Oleh Gerrit. J. Knaap
(sumber foto/gambar dari F.J.P. Sachse) |
Catatan
pertama tentang Saniri 3 (batang) Air
Pada tanggal
20 Februari 1678, Abraham Ririj, Raja Negeri Kristen Kaibobo, Akiasan, Raja
Negeri Muslim Nuniali dan Ianuru, Raja negeri “kafir” Tanunu, berkunjung ke
benteng Victoria untuk meminta Gubernur1 dan Dewan Politik
memberikan izin untuk mengadakan rapat atau pertemuan “saniri’ yang akan
dihadiri oleh lebih dari 40 negeri/desa dari Seram Barat di muara sungai Eti,
untuk membahas urusan-urusan penting di daerah itu. Anggota Dewan Politik yang
bernama George Everhard Rumphius2, dan Sekretaris Dewan yang bernama
Isaac van Thije3, diperintahkan untuk menyelidiki masalah ini, dan 4
hari kemudian mereka menyampaikan laporan. Menurut 3 Raja, yang tetap tinggal
di Ambon sambil menunggu keputusan Dewan itu, bahwa Saniri adalah “ suatu
konfederasi beberapa negeri, yang tunduk pada perjanjian sejak zaman dahulu,
untuk menjaga perdamaian dan ketertiban di pantai Seram”. Saniri itu terdiri
dari 3 “distrik” atau patan, dekat sungai
Tala, Sapalewa dan Eti, yang mana Abraham Ririj, Akiasan dan
Ianuru masing-masing merupakan pemimpinnya. Di bawah mereka ada Kapitan Saniri, yang bertanggung
jawab mengadakan rapat saat pertemuan itu berlangsung. Kapitan Saniri untuk Patan Tala adalah Kapitan Makuresi yang tinggal di Lisiali, Kapitan Saniri Patan Eti adalah Kapitan Manumeten yang tinggal di Hatuale serta Kapitan Saniri Patan Sapalewa adalah Kapitan Tupesau, yang tinggal di Sole. Anggota-anggota
Saniri memiliki tato khusus di dada mereka, dan diinisiasi dalam “suatu ritus
kafir tertentu”. Penduduk sejumlah negeri/desa, seperti negeri Kaibobo, tidak
diwajibkan untuk mengambil bagian dalam ritus ini, karena mereka beragama
Kristen. Tidak disebutkan tentang negeri-negeri Muslim, apakah mereka mengambil
bagian atau tidak dalam ritus “kafir” ini. Dari 3 “kerajaan” paling kuat di
Seram Barat, hanya negeri Sumit yang menjadi anggota Patan Tala, sedangkan negeri Siseulu dan Sahulau
bukanlah bagian dari organisasi Saniri. Alasan permintaan izin dari VOC adalah
bahwa, selama upaya-upaya untuk mengadakan pertemuan sebelumnya, VOC yang tidak
mengetahui alasan pertemuan besar di pantai Seram itu, telah mengirimkan
pasukan dari Ambon, sehingga memaksa anggota-anggota Dewan Saniri untuk
membubarkan diri, bahkan sebelum pertemuan itu dimulai (VOC 1334: 236v, 239r-241v).
Raja negeri
Kaibobo, Nuniali dan Tanunu menyatakan bahwa tujuan utama dari pertemuan itu
adalah untuk menciptakan perdamaian antara 2 negeri, yang salah satunya
berlokasi di pesisir wilayah kekuasaan VOC, yang baru saja menjadi korban
serangan berskala besar aksi perburuan kepala (potong kepala). Selain itu, mereka meminta VOC
dapat mengirim delegasinya untuk menyaksikan proses pertemuan itu. Semua ini
terdengar sangat menjanjikan di telinga Gubernur dan Dewan Politik, karena
mereka (VOC) baru-baru ini dihadapkan dengan kegagalan ekspedisi militer ke
wilayah pedalaman Seram. Oleh karena itu, maka izin diberikan. Pada bulan Mei
tahun itu, para raja yang sama, juga meminta Gubernur dan Dewan untuk
memberikan dokumen pengesahan kepemimpinan mereka atas patan masing-masing saniri. Gubernur,
bagaimana pun juga, memutuskan untuk tidak terlalu terburu-buru. Pertama ia
ingin mengetahui apa pendapat para pemimpin Alifuru lainnya. Selalu ada
kemungkinan bahwa ia berurusan dengan beberapa penuntut yang hanya ingin
mengambil keuntungan dari hubungan baik mereka dengan VOC (VOC 1334: 39v res, 242r, 305v). Namun,
pendapat relevan yang diinginkan itu tidak pernah terwujud.
Mungkin
sekitar 1 tahun kemudian, Rumphius mencatat penafsirannya soal relasi-relasi
internal orang Seram Barat dalam karya geografisnya tentang Ambon, yang
berjudul Ambonsche Landbeschrijving
(Manusama 1983: iv). Pada karya
ini, ia (Rumphius) memberikan penjelasan tentang geografi politik
wilayah-wilayah di bawah kekuasaan 3 raja paling kuat di masa itu (di masa
Rumphius): Siseulu, yang ia sebut sebagai “tertua” dari Patasiwa Alifuru, Sahulau
yang penguasanya menggunakan gelar Kolano
yang
merupakan gelar asal Ternate untuk gelar Raja, dan akhirnya juga Sumit. Gelar
asal Ternate yang digunakan Sahulau memperlihatkan bahwa leluhur mereka merupakan
imigran dari Maluku Utara (Manusama
1983: 174-178). Rumphius juga memberikan informasi tentang Saniri 3
(batang) Air, namun deskripsinya menunjukan bahwa, bahkan pada masa itu (masa
Rumphius), organisasi saniri itu “menyimpang” dari aslinya. Ceritanya (cerita
Rumphius) meninggalkan ruang untuk mencurigai, bahwa ia menerima bagian-bagian
informasi dari Kapitan Makuresi,
karena ia lebih cenderung hanya “berpihak” pada klaim Kapitan Makuresi dibandingkan sisi
“kesejarahan”. Menurut Rumphius, Seram Barat memiliki agama yang disebut “patan” dan para penganutnya memakai tato
tertentu. Di distrik 3 sungai, ada rumah khusus yang disebut “marel” yang didirikan untuk upacara
inisiasi, yang dipimpin oleh Mauwen.
Terkadang,
saat kejadian aksi perburuan kepala atau masalah “penting” lain yang
berhubungan, 3 kapitan saniri, yaitu Kapitan Makuresi, Manumeten dan Tupesau akan memanggil semua anggota untuk
melakukan pertemuan yang disebut Saniri. Siapapun yang meninggalkan agama
“patan” akan membayar mahal atau mengalami penganiayaan (Manusama 1983: 163, 171-172).
Mauwen Alifuru (1892) |
Rumphius juga
memberitahu pada kita bahwa ada semacam dualistik kepemimpinan di masing-masing
distrik. Di distrik Tala, Makuresi
adalah
penguasa wilayah gunung, sedangkan Raja negeri Kaibobo adalah Raja negeri
pesisir. Pada distrik Sapalewa, Manumeten
dan
Raja Nuniali, sama-sama berkuasa, begitu juga Tupesau dan Raja negeri Taununu berkuasa pada distrik Eti. Pada masa
sebelumnya, Raja negeri Sumit merupakan penguasa
asli pada distrik yang sama dengan Makuresi.
Negeri
Siseulu tidak bergabung dengan organisasi ini, karena “tidak bergabung sejak
awal”. Namun demikian, hampir semua negeri/desa mengklaim kalau Siseulu adalah
anggota “patan” dari distri Sapalewa dan Eti. Pendatang baru, negeri Sahulau bukanlah
anggota organisasi itu. Berbeda dengan “subjek” Siseulu dan dan Sumit, tak
satupun negeri-negeri bawahan Sahulau, yang merupakan anggota saniri. Rumphius
menulis lebih lanjut bahwa pada sekitar tahun 1630, Raja Sahulau dan Raja Sumit
berhubungan dengan VOC, sehingga meningkatkan prestise mereka di antara negeri-negeri
Alifuru lainnya. Mereka telah membujuk Belanda untuk percaya bahwa
negeri-negeri lain adalah negeri bawahan mereka. Sebaliknya, mereka mengancam
negeri-negeri lainnya itu, jika hal ini ditolak oleh salah satu raja, maka
mereka (Raja Sahulau atau Raja Sumit) akan “melaporkan” negeri-negeri itu pada “teman”
mereka, yaitu Gubernur Ambon. Melalui cara inilah, Makuresi khususnya disebutkan telah kehilangan
kekuasaannya (Manusama 1983: 171-174,
176-178).
Sekitar
setengah abad kemudian, Valentijn menyalin sebagian besar deskripsi Rumphius
tentang saniri, meskipun dengan beberapa perbedaan. Valentijn, dalam
deskripsinya tentang agama Seram, menggunakan kata tutue sebagai pengganti kata “marel” yaitu ruangan ritus kakean yang
lebih sesuai dengan laporan-laporan kemudian. Pemimpin upacara inisiasi
tersebut adalah Mauwen
Besar. Selanjutnya,
Valentijn sangat terang-terangan dalam pandangannya, yaitu bahwa ketiga raja
adalah perampas hak, yang telah mengambil keuntungan dari hubungan dengan VOC,
untuk mengambil hak kuasa dari Kapitan
Saniri. Dia bahkan mengklaim bahwa 3 raja sendiri telah bertindak
jauh, seperti menggunakan Kapitan
Saniri untuk
memanggil pertemuan saniri (Valentijn
1724: Beschr 78-79; 1726: 3-4)
Pertemuan
Saniri pada masa kekuasaan VOC
Inisiatif
untuk melakukan pertemuan semua anggota Saniri di sungai Eti, yang mana Raja
Kaibobo, Nuniali dan Tanunu meminta izin VOC pada tahun 1678, berakhir dengan
kegagalan. 500 orang hadir di muara sungai itu, tapi sebagian besar negeri dari
distrik Tala tidak hadir. Selain itu, anggota Dewan itu menjadi korban cacar
dan malaria yang menyerang. Pada akhirnya, para pemimpin saniri memutuskan
untuk membubarkan diri/membatalkan pertemuan. Secara khusus, Raja Siseulu, yang
meskipun bukan anggota dari saniri itu, tetap menghadiri pertemuan,
memperlihatkan dirinya sangat kecewa, karena ia senang membahas konflik antar
negeri, yang juga sangat penting baginya (VOC
1334: 369v-372, 375r). Pada tahun 1680, Abraham Ririj dari Kaibobo
bersama-sama dengan beberapa pemimpin saniri lainnya, mengusahakan perdamaian
antar 2 negeri/desa. Kedua belah pihak yang saling bertikai, dihukum membayar
50 gong ke saniri – suatu angka yang sangat besar untuk negeri Alifuru. Pada
kesempatan itu, Van Thije menuliskan komentar bahwa ini adalah “cara Alifuru dalam
menghadapi hukuman, bagi yang terancam hukuman, setelah memberi 1 atau 2 gong, sisanya
bisa diganti dengan potongan-potongan kain, pisau, piring-piring china dan
sebagainya”. Dengan kata lain, itu semua adalah sesuatu yang bersifat simbolik
(VOC 1356: 498-500 BI).
Laporan
tertulis pertama dari pertemuan saniri, adalah pertemuan yang berlangsung di
Tala pada tahun 1687. Laporan itu disusun oleh Abraham Ririj, Raja negeri
Kaibobo dan Alexander Patimura, penguasa kedua dari negeri itu. Hadir dalam
pertemuan ini, adalah perwakilan dari distrik Tala dan Eti, namun tidak ada
satupun dari distrik Sapalewa. Beberapa hari setelah pertemuan itu berakhir,
Raja negeri Nuniali tiba dengan perahu untuk mewakili distriknya. Apalagi Raja
Sahulau juga mengirim delegasi, karena beberapa masalah yang akan dibahas, dimana
ia juga memiliki kepentingan akan hal itu. Yang lebih mengejutkan lagi adalah
bahwa beberapa raja negeri pendukung Patalima dari pantai utara juga hadir,
seperti pemimpin terpenting Alifuru Patalima, yaitu Raja negeri Latea. Abraham
Ririj memainkan peran dominan dalam pertemuan ini, dan jelas bahwa ia dianggap
kurang lebih sebagai “wakil” VOC. Saniri berhasil menciptakan perdamaian antara
beberapa negeri/desa, atau setidaknya mencoba untuk melakukannya, dan selain
itu membahas beberapa poin kepentingan umum. Orang Alifuru dan penduduk
negeri-negeri pesisir disarankan untuk tinggal di wilayah mereka sendiri untuk
mencegah pertikaian apapun di antara mereka. Selain itu, ada juga larangan pada
aktivitas-aktivitas anti islam yang terlalu fanatis, seperti membakar mesjid
negeri/desa (VOC 1347: 28v-33v).
Alifuru Rumahsoal |
Laporan
berikutnya dari pertemuan saniri yang berlangsung di Kaibobo dalam distrik Tala
pada tahun 1717 ditulis oleh seorang kapten dan seorang pedagang junior VOC.
Pada kesempatan ini, distrik Sapalewa juga tidak hadir, kecuali untuk beberapa
negeri pesisir. Salah satu alasan ketidakhadiran ini adalah bahwa hal itu
diduga distrik Sapalewa-lah yang mengatur pertemuan. Hal ini jelas dari laporan
bahwa disana “ada pertemuan di semak-semak”, yang pada periode selanjutnya
disebut sebagai “bicara di darat”, tanpa
ada delegasi dari kompeni. Pejabat-pejabat kompeni hanya menyaksikan “pertemuan
di pantai” yang selanjutnya digambarkan sebagai “bicara di pantai”, yang berlangsung di depan tenda hunian mereka. Saniri
yang “resmi” – yang mana para pejabat kompeni turut hadir – dibuka dengan
pernyataan bahwa menurut hukum saniri, siapapun yang melakukan perampokan atau
pembunuhan selama pertemuan itu, bertanggung jawab akan diserang oleh seluruh
anggota saniri. Pada hari-hari setelah upacara pembukaan, banyak konflik yang
dibawa untuk dibahas. Namun, ada perbedaan mencolok dengan laporan dari saniri
sebelumnya, tahun 1687. Sebagian besar konflik yang dibahas adalah pertikaian
antara penduduk pesisir dan ditangani dengan gaya mirip Dewan Peradilan untuk
kasus-kasuk kaum pribumi, yang telah dilembagakan oleh VOC di kepulauan Ambon,
Haruku dan wilayah-wilayah lepas pantai Seram lainnya, ini melibatkan, antara
lain, suatu presentasi kasus-kasus yang didukung dengan klaim tertulis.
Pertemuan saniri yang “resmi” itu ditutup setelah 8 hari berlangsung. Alih-alih
melakukannya dengan Matakau, suatu
sumpah tradisional alifuru, para delegasi menyimpulkan dengan suatu langkah,
yaitu memperoleh keputusan saniri yang disahkan melalui tandatangan-tandatangan
pimpinan-pimpinan utama distrik – yaitu Raja Kaibobo, Tanunu dan Nuniali (VOC 1894: 64-106; Knaap 1987a: 39-42).
Pertemuan
saniri tahun 1717, yang pertama kali dihadiri oleh pejabat kompeni, karena itu
menunjukan beberapa tanda adaptasi terhadap keadaan yang berubah. Pada
faktanya, ternyata saniri tidak banyak berguna bagi penguasa kolonial, karena
tidak ada bukti yang jelas bahwa situasi di Seram Barat menjadi lebih damai.
Akibatnya, Pemerintah tertinggi VOC menginstruksikan pihak otoritas di Ambon,
untuk tidak memberikan hak mengadakan pertemuan saniri. Pada sebagian besar
abad ke-18, oleh karena itu, pertemuan saniri diadakan tanpa sepengetahuan
kompeni. Bagaimanapun, pada tahun 1760an, kepentingan otoritas kolonial di
Saniri, dihidupkan kembali karena para pedagang dari banyak tempat, yang cenderung
melakukan “penyelundupan” cengkih mulai teratur mengunjungi pulau Seram,
merusak monopoli terhadap item-item berharga. Negeri-negeri Seram Barat
terkadang juga menanam pohon cengkih sendiri. Jadi VOC mulai lagi menggunakan
saniri untuk mencegah hal ini dan untuk tetap mendapatkan informasi tentang apa
yang sedang terjadi (Knaap 1987b: 463).
Namun,
sekali lagi hasil-hasil dari upaya itu tidaklah cukup. Jadi Gubernur Abraham
van der Voort4, menulis pada tahun 1772, misalnya, bahwa Saniri
tidak ada gunanya bagi kompeni, karena “orang-orang itu tidaklah beradab, liar
dan biadab” yang telah membuat segala macam janji dibawah sumpah hanya “untuk
mendapatkan beberapa hadiah dari kompeni, tanpa memenuhi janji-janji itu”. Pengganti
van der Voort ini, Bernardus van Pleuren5 dihadapkan dengan konflik
bersenjata antara VOC dengan para pemberontak dari Tidore di bagian timur
Seram, berpikir sebaliknya. Dia percaya bahwa pertemuan saniri memiliki
pengaruh positif pada prestise kompeni. Selain itu, Alifuru Seram Barat tetap
loyal pada Belanda ketika mereka diundang untuk bergabung dengan koalisi anti
Belanda di Seram Timur. Dan disamping itu, mereka telah memandu para pegawai
kompeni, untuk memperluas penanaman pohong cengkih di pegunungan-pegunungan
Seram Barat. Namun, pohon-pohon cengkih itu tiba-tiba ditebang. Akhirnya, Van
Pleuren menyarankan kompeni untuk tetap melanjutkan keterlibatannya dengan
Saniri. (Knaap 1987b: 466, 481-484).
Cakalele Alifuru Honitetu (1912) |
Saat
kita melihat kembali laporan tentang Saniri dari tahun 1771, saat Van der Voort
sendiri turut hadir, jelas mengapa ia sangat kecewa dengan hasilnya. Sebagian
besar orang dari distrik Sapalewa tidak hadir, seperti juga semua orang dari
daerah pegunungan Tala. Gubernur, duduk di tendanya, mencoba untuk memaksakan
perjanjian perdamaian antara orang-orang gunung dengan mereka yang tinggal di
pesisir pantai. Selain itu, ia membuat Alifuru berjanji untuk menebang semua
pohon cengkih yang ditemui di wilayah mereka. Tidak ada pembahasan tentang
masalah-masalah aktual di wilayah itu. Pertemuan hanya berlangsung selama 1 hari,
dan ditutup dengan minum Matakau. Untuk
kegiatan ini, sebuah periuk penuh dengan tuak (sopi), yang mana juga
ditambahkan beberapa benda, termasuk pisau, panah, sosok buaya, serta patung
manusia penderita penyakit cacar. Siapapun yang meminum dari minuman pilihan
ini dan kemudian menyangkal sumpahnya, akan dihukum dengan kematian, penyakit
dan sejenisnya, semua hal yang secara simbolis ada dalam periuk itu. Akhirnya,
beberapa pemimpin diberi hadiah, termasuk topi bersisi tiga dengan ornamen
perak yang tetap masih dianggap sebagai lambang kehormatan pada paruh terakhir
abad ke-19 (VOC 3355 (3): dari 3-11-1771
dan seterusnya).
Pandangan
optimistik van Pleuren ini akan menyebabkan kita mengharapkan laporannya
tentang saniri tahun 1776 dengan nada
yang cukup berbeda. Namun, semuanya itu hampir sama, satu-satunya perbedaan
adalah bahwa pada pertemuan ini, semua perwakilan dari distrik Sapalewa turut
hadir. Secara umum, ada kelebihan perwakilan dari populasi negeri-negeri
pesisir. Proses yang berlangsung di depan tenda Gubernur hanyalah “sebentar” (VOC 3491 (3): dari 11-11-1776 dan seterusnya).
Begitu juga dengan pertemuan saniri tahun 1786, yang turut dihadiri oleh
Gubernur Adriaan de Bock6, berbeda dari 2 pertemuan saniri
sebelumnya. Setelah minum Matakau dan
menerima beberapa hadiah, para pemimpin Alifuru disajikan semua jenis minuman
beralkohol, “yang membuat mereka begitu ceria dan sangat puas sehingga saat
kembali ke tenda-tenda, mereka bernyanyi dan berjingkrak”. Pada malam harinya,
Alifuru bersama lagi dengan Gubernur untuk menampilkan tarian perang (Cakalele)
kepadanya. Sementara itu, “Gubernur melemparkan segenggam kecil koin perak dan
tembaga di antara mereka, dan mereka saling berebutan” (VOC 3755 (4): dari 6-11-1786 dan seterusnya). Alasan
ketergesa-gesaan yang menjadi karakter keterlibatan pemerintah kolonial pada
akhir abad ke-18 adalah bahwa saniri dapat diminta bantuan selama pelayaran
hongi atau kegiatan patroli tahunan bersama kapal-kapal perang kaum pribumi
Ambon di sekitar kepulauan Maluku Tengah. Karena armada ini biasanya melakukan
patroli selama beberapa minggu pada saat pertemuan berlangsung, sehingga semua
orang ingin kembali, maka Gubernur tidak ingin mencurahkan terlalu banyak waktu
untuk saniri.
Alifuru |
Informasi dari abad ke-19
Dari sebuah laporan yang berasal dari awal abad ke-20, kita tahu bahwa Belanda mengorganisir pertemuan saniri pada bulan April tahun 1805, di antara alasan-alasan lain untuk mengimbangi keterlibatan orang-orang Tidore dalam masalah Seram ( KITLV H 1051, 108a: 37-38). Apakah ini berhasil atau tidak, kita tidak mengetahuinya. Laporan-laporan tercetak pertama soal Kakean dan Saniri setelah Valentijn, diterbitkan oleh W.J.M van Schmid7. Meskipun van Schmid memberikan banyak data baru tentang Kakean (ia adalah orang pertama yang benar-benar menggunakan kata pasti/tegas), ia tidak memberikan informasi baru tentang Saniri, yang ia definisikan sebagai organisasi yang dirancang untuk menciptakan perdamaian antara negeri-negeri pesisir dan negeri-negeri pegunungan. Van Schmid lebih lanjut menulis, bahwa menurut tradisi lisan, Kakean muncul sebagai reaksi terhadap kehancuran Belanda di Hoamoal di semenanjung Seram bagian paling barat – suatu kejadian pada pertengahan abad ke-17 (Van Schmid 1843: 26).Kemungkinan, setelah pertemuan saniri tahun 1805 itu, tidak ada orang Eropa yang menyaksikan pertemuan seperti itu lagi untuk waktu yang lama. H. von Gaffron, memberikan deskripsi indah tentang Saniri dari tahun 1842, yang baru-baru ini diterbitkan, memberi tahu kita bahwa dia adalah orang Eropa pertama yang hadir pada pertemuan semacam itu sejak 50 atau 60 tahun (Leirissa et al. 1982: 45-54). Dia memberikan laporan yang jelas tentang “nyanyian mistis” Alifuru, yang dipimpin oleh Kepala Saniri, yang suatu hari datang ke pantai tempat hunian sementara dari kepala desa/negeri di pulau-pulau terdekat, yang dinominasikan sebagai delegasi atas nama pemerintah kolonial. Orang-orang Alifuru datang dari perkemahan mereka di semak-semak, sekitar sekitar setengah kilometer dari pantai, beberapa dari mereka seragam Eropa kuno dari setengah abad sebelumnya. Ketidakhadiran pada pertemuan satu hari ini, sekali lagi cukup besar. Acara utama dari bicara di laut ini adalah meminum Matakau untuk menutup pertemuan. Von Gaffron memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang komposisi kepemimpinan saniri. Para pemimpin paling penting adalah 3 kepala saniri, yang berpakaian merah dan menggunakan topi 3 sisi. Sayangnya tidak disebutkan tentang identitas mereka. Mungkin saja, mereka bukanlah figur-figur yang sama seperti Raja Kaibobo, Nuniali dan Tanunu. Dalam hal ini, menarik untuk dicatat bahwa para pemimpin dibawah level mereka, disebut sebagai “tangan kiri” atau “tolongan”. Menurut von Gaffron, ini semua merupakan kepala desa dari neger-negeri pesisir pantai. Setelah mereka datang juga Pohon Bendera dan Ujung Bendera, para Kapitan Saniri dari wilayah pegunungan, portero, yang bertugas sebagai pembawa pesan antara pemerintah kolonial dan distrik-distrik itu, dan akhirnya beberapa Mauwen.
Van der Crab8, yang mengunjungi Maluku Tengah dalam tahun 1860, memberikan beberapa data baru. Dia menceritakan antara lain bahwa Sahulau, yang kekuatan pengaruhnya telah “lenyap” pada saat itu, pada awalnya menjadi bagian Patalima, dan kemudian berubah menjadi bagian dari Patasiwa. Namun, Sahulau tetap independen dari saniri, dan tetap tidak pernah dimasukan kedalam Kakean (Van der Crab 1862: 214). Atas dasar informasi dari Marcus Kakiay, pemimpin perang Alifuru yang ditangkap, Van Rees yang kemudian dikutip oleh Ludeking, memberitahu kita bahwa Kakean pada awalnya adalah sebuah fenomena yang berasal dari Hoamoal, semenanjung Seram bagian barat yang hampir tidak berpenghuni, yang terbentuk untuk berperang dengan patalima atau musuh lainnya. Pada saat Belanda menghancurkan tatanan sosial Hoamoal di pertengahan abad ke-17, Raja Sahulau telah bermigrasi dari sana ke pedalaman Seram Barat, dimana ia mengungkapkan rahasia Kakean kepada Kepala Saniri, yang dengan segera memperkenalkan “organisasi” itu di daerah mereka, sementara Raja Sahulau sendiri, untuk satu alasan atau lainnya tidak “mengizinkan” keberadaan Kakekan di wilayahnya sendiri. Kepala Saniri memperkenalkan Kakean untuk memperkuat kontrol mereka atas wilayah tersebut (Van Rees 1863: 67-68; Ludeking 1868: 68-69). Di sini, kita memiliki gambaran bahwa keberadaan Saniri 3 (batang) Air yang telah ada sebelum Kakean diperkenalkan. Pada waktu yang hampir bersamaan, Misionaris Protestan, Van Ekris9 membenarkan gagasan bahwa fenomena yang sedang dibahas dimaksudkan untuk menangkal semua intervensi asing. Namun, ancaman intervensi pertama datang dari Ternate. Akibatnya, Van Ekris menempatkan asal usul Kakean dan Saniri, sebelum kedatangan bangsa Eropa (Van Ekris 1867: 297).
Radja van Honitetu |
Van Hoevell10, pada akhir abad ke-19, sejalan dengan informasi yang diberikan oleh Van Rees dan Ludeking, mengemukakan gagasan bahwa Kakean “memperlihatkan” asal usulnya sebagai suatu reaksi masyarakat tradisional dan agama Patalima terhadap intervensi asing, khususnya intervensi Belanda dalam pertengahan abad ke-17, ketika seluruh masyarakat Hoamoal dihancurkan. Dia melanjutkan bahwa Belanda telah memberikan seragam-seragam berwarna berbeda untuk para pemimpin setiap patan saniri : Kuning untuk Sapalewa, Merah untuk Eti, dan Biru untuk Tala. Van Hoevell sangat pesimis soal kemampuan saniri untuk menciptakan perdamaian di antara Alifuru. Pertemuan saniri tahun 1888, yang disaksikan oleh delegasi dari pemerintah kolonial untuk pertama kali dalam beberapa tahun, telah gagal karena kurangnya otoritas kepemimpinan saniri. Namun, insiden yang paling mengejutkan adalah pembunuhan seorang pemimpin tinggi saniri dari distrik Tala oleh para kapitan dari negeri Hunitetu selama pertemuan itu. Pertemuan saniri terakhir yang pernah diadakan, yaitu tahun 1902, dikatakan berakhir dengan kekacauan, sehingga delegasi Belanda terpaksa segera membubarkan diri (Van Hoevell 1896: 511, 513-515; Sachse 1922: 138). Nampaknya, pengalaman abad ke-19 dengan Saniri tidak lebih baik daripada pengalaman abad ke-18. Mengingat saniri masih dianggap sampai batas tertentu sebagai sesuatu yang memiliki efek positif bagi relasi-relasi Belanda dan Seram, Kakean yang “berkembang” secara bertahap dianggap sebagai ancaman terhadap ekspansi Belanda. Sejak tahun 1903 hingga seterusnya, Belanda memilih menyelesaikan masalah melalui cara-cara militer dan “memasukan” pulau itu kedalam negera kolonial yang “tenang” (Manuhuttu 1985: 278-281, 286).
====
bersambung ====
Catatan Tambahan
- Pada periode ini (Februari 1678), yang menjadi Gubernur Ambon adalah Anthonie Hurdt (April 1672-Juni 1678)
- George Everhard Rumphius sebelumnya menjadi Hoofd van Larike/Pemimpin distrik Larike (1657-1660), Hoofd van Hitu/Pemimpin distrik Hitu (1660-1670). Sejak tahun 1670, Rumphius menjadi buta, dan ditunjuk sebagai anggota Raad van Politie (1670 -1702) hingga meninggal di Ambon pada 13 Juni 1702.
- Isaac van Thije menjadi Sekretaris Raad van Politie/Dewan Politik (1675-1680), kemudian Hoofd van Hitu (1680-31 Agustus 1684), dan dimutasi ke Ternate menjadi Secunde Gubernemen Maluku/Ternate (1684 -1689), dan mencapai posisi puncak sebagai Gubernur van Makasar (1695 -1700) hingga meninggal pada Juni 1700.
- Nama lengkapnya adalah Johan/Joan Abraham van der Voort. Ia menjadi Gubernur Ambon pada periode (12 Juni 1770 – 1 Mei 1775). Ia menggantikan Gubernur sebelumnya, Pieter Hendrik Breton (1 Oktober 1767 – 12 Juni 1770). Van der Voort kemudian digantikan oleh Bernardus van Pleuren (1 Mei 1775 – 2 Mei 1785)
- Bernardus van Pleuren menjadi Gubenur Ambon pada periode 1 Mei 1775 – 2 Mei 1785 (lihat catatan tambahan no 4 di atas). Ia kemudian digantikan oleh Adriaan de Bock
- Adriaan de Bock menjadi Gubernur van Ambon pada periode 2 Mei 1785 – Januari 1788.
- W.J.M. van Schmid memiliki nama lengkap Willem Jan Maurits van Schmid (1806 – 1884/1885). Van Schmid pernah menjadi Assisten Resident van Saparoea (1840 – 1842). Saat bertugas di Saparua inilah, van Schmid mengumpulkan banyak informasi dan kemudian menulis artikel panjang seperti yang dimaksud oleh Knaap tersebut.
- Van der Crab yang dimaksud oleh Knaap bernama lengkap Petrus van der Crab (1827 – 1895). Ia pernah menjadi Asisten Residen di Gubernemen Maluku (1858-1863), Pejabat Gubernur Maluku (1861-1862), Resident van Ternate (1863-1866), Resident van Ambon (1866 – 1869) dan Resident van Manado (1872-1875). Ia disebut oleh Knaap mengunjungi Maluku Tengah, dalam rangka menemani “blusukan” Gubernur Jenderal Hindia Belanda Charles Ferdinan Pahud (1857-1861) yang berkunjung ke Maluku dalam tahun 1860 itu. Sang Gub Jend bahkan mengunjungi Saparua pada tanggal 29 Desember 1860.
- Van Ekris yang dimaksud oleh Knaap memiliki nama lengkap Arris van Ekris (1831-1868). Ia seorang pendeta yang pernah bertugas di Alang (1856-1857), Saparua (1857-1858), Kamariang (1858-1865) dan Haruku (1865 -1868) hingga meninggal di Ambon pada 14 februari 1868. Ia menikah di Saparua pada tanggal 22 Juli 1857, dengan seorang wanita burger Saparua bernama Hendrika Engel (1835 - ??)
- Van Hoevell yang dimaksud oleh Knaap memiliki nama lengkap Gerrit Willem Wolter Carel Baron van Houvell (1848-1920). Ia pernah menjadi Controleur van Hila (1871-1872), Controleur van Saparua (1872-1875) dan Assisten Resident van Ambon (1891 – 1896).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar