Oleh: Gerrit J. Knaap
- Pengantar
Artikel
yang kami terjemahkan ini, adalah artikel yang ditulis oleh sejarahwan Gerrit J. Knaap dalam bahasa Inggris dengan judul The
Saniri Tiga Air (Seram): An account of its discovery and interpretation between
about 1675 and 1950. Artikel aslinya dimuat pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkekunde edisi 149,
tahun 1993, no 2, pada halaman 250 – 273. Artikel sepanjang 24 halaman ini
terdiri dari, 2 peta dan gambar/foto, 22 halaman kajian, dan 2 halaman
berisikan bibliografi/referensi. Pada artikel ini, Knaap tidak memberikan
catatan kaki, jadi kami memberikan catatan tambahan dengan tujuan untuk melengkapi
pemahaman lebih lanjut.
Pada
artikel ini, Knaap menginterpretasi arsip-arsip VOC dan menganalisa
tulisan-tulisan beberapa penulis awal abad 20 yang mengkaji soal “sejarah”
Kakehan dan Saniri 3 air di Seram Barat.
Kami
merasa perlu menerjemahkan artikel penting ini, agar bisa dibaca dalam bahasa
“ibu” sehingga lebih mudah dicerna oleh banyak orang. Apalagi dalam kajian ini,
Knaap menceritakan salah satu kepingan cerita berdasarkan arsip, soal saling
klaim tentang jabatan Raja, dalam hal ini pada kasus Raja Sahulau. Ternyata, Fenomena
saling klaim mengklaim tentang mata
rumah parentah di masa kini, pada tataran pencalonan
Raja di negeri-negeri Ambon-Lease, seolah-olah mendapat rujukannya pada sejarah
340an tahun lalu.
Perlu
juga dijelaskan, kami membagi artikel hasil terjemahan ini, menjadi 3 bagian,
sehingga tidak terlalu panjang, dan bisa dibaca dengan ringan. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa foto, agar artikel versi terjemahan ini lebih “berwarna”. Akhirnya,
selamat membaca dan selamat memahami “sejarah” yang membentuk kita di masa
sekarang.
- Terjemahan
Pada
bulan Maret tahun 1684, Robert Padtbrugge1, Gubernur Ambon, mengirim
suatu komisi yang beranggotakan 4 orang, - yaitu 2 orang Eropa dan 2 Raja
negeri Kristen - ke pesisir tenggara
pulau Seram untuk menginisiasi perdamaian dalam kasus konflik berdarah antara
negeri-negeri pesisir dan sekelompok “orang gunung”. Anggota komisi ditugaskan
antara lain, bahwa mereka harus melakukan penyelidikan tentang adat istiadat
dan keyakinan agama orang-orang gunung, yang disebut Alifuru, dengan suatu
pertimbangan untuk mencegah lebih jauh praktek pengayauan (potong kepala) oleh
orang Alifuru di wilayah negeri-negeri pesisir. Dalam beberapa minggu kemudian,
Komisi itu kembali dan menyampaikan laporan kepada Gubernur. Yang disampaikan oleh
Gubernur bahwa anggota-anggota komisi itu harus melakukan upaya terbaik untuk
memperoleh sesuatu tentang agama orang Alifuru, namun ternyata tidak berhasil :
para responden mereka menunjukan dengan jelas perbedaan pendapat yang nyaris
tidak memungkinkan untuk memperoleh kesimpulan yang berarti. Orang-orang itu
“terlalu berkhayal bahwa masing-masing negeri akan membutuhkan begitu banyak
kertas untuk mencatat semuanya” (VOC
1403: 21v-25v, 25-34v).
Bagi
sejarahwan atau antropolog abad 20 yang tertarik pada bidang ini, hal ini
merupakan kegagalan awal untuk mendapatkan informasi tentang agama dan masyarat
orang Seram, mungkin sangat mengecewakan. Siapa yang harus disalahkan dalam hal
ini? Mungkin para anggota komisioner bertanya pada informan yang salah. Mungkin
juga mereka sendiri, terkhususnya tidak tertarik dengan masalah itu. Atau
mungkin juga mereka tidak antusias (malas). Seluruh argumen itu dapat dikaji
secara terpisah. Observasi para komisioner bahwa mereka tidak dapat melaporkan
masalah tersebut, karena setiap negeri/desa akan membutuhkan banyak kertas,
merupakan hal yang benar juga, seperti yang terbukti sekitar 250 tahun kemudian, pada tahun
1930an, oleh 3 etnografer Jerman dalam ekspedisi Frobenius, yang melakukan
penyelidikan mendalam terhadap agama dan masyarakat Seram Barat. Di antara hasil-hasil
lainnya, mereka menghasilkan 450 halaman kompilasi 433 mite dan legenda yang
dikumpulkan dari sekitar 15 negeri/desa (Jensen
1939).
Kesan bagi pembaca mite dan legenda itu adalah satu dari sekian banyak variasi
lokal dalam tradisi lisan.
“Volume-volume
kertas itu” memang berupa tulisan tentang Seram, terutama Seram Barat, khususnya
dalam periode antara tahun 1910 dan 1950. Serial ini diawali beberapa tahun setelah
penaklukan “suku” terakhir oleh Belanda, dan diakhiri dengan penafsiran
analitis dari Jensen tentang hasil Ekspedisi Frobenius, suatu publikasi yang
tertunda karena pecahnya perang dunia kedua (Jensen 1948). Publikasi yang relevan pada periode
ini, adalah dari 2 perwira militer Belanda2 yang terlibat dalam aksi
penaklukan, administrasi dan survei wilayah yang baru diperoleh itu (Sachse 1907, 1922; De Vries 1927), kemudian
oleh anggota ekspedisi etnologi asal Jerman seperti Espedisi Freiburg dari tahun
1911-1912 (Tauren 1919; Stresemann
1918,1923), dan Ekspedisi Frobenius yang disebutkan di atas pada
tahun 1937-1938 (Jensen 1939, 1948). Sementara
para perwira Belanda, hanya membatasi diri mereka terutama pada uraian
deskripsi tentang wilayah dan penduduknya, etnografer Jerman diinspirasi oleh
skema yang lebih besar yang mungkin menyoroti semacam evolusi umat manusia
dalam tahap primitifnya. Satu-satunya studi analitik penting dilakukan oleh
seorang etnografer asal Belanda yaitu oleh Duyvendak (Duyvendak 1926). Namun studi ini didasarkan
sepenuhnya pada sumber-sumber yang diterbitkan. Setelah Magnum Opus-nya Jensen, ada jeda dalam minat
ilmiah di daerah yang kurang lebih bertepatan dengan periode baru kekacauan di
pegunungan Seram, yang kali ini disebabkan oleh gerilyawan RMS (Republik Maluku
Selatan).
Masyarakat
tradisional Seram Barat memiliki beberapa fitur menarik, yang menarik minat
khususnya bagi para etnografer. Orang-orang gunung atau Alifuru, bukan hanya
perwakilan dari masyarakat primitif yang terdiri dari pemburu dan petani-petani
berpindah, tetapi juga pemburu kepala (pemotong kepala). Pengayauan (Potong Kepala) telah menjadi fenomena luas, dan
memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan orang Alifuru
sejak jaman dahulu. Selain itu, masyarakat Alifuru penuh dengan fenomena-fenomena
“misterius” seperti pondok/gubuk (walang) menstruasi,
upacara penyimpanan gigi, dan bentuk-bentuk penyunatan pra islam. Namun “piece
de resistance”-nya (sesuatu yang sangat “unik”) adalah persaudaraan rahasia, yang disebut Kakean (Kakehang). Berhubungan dengan persaudaraan
rahasia ini, adalah sebuah institusi yang jelas dimaksudkan sebagai
“penyeimbang” dalam keadaan peperangan yang terjadi di pulau itu akibat
perburuan kepala (potong kepala). Institusi
ini adalah “Saniri Waele Telu” seperti yang disebutkan dalam bahasa lokal, atau
“Saniri 3 (batang) air” dalam bahasa melayu. Secara literal dapat terjemahkan
sebagai “Dewan 3 Sungai”.
Saat para
etnografer mulai tertarik dengan fenomena ini, baik kakean maupun saniri 3 (batang) air, telah menjadi
“sejarah”. Lembaga-lembaga ini sedang “sekarat” karena “takluk” pada pemerintahan
kolonial dan seiring berjalannya perubahan yang sangat besar dari masyarakat. Oleh
karena itu, kajian abad ke-20 tentang fenomena-fenomena ini sebagian besar
bersifat “akademis” dan “interpretatif”. Selama 3 abad sebelumnya – dari awal
abad 17 hingga awal abad 20 – catatan-catatan tentang Seram Barat sering kali
menjadi bagian dari perdebatan tentang “politis” dan “administratif”.
Artikel ini
merupakan usaha untuk merekonstruksi sejarah “penemuan” dan eksploitasi politik
Saniri 3 (batang) air oleh otoritas kolonial. Rekonstruksi ini sama sekali tidak lengkap.
Jauh lebih banyak informasi-informasi penting, yang masih tersembunyi dalam
arsip-arsip, khususnya yang berkaitan dengan periode abad ke-19. Selain itu,
perhatian akan diberikan kepada pandangan para penulis utama yang menulis
tentang masalah ini dalam tahap intepretatif abad 20 yang disebutkan di atas. Pandangan-pandangan
itu akan ditinjau sehubungan dengan bukti dari abad-abad sebelumnya. Namun,
disini pembaca sebaiknya tidak mengharapkan jawaban yang pasti, yang
menjelaskan asal mula fenomena tersebut. Untuk bukti itu, tidak ada fakta jelas
yang mendukung solusi akhir perdebatan. Saya (penulis) akan memulai dengan
beberapa informasi umum untuk memperkenalkan Seram Barat dan penduduknya.
Seram
Barat : Populasi dan Masyarakat
Seram
Barat hanya dihuni oleh 2 kelompok etnis : Wemale di bagian selatan dan timur
wilayah itu, serta Alune yang juga disebut Makahala di bagian barat. Kedua
kelompok etnis ini memiliki bahasa mereka sendiri dan memiliki beberapa fitur
budaya yang berbeda. Menurut tradisi lokal, Wemale mendapatkan nama mereka menurut
asal mereka dari wilayah “Wai” atau “Sungai” Mala di bagian tenggara Seram
Barat. Nama Alune, di sisi lain disebutkan
berasal dari sebuah kata untuk “korset” yang
biasa dipakai oleh para wanita dari kelompok etnis ini, terbuat dari sepotong
kain yang ditenun sendiri oleh para wanita itu. Para wanita suku Wemale, yang
tidak tahu cara menenun, mengenakan sepotong kulit pohon yang ditumbuk sebagai
penggantinya. Nama lain Alune, yaitu
Makahala berarti “pemakan beras/nasi”, dengan demikian menunjukan fakta bahwa
orang-orang ini tahu cara menanam padi, sedangkan Wemale diduga tidak tahu
caranya. Suku Wemale menganut prinsip matrilineal, sedangkan suku Alune menganut
prinsip patrilineal. Pernikahan antara suku Wemale dan Alune dilarang/tidak
diizinkan. Wanita-wanita suku Wemale diharuskan mengisolasi diri di gubuk
khusus di luar desa mereka selama menstruasi3, sedangkan wanita suku
Alune bisa tetap tinggal di rumah mereka sendiri (De Vries 1927:9,281; Jensen 1948: 19-21).
|
Alifuru Warasiwa (sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse) |
Pembagian
populasi Seram Barat kedalam suku Alune dan Wemale tidak memiliki signifikansi
politis yang substansial. Tidak ada kelompok yang memiliki institusi terpusat
yang bisa menjadikan mereka bersatu. Alih-alih, negeri-negeri yang merupakan
percampuran klan yang terorganisir secara longgar, menjadi titik fokus bagi
kesetiaan politis. Namun demikian,
negeri-negeri ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan
lokasi, perkembangan sosial ekonomi, dan orientasi sosial keagamaan.
Pertama,
ada perbedaan antara negeri-negeri pesisir dan negeri-negeri pegunungan. Negeri-negeri
pesisir dihuni oleh orang-orang yang awalnya berasal dari pedalaman di
pegunungan dan telah pindah ke wilayah pesisir sebelum kedatangan orang Eropa (De Vries 1927: 11-14; Jensen 1948: 23-26).
Di pesisir lingkungan baru mereka, sebagian dari mereka meninggalkan aktivitas
ekonomi tradisional Alifuru yaitu berburu dan bertani menjadi lebih
berorientasi pada perikanan dan perdagangan. Mereka menikah dengan para
pendatang (kaum migran) dari tempat-tempat yang jauh seperti Sulawesi dan
Maluku Utara. Pada abad ke-17, mereka juga melakukan kontak lebih awal dengan
penjajah Eropa, yang mana pesisir selatan Seram lebih kurang berada di bawah
kekuasaan Belanda sekitar tahun 1650. Hingga abad ke-19, ketika wilayah-wilayah
di pantai utara juga dimasukan kedalam kekuasaan negara kolonial melalui cara
yang lebih substansial, negeri-negeri di wilayah ini hanya dianggap namanya
saja oleh pemerintahan Belanda. Ketika kontak dengan dunia orang-orang bukan
Seram meningkat, populasi penduduk di pesisir mulai memeluk agama-agama dunia
seperti Islam dan Kristen. Akan tetapi, proses islamisasi dan kristenisasi
merupakan proses yang lambat dan bertahap, sehingga memungkinkan adanya
berbagai macam sinkretisme antara agama-agama lama dan baru (Manuhuttu 1985: 268-269; Knaap 1987a: 79,
90-91).
Perbedaan
lain yang memberikan semacam identitas politis pada masyarakat Seram Barat
adalah pembagian kedalam “Patalima” dan “Patasiwa” atau “kelompok lima” dan
“kelompok sembilan”. Perbedaan jenis ini dapat ditemui pada masyarakat
kepulauan, hampir di semua tempat di wilayah bagian timur Indonesia. Menurut
tradisi lisan suku Wemale, asal mula pembagian ini di Seram ada pada masa
mitologis dan dikaitkan dengan penciptaan tatanan dunia saat ini (Jensen 1939: 59-68; Van Fraasen 1987 II:
460-512). Pada waktu yang lebih baru, pembagian kedalam Patasiwa dan Patalima berfungsi sebagai paradigma pemikiran tradisional tentang
relasi-relasi sosial dan politik. Dalam bentuknya yang paling sederhana, ide
ini membayangkan dunia yang dibagi menjadi 2 kutub yang saling berlawanan. Hal
ini menyebabkan masing-masing kelompok pada gilirannya memandang dirinya
sebagai musuh utama kelompok lain. Hampir seluruh populasi Seram Barat termasuk
dalam kelompok Patasiwa yang
menganggap diri mereka dalam keadaan perang terus menerus dengan kelompok Patalima di Seram Tengah. Meskipun
demikian, gagasan menjadi bagian dari Patasiwa tidak memberikan rasa
solidaritas yang mendalam pada masyarakat Seram Barat. Mungkin benar bahwa
negeri-negeri di daerah yang dekat dengan wilayah Patalima, secara teratur berkoordinasi di antara mereka sendiri
untuk melawan musuh, tetapi sangat jelas berdasarkan sumber-sumber, sebagian
besar penduduk Patasiwa di Seram Barat, tewas dalam pertempuran dengan negeri-negeri
Patasiwa lainnya.
|
Kapitan Alifuru |
Dengan
negeri/desa yang berfungsi sebagai unit politik yang paling penting, situasi
politik di Seram Barat menunjukan banyak partikularisme. Konflik atas wilayah
dan/atau permusuhan personal antara pemimpin negeri/desa atau orang-orang
penting lainnya, dapat dengan mudah mengakibatkan perang berskala kecil. Pemimpin
negeri/desa, biasanya pemimpin klan utama di pemukiman, yang perannya dalam
lembaga negeri/desa (saniri) hanya salah satu dari “primus inter pares”, biasanya sering “berkonflik” dengan pihak
oposisi dari dalam. Terkadang seluruh klan akan meninggalkan negeri/desa
setelah perselisihan internal. Perang skala kecil bahkan semakin mengakar di
masyarakat alifuru sebagai akibat dari perburuan kepala (pengayauan/potong
kepala). Setiap kali bangunan seremonial baru didirikan atau ritual keagamaan dilakukan untuk mempersembahkan kepala
manusia, para lelaki dikirim untuk mendapatkan kepala baru. Namun demikian,
juga muncul bahwa negeri-negeri secara sendiri-sendiri membentuk asosiasi satu
sama lain. Bahkan federasi negeri-negeri yang terbentuk itu, mengakui penguasa
dari seorang pemimpin negeri/desa yang kuat dan keluarganya. Pada abad ke-17,
misalnya pusat-pusat kekuasaan lokal semacam itu dapat ditemui di Sahulau dan
Sumit di bagian selatan, serta Siseulu di bagian utara. Para “penguasa” hanya
bisa menggunakan “kekuasaan” sejauh negeri-negeri dalam “wilayah” mereka yang
bersedia bekerja sama. Jika kebijakan mereka tidak sama dengan kebijakan
masing-masing negeri, kesetiaan negeri itu akan segera hilang. Perlu juga
disampaikan bahwa “penguasa” dapat sangat memperkuat posisinya dengan
mendapatkan prestise dalam perang atau menunjukan ketrampilan dalam
berdiplomasi (Manuhuttu 1985: 272; Knaap
1987a: 61,73).
Selain
dari beberapa karakteristik umum yang sama, agama Alifuru yang sebagian besar
animistis dan politeistis menampilkan banyak variasi lokal. “Dewa” yang paling penting dalam agama
orang-orang Seram Barat adalah Tuwale, suatu
personifikasi dari Matahari. Setelah itu, ada bulan, langit dan bumi serta
beberapa bintang. Namun, para dewa itu tidak memainkan peran penting dalam
kehidupan keagamaan sehari-hari. Yang jauh lebih penting adalah dewi-dewi kematian,
Mulua Satene, dan ular pemakan
manusia, Nitu Elake. Selain itu, ada
sekelompok besar “roh-roh” lokal, baik yang jahat yang membawa penyakit dan
bencana lain, maupun yang baik, seringkali jiwa-jiwa para leluhur yang telah
meninggal, yang melindungi jiwa-jiwa yang masih hidup selama jiwa-jiwa itu
mengamati kebiasaan-kebiasaan tradisional yang dilakukan dengan cara yang benar
(Jensen 1948: 192-193, 232-240).
Figur
ular Nitu Elake dianggap sebagai
figur sentral dalam Kakean yang disebutkan di atas, ritual-ritual yang
dilakukan dengan tingkat kerahasiaan tertentu, secara eksklusif oleh populasi
laki-laki – maka asosiasi itu dalam literatur disebut “persaudaraan rahasia”.
Orang-orang yang telah diiniasi kedalam komunitas Kakean ditandai dengan jenis
tato khusus dalam bentuk salib hitam di dada mereka. Karena tato ini, kaum
kakean sering disebut “Patasiwa Hitam” sebagai
pembeda dari “Patasiwa Putih” yang
tidak memiliki tanda seperti itu. Mayoritas populasi laki-laki Seram Barat
adalah Patasiwa Hitam yang menjadi
bagian dari kakean. Konsekuensi dari kejadian ini adalah bahwa secara berkala, tingkat
persatuan tertentu dibawa ke panggung politik. Karena setiap kali pemimpin
kakean menganggap perlu, mereka memanggil semua anggota kakean dari seluruh
Seram Barat untuk bertemu di tempat tertentu untuk membahas masalah penting.
Lembaga ini bernama Saniri 3 (batang)
air, yang menyatukan anggota kakean
dari daerah sungai Tala, Sapalewa dan Eti, serta lembaga ini biasanya membahas
hal-hal yang menyangkut keseluruhan anggota. Seperti berfungsi juga sebagai
lembaga perdamaian di antara para anggota yang bertikai.
Inisiasi
anggota-anggota kakean dilakukan pada interval beberapa tahun, setiap kali ada
sekelompok anak laki yang cukup besar mencapai usia remaja (puber). Seorang
dukun senior berstatus paling tinggi, mirip seperti “pendeta”, atau disebut Mauwen Besar memutuskan kapan tepatnya
ritual itu akan berlangsung. Untuk keperluan ritual, laki-laki dewasa dari
kelompok negeri/desa tertentu kemudian akan membangun sebuah hunian, yang
disebut rumah tutue, di semak-semak
di luar desa. Ketika semua sudah siap, anak-anak lelaki itu akan memasuki rumah tutue ditengah-tengah suara
berisik yang menakutkan semua orang yang mendengarnya. Selama masa tinggal
mereka di rumah tutue, anak lelaki
itu dilarang keras untuk tidak mengungkapkan apapun tentang ritual kepada orang
luar. Sementara itu Mauwen atau
“dukun” akan menyampaikan kepada para wanita bahwa anak laki-laki telah dibunuh
oleh Nitu Elake, serta menunjukan pada
mereka pisau dan tombak berdarah sebagai bukti. Beberapa hari kemudian, Mauwen Besar akan menjelaskan kepada
para wanita, bahwa ia telah berhasil membujuk Nitu Elake, untuk mengembalikan anak-anak lelaki agar hidup
kembali. Setelah beberapa hari kemudian, anak-anak lelaki itu sendiri akan
kembali ke desa mereka. Mereka sekarang memakai tato yang merupakan tanda
keanggotaan kakean. Namun setelah mereka kembali, mereka akan berperilaku tidak
biasa, menganggap diri mereka tidak tahu cara makan, cara berbicara dan
sebagainya. Dengan cara ini, mereka
menunjukan bahwa mereka baru saja melalui cobaan yang mengerikan dan telah
“dilahirkan kembali” ke “kehidupan” lain dan komunitas lain yaitu menjadi
laki-laki dewasa. Anak-anak lelaki itu
kemudian akan dibawa ke luar desa mereka selama beberapa bulan, dimana selama
periode itu para anggota masyarakat yang lebih tua akan memberi mereka
pelatihan khusus tentang perburuan dan hal-hal lain yang dianggap layak untuk laki-laki
dewasa (Duyvendak 1926: 95-104; Jensen
1948: 87-103).
Semua
yang telah diinisiasi kedalam kakean, memiliki hak untuk menghadiri pertemuan
Saniri 3 (batang) air, yang diadakan dengan interval beberapa tahun. Pertemuan
itu selalu terjadi di atau dekat mulut (muara) salah satu dari tiga sungai
yaitu Sapalewa, Tala dan Eti. Pemimpin tertinggi dari ketiga “distrik” disebut Inama, sebuah kata yang berasal dari
kata Ina, ”Ibu”, dan Ama, ”Ayah”. Dalam bahasa melayu, mereka disebut sebagai Kepala Saniri. Mereka tinggal di
negeri-negeri pesisir tertentu. Di bawah kepala
saniri, ada kapitan saniri,
orang-orang yang membantu melaksanaka rapat dalam suatu pertemuan. Figur-figur
ini biasanya berasal dari penghuni negeri-negeri pegunungan. Selanjutnya
setiap distrik menyediakan ujong bendera dan
pohon bendera, yang artinya “seseorang yang duduk di dekat puncak tiang bendera” dan “seseorang yang duduk
di dasar tiang bendera”. “ Tiang Bendera” adalah 2 pohon besar yang ditempatkan
di tanah dengan arah timur-barat di tempat pertemuan itu; siapapun yang ingin
membahas masalah-masalah persengketaan, harus berdiri diantara pohon-pohon itu
sambil menyampaikan kasusnya agar yang lain dapat mendengarkan (Duyvendak 1926: 83-90; Jensen 1948: 81-86).
Persentuhan-persentuhan Belanda dan Seram Barat sebelum tahun 1678.
Pada
tahun 1605, VOC mengambil alih benteng Portugis di pulau Ambon. Dari benteng
yang bernama Victoria ini, kompeni secara bertahap menaklukan wilayah pesisir bagian
barat kepulauan Seram dan Buru, yang kini disebut Maluku Tengah. Belanda
menduduki wilayah ini dalam rangka untuk mengontrol produksi cengkeh, yang pada
masa itu merupakan produk perdagangan yang sangat menguntungkan. Penguasaan ini
sangat ditentang oleh sekelompok kecil penduduk pribumi, biasanya kaum muslim.
Antara kira-kira tahun 1625 dan 1655, pihak kompeni mematahkan perlawanan
oposisi kaum muslim dengan bantuan penduduk Ambon kristen, yang dulunya menjadi
bagian sekutu dari Portugis (Knaap 1987a:
17-27).
Selama
73 tahun pertama kehadiran Belanda di daerah itu, sumber-sumber VOC tidak
menyebut sepatah kata pun tentang Kakean atau Saniri. Informasi pertama tentang
persentuhan antara Belanda dengan Alifuru Seram Barat, berasal dari kronik
milik Rumhius, yang menyebut pada tahun 1621, ketika beberapa pemimpin negeri Alifuru,
termasuk dari Sahulau dan Sumit, mengunjungi benteng Victoria untuk bertemu
dengan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pietersz Coen4. Pada kesempatan
itu, mereka bersumpah setia pada Belanda dan VOC. Dengan ini mereka terlibat
dalam aliansi Belanda – Ambon kristen melawan kaum muslim Ambon. Sebagian besar
Alifuru Seram Barat cenderung melihat kelompok patalima, yaitu musuh bebuyutan mereka, ada pada kaum muslim. Pada
tahun 1630an, Belanda kadang-kadang memanfaatkan beberapa ratus kapitan dari Alifuru dalam operasi
militer Belanda untuk menghadapi kaum muslim. Sementara Belanda dan sekutunya
Ambon Kristen memblokade pemukiman muslim dari laut, atau sebagian besar
menguasai wilayah lepas pantai, kelompok pemburu kepala (potong kepala) Alifuru
akan beroperasi di wilayah hutan, dibelakang pemukiman, yang menciptakan
ketakutan bahwa orang-orang muslim tidak berani pergi ke kebun-kebun mereka dan
secara efektif menjadi terkepung. Mobilisasi para kapitan Alifuru, biasanya diorganisir melalui perantara 3 pemimpin
dari Sahulau, Sumit dan Siseulu, yang disebut “raja” atau “raja-raja” oleh
Belanda (Rumphius 1910:
46,86,98-99,121,137-138).
Namun
demikian, ada diskusi dalam lingkaran kompeni tentang penggunaan dan keandalan
Alifuru dalam operasi-operasi VOC. Meskipun, para pemimpin Siseulu, Sumit dan Sahulau
telah berjanji untuk mengirim ribuan orang, dalam prakteknya mereka hanya mampu
sesekali memasok beberapa ratus kapitan. Kadang-kadang,
mereka bahkan gagal mengirim siapa pun. Komisioner Anthonie van den Heuvel5,
yang mengunjungi Ambon pada tahun 1633, tidak terlalu menghargai nilai aliansi
tersebut. Ia berbicara dengan Raja Sumit dan Raja Siseulu, yang menurutnya “
lebih seperti pengemis daripada bangsawan, bukan disebut raja”. Orang Alifuru itu “ tidak berdisiplin, liar dan biadab, kanibal
yang tempat tinggalnya tidak pernah dilihat oleh siapapun dari orang-orang
kami”. Van den Heuvel percaya bahwa para
pemimpin itu bahkan tidak tahu jumlah orang-orang mereka sendiri. Sebagai kapitan, Alifuru hanya berguna untuk
bertempur dalam kelompok kecil di semak-semak dalam bentuk penyergapan musuh.
Mereka tidak mampu berperang dalam perang berskala besar, atau menyerang
benteng atau berperang di laut. Setiap
kali mereka mendengar tembakan senjata, mereka akan lari, seperti orang-orang
“bodoh”. 2 tahun kemudian, pada sisi yang lain, pendapat berlawanan disampaikan
oleh Komisioner Artus Gijsels6, yang berpendapat bahwa kegagalan
para pemimpin Alifuru untuk mengirimkan bantuan, sebagian besar disebabkan oleh
masalah koordinasi dalam hal pengangkutan orang-orang melintasi lautan, seperti
halnya saling permusuhan diantara Alifuru sendiri. Gijsels telah menyaksikan
beberapa contoh keberanian orang Alifuru dan menyarankan agar kebijakan terbaik
untuk VOC agar terus mempertahankan dan menjaga hubungan baik dengan Alifuru,
karena “walaupun mereka tidak mengabdi dan bekerja apapun pada kami”, VOC
sebaiknya berhati-hati, kalau tidak “mereka akan menciptakan kerugian bagi kompeni” (Knaap 1987b: 97-100, 135-137).
Pada
tahun 1640an dan 1650an, VOC berhasil menyelesaikan perangnya melawan kaum
muslim Ambon. Alifuru tidak memainkan perang penting dalam operasi-operasi militer
berskala besar. Hubungan antara otoritas kolonial dengan pihak Alifuru Seram
Barat tetap dipertahankan, terutama karena VOC memandang negeri-negeri pesisir
Seram sebagai wilayah kompeni yang perlu dilindungi dari aksi-aksi pengayauan
(potong kepala). Setiap kali ada kasus potong
kepala, VOC mencoba melakukan perjanjian perdamaian menggunakan para
perantara, seringkali oleh para pemimpin Siseulu, Sumit dan Sahulau. Usaha ini
tak pernah memiliki efek besar, karena pemimpin-pemimpin itu tidak memiliki
cukup kekuatan untuk menegakan perjanjian dengan bantuan VOC. Jika negeri
Alifuru menolak untuk tunduk, VOC akan mencoba menyelesaikan masalah melalui
intervensi militer. Pada akhirnya, kadang-kadang diluncurkan serangan di
pedalaman dengan bantuan kelompok milisi Ambon. Namun, karena fakta bahwa orang
Ambon sering tidak tahu jalan-jalan mereka di wilayah pegunungan Seram, juga
karena kelompok mereka terlampau besar untuk operasi di semak-semak, sehingga
aksi ini biasanya tidak berhasil (Knaap
1987a: 20-27, 61-64).
|
(Sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse) |
Karena
adanya dokumen-dokumen kolonial yang cukup mendasar, untuk tingkatan administrasi dalam arsip-arsip
VOC di Algemeen Rijksarchief di Den Haag, kami (penulis) memiliki kesempatan
khusus untuk mempelajari hubungan-hubungan antara Alifuru di Seram Barat pada
periode dari tahun 1666 hingga 1680. Dokumen-dokumen itu memberikan banyak
informasi tentang semua jenis perang berskala kecil, jadi hal demikian terkadang
sangat sulit untuk memastikan siapa berperang dengan siapa dan untuk alasan
apa. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang kebingungan ini, saya sekarang
akan memeriksa masalah-masalah “kedinastian” pada keluarga raja paling
berpengaruh di Seram Barat, yaitu Sahulau. Sangatlah jelas dari masalah ini,
bahwa pemerintah kolonial menghadapi banyak kesulitan saat terlibat dalam
masalah Alifuru, seperti saat para penuntut mencoba menggunakan VOC untuk
menguatkan posisi mereka saat berkonflik dengan pesaing mereka.
Pada
tahun 1666, Raja Sahulau yang baru, Sauelette, cucu dari Tomale, sang legenda
yang telah memulai hubungan persahabatan dengan VOC pada awal abad itu (abad
17), mengunjungi benteng Victoria untuk memperkenalkan dirinya kepada kompeni
(VOC 1260: 12-7-1666). Namun posisinya tidaklah terlalu aman, karena pada tahun
1673, keponakannya yang bernama Ketowaru juga mengunjungi Victoria dan
memberitahu Gubernur7, bahwa bukan Sauelette, tapi dialah, yang
menjadi Raja Sahulau sebenarnya. Sauelette hanyalah semacam “putra mahkota”
yang cuma memerintah sebagian negeri saja. Setengah tahun kemudian, Gubernur
mengunjungi pesisir Seram, dan ia diberitahu bahwa Ketowaru merasa bersalah dan
bahwa Sauelette adalah Raja yang sebenarnya (VOC 1293: 280v-282v; 1300: 66r). Dua tahun kemudian, Sauelette yang
sama, menjelaskan kepada Belanda bahwa meskipun secara nominal (hanya namanya
saja) ia memiliki banyak pengikut, ini tidak berarti bahwa ia dapat
mengendalikan mereka. Terkadang ia mengakui, bahwa orang lain menganggap diri
mereka sebagai “ Raja Sahulau” untuk menuntut upeti dan melakukan tindakan
penyerangan. Sauelette mengakui bahwa ia dalam keadaan tak mampu untuk mencegah
aktivitas pengayauan atau tindakan kekerasan lainnya (VOC 1317: 206r-213r).
2
tahun kemudian, ketika Sauelette meninggal, kekacauan di Sahulau mencapai level
tertinggi. Delegasi dari Sahulau muncul di Victoria, di pimpin oleh putra dari
Ketowaru yang saat itu telah almarhum, yang mengatakan kepada Gubernur bahwa saudara
laki-laki Sauelette, yang bernama Tomole Pauta adalah penerus paling sah dan
meminta VOC untuk mengesahkan jabatannya. Secara wajar, para pejabat VOC
sedikit bingung dengan masalah ini – ini merupakan pertama kalinya dalam
sejarah, mereka diminta untuk mengesahkan seorang Raja Alifuru. Apa yang
menjadi motif di balik langkah ini?. Diputuskan untuk menunda tindakan apapun
sampai tersedia informasi yang lebih banyak. Sementara itu, seorang yang
bernama Lelissa juga meminta pengesahannya sebagai Raja Sahulau. Ia mengklaim
leluhurnya adalah Raja Sahulau, namun tidak berani datang ke VOC dan sebaliknya
hanya mengirim “para diplomatnya” yang telah mengambil kesempatan untuk
menampilkan diri mereka sebagai “Raja Sahulau” bagi Belanda dan karenanya
mereka adalah perampas kekuasaan. Selanjutnya, di tahun itu, saat Gubernur
mengunjungi pesisir Seram lagi, ia menegaskan bahwa Tomole Pauta sebagai Raja
atas permintaan para pemimpin terkemuka dari Sahulau. Lelissa yang juga hadir
pada kesempatan itu, menarik klaim sebelumnya ( VOC 1325: 85-86 res, 286, 329-330; 1334: 119r-v).
Sayangnya,
hanya satu tahun kemudian Tomole Pauta meninggal dunia, dan seluruh prosedur
mulai diulang kembali. Pertama, seorang bernama Aloko muncul di Victoria dan
mengatakan bahwa ia telah terpilih sebagai Raja Sahulau. Namun, tak lama
kemudian, pihak kompeni mengetahui dengan pasti bahwa Laye Siae, cucu dari
Ketowaru, adalah pengganti yang sah. Yang mengherankan para pejabat kompeni,
pihak penuntut pertama, Aloko kembali datang ke benteng dan “mendukung” Laye
Siae sebagai pewaris klaim yang paling sah. Namun, ada berkembang rumor bahwa Laye
Sorie, memiliki hak yang paling sah atas gelar itu dibandingkan Laye Siae,
tetapi ia menolaknya menjadi Raja, maka Laye Sorie tetap disumpah dan diberikan
pakaian kebesaran oleh VOC sebagai lambang pengesahannya. Pada akhirnya, pihak Belanda
mengetahui bahwa mereka telah ditipu oleh Aloko. Ketika Laye Siae kembali ke
Sahulau, ia menyerahkan lambang jabatan dari VOC ke Laye Sorie, yang nampaknya
sama sekali tidak menolak posisi menjadi Raja Sahulau (VOC 1334: 62v res, 289v, 298r, 313v; 1344: 30-33).
==== bersambung ====
Catatan tambahan (dari kami)
:
1. Gerrit J. Knaap menulis namanya
Robert Padtbrugge mengutip sumber dari MOG sang Gubernur sendiri. Sumber
Valentyn menulis namanya Robbert Padbrugge. Sumber dari E.W.A Ludeking menulis
namanya Robbertus Padbrugge. Sumber dari J.B.J. van Doren menulis namanya Robertus
Padbrugge. Sumber dari Nieuw Nederlandsch Biographisch, menulis namanya
Robertus Padtbrugge. Ia menjadi Gubernur van Ambon sejak Januari 1683 – Maret
1687, menggantikan Pejabat Gubernur, Jeremias van Vliet (Agustus 1682 – Januari
1683). Padtbrugge kemudian digantikan oleh Dirk de Haas (April 1687 – Mei
1691).
2. Yang dimaksud oleh Gerrit J
Knaap saat menulis 2 perwira Belanda adalah F.J.P. Sachse dan G. De
Vries. F.J.P. Sachse memiliki nama lengkap Frans Jonathan
Pieter Sachse, ia menjadi Civil Gezaghebber afdeling Wahaai (16 Juni
1901 – 2 Juni 1904), Civil Gezaghebber afdeling Seram Barat (2 Juni 1904 – 2
Maret 1905), Gezaghebber onderafdeling Seram Barat (6 Agustus 1915 – 2 Agustus
1916).
3. Misalnya pada suku Nualu
(dari kelompok Patalima), kebiasaan wanita muda yang mendapatkan menstruasi dan
harus diisolasi di gubuk di hutan/di luar desanya, disebut Pinamou/Pinamo
4. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen datang
ke Ambon dan tiba pada tanggal 14 Februari 1621. Ini merupakan kedatangan yang
kedua. Kedatangan rombongan Raja-raja Alifuru untuk bertemu dengan Gub Jend
pada tanggal 3 Juni 1621.
5. Anthonie van den Heuvel tiba
di Ambon pada tanggal 10 Maret 1633. Pada periode ini (1633), ia adalah
komisaris untuk 3 gubernemen, Ambon, Ternate/Maluku dan Banda. Ia di Gubernemen
Ambon hingga Juni 1633, kemudian menuju ke Ternate. Ia kemudian menjadi Gubernur
van Ambon (8 Mei 1634 – 20 April 1635) menggantikan Gubernur sebelumnya Artus
Gijsels (1631 – Mei 1634).
6. Artus Gijsels menjadi
Komisaris untuk 3 Gubernemen sejak tahun 1635.
7. Pada periode ini (1673),
yang menjadi Gubernur van Ambon adalah Anthonij Hurdt (April 1672 – Juni 1678)
Hormat bung 🙏
BalasHapusBt bisa minta referensi tentang Kerajaan Sahulau?🙏🙏🙏