(bag 1)
Oleh
- Pengantar
Hampir
4 abad lalu (397 tahun) di Ambon, tepatnya di kastil/benteng Victoria, terjadi
eksekusi yang sadis, kejam dan diluar batas-batas kemanusian terhadap 8 orang
Inggris dan sekelompok tentara bayaran Jepang. Insiden kejam ini kemudian
dikenal dalam perpolitikan Inggris sebagai Amboyna
Massacre atau Pembantaian Ambon. Peristiwa ini menimbulkan kehebohan di
Inggris dan memicu perdebatan antara Inggris dan Belanda pada masa itu.
Kalangan sarjana dari kedua negara juga berdebat, masing-masing mempertahankan
kebenaran versi masing-masing dan menyalahkan pihak lain.
Adam
Clulow seorang sejarahwan Amerika Serikat asal University Texas menyebut
perdebatan intelektual itu telah berlangsung selama 4 abad tanpa ada
kesepakatan siapa yang bersalah dan
siapa yang tidak.
Melalui
artikel yang berjudul Unjust, Cruel dan
Barbarous Proceedings: Japanese Mercenaries and the Amboyna Incident of 1623 ini, Adam Clulow mengkaji pada aspek yang
berbeda, yaitu peranan tentara bayaran Jepang dalam peristiwa itu.
Artikel
ini dimuat pada jurnal Itinerario, volume 31, isu 1 (Maret 2007) pada halaman
15 – 34. Kajian sepanjang 20 halaman ini terdiri dari 71 catatan kaki (3
halaman), 1 halaman bibliografi, dan 16 halaman isi artikel.
Kami
menerjemahkan artikel bermutu ini dalam 2 bagian, untuk memberikan
bacaan-bacaan yang bisa dinikmati secara ringan dalam bahasa ibu, dibandingkan
mungkin membacanya dalam bahasa Inggris. Selain itu, penting bagi kita untuk
mengetahui, memahami peristiwa 4 abad lalu sebagai bagian dari fragmen sejarah
Ambon di awal abad ke-17.
Pada
artikel asli, tidak ada gambar ilustrasi, peta dan sebagainya, sehingga artikel
hasil terjemahan ini, kami tambahkan hal-hal itu, untuk “mewarnai” isi artikel.
Catatan kaki dari penulis ditandai dengan angka, dan catatan tambahan dari
kami, ditandai dengan abjad. Catatan itu kami lakukan sekedar memberikan
tambahan informasi untuk diketahui oleh para pembaca.
Akhirnya...........selamat
membaca.......selamat menikmati kajian-kajian bermutu........dan selamat
bersejarah.....semoga kita semakin memahami sejarah adalah proses
kehidupan......
- Terjemahan : (Kutu Busu)
Abstraksi
Pada
tahun 1623, Gubernur Amboyna, sebuah pulau penghasil cengkih yang penting di
Indonesia, mengeksekusi sekelompok pedagang Inggris dan tentara bayaran Jepang,
yang dituduh merencanakan pengambilalihan kastil/benteng VOC di pulau itu.
Setelah berita tentang peristiwa ini mencapai (terdengar) di Eropa, Pembantaian Ambon (Amboyna Massacre), sebagaimana
peristiwa itu disebutkan di Inggris,
dengan cepat menjadi suatu investasi dengan konsekuensi besar di antara para
pemimpin Inggris dan Belanda yang memperdebatkan isu-isu saling menyalahkan dan
tuntutan ganti rugi (kompensasi). Artikel ini mengkaji aksi tentara bayaran
Jepang yang dituduh oleh VOC, “pelaku
bisu” yang tak “diakui” oleh suatu pemerintah nasional (Inggris dan
Belanda).
=======================
Di
malam tanggal 22 Februari 1623, seorang tentara bayaran Jepang yang bekerja
pada Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),
ditangkap karena terus melakukan pemantauan terhadap kubu pertahanan dan
garnisun salah satu kastil kompeni di kepulauan Amboyna1. Setelah mengalami
penyiksaan, sang tentara bayaran mengakui, bahwa ia dan sekelompok sesama
prajurit Jepang, adalah bagian dari konspirasi untuk menguasai kastil. Ia
mengklaim telah disuap ke tempat itu, oleh para pedagang Inggris yang tinggal
di pulau itu. Berbekal pengakuan ini, Belanda menangkap, menyiksa dan
selanjutnya mengeksekusi 10 orang Inggris bersama tentara bayaran Jepang yang
dituduhkan itu.
Setelah
berita tentang peristiwa ini sampai di Eropa, Pembantaian Ambon (Amboyna Massacre), sebagaimana peristiwa itu disebutkan di Inggris, dengan cepat
menjadi suatu investasi dengan konsekuensi besar di antara para pemimpin Ingris
dan Belanda yang memperdebatkan isu-isu saling menyalahkan dan tuntutan ganti
rugi (kompensasi). Tujuan
dari kajian ini, bukan untuk membahas kelebihan-kelebihan dan
kekurangan-kekurangan dari kasus yang diajukan oleh para pejabat VOC di Amboyna
itu. Para politisi, propagandis dan sejarahwan Inggris telah berdebat dengan
rekan-rekan mereka orang Belanda selama hampir 4 abad, tanpa mencapai
kesimpulan yang diterima dan disepakati bersama, tentang bersalah atau tidak
bersalah para konspirator itu2. Artikel ini mengkaji aksi tentara
bayaran Jepang yang dituduh oleh VOC, “pelaku
bisu” yang tak “diakui” oleh suatu pemerintah nasional (Inggris dan
Belanda). Meski jumlahnya hampir separuh dari komplotan yang dieksekusi,
orang-orang ini dan peran yang mereka mainkan dalam insiden Amboyna itu, tidak
pernah dianalisis secara mendetail3.
Sekitar 100.000 orang Asia bekerja
di VOC selama 2 abad sebagai tentara reguler dan tentara bayaran4. Pasukan
ini adalah suatu instrumen pendirian perusahaan sebagai kekuataan komersial dan
teritorial di Asia. Tentara bayaran Jepang adalah tentara Asia pertama yang
dipekerjakan dalam jumlah yang signifikan oleh VOC5. Belanda lebih
memilih pasukan jenis ini daripada rekrutan buruh militer secara lokal di Asia
Tenggara, karena mereka murah dan karena mereka memiliki reputasi keberanian
yang hebat dalam tindakan kekerasan. Imajinasi reputasi ini “diakui” oleh para
pejabat VOC termasuk Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jend VOC (1617-1623,
1627-1629), yang memandang tentara bayaran Jepang sebagai kunci dari bagian
rencananya yang ambisius untuk menguasai perdagangan Asia. Artikel ini
menempatkan Insiden Ambon dalam (perspektif) sejarah yang lebih luas tentang
tentara bayaran Jepang yang bekerja di VOC, serta menganalisis bagaimana minat
perusahaan (VOC) terhadap pasukan ini berkembang, dan mengapa rekrutmen tentang
bayaran akhirnya dilarang oleh pemerintah Jepang.
Hirado sebagai Pangkalan Militer6
Dalam
piagam tahun 1602, VOC memperoleh berbagai kekuasaan, termasuk hak monopoli
atas wilayah perdagangan yang luas di sebelah timur Tanjung Harapan, dan di
sebelah barat Selat Magella7. Perusahaan juga diberdayakan untuk
membuat perjanjian dengan penguasa lokal, untuk mendirikan
kastil/benteng-benteng, garnisun dan menunjuk personil administrasi dan
militer. Dengan mengeksploitasi kekuasaan ini, VOC mampu berkembang dengan
cepat di Asia Tenggara, dan pada tahun 1609, perusahaan mendirikan “markas” Asia
Timur di Hirado, sebuah pelabuhan yang terletak di tepi barat kepulauan Jepang8.
Meskipun
sangat menjanjikan, “markas” di Jepang itu tidak langsung memperoleh
keberhasilan. Para pedagang yang ditinggalkan oleh perusahaan di Hirado, tidak
memiliki pemahaman nyata tentang pasar Jepang yang kompleks dan ditambah dengan
kurang masuknya barang-barang, membuat tahun-tahun pertama di Jepang cukup
suram. Pengembalian terbatas yang dihasilkan oleh perdagangan Jepang,
memperjelas bahwa nilai utama “markas” adalah pangkalan militer daripada
pangkalan perdagangan/komersial, sehingga memberikan VOC keuntungan strategis
tertentu – lokasi, akses terhadap
senjata, dan akses kepada prajurit sewaan – yang paling tidak untuk
sementara waktu, bisa mengimbangi kerugian perdagangan.
Markas VOC Jepang di Hirado (Firando) |
Hirado
secara ideal, diposisikan sebagai basis untuk menyerang Portugis, Spanyol, pelayaran-pelayaran
independen, yang berlayar ke atau dari Makau dan Manila, 2 kubu pertahanan
besar kaum Iberia di Asia Timur. Jika VOC tidak bisa memperoleh untung dari menjual
barang sendiri yang dibawa baik dari Eropa atau dari markas-markas di Asia
Tenggara, tentu saja bisa menjual barang-barang yang dijarah dari kapal-kapal
pengiriman dari lawan yang peralatan persenjataannya buruk. Perusahaan terutama
tertarik pada kapal kargo Portugis, yang bepergian setiap tahun antara Makau
dan Nagasaki, tetapi kapal-kapal “mewah” ini terbukti sulit ditangkap.
Selain
itu, Hirado mampu menyediakan pasokan senjata murah siap pakai, yang digunakan
untuk mempersenjatai pasukan VOC di Asia. Setelah tahun 1609, aliran kecil tapi
stabil senjata dan amunisi mengalir dari Jepang ke Asia Tenggara. Kapal Enckhuijsen, yang berlayar dari Hirado
pada tanggal 28 Februari 1616, membawa 24 senjata api berlaras panjang (roers), 45 pedang dan 12 tombak. Kapal Fortuijn, yang berlayar pada hari yang
sama dengan gerombolan tentara bayaran Jepang, juga mengangkut 40 senjata api,
11 busur, 300 tombak dan 40 lembing. Tidak puas dengan senjata-senjata kecil,
VOC bereksperimen dengan meriam penembak di Hirado, tetapi meskipun ada
beberapa hasil awal yang baik, percobaan itu tidak sukses dalam jangka panjang.
Akhirnya markas Hirado digunakan sebagai titik rekrutmen tentara bayaran
Jepang.
Mengekspor Kekerasan
Referensi pertama tentang rencana
mempekerjakan tentara bayaran Jepang dalam jumlah besar, muncul dalam surat
yang dikirim oleh Hendrik Brouwer kepada Gubernur Jend VOC, pada tanggal 29
Januari 1613, hanya 4 tahun setelah pendirian “markas” :
Gaji bulanan
mereka [orang Jepang] rendah, dan selain itu, mereka dapat “dipelihara” dengan
sedikit biaya beras dan ikan asin. Dengan instruksi-instruksi yang Anda berikan
terakhir kali, kami ingin mengirim 300 orang dengan kapal ini, tetapi karena
ada lebih banyak ketentuan yang harus dibawa, hanya 68 orang yang dikirim9.
Brouwer menambahkan bahwa “ akan selalu ada cukup banyak orang [yang bisa direkrut] di sini, karena
Yang Mulia [Shogun] telah memberi kami persetujuannya untuk mengambil sebanyak
yang kami inginkan10.
Pasukan-pasukan
Jepang memiliki perspektif menjanjikan untuk menyelesaikan kekurangan tentara
di kompeni. Didirikan pada tahun 1602, kompeni “merawat” 7 benteng dan 9 kapal
di Asia Tenggara pada tahun 1610. Pada tahun 1623, jumlah ini membengkak
menjadi 21 benteng dan lebih dari 100 kapal. Meskipun pertumbuhannya
mengesankan, perusahaan terus menerus terhambat oleh tidak memadainya tenaga
militer. Pada tahun 1613, VOC mempekerjakan 600 tentara yang tersebar di
seluruh Asia, dan meskipun angka ini akan meningkat menjadi 2.000 selama dekade
berikutnya, jumlah itu tidak pernah cukup untuk “menjaga” harta perusahaan yang
baru diperoleh dengan tepat. Sebagian dari masalah itu, berasal dari lamanya
perjalanan dari Eropa. Tentara-tentara yang dibawa dari Belanda membutuhkan rata-rata
8 bulan antara Texel di Belanda Utara dan Batavia. Para sarjana memperkirakan
sekitar 7% dari mereka yang berangkat dari Belanda tidak selamat dalam
perjalanan fase pertama ke Tanjung Harapan, dan antara 3-4% meninggal dalam
perjalanan dari Tanjung Harapan ke Batavia11. Yang membuat keadaan
menjadi lebih buruk, adalah angka kematian yang lebih tinggi di antara para
prajurit daripada para pelaut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Van
Schouwenburg, hanya 614 dan 2.035 tentara (30%) yang direkrut dari Delft antara
1700 -1794 yang selamat, sementara 5.050 dari 8.340 pelaut (60%) kembali ke
kampung halaman dengan selamat12.
Solusi
yang jelas adalah merekrut langsung dari Asia Tenggara. Referensi sesekali yang
merujuk pada serdadu-serdadu lokal – 2
contoh paling umum adalah Chiauwers dari
pulau Siauw dan Mardijkers yang
umumnya dimerdekakan dari perbudakan – dapat ditemukan di sekitar periode
tentara bayaran Jepang pertama kali muncul dalam pekerjaan-pekerjaan perusahaan
(VOC). Sayangnya bagi Belanda, tidak satupun dari komunitas ini menjanjikan
pasokan tentara, yang bersedia untuk dikirim ke pos-pos yang jauh di seluruh
wilayah perdagangan mereka yang luas. VOC secara bertahap belajar cara
memanfaatkan sumber-sumber tenaga kerja militer lokal di Asia Tenggara, tetapi
ini terbukti merupakan proses yang lambat dan sulit. Suatu titik balik terjadi
dalam perang di Amboyna dari tahun 1651 hingga 1656. Melalui perekrutan
orang-orang Ambon yang ditangkap, VOC mampu membangun pasukan inti yang
dipimpin oleh komandan-komandan terkenal seperti Radja Tahalele, Kapitan
Joncker dan Zacharias Bintang. Setelah perang di Amboyna selesai, kompeni
melanjutkan merekrut pasukan lokal dalam jumlah besar, dan pada tahun 1782, ketika
hal itu terlibat dalam pertempuran berkepanjangan melawan Inggris, VOC dapat
mengandalkan lebih dari 5.000 pasukan-pasukan bangsa Asia. Namun, sebelum
perusahaan (VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan regional di Asia
Tenggara, VOC kekurangan sekutu dan teman.
Bay of Hirado |
Tentara
bayaran Jepang menjanjikan untuk mengisi celah ini. Jepang terletak sekitar 2
bulanan perjalanan dari Batavia. Meskipun detail untuk masing-masing
persimpangan tidak bertahan lama, pasukan Jepang tampaknya tidak mengalami
kematian akibat penyakit ketika berada di atas kapal VOC13. Selain
itu, kemampuan mereka untuk mengisi ruang-ruang kosong dari pasukan VOC, tentara
bayaran Jepang juga memiliki kualitas lain yang menarik bagi pejabat-pejabat
VOC. Rata-rata seorang tentara bayaran Jepang menerima 2,4 tael per-bulan atau
kira-kira 7,5 gulden, sementara seorang tentara Belanda dengan pangkat yang
sama menerima sekitar 9 gulden. Perusahaan dapat menghemat uang tambahan,
melalui pengurangan biaya transportasi yang digunakan dalam mengangkut rekrutan
dari Jepang, daripada rute Eropa yang lebih panjang.
Manfaat
ekonomi saja, tidak bisa menjelaskan antusiasme mendadak perusahaan terhadap
tentara-tentara Jepang. Orang Belanda, termasuk semua orang Eropa yang
mengunjungi Jepang, dibuat terkesan oleh keganasan tentara-tentara lokal. 68
rekrutan disewa oleh Brouwer pada tahun 1613, segera ditugaskan dalam dinas
militer, 50 diantaranya terlibat dalam serangan ke Tidore, yang di masa kini
terletak di Timur Indonesia14. Kampanye ini sukses besar bagi
Jepang, membenarkan rencana untuk mempekerjakan sejumlah besar tentara bayaran
seperti itu. Seorang pengamat menulis bahwa “ tentara Jepang memperlihatkan sendiri seberani seperti diri kita [para
tentara]. Kehebatan mereka terpajang di dinding-dinding. Lewat kegagahan
dan keberanian mereka, banyak yang menderita15.
Tentara
bayaran Jepang memiliki pendukung yang paling konsisten dan antusias dalam
sosok Jan Pieterszoon Coen. Meskipun banyak dikritik karena kekejamannya, Coen
adalah salah satu administrator terpenting dalam sejarah kompeni (VOC). Dibawah
kepemimpinannya, Batavia ditaklukan dan menjadikan Batavia sebagai ibukota
Hindia Belanda. Coen juga bertanggung jawab penciptaan monopoli VOC yang nyaris
sempurna atas pala, bunga pala dan rempah-rempah penting lainnya. Pada bulan
Januari 1614, Coen menyiapkan laporan tentang keadaan perusahaan di Asia.
Laporan ini diserahkan ke direksi di Belanda, yang kemudian menyerahkan kepada state-general. Dengan judul Discoers aen de E.Heeren Bewinthebberen touscherende
den Nederlandtsche Indischen State, suatu laporan yang merupakan pernyataan
sederhana ambisi Coen dan salah satu dokumen sejarah kompeni paling terkenal. Laporan
itu juga ungkapan paling jelas dari rencana Coen terhadap tentara bayaran
Jepang.
Dalam
Discoers, Coen mengusulkan agar
koloni-koloni baru Belanda, didirikan di seluruh Asia Tenggara untuk memperkuat
kekuasaan VOC dan hadirnya kekuasaan militer yang kuat tetap terjaga untuk
menundukan/mengalahkan perlawanan musuh-musuh lokal. Mengikuti program
penciptaan kekaisaran ini di kepulauan Indonesia, Coen meminta direksi untuk meluncurkan
serangan terhadap perusahaan-perusahaan Eropa saingannya. Makau dan Manila
menjadi target dan untuk operasi militer besar ini, keterlibatan
tentara-tentara bayaran Jepang sangat penting :
[dengan
menaklukan Manila] orang-orang Spanyol akan terpaksa keluar dari Maluku, dan
juga Hindia Timur [........] dan seiring dengan ini, kita akan mendapatkan
keuntungan dari China. Dalam melakukan serangan yang begitu penting, kita akan
sedikit memperoleh bantuan dari kepulauan Manila, bahkan jika subjek-subjek
miskin itu bosan dengan penderitaan yang dilakukan Spanyol. Untuk eksekusi
[serangan] dengan uang kita bisa mendapatkan bantuan besar dari Jepang, karena
tentara-tentara Jepang sama baiknya dengan milik kita, dan Kaiser [Shogun] telah
memberi kita janjinya bahwa kita dapat menerima sebanyak orang yang bisa kita
dapatkan. Kita bisa memperoleh yang cukup, karena mereka siap dan bersedia,
seperti berdasarkan pengalaman kami. Tentara-tentara Jepang yang sama itu,
dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan besar dalam ekspedisi ke Makau, dan
dengan ini ekspedisi ini akan dapat berhasil16.
Jika serangan besar-besaran di
Manila dan Makau akan dilakukan, tentara-tentara bayaran Jepang diperlukan
segera untuk menopang harta VOC di Asia Tenggara. Dalam Discoers, Coen memprotes kuat kurangnya tenaga kerja perusahaan di
Asia Tenggara, dan dalam surat-surat selanjutnya kepada para direktur, dia
sering mengeluh tentang kualitas personil yang dikirim oleh para direktur dari
Eropa. Sebaliknya, Coen sangat antusias dengan pasukan Jepangnya. Ketika karir
Coen menanjak di dalam perusahaan (VOC), jumlah tentara bayaran Jepang yang
bekerja, juga meningkat. Setelah Coen dipromosikan menjadi Gubernur Jend pada
tahun 1617a, tuntutannya agar lebih banyak pasukan dari Hirado
menjadi refrain yang konstan (ulang-ulang
yang terus menerus). Pada 30 Maret 1618, Coen memerintahkan Specxb,
pimpinan markas di Jepang, untuk mengirim 25 tentara Jepang yang pemberani17.
Tahun berikutnya, ia meminta antara 100 hingga 200 lebih tentara Jepang, dan
pada tahun 1620, tuntutannya masih tetap keras : “ Dengan setiap kesempatan kapal atau jung, anda akan mengirim kesini
sebanyak mungkin orang Jepang pemberani, jika waktu dan keadaan memungkinkan. Mereka
tidak akan digunakan untuk kerja saja tetapi berperang18.
Hendrik Brouwer, yang pernah menjadi Opperhoofd VOC di Hirado |
Secara total, sekita 300 tentara
bayaran dikirim dari Hirado ke Asia Tenggara. Menyusul kontingen 68 orang yang
dikirim tahun 1613, markas Hirado mengirim setidaknya 3 muatan tentara bayaran
lainnya, semuanya dikontrak selama 3 tahun yang ditandatangani. Enkhuijsen dan Fortuijne mengangkut 67 rekrutan pada tahun 1615, Nieuw Bantam dan Galiasse membawa 90 orang pada tahun 1619, dan pada tahun 1620 pada
pengiriman lain kira-kira 100 orang dikirim dengan China. Kapal terakhir ini (China)
tidak pernah mencapai tujuannya, tenggelam di suatu tempat pada rute laut ke
Asia Tenggara tanpa ada yang selamat19. Bahwa Hirado telah menjadi
titik rekrutmen tentara bayaran Jepang, mendapat perhatian dari pengamat yang
netral. Richard Cocks, pimpinan markas Inggris, mencatat bahwa Belanda
“memperoleh bantuan orang-orang, entah untuk wilayah laut & darat, sesuka
hati mereka, [orang Jepang] menjadi orang yang sangat nekat, suka berperang, dan
siap berpetualang dengan bayaran yang baik20. Surat lain dari Ralph
Coppendale menjelaskan bahwa VOC menggunakan Hirado sebagai, “ tempat
pertunjukan yang menyenangkan untuk menyediakan orang-orang, amunisi dan
kemenangan”21.
Tentara bayaran Jepang dilibatkan
dalam sebagian besar kampanye-kampanye besar VOC antara tahun 1613 dan 1623.
Mereka ikut dalam ekspedisi Tidore pada tahun 1613, dalam sebuah serangan ke
kepulauan Banda pada Mei 1615, dalam pengepungan Batavia tahun 1619, dan dalam
penaklukan terakhir pulau-pulau Banda pada tahun 1621. Dalam aksi terakhir itu,
87 tentara bayaran Jepang mengambil bagian, dan 14 diantaranya diberi hadiah 30
real untuk keberanian mereka22. Coen juga mengatur armada
kapal-kapal kecil dan ringan Jepang yang terdiri dari 20 hingga 30 pendayung
untuk bertindak sebagai semacam kekuatan respon cepat untuk menjaga kepulauan
Banda.
VOC di Amboyna
Selain layanan kerja dalam
kampanye-kampanye, tentara bayaran Jepang membentuk bagian dari garnisun Jepang
yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaan VOC di Asia Tenggara. 1 kontingen
seperti itu bertugas di Amboyna, sebuah pulau penghasil cengkih yang penting,
yang direbut dari kontrol Portugis pada tahun 1605 oleh Steven van der Haghen23.
Van der Haghen memperoleh monopoli untuk pembelian cengkih dari Sultan Ternate,
yang memerintah paling tidak secara nominal atas sebagian besar pulau itu, dan menempatkan
seorang Gubernur VOC di bekas benteng Portugis, yang berganti nama menjadi
Victoria.
Gubernur di Amboyna dibebankan
dengan tugas yang hampir mustahil, untuk menegakan monopoli ini. Untuk
memastikan semua cengkih bisa tiba di tangan VOC, gubernur-gubernur selanjutnya
menandatangani perjanjian dengan penguasa lokal, menetapkan bahwa seluruh hasil
panen cengkih dijual kepada perusahaan (VOC) dengan harga tetap. Namun,
kontrak-kontrak ini sering diabaikan karena petani cengkih memilih untuk
menghindari VOC dengan menjual produk mereka kepada perusahaan Eropa lainnya,
yang siap menawarkan harga yang lebih tinggi. Para gubernur di Amboyna merespon
aksi ini dengan melakukan ekspedisi hukuman, yang dirancang untuk menghukum
pihak-pihak penentang dengan membakar tanaman mereka.
Pedagang-pedagang dari perusahaan
Inggris India Timur (EIC), sangat gigih dalam usaha mereka untuk
“menghancurkan” monopoli perdagangan perusahaan dengan kombinasi kekuatan dan
dalih. Persaingan langsung ini terhenti pada tahun 1619, ketika 2 perusahaan
(EIC dan VOC) menandatangani perjanjian yang bertujuan untuk membuat alasan
umum melawan musuh bersama, yaitu Portugis dan Spanyol. Dibawah
ketentuan-ketentuan perjanjian, Inggris diizinkan untuk mendirikan “markas” di
wilayah-wilayah kekuasaan VOC termasuk Amboyna dan mengklaim 1/3 dari
perdagangan rempah-rempah. Kedua perusahaan juga sepakat untuk membentuk armada
gabungan yang akan digunakan untuk memblokade pelabuhan-pelabuhan pihak musuh.
Pergeseran dari saingan sengit
menjadi sekutu datang terlalu cepat bagi banyak pihak. Para komandan VOC di
wilayah-wilayah di Asia Tenggara, dengan penuh semangat memprotes
penandatanganan perjanjian, dengan alasan bahwa direksi telah mengizinkan
Inggris membuka kembali perdagangan rempah yang didominasi oleh VOC (Belanda).
Coen, yang merupakan penentang Inggris secara agresif di sepanjang karirnya,
memperingatkan bawahannya untuk mengawasi sekutu baru mereka secara dekat dalam
hal setiap tanda-tanda pengkhianatan. Di Amboyna, kekuasaan VOC yang dipimpin
Gubernur Herman van Speultc mempertahankan persahabatan yang gelisah,
dengan para pedagang Inggris yang baru ditempatkan di pulau itu.
Alur Cerita
Gencatan senjata yang rapuh antara
Inggris dan Belanda di Amboyna hancur oleh serangkain tindakan pada tahun 1623.
Pada tanggal 22 Februari, seorang tentara bayaran Jepang bernama Hytiesod
menanyakan pada seorang Belanda, penjaga yang berpatroli di dinding kastil di
Amboyna, berapa banyak serdadu yang menjaga kastil dan seberapa sering
penjagaan berganti24. Baris-baris pertanyaan Hytieso membangkitkan
kecurigaan, dan dia ditahan dan diinterogasi. Menjawab pada kesempatan pertama,
ia menanyakan pertanyaan itu karena “ kegembiraan dan kesenangan”, ia mengaku
setelah penyiksaan bahwa ia telah merencanakan dengan pedagang Inggris di pulau
itu untuk merebut kastil25. Dalam pengakuannya, Hytieso menuduh
tentara bayaran orang Jepang lainnya, Sidney Migiell, yang kemudian ditangkap
dan diinterogasi26. Setelah Migiell, sisa anggota garnisun Jepang
lainnya diinterogasi dari tanggal 23 hingga 25 Februari, dimana selama itu
kebanyakan dari mereka mengaku memiliki beberapa peran dalam komplotan27.
Pada tanggal 26 Februari, Van Speult
bergerak cepat melawan Inggris. Able Price, dokter bedah/tukang cukur asal
Inggris, yang telah menjadi tahanan karena mengancam melakukan pembakaran dalam
keadaan mabuk, diinterogasi dan disiksa. Tindakan ini menghasilkan pengakuan
bahwa “ia melakukan pertemuan dengan orang Jepang Sidney Migiell, tentang
pengambilalihan kastil, menjanjikan kepada setiap orang Jepang, bagian mereka
dalam sepatu bot mereka”28. Setelah Price, Belanda (VOC) menyiksa
sisa dari pedagang Inggris di Amboyna sampai mereka mendapatkan
pengakuan-pengakuan dari sebagian besar mereka. Pemimpin kelompok komplotan
diidentifikasi sebagai Gabriel Towersone, pemimpin agen perusahaan
Inggris di Amboyna. Towerson mengaku bahwa dia telah berkomplot dengan
orang-orang Jepang, untuk menjadikan dirinya “ penguasa kastil – Master of the Castle –“29.
Setelah memperoleh banyak pengakuan, Van Speult melakukan persidangan dengan
dewan para pedagang untuk mengumumkan hukuman pada para konspirator30.
Pada tanggal 9 Maret, 10 para pedagang
Inggrisf dan sekelompok tentara bayaran Jepang dihukum mati31.
8 pedagang Inggris dibebaskang, dan beberapa diantaranya akhirnya
berhasil kembali ke Inggris untuk menjadi saksi-saksi utama dalam persidangan
yang dilakukan oleh perusahaan Inggris India Timur (EIC).
Berita-berita tentang peristiwa di
Amboyna mencapai Inggris pada awal Juni 1624. Raja Inggris, James Ih
dan (EIC) merespon secara keras dengan menuntut restitusi (ganti rugi) dari
VOC. Menanggapi gelombang pengaduan dari Inggris, pihak VOC menanyai para hakim
Amboyna pada bulan Oktober 1625, dan menghasilkan sejumlah besar dokumen tambahan
untuk mendukung kasusnya. Ketika pemerintah Inggris terus menerus menekan agar
para hakim Amboyna diadili karena salah mengelola kasus, pihak State General menunjuk para hakim untuk
melakukan persidangan yang komprehensif. Persidangan ini dimulai pada tahun
1628, dan menghasilkan ratusan halaman dokumen, banyak yang masih ada sampai
saat ini. 3 tahun setelah proses itu dimulai, persidangan berakhir dengan
vonis/putusan tidak bersalah. Kasus itu, bagaimana pun, tidak dilupakan di
Inggris dan setelah 3 dekade melakukan protes, tekanan dari Oliver Cromwelli
pada Agustus 1654, akhirnya memaksa VOC membayar ganti rugi sebesar 85.000
pound kepada EIC, serta 3.615 pound yang terbagi kepada para pewaris dari
orang-orang yang telah dieksekusi di Amboyna.
Tentara-tentara bayaran Jepang, jika
kita percaya pada dokumen Belanda (VOC), merupakan bagian paling krusial dari
rencana untuk menggulingkan kekuasaan VOC di Amboyna. Di mata para hakim
Amboyna, tentara bayaran ini adalah barisan kelima yang memungkinkan sekelompok
kecil pedagang Inggris, yang kalah kekuatan untuk menguasai kastil/benteng yang
dijaga dengan ketat. Sebagai hasilnya, peran mereka banyak dibahas pada
persidangan awal dan persidangan selanjutnya. Bahkan dengan perhatian ini,
banyak pertanyaan paling mendasar tentang tentara bayaran Jepang tetap tidak
terjawab. Sebelum memasuki diskusi ini, adalah hal yang layak mempertimbangkan
sumber-sumber tersedia, untuk merekonstruksi peristiwa yang terjadi di Amboyna
pada tahun 1623 itu.
Sumber-sumber
Sumber
yang paling sering dikutip adalah catatan pengadilan dari persidangan Amboyna
1623 itu sendiri. Catatan itu, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris
sebagai An authentic copy the acts of the
processe against the English at Amboyna, terdiri dari narasi dasar
peristiwa, pengakuan individu para konspirator yang dituduh dan keputusan akhir32.
Artikel terpisah dapat dikhususkan untuk kelemahan dan kesalahan dari catatan
singkat ini, dan itu telah menjadi target yang pantas bagi siapa pun yang
mengkritik kasus VOC. Bahwa Van Speult dan para hakim Amboyna tidak mengikuti
proses peradilan yang benar, sangat jelas bahkan bagi para pendukung mereka
yang paling konsisten. Dalam sebuah surat kepada Direktur, Gubernur Jend Pieter
de Carpentier menyampaikan keluhan-keluhannya :
Kami berharap dengan baik bahwa dalam proses ini, gaya
keadilan yang tepat telah diikuti dan bahwa instrumen-instrumen proses itu
dengan bagian-bagian penuh dimasukan dalam operasi. Isaac de Bruyn yang
ditunjuk sebagai advokat-fiskal, menyebut dirinya seorang pengacara dan
ditugaskan dalam perusahaan ini. Dia seharusnya menunjukan penilaian yang lebih
baik dalam urusan ini. Seluruh dewan mempercayai martabat gelar de Bruyn dan
membiarkannya untuk menyusun dokumen-dokumen. Tak ada satu pun dari mereka yang
berani menambahkan apa pun kedalamnya,namun semuanya mempercayai hak dari
pengacara33
Selain salinan Authentic, Disposisi dari 6 pedagang
Inggris yang selamat di hadapan Sir Henry Martenj, seorang hakim
tinggi di tahun 1624, disposisi para hakim Amboyna tahun 1625 dan 1628, dapat
ditemukan dalam arsip-arsip Belanda dan Inggris34. Meskipun
disposisi itu adalah laporan langsung dari peristiwa tersebut, para saksi semua
diinterogasi setelah periode waktu yang signifikan, mulai dari 1 tahun hingga 5
tahun setelah peristiwa terjadi. Selain itu, para saksi terlalu terlibat secara
pribadi dalam kasus yang seharusnya obyektif. Para pedagang Inggris yang
selamat perlu melakukannya, meyakinkan pendukung mereka tentang kepolosan
absolut mereka untuk mempertahankan status mereka sebagai korban. Posisi para
hakim Amboyna sama-sama berbahaya, seperti pada tahun 1628 mereka sendiri
diadili karena salah menangani proses pertama tahun 1623. Jika para hakim
sebelumnya menuduh diri mereka sendiri dengan cara apa pun, mereka akan terkena
hukuman berat. Banyak informasi dapat diambil dari disposisi, tetapi kesaksian
apa pun yang berkaitan langsung dengan kesalahan atau tidak bersalahnya
konspirator, haruslah dinilai dengan sedemikian sangat hati-hati.
Bersamaan dengan disposisi,
sejarahwan sudah lama mengandalkan pamflet-pamflet kontemporer yang dihasilkan
dari insiden tersebut sebagai sumber penting. Pamflet-pamflet memberikan
mekanisme ekonomi dan populer bagi kedua pihak untuk membenarkan tindakan
mereka, sementara mengutuk pihak lawan. Meskipun memiliki pencetakan yang cukup
kecil, mereka menciptakan gelombang kemarahan dan mengangkat insiden Amboyna ke
pusat perhatian publik. Pamflet-pamflet semacam itu pertama kali muncul pada
bulan Juli 1624. Dibawah judul A true
declaration of the news that came out of the East-Indies, pertama kali
dicetak dalam Bahasa Belanda, tetapi segera diterjemahkan kedalam Bahasa
Inggris. Pada saat itu, dipercaya secara luas bahwa pamflet tersebut telah dibuat
dan ditulis oleh para pejabat VOC, tetapi hal ini dibantah keras.
Terhina dihadapan publik atas
klaim pamflet Belanda, perusahaan Inggris (EIC) merespon dengan publikasi
mereka sendiri di tahun yang sama. Pamflet ini ditulis oleh John Skinner, yang
memanfaatkan kesaksian 6 orang Inggris yang selamat. Pamflet tersebut berjudul A true relation of the unjust, cruell and
barbarous proceedings against the English at Amboina in the East-Indies, by the
Netherlandish gouverneur and concel there, memberi ringkasan yang adil
tentang isinya. Tidak puas dengan versi mereka, Inggris juga menerbitkan
pamflet/selebaran lain dengan judul answer
unto the Dutch pamphlet35. Pada tahun 1632, perang propaganda
diperbarui, ketika kumpulan 3 pamflet dari kedua belah pihak diterbitkan
bersama-sama36. Pamflet pertama, A
remonstrance of directors of the Netherlands East India Company presented to
the Lords States-Generall of the united Provinces, in defence of the said
Companie, touchng the bloudy proceeding against the English merchants, executed
at Amboyna, telah dipresentasikan ke States-General pada November 1624
sebagai jawaban atas pekerjaan Skinner, dan merupakan pembelaan yang kuat dan
berargumentasi baik dari tindakan VOC di Amboyna. Terlampir pada remonstrance adalah terjemahan dari
catatan pengadilan Amboyna, yang dikirim ke perusahaan Inggris India Timur oleh
Belanda. Pamflet ketiga yang termasuk dalam kelompok ini adalah tanggapan
Inggris yang lain, A reply to the
remonstrance of the Bewinthebbers or Director of the Netherlands East India
Companie lately exhibited to the Lords States-Generall in justification of the
proceedings of their Officers at Amboyna against the English there. Nilai
dari pamflet-pamflet ini sebagai sumber sejarah penuh perdebatan. Di satu sisi
pamflet tersebut didasarkan pada bukti tangan pertama, dan menyediakan suatu
catatan yang koheren dari peristiwa di Amboyna, tetapi pamflet-pamflet itu
bahkan lebih bias daripada desposisi, dan hanya bisa dipergunakan dengan sangat
selektif.
======
bersambung =====
Catatan kaki
1.
Dalam
sumber-sumber modern, pulau itu biasanya disebut sebagai Ambon. Untuk artikel
ini, saya (penulis) lebih memilih ejaan Amboyna, yang muncul paling umum dalam kajian-kajian
kesarjanaan berbahasa Inggris terkait kejadian tersebut.
2.
Insiden
Amboyna telah membangkitkan besarnya kajian-kajian kesarjanaan di Inggris dan
Belanda. Sebaliknya, suatu kajian oleh Hunter tetap merupakan salah satu
pengantar terbaik dalam Bahasa Inggris. Hunter, A History British India. Lihat juga Basser, Amboyna Massacre, 1-19. Karen Chancey, The Amboyna Massacre in English Politics, 1624-1632, 583-598, yang
mengkaji dampak diplomatik dari insiden tersebut, yang memperdebatkan bahwa
James I dan Charles I yang secara aktif mengikuti dan kebijakan luar negeri
yang konsisten terhadap Belanda. Di Belanda, 2 artikel paling penting adalah
Stapel, De Ambonsche Moord, 209-226, dan
Coolhas, Aanteekeningen en Opmerkingen,
49-93. Coolhas memberikan deskripsi dan analisis terbaik dari Insiden
Amboyna dalam beberapa bahasa. Dia berpendapat menentang tren kajian-kajian
berbahasa Inggris yang menuduh para hakim Amboyna melakukan pengkhianatan,
sampai pada kesimpulan yang masuk akal, bahwa meskipun prosedur hukum yang
digunakan oleh hakim-hakim Amboyna cacar, mereka seperti Gubernur Jend dan
dewannya di Batavia, jelas yakin dengan keadilan vonis tersebut.
3.
Studi-studi tentang orang Jepang di Asia
Tenggara, yang paling diakui adalah karya perintis luar biasa yang dilakukan
oleh Iwao Seiichi, Zoku nanyo Nihon machi
no kenkyu, yang mengumpulkan sejumlah besar bahan primer terkait dengan
para migran ini. sesuai dengan sifat katalogisasi karyanya, deskripsi Iwao
tentang insiden Amboyna terbatas pada dasar ringkasan kejadian tanpa penafsiran
tambahan. Sebelum masa perang, perkelahian akademik kecil antara 2 sarjana
Jepang menghasilkan 3 artikel yang muncul di Rekishi to chiri pada tahun 1933, tetapi artikel-artikel ini
mengandalkan sepenuhnya pada sumber-sumber sekunder berbahasa Inggris dan lebih
agresif daripada kajian yang secara ilmiah bernilai sedikit.
4.
Saya
mendefinisikan tentara bayaran sebagai pejuang bayaran yang berasal dari luar
masyarakat dan bukan bagian dari pasukan regulernya, dan yang termotivasi
terutama oleh keinginan untuk keuntungan pribadi. Pada abad ke-17 definisi
tentara bayaran tidak terlalu jelas seperti yang terjadi pada era selanjutnya
dari tentara nasional dan milisi. VOC adalah perusahaan swasta dan komersial yang
secara khusus berwenang untuk berperang, yang memang dilakukannya secara
antusias dengan kumpulan tentara dari berbagai bangsa yang direkrut dari Eropa
dan Asia. Meskipun saya merujuk pada tentara bayaran Jepang sepanjang tulisan
ini, saya tidak memaksudkan bahwa gagasan identitas orang-orang Jepang secara
universal dipekerjakan dalam periode ini oleh semua wilayah di Nusantara.
5.
Raben, 'Het Aziatisch Legioen'.
6.
Untuk analisis mengenai tahun-tahun
pertama markas Hirado yang menegaskan VOC menggunakan Jepang terutama sebagai
markas strategi dari basis komersial, lihat Kato, Bakuhansei kokka no keisei to gaikoku boeki
7.
Untuk piagam lengkapnya, lihat Van der
Chijs, Geschiedenis der stichting van der
Vereenigde O.I. Compagnie, 98 - 115
8.
Perusahaan Inggris India Timur (EIC)
kemudian mendirikan markasnya sendiri di Hirado pada tahun 1613.
9.
Hendrik Brouwer ke Pieter Both, 29
Januari 1613, VOC 1056. Untuk panduan nomor-nomor VOC, lihat Meilink-Roelofs,
Raben dan Spijkersman, eds, De archieven
van de Verenigde Oostindiche Compagnie
10.
Hendrik Brouwer ke Pieter Both, 29
Januari 1613, VOC 1056. Brouwer adalah pimpinan markasi di Hirado sejak
Februari 1613 – September 1614. Tidak semua orang Jepang yang dikirim dari
Hirado adalah tentara bayaran. Kelompok itu termasuk tukang kayu, pandai besi,
tukang plester, pengurus kuda dan pelaut. Meskipun beragam pekerjaan, mayoritas
pria Jepang yang dikirim dari Hirado, tampaknya memiliki kecenderungan untuk
dinas militer.
11.
Lucassen, A multinational and its Labour force, 16
12.
Van Schouwenburg, 'Het personeel op de schepen van de
Kamer Delft van de VOC in de eerste helft van de achttiende eeuw ', Tijdschrift
voor zeegeschiedenis 7 (1988), 76-93; Van Schouwenburg, 'Het personeel op de
schepen van de Kamer Delft van de VOC di de tweede helft van de achttiende eeuw
',
Tijdschrift voor zeegeschiedenis 8 (1989), 179-186.
Tijdschrift voor zeegeschiedenis 8 (1989), 179-186.
13.
Hanya ada 1 referensi dalam catatan
VOC tentang penyakit di kalangan orang Jepang yang direkrut. Pada tahun 1613,
pejabat yang bertanggung jawab atas kontingen tentara bayaran Jepang menulis
bahwa “melalui perubahan cuaca/langit, mereka banyak terjangkit penyakit”,
tetapi secara signifikan dia tidak mencatat tentang kematian
14.
Tiele
dan Heeres, eds, Bouwstoffen voor de geschiedenis, 1: 28-35.
15.
Colenbrander,
ed., Jan Pietersz. Coen, 1:17.
16.
Ibid.,
6: 468.
17.
Ibid.,
2: 368-373.
18.
ibid.,
2: 747-749.
19.
Pieter
de Carpentier dan Jacob Dedel ke the Direksi, 8 Maret 1621, VOC 1072.
20.
Farringon,
The English Factory, 1:379
21.
Ibid.,
1: 340.
22. Colenbrander, ed., Jan Pietersz. Coen, 3:
699.
23.
Ambisi
VOC di Asia Tenggara berpusat pada kontrol atas 3 tanaman yang paling berharga
: Cengkih, Pala dan bunga pala, budidaya yang terbatas pada sejumlah
pulau-pulau kecil yang letaknya cukup dekat
24.
Tergantung
pada apakah dokumen Belanda atau Inggris yang digunakan, dimana ada perbedaan
dalam tahun. Pada tahun 1623, Belanda telah mengadopsi sistim kalender Gregorian,
yang 10 hari lebih duluan dari kalender Julian yang digunakan oleh Inggris.
Untuk keperluan artikel ini, saya telah menggunakan tanggal Gregorian. Bahkan
setelah faktor-faktor dalam perbedaan kalender, catatan Inggris dan Belanda
jarang untuk sepakat soal tanggal, yang biasanya berbeda 1 atau 2 hari. Saya
telah mencoba menggunakan tanggal-tanggal itu yang sering muncul dengan
konsisten dalam dokumen-dokumen yang mendukungnya.
25.
Authentic copy, 5
26.
Orang
Kristen Jepang sering mengadopsi nama Eropa setelah baptisan. Dari
sumber-sumber terbatas, tidak jelas bagaimana Sidney Migiell memperoleh namanya
itu.
27.
Pada
saat kejadian garnisun kastil di Amboyna terdiri antara 100 dan 200 tentara
Belanda dan milisi lokal (schuterij)
28.
Authentic copy, 15
29. Ibid., 25.
30. Anggota dewan akan dirujuk
sebagai hakim Amboyna.
31.
Jumlah
tentara bayaran Jepang yang dieksekusi akan dibahas nanti dalam artikel.
32. Dalam
bahasa Belanda Copie autentycq van de
confessien ende sententien van Mr Tourson end complicen voor de moordadige
conspiratie op’t casteel Amboyna, dapat ditemui di Nationaal Archief, VOC
1080. Meskipun ditanggali, terjemahan bahasa Inggris dari bahasa Belanda asli
pada umumnya dapat diandalkan. Saat diperlukan, saya telah menambahkan ini
dengan terjemahan saya sendiri
33. Pieter de
Carpentier ke Amsterdam Kamar, 3 Januari 1624, VOC 1079.
34. Terjemahan bahasa
Inggris desposisi ini dapat ditemui di British Library, The Factory of the East India Company: Java, 1595-1827 Oriental and India Office, G/21/2. Desposisi bahasa Belanda
dapat ditemui pada National Archives (Secrete Kas, East Indies, 12581 and
Lotetkas, East India Company, 12563.)
35. pamflet ini
sekarang dapat ditemukan online di database Early English Books Online(www.
eebo.chadwyck.com/home)
36. Dicetak ulang
di Osbourne, A Collection of Voyages, 313-352.
Catatan Tambahan :
a. Heeren
XVII (di Amsterdam) menunjuk Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 25 Oktober 1617,
J.P. Coen sendiri menerima berita penunjukan ini pada tanggal 30 April 1618. Pada
tanggal 21 Maret 1619, barulah Coen secara resmi menjadi Gubernur Jend VOC
menggantikan Laurens Reael (1616-1619).
§ Lihat
M.A. Rheede van der Kloot, De
Gouverneur-Generaal en Commisarissen-Generaal van Nederlandsch-Indie 1610
-1888, W.P. van Stockum & Zoon, s’Gravenhage, 1891, hal 33
b. Jacques
Specx lahir di Dordrecht pada tahun 1585 dan putra dari Cornelis Specx. Ia
menjadi Opperhoofd VOC Jepang yang bermarkas di Hirado pada 20 September 1609 –
28 Agustus 1612 dan 6 Agustus 1614 – 29 Oktober 1621.
§
Lihat
M.A. Rheede van der Kloot, De
Gouverneur-Generaal en Commisarissen-Generaal van Nederlandsch-Indie 1610
-1888, W.P. van Stockum & Zoon, s’Gravenhage, 1891, hal 40
c. Herman
van Speult menjadi Gubernur Ambon (1618 – 18 Juli 1825).
d. Pada
artikel ini, Adam Clulow menulis nama Hytieso, namun pada buku terbarunya, Ia
menulis namanya Shichizo. Menurut kami, mungkin nama kedua ini (Shichizo)
adalah nama Hytieso yang lebih “dijepangkan”
§ Lihat,
Adam Clulow, Amboyna 1623 : Fear and
Conspiracy on the Edge of Empire, Columbia University Press, Agustus 2019
e. Gabriel
Towerson lahir pada 1 Januari 1576 dan dibaptis pada 27 Februari 1576, putra
dari William Towerson (??? – 1584). Gabriel Towerson menikah dengan “Mariam
Khan”, seorang wanita Kristen Armenia, yang juga janda dari Sir William
Hawkins. Nama “Mariam Khan” hanya disebutkan oleh Michael.H. Fisher dalam
artikelnya, sedangkan sejarahwan lain misalnya Amrita Sen, Mesrovb Jacob Seth tidak
menulis nama wanita ini.
§ J.D. Aslop, Towerson, Gabriel
§ Lihat Amrita Sen, Early Liaisons: East India Company, Native
Wives, and Inscription in the Seventeenth Century (dimuat pada South Asia
Riview, volume 33, isu 2, 2012, hal 101 – 116)
§ Lihat Michael. H.
Fisher, Counterflows to to Colonialism :
Indian Travellers and Settlers in Britain 1600-1857, Delhi, 2004
§ Lihat Mesrovb Jacob
Seth, Armenians in India, from the
earliest time to present time, New Delhy, 2005
f. 10
orang pedagang yang dieksekusi adalah :
1.
Gabriel Towerson (49 tahun)
2.
Emanuel Thompson (50 tahun)
3.
Timothy Johnson (29 tahun)
4.
Abel Price (24 tahun)
5.
Robert Browne (24 tahun)
6. John
Fardo (42 tahun)
7.
William Griggs (28 tahun)
8.
Samuel Coulson (39 tahun)
9. John
Clarke (36 tahun)
10. John
Wetherall (31 tahun)
§
Lihat W.Ph. Coolhas, Aanteekeningen en Opmerkingen over den
zoogenaamdem Ambonsche Moord (dimuat dalam Bijdragen tot de Taal,-Land-en
Volkenkunde van Nederlansch-Indie, deel 101 (1942), hal 49 – 93, khususnya hal
93)
§
Lihat F.W. Stapel, De Ambonsche Moord (9 Maret 1623) (dimuat
dalam Tijdchrift voor Indische Taal,-Land- en Volkenkundehal, deel 62 (1923),
hal 209 – 226, khususnya hal 220)
§
Nama-nama ini akan ditampilkan juga
pada bagian ke-2 dari artikel ini oleh sang penulis (Adam Clulow)
g. 8
orang yang dibebaskan adalah :
1.
Edward Collins (25 tahun)
2.
William Webber (32 tahun)
3.
John Sadler (20 tahun)
4.
George Sherricke/Sharrock (31 tahun)
5.
John Powle (31 tahun)
6. Thomas
Ladbrooke (??)
7.
John Beaumont (48 tahun)
8.
Ephraim Ramsey (31 tahun)
§
Lihat W.Ph. Coolhas, Aanteekeningen en Opmerkingen over den
zoogenaamdem Ambonsche Moord (dimuat dalam Bijdragen tot de Taal,-Land-en
Volkenkunde van Nederlansch-Indie, volume 101 (1942), hal 49 – 93, khususnya
hal 93)
§
Lihat F.W. Stapel, De Ambonsche Moord (9 Maret 1623) (dimuat
dalam Tijdchrift voor Indische Taal,-Land- en Volkenkundehal, deel 62 (1923),
hal 209 – 226, khususnya hal 220)
§
Nama-nama ini akan ditampilkan juga
pada bagian ke-2 dari artikel ini oleh sang penulis (Adam Clulow)
h.
Raja Inggris James I atau James
Charles Stuart (19 Juni 1566 – 27 Maret 1625), putra dari Henry Stuart dan Mary
Queen of Scotlandia. Ia menjadi Raja Skotlandia dengan gelar James VI, dan
menjadi Raja Inggris dan Irlandia dengan gelar James I (24 Maret 1603 – 27
Maret 1625)
i.
Oliver Cromwell lahir pada tanggal 25
April 1599 dan meninggal pada 3 September 1658. Ia dalah putra dari Robert
Cromwell dan Elizabeth Steward. Oliver Cromwell adalah seorang pemimpin militer
dan anggota Parlemen. Menikah dengan Elizabeth Bourchier
j.
Sir Henry Marten (1562 – 26 September
1641), menjadi Hakim Agung sejak 1617 – 1641 dan menikah dengan Elizabeth
Harding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar