(bag 2 - selesai)
Oleh
Para Konspirator
Meskipun
menjadi salah satu fakta paling mendasar dari kasus ini, jumlah orang Jepang
yang terlibat dalam plot untuk merebut kastil/benteng, tidaklah jelas. Para
sarjana yang menulis tentang Insiden Amboyna, merujuk pada angka antara 9 dan
12 dengan tidak konsisten. Bagi orang Inggris, situasinya jauh lebih jelas.
Secara total, 10 pedagang Inggris dieksekusi dan 8 pedagang lainnya selamat.
Gabriel Towerson, Samuel Colson, Emanuel Thompson, Timothy Johnson, John
Wetherall, John Clarke, William Griggs, John Fardo, Able Price dan Robert
Brown, semuanya dieksekusi. Sedangkan John Beaumont, George Sherroke, Edward
Collins, William Weber, John Powle, Ephraim Ramsey, Thomas Ladbrooke dan John
Sadler, terhindar dari maut, baik karena pengampunan dari VOC atau karena
mereka terbukti tidak berperan dalam konspirasi.
Dalam Authentick Copy, 11 konspirator Jepang disebutkan :
- Hytieso, usia 24 tahun, lahir di Hirado37
- Sidney Migiell, usia 23 tahun, lahir di Nagasaki
- Peter Congi, usia 31 tahun, lahir di Nagasaki
- Soysimo, usia 26 tahun, lahir di Hirado
- Thomas Corea, usia 50 tahun, lahir di Nagasaki38
- Tsiosa, usia 32 tahun, lahir di Hirado
- Quiendayo, usia 32 tahun, lahir di Karatsu
- Sinsa, usia 32 tahun, lahir di Hirado
- Tsauinda, usia 32 tahun, lahir di Chikugo
- Zanchoo, usia 22 tahun, lahir di Hizen
- Sacoube, usia 40 tahun, lahir di Hirado
Menurut Authentick Copy, kesebelas orang itu mengaku. Namun, dalam salah satu dokumen yang beragam ketidaksesuaian itu, hanya ada 9 orang Jepang yang tercatat dieksekusi. 2 orang yang tidak ada adalah Soysimo dan Sacoube. Hilangnya (nama) Sacoube dapat dijelaskan melalui pengakuannya : “Sacoube dari Japoneze, usia 40 tahun, lahir di Ferando, tentara : mengakui, bahwa ia mengetahui tentang pertemuan orang Jepang, tetapi karena sudah tua dan sakit, ia tidak ikut”39. Pengakuan Soysimo, di sisi lain, hampir identik dengan 9 konspirator yang dieksekusi :”Soysimo, dari Japoneze, usia 26 tahun, lahir di Ferando: mengakui, bahwa dia juga tahu tentang pertemuan orang Inggris, dan bahwa dia siap bekerja kepada orang Inggris untuk merebut kastil40. Para pembuat pamflet Inggris melakukan kesalahan yang jelas ini :
Selain itu, ada 2 orang Jepang lainnya, yang bernama
Soysimo, lahir di Firando, dan Sacoube lahir di tempat yang sama : lebih dulu
disiksa, keduanya mengaku telah berpura-pura melakukan pengkhianatan dan telah
menawarkan diri kepada Inggris untuk membantu mereka merebut benteng : dan yang
terakhir mengaku tahu tentang pertemuan orang Jepang lainnya untuk tujuan ini.
tapi tidak ada dari mereka yang dieksekusi atau disalahkan. Alasan tentang itu
tidaklah diketahui daripada orang-orang Inggris yang selamat41.
Coolhas menduga bahwa
nama Soysimo dihilangkan secara keliru dari dokumen hukum yang dipersiapkan
dengan buruk, dan karena mungkin benar pengakuan tidak jauh berbeda dari para
konspirator lain42. 10 orang bukan 9 orang yang dijatuhi hukuman
mati lebih lanjut didukung oleh surat dari De Carpienter pada 3 Januari 1624,
dimana ia menyatakan bahwa 10 orang Jepang dieksekusi akibat terlibat
konspirasi43.
Dengan asumsi bahwa Soysimo
dieksekusi dan Sacoube selamat, ini
menjadi jumlah orang Jepang yang dieksekusi menjadi 11, jumlah yang sama
seperti yang ditulis dalam Authentick
Copy. Namun, jika kita memeriksa desposisi tahun 1628 dari para hakim
Amboyna yang lain, masalah dalam jumlah ini muncul. Menurut Laurence
Marschalck, bekas kepala pedagang Amboyna dan anggota hakim terpenting, ada 12
orang prajurit di kastil/benteng44. Peter van Santen, salah satu
hakim lainnya, membenarkan hal ini. Karena desposisi ini dibuat 5 tahun setelah
kejadian, tentu saja Marschalck dan Van Santen bisa keliru, tetapi kesaksian
hakim lain, John van Leeuwen menambah kebingungan lebih jauh. Berdasarkan
kesaksiannya “ ada 12 orang Jepang, dimana 9 dieksekusi, 2 dibebaskan dan 1
dari mereka adalah kapten mereka yang tidak dituduh oleh yang lain, dan karena
itu tidak ditangkap45.
Jika tentara bayaran yang
“hilang” itu memang kapten kelompok Jepang, ini merupakan kelalaian yang sangat
penting. Van Leeuwen adalah satu-satunya hakim, yang bersaksi tentang
keberadaan kapten Jepang itu, tetapi versinya didukung oleh sumber lain yang
oleh perusahaan Inggris, untuk bagian mereka, menempatkannya sebagai hal yang
berharga. George Forbesse adalah seorang pegawai VOC berkebangsaan Skotlandia,
yang hadir di benteng selama proses interogasi dan penyiksaan orang Inggris. Dia
terus bertugas di VOC setelah insiden itu, dan ditemukan berada di kapal
Belanda yang ditolak oleh otoritas Inggris di Portsmouth pada tahun 1627. Saat
menyajikan kesaksiannya, orang Inggris menggambarkan Forbesse sebagai “jujur,
saksi mata dan telinga yang benar, tidak memihak, yang bekerja di perusahaan
Belanda di benteng pada saat itu”46. Sebagian dari kesaksiannya
berbunyi sebagai berikut :
Setelah itu, sekitar jam 9, saya memang melihat dia yang
dipanggil Kapten Japons, dengan 8 atau 9 Japons lainnya yang bersamanya, yang dikirim
oleh Gubernur, tetapi sang kapten sendiri, tumit kakinya terpasang oleh kunci
besi besar di masing-masing kaki, dan setelah itu dibawa ke ruangan saya untuk
“santai” dengan Gubernur dan Fiscal, saya bertanya apa maksudnya ini semua, dan
jawabannya adalah dengan sumpah yang sungguh-sungguh , dia sama sekali tidak
tahu apa masalahnya, jadi dalam 1 jam, dia dilepaskan dan tidak terjadi apapun
dengannya47.
Tidak jelas tekanan apa yang
dimungkin diberikan EIC kepada Forbesse, tetapi juga tidak ada alasan yang pasti,
yang memaksanya harus memasukan jumlah 12 orang Jepang dalam desposisinya. Mengesampingkan
kesaksian dari 2 saksi mata ini, adalah merupakan hal yang umum bagi kelompok
tentara Jepang yang dipekerjakan oleh VOC, untuk dipimpin oleh seorang kapten
Jepang, yang diyakini dapat lebih efektif mengawasi dan mengendalikan
orang-orang yang direkrut daripada dipimpin oleh seorang perwira Belanda. Kapten
orang Jepang yang terdokumentasi adalah Kusnoky Itsiemon, pemimpin 68 orang
Jepang yang dikirim menggunakan junk Fortuijne.
Kusnoky dieksekusi karena pembunuhan, tak lama setelah kedatangannya di Asia
Tenggara. Catatan yudisial melaporkan bahwa “ menurut pernyataannya sendiri,
pagi-pagi ditanggal 2 Januari 1616, Kusnoky Itsiemon, pemimpin Jepang yang datang
kesini bersama junk Fortuijne, mati
terbunuh dari belakang dengan pedang, di salah satu rumah orang Jepang di
markas Ceyemon, yang mengepalai orang-orang Jepang yang datang kesini dengan
kapal Enkhuyzen48.
Dalam tindakan menyerang kasus
VOC, para penulis Inggris berpendapat bahwa semua tentara bayaran Jepang, yang
dipekerjakan oleh perusahaan disiksa sampai mereka mengaku terlibat dalam
konspirasi hayalan, tetapi fakta bahwa seorang tentara bayaran yang hanya
seorang diri dibebaskan oleh Gubernur dan
para interogatornya, tampaknya membantah argumen ini. Jika orang Belanda
menggunakan penyiksaan untuk memperoleh pengakuan yang mereka inginkan,
tidaklah masuk akal bahwa mereka akan meloloskan pelayan Jepang paling penting
dari proses itu. Keberadaan kapten Jepang menimbulkan sejumlah pertanyaan
penting, yang sayangnya tidak dijawab dengan bukti yang ada : Mengapa
konspirator Jepang tidak memasukan kapten mereka dalam rencana mereka? Apa yang
terjadi dengan kapten setelah semua, kecuali satu dari pasukan tentaranya
dieksekusi karena terlibat komplotan untuk merebut benteng/kastil? Apakah dia terus bekerja di Amboyba setelah
insiden itu?.
Di pihak orang Jepang,
konspirator paling penting tampaknya adalah Sidney Migiell. Pengakuan Migiell
menyatakan bahwa, ia telah didekati Able Price 2 atau 3 bulan sebelum
konspirasi terungkap, dan ditanya apakah “ia mengetahui cara memperoleh dan
membujuk Japoneze (orang Jepang) untuk merebut benteng/kastil untuk Inggris”.
Setelah negosiasi awal ini, Migiell “bertemu dengan orang Jepang tentang urusan
tersebut, dan (......) mereka semua sepakat tentang hal itu49. Sebagai
imbalan atas partisipasi mereka, orang Jepang dijanjikan 1000 real bagi mereka
dan bagian-bagian barang apapun yang diambil dari benteng/kastil50.
Menurut Authentick Copy, Migiell pernah bekerja untuk perusahaan Inggris.
Sebagai mantan pekerja, ia pasti memiliki kontak-kontak – dan mungkin simpati – untuk bertugas sebagai penghubung antara
orang Inggris di Amboyna dan pasukan tentara bayaran Jepang. Hubungan semacam
itu, akan membuat konspirasi itu menjadi jauh lebih layak, sehingga tidak
mengherankan jika para hakim Amboyna memfokuskan pada poin ini dalam Authentick Copy. Tidak terlalu jelas di
mana dan dalam kapasitas apa, Migiell bekerja untuk orang Inggris. Marschalck
bersaksi bahwa dari 12 orang Jepang, “2 orang menjadi pelayan/budak untuk Kapten
Towerson yaitu Sidney Migiell dan Peter Conge”, tetapi karena desposisi ini
tidak didukung oleh para hakum lain, mungkin apa yang disebut Marschalck adalah
keliru51. Derek Masarella menunjukan, otoritas tertinggi Inggris di
Hirado mengatakan bahwa Migiell mungkin telah bekerja di markas Inggris di
Jepang, dan ini tampaknya yang paling mungkin52. Pelacakan melalui
buku harian Richard Cocks, menunjukan bahwa setidaknya ada 1 Miguel yang
dipekerjakan di Hirado sebagai penerjemah, tetapi nama itu cukup umum untuk
orang Kristen Jepang, dan ini bukan bukti konklusif bahwa itu adalah orang yang
sama.
Rekrutmen Perusahaan
Meskipun
jumlah dan catatan pertempuran tentara bayaran yang dipekerjakan oleh Belanda
didokumentasikan dengan cermat, hanya sedikit soal perincian pribadi dari
beberapa ratus orang ini yang masih ada. Dokumentasi yang dihasilkan oleh
insiden Ambon memberikan kemungkinan yang kaya untuk mempelajari lebih lanjut
tentang tentara bayaran Jepang. Secara khusus, 11 terdakwa menyediakan sampel
untuk menyimpulkan secara umum tentang tentara bayaran Jepang lainnya dalam
layanan VOC. Dari catatan yudisial, kita mengkaji lebih dulu tentang usia
tentara bayaran. Usia rata-rata para konspirator adalah 31 tahun, dengan usia
individu mulai dari 23 tahun (Sidney Migiell) hingga 50 tahun (Thomas Corea).
Meskipun para sarjana berspekulasi bahwa tentara bayaran Jepang di Asia
Tenggara, memperoleh kesuksesan berkat pengalaman milter, usia para tentara
bayaran dalam peristiwa Amboyna, tidak selalu mendukung asumsi ini53.
Konflik-konflik besar yang melibatkan pasukan Jepang adalah invasi Korea
Hideyoshi yang berakhir tahun 1598, pertempuran Sekigahara pada tahun 1600, dan
pengepungan Osaha dari tahun 1614-161554. Dengan pengecualian Thomas
Corea, dan mungkin Sacoube, tidak tentara bayaran di Amboyna, yang bisa
bertempur pada 2 konflik pertama itu. Terlihat dengan jelas pada usia itu,
mungkin beberapa konspirator – mungkin bukan
Migiell dan Hytieso yang telah berusia 15 dan 16 tahun – yang mungkin
bertempur di pengepungan Osaka, tetapi sangat tidak mungkin bahwa kesebelas
orang itu turut berpartisipasi.
Authentick Copy juga
mencantumkan kota asal dari ke-11 terdakwa : 5 lahir di Hirado, 3 di Nagasaki,
dan 3 dari bagian lain Kyushu – Hizen, Karatsu dan Chikugo. Dari sampel ini,
nampaknya tentara bayaran Jepang yang direkrut Belanda hampir seluruhnya
berasal dari Kyusuhu, yang sebagian besar rekrutan berasal dari Hirado, pangkalan
perusahaan di Jepang.
Para
pembuat selebaran Inggris menyerang kasus VOC dengan berargumen bahwa kedua
kelompok terdakwa tidak memiliki “bahasa” yang sama soal konspirasi. Para hakim
Amboyna mengakui bahwa orang Jepang dapat berbicara dan mengerti bahasa Melayu
dan Portugis. Pilihan terhadap kedua bahasa itu, mudah dijelaskan : Bahasa
Melayu adalah linguafranca di Asia Tenggara dan akan sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, sementara bahasa Portugis telah ditetapkan sebagai
bahasa komersial yang penting di Jepang sejak tahun 1543, lebih dari 5 dekade
bahkan sebelum kedatangan Belanda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kedua
bahasa ini, - bukan bahasa Jepang atau
Belanda – digunakan sebagai media dasar untuk berkomunikasi antara
perusahaan dan tentara Jepangnya.
Dejima, markas VOC di Jepang sejak 1639 |
Insiden
Amboyna membuka kesempatan untuk mempertimbangkan hubungan yang mendasari antara
tentang tentara bayaran Jepang dan Belanda sebagai tuan mereka. Meskipun
begitu, Coen mungkin mengatakan atau percaya tentang pasukan, para pejabat yang
harus berurusan dengan mereka secara langsung, jarang menyamai antusiasme Coen.
Seorang pejabat VOC mencatat bahwa orang Jepang “ adalah orang yang sensitif
dan sulit”, sementara yang lain mengeluh bahwa “ tentara dari Jepang tidak
membantu kami, karena mereka sangat berbahaya dan sulit untuk diperintah”55.
Penilaian yang paling memberatkan dari Specx yang memperingatkan perusahaan
bahwa orang Jepang :
Sangat berbahaya untuk diperintah di luar tanah/kampung
mereka. Jika tidak sesuai dengan keinginan mereka atau ketika diperlakukan
dengan buruk, mereka segera bersikap nekat, yang di asal mereka sikap ini akan
dicegah dengan keadilan yang ketat, atau lebih tepatnya melalui tirani. Melalui
cara ini, mereka adalah domba [di Jepang] dan di luar mereka hampir seperti
iblis. Ini seringkali terbukti di Patani, Siam dan tempat-tempat berbeda56.
Bahkan
sebelum insiden Amboyna, tentara bayaran Jepang sudah memiliki sejarah dalam
masalah-masalah kedisiplinan. Insiden paling serius terjadi pada tahun 1616 di
atas junk Forwijne, yang membawa rombongan
tentara bayaran kedua yang dikirim dari Jepang. Dalam surat kepada Specx, Coen
menyebut rombongan orang Jepang sebagai “ pengacau yang memberontak”, dan
menginstrusikan agennya di Hirado untuk lebih berhati-hati dalam memilih
rekrutan57. Dalam tanggapannya, Specx menyesalkan bahwa pengacau
seperti itu sering kali masih diam saat di darat dan seringkali sulit untuk
diketahui58. Dia juga menambahkan bahwa akan menjadi lebih baik,
untuk mengirim tentara bayaran di kapal-kapal Belanda, daripada dengan
jung-jung Asia Timur yang jauh lebih kecil. Komentar Specx menunjukan bahwa
kondisi-kondisi sulit di atas fortuijne, mungkin
telah memprovokasi perilaku memberontak.
Para
hakim Amboyna konsisten dalam kekaguman mereka terhadap kualitas militer
tentara bayaran Jepang yang melayani mereka. Dalam kata-kata seorang pengamat,
mereka semuanya “gagah dan dipersenjatai dengan baik dan selalu dipilih oleh
Gubernur dengan alasan keberanian mereka untuk terus melakukan eksploitasi yang
berbahaya”59. Di luar medan perang, hubungan antara tentara bayaran
Jepang dan kompeni di Ambon, tampaknya telah bermasalah. Orang-orang Inggris
yang selamat melaporkan bahwa orang Jepang memang “melayani Belanda sebagai serdadu,
namun bukanlah kaki tangan yang setia”60. Akibatnya, Jepang tidak
diizinkan untuk tinggal di kastil/benteng dan tidak dipercaya memegang senjata
api, terkecuali untuk tugas khusus. Selain itu, dilarang untuk menjual senjata
api, bubuk atau peluru kepada orang Jepang, meskipun mereka diizinkan membawa catanne (pedang Jepang) setiap saat61.
Tentu saja bukti terbaik dari hubungan bermasalah itu adalah insiden Amboyna
sendiri. Tergantung pada interpretasi seseorang, insiden itu mungkin menunjukan
bahwa hubungan telah memburuk ke titik dimana orang-orang Jepang berkonspirasi
dengan orang Inggris, atau sebagai alternatif, bahwa ketidakpercayaan mendasar
antara VOC dan pasukan Jepangnya mengakibatkan kematian 20 orang tak bersalah.
Salah satu yang paling jelas adalah bahwa tentara bayaran Jepang, paling banter,
adalah senjata yang mudah “menguap” untuk perusahaan (VOC). Mereka harus
digunakan sebisa mungkin, tetapi tidak untuk dipercayai di luar arena
pertempuran.
Tokugawa Hidetada (1605 - 1623) |
Bakufu Tokugawa dan Tentara Bayaran Jepang
Dalam perang selebaran, propagandis Belanda mengklaim bahwa insiden Ambon mengakhiri kepercayaan mereka pada tentara bayaran Jepang :
Orang-orang
Japonia pernah berada dalam keadaan yang baik bersama kami, dan selalu
dipercaya, dan tidak memiliki kesempatan melakukan kejahatan, atau dendam atau
menakuti mereka atau melawan mereka, yang mana sekarang terbalik akibat
pelanggaran ini, mengharuskan bangsa kita untuk selalu menjadi orang tidak
percaya kepada orang Japonia, dan tidak begitu percaya diri untuk menggunakan
atau dilayani mereka sebelumnya62.
Faktanya, ada 3 faktor terpisah yang menyatu untuk
mengakhiri penggunaan tentara bayaran Jepang oleh perusahaan yaitu : dekrit
yang dikeluarkan oleh pemerintah Tokugawa (bakufu)
pada tahun 1621, kepulangan Coen ke Eropa (Belanda) pada tahun 1623 dan insiden
Amboyna pada tahun yang sama.
Bakufu pertama kali bergerak untuk
membatasi rekrutman tentara bayaran Jepang pada Februari 1621. Pada bulan itu,
dewan VOC di Hirado mencatat bahwa “ perintah yang diberikan kepada tuan di
sini adalah tidak ada orang Jepang yang akan diizinkan pergu dengan jung atau
kapal tanpa izin yang mulia [shogun]63. Pada bulan Juli 1621, bakufu mengeluarkan dekrit resmi 5
bagian yang mengatur kegiatan Belanda di Hirado. 3 bagian dari dekrit tersebut
ditujukan pada ekspor tentara bayaran Jepang: “pengambilan pria dan wanita yang
dibeli untuk ke luar negeri sangat dilarang. Pihak penjual akan diselidiki”. Secara
harfiah, ini tampaknya merupakan dekrit anti-perbudakan tanpa hubungan langsung
dengan para pekerja kontrak yang dipekerjakan oleh VOC. Karena itu hampir identik dengan larangan
pertama yang dikeluarkan oleh Hideyoshi pada tahun 1587, yang melarang
pembelian atau penjualan siapa pun di Jepang64. Namun, versinya yang
dikomunikasi kepada Belanda jauh lebih luas: “kita tak bisa membawa orang yang
dikontrak atau dibeli, dengan kapal atau jung kita atau dengan [kapal] Inggris
tanpa izin dari Yang Mulia”65.
Mengapa
bakufu turun tangan untuk menghentikan perdagangan
tentara bayaran pada tahun 1621, hanya 8 tahun setelah hal itu pertama kali diizinkan
pada Belanda untuk mengambil tentara Jepang dari wilayahnya?. Specx memberikan
penjelasan yang paling masuk akal untuk kebijakan baru itu, dan menulis seperti
ini : “ saya diperintahkan bahwa dekrit tersebut bukan karena mereka [para
Tokugawa] mendukung Portugis, tetapi karena mereka tidak ingin timbul bahaya
besar, karena rakyat mereka terlibat dalam perang di luar negeri”66.
Oleh karena itu, dekrit tahun 1621 tampaknya menunjukan kesadaran mendasar akan
bahaya yang mungkin dihadapi bakufu Tokugawa sendiri, jika rakyatnya memasuki
dinas militer di luar negeri67. Kekhawatiran ini tidaklah slaah
tempat. Meskipun beroperasi dalam sektor ekonomi daripada sebagai aktor
politik, tentara bayaran Jepang memiliki kemampuan melibatkan negara asal
mereka kedalam konflik. Pada tahun 1624, sebuah kapal Spanyol berlabuh di
sungai Menam Thailand, diserang dan dijarah oleh banyak orang Siam yang
dipelopori oleh tentara bayaran Jepang yang dipekerjakan oleh raja sebagai
pasukan elit. 4 tahun kemudian, armada
Spanyol membalas dendam pada Jepang atas keterlibatan tentara bayaran dalam
serangan itu, dengan menangkap sebuah kapal Jepang yang berlayar dibawah
perlindungan izin dagang resmi Tokugawa. Bakufu
menanggapi serangan ini dengan melakukan embargo perdagangan pada Portugis
dan Spanyol, yang membuat mereka berdebat saat bersatu dibawah 1 mahkota
kerajaan.
Meskipun
ada dekrit 1621, penggunaan tentara bayaran Jepang oleh perusahaan sama sekali
tidak berarti telah berakhir. Selama Coen masih ada, perekrutan tambahan
tentara bayaran Jepang tetap menjadi prioritas tinggi bagi perusahaan. Marah
dengan larangan itu, Coen memerintahkan bawahannya di Hirado untuk dengan penuh
semangat melobi shogun untuk membatalkan dekrit : “Anda harus bekerja dengan
tekun untuk sekali lagi mendapatkan lisensi dari Kaiser [shogun] untuk tetap
mengirim orang Jepang dan senjata”68. Dalam surat lain, Coen juga
bersikeras : “jika tepat untuk melakukan sesuatu soal larangan Kaiser, kami
berharap anda tidak menghilangkan apa pun dan tidak mengeluarkan biaya atau
kesulitan untuk memahami kebebasan kami sebelumnya”69. Bagian dari
frustrasi Coen berasal dari fakta bahwa dekrit 1621 muncul pada saat yang
tepat, ketika rencana Coen untuk menaklukan Makau dan Manila – rencana yang ia sampaikan kepada para
direktur di tahun 1614 – akhirnya mulai membuahkan hasil. Dalam
surat-suratnya kepada para komandan yang memimpin serangan ke Makau, Coen terus
menekankan pada kontribusi militer tentara bayaran Jepang yang bisa dilakukan,
berdebat dalam satu surat bahwa perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari
reputasi orang Jepang yang menakutkan di Cina70.
Oleh
karena itu, sejak 1621, situasinya menjadi berubah. Keputusan bakufu tetap berjalan, tetapi dalam
menanggapi rentetan arahan dari Batavia, para anggota markas di Hirado terus
mencari cara untuk merubah keputusan itu. Pada tahun 1623, 2 peristiwa yang
hampir bersamaan akhirnya mengakhiri minat VOC pada tentara bayaran Jepang.
Yang pertama adalah kepergian Coen dari Batavia pada Februari 1623a.
Kepercayaan Coen pada nilai penting pasukan Jepang tidak pernah goyah, dan
begitu dia tak ada, tentara bayaran Jepang kehilangan pendukung terbesar
mereka. Beberapa minggu setelah Coen meninggalkan penggantinya, Pieter de
Carpentier, dihadapkan dengan insiden Amboyna. De Carpentier dulunya adalah
orang dekat Coen. Dia telah bekerja secara intim dengan Coen dalam masa
pemerintahan Coenb, dan di hampir setiap masalah penting, Carpentier
mengikuti strategi yang dilakukan pendahulunya, suatu keputusan bijak mengingat
Coen akan kembali menduduki posisi itu pada tahun 1627. Satu pengecualian
penting menyangkut tentara bayaran Jepang, yang tidak disebutkan dalam
korespondensi de Carpentier setelah tahun 1623. Hal itu menghilang sebagai
suatu prioritas dan bahkan sebagai topik diskusi. Alasannya tidak sulit untuk
dipahami. Yang pertama dan masalah paling konsisten yang dihadapi oleh De
Carpentier dalam insiden Ambon, adalah berkaitan di sekitar kesetiaan tentara
bayaran Jepang. Peristiwa itu mendominasi surat-surat yang dikirim antara
Belanda dan Batavia, dan itu pasti berakhir secara efektif dengan antusiasme
Gub Jend yang baru terhadap pasukan Jepang. Bahkan jika dia berharap untuk
melanjutkan kebijakan Coen, tidak mungkin direktur di Belanda akan membiayai
rombongan besar tentara bayaran Jepang, saat mereka sedang berjuang memperbaiki
hubungan dengan Inggris setelah kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa di
Amboyna. Dengan demikian, pada tahun 1623, perdagangan tentara bayaran dari
Hirado berakhir. Orang Jepang yang telah berada di Asia Tenggara tetap bekerja
secara sporadis untuk perusahaan, khususnya karena pembatasan maritim bakufu yang mencegah mereka kembali ke
Jepang, tetapi tidak ada hal lebih lanjut tentang perekrutan masal tentara
Jepang.
Tanda tangan beberapa tentara bayaran Jepang pada insiden Ambon (sumber : https://amboyna.org/ ) |
Eksperimen yang Gagal
Pada akhirnya, eksperimen dengan
tentara bayaran Jepang tidak terbukti sukses besar untuk VOC. Pada tahun 1614,
ketika Coen menyerahkan Discoers ke
direksi, dia membayangkan pasukan tentara bayaran Jepang akan menjadi pasukan
garnisun di kekuasaan VOC di Asia Tenggara dan berbaris ke Makau dan Manila
dipimpin oleh perwira Belanda. Faktanya, sekitar 300 pasukan yang dikirim dari
Hirado, sebelum kombinasi dari faktor-faktor campur tangan telah menghentikan pasokan.
Pasukan Jepang memang berpartisipasi paling banyak dalam kampanye-kampanye utama
VOC pada masa itu, tetapi potensi yang dilihat Coen – dan penuh semangat dikomunikasikan kepada direksi – tidak pernah
disadari. Bahkan jika Coen berhasil mengangkut ribuan tentara bayaran Jepang ke
Asia Tenggara, tidak ada jaminan bahwa perusahaan akan dilayani dengan baik
oleh mereka. Tentara Jepang terbukti sulit untuk diperintah, bahkan ketika dikelompokkan
dalam rombongan kecil, dan dalam jumlah yang lebih besar, masalah ini mungkin
hanya akan lebih buruk.
Kesebelas tentara yang ditempatkan
di Ambon adalah pasukan khusus tentara bayaran Jepang, dan mereka memberi kita
kesempatan terbaik untuk mengkaji secara lebih umum tentang pasukan Jepang
lainnya yang dipekerjakan oleh VOC. Orang Jepang di Amboyna relatif masih muda,
berasal dari Kyushu dan mungkin tidak semua adalah veteran perang. Mereka
adalah prajurit yang pemberani dan efektif tetapi tidak dipercayai sepenuhnya
oleh tuan mereka. Poin terakhir ini, mungkin telah menamatkan takdir mereka.
Tidaklah mungkin untuk mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1623 di Amboyna. Apakah orang Jepang
berkonspirasi dengan orang Inggris untuk merebut benteng/kastil atau apakah hanya
karena pertanyaan “bodoh” dari tentara bayaran yang masih muda, memicu rantai
peristiwa yang menyebabkan pembantaian 20 orang yang tidak bersalah????
Kajian-kajian berbahasa Inggris telah menolak soal konspirasi sebagai hal yang dibuat-buat, selama hampir 4
abad, dan tentu saja ada sejumlah besar masalah dengan kasus VOC. Dalam kasus
beberapa nama, dokumen-dokumen hukum yang disusun dengan buruk, penyiksaan yang
digunakan untuk memperoleh pengakuan dan tampaknya tidak rasional bahwa 20
orang akan merencanakan untuk merebut kubu pertahanan VOC yang dijaga oleh
ratusan orang. Di sisi lain, tentara bayaran Jepang tentu saja memiliki
kemampuan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang Inggris, dan Sidney Migiell
pernah menjadi bekas karyawan perusahaan Inggris dan bisa menjadi penghubung
antara kedua kelompok. Akhirnya, tentara bayaran Jepang memiliki sejaran
masalah kedisiplinan dan banyak alasan untuk membenci majikan yang terus
menerus membuat mereka terancam bahaya. Artikel ini tidak bisa memberikan jawaban
pasti, apakah konspirasi itu ada, tetapi berusaha untuk menyajikan catatan yang
lebih lengkap tentang sejarah tentara bayaran Jepang yang bekerja di perusahaan
(VOC).
Tentara bayaran Jepang adalah
pasukan Asia pertama yang dipekerjakan oleh VOC. Sayangnya, untuk pengganti
mereka, pola yang ditetapkan pada periode paling awal ini, terutama ketegangan
mendasar antara perusahaan dan para pelayan Asia mereka, terus berlanjut bahkan
ketika VOC menjadi semakin bergantung pada tenaga kerja dan pasukan Asia. Pada akhirnya,
bagi tentara bayaran Jepang di Amboyna, akan lebih baik jika kompeni, kata
seorang pejabat VOC yang tidak puas, meninggalkan “orang-orang ini di negara
mereka sendiri”71.
===== selesai =====
Catatan Kaki
37.
Karakter Jepang dalam tanda kurung adalah dugaan
berdasarkan catatan Belanda oleh Iwao Seiichi. Mereka belum tentu akurat ejaan
nama-nama yang dipermasalahkan bervariasi sangat tergantung pada dokumen.
38.
Iwao Seiichi berspekulasi bahwa Thome Corea mungkin berasal
dari Korea karena nama belakangnya.
39.
Authentic
Copy, 13.
40.
Ibid., 8.
41.
Skinner, A True Relation, 29.
42.
Coolhaas, 'Aanteekeningen en Opmerkingen', 49-93.
43.
Colenbrander, Jan Pietersz. Coen, 7.2: 1086-1093.
44.
'Deposisi' (Marschalck).
45.
'Deposisi' (Van LeeuwenJ.
46.
Untuk perincian tentang Forbesse, lihat Sainsbury,
ed., Calender of State Papers
47.
Sainsbury, ed., Calendar of State Papers, 686.
48.
Colenbrander, Jan Pietersz. Coen, 4: 125.
49.
Authentic
Copy, 30.
50.
Menimbang bahwa seorang kapten Jepang seperti Kusnoky
Itsiemon hanya dibayar 10 real per bulan, 1.000 real mewakili jumlah besar.
51.
'Deposisi' (Marschalck).
52.
Massarella, A
World Elsewhere, 188.
53.
Sebagai contoh, lihat Ribeiro, “The Japanasse Diaspora”, 53-58.
Ribeiro berpendapat bahwa Orang Jepang di Asia Tenggara sangat berharga karena
'keterampilan dan pengalaman militer mereka'.
54.
Setelah membawa kepulauan Jepang di bawah kendalinya,
Hideyoshi menginvasi Korea dengan pasukan besar Pada 1592. Kampanye berlangsung
sampai kematiannya pada 1598 ketika semua Pasukan Jepang ditarik. Pada 1600, Tokugawa
Ieyasu mengalahkan para pesaingnya di pertempuran
Sekigahara. Pada 1614, ketegangan
antara Tokugawa dan Hideyori, Pewaris Hideyoshi, memimpin pengepungan benteng Osaka oleh pasukan Tokugawa. Pengepungan berakhir dengan kematian Hideyori.
antara Tokugawa dan Hideyori, Pewaris Hideyoshi, memimpin pengepungan benteng Osaka oleh pasukan Tokugawa. Pengepungan berakhir dengan kematian Hideyori.
55.
Laurens
Reael ke Kamar Amsterdam, 18 Juli
1616, VOC 1061; Steven van der Haghen ke
Kamar Amsterdam, 18 Juli
1616, VOC 1063.
1616, VOC 1063.
56.
Colenbrander,
ed., Jan Pietersz. Coen, 1: 1- 48. Untuk mengatasi masalah seperti itu, tentara bayaran
Jepang dibatasi dengan kontrak yang ketat, satu yang masih ada. yang melarang
rekrutmen dari perkelahian, judi, minum,
menyerang wanita atau gadis lajang,
ketidaktaatan terhadap otoritas Belanda dan
pemberontakan. Rekrutan diperingatkan bahwa
"orang tua, istri, anak - anak mereka, dan mereka yang menjaga keamanan
akan" dituntut 'jika mereka melanggar
peraturan ini.
57.
Ibid.,
2: 104.
58.
Ibid.,
7-1: 185-204.
59.
'Deposisi' (Penguji).
60.
Skinner,
A True Relation, 5.
61.
Desposisi
para hakim Amboyna membenarkan bahwa pasukan Jepang tidak diizinkan menggunakan
senjata api dan bubuk, kecuali saat khusus tugas.
62.
A Remonstrance of Directors, 10.
63.
Hirado
Resolution, Februari 1621, VOC 1061.
64.
Untuk
perincian dekrit ini, lihat Berry, Hideyoshi.
65.
Surat
dari Jacques Specx, 20 September 1621, VOC 1075.
66.
Dikutip
dalam Valentijn, Oud en Nieuw OostIndien, 5.2: 28-30.
67.
Pada
saat yang sama, bakufu berpendirian untuk memperoleh
sedikit manfaat dari perekrutan tentara bayaran Jepang. Seperti negara bagian lain
yang menggunakan ekspor tentara bayaran sebagai mekanisme
untuk menghasilkan pendapatan atau sebagai katup pengaman untuk menghilangkan
pembuat onar potensial, bakufu tidak
mendapat imbalan langsung dari perdagangan
tentara bayaran.
68.
Colenbrander,
Jan Pietersz. Coen, 3: 193- 195.
69.
Ibid., 3: 165-166.
70.
Ibid., 3: 151-163.
71.
Steven
van der Haghen ke Kamar Amsterdam, 18 Juli 1616, VOC 1063
Bibliography of Works Cited
Primary Sources and Contemporary Publications
An Authentick copy of the Acts of the Processe against the English at Amboyna (London, 1632).
Colenbrander, H.T., ed., Jan Pietersz. Coen. Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indie (The Hague: M.
Nijhoff, 1919-52).
'Depositions of the Amboyna judges'. The Factory Records of the East India Company: Java, 1595-1827,
G/21/2, Oriental and India Office, British Library, London.
A remonstrance of the directors of the Netherlands East India Company presented to the Lords States
Generall of the united Provinces, in defence of the said Companie, touching the bloudy proceedings against the English merchants, executed at Amboyna (London, 1632).
Farrington, Anthony, The English Factory in Japan, 1613-1623 (London: The British Library, 1991).
Skinner, John, A true Relation of the Uniust, Cruell, and Barbarous Proceedings against the English at
Amboyna in the East-Indies, by the Neatherlandish Gouemour and Councel There (London, 1624).
Tiele, PA, and J.E. Heeres, eds, Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel (The Hague, Nijhoff, 1886-95).
Valentijn, Francois, Oud enNieuw Oost-Indien (Amsterdam, 1724).
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), 1056, 1061, 1063, 1072, 1080, Nationaal Archief, The Hague.
Secondary Literature
Bassett, D.K., 'Amboyna Massacre". Journal of Southeast Asia 1:2 (Sept. 1960), 1-19.
Berry, Mary Elizabeth, Hideyoshi (Cambridge: Harvard University Press, 1982).
Blair, E.H., and J.A. Robertson, eds, The Philippine Islands, 1493-1898 (Cleveland: A.H. Clark Company, 1903-1909).
Chancey, Karen, The Amboyna Massacre in English Politics, 1624-1632'. Albion 30:4 (1998), 583-598.
Cocks, Richard, The Diary of Richard
Cocks, 1615-1622, edited by the Historiographical Institute, University of
Tokyo (Tokyo: Yoshida Printing Company, 1979-80).
Coolhaas, W.Ph., 'Aanteekeningen en
Opmerkjngen over den zoogenaamdem Ambonschen Moord', Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde uan Nederlandsch-lndie 101 (1942), 49-93.
Hunter, William Wilson, A History of
British India (New York: AMS press, 1966).
Iwao, Seiichi, Zoku nanyo Nihon machi
no kenkyu (Tokyo: Iwanami shoten, 1987).
Kato, Eiichi, Rengo Oranda Higashi-lndo
Kaisha no senryaku kyoten toshite no Hirado shokan'. In
Lucassen, Jan, A Multinational and its
Labor Force: The Dutch East India Company, 1595-1795', International Labor
and Working-Class History 66 (2004), 12-35.
Massarella, Derek, A World Elsewhere:
Europe's Encounter with Japan in the Sixteenth and Seventeenth Centuries (New
Haven: Yale University Press, 1990).
Raben, Remco, 'Het Aziatisch Legioen:
Huurlingen, bondgenoten en reservisten in het geweer voor de Verenigde
Oost-Indische Compagnie'. In De Verenigde Oost-lndische Compagnie tussen
oorlog and diplomatic, edited by Gerrit Knaap and Ger Teitler (Leiden:
KITLV, 2002).
Ribeiro, Madalena, The Japanese Diaspora
in the Seventeenth Century', Bulletin of Portuguese Japanese Studies 3
(2001), 53-58.
Sainsbury, W.N., ed., Calendar of State
Papers, Colonial, East Indies, China and Persia, 1625-1629 London: HMSO,
1884).
Schouwenburg, K.L. van, 'Het personeel op
de schepen van de Kamer Delft van de VOC in de eerste helft van de achttiende
eeuw', Tijdschrift voor zeegeschiedenis 7 (1988), 76-93.
—, 'Het personeel op de schepen van de
Kamer Delft van de VOC in de tweede helft van de achttiende eeuw', Tijdschrift
voor zeegeschiedenis 8 (1989), 179-186.
Stapel, FW, "De Ambonsche 'Moord' (9
Maart 1623)', Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en Volkenkunde 62
(1923), 209-226
Catatan Tambahan :
- Jan Pieterszoon Coen kembali ke Belanda pada tanggal 2 Februari 1623 dan tiba pada 19 September 1623.
- Pada masa pemerintahan J.P. Coen sebagai Gub Jend VOC, Pieter de Carpentier sebagai Direktur Jenderal atau orang no 2 (1618 – 1622)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar