(bag
2)
Oleh
Gerrit J Knaap
Pertunjukan kekuatan di Hila
Pada malam hari tanggal 21 Mei, armada
hongi orang-orang Ambon berlayar
menyeberangi 40 km antara Kambelo daan Hila. Sekitar 20an jam berikutnya,
armada Van Diemen juga berlayar dari Kambelo, tetapi terhambat angin dan arus yang
“menggila” sekitar 6 jam berikutnya, sebelum mereka tiba di Hila. Atas
kedatangan Leliato yang dibawa ke hadapan Gubernur Jend di atas kapal Frederik Hendrik. Leliato mengakui bahwa
dia bertanggungjawab atas masalah di daerah tersebut. Tetapi sekarang, setelah
semua situasi kembali tenang, ia berharap diizinkan tetap tinggal dan posisinya
dikembalikan seperti semula oleh Sultan dan Gubernur Jend. Melalui cara ini,
dia dapat taat menjaga perjanjian antara Ternate dan VOC. Van Diemen tidak
menanggapi harapan optimis seperti itu25.
Karena Hamzah belum tiba di
Hila, Van Diemen mempunyai waktu untuk menaruh perhatian pada Kakiali, Kapitan
Hitu, yang masih tetap bersembunyi dari VOC di bentengnya di Wawani. Sebelumnya,
selama ekspedisi itu, telah dilakukan beberapa upaya untuk mengatur pertemuan.
Pada akhir Februari, Van Diemen telah diberikan informasi bahwa Kakiali
membenci Kayoan, Perdana Tanahitumesing
dan Orang tua kaya, sehingga selama
Kayoan memegang jabatannya, tidak ada masalah yang bisa diselesaikan antara VOC
dan mayoritas penduduk Hitu. Selain itu, Kakiali “masih menanggung beban karat dari belenggu [VOC] di kakinya, yang tak
bisa dicuci atau dilupakan”. Ingatan terhadap penghinaan yang menimpanya
oleh Gubernur Ambon, Anthonie van de Heuvel pada tahun 1634, tidak mampu
dilupakan. Selanjutnya, di awal Maret, Kakiali meminta maaf atas kegagalannya
menemui Van Diemen dengan menyatakan bahwa “ kelelahan akibat beratnya rantai yang ditanggung lama telah mencegahnya”,
menyebabkan Van Diemen merespon bahwa “selama
kapitan Hitu masih memikirkan hal itu, itu tidak akan baik untuk tanah Hitu”. Setelah
Van Diemen kembali dari Banda, namun sebelum tiba di Kambelo, pada tanggal 24
April, Kakiali telah mengirim utusan khusus untuk menyampaikan hormat. Kakiali
memohon maaf sekali lagi, dengan mengatakan bahwa kakinya “lemah” karena luka
yang membusuk. Van Diemen diminta untuk mengirim salah satu pembantunya untuk
memastikan apakah Kakiali mengatakan yang sebenarnya. Beberapa hari kemudian,
suatu delegasi VOC yang dipimpin oleh pedagang Wouter Seroyena
membawa hadiah berupa cincin bernilai 300 gulden, opium dan kain mahal untuk
istri Kakiali, mengkonfirmasi bahwa cerita kaki Kakiali yang terluka bukanlah kebohongan26.
Pada tanggal 27 Mei, Van Diemen
kembali mengirim utusan ke Wawani, meminta Kakiali untuk turun dari bentengnya,
karena luka di kakinya sekarang hampir sembuh. Utusan itu memberi tahu Kakiali
bahwa Sultan akan tiba dalam beberapa hari, dan bahwa ia akan mengklaim
kekuasaannya atas Hitu. Jika Kakiali memiliki argumen-argumen atau
dokumen-dokumen yang akan membantah tunduknya Hitu pada Ternate, ia harus
membawa semua itu pada saat bertemu. Utusan melihat Kakiali dalam suasana hati
yang baik. Perasaan kurang riang nampak di antara para pengikutnya, karena ada
beberapa yang terkejut dengan penangkapan Leliato, bekas sekutu mereka saat
melawan VOC. Di Wawani, para utusan juga
mendapati Warnu, utusan resmi Hamzah, yang bertanya mengapa Van Diemen memberi
perintah kepada orang Hitu, yang merupakan orang Muslim, dan tidak bagi orang
Kristen, dan karenanya bukan “pengikut” dari VOC. Dua hari kemudian, Warnu
dicegat dalam perjalanan kembali dari Wawani ke Lesidi dan ditegur keras karena
kata-kata itu. Pada hari yang sama, Kakiali menyampaikan bahwa dia bermaksud
untuk turun, segera setelah Sultan dan Gubernur Jend, keduanya telah berada di
Hila. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa leluhurnya pernah menjadi “pengikut” Kesultanan
Ternate, tetapi ayahnya dan dia sendiri telah bersekutu dengan VOC. Van Diemen
menjawab bahwa jika Hitu ingin tetap berada sebagai “pengikut perbudakan” dari
Ternate, itu tidak jadi masalah sepanjang cengkih tetap dikirim ke VOC. Akhirnya,
utusan Kakiali meminta pinjaman sebesar 100 real, untuk membeli hadiah untuk
Sultan. Pinjaman ini ditolak. Beberapa hari kemudian, Gubernur Jend mendengar
bahwa Kakiali memiliki rumah sementara yang dibangun di pesisir Wawani untuk
menerima Sultan. Van Diemen langsung bereaksi, memerintahkan agar rumah ini
tidak dibangun di pesisir Wawani tetapi di pesisir Hila, dekat benteng VOC.
Kakiali menuruti perintah ini27.
Antara
tanggal 4 dan 6 Juni, Hamzah dan Johu Luhu, dalam 2 rombongan terpisah berlayar
menggunakan hongi orang-orang Ternate
berlayar dari Lesidi ke Hila. Pada akhirnya, Hamzah berhasil dengan susah payah
mengumpulkan kekuatan tangguh, yang berkekuatan 40 kora-kora, besar maupun
kecil, dengan lebih dari 4.000 orang, serta 1.500 orang yang dipersenjatai
untuk berperang. Beberapa pemimpin Hitu bahkan berjalan ke air laut hingga
tingginya sepinggang mereka untuk menyambut Sultan dengan sikap rendah hati. Di
Pantai, 400 orang pengikut Kakiali, mengadakan parade, dan Sultan merasa
terhormat dengan bagitu banyak hadiah, diantaranya adalah sebuah kursi yang
terbungkus rapi dengan kain. Rumphius kemudian berkomentar, bahwa orang-orang
Hitu telah meminjam begitu banyak uang untuk hadiah ini, dimana selama 30 tahun
kemudian, mereka masih mencicil utang mereka. Sementara itu, Van Diemen
mendengar rumor bahwa Kakiali bermaksud untuk tidak turun, sebelum Leliato
dibebaskan. Akibatnya, ia mengemukakan kepada Sultan dan para pemimpin Hitu
lainnya, bahwa jika ia tidak muncul dalam waktu 2x24 jam, maka ia langsung
dinyatakan sebagai musuh. Dia juga mengingatkan Hamzah, bahwa semua hal bisa
diselesaikan secara damai, dengan syarat bahwa VOC mendapatkan semua cengkih dengan
harga yang telah ditentukan. Hamzah, pada bagiannya, berharap bisa menjamin hal
ini, dengan membawa semua orang Ternate dan orang asing lainnya kembali ke
Ternate, sedangkan urusan pemerintahan dan pengumpulan pajak sebaiknya ditunda,
dan akan ditangani oleh Gubernur Ambon yang bekerjasama dengan orang-orang
Ternate terpercaya, yang akan tetap tinggal untuk menyelesaikan urusan “kecil”
yang terjadi di antara pengikut Yang Mulia. Selain itu, Hamzah mengulangi bahwa
di masa depan, para pedagang asing hanya akan diizinkan jika mereka memiliki
surat ijin dari VOC. VOC juga akan diberikan hak untuk membangun benteng dan garnisun
di wilayah kekuasaan Ternate. Mengingat ini semua terasa meyakinkan, Van Diemen
bahkan lebih yakin lagi bahwa negosiasi berikutnya, akan lebih menguntungkan
bagi Belanda (VOC)28.
Beberapa
hari berikutnya, pengikut Kakiali baik dari Wawani maupun orang Hitu, yang masih
berlindung di Kapahaha dibawah kepemimpinan Telukabesi, muncul. Van Diemen
sekali lagi menegaskan kepada Hamzah, betapa semua ini membuatnya merasa
frustrasi, lebih-lebih karena dia telah menunjukan dirinya cukup lunak dengan
membebaskan Kakiali setahun sebelumnya. Sementara itu, para pemimpin dari orang-orang
Kristen Leitimor dan dari Luhu di Hoamoal tiba di Hila untuk ikut serta dalam
negosiasi. Pada tanggal 9 dan 10 Juni, delegasi lain, yang terdiri dari
pemimpin Hitu dan pedagang Wouter Seroyen, berkunjung lagi ke Wawani, memberi
tahu Kakiali, jika dia tidak turun dalam 2x24 jam, dia akan dinyatakan sebagai
musuh publik. Kakiali sedikit kesal dengan hal ini, namun tetap berjanji untuk
bekerjasama. Kemudian, pada tanggal 10, Hamzah memberitahukan lewat Alonso
Cardinoso bahwa dia cukup kesal karena utusan ke Wawani itu, tidak datang ke
kora-koranya terlebih dahulu, untuk membawa seseorang atas nama Yang Mulia. Dia
sama sekali tidak senang [Gubernur] Jenderal sedang berusaha untuk mengatur
semuanya sendiri, sementara penduduk Hitu menganggap dirinya sebagai Raja
mereka, meskipun mereka tidak membayar upeti dan dia tidak menerima penghasilan
sama sekali dari mereka. Selanjutnya, para perwira militer VOC telah menilai
bahwa Yang Mulia menjadi orang yang tidak jujur, yang bermaksud mengatur
hal-hal yang tidak patut, sebaliknya dia melakukan hal-hal terbaik yang dia
bisa lakukan, dan sudah sejauh ini, semuanya berjalan sesuai cara atas nama
permintaan kerajaannya. Namun, keesokan
harinya, tanggal 11, Van Diemen mengirim Alonso Cardinoso ke Hamzah dengan
alasan dan ungkapan niat baik. Hamzah pada gilirannya, mengatakan bahwa ia akan
kembali ke pantai untuk negosiasi hari itu. Namun, karena terhalang pada shalat
jumat, janji ini tidak terwujud. Sekarang giliran Van Diemen yang kesal29.
Luhu (1724) |
Pada
tanggal 12 Juni, sesi pertama dari pertemuan umum itu akhirnya diadakan. Lokasi
pertemuan itu ada berada di dalam tembok pertahanan yang mengelilingi benteng
VOC. Tembok pertahanan itu berkonstruksi dari batu koral. Yang tidak hadir
adalah Kakiali, Tulukabesi, dan orang-orang dari Hatuhaha dan Iha-mao di
kepulauan Lease. Pertemuan itu dibuka
dengan pidato Sultan, dimana ia mengklarifikasi alasan untuk menerima undangan Gubernur
Jend untuk datang, yaitu untuk menyelesaikan masalah antara rakyatnya dengan
VOC tentang para pedagang asing dan “penyelundupan” cengkih dengan imbalan
“restitusi” atas semua wilayah dan penduduk yang bukan termasuk kekuasaan
Portugis pada tahun 1605, dan kini telah dibawah kekuasaan VOC atau pengaruh-pengaruh
sesudahnya. Setelah ini, Gubernur Jenderal memberikan pidato, dimana ia
berjanji untuk memuaskan “keinginan” Sultan, dengan syarat semua cengkih yang
berada dalam kepemilikan Sultan akan dikirimkan ke VOC, dengan mengenyampingkan
pihak ketiga. Selanjutnya, sebuah diskusi luas dikembangkan, hal ini dipicu
oleh Johu Luhu, yang mencoba bertanya tentang wilayah mana yang merupakan
wilayah kekuasaan milik Ternate dan yang mana milik VOC. Iha-mao disebut berada
di luar lingkup wilayah kekuasaan Portugal dan VOC, sementara Hatuhaha disebut
berada dalam lingkup wilayah kekuasaan VOC, seperti sebelumnya berada dalam
kekuasaan Portugis untuk waktu yang singkat. Orang Hitu, yang dipimpin oleh
Barus, Perdana Nusatapi, menyatakan
bahwa Hitu tunduk pada Sultan Ternate, ”karena
mereka menyebut nama Yang Mulia di mesjid dan agama mereka”. Subjek-subjek
VOC yang Kristen segera meragukan pernyataan ini. Titik diskusi ini ditutup
dengan permintaan dari Hamzah kepada Van Diemen, agar memperlihatkan
dokumen-dokumen lama untuk memverifikasi klaim Belanda (VOC) atas kedaulatan wilayah
tertentu. Sebelum pertemuan bubar, Permata, salah satu anggota Orang Kaya dari Luhu, meminta kenaikan
harga cengkih, dari 60 menjadi 100 real per bahar atau 550 lbs Amsterdam. Ini
merupakan harga yang dibayar oleh para pedagang asing. Johu Luhu mendukung
permintaan ini. Van Diemen menolak permintaan ini, dengan menambahkan argumen,
bahwa apa yang dimiliki VOC adalah perjanjian, yang di dalamnya mewajibkan VOC
untuk melindungi orang-orang Ambon dan Ternate terhadap Spanyol dan Ternate,
dan bahwa hal ini memerlukan sejumlah uang
untuk pemeliharaan benteng dan garnisun. Para pedagang asing tidak
melakukannya untuk memenuhi biaya tersebut, yang mana menjelaskan kalau tawaran
mereka lebih tinggi untuk harga cengkih. Meskipun tertekan, Van Diemen tidak
menyerah dalam hal ini, dimana ia menyadari dirinya didukung oleh Hamzah30.
Sesi berikutnya dari rapat umum
berlangsung 2 hari kemudian, pada tanggal 14 Juni. Pada hari “kosong” itu,
Belanda (VOC) sibuk menginterogasi berbagai subyek-subyek orang Ambon tentang hak-hak
sejarah atas wilayah tertentu. Pada hari itu, delegasi dari Iha-mao dan
Hatuhaha muncul di depan Van Diemen, mengeluh dengan pahit tentang “hinaan”
yang mereka alami dari utusan-utusan Hamzah. Sesi pada tanggal 14 itu sendiri,
dimulai dengan pernyataan oleh Hamzah yang menegaskan bahwa dia adalah penguasa
Hitu, sebuah fakta yang secara terbuka dikonfirmasi oleh para pemimpin Hitu.
Selain itu, Hamzah juga mengklaim kekuasaannya atas 7 negeri/desa di sebelah
barat Hitu, yaitu Uring, Asilulu, Larike, Wakasihu, Tapi, Alang dan Lilibooi.
Belanda membah klaim ini, dengan mengatakan bahwa wilayah-wilayah itu secara
tradisional berada dalam kekuasaan Portugis. Kata-kata kasar saling bertukar,
sebelum diputuskan untuk menunda diskusi tentang titik ini. Sekarang, Van Diemen
memperlihatkan dirinya dalam suasana hati untuk melangkah lebih jauh dalam soal
tuntutan. Setelah dia mendapatkan kepastian, bahwa subyek-subyek VOC akan masih
diizinkan untuk mengelola sagu di wilayah-wilayah kekuasaan Sultan di Seram,
dan bahwa subyek-subyek Sultan tetap harus mendayung dalam pelayaran hongi VOC
jika dalam keadaan darurat, Van Diemen juga mengklaim hak untuk mencalonkan
kepemimpinan Hitu, yaitu 4 Perdana serta
Kapitan Hitu, setiap kali terjadi
kekosongan jabatan itu. Hamzah menerima semua itu. Apalagi Hamzah juga
menawarkan pergi ke pesisir Wawani dan berunding di sana bersama Kakiali. Van
Diemen menganggap ini adalah ide yang bagus. Karena jam semakin larut,
diputuskan untuk melanjutkan keesokan harinya Tanggal 15 Juni, akan menjadi
hari ketiga sekaligus hari terakhir dari pertemuan umum itu. Hamzah sekali lagi
mengklaim 7 negeri/desa di sebelah barat Hitu, yang kemudian ditukar dengan 7
negeri/desa di Seram yang terletak di sekitar Kaibobu. Namun, tidak ada
kesepakatan yang dicapai. Dikarenakan hujan lebat dan perasaan ragu akan
“keamanan”, Van Diemen memutuskan untuk mengakhiri pertemuan. Tampaknya telah
ada 700 hingga 800 orang Ternate di dalam ruang sempit benteng, yang sudah
rusak dengan jumlah yang begitu besar. Suasana seperti itu cukup genting, dan
selain itu, hujan membuat para serdadu VOC tidak mungkin menggunakan senapan
mereka, jika diperlukan. Di bawah kondisi seperti ini, Belanda khawatir hal-hal
tidak terduga mungkin akan “mengejutkan” mereka31.
Manipa (1724) |
Sehari
setelahnya, para pemimpin Hitu mengunjungi van Diemen untuk mengatakan hal di
pertemuan itu, bahwa mereka tidak menentang klaim kedaulatan Ternate atas Hitu,
karena mereka merasa terintimidasi oleh Yang Mulia dan kekuatannya yang
mengesankan. Sebenarnya, mereka tidak setuju dengan klaim tersebut. Setelah
pulangnya Hamzah, mereka berniat melihat perjanjian-perjanjian sebelumnya
dengan VOC, dimana mereka menyimpulkan bahwa mereka adalah mitra yang independen.
Van Diemen mengatakan bahwa dia telah memperingatkan mereka tentang skenario
seperti itu, namun “bencana” telah terjadi, dan bahwa telah terlambat untuk
membatalkan klaim kedaulatan Ternate, yang bagaimana pun juga telah
dikonfirmasi dan diakui sendiri oleh orang-orang Hitu di muka umum. Keesokan
harinya, tanggal 17 Juni, Van Diemen menyelesaikan beberapa urusan di antara
orang-orang Kristen Ambon. Hamzah juga mengirim delegasi yang meminta agar Leliato
diserahkan dan akan dibawa kembali ke Ternate, dimana dia akan dihukum. Menolak
untuk terburu-buru, Van Diemen menjawab bahwa dia ingin berbicara dengan Hamzah
tentang hal ini secara langsung. Pada tanggal 18 Juni, Hamzah mengunjungi Van
Diemen. Pada kesempatan ini, Yang Mulia diberikan hadiah keris berwarna emas
yang sarungnya dilapisi dengan batu delima. Van Diemen juga meyakinkan Yang
Mulia, dengan cara menunjukan dokumen-dokumen tertulis dan peta-peta, bahwa 7
negeri/desa di sebelah barat Hitu bukanlah milik kedaulatan Ternate. Hamzah sekarang
mengurangi sebagian besar tekanannya kepada Van Diemen. Delegasi dari Lesidi
dan Kambelo, sekali lagi meminta harga yang lebih tinggi untuk cengkih. Van
Diemen kembali menolak, tetapi berjanji dia akan membahas masalah ini dengan
para Direktur di Amsterdam. Hari itu berakhir dengan penyusunan draft untuk
perjanjian baru. Pada tanggal 19 Juni, para orang Kristen Ambon kembali pulang
dengan hadiah-hadiah yang diberikan kepada mereka. Sekretaris Van Diemen, Pieter
Mestdaghb, dan penerjemah, Alonso Cardinoso menemui Hamzah dengan
rancangan perjanjian untuk dibacakan kepadanya dan menjelaskan isinya dalam
bahasa Ternate32.
Kegiatan
terakhir pertemuan di Hila itu berlangsung pada tanggal 20 dan 21 Juni 1638. Kegiatan
itu dibuka dengan kunjungan Hamzah ke Van Diemen di atas kapal Frederik Hendrik, dan permintaannya yang
akan diberikan 4.000 real yang dijanjikan VOC, yang imbalannya VOC akan menjadi
penerima semua cengkih dari wilayah kekuasaan Ternate. Ada juga permintaan yang
menanyakan, apakah mungkin Gubernur Ambon bekerjasama dengan orang, yang akan
diusulkan atas nama Kesultanan Ternate untuk memerintah wilayah-wilayah
kekuasaan Ternate di Ambon, untuk mengirim upeti yang dikumpulkan ke Ternate. Van
Diemen tidak berkeberatan dengan hal ini. Setelah berdiskusi tentang sejumlah
hal mengenai masalah Maluku itu sendiri, Hamzah meninggalkan kapal. Pada saat
ia akan pergi, Hamzah sekali lagi
mengusulkan agar Leliato bisa dibawa ke Ternate. Van Diemen menolak
usulan ini dengan cara yang paling menawan, yang mengatakan bahwa ia ingin
membawa Leliato ke Batavia, memperlihatkannya ke Dewan Hindia (Raad van Indie) dan kemudian
mengembalikannya kepada Yang Mulia, dengan janji tidak akan membahayakan
keselamatannya. Hamzah tampak puas saat itu. Di Tanggal 21 Juni, Hamzah datang
kembali untuk terakhir kalinya. Van Diemen sendiri yang membaca traktat
perjanjian itu dengan suara keras. Perjanjian itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Ternate oleh Alonso Cardinoso. Setelah ini, perjanjian itu “disetujui”,
“diputuskan”, “bertanda tangan di bawah ini” dan “ selamanya tak terpisahkan”. Setelah
penyerahan salinan perjanjian itu, Hamzah sekali lagi bertanya, kapan Van
Diemen berencana untuk ke Ternate dalam rangka mengalahkan orang-orang Spanyol
dan Tidore. Van Diemen menjawab, bahwa dia atau komandan Anthonie Caen, mungkin
akan datang dalam 1 atau 2 tahun. Hamzah menyatakan, bahwa setelah kepulangan
Van Diemen kembali ke Batavia, ia bermaksud untuk tinggal sebentar di Ambon
selama 2 bulan lagi, untuk menenangkan Kakiali, mengunjungi benteng Victoria,
dan mengatur masalah-masalah Seram. Setelah itu, Sultan diberi hadiah
perpisahan, berupa kotak asal Jepang yang diisi dengan tekstil berharga, dan
kemudian Sultan turun ke darat. Pada saat itu, ia secara “diam-diam” mengatakan
kepada Van Diemen, bahwa rencana untuk membawa Leliato ke Batavia, ia
merestuinya. Tak ada kata-kata soal pemulangan kembali Leliato ke Maluku
setelah “selesai” urusan di Batavia. Pada hari yang sama, banyak pejabat tinggi
lainnya dari Ternate serta para pemimpin Hitu menerima hadiah dari Gubernur
Jenderal. Pada tanggal 22 Juni, Van Diemen berangkat dari Hila dengan 3 kapal
kecil dan tiba dengan selamat di pangkalan laut di Batavia pada 4 Juli 163833.
Menurut
“buku tentang kontrak-kontrak” VOC, perjanjian itu memuat poin-poin utama
sebagai berikut34 :
- Semua perjanjian sebelumnya antara Ternate dan VOC masih tetap berlaku, karena konten/isi dari perjanjian-perjanjian itu, tidaklah bertentangan dengan perjanjian baru
- Untuk memastikan perdamaian di negeri-negeri ini , Yang Mulia berjanji bahwa :
a) Semua orang Ternate,
termasuk istri, anak-anak dan budak mereka akan dipulangkan ke Ternate
b) Pedagang asing tidak
lagi diizinkan untuk beroperasi di wilayah-wilayah kekuasaan Yang Mulia,
terkecuali bagi yang mendapat izin dari Gubernur Jenderal. Para pedagang tidak
lagi berdagang cengkih dan diizinkan berlabuh hanya di kota Ambon, Hila, Luhu
dan Kambelo, dimana mereka akan tunduk dan patuh terhadap
pengecekan/pemeriksaan oleh para pegawai VOC
c) VOC diizinkan untuk
mencari/mengejar pedagang asing ilegal dan cengkih, dan menahan mereka di
benteng-benteng dan garnisun-garnisun yang dapat ditemui dimana saja di wilayah
kekuasaan Yang Mulia
d) Para pelanggar yang
menentang perjanjian atau perintah Yang Mulia harus diadili oleh Gubernur VOC
(Ambon) dan perwakilan Ternate, yang nantinya akan diusulkan figurnya oleh Yang
Mulia
e) Subjek-subjek dari
Yang Mulia/Ternate dan VOC akan berdampingan sebagai “teman” dan “saudara”
serta wajib saling memberikan bantuan dalam kasus-kasus darurat, yang
menyiratkan bahwa subjek-subjek Yang Mulia di Ambon wajib ikut serta dalam
operasi hongi VOC
f)
Gubernur
VOC dan perwakilan Yang Mulia akan mengadakan pertemuan setiap tahun, baik di
benteng Victoria atau di kediaman perwakilan, untuk menyelesaikan konflik dan
mengelola persoalan hukum yang terjadi di antara subjek-subjek mereka
- Subjek-subjek yang akan tunduk pada Kesultanan Ternate adalah daerah-daerah Buru termasuk Ambalau, Manipa, Kelang, Boano, seluruh pulau Seram, Iha-mao dan wilayah-wilayah kekuasaan mereka, 4 negeri Hatuhaha dan terakhir Tanah Hitu, dengan syarat semua cengkih akan dikirimkan dalam kondisi kering dan bersih ke VOC dengan harga 60 real per bahar, bahwa subjek-subjek VOC masih diizinkan untuk mengelola sagu di Seram, dan subjek-subjek yang baru diperoleh itu tidak diwajibkan atas pajak dan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan subjek-subjek dibawah kekuasaan VOC.
Selain itu, ada poin
tambahan untuk memastikan bahwa batas agama antara Kristen dan Islam tetap
dipertahankan pada status quo, tentang penggantian rugi atas budak yang
melarikan diri, tunjangan tahunan 4.000 real kepada Sultan dan penggantinya,
serta otorisasi Gubernur VOC di Ambon untuk mengumpulkan upeti bagi Kesultanan
Ternate.
Setelah Kepulangan Van Diemen
Setelah
kepulangan Gubernur Jend, Sultan masih tinggal di Hitu untuk sementara waktu.
Beberapa kora-kora dari armada hongi-nya yang
mengesankan, diizinkan untuk kembali ke Ternate, sehingga kekuatannya
berkurang. Proses ini sudah terjadi sebelum Van Diemen kembali ke Batavia35.
Hikayat Tanah Hitu sangat singkat
menceritakan tentang sisa waktu saat Hamzah tinggal di Hitu. Hikayat itu hanya mengatakan bahwa
orang-orang Hitu, dengan pengecualiaan Kakiali, bersumpah setia kepada Yang Mulia
di atas Alquran36. Kakiali tidak muncul, karena takut ditangkap.
Namun, dia memberikan beberapa indikasi bahwa dia siap mematuhi perjanjian baru
itu. Pada paruh pertama bulan Juli, Hamzah dengan pengkutnya sekitar 300 orang
berkunjung ke benteng Victoria dan kota Ambon, dimana mereka menginap di Aula
Kota. Perjalanan ke dan dari tempat itu berlangsung melalui rute dari Hitulama
ke Teluk Ambon. Gubernur Ambon, Johan Ottens, belakangan menulis ke Batavia,
bahwa orang-orang Kristen Ambon tidak mau repot-repot berkunjung ke Hamzah,
saat dia berada di kota Ambon, dan tidak memberinya banyak hadiah. Hamzah
sendiri tampaknya lebih tertarik pada tamasya. Untuk menyenangkan hatinya,
setiap hari dia berkeliling dengan menunggang kuda. Ketika Hamzah kembali
pulang, ia tampaknya telah menyuruh Gubernur untuk menulis surat ke Batavia,
yang dampaknya Leliato tidak boleh dikembalikan lagi ke Ternate. Lebih baik
tetap menahannya di penjara Batavia, menjatuhkan hukuman mati atau mengirimnya
ke Belanda untuk memohon pengampunan kepada Pangeran Oranye37.
Pada
awal Agustus, setelah tinggal beberapa minggu lagi di Hitu, Hamzah bertolak ke
Luhu, dimana ia diterima dengan baik. Ceritanya menjadi berubah, saat ia tiba
di Kambelo. Johu Luhu telah mengambil alih beberapa benteng di atas bukit dari
Leliato, dan menolak untuk melakukan kunjungan kehormatan kepada Sultan, dengan
mengatakan dia masih tetap “pengikut” Yang Mulia, tetapi untuk saat ini, dia
tidak siap turun karena takut diserahkan kepada Belanda. Tak lama setelah itu, dengan
perasaan agak terhina, Hamzah pergi ke Kambelo dan menyeberang ke Manipa. Di
sana, ia menulis surat kepada Gubernur Ottens, mengeluh tentang ketidaktaatan
dan pemberontakan Johu Luhu. Sultan mengklaim bahwa alasan dari perilaku ini
dan menurunnya suasana tenang belakangan ini, harus dilihat dari fakta, bahwa
Leliato telah dibuang dari Ambon terlalu cepat. Hamzah juga meminta beberapa
kapal VOC untuk kembali mengawalnya pulang ke Ternate. Ottens membantah bahwa
Leliato dibuang terlalu cepat. Selain itu, ia menyarankan Yang Mulia untuk
tinggal lebih lama di Ambon, dengan tujuan tidak memberi Johu Luhu kesempatan
untuk memperluas pemberontakan. Demi nama baik/prestise Kesultanan Ternate,
sangatlah penting bahwa Hamzah sendirilah yang mampu meredakan pemberontak. Jika
VOC yang melakukan hal itu, maka Yang Mulia mungkin akan kehilangan kedaulatan
dan penghasilan atas wilayah-wilayah kekuasaannya di tanah Ambon. Karena itu,
lebih baik untuk tetap tinggal 1 tahun lagi, daripada kembali pulang ke Ternate
“dengan rasa terhina”38.
Hamzah
menjawab bahwa ia tegas dalam rencananya untuk kembali ke Ternate, karena
ancaman Spanyol di jantung kerajaannya. Sisi lain yang “tersembunyi” dari pesan
ini --- soal Leliato --- Hamzah
menyatakan bahwa yang terbaik adalah Van Diemen dapat mengeksekusinya di
Batavia39. Sementara itu, karena penerimaan yang baik diberikan
kepada Hamzah di Manipa, penduduk pulau itu serta Ambalau, dinyatakan bukan
subjek dari pemimpin-pemimpin di sekitar pulau mereka. Beberapa pemimpin Manipa
dan Ambalau dipromosikan ke pangkat sengadji,
menjadikan mereka paling senior/tinggi di wilayah mereka40.
Akhirnya, pada tanggal 26 September 1638, Yang Mulia meninggalkan wilayah
kedaulatan Ternate di Ambon dengan menggunakan kora-kora dibawah pengawalan 2
kapal VOC. Sebelum dia pergi, untuk posisi Kimelaha,
ia menominasikan 4 hamba raja masing-masing
di Luhu, Ambalau, Manipa dan Lesidi, untuk mengawasi urusan pemerintahan lokal
dalam kerjasamanya dengan Gubernur VOC41.
Bagaimana
situasi berkembang setelah kepulangan Hamzah??. Pertama, kita akan melihat pada
wilayah-wilayah kekuasaan milik Ternate yang baru diakuisisi, yaitu Hitu,
Hatuhaha, Iha-mao, dan pesisir selatan Seram yang sebagian besar masih “kaum
pagan”. Saat Hamzah masih ada, ia menguasai “kaum pagan” di selatan Seram,
mulai dari Kaibobu hingga ke bagian timur dari Teluk Elpaputih, memerintahkan
mereka membayar mahal upeti. Penduduk dari negeri-negeri itu dengan demikian
merasa terbebani , melarikan diri ke gunung-gunung dan setuju dengan penduduk
Iha-mao untuk menolak menyerahkan apapun pembayaran sama sekali. Hatuhaha menolak
mengirimkan beberapa orang untuk mengawal Yang Mulia kembali ke Ternate, suatu
sopan santun yang tampaknya semacam suatu kebiasaan bagi subjek-subjek
Kesultanan Ternate. Sementara itu, di Hitu, Kakiali telah bersepakat dengan Johu Luhu untuk tidak
berdamai dengan VOC atau mengizinkan mereka untuk membangun benteng apapun
sebelum Leliato dibebaskan. Pada tanggal 7 November, Kakiali mengirim utusan
dibawah pimpinan Patiwani ke Makasar untuk mencari bantuan42.
Akibatnya, sangat jelas benar bahwa sejak awal otoritas Kesultanan Ternate di
wilayah-wilayah yang baru diperolehnya
itu, sebenarnya tidak ada artinya. Akhirnya, situasi seperti ini, akan nantinya
mengarah pada bergabungnya wilayah mereka ke wilayah kekuasaan VOC. Proses ini
diatur 2 tahun kemudian pada tahun 1641, ketika Kakiali menyerang negeri/desa
uring di wilayah kekuasaan VOC.
Ini menandai awal
dari apa yang disebut Perang Hitu, yang berlangsung hingga tahun 1646, saat benteng
terakhir dari faksi anti-VOC di antara orang-orang Hitu, yaitu Kapahaha, jatuh
ke tangan VOC. Jatuhnya Kapahaha, juga menandai akhir Hitu sebagai unit politik
yang independen. Hitu kemudian dianeksasi oleh VOC dan bentuk pemerintahannya
sendiri dihapuskan. Selama perang ini, orang-orang Hitu dipasok makanan dan
amunisi oleh negeri-negeri selatan Seram dan Iha-mao. Pada tahun 1645, saat
beberapa negeri/desa dihancurkan oleh armada hongi VOC, mereka dengan sikap tunduk mengajukan kembali kepatuhan
mereka kepada VOC. Setelah beberapa tekanan dilancarkan lebih lanjut, Iha-mao
bahkan menghancurkan dinding benteng gunungnya yang kuat/mengesankan.
Negeri-negeri Hatuhaha dan Hitu pada saat itu, telah dipindahkan dari
pegunungan di wilayah pedalaman mereka ke wilayah pantai masing-masing43.
Bagaimana
juga dengan perkembangan situasi di wilayah-wilayah kekuasaan Ternate di Ambon,
yaitu Hoamoal dan pulau-pulau di sebelah baratnya???. Pada awal tahun 1639,
Johu Luhu melakukan penyerangan terhadap Luhu dan Lesidi, yang mana masih setia
pada Hamzah dan VOC. VOC melakukan serangan balasan. Dikarenakan Makasar belum
mengirimkan bantuan, dan juga dukungan di antara orang-orang Hoamoal tidak
sebesar yang diharapkan, Johu Luhu sendiri berlayar ke Makasar untuk memohon
bantuan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1640. Johu Luhu tidak beruntung,
bagaimanapun juga, Sultan Makasar, Sultan Mahmud tidak siap untuk membantunya.
Sebaliknya dia disarankan untuk menyampaikan keluhan tentang VOC, kepada
“atasannya” yaitu Sultan Hamzah. Hal ini lebih membuat frustrasi dibandingkan
dengan delegasi lain, yang juga hadir di sana atas nama Kakiali, mendapatkan
lebih banyak keberuntungan. Seluruh urusan berubah menjadi bencana yang lebih
besar, ketika setibanya di Hoamoal, kapal perang VOC mencegat 4 dari 10 kapal
yang kembali dalam konvoi dengan Johu Luhu44. Pada tahun 1642, saat
VOC mencapai kesepakatan dengan Kambelo, Johu Luhu menyerah dan berjanji untuk
berperilaku sebagai “subjek sejati” dari Sultan Ternate dan “teman dari VOC”. Bagaimana
pun juga, Sultan Hamzah tidak dalam suasana untuk rekonsiliasi. Pertama, dia
menulis bahwa dia ingin pemberontak dikirim kembali ke Ternate. Kemudian, dia
ingin Johu Luhu dan kerabat dekatnya dieksekusi oleh Belanda. Belanda sendiri
menunggu beberapa bulan sebelum mereka menangkap Johu Luhu. Pada tanggal 16
Juni 1643, Johu Luhu dipenggal di benteng Victoria, bersama ibunya, saudara
perempuan dan saudara tirinyac. Pada tanggal 30 November 1643,
Leliato dieksekusi di Batavia45.
Pada
saat nasib Johu Luhu memudar, bintang Ternate lainnya, Madjira mulai muncul.
Meskipun dari cabang lain, Majira berasal dari keluarga yang sama dengan
Leliato dan Johu Luhu, yaitu berasal dari clan Tomagolad. Sejak
tahun 1640 dan seterusnya, Madjira telah membuktikan bahwa ia mampu memenangkan
kepercayaan VOC. Berkat dia, pesisir timur Hoamoal tetap setia pada Kesultanan
Ternate. Pada tahun 1642, Yang Mulia memerintahkan Madjira untuk dipromosikan
sebagai Kimelaha menggantikan Johu
Luhu. Karena hal itulah, dia menjadi lebih berpengaruh dari hamba raja, yang disebutkan di atas.
Pada Mei 1643, Madjira dilantik dalam jabatannya ini di benteng Victoria oleh
Laksamana sekaligus Gubernur Ambon, Anthonie Caen, yang bersama Madjira ke
Ternate untuk diambil sumpah. Ketika mereka kembali pada bulan Agustus,
diumumkan secara resmi atas nama Yang Mulia, sesuai dengan perjanjian tahun
1638 itu, Gubernur VOC dan Kimelaha Ternate
harus memerintah bersama. Namun, dari pembacaan teks-teks yang relevan,
mengungkapkan bahwa Gubernur diberi lebih banyak wewenang daripada Kimelaha46. Dalam tahun 1644, Sultan Hamzah
mengirim delegasi lain ke Ambon, termasuk Alonso Cardinoso. Semua negeri yang
terlibat dalam pemberontakan sebelumnya terhadap Sultan, didenda untuk membayar
upeti tambahan. Jumlah keseluruhan denda adalah 73.000 ringgit, yang dibayarkan
hingga 60.000 dalam bentuk kain, gong, emas, dan potongan-potongan kecil
artileri. Cardinoso menjelaskan, bahwa Sultan Hamzah masih menganggap Hitu
sebagai bagian dari kerajaannya, terlepas dari fakta bahwa Hitu berperang bersama-sama
di sisi VOC. Kembali ke Ternate,
Cardinoso mengatakan kepada Hamzah, bahwa VOC menafsirkan ketentuan perjanjian
tahun 1638 itu, terlalu banyak menguntungkan pihak kesultanan sendiri. Pelanggaran
terbesar terhadap isi perjanjian 1638 adalah suatu fakta, bahwa negeri Kaibobu,
yang terletak didalam wilayah kekuasaan Ternate yang baru diperoleh itu,
dikristenkan oleh VOC. Madjira bereaksi dengan melarang orang-orang Kaibobu
menjadi kristen. Menurut teks perjanjian itu, keluhan yang disampaikan oleh
orang-orang Ternate dibenarkan. Apapun kasusnya, permohonan Cardinoso untuk
membatalkan otorisasi Gubernur VOC untuk memerintah wilayah-wilayah kekuasaan
Ternate, tidak disetujui oleh Hamzah. Pada tahun 1647, Gubernur bahkan
memperoleh perintah eksplisit untuk mengumpulkan upeti-upeti Sultan, karena
disebutkan bahwa dalam soal ini, Madjira tidak memuaskan Sultan47.
Pada
tanggal 6 Mei 1648, Sultan Hamzah meninggal dunia. Van Diemen mendahuluinya 3
tahun sebelumnya, yaitu pada tanggal 19 April 164548. Dalam rentang
waktu 10 tahun yang telah berlalu sejak kunjungan Gub Jend VOC ke Ambon, Hamzah
menunggu dengan sia-sia ekspedisi yang dijanjikan Belanda untuk melawan Spanyol
dan Tidore. Ada banyak alasan untuk meragukan apakah Van Diemen benar-benar serius
berpikir tentang ekspedisi (yang dijanjikan itu). VOC terlalu sibuk dalam
pertempuran melawan musuh di tempat-tempat lain, untuk melakukan ekspedisi
skala besar. Setelah kematian Hamzah, dengan dukungan VOC, Sultan Ternate yang
baru adalah Mandarsyah, putra Sultan Muzaffar. Suksesi Mandarsyah bahkan
diperebutkan oleh kakak laki-lakinya. Madjira bergegas ke Ternate untuk memberi
penghormatan kepada Sultan yang baru. Pada kesempatan itu, ia tampaknya telah
mengeluh tentang administrasi Gubernur Ambon saat itu, Arnold de Vlaming van
Oudshoorn, khususnya soak kristenisasi di antara subjek-subjek kesultanan
Ternate. Karena itu, ia (Madjira) menyarankan agar lebih baik Kimelaha Ternate mengambilalih
satu-satunya tanggungjawab, seperti yang terjadi sebelum perjanjian tahun 1638.
Pada awalnya, Mandarsyah berniat mendengarkan saran Madjira, tetapi kemudian,
setelah mendengar argumen-argumen tandingan VOC, ia memutuskan untuk tidak
mengajukan perubahan apapun. Tak lama kemudian, pada tahun 1649, de Vlaming dan
Madjira berdiskusi keras tentang “skandal” ini di benteng Victoria, dimana pada
kesempatan itu, de Vlaming bahkan berdiri untuk membacakan di depan umum, dalam
bahasa Belanda dan Ternate, teks dari komisariat yang diberikan kepadanya oleh
Kesultanan Ternate. Pada tahun 1650, de
Vlaming mengajukan proposal untuk membatasi produksi cengkih, karena VOC
menganggap sudah ada kelebihan produk ini di pasar dunia. Meskipun, akhirnya
dia memutuskan untuk tidak mendesak gagasan ini lebih kuat,hubungan dengan
Madjira menjadi tegang lagi. Di tahun itu juga, terdengar khabar dari Ternate,
tentang pemberontakan besar-besaran terhadap kedudukan Mandarsyah, Madjira pada
awalnya menunjukan dirinya setia kepada Sultan. Namun demikian di tahun
berikutnya, dia tiba-tiba berbelot, yang memicu terjadinya The Great War of Amboinesse atau Perang Hoamoal, yang berlangsung
dari tahun 1651 hingga 1656/1658. VOC memenangkan perang besar ini, hal itulah
yang membawa akhir kepastian bagi keberadaan wilayah-wilayah kekuasaan Ternate
di kepulauan Ambon49.
Kata Penutup
Pertemuan antara Sultan Hamzah
dan Gubernur Jend Van Diemen, adalah sebuah episode menarik dalam hubungan
Ternate – Ambon – VOC. Dinamika proses negosiasi tidak berbeda jauh dari yang
dipraktekkan di tempat lain. Hasilnya diputuskan oleh tujuan pihak-pihak yang
terlibat, titik keseimbangan secara bertahap berubah dalam konteks sumber daya
fisik serta kesiapan mereka untuk membuat konsesi dan melakukan tawar menawar. Seluruh
proses yang berujung pada perjanjian tahun 1638, memiliki karakter yang sangat
rasional. Tujuan Van Diemen jelas, yaitu : mewujudkan monopoli dunia pada
pasokan cengkih dengan cara melakukan perjanjian eksklusif dengan Sultan
Ternate. Tujuan Hamzah juga tegas , yaitu : menegaskan kembali aliansinya
dengan VOC untuk mengawasi orang-orang Spanyol tetap berada di “luar” jantung
kerajaan dan memperluas cengkeraman dan pendapatannya dari bagian-bagian
tertentu di kepulauan Ambon.
Ketika hal itu berwujud bentuk
dalam hal sumber daya, Gubernur Jend memiliki bagian terbaik dari proses tawar
menawar, karena ia dapat mengandalkan kekuatan militer dan angkatan laut dengan
memiliki standar teknologi yang relatif tinggi. Di Ambon sendiri, ia (Gub Jend)
juga bisa mengandalkan pada semacam “milisi angkatan laut” dalam bentuk armada hongi, yang terutama digerakan oleh
orang-orang Kristen Ambon. Sultan Hamzah sama sekali tidak memiliki kekuatan
yang berarti. Kemampuan militer dan angkatan lautnya bergantung sepenuhnya pada
kemampuan rakyatnya untuk mengambil bagian dalam armada hongi Ternate. Pada akhirnya, semua itu berubah menjadi konsensus, dan
pengalaman praktis telah mengajarkan bahwa kondisi ini menjadi suatu faktor
yang tidak stabil, baik di Ternate serta daerah lain di kepulauan nusantara.
Untuk sementara waktu, bagaimana pun Hamzah mampu secara umum dengan sedikit
kesan pemaksaan. Hal ini nampak, selama periode pertemuan di Hila, saat dia
mengomandani 40 kora-kora. Alasan pada kesuksesan ini, haruslah diamati pada
fakta sederhana, bahwa karena berelasi dengan Van Diemen, prestise Hamzah
meningkat pesat, khususnya di mata subjek-subjeknya. Ada kesan bahwa siapapun
yang tidak taat pada Hamzah, akan beresiko dimusuhi oleh “temannya” yaitu Van
Diemen. Sebaliknya, ada harapan bahwa Hamzah akan menjadi orang terbaik di wilayah
itu, dalam rangka untuk mendapatkan konsesi cengkih dari VOC. Namun, untuk
menjaga hubungan baik dengan VOC, Hamzah, pada bagiannya juga diwajibkan untuk
membuat konsesi kepada VOC, misalnya di bidang perdagangan cengkih dan hak
untuk mempertahankan kehadiran militer di wilayah-wilayah kekuasaan kesultanan.
Konsesi semacam itu, merugikan kepentingan banyak rakyat Hamzah sendiri.
Akibatnya, Sultan dihadapkan dengan pilihan sulit, apakah akan mengakomodasi keinginan
subjek-subjeknya sendiri, yang menunjukan kalau diri mereka sendiri cenderung
partikular, atau keinginan sekutunya yang kuat, yang dukungannya tampaknya
diterima begitu saja, tetapi yang tuntutan-tuntutannya tidaklah populer.
Setelah Van Diemen meninggalkan Ambon, otoritas Hamzah mulai menurun dan
seluruh bangunan yang dilandasi oleh perjanjian tahun 1638, dasarnya menjadi
hancur.
Dalam artikel tentang
ekspedisi pertama Van Diemen ke Ambon, saya (penulis) menyimpulkan bahwa
partikularisme di antara orang-orang Ambon pada masa itu begitu hebatnya,
sehingga mereka sebenarnya tidak dapat mengatur front yang bersatu untuk
melawan VOC50. Sikap partikular itu menguntungkan VOC, karena hal
itu dipermudah melalui kebijakan pembagian dan pengaturan. Namun, keberhasulan
kebjikan semacam itu jelas terhambat oleh kenyataan bahwa sebagian besar
oposisi terhadap VOC dan monopoli cengkihnya, secara umum berasal dari
wilayah-wilayah kekuasaan Sultan Ternate, pada sisi lain yaitu “perbatasan”
turut juga bersuara. Untuk menaklukan oposisi ini, 2 opsi terbuka untuk Van
Diemen : aneksasi terhadap wilayah-wilayah kekuasaan Ternate atau penguatan
otoritas sekutu VOC, yaitu Sultan di wilayahnya sendiri. Pada kenyataannya, itu
mirip dengan pilihan antara pemerintahan langsung dan tidak langsung. Untuk
menghindari masalah yang lebih besar, Van Diemen memulai kebijakan aturan tidak
langsung. Alhasil, Amboina dibagi antara VOC dan Ternate. Dalam kerangka ini,
Van Diemen siap untuk melepaskan wilayah-wilayah independen, yang terletak
antara wilayah kekuasaan VOC dan wilayah kekuasaan Ternate kepada Sultan
Ternate. Hampir tampak, seolah-olah Van Diemen hanya bermaksud untuk menjaga
wilayah-wilayah Kristen dan melepaskan semua wilayah Islam dan kaum pagan ke
kesultanan. Namun, ada satu pengecualian untuk prinsip ini, yaitu VOC ingin
tetap mempertahankan kekuasaannya atas 7 negeri di sebelah barat Hitu, yang
mana 5 diantaranya, yaitu Asilulu, Larike, Wakasihu dan Tapi adalah negeri
Muslim. Tidak mudah untuk memahami, mengapa Van Diemen membuat pengecualian
ini. Mungkin hal itu, ada hubungannya dengan fakta bahwa daerah-daerah ini
sudah merupakan penghasil cengkih yang penting51. Alasan lain,
daerah-daerah ini menempati lokasi strategis di dekat pintu masuk teluk Ambon.
Semua kapal yang menuju ke benteng Victoria harus berlayar melewati
daerah-daerah ini. Keseluruhan gagasan dalam hal membagi Ambon menjadi bagian
wilayah Kristen dan Muslim, sebenarnya tidaklah demikian aneh, khususnya
mengingat perkembangan sejarah selanjutnya, yang bertahan hingga saat ini. Ini
menunjukan bahwa agama telah menjadi, dan sampai sekarang masih, titik-titik
penting untuk identitas dan kesetiaan di antara orang-orang Ambon52.
Namun, dalam beberapa tahun setelah perjanjian tahun 1638 itu ditandatangani,
jelas bahwa solidaritas pan-islam tidak cukup kuat untuk membentuk suatu ikatan
yang awet antara pihak Kesultanan Ternate dan subjek-subjek Ambonnya. (pada akhirnya).... sifat kekhasaan lokal
–lah yang “menang” pada hari itu.
===
selesai ===
Catatan
Kaki
25. Ibid.,
449r-450r.
26. Ibid., 397v, 402r, 421r-422r; Knaap,'Crisis
and Failure', 5.
27. VOC 1126c, 450v-452v.
28. Ibid., 453r-456r; Rumphius, 'Ambonsche Historie', 162.
29. VOC 1126c, 456v-458v.
30. Ibid., 458v-460v.
31. Ibid., 460v-462r.
32. Ibid., 462r-465r.
33. Ibid., 465r-475v.
34. Heeres, 'Corpus Diplomaticum', 316- 324.
35. VOC 1126c, 462v; Rumphius, 'Ambonsche
Historie', 165.
36. Manusama, 'Hikayat Tanah Hitu', 138.
37. VOC 1126a, 344v-345r; Rumphius, 'Ambonsche
Historie', 164-165.
38. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 166; VOC 1126b, 347r-348r.
39. VOC 1127b, 268r-v.
40. Manusama, Rumphius' Landbeschrijuing, 180, 182, 183, 204.
41. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 167.
42. Ibid.,165-168.
43. Ibid., 184, 238-240, 254-257, 262-263; Knaap, Memories van
overgave, 164-165.
44. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 169, 171, 174, 182-183, 185.
45. Ibid., 196, 197, 204, 208, 215, 217, 230.
46. Ibid., 181-182, 204, 215, 221-223, 236; Heeres, 'Corpus Diplomaticum', 422-
424.
47. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 235, 236,241,244,264,270.
48. Rhede van der Kloot, Gouverneurs-generaal, 49; Heeres, Bouwstoffen, 391.
49. Rumphius, 'Ambonsche Historie', 273, 276-280, 289-290, 295; Knaap, Kruidnagelen
en Christenen, 23.
50. Knaap, 'Crisis and Failure', 22-24.
51. Knaap, Kruidnagelen
en Christenen, 231 - 233.
52.
Knaap,
Tjengkeh, kompeni, agama', 21
Catatan Tambahan :
a.
Pada masa ini (1638), Wouter Seroyen
adalah Opperhoofd Hitu (1636 – 1642). Ia menggantikan Jacob Janszoon Patacka
yang ditarik kembali ke Batavia. Setelah bertugas di Hitu, ia dipromosikan
menjadi Gubernur Ternate (1642 – 1648) menggantikan Anthonie Caen yang
ditugaskan menjadi pejabat Gubernur Ambon (1642-1642). Posisi Operhoofd Hitu
yang ditinggalkannya digantikan oleh Cornelis Willemszoon Oudshoorn (1642
-1646).
b.
Pieter Mestdag menjadi Sekretaris Hoge
regering (pemerintahan agung) di Batavia sejak Juli 1637 -1645. Ia menikah
dengan Maria van Caen, putri dari Anthonie van Caen.
c.
Menurut sumber dari Rumphius, ibu Johu
Luhu bernama Djoubaij, saudara perempuannya bernama Fatima dan saudara tirinya
bernama Patiwani atau Ackiwanij.
d.
Madjira adalah putra dari Kimilaha
Sabadin (1609 – 1619) yang merupakan sepupu dari Kimilaha Leliato dan Kimilaha
Luhu. Ayah Kimiliha Sabadin bernama Jumali, ayah Kimilaha Leliato bernama
Basaib, sedangkan ayah Kimilaha Luhu bernama Dayan. Jumali, Dayan dan Basaib
adalah 3 dari 5 anak Kimilaha Rubohongi dari clan Tomagola. Jadi Madjira
sendiri adalah keponakan dan Leliato dan Luhu.
Bibliography of Works Cited
Primary Sources
National Archives, The Hague
National Archives, The Hague
§ VOC 860.
Letter of Anthonie van Diemen, Governor-General, to Hamzah, Sultan of Ternate, 26
May 1637. Verenigde Oost-lndische Compagnie 860: no folio-numbers.
§ VOC 862.
Letter of Anthonie van Diemen, Governor-General, to Hamzah, Sultan of Ternate, 15
December 1637. Verenigde Oost-lndische Compagnie 862:19-21.
§ VOC
1126a. Letter of Johan Ottens, Governor of Amboina, to the High Government in Batavia,
15 September 1638. Verenigde Oost-lndische Compagnie 1126:335r-346r.
§ VOC
1126b. Letter of Johan Ottens, Governor of Amboina, to Hamzah, Sultan of
Ternate, 31 August 1638. Verenigde Oost-lndische Compagnie 1126:347r-348r.
§ VOC
1126c. 'Journael' of Governor-General Anthonie van-Diemen's expedition to
Amboina in 1638. Verenigde Oost-lndische Compagnie 1126:382r-476v.
§ VOC
1127a. Letter of Joan van Broeckum, Governor of the Moluccas, to the High
Government in Batavia, 9 March 1638. Verenigde Oost-lndische Compagnie
1127:239r-256r.
§ VOC
1127b. Letter of Hamzah, Sultan of Ternate, to Johan Ottens, Governor of Ambon,
[...] September 1638. Verenigde Oost-lndische Compagnie 1127:267r-268v.
West Friesland Regional
Archives, Hoorn
§ Enkhuizen
399. 'Journael' of Governor-General Anthonie van Diemen's expedition to Amboina
in 1637. Oud Archief Enkhuizen 399.
Books
§ Andaya,
L.Y., The World of Maluku; Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu,
1993).
§ Heeres,
J.E., ed., Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den
Maleischen archipel, Vol.3 (The Hague, 1895).
-'Corpus Diplomaticum Neerlando-lndicum (1596-1650)', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde uan Nederlandsch-lndie 57 (1907).
-'Corpus Diplomaticum Neerlando-lndicum (1596-1650)', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde uan Nederlandsch-lndie 57 (1907).
§ Knaap,
G.J., Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-lndische Compagnie
en de bevolking van Ambon 1656-1696, Verhandelingen van het
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (Dordrecht, 1987).
- ed., Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende
eeuw, Rijks Geschiedkundige Publication, Kleine Serie 62 (The Hague, 1987).
- ed., Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende
eeuw, Rijks Geschiedkundige Publication, Kleine Serie 62 (The Hague, 1987).
§ Manusama,
Z.J., ed., G.E. Rumphius. Ambonsche Landbeschrijving, Penerbitan
Sumber Sumber Sejarah 15 (Jakarta, Arsip Nasional Republik Indonesia, 1983).
§ Rhede van
der Kloot, M.A. van, De gouverneurs-generaal en commissarissen-generaal van Nederlandsch-lndie
1610-1888 (The Hague, 1891).
§ Rumphius,
G.E., 'De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen
[...]', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-lndie
64(1910).
§ Valentijn,
R, 'Oud en Nieuw Oost-lndien, 2 Vols (Dordrecht, Amsterdam,
1724).
Articles/Essays
§ Knaap,
G.J., Tjengkeh, kompeni, agama; Hoofdlijnen uit de geschiedenis van de Ambonse eilanden
1500-1800', in G.J. Knaap, W. Manuhutu and H. Smeets, eds, Sedjarah
Maluku; Molukse geschiedenis in Nederlandse bronnen (Amsterdam,
1992), 9-31.
- 'Crisis and Failure; War and Revolt in the Ambonese Islands, 1636-1637', Cakalele 3 (1992), 1-26.
- 'Crisis and Failure; War and Revolt in the Ambonese Islands, 1636-1637', Cakalele 3 (1992), 1-26.
§ Naidah,
'Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen tekst, beschreven
door den Temataan NaMah, met vertaling en aanteekeningen door P. van der Crab',
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsch-lndie 26 (1878), 381-493.
Unpublished Secondary Sources
§ Fraassen,
Ch.F. van, 'Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel; Van
soa-organisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving en
cultuur in Indonesie", 2 Vols (PhD dissertation; Universiteit Leiden, 1987).
§ Manusama, Z.J., 'Hikayat
Tanah Hitu; Historie en sociale structuur van de Ambonse eilanden in het
algemeen en van OH Hitu in net bijzonder tot het midden der zeventiende eeuw'
(PhD dissertation; Oniversiteit Leiden, 1977).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar