(bag
1)
Oleh
Gerrit J Knaap
- Kata Pengantar
Isi artikel ini, merupakan lanjutan atau “babak
kedua” dari drama di paruh pertama abad ke-17, yang berlatar di kepulauan Ambon.
Babak pertama telah berlangsung setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1637, dan
diurai dengan indah oleh sang penulisnya Gerrit J Knaap dalam artikelnya “ Crisis and Fairlure : War and Revolt
in Ambon Islands, 1636 – 1637. Drama “babak
kedua” seperti yang dimaksud, juga ditulis oleh Knaap dengan judul The Governor-General and the Sultan: An
Attempt to Restructure a divided Amboina in 1638. Artikel ini dimuat pada
Journal Intenario, volume 29, issue 1, terbitan Maret 2005 pada halaman 79 –
100. Artikel sepanjang 22 halaman dengan 2 halaman berisikan 52 catatan kaki
dan bibliografi inilah, yang kami terjemahkan sekarang ini.
Kami
menerjemahkan artikel ini, karena ingin memberikan bacaan bermutu hasil kajian
dari sejarahwan dalam versi bahasa ibu. Dalam artikel ini, sang penulis hanya
menyertakan 1 buah peta, sehingga artikel hasil terjemahan ini, kami memasukan
beberapa gambar/lukisan sebagai “pemanis” agar lebih “renyah” untuk dinikmati. Perlu
dijelaskan, bahwa catatan kaki dari penulis, ditandai dengan angka, sedangkan
catatan tambahan dari kami, ditandai dengan huruf. Kami menambahkan catatan
tambahan, dengan pertimbangan hanya ingin memberikan informasi lebih jauh
sebagai pengetahuan tambahan, dan membagi artikel ini menjadi 2 bagian, agar
tidak terlalu padat dan bisa diikuti dengan “santai”
Akhir
kata....selamat membaca... selamat menikmati fragmen sejarah 4 abad lalu, minimal
kita bisa memahami pergolakan, intrik dan kepingan-kepingan sejarah kehidupan,
yang tanpa kita sadari telah “membentuk” kita di masa kini....semoga kita
selalu belajar, dan mencintai sejarah kehidupan itu sendiri...
- Terjemahan (oleh Kutu Busu)
Pada tanggal 3 Mei 1638, Anthonie van Diemena,
Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) atau Perusahaan Belanda Hindia Timur, bertemu dengan
Hamzah, Sultan Ternate, di pangkalan laut di Kambelo. Kambelo adalah satu dari
pemukiman utama di pantai barat Hoamoal, semenanjung barat Pulau Seram. Lokasi
itu adalah bagian dari wilayah “jajahan” Kesultanan Ternate di Kepulauan
Amboina, yang dewasa ini, adalah bagian Maluku Tengah. Van Diemen tiba di Ambon
pada akhir Februari dengan armada besar berkekuatan 17 kapal, yang memuat
sekitar 1.700 orang. Setelah diberitahu, kalau Hamzah belum tiba, pada bulan
Maret, Van Diemen melanjutkan perjalanannya ke Kepulauan Banda, untuk memeriksa
dan mengatur urusan VOC di daerah itu. Pada bulan April, ia kembali ke Ambon,
dimana setelah berhenti sebentar di Hila, dia melanjutkan perjalanan ke
Kambelo, karena mendapat laporan “intelejen” bahwa sekitar 15 “jung” dari Jawa
dan Sulawesi telah tiba di sana1. Karena kapal-kapal itu dianggap
sebagai penyelundup, dan diduga membawa cengkih, sehingga melanggar aturan
monopoli VOC, Van Diemen berencana untuk menyerang mereka. Namun, begitu Hamzah
tiba disertai armadanya, yaitu hongi yang
berkekuatan 10 kora-kora, rencana penyerangan itu dibatalkan. Saat itu,
diplomasi unggul atas tindakan kekerasan. Ada harapan bahwa pertemuan “2 figur
hebat” itu dapat menyelesaikan konflik lama di daerah tersebut2.
Antonio van Diemen |
Apa yang kemudian berkembang antara Sultan
dan Gubernur Jenderal adalah episode menarik dalam konteks diplomasi, yang
dengan cermat akhirnya didokumentasikan dalam catatan harian3.
Sebenarnya, peristiwa ini adalah “babak kedua” dari sebuah drama, dimana Gub
Jend Van Diemen secara pribadi, mencoba mempengaruhi politik Amboina sedemikian
rupa, sehingga monopoli atas pembelian cengkih – hal yang diinginkan VOC – akan menjadi kenyataan. Tindakan pertama
dari drama ini, yang telah terjadi setahun sebelumnya (tahun 1637), telah
disajikan dalam The Second International
Maluku Research Conference, yang kemudian dipublikasikan dalam Jurnal
Cakalele4. Pada kesempatan itu, Van Diemen telah mencoba untuk
menyelesaikan situasi melalui suatu kombinasi yang bijaksana, berupa penggunaan
kekuataan dan mengeksploitasi struktur dan dinamika politik lokal Ambon. Pada
“babak kedua” dalam drama ini, ia memikirkan penyelesaian yang didasarkan pada
pembagian kekuasaan di wilayah itu, antara VOC dan Kesultanan Ternate. Tetapi,
sebelum Ternate bisa dibujuk untuk menyetujui rencana semacam itu, suatu
konsesi perlu dilakukan. Salah satunya adalah perluasaan kekuasaaan Ternate di
Ambon.
Perdamaian setengah hati
Apa hasil dari tindakan Van Diemen
di Ambon pada tahun 1637?. Pada tahun itu, Ia mencoba mengatasi krisis yang
parah, yang juga mengancam kekuasaan Belanda (VOC), yaitu perang dengan “jajahan-jajahan”
Ternate yang dipimpin oleh Kimelaha Leliato,
serta kaum oposisi yang muncul dari wilayah-wilayah yang terletak antara
wilayah kekuasaan Belanda (VOC) dan Ternate, yang diperparah sejak Februari
1636, oleh pemberontakan terbuka di antara kaum Kristen Ambon, pengikut VOC5.
Dengan menggunakan kekerasan, diplomasi, dan ancaman kekerasan yang terang
benderang, Van Diemen dapat menyelesaikan konflik itu. Pada bulan Mei 1637, ia
mengumpulkan sebagian besar musuhnya pada pertemuan landdag –suatu rapat umum untuk seluruh wilayah – di markas besar
VOC, di benteng Victoria. Perdamaian dipulihkan dengan pihak-pihak yang hadir.
Hanya Kimelaha Leliato yang keras
kepala di pihak penentangnya, terlepas dari fakta bahwa dia telah ditinggalkan
oleh banyak pengikutnya. Kita dapat mengatakan bahwa Belanda (VOC) menang
karena 2 faktor :
- Pertama, persebaran kekuatan angkatan laut dan militer yang mengesankan, dan
- Kedua, gagalnya berbagai kelompok di antara orang Ambon sendiri untuk bersatu dalam rangka menghadapi musuh bersama
Rupanya ancaman penguasa VOC tidak cukup untuk
mengatasi persaingan lokal antar orang-orang Ambon sendiri6.
Van
Diemen sendiri menyadari bahwa ekspedisinya telah berperan penting dalam
mengurangi ledakan-ledakan masalah pada “tong bubuk mesiu” di Ambon, tetapi
“pemicunya” belum “dijinakkan”. Setelah dia meninggalkan Ambon, Leliato kembali
lagi meningkatkan aktivitasnya dan menyebabkan “ledakan” lain dari gerakan anti
VOC. Pada abad ke-17, penulis sejarah VOC, Georgius Everhardus Rumphius
menyimpulkan “ api peperangan masih tetap menyala dalam tumpukan bara”,
khususnya di antara para pengikut Leliato. Rumphius berpendapat bahwa pada saat
keberangkatannya, Van Diemen seharusnya meninggalkan kekuatan militer yang
lebih besar untuk mengambil tindakan ofensif terhadap Leliato. Apapun
masalahnya, Van Diemen berencana untuk kembali ke Ambon dengan ekspedisi pada
angin musim barat berikutnya, yaitu pada awal tahun 1638. Pada kesempatan itu,
Sultan Ternate harus diundang untuk mengambil bagian dalam penyelesaian
masalah, paling tidak karena sisa masalahnya terutama ditemukan pada wilayah
kekuasaannya. Undangan untuk Sultan dikirim dari Ambon pada tanggal 29 Mei 16377.
Dalam surat itu, Van Diemen menyalahkan Leliato, karena telah mengobarkan
pemberontakan di antara “pengikut-pengikut” Sultan Ternate maupun VOC, terlepas
dari kenyataan bahwa Belanda (VOC) telah membantu secara total dalam memerangi Spanyol,
yang merupakan musuh Sultan di jantung Maluku (Ternate). Selain itu, Leliato
dituduh telah terlibat dalam hubungan rahasia dengan Sultan Makasarb.
Jika Hamzah datang dan membantu menyelesaikan masalah di Ambon, pada
gilirannya, Gubernur Jend akan berlayar ke Maluku (Ternate) sendiri untuk
mengambil tindakan ofensif terhadap orang-orang Spanyol dan Tidore8.
Janji itu pastilah seperti nyanyian merdu di telinga Hamzah.
Sultan
Hamzah, atau secara resmi, menurut Valentijn, Sultan Aja Emir al Mumenim Hamzah
Nasrun Min Allah Syah, mungkin lahir pada tahun 1580an. Dia adalah cucu dari
Sultan Hairun Jamilu yang agung, yang terbunuh oleh Portugis pada tahun 1570.
Pada tahun 1606c, Hamzah, bersama dengan Sultan yang berkuasa saat
itu, Saidi Berkatd, ditawan oleh orang-orang Spanyol dan diasingkan
di Manila. Orang-orang Spanyol telah menginvasi Ternate dan menduduki pulau
itu. Dengan bantuan Belanda (VOC), pihak istana Ternate berhasil membangun
kembali kesultanan di bagian utara Pulau Ternate dan distrik-distrik di
sekitarnya. Pada tahun 1628e, Hamzah kembali ke Ternate dan naik
tahta sebagai pengganti Sultan Muzaffar, putra sultan Saidi Berkat. Mesipun
Hamzah telah menikah beberapa kali, istri-istrinya belum bisa memberi anak
kepadanya9. Selama pengasingannya lebih dari 20 tahun di Manila,
Hamzah telah menjadi “mualaf” yaitu menjadi seorang Katholik Romaf. Bisa
dikatakan bahwa orang-orang Spanyol telah mengizinkannya untuk kembali ke
Ternate, dengan syarat bahwa ia harus tetap menjadi seorang Katholik Roma, dan berusaha
untuk mengkristenisasi masyarakatnya serta mengakui kekuasaan Spanyol. Sekali
dia aman di atas takhta, ia nampaknya telah melupakan sebagian besar kondisi
ini, kadang-kadang menyebut dirinya seorang Katholik atau seorang Muslim,
karena hal itu cocok dengannya. Leonard Andaya menggambarkannya sebagai
protagonis dari suatu kebijakan baru di kerajaan, yaitu upaya untuk memperkuat
otoritas pemerintah pusat, termasuk kekuatan dirinya sendiri sehingga merugikan
wilayah “pinggiran”. Andaya mengaitkan kebijakan baru ini, dengan fakta bahwa
Hamzah telah tinggal di Manila selama 20 tahun, dan telah terpengaruh ide-ide
bangsa Spanyol tentang otoritas dan kekuatan penguasa, dimana pemerintah
melalui konsensus dan konsultasi dengan para pengikut dan para vassal-nya
kurang dianggap penting10.
Jelas,
bahwa Hamzah memiliki masalah dengan kredibilitasnya, tidak hanya bagi seorang
peneliti abad ke-20 seperti Andaya, tetapi juga bagi orang-orang sezamannya.
Meskipun Belanda (VOC) menganggapnya sebagai sekutu, mereka cenderung tidak
percaya padanya. Pada tahun 1631, Gubernur Ambon, Philip Lucasz, menyebutnya
sebagai Raja “Spanyol”11. Belanda pada masa itu, tidak menyukai
semua yang “berbau” Spanyol atau Katholik, karena di Eropa, Republik Belanda
masih berperang dengan Spanyol. Republik Belanda sendiri adalah hasil dari
pemberontakan melawan Kerajaan Spanyol sekitar 60 tahun sebelumnya. Ketidakpercayaan
terhadap Sultan diperburuk kemudian, pada awal tahun 1640an, ketika VOC di
Ambon “berharap banyak” pada surat dari Hamzah yang ditulis untuk “masyarakatnya”
selama periode 1630an, akhirnya menunjukan bahwa Hamzah telah mendorong berkobarnya
aksi anti-Belanda sejak itu (1630an) hingga sekarang (1640an) dalam
perlawanan-perlawanan mereka12.
Benteng di Lesidi |
Apa
yang terjadi di Ambon pada paruh kedua tahun 1637, setelah Van Diemen kembali,
dan meninggalkan East Indiamen, 2
kapal dan garnisun yang lebih sedikit dari 400 orang???. Pada tahun-tahun
selajutnya, Rumphius percaya kekuatan seperti itu, sepenuhnya tidak cukup untuk
mengatasi “intrik baru”, yang berarti intrik dari Leliato13. Begitu
van Diemen pergi, Kaicili Sibori,
Kapita Laut Ternate, dikirim untuk menetralisir Leliato, dan pihak-pihak yang
mendukung aliansi VOC-Ternate memohon kepada Gubernur Ambon yang baru, Johan
Ottens, untuk membangun benteng kecil di Luhu, di pesisir timur Hoamoal.
Benteng ini dimaksudkan untuk melindungi dirinya (sang gubernur) dan
orang-orang Luhu pengikutnya untuk melawan Leliato dan pengikutnya, yang telah
membentengi diri mereka sendiri di dekat Kambelo, di pesisir barat Hoamol. Pembangunan
benteng ini, menyebabkan satu desa/negeri penting di pantai barat, yaitu
Lesidi, tetangga Kambelo, berbelot ke pihak Sibori dan VOC. Di Hitu, entitas
politik independen di bagian utara pulau Ambon, perkembangannya kurang
menguntungkan VOC. Di sana, Kapitan Hitu, Kakiali, terus tinggal di bentengnya
di wilayah pegunungan bernama Wawani, terlepas dari fakta bahwa Van Diemen
telah membebaskan Kakiali dari tahahan VOC selama proses landdag. Bertentangan dengan perjanjian tanggal 1 Juni 1637, VOC
curiga kalau Kakiali telah menjual setidak setengah bagian kepada pedagang
asing, yang telah mendirikan pangkalan utama mereka di Kambelo. Selain itu,
alih-alih melawan musuh-musuh VOC, Kakiali memohon bantuan dari putri salah
satu sekutu terdekat Leliato. Untuk tujuan ini, Kakiali sendiri bahkan
berkunjung ke Kambelo14.
Ujian
penting otoritas VOC adalah apakah orang-orang Kristen di Pulau Ambon dan Lease
akan mengikuti pelayaran Hongi, yang direncanakan nanti pada tahun 1637. Dalam
hal ini, tampaknya tidak ada masalah, karena Ottens terlihat berlayar dengan 18
kora-kora dan beberapa kapal menjelang akhir Oktober (1637). Setelah kunjungan
ke Lesidi dan Luhu di Hoamoal, Ottens tiba di Hila di Hitu, dimana diputuskan
untuk memperkuat benteng VOC. Empat
perdana atau pemimpin Hitu memberi tahu Gubernur, bahwa Kakiali masih belum
bisa menerima penghinaan ketika tiba-tiba ditangkap VOC 3 tahun sebelumnya,
namun mereka yakin, mampu untuk mencegahnya melancarkan aksi “bencana” politik
kembali. Setelah Hila, pelayaran Hongi berlayar di sekitar kepulauan Lease,
dimana semuanya nampak “tenang”, dan
kembali ke Ambon menjelang akhir November. Namun, dalam bulan-bulan terakhir
tahun itu, situasinya mulai memburuk kembali bagi VOC. Pertama, Kaicili Sibori kehilangan 60 anak buahnya saat melawan
Kimelaha Leliato, yang mana fakta ini membuat Sibori cukup tertekan. Sekarang
Kakiali dan Leliato dilaporkan telah meminta Sultan Makasar untuk mengirim
bantuan berkekuatan 200 kapal. Apakah kekuatan ini pernah tiba atau tidak, pada
saat yang sama Leliato telah bergerak lebih dulu dan memperkuat posisinya
dengan memenangkan hati penduduk Pulau Manipa, Kelang dan Boano untuk
mendukungnya. Kakiali menerima bantuan 4 kora-kora dari Pulau Buru, yang memicu
saingan beratnya di Hitu, Kayoan, sang Perdana Menteri Tanahitumesing yang
bergelar orang kaya tua, untuk
meminta bantuan VOC, memberikan 12 prajurit yang bertugas sebagai pengawal.
Akhirnya, pada awal tahun 1638, 3 desa/negero di bagian barat pulau Ambon,
yaitu Wakasihu, Alang dan Liliboi, memutuskan untuk melanjutkan pemberontakan
mereka sebelumnya melawan VOC15.
Sementara
itu di Batavia, Van Diemen telah mengambil langkah lanjutan. Pada Desember
1637, ia menulis surat kepada Hamzah dengan harapan mendorongnya untuk datang
ke Ambon. Dalam surat itu, ia menyatakan bahwa, seperti permasalahan yang telah
diselesaikan, dengan penguasaan cengkih di tangan VOC, ia bersedia menyerahkan
seluruh kekuasaan VOC di wilayah itu,
yang pada tahun 1605, di masa awal kekuasaan VOC di Ambon, yang bukan wilayah
kekuasaan kerajaan Portugal, akan diserahkan kepada Sultan16. Janji
ini pasti meyakinkan Hamzah akan hal itu, bahwa ada sesuatu yang bisa diperoleh
dan hal itu akan bermanfaat untuk
menyetujui usulan Gubernur untuk bertemu dan segera memulai perjalanan itu.
Tidak diragukan lagi, ia juga tergoda oleh uang, karena dalam proses upaya
mendapatkan kerjasama dengan Hamzah, VOC menjanjikan tunjangan tahunan sebesar
4000 real merupakan solusi memuaskan yang disepakati. Namun, nampaknya sebagian
besar bangsawan di dewan di Ternate, masih menentang perjalanan Hamzah ke
Ambon, alasan lain diantaranya adalah karena mereka bersimpati pada perjuangan
Leliato17. Akibatnya, baru pada tanggal 2 April 1638, Hamzah bersama
hongi mini berkekuatan 11 kora-kora
dan 1 kapal VOC meninggalkan Ternate. Di tengah perjalanan, armada diharuskan
berlabuh di Obi dalam rangka memperbaiki beberapa kora-kora. Di sinilah kapal
VOC kehilangan kontak dengan sisa armada, dan berlayar menuju ke Hila, dimana
Gub Jend telah kembali dari perjalanannya ke Banda. Di atas kapal VOC ini,
berlayar juga penerjemah untuk Yang Mulia SultanTernate, bernama Alonso
Cardinoso, seorang figur yang tampaknya akan berperan penting sebagai perantara
antara Sultan dan Gubernur Jenderal. Pada tanggal 24 April 1638, Hamzah tiba di
Manipa. 12 hari kemudian, Van Diemen berlayar dari Hila ke Kambelo18.
Dari sini, kita akan mengikuti dengan cermat apa yang telah dicatat dalam
jurnal/catatan harian Van Diemen.
Kambelo |
Ketegangan di Kambelo
Armada VOC yang
berlabuh di pangkalan laut Kambelo, terdiri dari 19 kapal. Ketika VOC mengirim
sekelompok pasukan ke lepas pantai untuk mencari air dan kayu bakar, sebuah
suara keras menyambut mereka dari darat, memperingatkan mereka dengan sempurna
ala Belanda, jelas diucapkan oleh seorang pembelot, agar tidak mendarat
dipantai, karena jika mereka melakukannya, mereka akan tewas dengan peluru di
tubuh mereka. Hari berikutnya, tanggal 29 April, Van Diemen mengirim Alonso
Cardinoso dan kapten Jan Silvernagel ke lepas pantai untuk menjumpai Leliato
dan para pedagang asing di atas kapalnya. Setelah beberap pertimbangan,
Cardinoso dan Silvernagel berhasil mengadakan pertemuan dengan Leliato, dan
menyatakan bahwa ia menunda bertemu dengan Gubernur Jend, sampai setelah ia
bertemu dengan atasannya sendiri, yaitu Sultan Hamzah. Berbicara dengan cara
politis seperti ini dianggap prosedur yang benar. Kemudian, pada hari yang
sama, Cardinoso dan Gubernur Ambon, Ottens berangkat ke Manipa untuk menjemput
dan mengawal Hamzah ke Kambelo. Sementara itu, Hamzah mengirim pesan meminta
Van Diemen untuk tidak mengambil tindakan terhadap pedagang asing dan Leliato,
sebelum dia dapat hadir sendiri. Pada tanggal 1 Mei, Hamzah mendelegasikan Warnu,
utusan resminya pergi ke Leliato dengan harapan untuk meyakinkan Leliato untuk mengijinkan
VOC berlabuh di pantai. Ini terbukti tidak berhasil. 3 hari kemudian, pada
tanggal 4 Mei, Hamzah akhirnya tiba di Kambelo. Meskipun sangat lelah, Yang
Mulia setuju untuk segera berkunjung ke Gubernur Jend di kapal utama Frederik Hendrik. Pada saat tiba, kalung
emas di pakaikan di leher Hamzah dan memberinya sebatang emas sebagai hadiah.
Kemudian, Sultan berjalan melalui penjaga kehormatan ke tempat yang dihiasi dengan
permadani. Pada saat itu, armada memberi penghormatan dengan 20 tembakan.
Setelah Yang Mulia selesai menginspeksi kapal, ia kembali pulang dan menuju ke
lepas pantai di antara Kambelo dan Lesidi. Dari sanalah kora-koranya ditarik ke
pantai, dimana ia dan rombongan ditempatkan di tempat tinggal sementara. Pada
saat dia tiba di sana, orang-orang Kambelo dan para pedagang asing, seluruhnya
sekitar 600 orang, 200 diantaranya adalah serdadu bersenjata, melakukan parade
dan melakukan tarian perang (cakalele) untuk menghormati Yang Mulia. Setelah
itu, Leliato dan rombongannya diterima untuk audiensi, mempersembahkan senjata,
beras, dan pakaian sebagai hadiah19.
Pada tanggal 5 Mei,
negosiasi sesungguhnya dimulai. Untuk memfasilitasi hal ini, Hamzah dan rombongannya
sekali lagi naik ke kapal. Gubernur Jend membuka proses itu, dengan menyalahkan
para pedagang asing atas situasi tersebut dan menyatakan bahwa semuanya telah
diprovokasi oleh Kerajaan Makasar, yang berkembang semakin kuat dan telah
mengambil banyak wilayah dari Kesultanan Ternate. Akibatnya, Leliato dan para pedagang
ini harus dihadirkan di kapal dan milik mereka harus dihancurkan. Sultan setuju
dengan analisis, tetapi mengusulkan agar pertemuan dengan Leliato dan
pengikutnya harus di lakukan di darat, dan bukan di kapal VOC. Hal ini
bertentangan dengan keinginannya sendiri, namun Van Diemen memutuskan untuk
menyetujui usul Hamzah. Keesokan harinya, 20 kora-kora dari pulau Ambon dan
Lease tiba, sehingga menambah kekuatan militer VOC. Melakukan usaha terbaiknya
sebagai perantara, Hamzah berbicara selama seharian dengan Leliato, yang
menghasilkan efek sedemikian rupa, sehingga Belanda (VOC) bisa melihat sejak
awal pembongkaran kubu-kubu pertahanan di pantai Kambelo. Pada tanggal 7 Mei,
Gubernur Ottens dikawal oleh Johu Luhu di sekitaran pantai. Johu Luhu ini,
adalah keponakan Leliato, yang memerintah Hoamoal hingga tahun 1634. Kini ia
telah kembali dengan Hamzah ke Ambon, dimana dia seharusnya mengambil alih
posisi Leliato. Setelah menginspeksi sekitaran pantai, Ottens diberitahu oleh
Hamzah dan Johu Luhu, telah disepakati bahwa kubu-kubu pertahanan akan segera
dibongkar sama sekali dan pedagang asing diperintahkan untuk menghentikan
“penyelundupan” cengkih. Setelah menyelesaikan masalah sejauh ini, mereka kemudian mengundang
Gubernur Jend untuk turun ke pantai. Ottens, bagaimanapun berniat untuk menunda kunjungan semacam itu,
karena, setidaknya menurut pandangannya, pembongkaran baru saja dimulai. Jadi,
sebagai pernyataan maaf, ia memberi tahu Sultan bahwa jika Van Diemen tiba di
darat, ia akan menerima Gub Jend dengan kekuatan militer yang besar. Menurut
Ottens, pada saat itu belum ada ruang yang cukup di pantai untuk menampung
kekuatan ini20.
Pada tanggal 8 Mei,
Sultan mengirim delegasi ke kapal, dan menolak untuk datang sendiri, menyatakan
bahwa masalah penyelundupan cengkih yang telah terjadi telah diselesaikan, dan
yang tersisa hanyalah pertanyaan-pertanyaan tentang wilayah.
Pertanyaan-pertanyaan ini harus didiskusikan dengan para penguasa lokal, yang
banyak juga datang. Van Diemen menjawab menggunakan “kata-kata yang sangat
kasar”, bahwa pembongkaran kubu-kubu pertahanan harus tuntas, para pedagang
asing harus dihukum, dan 2 desertir VOC harus diserahkan ke VOC, sebelum ia
tiba di pantai. Setelah mendengar ini, tampaknya Hamzah memerintahkan Leliato
dengan marah-marah untuk segera melanjutkan pembongkaran dan menyerahkan para
desertir. Selain itu, dia (Sultan) berjanji pada Van Diemen bahwa dia akan
berkunjung ke kapal pada hari berikutnya. Namun, sebelum Hamzah muncul, kedua
pembelot itu telah diserahkan ke VOC. Mereka terbukti menjadi sumber penting
informasi. Ketika Hamzah sendiri tiba, dia menyetujui bahwa dalam beberapa hari
para pedagang asing akan dipulangkan dengan izin VOC, dan hanya membawa cukup
makanan untuk perbekalan mereka. Namun, dia masih menuntut bahwa permintaan semacam
itu harus tetap diberikan kepada mereka, dan kepada Leliato tetap berada di
darat daripada pergi ke kapal Frederik
Hendrik. Apapun situasinya, selama beberapa hari berikutnya, para pedagang
tidak menunjukan niat untuk pergi, pertama karena mereka takut pada kapal
perang VOC, dan yang kedua, karena kapal mereka sendiri belum siap untuk
melakukan perjalanan. Sebaliknya, kebanyakan dari mereka memilih untuk “mundur”
dan bersembunyi di gunung kubu pertahanan Leliato di pedalaman. Meskipun Hamzah
tampaknya cenderung memberi pedagang asing waktu tambahan, Van Diemen menuntut
agar mereka harus pergi pada tanggal 12. Sementara itu, Kaicili Sibori diusulkan
untuk membawa Leliato dan Johu Luhu, yang tidak percaya siapapun, ke tahanan
sementara saat masalah dengan para pedagang asing diselesaikan21.
Tanggal 12 Mei,
terlihat Leliato dan Johu Luhu ditangkap atas perintah dari Sultan Hamzah. Atas
permintaan Sultan, Van Diemen mengirim pasukan ke darat untuk menjaga tahanan.
Namun, para pedagang asing masih bersembunyi, kecuali seorang dari Banten, yang
mengambil surat jalan/izin dari VOC dan berlayar pulang. Hari berikutnya, Van
Diemen mengirim satu pesan lagi untuk Sultan, mendesaknya agar para pedagang
segera diusir. Sultan juga diberitahu bahwa VOC ingin mendirikan benteng di
tempat-tempat strategis di wilayah kekuasaan Sultan, dan masalah-masalah lain harus
dibahas baik di benteng Victoria atau di Hila. Hamzah merespon bahwa dia tidak
berkeberatan untuk menentang pendirian benteng-benteng VOC di wilayah
kekuasaannya, dengan ketentuan bahwa
para pemimpin lokal, yang wilayah/lokasinya digunakan untuk itu, baiknya
diberikan pemberitahuan dengan tepat. Menyangkut lokasi negosiasi lanjutan,
Yang Mulia tidak memiliki pilihan. Beberapa hari berikutnya, para pedagang menunjukan
kecenderungan untuk pergi, tetapi pergerakan mereka masih lambat dalam
pandangan orang-orang VOC. Dalam bayangan Van Diemen, ia melihat betapa luar
biasanya toleransi akan hal itu yang diperlambat oleh Sultan, yang “tangannya
(Sultan)”, ia (Van Diemen) mencurigai, telah “diisi (disogok)” oleh para
pedagang. Alhasil, pada tanggal 16 Mei, Van Diemen meluncurkan pasukan VOC dan para
pejuang orang Ambon dari armada hongi untuk
membakar dan menghancurkan 200 rumah dan 50 kapal di pantai22.
Menurut Hikayat Tanah Hitu, yang
ditulis oleh Ridjali sekitar 10an tahun berikutnya, menyebut bahwa Belanda
menyerang Kambelo setelah benteng di pantai sudah dihancurkan23.
Sultan Hamzah
diberitakan cukup terganggu dengan aksi VOC ini, dan takut bahwa semua
kekerasan ini akan merusak penyelesaian masalah-masalah lain yang belum
dibahas. Dikarenakan kora-koranya berukuran kecil, maka ia (Sultan) mengusulkan
agar pertemuan untuk membahas masalah ini diadakan di Lesidi daripada di tempat
lain. Gubernur Jend menanggapi Sultan, bahwa ia tidak mau menuju ke Lesidi,
karena, pertama, para musuh masih melakukan tindakan-tindakan permusuhan dari
markas besar mereka (VOC) di Masalain di wilayah pegunungan di belakang
Kambelo, dan, kedua, karena faktor-faktor angin di pangkalan laut Kambelo dan
Lesidi, menjadi tempat berlabuh yang sulit bagi kapal-kapal VOC. Benar-benar
dibutuhkan beberapa hari untuk mengangkat jangkar kapal mereka dan berlayar ke
Hila atau benteng Victoria. Pesan ini, yang disampaikan pada tanggal 18 Mei,
adalah kekecawaan lebih lanjut terhadap Hamzah, yang segera mengingatkan Van
Diemen, bahwa dia harus “mempertimbangkan” kembali janjinya, bahwa Kesultanan
Ternate akan diberikan kedaulatan atas semua wilayah yang tidak dikuasai
Portugis pada tahun 1605 itu. Bagaimana caranya, Van Diemen tetap “menjaga”
janjinya, agar Hamzah langsung mengikutinya ke Hila dan membawa semua orang
Ternate dan orang asing lainnya bersamanya pada saat keberangkatannya kembali
ke Maluku (Ternate), sekaligus dengan serentak “ kekuasaan utama pada
wilayah-wilayah kekuasaan Sultan di daerah ini” akan didelegasikan kepada
Gubernur VOC (Gubernur Ambon). Hal inilah yang ingin didengar oleh Gubernur
Jenderal. Akibatnya, ia (Van Diemen) tiba-tiba mengirim tanggapan tegas kepada
Hamzah, yang mendorong Yang Mulia untuk memutuskan berangkat ke Hila dalam
beberapa hari. Keesokan harinya, tanggal 19 Mei, Hamzah memberitahukan bahwa
dia lebih suka untuk tidak melihat Kimelaha Leliato yang telah ditangkap
diserahkan kepada Van Diemen. Hal ini akan dianggap sebagai tindakan “tidak
menghormati” Kesultanan Ternate. Gubernur Jenderal masih mendesak agar kedua
kimelaha itu (Leliato dan Johu Luhu) diserahkan kepada pihak mereka, sementara
Sultan mengusulkan agar Leliato tetap dijaga dalam tahanan dan membebaskan Johu
Luhu untuk mempercepat pulangnya pedagang asing. Van Diemen setuju untuk
membebaskan Johu Luhu, tetap saja menuntut penyerahan Leliato dengan janji
tetap membiarkannya hidup. Setelah beberapa pembicaraan lebih lanjut, kedua
belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan, yaitu Leliato ditempatkan dibawah
tahanan VOC, dan Hamzah diberikan 50 serdadu VOC sebagai pengawal24
pribadinya.
====
bersambung ====
Catatan Kaki
- VOC 1126c:382v-383r, 396v, 402v, 418r, 423v.
- Rumphius, 'Ambonsche Historie', 161.
- VOC 1126c,'Journael.
- Knaap, 'Crisis and Failure'.
- Ibid., 1, 7.
- Ibid., 17-24.
- Enkhuizen 399, 215; Rumphius, 'Ambonsche Historie', 150.
- VOC 860.
- Valentijn, Oost-lndien, 257; Fraassen,'Ternate', Vol. 2, 17-19.
- Andaya, World of Maluku, 158-162.
- Knaap, Memories van overgave, 79.
- Rumphius, 'Ambonsche Historie', 203-204.
- Ibid., 154.
- Heeres, 'Corpus Diplomaticum', 300-302; Rumphius, 'Ambonsche Historie',156-157; Knaap, 'Crisis and Failure', 19.
- Rumphius, 'Ambonsche Historie', 157-160.
- VOC 862, 21.
- VOC 1127a, 239r, 242v.
- VOC 1126c, 418v-419v, 42 lv, 423r.
- Ibid., 423v-428r.
- Ibid., 428r-430v; Fraassen, Ternate', Vol.2, 80, 84-85.
- VOC 1126c, 431 r-436v.
- Ibid., 437r-441v.
- Manusama, 'Hikayat Tanah Hitu', 136.
- VOC 1126c, 441 v-449r.
Catatan Tambahan :
- Anthonie/Anthonio van Diemen menjadi Gubernur Jend VOC sejak 1 Januari 1636 – 12 April 1645. Ia menggantikan Gubernur Jend sebelumnya, Hendrik Brouwer (1632-1636).
- Sultan Makasar yang dimaksud adalah Sultan Ala’ud-din, berkuasa pada 1593 – 1639. Ala’ud-din dilahirkan dengan nama I Manngarangi, dengan gelar bangsawannya I Daeng Manraqbia. Tentang kiprah sultan Makasar ini, termasuk terlibat dalam hubungan dengan Kimelaha Leliato bisa dilihat pada :
§ William.
P. Cummings, A Chain of Kings : The
Makassarese chronicles of Gowa and Talloq, Leiden, KITLV Press, 2007
§ D.K.
Basset, English Trade In Celebes
1613-1667 (dimuat pada Journal of the Malayan Branch of the Royal
Asiatic Society, volume 31, No 1 (181), May 1958, hal 1-39)
§ Jhon
Villiers, One of the Especiallest Flowers
in our Garden : The English Factory at Makassar, 1613 – 1667 (dimuat pada Journal Archipel, volume 39, 1990,
halaman 159 – 178)
- Pada tanggal 1 April 1606, Spanyol melancarkan serangan ke Ternate dan menaklukan kota itu. Serangan ini dipimpin oleh Gubernur Spanyol di Manila, Dom Pedro Bravo da Acuna. Lihat :
§ Jhon
Villiers, Manila and Maluku: Trade and
Warfare in the Eastern Archipelago, 1580 – 1640 (dimuat pada Journal Philippine Studies, volume 34,
No 2 (1986), halaman 146 – 161, khususnya hal 150)
§ M.
Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan
Sejarah Maluku Utara 1250 -1950, Ternate, Universitas Khairun, 2002, Hal 61
- Saidi Berkat atau Sultan Saidudin menjadi Sultan Ternate yang ke-5 dan berkuasa pada 1584-1610. Ia menggantikan Sultan Baabulah (1570 – 1584). Menurut sumber dari F.S.A. de Clerck, Saidudin disebut Sahid Berkat oleh Francois Valentijn dan J.K.J. de Jonge dalam tulisan-tulisan mereka.
§ de Clerk, F.S.A.
Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890.
(edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency
and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition,
Washington DC, 1999, Halaman 110, catatan kaki no 23
e.
Knaap
berbeda dalam soal informasi ini dengan beberapa penulis lainnya, misalnya
Valentijn, Coolhas, Jacobs dan Andaya. Knaap menyebut kalau Hamzah kembali ke
Ternate pada tahun 1628, sedangkan penulis lain menyebut pada awal tahun 1627. Lihat
:
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indien, volume I, bag
b, hal 255
§ W.Ph. Coolhas, Genarale Missiven........volume 1,
halaman 309, catatan kaki no 5
§ Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia, volume 3, halaman
470, catatan kaki no 11
§ Leonard Andaya, The World of Maluku...., Honolulu,
University of Hawaai Press, 1993, hal 158-159, atau pada versi Indonesia pada
hal 214
f.
Hamzah
dibaptis dan nama baptisnya adalah Don Pedro da Acuna. Lihat
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost Indien, volume I, bag
b, hal 255
§ Leonard Andaya, The World of Maluku...., Honolulu,
University of Hawaai Press, 1993, hal 159, atau pada versi Indonesia pada hal
214
§ Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia, volume 3, halaman
470, catatan kaki no 11
M.
Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan
Sejarah Maluku Utara 1250 -1950, Ternate, Universitas Khairun, 2002, Hal 69,
catatan kaki no 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar