Oleh
GERRIT KNAAP
Demografi
Ambon dalam Perspektif Geografis Temporal yang lebih luas
Proto-sensus VOC menunjukan peningkatan populasi rata-rata 1,0% dan kepadatan
20 – 25 orang per km2. Untuk masyarakat pra-industri, tanpa sarana
modern untuk perawatan kesehatan, hasil seperti itu terlihat sangat
menguntungkan. Untuk Asia Tenggara secara keseluruhan, Anthony Reid
memperkirakan pertumbuhan selama abad ke-17 dan ke-18, sekitar 0,2% per tahun
dan kepadatannya 5,7 per kilometer. Di banyak bagian Asia Tenggara, stagnasi
atau paling-paling beberapa pertumbuhan yang tidak signifikan, tampaknya
merupakan situasi normal. Pertumbuhan yang lebih cepat baru terwujud setelah
pemerintahan kolonial menciptakan perdamaian internal. Sebagai contoh,
pertumbuhan sekitar 1,0% atau lebih di Jawa baru dimulai setelah perdamaian
abadi sekitar tahun 1755/175728. Bagi Jawa pada abad ke-19,
Boomgaard menempatkan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 1,4%. Tampilan
yang lebih baik di Jawa pada abad ke-19, diilustrasikan oleh perbandingan yang
lebih tinggi, dari orang-orang yang belum mencapai pubertas yaitu 44%
berbanding 33% di Ambon pada abad ke-17. Tentu saja, peningkatan kesehatan,
misalnya vaksinasi terhadap cacar dan transportasi yang lebih baik, dapat
menjelaskan perbedaan tersebut. Rasio jenis kelamin di Jawa adalah sekitar 95
laki-laki per 100 perempuan, sementara di Ambon adalah 105 per 10029.
Namun,
satu pertanyaan penting masih harus ditanyakan, yaitu tingkat pertumbuhan
penduduk provinsi Amboina terbatas pada beberapa dekade berdasarkan
pertimbangan atau apakah itu juga berlaku untuk periode lain di awal zaman
modern di daerah tersebut? Untuk tujuan ini, kita harus melihat angka-angka di
“sepanjang abad ke-17”, seperti yang ditunjukan pada tabel 4. Tahun-tahun yang
dipilih dalam tabel 4 adalah tahun 1634, 1673, 1692 dan 1708. Data tahun kedua
dan ketiga (1673 dan 1692) diambil dari tabel 1, sedangkan tahun keempat (1708)
berasal dari Valentijn, yang pastinya memiliki ringkasan tentang zielsbeschrijving dari data zielsbeschrijving
tahun 1708 yang hilang (arsipnya tidak ada)30.
Data tahun 1634 adalah hasil analisis yang cermat dari beberapa perkiraan “pria
berbadan sehat” dari sekitar periode itu. Rasio antara “pria berbadan sehat”
dan sluruh populasi tampaknya sekitar 1 – 3,531. Tabel 4 hanya
tentang penduduk pribumi Ambon.
Pertumbuhan
demografis selama “abad ke-17 yang panjang” menunjukan penurunan diikuti oleh
peningkatan pada kuartal terakhir abad ini. Menjelang pergantian dari abad
ke-17 ke-18, stabilisasi tampaknya telah terjadi. Bagaimana hal ini dapat
dijelaskan? Penurunan luar biasa selama pertengahan abad ini, sekitar 1/3 dari
seluruh populasi, terutama terjadi di daerah supra kepulauan Barat Ambon dan
Seram Barat Daya. Pada tingkat regional, tampaknya ada beberapa daerah dimana
penurunan melebihi tingkat 1/3 – nya : Hitu, Ambalau, Buru dan Buano. Terlebih
lagi, dua lokasi misalnya Pulau Kelang dan Semenanjung Hoamoal di Seram bagian
barat, benar-benar terisi penduduk. Pada tahun 1630an, populasi Pulau Kelang
hampir 2000 jiwa yang kuat, sedangkan Hoamoal lebih dari 11.ooo. Daerah-daerah
yang baru saja disebutkan adalah daerah-daerah dimana terdapat oposisi besar terhadap
upaya VOC yang bertujuan untuk menciptakan hegemoni dalam rangka untuk
mengontrol tingkat budidaya dan perdagangan cengkih. Perang yang terjadi,
terutama Perang Hitu dari tahun 1641 – 1646 serta Perang Hoamoal dari tahun
1651 hingga 1656/1658, terbukti sangat kejam. Terlepada dari banyaknya korban
akibat peperangan, angka populasi semakin berkurang karena dislokasi
(perpindahan) yang biasanya seiring dengan konflik bersenjata, seperti
kelaparan dan penyakit perpindahan ke wilayah yang lebih aman. Selain itu,
setelah perang, VOC memaksa banyak negeri/desa untuk bermukim kembali di
wilayah/daerah lain. Misalnya, penduduk Kelang harus pindah ke Manipa dan
Leitimor, sementara yang selamat di perang Hoamoal, berpindah ke Manipa, Hitu,
Leitimor dan
Demografi
Ambon di abad ke-17.
Untuk Asia Tenggara secara umum, Reid baru-baru ini menyatakan bahwa
penurunan populasi pada pertengahan abad ke-17, tidak hanya disebabkan oleh
efek perang, tetapi juga oleh proses pendinginan secara global. Di Asia
Tenggara, perubahan iklim dunia ini, pertama-tama menimbulkan penurunan di masa
penghujan dan kemudian di tahun-tahun kekeringan yang parah. Kondisi ini sangat
parah dalam tahun 1664-1665, dimana sebagian besar wilayah Indonesia dilanda
kekeringan dan epidemi33. Namun, wilayah Maluku Tengah nampaknya
lolos dari krisis ini. Periode kekeringan ekstrim tercatat pada awal dekade,
terutama pada tahun 1660 dan 1661, sedangkan epidemi malaria yang paling parah,
telah melanda wilayah tersebut antara November 1656 dan pertengahan tahun 1658.
Namun demikian, penulis sejarah Ambon, Georgius Everhardus Rumphius,
mengungkapkan bahwa ia menyadari epidemi ini dengan perkembangan pada
wilayah-wilayan lain di dunia, menunjukan bahwa krisis global benar-benar
terjadi34. Pada sisi lain, haruslah ditekankan bahwa tahun 1656
telah menjadi periode dalam hal pemukiman kembali skala besar sebagian besar
penduduk. Meninggalkan habitas asli mereka, mungkin membuat mereka yang terlibat
dalam proses ini, sangat rentan terhadap penyakit35. Akibatnya,
tampaknya sulit untuk menjelaskan hubungan langsung yang jelas antara pengaruh
iklim dan perubahan populasi di Maluku Tengah.
Mempertimbangkan
penurunan dramatis pada pertengahan abad ke-17 serta peningkatan sekitar tahun
1670 dan seterusnya, harus dijelaskan sebagai fenomena “pertumbuhan pemulihan”.
Setelah perang penaklukan, daerah itu mengalami masa damai yang panjang dibawah
kontrol Belanda/VOC. Tingkat pertumbuhan dan stabilisasi populasi, terlihat
pada sekitar tahun 1700, nampaknya terus berlanjut hingga abad ke-1936.
Sekitar 30 tahun yang lalu, Frank Cooley mengatakan bahwa stabilitas ini ada
hubungannya dengan apa yang disebut oleh “Bapak Ilmu Ekonomi” abad ke-18 yaitu
Adam Smith sebagai “keseimbangan demografis alami”37. Rupanya, dengan
mempertimbangkan “daya dukung” lingkungannya, penduduk Ambon cenderung stabil
di sekitar standar tertentu, yang dalam konteks provinsi, secara keseluruhannya
pasti sekitar 25 orang per km2. Namun ukuran total populasi pada
abad ke-17 nampaknya jauh lebih rendah daripada tahun 1634, yaitu sekitar
60.000 berbanding sekitar 80.000. Ada
kemungkinan, bahwa alasan untuk perbedaan ini dapat ditemukan pada kebijakan
VOC dalam soal pemukiman kembali. Untuk memfasilitasi kontrol politik dan
militer, yang tetap selamat dari perang, khususnya mereka yang berada di
Kepuluan Ambon bagian barat dan di Seram Barat Daya diperintahkan untuk
memusatkan pemukiman mereka ke daerah yang jauh lebih kecil. Ini berarti
pembatasan yang keras terhadap wilayah perekonomian dari negeri-negeri yang
terlibat dan kemudian selanjutnya mengawasi potensi mereka dalam hal ekspansi
demografis38.
Masih pada subjek hubungan antara kepadatan populasi dan sumber daya
ekonomi, kita harus menyinggung peran budidaya cengkih dalam masyarat pribumi.
Selama akhir abad ke-17, wilayah-wilayah supra dengan populasi penduduk
terbesar, yaitu Ambon dan Lease, juga merupakan wilayah yang “dipaksakan” dalam
hal produksi cengkih secara eksklusif. Ini menunjukan korelasi yang kuat antara
demografi dan penanaman cengkih. Namun, pada tingkat regional muncul variasi
yang membuat jadi kurang memungkinkan bahwa budidaya cengkih adalah faktor
utama perkembangan demografis. Pulau Nusalaut, pada tahun 1692-1693 merupakan
wilayah dengan kepadatan populasi terbesar, juga memiliki jumlah pohon cengkih
per kapita terbesar yaitu 35. Di sisi lain, wilayah terpadat kedua dan ketiga,
yaitu Pulau Saparua dan Jazirah Leitimor, hanya memiliki sedikit jumlah pohon
per kapita, masing-masing 4 dan 6, jauh dibawah rata-rata umum yaitu 12, serta
Hitu, daerah yang jauh lebih padat penduduknya, menduduki peringkat kedua
dengan jumlah pohon cengkih per kapita yaitu 18.39
Perhitungan di atas menunjukan bahwa hubungan antara penanaman tanaman
utama, yaitu cengkih dan demografi sangat rumit. Hal ini bahkan lebih jelas,
jika kita melihat situasi di awal abad ke-17.
Pulau Nusalaut dan Saparua, dan sebagian kecil Leitimor, sudah memiliki
kepadatan populasi yang tinggi sebelum budidaya cengkih di sana mengalami
kenaikan secara substansial40. Tampaknya, cengkih bukan penyebab
atas kepadatan populasi yang tinggi. Perekonomian “purba” pra-cengkih di Maluku
Tengah digerakan oleh sekelompok entitas yang relatif otonom, yang dihubungkan
bersama oleh jaringan perdagangan antar pulau, sudah mampu mendukung
terciptanya konsentrasi populasi yang besar. Pulau-pulau yang lebih kecil dapat
mengimpor sagu dari tetangga mereka yang lebih besar, dengan imbalan kerajinan
tangan atau hal lainnya41. Tentu saja, pendapatan yang diperoleh
dari cengkih, berwujud impor tekstil dan peralatan besi, sangat menyederhanakan
pertukaran hubungan untuk daerah pengimpor sagu, tapi pentingnya demografis
dalam budidaya cengkih tidak terlampau tinggi.
Penutup.
Zielsbeschrijvinge yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial abad ke-17 di provinsi Ambon, khususnya di wilayah yang dikenal kini sebagai Maluku Tengah, merupakan sumber penting untuk studi populasi asli di Asia Tenggara selama periode awal moderen. Pentingnya provinsi Ambon pada kekaisaran VOC dan jaringan perdagangan memberikan otoritas insentif tambahan untuk melakukan upaya statistik ini. Namun, baik wilayah maupun masyarakat itu sendiri juga memiliki ciri khas dan unik sendiri. Basis sumber daya ekonomi Maluku Tengah – sagu daripada beras, dengan rempah-rempah sebagai tanaman komersial – sangat berbeda dari daerah lain di Asia Tenggara. Hal yang sama berlaku juga untuk perkembangan politik Maluku Tengah, yang secara kritis terkait dengan proses intrusi Eropa yang intens. Kita bisa menyimpulkan bahwa wilayah tersebut memiliki dinamikanya sendiri, yang membuat sulit untuk membandingkan hasil akhir analasis ini dengan perkembangan di tempat lain.
Analisis
untuk periode 1671 – 1695 telah menunjukan variasi regional yang signifikan
didalamnya di provinsi Amboina. Pertumbuhan populasi berjumlah sekitar 1,0% per
tahun, terutama diwujudkan melalui reproduksi alami. Laju pertumbuhan di
tingkat regional sering dipengaruhi oleh fenomena sesekali seperti migrasi,
bencana alam, penyakit epidemi dan kekacauan politik. Rata-rata umum sebesar
1,0%, bagaimanapun, tidak mewakili untuk wilayah tersebut, jika kita melihatnya
dari perspektif periode waktu yang lebih lama. Peningkatan pesat pada periode
1671-1695 harus ditandai sebagai “pertumbuhan pemulihan”, yang terjadi setelah
periode perang penaklukan oleh kolonial. Dengan demikian, provinsi Ambon cocok
dengan pola umum untuk Asia Tenggara awal moderen, yang menunjukan stagnasi
atau paling tidak tingkat pertumbuhan yang kecil. Masa damai yang panjang setelah
penaklukan tidak membawa pemulihan seluruh ukuran populasi melebihi tingkat
pada periode pra-kolonial. Salah satu penyebabnya mungkin karena kebijakan
pemukiman kembali oleh kolonial yang memusatkan kelompok populasi tertentu di
daerah yang lebih kecil. Konsentrasi seperti itu membatasi wilayah ekonomi
kelompok yang bersangkutan.
Seperti
yang diperkirakan oleh peneliti manapun, pada pandangan pertama tampaknya ada
hubungan yang jelas antara kepadatan populasi, yaitu 20 hingga 25 km2,
dan penanaman cengkih. Daerah-daerah yang menanam cengkih menunjukan kepadatan
yang jauh lebih tinggi daripada yang tidak. Namun, jika dilakukan observasi
lebih mendalam, nampaknya hal-hal seperti itu tidak sesederhana itu.
Sebenarnya, sudah jelas bahwa kepadatan populasi yang tinggi telah terjadi
sebelum pengenalan budidaya cengkih. Ekonomi “purba” dari “unit-unit pencari
nafkah” yang disatukan oleh mata rantai perdagangan antar pulau, dimana sagu
dipertukarkan dengan barang-barang perdagangan lainnya, yang seringkali
diproduksi secara lokal, tampaknya telah menjadi dasar yang cukup untuk
kemunculan sejumlah besar populasi. Namun secara paradoks, pada tingkat
regional konsentasi besar pohon sagu dan kepadatan populasi yang tinggi bukanlah
salah satu kebetulan. Situasi ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa lahan
berawa dimana sagu tumbuh adaah sumber utama penyakit. Akibatnya, kondisi
terbaik untuk kepadatan populasi yang besar dapat ditemui di pulau-pulau kecil
yang kekurangan sagu di lepas pantai pulau Buru dan Seram yang kelebihan sagu.
===== selesai =====
Catatan kaki
28. A.J.S Reid, Southeast Asia in the Age of
Commerce. Vol. I: The Lands below the Winds (New Haven: Yale University Press,
1988), pp. 12-15.
29. P. Boomgaard, Children of the Colonial
State; Population Growth and Economic Development in Java, 1795 – 1880 (Amsterdam:
Free University Press, 1989), pp. 171-72.
30. Fr. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, Vol. IIa:
Beschrijving van Ambon (Dordrecht/Amsterdam: Van Braam & Onder de Linden,
1724), pp. 1-125.
31.
Knaap, Kruidnagelen, pp. 277-78.
32. Ibid., pp. 22-27, 100-104.
33. Reid, "Seventeenth Century
Crisis", pp. 654-56.
34. Rumphius, "Ambonsche
Historie", part II, pp. 110, 135.
35. Knaap, Kruidnagelen, pp. 101-102.
36. Ibid., p. 295.
37. F.L. Cooley, "Altar and Throne in
Central Moluccan Societies; A Study of the Relationship between the
Institutions of Religion and the Institutions of Local Government in a Traditional Society undergoing Rapid Social Change" (Ph.D. thesis, Yale University, 1962), pp. 15-16.
Institutions of Religion and the Institutions of Local Government in a Traditional Society undergoing Rapid Social Change" (Ph.D. thesis, Yale University, 1962), pp. 15-16.
38. Knaap, Kruidnagelen, pp. 121-22.
39. Ibid., p. 240.
40. G.J. Knaap, "Some Observations on a
Thriving Dancing Party: The Cultivation of and the Competition for Cloves in Sixteenth and Seventeenth Century Ambon", in Papers of the Fourth
Indonesian-Dutch History Conference. Yogyakarta 24-29 July 1983. Vol. I:
Agrarian History, ed. Sartono Kartodirdjo (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1986), pp. 78, 89; Knaap, Kruidnagelen, p. 257.
41. R.F. Ellen, "Sago Subsistence and
the Trade in Spices; A Provisional Model of Ecological Succession
and Imbalance inMoluccan History", in Social and Ecological Systems, ed. P.C. Burnham and R.F. Ellen
(London: Academic Press, 1979), pp. 52-53; Knaap, Kruidnagelen, pp. 212-13.
and Imbalance inMoluccan History", in Social and Ecological Systems, ed. P.C. Burnham and R.F. Ellen
(London: Academic Press, 1979), pp. 52-53; Knaap, Kruidnagelen, pp. 212-13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar