Oleh
C.R.
(Kees) Groeneboer
- Kata Pengantar
Pada masa kini, dalam perbincangan sosial
orang-orang Ambon, sering terselip kata-kata yang aslinya merupakan bahasa
Belanda, namun telah menjadi khasanah bahasa Ambon Melayu. Kata-kata seperti voris (dari voorhuiz), nyong/jong (jonkheer), muder (dari kata moeder), pader (dari kata vader), dan banyak kata lain yang sering
terdengar dan diucapkan oleh orang-orang Ambon. Tidaklah mungkin orang-orang
Ambon bisa mengetahui kata-kata itu, jika tidak ada penyebabnya.
Melalui artikel ini, C.R Groeneboer atau Kees
Groeneboer mengisahkan fluktuasi pengajaran bahasa Belanda di Maluku (khususnya
di Ambon dan sekitarnya) pada masa VOC. Artikel ini aslinya berjudul : The Dutch Language in Maluku under the VOC, dimuat
pada Jurnal Cakalele, volume 5 (tahun 1994) halaman 1 – 10. Sang penulis secara
eksplisit menyebut bahwa kajian ini, berdasar pada isi bukunya, yang berjudul Weg tot het Westen; Het Nederlands voor
Indie 1600 – 1950, Een taalpolitieke geschidenis, pada pasal II.2.1. Buku
ini diterbitkan di Leiden pada tahun 1993, dan edisi terjemahan Inggrisnya
diterjemahkan oleh Myra Scholz dengan judul Gateway
to the West : the Dutch Language in Colonial Indonesia, 1600 – 1950 : a History
of language policy terbitan tahun 1998 oleh penerbit Amsterdam University
Press.
Pada artikel ini, Groenboer mengisahkan sejak
awal, orang-orang VOC berusaha untuk mempromosikan bahasa Belanda untuk
diajarkan di sekolah-sekolah yang mereka dirikan, dengan tujuan utama menyingkirkan
bahasa Portugis – bahasa musuh- di
kalangan orang-orang Ambon. selain itu, mereka juga beranggapan bahwa bahasa
Belanda adalah bahasa yang paling baik untuk memberitakan Injil Kristus
dibandingkan bahasa lingua franca yang telah familiar, yaitu bahasa Melayu.
Namun, pada akhirnya bahasa Belanda gagal total menjadi bahasa “resmi” di
Maluku, karena berbagai alasan.
Artikel sepanjang 10 halaman ini, “diperkuat”
oleh 25 catatan kaki, yang ditempatkan pada bagian kaki dari
halaman-halamannya. Kami menerjemahkan artikel ini, dengan tujuan menghadirkan
bacaan-bacaan yang baik, untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pola
bersejarah kita.
Artikel hasil terjemahan ini, kami tambahi
dengan catatan tambahan dari kami, ilustrasi gambar untuk mempermanis isi
artikel, dimana pada artikel aslinya tidak ada. Akhirnya selamat membaca,
selamat menikmati...semoga pengetahuan kesejarahan kita semakin bertambah dan
lebih matang dalam bersejarah.
- Terjemahan : Kutu Busu
Sejarah
bahasa Belanda sebagai bahasa asing di Indonesia, dimulai pada saat pertama
kali orang Belanda memasuki Kepulauan Indonesia pada akhir abad ke-16.Pelabuhan
utama VOC pada awalnya di Pulau Ambon, tetapi setelah pendirian Batavia pada
tahun 1619, Maluku bahkan tetap menjadi salah satu pusat VOC paling penting di
Hindia Timur1.
Pada
tahun 1607, hanya 2 tahun setelah penaklukan Ambon oleh Belanda dan kemenangan
atas Portugis, sebuah sekolah dibuka oleh Laksamana VOC Cornelis Matelieff de
Jonge (1606-1608), yang bertujuan untuk koloni Belanda yang nyata di Maluku, dengan
bahasa Belanda sebagai bahasa komunikasi yang resmi. Dengan Johannes Wogmaa
sebagai kepala sekolah Hindia –Belanda pertama, sekolah ini terutama ditujukan
untuk anak-anak Ambon yang telah dikonversi menjadi Katholik oleh Portugis. Karena
anak-anak ini telah diajarkan dalam Bahasa Portugis, sekarang anak-anak ini
harus diajari prinsip-prinsi utama Gereja Protestan melalui Bahasa Belanda. 15
anak-anak sekolah harus belajar Doa Bapa
Kami, 10 Hukum Taurat,Tulisan-tulisan keagamaan dalam 2 bahasa asing yang
berbeda, Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu2. Pada mulanya, hasil dari
sekolah ini tidak terlalu memuaskan, dan tingkat kehadiran anak sekolah buruk.
Namun demikian, untuk mempromosikan Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi di
Maluku, pedagang VOC bernama Steven Coteels mengusulkan untuk mengambil
sejumlah besar anak berusia 10 tahun dan memberi mereka pendidikan Belanda yang
sesuai di dalam tembok-tembok benteng VOC di Ambon. dengan cara ini, mungkin
akan mencegah penggunaan dialek-dialek bahasa Ambon sendiri dan bahasa lingua
franca yaitu Melayu – serta Portugis (banyak digunakan di Asia Tenggara sebagai
lingua franca – sebagai alat komunikasi diantara mereka sendiri3.
Untuk
sekolah-sekolah pertama di Maluku, buku sekolah kecil AB Boeck disusun pada tahun 1611, dan dicetak oleh VOC di
Amsterdam. Buku ini adalah buklet 14 halaman dengan judul Sourat. ABC. Akan meng ayd’jer anack boudack/seperti deayd’jern’ja
capada segala manusia Nassarany: daen berbagy sombahayang Christaan [ Buku untuk
mengajarkan alfabet kepada anak laki-laki, seperti yang diajarkan kepada semua
orang Kristen, dengan beberapa doa Kristen ]. Buku ini ditulis oleh pedagang
VOC Albert Corneliszn Ruyll terutama untuk situasi Hindia “dalam bahasa
Melayu....untuk memperkenalkan alfabet Belanda kepada anak-anak muda Hindia”. Sekuel
dari buku sekolah ini, yang juga ditulis oleh Ruyll, muncul pada tahun 1612
dengan judul Spieghel vande Maleysche
tale [Cermin Bahasa Melayu], diterbitkan oleh VOC dan dicetak dalam “
Amsterdam, by Dirrick Pietersz op’t Water in de witte persse”. Meskipun
judulnya agak keliru, buku ini dapat dianggap sebagai teks tertua yang masih
ada untuk mengajar Bahasa Belanda sebagai bahasa asing. Namun, teks nyata untuk
tujuan ini belum dikembangkan, dan buku sekolah ini dimaksudkan tidak hanya
untuk mengajarkan Bahasa Belanda tetapi juga sebagai pedoman bagi agama
Kristen, karena judul lengkapnya sangat jelas :
Spieghel
vande Maleysche tale, inde welcke sich die Indiaensche ieugt Christlijck ende
vermaeckelijck kunnen oeffenen; Voleerlijcke t’samenspraecken ende
onderwijsinghen in de ware Godt-saligheyt tot voorstandt vande Christelijcke
religie; Met een vocabularium van de Duytsche ende Maleysche tale dienstich
voor alle lief-hebbers der selver.
[Cermin
bahasa Melayu, yang bisa dipraktikkan anak-anak muda Hindia dengan cara Kristen
dan penuh sukacita; Dialog dan ajaran yang tulus dalam kebenaran keselamatan
Allah untuk memperkuat agama Kristen; Dengan kosakata bahasa Belanda dan Melayu
untuk siapa saja yang suka memanfaatkannya].
60 halaman pertama
merupakan adaptasi dari “vraeghboecxken van Sa: Aldegonde” [buklet pertanyaan St Aldegonde]4 dan terdiri dari
kumpulan dialog-dialoh yang meneguhkan dan bermoral, puisi kecil, dan cerita,
dengan teks Belanda di sebelah kiri dan teks Melayu di sebelah kanan sisi
halaman. 80 halaman tambahan kosakata Belanda-Melayu, yang merupakan adaptasi
dari kamus Belanda-Melayu Spraeck ende
woord-boek dari Frederick de Houtman5, yang diterbitkan pada
tahun 1603, yang semula digunakan di Ambon sebagai bahan untuk mengajar bahasa
Belanda sebagai bahasa asing. Belakangan, terbitan-terbitan dwi bahasa lainnya,
seperti edisi Injil Matius Ruyll Belanda-Melayu yang diterbitkan pada tahun
16296, juga digunakan sebagai bahan pengajaran.
Ketika pendeta pertama, Casper
Wiltens (1615 – 1619) tiba di Ambon pada tahun 1615, ia juga mencoba merangsang
penggunaan bahasa Belanda di sekolah-sekolah Ambon, tetapi kecewa dengan ketidakberhasilannya,
karena – seperti yang ia laporkan – orang
Ambon tidak cukup pandai dan malas7. Seperti yang dilihat Wiltens,
salah satu alasan buruknya hasil sekolah pendidikan Belanda adalah keengganan
orang Ambon untuk menggunakan bahasa Belanda sebagai media pengajaran, karena
terbukti semakin sulit dipelajari daripada bahasa Latin. Selain itu, mereka
juga memperhatikan bahwa serdadu Belanda atau pegawai VOC, selalu lebih suka
berbicara bahasa Melayu pada beberapa kesempatan ketika mereka berkomunikasi
dengan orang Ambon8. Karena alasan ini, Wiltens segera memutuskan
untuk mengganti media pengajaran. Bahasa Belanda tidak lagi digunakan sebagai
bahasa sekolah dan bergerja, tetapi - karena bahasa Ambon kurang banyak digunakan
– sepenuhnya digantikan oleh bahasa Melayu.
Pada tahun 1617, dilaporkan
bahwa sekolah telah ditutup untuk beberapa waktu. Karena alasan inilah,
Gubernur Ambon yang akan dimutasi, Adriaen Block Martens (1614 – 1617),
mengusulkan agar penggantinya, Steven van der Haghen (1617 – 1618), “mengimpor”
(mendatangkan) kepala sekolah Jan van den Brouck di Jakarta (Batavia), dimana Blok
Martensz kagum melihat anak-anak lelaki pribumi berbicara dan menulis dalam
bahasa Belanda dengan cara begitu sempurna, seolah-olah mereka berasal dari
Belanda. selanjutnya Blok Martensz mengusulkan untuk “mengimpor” dari Belanda,
30 hingga 50 anak laki-laki Belanda per tahun untuk mencampurkan mereka dengan
anak-anak lelaki Ambon di sekolah. Dengan cara ini, akan memungkinkan untuk
memperkenalkan bahasa Belanda sebagai alat komunikasi umum di Ambon, sehingga menjadi koloni Belanda yang
nyata dan untuk mengubah seluruh koloni menjadi masyarakat Kristen9.
Sebastian Danckaerts, yang
bekerja sebagai pendeta kedua di Ambon pada tahun 1618 – 1622, menyesali
keputusan rekannya, Wiltens, untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Karena itu, ia memperbarui upaya untuk menjadikan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar di sekolah dan gereja, dan tampaknya berhasil, menurut
laporannya tentang pelajaran yang diberikan oleh kepala sekolah Thieleman
Teunisz :
Setelah periode 3 bulan belajara yang mendalam
dan rajin, para siswa menunjukan perubahan dan kemajuan yang luar biasa,
khususnya dalam kemampuan menulis, seperti tidak seorangpun yang berharap
demikian, meskipun mereka masih membuat beberapa kesalahan dan pelafalan mereka
masih harus ditingkatkan10.
Gubernur Ambon,
Herman van Speult (1618 – 1624), sangat puas dengan hasil pendidikan bahasa
Belanda ini, dalam hal pendapatnya bahwa bahasa Melayu yang digunakan di Ambon,
terlalu buruk untuk memberitkan injil Kristen. Hanya bahasa Belanda yang dapat
memenuhi tujuan ini, dan oleh karena itu, bahasa Belanda harus diajarkan di
sekolah. Van Speult berusaha keras untuk menyebarkan bahasa Belanda di kalangan
anak-anak muda Ambon, dan dengan demikian untuk memperkuat ikatan antara orang
Ambon dan Belanda. Melalui hal ini, saling pengertian, kepercayaan dan
loyalitas dapat diciptakan melalui penggunaan bahasa Belanda. Selain itu,
penghapusan bahasa Melayu juga dapat membantu mengurangi pengaruh “Mohammedans”
(Kaum Muslim) di wilayah tersebut, karena agama Islam disebarkan menggunakan
bahasa Melayu di seluruh kepulauan tersebut11.
Masih belumlah jelas apakah
tujuan Van Speult dijalankan atau tidak, karena visi Danckaerts tentang
pendidikan bahasa Belanda agak berbeda. Tujuannya, adalah mengajar bahasa Belanda
agar memungkinkan kaum muda membaca semua jenis tulisan-tulisan keagamaan dalam
bahasa Belanda, tanpa ada tulisan-tulisan keagamaan dalam bahasa Melayu. Begitu
para murid diberi pengetahuan menyeluruh tentang agama Protestan melalui bahasa
Belanda, mereka akan dapat mengajarkan prinsip-prinsip agama ini kepada seluruh
penduduk pribumi, baik menggunakan bahasa ibu mereka atau bahasa Melayu yang
dikenal luas. Untuk tujuan ini, Danckaerts mendorong siswa untuk mempraktikkan
baik bahasa Belanda maupun bahasa Melayu sebanyak mungkin, karena Kristenisasi
Maluku yang sesungguhnya harus dilakukan melalui bahasa Belanda12. Kita
mungkin menyimpulkan bahwa, sejak awal, bahasa pengantar utama pengajaran dalam praktik pastilah bahasa
Melayu, dan bahwa pengajaran bahasa Belanda sebagai bahasa asing hanya terjadi,
karena bahasa Belanda adalah bahasa resmi untuk Alkitab. Bagi masyarakat
pribumi, pengetahuan tentang bahasa Belanda utamanya untuk menerima pengajaran
mereka dalam hal iman Kristen yang sejati, dan dengan melakukan itu “mengikat”
mereka selamanya dengan Belanda. Karena itu, bahasa Belanda hanyalah alat. Pengikat
aslinya adalah agama, bukan bahasa.
Namun, hasil pengajaran dalam
bahasa Belanda tetap bermasalah. Memang, dilaporkan pada tahun 1627, bahwa
sekolah di benteng-benteng kota Ambon dihadiri oleh 60 siswa, yang semuanya
menunjukan pengetahuan yang wajar tentang bahasa Belanda, meskipun pengucapan
mereka tetap agak buruk. Pada saat yang sama, dilaporkan bahwa di sebagian
besar sekolah lain di Maluku - 16 di Ambon dan 18 di pulau-pulau sekitarnya,
dengan total 1.300 murid – bahasa pengantar sama seklai bukan bahasa
Belanda, dan sebagian besar pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Setelah
proses inspeksi sekolah Maluku pada tahun 1631 itu, Danckaerts melaporkan bahwa
murid-murid dapat membaca dan mengucapkan doa mereka dalam bahasa Belanda di
beberapa sekolah saja.
Hanya di benteng-benteng saja, anak
laki-laki diajarkan beberapa bahasa Belanda, tetapi disebagian besar sekolah
lain, bahasa pengantarnya terutama bahasa Melayu, meskipun beberapa diantara
murid-muridnya juga menunjukan ketrampilan dalam membaca bahasa Belanda.
Namun, kebutuhan akan lebih
banyak orang Belanda di sekolah-sekolah secara luas diungkapkan oleh para
kepala sekolah, seperti juga keinginan kuat mereka untuk “membelandakan”
anak-anak muda13. Dari total 590 anak sekolah di Ambon pada tahun
1613, hanya 110 pada 2 sekolah yang terletak dekat benteng itu diajari beberapa
bahasa Belanda – artinya, anak-anak mengingat
doa-doa Kristen dan artikel-artikel keyakinan dan kepercayaan, pertama dalam
bahasa Melayu, kemudian dalam bahasa Belanda. Anak-anak lain hanya dididik
dalam bahasa Melayu14. Pendeta Helmichius Helmichez (1630 – 1634)
melaporkan pada tahun 1633, bahwa jumlah sekolah meningkat dan lebih dari 1.200
sekolah diajarkan dalam bahasa Melayu. Pada masa ini, belajar bahasa Belanda
tidak lagi dianggap berguna; pada saat yang sama, penggunaan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar juga dipertanyakan. Karena bahasa Melayu bukan bahasa
asli di Maluku, pendeta Helmichius dan rekannya dari Ambon, Justus Heurnius
(1633 – 1638), keduanya memohon penggunaan bahasa asli sebagai media
pengajaran. Karena pemahaman bahasa Melayu sebagai lingua franca agak tersebar
luas di Maluku, akhirnya diputuskan pada tahun 1634 untuk menggunakan bahasa
Melayu dan salah satu bahasa asli Maluku sebagai media pengajaran15.
Setelah periode pertama ini,
pendidikan bahasa Belanda tidak ada lagi di Ambon dan pulau-pulau lain di
Maluku. Pada tahun 1635, jumlah anggota “jemaat Belanda” di Ambon hanya
berjumlah 34 dan jumlah itu tidak lagi sangat mungkin meningkat. Pada tahun
1660, penggunaan bahasa Melayu dilaporkan meningkat di sekolah-sekolah, dan
bahwa anak-anak tidak lagi memiliki pengetahuan bahasa Belanda. setelah itu,
satu-satunya penyebutan pengajaran bahasa Belanda berasal dari tahun 1662,
ketika seorang Tuan Arnold Bertrand membuka sebuah “sekolah Belanda” di Ambon16.
Namun pada tahun 1665, pemerintah VOC di Batavia secara resmi memutuskan untuk
tidak lagi mendorong penggunaan bahasa Belanda di Maluku17. Bahasa
Belanda bukan saja dianggap terlalu sulit untuk menjadi bahasa yang meluas
dalam komunikasi, tetapi juga akan terlalu mahal untuk menyediakan sekolah
Belanda dalam skala besar. Di kepulauan Banda di Maluku Selatan, sekolah
pertama dibuka pada tahun 1622 di pulau kecil, yaitu pulau Ai. Hal itu
termasuk, rumah kos untuk murid yang datang dari kepulauan Banda lainnya. Pada
tahun 1623, sebuah sekolah dibuka di pulau Lontor (Banda Besar) dan pada tahun
1624 di pulau kecil lainnya, di pulau Roen (Run). Pada Agustus 1624, ada 3
sekolah yang telah ada, dengan total pendaftaran hampir 300 anak-anak – 40% diantaranya disebut “anak-anak kompeni
(yang ayahnya orang Eropa) dan 60% anak-anak “Mardijkers” (budak-budak beragam
Kristen yang memperoleh “kemerdekaan” mereka. Sekolah di pulau Ai memiliki
100 murid internal dan 40 siswa eksternal, sekolah di Lontor ada 100 murid dan
di pulau Run ada 45 siswa. Bahasa resmi pengajaran di sekolah adalah bahasa
Belanda, dan diharapkan dengan menyebarkan pengetahuan bahasa Belanda di Banda,
“ bahasa Melayu, yang dianggap terlalu
buruk untuk memberitakan Injil, tentu saja seiring waktu akan terhapus
sepenuhnya” 18.
Tidak sepenuhnya sesuai dengan
harapan-harapan ini, adalah peraturan sekolah yang diterima 1 tahun kemudian
(tahun 1625), dimana ditetapkan bahwa anak-anak Melayu harus mendapatkan
pendidikan sekolah mereka dalam bahasa Belanda, tetapi bahwa mereka juga harus
belajar artikel-artikel tentang iman Kristen dalam bahasa Melayu. Ini memberi
kesan bahwa bahasa Belanda bukan satu-satunya bahasa pengantar, dan bahasa
Melayu berfungsi setidak sebagai bahasa pengantar kedua. Kesan ini didukung
oleh fakta bahwa Dewan Gereja Banda pada tahun 1625, mengeluh tentang kurangnya
jumlah buku-buku sekolah : hanya 1 sampel/contoh terjemahan bahasa Melayunya
Danckaerts atas buku vraechboecksken van
Aldegonde (buklet pertanyaan St Aldegonde), dan kamus bahasa Melayu
karangan Danckaerts19 yang telah diterima, walaupun banyak salinan
diperlukan untuk sekolah-sekolah20. Karena itu, administrasi VOC di
Belanda memutuskan pada akhir tahun 1626 untuk mengirim sejumlah besar materi
pengajaran ke sekolah-sekolah di Banda dan tempat lain di Hindia Belanda,
termasuk pensil, kertas, tinta, buku mazmur dengan catatam musik, dan Abboekxkens21. Tetapi pada
tahun 1635, jumlah anak sekolah di Banda kelihatannya menurun drastis, dan
total hanya 157 anak dilaporkan, 103 anak laki-laki dan 54 anak perempuan22.
Dalam perjalanan waktu – seperti yang terjadi di Ambon dan kepulauan
Maluku sekitarnya – bahasa Melayu mulai menggantikan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah Banda, terlebih lagi karena buku-buku
sekolah berbahasa Melayu semakin tersedia. Pada saat yang sama, keengganan awal
orang-orang Eropa terhadap bahasa Melayu menguap sesuai pengetahuan mereka
terhadap bahasa semakin meningkat. Hanya di Banda, bahasa Belanda masih
memainkan peran tertentu, karena jumlah orang Eropa yang relatif besar di sana,
yang disebut perkenier (pengusaha perkebunan
cengkih). Pendeta F. Valentijn, yang bertugas di Ambon pada tahun 1685 – 1695
dan sekali lagi pada tahun 1707 – 1713, melaporkan bahwa “pengaruh terbaik kehadiran orang Eropa di Banda adalah bahwa hampir
semuanya, bahkan orang kulit hitam atau mestizo (Eurasia), dapat berbicara
bahasa Belanda dengan cukup baik untuk menyanyikan Mazmur pada hari minggu”23.
Pilihan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah Maluku hanyalah pilihan praktis, dan tidak
ada hubungannya dengan prinsip pemberitaan injil dalam bahasa ibu masyarakat.
Mengenai prinsip ini, Valentijn menulis, “ dan
sejauh menyangkut bahasa yang digunakan, hal itu bisa dipelajari dari Alkitab
itu sendiri, yaitu di dalam I Korintus 14:2,4,9,14, dan khususnya ayat 19,
bahwa seseorang tidak boleh berkhotbah dalam bahasa asing, tetapi dalam bahasa
yang bisa dimengerti oleh jemaat”24. Di antara berbagai bahasa
dan dialek asli yang ada di Maluku – dan
situasinya menjadi semakin rumit dengan gerakan-gerakan etnis berskala besar
pada awal abad ke-17 – bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa pengantar di
sekolah dan gereja, karena alasan praktis, yaitu bahasa itu sudah berfungsi
sebagai lingua franca di Maluku sebelum kehadiran Belanda di sana. Sebagai
bahasa Kristen, sekolah, dan sebagian juga administrasi VOC di Maluku, bahasa
Melayu tersebar luas – terutama pada
awalnya di antara orang-orang Kristen pribumi – akhirnya mengarah pada
kepunahan beberapa bahasa asli Ambon. Karena itu, dialek Melayu Ambon yang
digunakan setidak di Ambon dapat dianggap sebagai salah satu hasil dari
kebijakan bahasa VOC : “sekolah-sekolah,
khotbah-khotbah, dan arahan kompeni mempekuat perkembangan bahasa Melayu, bisa
dikatakan sebagai ekspansi bahasa Melayu, lingua franca ke bahasa ibu orang
Ambon Kristen”25.
Dalam retrospeksi, kebijakan
bahasa VOC, yang bertujuan untuk memperkuat posisi Belanda di Maluku, terbukti
gagal total. Pada awalnya, bahasa Belanda dipromosikan terutama untuk
menghilangkan penggunaan bahasa Portugis – bahasa
musuh dan agama Katholik – karena bahasa Belanda dipandang sebagai jalan
menuju keyakinan sejati. Terlebih lagi, bahasa Belanda dipandang sebagai jalan
menuju pilihan politik : melalui bahasa Belanda, saling pengertian dan
kepercayaan dapat tercipta. Setidaknya ini berlaku untuk bagian masyarakat
Kristen; pengetahuan bahasa Belanda di antara pribumi “kafir” atau
“Mohammedans” dipandang sebagai bahaya bagi koloni. Sebagai akibat dari
kebijakan bahasa VOC, lingua franca yaitu bahasa Melayu memunculkan bahasa
Melayu Ambon yang banyak digunakan, sementara bahasa Belanda sudah tidak
digunakan lagi di gereja atau sekolah pada pertengahan abad ke-17. Namun,
bahasa Belanda masih digunakan sebagai bahasa resmi pemerintah, terutama
sebagai media tulisan oleh para pejaba VOC di kantor-kantor VOC, dan sebagian
sebagai media lisan/pembicaraan oleh para pegawai, tentara, dan pelaut VOC yang
menguasai bahasa tersebut, yang kurang dari setengahnya berasal dari Belanda.
Bahasa Belanda menjadi sebagian besar bahasa yang digunakan oleh orang-orang
keturunan Eropa dan oleh segelintir orang Kristen pribumi yang terkait erat
dengan aktivitas VOC.
Setelah upaya awal untuk
mempromosikan bahasa Belanda sebagai lingua franca sebagai pengganti bahasa
Melayu, bahasa Belanda hampir mati di Maluku. 2 abad berlalu sebelum upaya baru
dilakukan selama paruh kedua abad ke-19, untuk mempromosikan penggunaannya lagi
di Maluku, dengan keberhasilan yang agak lebih banyak daripada di zaman
VOC. Namun, kebijakan bahasa Belanda
telah “bangkrut” : secara tidak disengaja dan tidak hati-hati, bahasa Melayu
muncul sebagai pemenangnya. Ini tentu saja tidak sepenuhnya hal yang
mengejutkan, mengingat kelompok orang Eropa yang relatif kecil dan heterogen di
antara penduduk asli serta dari karakter utama perdagangan VOC.
=====
selesai ====
Catatan Kaki :
1.
This article is based on K. Groeneboer, Weg tot het Westen; Het
Nederlands voor Indie 1600–1950; Een taalpolitieke geschiendenis (Leiden:
KITLV Uitgeverij, 1993), chapter II.2.1.
2.
Letter, J. Wogma to Heren XVII, 14-8-1608, in J. A. Grothe, Archief
voor de geschiedenis der oude Hollandsche zending, vol. 5, De Molukken,
1603–1624 (Utrecht: Van Bentum, 1890), p. 7.
3.
Letter, S. Coteels to Ileren XVII, 24-7-1614, in Grothe, Archief
5: 41.
4.
Ph. Marnix van St. Aldegonde, Cort begrijp der voornaemste
hooftstucken der Christelijcker Religie ghestelt: Vraghe ende antwoordischer
wijse tot nut ende voordeel der teere aencomende jonckheyt ende stichtinghe
aller Christenen in ’t gemeyn (Amsterdam: Ottho Barentsz Smient, 1599).
5.
F. de Houtman, Spraeck ende woord-boeck: Inde Maleysche ende
Madagaskarsche talen met vele Arabische ende Turcsche woorden: Inhoudende
twaalf tsamensprekinghen inde Maleysche ende drie inde Madagaskarsche
spraken met alderhande woorden ende namen ghestelt naer ordre vanden A.B.C. alles in Nederduytsch verduytst (Amsterdam: Jan Evertsz. Cloppenburch, 1603).
spraken met alderhande woorden ende namen ghestelt naer ordre vanden A.B.C. alles in Nederduytsch verduytst (Amsterdam: Jan Evertsz. Cloppenburch, 1603).
6.
A. C. Ruyll, Het Nieuwe Testament, dat is het nieuwe verbondt
onzes Heren Jesus Christus, in Nederduitsch ende Maleisch naar der Grieksche
waarheit overgeset: Jang Testamentum Baharu, artin’ja: jang d’jand’ji baharu
dari
Tuhanku Jesu Christi, bersalim kapada bassa Ilulanda daan bassa Malaju, seperti jang adillan bassa Gregu (Enkhuizen: Jan Jacobsz. Palenstein, 1629).
Tuhanku Jesu Christi, bersalim kapada bassa Ilulanda daan bassa Malaju, seperti jang adillan bassa Gregu (Enkhuizen: Jan Jacobsz. Palenstein, 1629).
7.
C. Wiltens quoted in F. Valentijn, Oud en nieuw Oost-Indien:
Vervattende een naauwkeurige en uitvoerige verhandelinghe van Nederlands
mogentheyd in die gewesten (Amsterdam: Van Braam, Onder de Linden,
1724–26), 5 vols., vol. IV-2, p. 36.
8.
Letter, C. Wiltens to Church Council Amsterdam, 1616, in Grothe, Archief
5: 73.
9.
Letter, A. Block Martensz to S. van der Haghen, 6-11-1617, in
Grothe, Archief 5: 92.
10.
S. Danckaerts, Historisch ende grondich verhael, van den standt
des Christendoms int quarteir van Amboina, mitsgaders van de hoope ende
apparentie eenigher reformatie ende beternisse van dien (Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 6 [1859]:105–136 [first printed in 1621]), p.
131.
11.
J. Mooy, Geschiedenis der Protestantsche kerk in
Nederlandsch-Indie (Weltevreden: Landsdrukkerij, 1923), pp. 300–301.
12.
Danckaerts, pp. 132–133.
13.
Valentijn, vol. III-1, p. 46.
14.
J. A. Grothe, Archief voor de geschiedenis der oude Hollandsche
zending, vol. 6, De Molukken, 1625–1638. (Utrecht: Van Bentum,
1891), pp. 144–145.
15.
Grothe, Archief 6: 240, 253, 265, 291–293, 316.
16.
Valentijn, vol. III-1, pp. 60, 62.
17.
Realia: Register op de generale resolutien
van het Kasteel Batavia 1632– 1805, pt. 1 (Leiden: Kolff, 1882), p.
25.
18.
Report, Church Council of Banda 20-8-1624, in Grothe, Archief 5:
212.
19.
C. Wiltens and S. Danckaerts, Vocabularium, ofte Woort-boeck,
naer ordre vanden Alphabet in ’t Duytsch–Maleysch, ende Maleysch–Duytsch (’s-Gravenhage:
Hillegrand Jacobsz. van Wouw, 1623), 135 pp.
20.
Grothe, Archief 6: 23, 32.
21.
Heren XVII, 28-10-1626, quoted in A. Algra, Bataviase scholen en schoolmeesters
in de 17e eeuw (De Christelijke Onderwijzer 21 [1938]: 283– 287,
297–300), p. 283.
22.
Grothe, Archief 6: 309.
23.
F. Valentijn, quoted in J. C. Neurdenburg, Van welke taal moeten
de zendelingen in de Molukken en inde Menahasa zich bij de verkondiging des Evangelies
bedienen? (Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap 2
[1858]: 172–194, 279–308), pp. 288–289.
24.
Valentijn, vol. III-1, p. 37.
25. J. T.
Collins, Ambonese Malay and creolization theory (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Palajaran Malaysia, 1980), p. 13.
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Palajaran Malaysia, 1980), p. 13.
Catatan Tambahan :
- Johannes Wogma adalah kelahiran Leeuwarden sekitar tahun 1580, dan meninggal di Amsterdam pada tahun 1630. Menurut sumber dari Jean Gelman Taylor, ia digaji 18 gulden per bulan. Dieter Bartels yang mengutip sumber dari J. Mooy menyebut bahwa Johannes Wogma menikah dengan seorang wanita Ambon.
§ Lihat Jean Gelman
Taylor, The Social World of Batavia, 2nd
edition, The University of Wisconsin Press, Wisconsin, 2009, hal 24 atau edisi
terjemahan Indonesia Kehidupan Sosial di
Batavia, PT Masup, Jakarta, 2009, hal 38
§ J. Mooy, Geschiedenis der Protestantsche Kerk in
Nederlandsch Indie, deel 1 : van de stichting.........., Weltevreden
Landsdrukkerij, 1923)
§ Dieter Bartels, Di bawah Naungan Gunung Nunusaku, jilid
II, KPG, Jakarta, 2017, hal 595.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar