja Sahulau” untuk menuntut upeti dan melakukan tindakan penyerangan. Sauelette mengakui bahwa ia dalam keadaan tak mampu untuk mencegah aktivitas pengayauan atau tindakan kekerasan lainnya (VOC 1317: 206r-213r).
2 tahun kemudian, ketika Sauelette meninggal, kekacauan di Sahulau mencapai level tertinggi. Delegasi dari Sahulau muncul di Victoria, di pimpin oleh putra dari Ketowaru yang saat itu telah almarhum, yang mengatakan kepada Gubernur bahwa saudara laki-laki Sauelette, yang bernama Tomole Pauta adalah penerus paling sah dan meminta VOC untuk mengesahkan jabatannya. Secara wajar, para pejabat VOC sedikit bingung dengan masalah ini – ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah, mereka diminta untuk mengesahkan seorang Raja Alifuru. Apa yang menjadi motif di balik langkah ini?. Diputuskan untuk menunda tindakan apapun sampai tersedia informasi yang lebih banyak. Sementara itu, seorang yang bernama Lelissa juga meminta pengesahannya sebagai Raja Sahulau. Ia mengklaim leluhurnya adalah Raja Sahulau, namun tidak berani datang ke VOC dan sebaliknya hanya mengirim “para diplomatnya” yang telah mengambil kesempatan untuk menampilkan diri mereka sebagai “Raja Sahulau” bagi Belanda dan karenanya mereka adalah perampas kekuasaan. Selanjutnya, di tahun itu, saat Gubernur mengunjungi pesisir Seram lagi, ia menegaskan bahwa Tomole Pauta sebagai Raja atas permintaan para pemimpin terkemuka dari Sahulau. Lelissa yang juga hadir pada kesempatan itu, menarik klaim sebelumnya ( VOC 1325: 85-86 res, 286, 329-330; 1334: 119r-v).
Sayangnya, hanya satu tahun kemudian Tomole Pauta meninggal dunia, dan seluruh prosedur mulai diulang kembali. Pertama, seorang bernama Aloko muncul di Victoria dan mengatakan bahwa ia telah terpilih sebagai Raja Sahulau. Namun, tak lama kemudian, pihak kompeni mengetahui dengan pasti bahwa Laye Siae, cucu dari Ketowaru, adalah pengganti yang sah. Yang mengherankan para pejabat kompeni, pihak penuntut pertama, Aloko kembali datang ke benteng dan “mendukung” Laye Siae sebagai pewaris klaim yang paling sah. Namun, ada berkembang rumor bahwa Laye Sorie, memiliki hak yang paling sah atas gelar itu dibandingkan Laye Siae, tetapi ia menolaknya menjadi Raja, maka Laye Sorie tetap disumpah dan diberikan pakaian kebesaran oleh VOC sebagai lambang pengesahannya. Pada akhirnya, pihak Belanda mengetahui bahwa mereka telah ditipu oleh Aloko. Ketika Laye Siae kembali ke Sahulau, ia menyerahkan lambang jabatan dari VOC ke Laye Sorie, yang nampaknya sama sekali tidak menolak posisi menjadi Raja Sahulau (VOC 1334: 62v res, 289v, 298r, 313v; 1344: 30-33).

 ==== bersambung ====

Catatan tambahan (dari kami) :

1.    Gerrit J. Knaap menulis namanya Robert Padtbrugge mengutip sumber dari MOG sang Gubernur sendiri. Sumber Valentyn menulis namanya Robbert Padbrugge. Sumber dari E.W.A Ludeking menulis namanya Robbertus Padbrugge. Sumber dari J.B.J. van Doren menulis namanya Robertus Padbrugge. Sumber dari Nieuw Nederlandsch Biographisch, menulis namanya Robertus Padtbrugge. Ia menjadi Gubernur van Ambon sejak Januari 1683 – Maret 1687, menggantikan Pejabat Gubernur, Jeremias van Vliet (Agustus 1682 – Januari 1683). Padtbrugge kemudian digantikan oleh Dirk de Haas (April 1687 – Mei 1691).

2.    Yang dimaksud oleh Gerrit J Knaap saat menulis 2 perwira Belanda adalah F.J.P. Sachse dan G. De Vries.  F.J.P. Sachse memiliki nama lengkap Frans Jonathan Pieter  Sachse, ia menjadi Civil Gezaghebber afdeling Wahaai (16 Juni 1901 – 2 Juni 1904), Civil Gezaghebber afdeling Seram Barat (2 Juni 1904 – 2 Maret 1905), Gezaghebber onderafdeling Seram Barat (6 Agustus 1915 – 2 Agustus 1916).

3.    Misalnya pada suku Nualu (dari kelompok Patalima), kebiasaan wanita muda yang mendapatkan menstruasi dan harus diisolasi di gubuk di hutan/di luar desanya, disebut Pinamou/Pinamo

4.  Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen datang ke Ambon dan tiba pada tanggal 14 Februari 1621. Ini merupakan kedatangan yang kedua. Kedatangan rombongan Raja-raja Alifuru untuk bertemu dengan Gub Jend pada tanggal 3 Juni 1621.

5.     Anthonie van den Heuvel tiba di Ambon pada tanggal 10 Maret 1633. Pada periode ini (1633), ia adalah komisaris untuk 3 gubernemen, Ambon, Ternate/Maluku dan Banda. Ia di Gubernemen Ambon hingga Juni 1633, kemudian menuju ke Ternate. Ia kemudian menjadi Gubernur van Ambon (8 Mei 1634 – 20 April 1635) menggantikan Gubernur sebelumnya Artus Gijsels (1631 – Mei 1634).

6.      Artus Gijsels menjadi Komisaris untuk 3 Gubernemen sejak tahun 1635.

7.      Pada periode ini (1673), yang menjadi Gubernur van Ambon adalah Anthonij Hurdt (April 1672 – Juni 1678)

1 komentar:

  1. Hormat bung 🙏

    Bt bisa minta referensi tentang Kerajaan Sahulau?🙏🙏🙏

    BalasHapus